Uji Disolusi Pada Kapsul Lansoprazol

(1)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Penerimaan Untuk Asam………. 19 Tabel 2 Penerimaan Untuk Basa………... 20


(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut (Ditjen POM, 1995).

Kapsul terdiri dari 2 macam yaitu; kapsul gelatin keras, dan kapsul gelatin lunak. Kapsul gelatin keras mengandung gelatin, gula dan air. Sedangkan kapsul gelatin lunak berbeda dengan kapsul gelatin keras adalah bahwa gula diganti dengan plasticizer yang membuat lunak, 5% gula dapat ditambahkan agar kapsul dapat dikunyah. Syarat-syarat kapsul yaitu; keseragaman bobot, keseragaman isi berkhasiat, waktu hancur kapsul, dan waktu larut (Anief, 1984).

Uji disolusi obat penting dilakukan oleh seorang formulator dalam merancang suatu sediaan obat agar laju pelepasan obat tersebut dapat diketahui karena laju pelepasan dapat berhubungan langsung dengan kemanjuran suatu obat (Lachman, 1994).

Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet atau kapsul) dan terlepasnya zat-zat aktif dari obat ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan tubuh. Pemikiran dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan bahwa obat itu pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan, dan lewatnya seluruh partikel melalui saringan berukuran


(3)

mesh-10. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepaskan bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Itu sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk obat. Laju absorbsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorbsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dari tablet atau kapsul. Bila yang menjadi tujuan adalah untuk memperoleh kadar yang tinggi dalam darah, maka cepatnya obat melarut biasanya menjadi sangat menentukan. Karena itu laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dari tablet atau kapsul dan perbedaan bioavailabilitas dari berbagai formula (Lachman, 1994).

Berdasarkan hal tersebut diatas, agar dapat diketahui berapa lama obat dapat hancur dalam tubuh dan melepaskan bahan obat dan langsung memberikan efek atau kemanjuran, maka penulis melakukan uji disolusi pada kapsul lansoprazol. Adapun pengujian dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui apakah pada kapsul lansoprazol, memenuhi persyaratan disolusi yang ditetapkan Farmakope Indonesia Suplemen I Edisi IV tahun 1995.

1.3 Manfaat

Dengan pengujian disolusi dapat diketahui apakah kapsul lansoprazol aman dikonsumsi atau tidak.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Ansel, 1989).

2.1.1 Tujuan Pemberian Obat Dalam Bentuk Kapsul

1. Untuk menutupi rasa pahit dan bau yang tidak enak dari obat.

2. Untuk melindungi bahan obat yang bersifat higroskopis dan mudah teroksidasi.

3. Untuk lebih memudahkan cara pemakaian karena kapsul dengan air ludah saja sudah menjadi licin sehingga mudah ditelan (Ditjen POM, 1995)

2.1.2 Pembagian Kapsul 2.1.2.1 Kapsul Gelatin Keras

Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan lingkungan para pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya. Cangkang kapsul kosong dibuat dari campuran gelatin, gula dan air, jernih tidak berwarna dan pada dasarnya tidak mempunyai rasa. Gelatin, USP, dihasilkan dari hidrolisis sebagian dari kolagen yang diperoleh dari kulit, jaringan ikat putih dan tulang binatang-binatang. Dalam perdagangan didapat gelatin


(5)

dalam bentuk serbuk halus, serbuk kasar, parutan, serpihan-serpihan atau lembaran-lembaran (Ansel, 1989).

2.1.2.2 Kapsul Gelatin Lunak

Kapsul gelatin lunak dibuat dari gelatin dimana gliserin atau alkohol polivalen dan sorbitol ditambahkan supaya gelatin bersifat elastis seperti plastik. Kapsul-kapsul ini yang mungkin bentuknya membujur seperti elips atau seperti bola dapat digunakan untuk diisi cairan, suspensi, bahan berbentuk pasta atau serbuk kering. Biasanya pada pembuatan kapsul ini, mengisi dan menyegelnya dilakukan secara berkesinambungan dengan suatu mesin khusus (Ansel, 1989). 2.1.3 Penyimpanan Kapsul

Bila kapsul disimpan ditempat yang lembab maka akan menjadi lunak dan lengket serta sukar dibuka, karena kapsul tersebut menyerap air dari udara yang lembab. Sebaliknya, bila disimpan ditempat yang terlalu kering, maka kapsul tersebut akan kehilangan air dan cangkangnya menjadi rapuh dan mudah pecah. Oleh sebab itu disimpan pada ruangan yang kelembabannya sedang dan tidak terlalu kering, dan disimpan dalam botol kaca atau botol plastik yang tertutup rapat dan diberi pengering(silika) (Ditjen POM, 1995).


(6)

Rumus Struktur Lansoprazol

Kapsul Lansoprazol adalah kombinasi antara Anti-Inflamasi Non-Steroid (NSAID) dan Inhibitor Pompa Proton(PPI). NSAID mengobati gejala rasa sakit dan peradangan pada tenggorokan. PPI bekerja dengan mengurangi jumlah asam yang dihasilkan dalam lambung. Asam lambung dihasilkan dari pompa proton yang ditemukan pada sel-sel yang melapisi lambung. Jika lapisan sel-sel ini rusak maka produksi asam di lambung meningkat dan disebut dengan tukak lambung. Lansoprazole bekerja dengan menghambat aksi pompa proton itu, dan ini mengurangi produksi asam lambung. Penurunan asam lambung berlebih dapat membantu meringankan gejala seperti sakit maag, kesulitan menelan, dan batuk terus-menerus.

2.2.1 Sifat Fisikokimia

Rumus molekul : C16H14 F3N3O2S

Namakimia : 2-[[[3-Metil-4-(2,2,2trifluoroetoksi) -2 -piridil]- metil] sulfinil] benzimidazol [103577-45-3]

Berat Molekul : 369,36 Suhu lebur : 1600


(7)

Pemerian : Serbuk putih sampai putih kecoklatan

Kelarutan : Mudah larut dalam dimetilformamida; praktis tidak larut dalam air (USP, 2008).

2.2.2 Farmakologi

Lansoprazol tidak stabil pada pH asam sehingga dibuat dalam bentuk granul salut enterik dengan pelepasan yang tertunda (delayed-release). Lansoprazol cepat diabsorpsi di sistemik setelah pemberian per oral, dengan konsentrasi plasma puncak dicapai setelah 1,5 jam. Bioavailabilitas lebih dari 80%, adanya makanan dapat menurunkan absorpsi.

2.2.3 Efek Samping

Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi, flatulence, dan diare. Dilaporkan pula terjadi myopati subakut, artralgia, sakit kepala, dan ruam kulit (Depkes, 2007).

2.2.4 Indikasi

Indikasi penghambat pompa proton sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik dari AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu (Depkes, 2007).

2.2.5 Sediaan

Dalam perdagangan, lansoprazol tersedia sebagai kapsul 15 mg dan 30 mg. Dengan nama dagang, Betalans, Compraz, Gastrolan, Inazol, Inhipraz, Lapraz, Laproton, Lasgan, Laz, Nufaprazol, Prolanz, Prosogan, Pysolan, Solans, Zolcer (Info Obat Indonesia, 2007).


(8)

2.3 Disolusi

Disolusi didefenisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Ansel, 1989).

Obat yang telah memenuhi persyaratan kekerasan, waktu hancur, keregasan, keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet atau kapsul. Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat kedalam larutan pada suatu medium. Disolusi menunjukkan jumlah bahan obat yang terlarut dalam waktu tertentu. Disolusi menggambarkan efek obat secara invitro, jika disolusi memenuhi syarat maka diharapkan obat akan memberikan khasiat secara invitro (Syukri, 2002).

2.3.1 Metode Uji Disolusi

Uji ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi. Dari jenis alat penggunaannya dari salah satu sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi yaitu:

a. Tipe keranjang

Alat terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat


(9)

mempertahankan suhu dalam wadah pada 37° ± 0,5°C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap.

b. Tipe dayung

Bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi spesifikasi. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Ditjen POM, 1995).

Alat untuk menguji karakteristik disolusi dan sediaan padat kapsul atau tablet terdiri dari :

1. Motor pengaduk dengan kecepatan yang dapat diubah.

2. Keranjang baja stainless berbentuk silinder atau dayung untuk ditempelkan ke ujung batang pengaduk.

3. Bejana dari gelas, atau bahan lain yang inert dan transparan dengan volume 1000 ml, bertutup sesuai dengan di tengah-tengahnya ada tempat untuk menempelkan pengaduk, dan ada lubang tempat masuk pada 3 tempat, dua untuk memindahkan contoh dan satu untuk menempatkan termometer.

4. Penangas air yang sesuai untuk menjaga temperatur pada media disolusi (seperti yang dicantumkan dalam masing-masing monografi)


(10)

ditempatkan dalam bejana dan biarkan mencapai temperatur 37°C ± 0,5°C.

Kemudian satu tablet atau satu kapsul yang diuji dicelupkan ke dalam bejana atau ditempatkan dalam keranjang dan pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada waktu-waktu tertentu contoh dari media diambil untuk analisis kimia dari bagian obat yang terlarut. Tablet atau kapsul harus memenuhi persyaratan seperti yang tertera dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ansel, 1989).

2.3.2 Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Laju Disolusi

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:

1. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat

Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan komleksasi serta ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi.

2. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai brikut: suspensi, kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara


(11)

teoritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama, karena diantara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul, tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur, dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju disolusi. Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama. Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi di antaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan dan porositas.

3. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji

Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saliran


(12)

cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat. Metode penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung pada metode uji yang digunakan (Syukri, 2002).

2.4 Spektrofotometri Ultraviolet 2.4.1 Teori Spekrofotometri Ultraviolet

Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suaktu interaksi antara radiasi elektomagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, daerah cahaya tampak 380-780 nm, daerah inframerah dekat 780-3000 nm, dan daerah inframerah 2,5-40 µm atau 4000-250 cm-1 (Ditjen POM, 1995).

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi dan diperoleh dengan alat penguat seperti prisma ataupun celah optis (Khopkar, 1990).

Secara eksperimental, sangat mudah untuk mengukur banyaknya radiasi yang diserap oleh suatu molekul sebagai fungsi frekuensi radiasi. Suatu grafik


(13)

yang menghubungkan antara banyaknya sinar yang diserap dengan frekuensi (panjang gelombang) sinar merupakan spectrum absorpsi. Transisi yang dibolehkan (allowed transition) untuk suatu molekul dengan struktur kimia yang berbeda adalah tidak sama sehingga spectrum absorpsinya juga berbeda. Dengan demikian, spectra dapat digunakan sebagai bahan informasi yang bermanfaat untuk analisis kualitatif. Banyaknya sinar yang diabsorpsi pada panjang gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi, sehingga spectrum absorpsi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Gandjar dan Rohman, 2007).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektofotometri ultraviolet:

a. Pemilihan panjang gelombang maksimum

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Untuk memperoleh panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.

b. Pembuatan kurva kalibrasi

Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi berupa garis lurus.


(14)

c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan

Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.2 Penggunaan Spektrofotometri Ultraviolet

Pada umumnya spektrofotometri ultraviolet dalam analisis senyawa organik digunakan untuk :

1. Menetukan jenis khromofor, ikatan rangkap yang terkonyugasi dan auksokhrom dari suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang serapan maksimum suatu senyawa.

3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).

Kegunaan spektrofotometri ultraviolet dalam analisis kualitatif dan analisis kuantitatif yaitu :

Dalam analisis kualitatif sangat terbatas, karena rentang daerah radiasi yang relatif sempit hanya dapat mengakomodasi sedikit sekali puncak absorpsi maksimum dan minimum, karena itu identifikasi senyawa yang tidak diketahui, tidak memungkinkan. Penggunaannya terbatas pada konfirmasi identitas dengan menggunakan parameter panjang gelombang puncak absorpsi maksimum(λmax) ,


(15)

yang spesifik untuk suatu senyawa yang dilarutkan dalam pelarut dan pH tertentu (Satiadarma, 2002).

Analisis kuantitatif secara spektrofotometri dapat dilakukan dengan metode regresi dan pendekatan.

1. Metode Regresi

Analisis kuantitatif dengan metode regresi yaitu dengan menggunakan persamaan garis regresi yang didasarkan pada harga serapan dan konsentrasi standar yang dibuat dalam beberapa konsentrasi, paling sedikit menggunakan 5 rentang konsentrasi yang meningkat yang dapat memberikan serapan yang linier, kemudian diplot menghasilkan suatu kurva yang disebut dengan kurva kalibrasi. Konsentrasi suatu sampel dapat dihitung berdasarkan kurva tersebut.

2. Metode Pendekatan

Analisis kuantitatif dengan cara ini dilakukan dengan membandingkan serapan standar yang konsentrasinya diketahui dengan serapan sampel. Konsentrasi sampel dapat dihitung melalui perhitungan C=AS.Cb/Ab dimana AS=

serapan sampel, Ab= serapan standar, Cb= konsentrasi standar, dan C= konsentrasi

sampel (Holme dan Peck, 1983).

Validasi adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu pada prosedur penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Parameter analisis yang ditentukan pada validasi adalah akurasi, presisi, kespesifikan, limit deteksi, kelinieran, dan rentang (Harmita, 2004).


(16)

Menurut Munson (1991), alat utama spektrofotometri terdiri dari sumber cahaya, perangkat pemilah panjang gelombang, detektor, perangkat baca:

1. Sumber cahaya

Dalam spektrofotometer serapan UV-Vis terdapat tiga jenis utama sumber cahaya: lampu peluah, lampu benang pijar dan laser bertala. Lampu luah hydrogen memancarkan radiasi malar dari 200 sampai 360 nm sehingga sebagai sumber UV. lampu benang pijar dipakai pada sumber spectrum daerah sinar tampak. Laser adalah penguatan cahaya dengan pancaran atau radiasi terangsang. 2. Perangkat pemilah panjang gelombang

Sebagai ditunjukkan namanya, penapis berfungsi memilah jangka panjang gelombang tertentu dengan cara menapiskan cahaya yang tidak dikehendaki. Ada dua jenis utama penapis penimbrung dan penapis serapan. Penapis penimbrung terdiri dari suatu lapisan tipis medium dielektrik bening yang tebalnya dikendalikan dengan cermat.

3. Detektor

Pada awal spektroskopi, tengara optik yang berasal dari terokan sering dievaluasi dengan mengenakannya pada lempeng fotografik, lalu lempeng dicuci. Analisis kualitatif dilakukan dengan menebarkan tengara (biasanya dengan prisma) sehingga berbagai panjang gelombang cahaya menabrak lempeng fotografik pada tempat yang berbeda. Analisis kuantitatif berdasarkan pada kenyataan bahwa kegelapan noda pada lempeng sebanding dengan intensitas cahaya yang mengenai lempeng pada noda tersebut. Metode penyidikan spektroskopi serapan UV-Vis seperti ini sekarang sudah kuno. Sekarang detektor


(17)

yang paling umum adalah transduser optik yang mengalih-ragamkan tengara cahaya manjadi tengara listrik yang dapat dipantau dengan mudah oleh beragam perangkat baca.

4. Perangkat baca

Perangkat baca adalah sebuah peralatan listrik yang menampilkan arus dari detektor dalam satuan yang bertalian (misalnya daya serap dan atau persentase transmitans pada spektrofotometer UV-Vis). Perangkat baca yang paling lugas adalah meter analog, yang berbijak pada galvanometer. Arus besar dari detektor menghasilkan penyimpangan yang besar dari jarum meter, sehingga intensitas cahaya dapat dikuantitasi (Munson, 1991).


(18)

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat Pengujian

Uji disolusi pada kapsul Lansoprazol pengujiannya dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan yang bertempat di jalan Willem Iskandar Pasar V Barat NO.2 Medan.

3.2 Uji Disolusi Pada Kapsul Lansoprazol

Ruang lingkup : Metode ini digunakan untuk penetapan zat terlarut pada kapsul Lansoprazol.

Pustaka : Farmakope Indonesia Suplemen I Edisi IV. 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan adalah Dissolution Tester Hanson SR-8 Plus, Spektrofotometer Shimadzu UV Prose 1800, Timbangan Analitik, Ultrasonic cleaner Bransonic B-2000, Pipet Volum, Bola Karet, Labu Tentukur, Batang Pengaduk, Beaker Glass, Gelas Ukur, Pipet Tetes.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah Kapsul Lansoprazol, Aquadest, HCL 0,1N, Natrium dihydrogen Phospat, NaOH, Sodium Dodesil.

3.2.3 Cara Penetapan

Menggunakan Spektofotometri Ultraviolet.


(19)

3.3.1 Pembuatan Pereaksi

3.3.1.1 Pembuatan Pereaksi HCL 0,1N

Dipipet 29,75 ml HCL dan masukkan ke dalam gelas ukur . Tambahkan Aquadest sebanyak 3500 ml .

3.3.1.2 Pembuatan Larutan Dapar

Larutkan 65,4 gr Natrium dihydrogen Phospat ; 28,2 gr NaOH ; 12 gr Sodium Dodesil dibuat dalam air dan encerkan hingga 4000 ml .

3.3.2 Prosedur Kerja

Kapsul Lansoprazol dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap asam dan tahap basa. Cara pengujiannya adalah sebagai berikut :

Tahap Asam

HCL 0,1 N dimasukkan ke dalam alat disolusi. Masing-masing 6 labu disolusi dimasukkan 500 ml pereaksi HCL 0,1 N. Dipasang dayung dan diatur suhunya hingga 37,50C. Kemudian masukkan kapsul Lansoprazol ke dalam masing-masing labu, dan kecepatan rotasi 75 rpm dan waktu selama 60 menit. Setelah 60 menit, larutan masing-masing dipipet 25 ml, dan masing-masing dipipet 4 ml kedalam labu 10 ml dan diencerkan dengan media dan diukur di spektrofotometer UV pada λ 306 nm.

Tahap Basa

Pada sisa larutan uji tahap asam 475 ml di tiap-tiap labu disolusi, dimasukkan larutan dapar sebanyak 425 ml, sehingga terdapat 900 ml larutan dalam labu disolusi. Dan alat juga dijalankan selama 60 menit dengan kecepatan rotasi 75 rpm, setelah 60 menit larutan disampling. Kemudian masing-masing


(20)

dipipet 5 ml kedalam labu 10 ml dan diencerkan dengan media campuran (dapar + asam) dan diukur pada spektrofotometer UV pada λ 286 nm dan 650 nm.

3.4 Persyaratan

Menurut Farmakope Indonesia Suplemen I Edisi IV rentang kadar zat aktif terlarut yang diperbolehkan pada kapsul Lansoprazol tidak lebih dari 10,0% dari jumlah yang tertera pada etiket untuk asam . Dan tidak kurang dari 80,0% dari jumlah yang tertera pada etiket untuk basa.

Tabel 1 Penerimaan Untuk Asam Tingkat

Pengujian

Jumlah yang diuji

Kriteria

A1 6

Tidak satupun jumlah zat aktif yang terlarut melebihi 10%

A2 6

Rata-rata jumlah zat aktif yang terlarut dari 12 unit sediaan (A1+A2) tidak lebih dari 10%, dan tidak satu unit sediaan pun dari jumlah zat aktif yang terlarut lebih dari 25%

A3 12

Rata-rata jumlah zat aktif yang terlarut dari 24 unit sediaan (A1+A2+A3) tidak lebih dari 10%, dan tidak satupun dari jumlah zat aktif terlarut lebih dari 25%


(21)

Tingkat Pengujian

Jumlah yang diuji

Kriteria

B1 6 Tiap unit tidak kurang dari Q+5%

B2 6

Rata-rata dari 12 unit sediaan (B1+B2) sama atau lebih besar dari Q, dan tidak satu unit sediaanpun yang kurang dari Q-15%

B3 12

Rata-rata dari 24 unit sediaan (B1+B2+B3) sama atau lebih dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan kurang dari Q-15% dan tidak satu unit pun yang kurang dari Q-25%

(Ditjen POM, 1995).


(22)

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Pada pengujian uji disolusi pada kapsul Lansoprazol, diketahui bahwa persen zat aktif terlarut(Dx) pada tahap asam 6,98%, 7,32%, 6,52%, 6,69%, 7,08%, 7,15%. Dan persen zat aktif terlarut(Dx) pada tahap basa 164,62%, 172,01%, 172,05%, 165,27%, 171,48%, 170,44%.

Perhitungan dan kurva serapan hasil pengujian dari Spektrofotometri UV dapat dilihat pada lampiran .

4.2 Pembahasan

Menurut Farmakope Indonesia Suplemen I Edisi IV rentang kadar zat aktif terlarut yang diperbolehkan pada kapsul Lansoprazol tidak lebih dari 10,0% dari jumlah yang tertera pada etiket untuk asam . Dan tidak kurang dari 80,0% dari jumlah yang tertera pada etiket untuk basa.

Dari hasil pengujian uji disolusi pada kapsul Lansoprazol, diketahui bahwa persen zat aktif terlarut(Dx) pada tahap asam 6,98%, 7,32%, 6,52%, 6,69%, 7,08%, 7,15%. Dan persen zat aktif terlarut(Dx) pada tahap basa 164,62%, 172,01%, 172,05%, 165,27%, 171,48%, 170,44%. Ini berarti kapsul Lansoprazol memenuhi persyaratan karena kadar zat aktif terlarut untuk asam kurang atau tidak lebih besar dari 10,0%, dan kadar zat aktif terlarut untuk basa lebih atau tidak kurang dari 80,0%.

Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam monografi pada sediaan tablet atau kapsul kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah atau tidak memerlukan uji


(23)

disolusi. Ada tiga kegunaan uji disolusi yaitu, menjamin tablet seragam dengan batch, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan uji disolusi diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru.

Dalam monografi sediaan tablet-kapsul pada Farmakope Indonesia Edisi IV, mencantumkan persyaratan uji disolusi dengan persentase tertentu suatu zat aktif yang dikandung sediaan padat harus larut dalam waktu tertentu untuk memberikan efek terapi.


(24)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengujian uji disolusi pada kapsul Lansoprazol, diketahui bahwa persen zat aktif terlarut(Dx) pada tahap asam 6,98%, 7,32%, 6,52%, 6,69%, 7,08%, 7,15%. Dan persen zat aktif terlarut(Dx) pada tahap basa 164,62%, 172,01%, 172,05%, 165,27%, 171,48%, 170,44%. Kapsul Lansoprazol memenuhi persyaratan, karena menurut Farmakope Indonesia Suplemen I Edisi IV rentang kadar zat aktif terlarut yang diperbolehkan tidak lebih dari 10,0% dari jumlah yang tertera pada etiket untuk asam . Dan tidak kurang dari 80,0% dari jumlah yang tertera pada etiket untuk basa.

5.2 Saran

Sebaiknya dilakukan pengujian pada semua obat yang bertujuan agar sediaan yang beredar dipasaran benar-benar memenuhi persyaratan. Dan tidak hanya kadarnya saja yang diuji diharapkan dari sifat fisika dan kimianya juga harus diuji agar sediaan itu memang benar-benar aman bila digunakan.


(25)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., (1984). Ilmu Farmasi. Jakarta : Ghalia Indonesia. Hal. 59

Ansel, Howard C., (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta :Universitas Indonesia Press. Hal. 118-142, 217-218, 235, 259

Dachriyanus.,(2004).Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektrofotometri. Padang : Andalas University Press. Hal. 1

Departemen Farmakologi Dan Terapeutik., (2007). Farmakologi Dan Terapi. Edisi V. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 522-524

Ditjen POM., (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 2, 1022-1029, 1083-1089

Ditjen POM., (2009). Farmakope Indonesia Suplemen I. Edisi IV. Jakarta :Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1440-1441

Gandjar, I.G. dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 246

Harmita., (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode Dan Cara Perhitungannya Masalah Ilmu Kefarmasian . Volume I, No.3. Hal. 117-128

Holme, D.J., and Peck, H., (1983). Analytical Biochemistry. London : Longman Inc. Page. 40

Info Obat Indonesia., (2007). Info Obat Indonesia. Edisi I Juni 2007. Jakarta :Eranti Agratama. Hal. 387-391


(26)

Khopkar, S.M., (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerjemah A.Saptoraharjo. Cetakan Pertama. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 216-217 Lachman, Leon., (1994). Teori Dan Praktek Farmasi Industri II. Jakarta :

Universitas Indonesia Press. Hal. 659-660

Munson, J.W., (1991). Analisis Farmasi Metode Modern. Penerjemah Harjana Parwa B. Surabaya : Airlangga University Press. Hal.334

Satiadarma, K., (2004). Azas Pengembangan Prosedur Analisis. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Surabaya : Airlangga University Press. Hal. 378-388 USP Pharmacopeia., (2008). The National Formulary 31st Edition.The United


(27)

LAMPIRAN 1 PERHITUNGAN

Penimbangan baku untuk asam : Berat Kertas + Zat = 13,060 mg Berat Kertas + Sisa = 9,868 mg _ Berat Zat = 3,192 mg

Penimbangan baku untuk basa :

Berat Kertas + Zat = 12,327 mg Berat Kertas + Sisa = 9,897 mg _ Berat Zat = 2,430 mg

FK = V

Ke Kb Ab Bb Fb Fu × × ×

% Zat Aktif Terlarut (Dx) = FK x Au Keterangan :

FK = Faktor perkalian V = Volume media

Fu = Faktor pengenceran uji Fb = Faktor pengenceran baku Bb = Berat baku

Ab = Absorbansi baku Kb = Kadar baku Ke = Kadar etiket Au = Absorbansi uji


(28)

Asam :

FK = 500 x

20 % 100 49 , 0 192 , 3 125 1 × × = 130,29%

% Zat Aktif Terlarut (Dx) :

1. 130,29% x 0,0536 = 6,98% 2. 130,29% x 0,0562 = 7,32% 3. 130,29% x 0,0501 = 6,52% 4. 130,29% x 0,0514 = 6,69% 5. 130,29% x 0,0544 = 7,08% 6. 130,29% x 0,0549 = 7,15% Basa :

FK = 900 x

20 % 100 447 , 0 43 , 2 200 3 , 3 × × = 403,6%

% Zat Aktif Terlarut (Dx) :

1. 403,6% x 0,4079 = 164,62% 2. 403,6% x 0,4262 = 172,01% 3. 403,6% x 0,4263 = 172,05% 4. 403,6% x 0,4095 = 165,27% 5. 403,6% x 0,4249 = 171,48% 6. 403,6% x 0,4223 = 170,44%


(29)

(30)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., (1984). Ilmu Farmasi. Jakarta : Ghalia Indonesia. Hal. 59

Ansel, Howard C., (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta :Universitas Indonesia Press. Hal. 118-142, 217-218, 235, 259

Dachriyanus.,(2004).Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektrofotometri. Padang : Andalas University Press. Hal. 1

Departemen Farmakologi Dan Terapeutik., (2007). Farmakologi Dan Terapi. Edisi V. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 522-524

Ditjen POM., (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 2, 1022-1029, 1083-1089

Ditjen POM., (2009). Farmakope Indonesia Suplemen I. Edisi IV. Jakarta :Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1440-1441

Gandjar, I.G. dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 246

Harmita., (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode Dan Cara Perhitungannya Masalah Ilmu Kefarmasian . Volume I, No.3. Hal. 117-128

Holme, D.J., and Peck, H., (1983). Analytical Biochemistry. London : Longman Inc. Page. 40

Info Obat Indonesia., (2007). Info Obat Indonesia. Edisi I Juni 2007. Jakarta :Eranti Agratama. Hal. 387-391


(2)

Khopkar, S.M., (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerjemah A.Saptoraharjo. Cetakan Pertama. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 216-217 Lachman, Leon., (1994). Teori Dan Praktek Farmasi Industri II. Jakarta :

Universitas Indonesia Press. Hal. 659-660

Munson, J.W., (1991). Analisis Farmasi Metode Modern. Penerjemah Harjana Parwa B. Surabaya : Airlangga University Press. Hal.334

Satiadarma, K., (2004). Azas Pengembangan Prosedur Analisis. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Surabaya : Airlangga University Press. Hal. 378-388 USP Pharmacopeia., (2008). The National Formulary 31st Edition.The United


(3)

LAMPIRAN 1

PERHITUNGAN

Penimbangan baku untuk asam : Berat Kertas + Zat = 13,060 mg Berat Kertas + Sisa = 9,868 mg _ Berat Zat = 3,192 mg

Penimbangan baku untuk basa :

Berat Kertas + Zat = 12,327 mg Berat Kertas + Sisa = 9,897 mg _ Berat Zat = 2,430 mg

FK = V

Ke Kb Ab Bb Fb Fu × × ×

% Zat Aktif Terlarut (Dx) = FK x Au Keterangan :

FK = Faktor perkalian V = Volume media

Fu = Faktor pengenceran uji Fb = Faktor pengenceran baku Bb = Berat baku

Ab = Absorbansi baku Kb = Kadar baku Ke = Kadar etiket Au = Absorbansi uji


(4)

Asam :

FK = 500 x

20 % 100 49 , 0 192 , 3 125 1 × × = 130,29%

% Zat Aktif Terlarut (Dx) :

1. 130,29% x 0,0536 = 6,98% 2. 130,29% x 0,0562 = 7,32% 3. 130,29% x 0,0501 = 6,52% 4. 130,29% x 0,0514 = 6,69% 5. 130,29% x 0,0544 = 7,08% 6. 130,29% x 0,0549 = 7,15%

Basa :

FK = 900 x

20 % 100 447 , 0 43 , 2 200 3 , 3 × × = 403,6%

% Zat Aktif Terlarut (Dx) :

1. 403,6% x 0,4079 = 164,62% 2. 403,6% x 0,4262 = 172,01% 3. 403,6% x 0,4263 = 172,05% 4. 403,6% x 0,4095 = 165,27% 5. 403,6% x 0,4249 = 171,48% 6. 403,6% x 0,4223 = 170,44%


(5)

(6)