TATA CARA PELAPORAN RABIES VAKSINASI RABIES DAN MANFAATNYA TERHADAP ANJING, KUCING DAN KERA.

- Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah divaksinasi. - Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak betuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan. - Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa. - Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera nan hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies. - Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang- kurangnya 1 meter. V. TINDAKAN TERHADAP ORANG YANG DIGIGIT ATAU DIJILAT OLEH HEWAN YANG TERSANGKA ATAU MENDERITA RABIES. 1. Apabila terdapat infonnasi ada orang yang digigit anjing atan dijilat oleh hewan yang tersangka rabies harus segera ke Puskesmas terdekat guna mendapatkan perawatan luka akibat gigitan. 2. Apabila dianggap perlu orang yang digigit atau dijilat hewan yang tersangka rabies harus segera dikirim ke Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan anti rabies. 3. Apabila hewan yang dimkasud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis maupun laboratories dari Dinas Peternakan, maka orang digigit atau dijilat harus segera mendapat pengobatan khusus di unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan anti rabies. 4. Apabila hewan yang menggigit itu tidak dapat ditangkap, atau tidak dapat diobservasi atau spesimen tidak dapat diperiksa karena rusak, maka orang digigit atan dijilat tersebut harus segera dikirim ke unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas anti rabies.

VI. TINDAKAN TERHADAP HEWAN TERSANGKA ATAU MENDERITA RABIES

Apabila ada informasi hewan tersangka rabies atau menderita rabies, maka Dinas Peternakan harus melakukan penangkapan atau membunuh hewan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila setelah dilakukan observasi selama lebih kurang dua minggu ternyata hewan itu masih hidup, maka diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah divaksinasi, atau dapat dimusnahkan apabila tidak ada pemilikinya.

VII. TATA CARA PELAPORAN RABIES

1. Apabila ada persangkaan rabies pada hewan, Kepala Desa harus segera melaporkan kepada Caroat dan petugas Peternakan di kecamatan. 2. a. Camat setelah menerima laporan dari kepala desa tentang adanya persangkaan rabies pada hewan harus segera melaporkan kepada BupatiWalikota madya Daerah Tingkat II. b. Petugas peternakan di Kecamatan setelah menerima laporan dari kepala desa dan pimpinan unit kesehatan setempat tentang adanya persangkaan rabies harus segera melaporkan kepada kepala Dinas Peternakan KabuaptenKotamadya Daerah Tingkat II. 3. Kepala Dinas Peternakan di KabupatenKotamadya setelah menerima laporan harus segera melaporkan kepada BupatiWalikota madya. ©2003 Digitized by USU digital library 3 4. Dinas Peternakan setelah melakukan pemeriksaan klinis atau menerima hasil pemeriksaan laboratorium dari spesemen yang berasal dari hewan tersangka rabies harus segera melaporkan kepada unit Kesehatan yang melakukan perawatan penderita. 5. Instansi-instansi yang dimaksud dalam angka 3 setelah laporan untuk selanjutnya melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 6. Pimpinan Unit Kesehatan yang merawat orang yang digigit atau dijilat hewan yang tersangka rabies harus segera melaporkan kepada Dinas Peternakan setempat. 7. Pimpinan Unit Kesehatan yang dimaksud selanjutnya melaporkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

VIII. VAKSINASI RABIES DAN MANFAATNYA TERHADAP ANJING, KUCING DAN KERA.

Vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879 dibuat pertama kali oleh Victor Galtier. Selanjutnya pada tahun 1884 vaksin tersebut dikembangkan oleh Louis Pastuer membuat vaksin rabies menggunakan virus yang berasal dari sumsum tulang belakang anjing yang terkena rabies kemudian dilintaskan pada otak kelinci dan diatenuasikan dengan pemberian KOH. Pada tahun 1993 Kliger dan Bernkopf berhasil membiakan virus rabies pada telur ayam bertunas. Cara pembiakan virus tersebut dipakai oleh Koprowski dan Cox untuk membuat vaksin rabies aktif strain flury HEP pada tahun 1955. Dengan berkembangnya cara pengembangbiakan virus dengan biakan sel, Naguchi pada tahun 1913 dan Levaditi pada tahun 1914 berhasil membiakan virus rabies secara in vitro pada biakan gel. Pada tahun 1958 Kissling membiakan virus rabies CVS pada biakan sel ginjal anak hamster. Selanjutnya pada tahun 1963 Kissling dan Reese berhasil membuat vaksin rabies inaktif menggunakan virus rabies ymlg dibiakan pada sel ginjal anak hanlster BHK. Dengan metoda pembuatan vaksin dengan biakan sel ini dapat dihasilkan titer virus yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biakan virus memakai otak hewan yang ditulari virus rabies. Disamping itu metode biakan sel dapat menghasilkan virus dengan jumlah yang lebih banyak untuk produksi vaksin rabies dengan skala besar. Pengendalian penyakit rabies dapat dilakukan antara lain dengan jalan mengusahakan agar hewan yang peka terhadap serangan rabies kebal terhadap serangan virus rabies. Oleh karena itu sebagian besar populasi hewan harus dikebalkan melalui vaksinasi. Untuk mencapai keberhasilan vaksinasi dibutuhkan vaksin yang berkualitas baik, tersedia dalam jumlah cukup dan tepat waktu pendistribusiannya.

IX. PENGEMBANGAN VAKSIN RABIES