PENGARUH PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TI

PENGARUH PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA (HUKUM
DAN PERUBAHAN SOSIAL)
Hukum mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. TPPU
merupakan bentuk kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan yang dilakukan oleh kelompokkelompok kejahatan terorgansir atau orang pribadi yang mempunyai kekuasaan dalam
pemerintah. Kegiatan pencucian uang adalah upaya mengaburkan asal-usul uang atau harta
kekayaan hasil kejahatan, dengan cara mencampurkannya dengan kegiatan-kegiatan yang sah,
sehingga uang tersebut seoalah-olah adalah uang sah dan legal.
A.

PENDAHULUAN

1.

LATAR BELAKANG

Manusia secara alamiah adalah mahluk yang bebas, setara dan merdeka, tidak ada seorangpun
manusia lain yang dapat menghilangkan hak sesorang tanpa persetujuan orang yang
bersangkutan, kecuali melalui tangan-tangan kekuasaan. Dengan kebebasan yang dimiliki
seseorang yang bersangkutan dapat berkomunikasi dan bergabung dengan orang lain guna
membentuk suatu komunitas. Oleh karena nilai kebebasan yang begitu tinggi didambakan oleh

masyarakat, sesungguhnya tatkala kebebasan itu dibatasi oleh pihak lain maka akan timbul
perasaan memberontak ingin melepaskan diri dari pembatasan yang dialaminya.
Sebagai mahkluk social kecenderungan manusia adalah hidup dalam suatu kelompok atau
komunitas yang biasa disebut sebagai masyarakat. Secara naluriah manusia juga ingin berkuasa
atas manusia lainnya yang akan menimbulkan pergesekan-pergesekan atau bahkan konflik yang
biasa juga dikenal dengan istilah konflik social.
Makin maju peradaban yang dibangun manusia, maka akan semakin komplek hukum yang
mengatur tentang peradaban yang dibangun tersebut, hal ini dikarenakan segala aspek kehidupan
manusia akan dikontrol oleh perangkat yang namanya hukum tersebut, sebagai contoh berapa
banyak Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah kita dalam usaha menata kehidupan yang
baik dalam berbangsa dan bernegara.
Masyarakat manusia, betapapun sederhananya, selalu memerlukan penataan dengan pengaturan
perilaku di dalam masyarakat, yang kepatuhan dan penegakannya tidak dapat sepenuhnya
diserahkan kepada kemauan bebas masing-masing (Ibi societas ibi ius). Karena itu di dalam
masyarakat dengan sendirinya timbul system pengendalian sosial (Social control) terhadap
perilaku warga masyarakatnya.[1]
Menurut pendapat diatas sangat jelas bahwa sekecil apapun komunitas suatu manusia yang hidup
bermasyarakat diperlukan hukum untuk mengatur perilaku masyarakat tersebut, karena sifat
dasar manusia yang tidak bisa memerlukan suatu aturan yang jelas untuk membatasi kehendak
bebas yang dimiliki setiap manusia itu sendiri. Sehingga dalam menata kehidupan bermasyarakat


tersebut hukum sangat diperlukan dikarenakan untuk mencapai sebuah keteraturan yang hakiki
diperlukan adanya suatu peraturan untuk mengekang sifat-sifat dasar manusia tersebut.
Dari Kehendak untuk berlaku baik kepada sesama manusia bermuara pada suatu pergaulan
antara pribadi yang berdasarkan prinsip-prinsip nasional dan moral tetapi kehendak yang sama
mendorong orang-orang juga untuk membuat suatu aturan hidup bersama yang sesuai dengan
prinsip-prinsip moral tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan membentuk suatu system normanorma yang harus ditaati orang-orang yang termasuk suatu masyarakat tertentu.
Kehendak untuk mengatur hidup menghasilkan tiga macam norma, adapun ketiga macam norma
tersebut adalah:[2]
1. Norma moral yang mewajibkan tiap-tiap orang secara batiniah.
2. Norma-norma masyarakat, atau norma-norma sopan santun yang mengatur pergaulan
secara umum
3. Norma-norma yang mengatur hidup bersama secara umum dengan menentukan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban. Inilah yang selanjutnya disebut norma hukum.
Hukum memegang peranan yang sangat penting dalam mengatur dan menjaga stabilitas
kehidupan sosial masyarakat, karena dapat diyakini bahwa tanpa adanya suatu pengaturan yang
jelas dan tegas niscaya maka akan terjadi kekacauan yang berkepanjangan dalam suatu
masyarakat tersebut, disinilah keberadaan hukum itu diperlukan untuk meminimalisir potensipotensi konflik yang mungkin saja timbul setiap saat karena terjadinya benturan-benturan
kepentingan antara satu sama lainnya.
Hukum yang baik selain harus tepat (secara formal) sehingga pasti dan adil (dari segi sisi), tegas

dan netral sehingga dapat mewujudkan rasa keadilan, harmoni, dan kebaikan umum dalam
masyarakat yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Hukum yang baik adalah hukum yang benar,
tegas, netral dan adil sehingga memiliki keabsahan (validity) mengikat, mewajibkan dan dapat
dipaksakan. Penegakan hukum atau yang lazim kita kenal dengan istilah law enforcement dalam
masyarakat cenderung akan lebih mudah dan dapat diterima jika aturan hukum yang akan
diterapkan tersebut dapat dianggap sebagai hukum yang baik.
Hukum yang baik harus mampu menjadi alat rekayasa sosial yang mampu menciptakan atau
merubah dari keadaan yang tidak baik atau kurang baik menjadi keadaan yang lebih baik,
sehingga masyarakat semakin hari akan semakin merasakan manfaat adanya hukum. Sehingga
apa yang dimaksud dengan istilah law is a tool of social engineering tidak hanya sekedar sebuah
teori sebagaimana yang dituliskan oleh Roscoe Pound.
Sebagaimana dikutip oleh Ahcmad Ali, Hart membedakan dua tipe hukum, yaitu tipe aturan
primer dan tipe aturan sekunder. Aturan primer menekankan kewajiban-kewajiban, dimana
melalui aturan primer inilah manusia diwajibkan untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak
melakukan sesuatu. Ide dasarnya adalah beberapa norma, berkaitan langsung agar orang
bertingkah laku sesuai suatu cara primer, dalam pengertian bahwa mereka ditentukan bagaimana

seharusnya bertingkah laku tertentu dan bagaimana seharusnya mereka tidak bertingkah laku
tertentu.[3]
Hukum yang baik mengkondisikan pembuatan dan pelaksanaan peraturan-peraturan hukum

sesuai dengan martabat manusia. Dengan mentaati hukum yang baik, kebebasan seseorang itu
tidak hilang dan karena itu martabatnya sebagai manusia tidak rusak. Sebaliknya, ketaatannya
buta pada kekuasaan yang korup. Dengan mentaati hukum yang baik, seseorang mewujudkan
keluhuran martabatnya, karena ia memahami apa yang ditaatinya dan dengan memilih mentaati
hukum yang baik ia bebas.[4]
Akan sangat aneh rasanya jika dalam suatu kehidupan kelompok masyarakat yang saling
berinteraksi antara satu sama lainnya, namun tidak ada aturan-aturan atau standar nilai yang
mengatur bagaimana masing-masing individu sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat
tersebut saling berinteraksi.
Dapat kita bayangkan bagaimana kacaunya sebuah tatanan kehidupan yang kita bangun
seandainya tidak ada aturan atau standar nilai yang mengatur pola interaksi yang kita jalani,
karena tidak aturan yang mengatur mana perbuatan yang boleh dilakukan dan mana perbuatan
yang tidak boleh atau dilarang dilakukan. Karena tujuan dari pelarangan suatu perbuatan
dilakukan adalah untuk menjaga keutuhan atau stabilitas suatu kelompok masyarakat dalam
melakukan interaksi social antara satu sama lainnya.
Dalam kehidupan modern saat ini kelompok masyarakat dapat kita sebut sebuah sebuah Negara,
sedangkan aturan-aturan atau standar nilai yang mengatur bagaimana setiap anggota kelompok
saling berinteraksi antara satu sama lainnya ini dapat kita sebut sebagai hukum. Jadi keberadaan
hukum tidak dapat dipisahkan dari adanya masyarakat atau Negara.
Maka dari itu pemerintah berusaha untuk menciptakan perubahan social dalam masyarakat

adalah sebagai upaya untuk menjaga stabilitas keadaan, baik stabilitas ekonomi maupun
stabilitas politik, melalui penciptaan aturan-aturan hukum yang dapat menjangkau apesk-aspek
kehidupan masyarakat. Karena stabilitas suatu Negara akan berbanding lurus dengan kemajuan
bangsa tersebut, baik dari segi ekonomi, aspek hukum, kebudayaan maupun dari segi social
politik.
Kita dapat melihat langsung bagaimana Negara-negara yang dilanda konflik tidak dapat
melakukan pembangunan, disebabkan tidak adanya jaminan stabilitas keadaan Negara tersebut,
contoh Suryah, Libya, Somalia dan Negara-negara di benua Afrika pada umumnya.
Sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh pemerintah selain melakukan pembangunan
infrastruktur, pembangunan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, pemerintah juga
melakukan pembangunan dibidang hukum dengan tujuan agar supaya terciptanya ketenteraman
kehidupan dengan diaturnya mengenai hak dan kewajiban masing-masing.
Fungsi hukum moderen yang tidak sekedar merekam kembali pola-pola tingkah laku yang
terdapat dalam masyarakat, melainkan diusahakan untuk menjadi sarana menyalurkan kebijakan-

kebijakan yang demikian berarti menciptakan keadaan-keadaan yang baru atau merubah sesuatu
yang sudah ada.[5]
Keseriusan pemerintah melakukan pembangunan dibidang hukum sebagai alat untuk melakukan
rekayasa social salah satunya dapat kita lihat melalui dibuatnya Undang-Undang tentang
pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Praktek pencucian uang sebenarnya bukan barang

baru dalam dunia hukum, namun di Indonesia hal ini baru dianggap sebagai sebuah kejahatan
yang serius adalah dengan dibuatnya undang-undang pada tahun 2002.
Upaya pemerintah dalam melakukan pemberantasan tindak pidana pencucian uang tidak hanya
sebatas dibuatnya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
namun pemerintah melakukan perbaikan terhadap Undang-Undang tersebut melalui perubahan
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Namun perubahan melalui Undang-Undang No. 25
Tahun 2003 tersebut tidak bertahan lama, karena upaya pemberantasan tindak pidana pencucian
uang semakin serius dilakukan oleh pemerintah dengan cara membuat dasar hukum yang baru
menggantikan hukum yang lama yaitu membuat Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2.

PERMASALAHAN

Selanjutnya dari uraian di atas, penulis mencoba menganalisis pengaruh diberlakukannya
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang di Indonesia, yang diharapkan mampu untuk menjadi salah satu alat rekayasa
social atau yang biasa disebut dengan istilah law is a tool of social engineering. Untuk itu
penulis membuat permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan peranan hukum dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia sebagai berikut :

1.
Bagaimanakah implementasi ketentuan hukum dalam Pasal 69 Undang-Undang No. 8
Tahun 2010 Tentang Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang di Indonesia?
2.
Bagaimanakah Dampak berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang UndangUndang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia?

B.

PEMBAHASAN

Perkembangan zaman selalu berjalan beriringan dengan perkembangan dunia ilmu pengetahuan
yang didukung dengan lahirnya generasi-generasi penerus yang mampu memperbaharui hasil
temuan yang dilakukan oleh inavator-inovator sebelumnya. Demikian juga dengan dunia
kejahatan atau dunia criminal dengan berbagai modus operandinya mampu mengikuti
perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan masyarakat pada umumnya, bahkan tidak
jarang dunia kejahatan menjadi pioneer dari berbagai ilmu pengetahuan, namun tidak demikian
halnya dengan dunia hukum yang diharapkan menjadi pengatur stabilitas dalam system
kehidupan bermasyarakat. Dunia hukum selalu tertinggal mengikuti perkembangan kehidupan


masyarakat, hal ini menyebabkan banyak pola-pola atau modus operandi dunia kejahatan yang
tidak mampu dijangkau oleh aturan-aturan hukum yang telah ada.
Karena banyaknya sorotan dan tekanan dunia internasional kepada Indonesia, yang pada
akhirnya memaksa Indonesia untuk membuat undang-undang tentang tindak pidana pencucian
uang. Undang-Undang ini diharapkan mampu untuk menghambat laju peningkatan kejahatan
yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar.
Berdasarkan Undang-Undang yang ada, Tindak Pidana Pencucian Uang baru mendapat
pengakuan atau pengaturan dalam system hukum pidana Indonesia melalui Undang-Undang No.
15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, walaupun Undang-Undang tersebut
tidak bertahan lama, karena tidak lama setelah diundangkan oleh Pemerintah langsung dilakukan
perubahan terhadap Undang-Undang tersebut melalaui Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
1.

KERANGKA TEORI

Pengertian-pengertian hukum itu ada yang diangkat dari pengertian sehari-hari dan ada pula yang
diciptakan secara khusus sebagai suatu pengertian teknik. Jual-beli, penganiayaan, ganti-rugi dan
yang semacam itu, merupakan pengertian-pengertian hukum yang diangkat dari pengertian
sehari-hari.[6]
Hukum berfungsi mengatur hubungan pergaulan antar manusia. Namun, tidak semua perbuatan

manusia itu memperoleh pengaturannya. Hanya perbuatan atau tingkah laku yang
diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang menjadi perhatiannya.[7]
Secara umum tujuan diciptakannya hukum adalah untuk memelihara ketertiban atau
ketenteraman dalam masyarakat, karena dapat kita bayangkan bagaimana kacaunya kehidupan
jika tidak ada suatu aturan yang berlaku secara umum yang mampu mengikat antar anggota
kelompok masyarakat untuk mentaati aturan tersebut dengan tujuan agar terciptanya ketertiban.
Namun dalam penerapannya di masyarakat, hukum sering kali tidak sesuai dengan apa yang
dicita-citakan tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal yang dapat menjadi factor-faktor
penghambat dari keberlakuan hukum itu sendiri, sehingga manfaat dari keberadaan hukum itu
sendiri tidak dapat dirasakan oleh masyarakat pada umumnya.
Factor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat yaitu:[8]
1. Kaidah hukum/peraturan itu sendiri;
2. Petugas/penegak hukum;
3. Sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum;
4. Kesadaran masyarakat.
Kaidah hukum

Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tetang apa yang seyogyanya atau seharusnya
dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan
tentang bagaimana seharusnya atau seyogyanya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman

kaidah hukum bersifat umum dan pasif.[9]
Sebagian orang menyebut hal ini dengan istilah subtansi hukum, namun penulis menyebutnya
dengan istilah aturan hukum. Materi dari suatu aturan hukum yang berupa produk peraturan
perundangan merupakan faktor yang cukup penting untuk diperhatikan dalam penegakkan
hukum, tanpa materi atau aturan hukum yang baik dari suatu peraturan perundangan rasanya
sangat sulit bagi aparatur penegak hukum untuk dapat menegakkan peraturan perundangan
secara baik pula, dan hal tersebut sangat ditentukan atau dipengaruhi ketika proses penyusunan
suatu peraturan perundangan dilakukan.
Berbicara mengenai para pembuat undang-undang atau legislator kita yang ada di senayan, sudah
barang tentu kita membicarakan kualitas pemikiran dari para wakil rakyat yang duduk di
parlemen tersebut. Jika untuk melihat kualitas dari para legislator yang ada disenayan tersebut
parameter yang kita gunakan adalah undang-undang yang mereka hasilkan, maka penulis menilai
secara umum kualitas para wakil rakyat kita belum mumpuni untuk menciptakan sebuah aturan
hukum yang dapat bertahan lama dalam hal implementasinya. Sebagai sebuah analisis dapat kita
lihat betapa banyaknya undang-undang yang belum genap berusia 5 (lima) tahun tapi harus
dirubah atau diganti dengan undang-undang yang baru karena ternyata undang-undang tersebut
tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tekhnologi.
Menurut Jeremy Bentham tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk mewujudkan the
greatest happiness of the greatest number (kebahagian yang sebesar-besarnya untuk sebanyakbanyaknya orang).[10]
Tujuan perundang-undangan menurut Bentham adalah untuk mengahasilkan kebahagian bagi

masyarakat. Untuk itu undang-undang harus berusaha untuk mencapai empat tujuan yaitu:[11]
1. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)
2. To abundance (untuk memberi makanan yang berlimpah)
3. To provide security (untuk memberikan perlindungan)
4. To attain equity (untuk mencapai persamaan)
Tujuan hukum adalah untuk memenuhi hukum adanya. Hukum pada manusia bertujuan
membuat manusia tahu akan ketidaktahuannya, bahwa ia ada demi keberadaannya, yakni
manusia yang berkemanusian bersanding dengan hidup atas kehidupan untuk membedakan atau
menyamakan dualisme yang satu, yang senantiasa beriringan, yakni antara tahu dan tidak tahu,
dalam ide dan materi yang diterjemahkan oleh akal budinya, yang ide ataupun materi itu sendiri
sedianya ada dan tertuang dalam sikap tindak yang merupakan peleburan antara ide dan materi,
antara jiwa dengan fisik, yang tampak akan kemanusiaannya dan beriringan dengan
kehidupannya.[12]

Menurut G. Radbruch, Einfuhrung indie Rechtswissenschaft, Stuttgart, 1961 menyatakan, bahwa
sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Jadi hukum dibuatpun ada tujuannya. Tujuan
ini merupakan nilai yang ingin diwujudkan manusia. Tujuan hukum yang utama ada tiga,
yaitu[13]:
1. Keadilan untuk keseimbangan
2. Kepastian untuk ketepatan
3. Kemanfaatan untuk kebahagiaan
Hukum muncul sebagai implikasi suatu esensi yang menawarkan penyelesaian terhadap
kolektivitas perseteruan pada masyarakat, oleh karena itu diperlukan hukum yang ideal untuk
menyelesaikan konflik dan perseteruan itu.[14]
Tujuan dari pembentukan hukum itu sendiri tidak terlepas dari tujuan Negara, tujuan Negara ini
dapat kita lihat dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.[15]
Politik hukum suatu Negara sangat menentukan tujuan hukum yang ingin dicapai oleh Negara
tersebut. Politik hukum yang diartikan sebagai arah kebijakan hukum (legal policy) haruslah
dijadikan sebagai pedoman untuk membangun atau untuk menegakan system hukum yang
diinginkan.
Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mengakhiri tatanan social yang tidak adil dan
menindas hak-hak asasi manusia. Sehingga politik hukum harus berorientasi pada cita-cita
Negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dalam suatu
masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
[16]
Jika hukum diartikan sebagai “alat” untuk meraih cita-cita dan mencapai tujuan, maka politik
hukum diartikan sebagai arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum
guna mencapai cita-cita dan tujuan bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah upaya
menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan.[17]
Penegak Hukum
Penegak hukum atau yang lebih dikenal dalam bahasa sehari-hari sebagai aparat penegak hukum,
atau bahkan ada yang menyebutnya dengan istilah petugas. Di beberapa Negara berkembang
termasuk Indonesia yang masih berada dalam masa transisi petugas mempunyai kedudukan atau
posisi yang sangat superior jika dibandingkan dengan warga Negara biasa, karena petugas
mempunyai strata yang sedikit lebih tinggi. Namun hal itu tidak berlaku bagi warga kalangan
menengah keatas yang tergolong elitis, apalagi orang-orang yang berada dilingkungan
pemerintahan atau bahkan elit politik nyaris tidak tersentuh oleh tangan-tangan petugas.

Factor petugas memainkan peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum, karena
petugas adalah ujung tombak yang paling depan dalam urusan penegakan hukum. Petugas dan
kaidah hukum adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan antara satu sama lainnya,
karena hukum tidak akan pernah berjalan jika tidak ada petugas demikian juga sebaliknya jika
tidak ada petugas maka tidak akan ada artinya kaidah-kaidah hukum yang bisa berjalan.
Ada semacam adagium yang sering kita dengar menyatakan jika menyangkut petugas dan kaidah
hukum yang menyatakan sebaik apapun aturan hukum jika dijalankan oleh petugas yang buruk
maka hasilnya akan tetap buruk, seburuk apapun kaidah hukum yang ada jika dijalankan oleh
petugas yang baik maka hasilnya akan baik.
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya. Cirri utama
inilah yang membedakan antara hukum di satu pihak dengan norma-norma social lainnya dan
norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya
kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin
tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan kekuasaan.[18]
Baik buruknya suatu kekuasaan, bergantung bagaimana kekuasaan itu dipergunakan. Artinya,
baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu
tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Hal ini merupakan
suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk
organisasi yang teratur.[19]
Penegak hukum adalah perpanjangan tangan dari penguasa untuk menerapkan hukum di
masyarakat. Hukum sangat erat hubungannya dengan kekuasaan, kekuasaan yang dijalankan
tanpa hukum maka hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat, demikian
sebaliknya hukum tidak akan pernah bisa diterapkan tanpa ada kekuasaan untuk menerapkan
hukum tersebut.
Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum.
Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah
hukum. Jadi, hukum bersumber pada kekuasaan yang sah.[20]
Sarana/Fasilitas
Fasilitas atau sarana penunjang dari sebuah system penegakan hukum menjadi elemen yang tidak
kalah penting dari elemen-elemen lainnya. Karena bagaimana mungkin seorang penegak hukum
atau petugas akan melakukan pekerjaannya jika tidak ditunjang dengan sarana atau fasilitas yang
memadai. Contoh bagaimana mungkin seorang petugas bisa menangkap teroris atau perampok
bersenjata jika si petugas tersebut tidak dilengkapi sarana yang lebih baik dari yang dimiliki oleh
orang yang akan ditangkapnya.
Warga Masyarakat
Warga masyarakat adalah elemen terakhir dari kajian factor-faktor pendukung dari keberlakuan
hukum dalam suatu kelompok masyarakat. Jika tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum

cukup tinggi, maka tidak aka nada persoalan dalam penerapan hukum di masyarakat tersebut.
Namun jika masyarakatnya tidak memiliki tingkat kepatuhan hukum hukum maka jangan terlalu
banyak berharap sebuah aturan hukum akan berjalan dengan baik di tengah-tengah kelompok
masyarakat tersebut.
Dalam sebuah acara talk show disalah satu televisi swasta nasional seorang ahli hukum pidana
Indonesia JE. Sahetapy pernah mengatakan”jika ingin melihat kepatuhan masyarakat Indonesia
terhadap hukum, maka lihat saja ke jalan raya bagaimana masyarakat tersebut dalam berlalu
lintas. Semrawut, begitulah masyarakat Indonesia tidak ada yang patuh terhadap hukum”[21]
Saat pengamatan langsung dilakukan dilapangan sebagaimana pernyataan yang dilontarkan oleh
Sahetapy tersebut. Dari hari ke hari kesemrawutan itu tidak semakin berkurang, bahkan semakin
meningkat. Seolah bangsa ini seperti tidak menginginkan sebuah keteraturan.
Salah satu fakto yang yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang
dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan,
yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat
kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang
bersangkutan.[22]
Warga masyarakat sebagai salah satu factor pendukung dalam penegakan hukum sering
diimplementasikan dalam bentuk budaya hukum. Budaya hukum yang baik akan menghantarkan
kita pada sebuah keteraturan dan ketertiban, sehingga apa yang dicita-citakan oleh hukum itu
dapat dicapai. Untuk menciptakan atau membangun budaya hukum yang baik dalam kehidupan
bermasyarakat diperlukan adanya pemahaman hukum yang baik bagi masyarakat itu sendiri.
Apabila pengetahuan hukum saja yang dimiliki oleh masyarakat, hal itu belumlah memadai,
masih diperlukan pemahaman atas hukum yang berlaku. Melalui pemahaman hukum,
masyarakat diharapkan memahami tujuan peraturan perundang-undangan serta manfaatnya bagi
pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundang-undangan dimaksud.[23]
Membangun sebuah budaya hukum yang baik tidaklah semudah membalik telapak tangan,
apalagi ditengah kesemrawutan keadaan sekarang. Dibutuhkan tenaga dan bahkan mungkin
biaya yang cukup besar dan ketegasan dari penguasa untuk memciptakan budaya hukum yang
baik.
Budaya hukum itu sendiri tercermin dalam sikap warga masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh
sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Respon masyarakat terhadap penerapan hukum yang
mengatur perilaku akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianutnya. Apabila produk
hukum yang mengatur mengacu pada sistem nilai tertentu dihadapkan pada masyarakat yang
menganut sistem nilai dan memiliki budaya hukum yang berbeda, bukan hal yang aneh bila
penerapan produk hukum tersebut akan mengalami kesulitan.[24]
2.

ANALISIS TERHADAP PERMASALAHAN

A. Implementasi ketentuan hukum dalam Pasal 69 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
Tentang Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
di Indonesia

Berbicara mengenai implementasi yang berarti dalam bahasa sehari-hari disebut penerapan
hukum, berarti kita memerlukan pembahasan yang mendalam mengenai implentasi hukum dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, dan bukan rahasia lagi kalau budaya hukum atau yang biasa
disebut dengan legal culture masyarakat kita sangat rendah atau bahkan cenderung mengarah
kepada hal-hal yang buruk.
Istilah pencucian uang (money laundering) muncul pertama kali pada sekitar tahun 1930-an
ketika mafia Amerika mengakuisisi usaha pencuaian pakaian otomatis (laundromats) setelah
mereka mendapatkan uang dalam jumlah besar dari kegiatan illegal seperti seperti pemerasan,
prostitusi, narkoba, dan perdagangan minuman keras.[25]
Hukum yang baik mengkondisikan pembuatan dan pelaksanaan peraturan-peraturan hukum
sesuai dengan martabat manusia. Dengan mentaati hukum yang baik, kebebasan seseorang itu
tidak hilang dan karena itu martabatnya sebagai manusia tidak rusak. Sebaliknya, ketaatannya
buta pada kekuasaan yang korup. Dengan mentaati hukum yang baik, seseorang mewujudkan
keluhuran martabatnya, karena ia memahami apa yang ditaatinya dan dengan memilih mentaati
hukum yang baik ia bebas.[26]
System hukum Anglo-saxon mengutamakan “the rule of law”, the rule of law harus ditaati,
bahkan juga bila tidak adil. Sikap ini serasi dengan ajaran aliran-aliran filsafat empiris. Menurut
filsafat itu hukum, entah tertulis entah tidak tertulis, adalah peraturan-peraturan yang diciptakan
oleh suatu bangsa selama sejarahnya, dan yang telah bermuara pada suatu perundang-undangan
tertentu dan suatu praktek pengadilan tertentu.[27]
Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral social pada hakekatnya adalah ekspresi
solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan solidaritas.
Tak ada masyarakat manapun yang dapat tegak dan eksis secara berterusan tanpa adanya
solidaritas itu. Sebagai tiang utama integrasi, solidaritas social bergerak dan berubah seirama
dengan perkembangan social dalam masyarakat.[28]
Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum
sebagai kaidah. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:[29]
1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang
lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah
tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh
masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari
masyarakat.

3. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai
positif yang tertinggi.
Pasal 69 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang berbunyi “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”.[30]
Secara filosofis pembuatan undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang adalah bertujuan untuk mencegah terjadinya tindakan yang berupaya
untuk menjadikan Negara Indonesia sebagai salah satu tempat bagi para pelaku kejahatan dunia
yang menghasilkan harta kekayaan.
Sebelum tahun 2002 kegiatan pencucian uang di Indonesia mungkin belum dianggap sebagai
sebuah kejahatan. Bahkan dulunya Indonesia dianggap sebagai Negara tujuan bagi para pelaku
kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan untuk melakukan tindakan pencucian uang, karena
memang tidak ada aturan hukum yang melarang dilakukannya kegiatan tersebut.
Tonggak sejarah tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di
Indonesia mendapat tempat setelah diundangkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, terhadap Undang-Undang ini kemudian dilakukan
perubahan melalui Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Namun setelah hampir melewati satu
dasawarsa pemerintah kembali melakukan pembaharuan dibidang pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam system hukum pidana kita juga terdapat azas yang menyatakan “tiada suatu perbuatan
dapat dihukum sebelum ada aturan hukum yang mengaturnya”. Artinya bahwa jika sebuah
perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-undang, maka orang-orang yang melakukan perbuatan
tersebut tidak dapat dihukum.
Pengaturan mengenai penyidikan sebagaimana Pasal 69 tersebut akan sangat mempengaruhi
tatanan kehidupan yang telah ada. Karena ada pertentangan antara satu sama lain dalam
ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 itu sendiri. Sedangkan undang-undang yang baik
harus mampu menciptakan keadaan yang tidak baik atau kurang baik menjadi lebih baik.
Bagaimana mungkin sebuah peraturan yang bertentangan antara satu sama lainnya akan dapat
diterapkan secara efektif.
Dalam Pasal 69 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan bahwa untuk memulai penyidikan terhadap tindak
pidana Pencucian Uang tidak harus menunggu tindak pidana asalnya terbukti terlebih dahulu.
Menurut pendapat penulis apa yang dimaksud oleh Pasal 69 tersebut bertentangan dengan apa
yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan “Hasil tindak pidana
adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana”

Jika kita menilik dari apa yang dimaksud oleh bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut jelas dan tidak
diragukan lagi, suatu harta kekayaan itu baru dapat dikatakan sebagai sebuah hasil tindak pidana.
Lembaga yang paling berwenang menyatakan sebuah perbuatan itu adalah tindak pidana atau
bukan adalah lembaga peradilan.
Lembaga peradilan melalui mekanisme persidangan dengan memeriksa bukti-bukti yang
diajukan oleh penuntut umum pada akhirnya akan menghasilkan sebuah putusan apakah perkara
yang diajukan kepadanya tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah tindak pidana atau bukan.
Seseorang yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan melakukan tindak pidana maka ia
akan disebut sebagai narapidana atau terpidana. Jika pengadilan memandang bahwa apa yang
dilakukan oleh seorang terdakwa bukanlah sebagai sebuah tindak pidana maka ia akan lepas dari
segala tuntutan hukum.
Pengaturan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana pencucian uang tidak wajib terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya.
Menurut pandangan penulis ini adalah suatu pengaturan yang keliru dalam hal tujuannya adalah
penegakan hukum, bagaimana mungkin seseorang yang belum tetntu bersalah melakukan tindak
pidana dalam memperoleh harta kekayaannya.
Yang paling banyak mendapat sorotan public tentang tidak pidana pencucian di Indonesia
belakangan ini adalah perkara yang menimpa Djoko Soesilo, Ahmad Fhatanah, dan mantan
Anggota DPR RI dari fraksi Demokrat M. Nazarudin. Polisi , jaksa, dan KPK menjerat mereka
dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana. Dalam proses penyidikannya, baik penyidik kejaksaan maupun penyidik KPK telah
menyita seluruh asset-aset yang dimilikinya.
Kita sepakat bahwa tujuan dibuatnya undang-undang ini salah satunya adalah untuk mencegah
atau memberantas para pelaku tidak pidana yang menghasilkan harta kekayaan untuk melakukan
pencucian uang di Negara ini. Namun penulis berpendapat bahwa dalam rangka penerapan
hukum sebaiknya Negara meminimalisir masalah-masalah yang akan timbul sebagai efek dari
penegakan hukum tersebut
Kembali lagi pada hubungan antara tindak pidana asal (predicate crime) dengan tindak pidana
pencucian uang, dimana menurut penulis pada dasarnya Tindak Pidana Pencucian Uang
bukanlah tindak pidana yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan Tindak Pidana lanjutan dari
tindak pidana yang telah terjadi sebelumnya atau tindak pidana asal/awal (predicate crime) dan
hal ini dapat ditafsirkan dari pasal 2 ayat (1) tentang predicate crime atau tindak pidana asal.
Menurut penulis hal ini merupakan salah satu penyimpangan hukum yang terjadi pada Undangundang ini, yang mana pada dasarnya antara perbuatan-perbuatan yang sifatnya berlanjut
(memiliki hubungan yang sedemikian rupa antara perbuatan yang satu dengan perbuatan
berikutnya, dan tiap perbuatan tersebut merupakan tindak pidana) berdasarkan KUHP merupakan
Delictum Continuantium/voortgezettehandelin (pasal 64 KUHP) adalah bagian dari perbarengan
tindak pidana (concursus) yang dalam pelaksanaannya dilakukan pemeriksaan secara bersamaan
dan penerapan pidananya sesuai KUHP atau pada prinsipnya dilakukan sistem absorbsi. Berbeda

halnya dengan TPPU berdasarkan undang-undang ini dipisahkan secara mandiri dan
penyelesaiannya dilakukan secara sendiri-sendiri atau dibedakan dengan tindak pidana awal.
Menurut penulis ini merupakan suatu celah bagi aparatur penegak hukum yang melakukan
penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan dalam sidang pengadilan ketika sulit untuk
membuktikan tindak pidana asal atau dapat juga karena sulitnya menemukan alat bukti serta
barang bukti yang cukup terkait tindak pidana asal atau tindak pidana asal dilakukan diluar
yurisdiksi negara Indonesia namun harta kekayaan tersebut masuk ke yurisdiksi Indonesia, dan
harta kekayaan tersebut diduga keras diperoleh dari salah satu predicate crime atau merupakan
hasil tindak pidana atau kejahatan.
B. Dampak berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia
Hukum itu ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan kemanfaatan dari
pelaksanaan atau penegakan hukum. Jangan sampai terjadi, dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum ini timbul keresahan di dalam masyarakat.[31]
Jika membahas sebuah peraturan perundang-undangan tentu tidak lain tujuan kita adalah untuk
melihat sejauh mana peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kemanfaatan bagi
penegakan hukum di Negara ini. Karena secara garis besarnya tujuan diciptakannya hukum
adalah mencakup tiga hal yaitu:
1. Menyangkut kepastian hukum;
2. Menyangkut keadilan;
3. Menyangkut kemanfaatan hukum itu sendiri.
Pembahasan mengenai dampak berlakukanya undang-undang, tentu sudah jelas bahwa yang
ingin kita lihat dari tujuan penciptaan hukum itu adalah sejauh mana hukum itu memberi manfaat
bagi perubahan social dalam masyarakat. Karena hukum yang baik adalah hukum yang member
manfaat untuk perubahan social.
Secara langsung dampak yang ditimbulkan dengan adanya undang-undang yang mengatur
tentang tindak pidana pencucian uang adalah dengan bertambahnya lembaga-lembaga yang
berdiri karena amanat undang-undang di Negara ini. Namun apakah keberadaan lembaga ini
member pengaruh yang signifikan terhadap penekanan jumlah angka kejahatan yang terjadi, atau
bahkan sebaliknya keberadaan lembaga ini membuat seseorang semakin pintar dalam melakukan
sebuah tindak kejahatan yang sebelumnya memang sudah terorganisir dengan baik.
Keberadaan undang-undang ini membidani lahirnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan atau yang biasa disingkat dengan istilah PPATK[32] yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. Lembaga ini seperti pemantau terhadap keadaan keuangan di Negara
ini, sehingga sebenarnya secara tidak langsung tidak ada lagi yang namanya kerahasian bank
terhadap transaksi-transaksi yang dilakukan oleh nasabahnya.

PPATK dikenal dalam skala internasional sebagai Indonesian Financial Intelligence Unit (FIU).
FIU merupakan intelijen keuangan dalam Rezim Anti Pencuacian Uang dan Pendanaan
Terorisme (AML/CTF Regime) di Indonesia.[33]
Keberadaan PPATK tentu sangat berkaitan dengan dunia perbankan sebagai lembaga keuangan,
karena sumber informasi utama PPATK dalam melakukan anlisa transaksi keuangan adalah dari
dunia perbankan. Dengan demikian tentu ada aspek-aspek hukum lain yang bersinggungan
langsung dengan kegiatan analisa transaksi keuangan yang dilakukan oleh seorang nasabah pada
bank dimana dia melakukan transaksi tersebut. Karena bank juga memiliki prinsip-prinsip dasar
dalam penyelenggaraan transaksi keuangan yang mereka lakukan, dan mereka juga diatur
melalui hukum perbankan. Masalah perbankan jika dikaitkan dengan hukum, maka akan didapat
sebuah defenisi yang menggambarkan apa yang dimaksud dengan hukum perbankan.
Hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga
keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi eksistensinya, serta hubungannya
dengan bidang kehidupan yang lain.[34]
Pengaruh yang paling nyata yang kita rasakan dengan diadakannya lembaga ini adalah disaat kita
akan melakukan transaksi keuang di dunia perbankan, apakah kita akan memasukan uang
(menabung) ke dalam rekening kita sendiri atau mengirim (transfer) ke rekening orang lain,
maka petugas bank menharuskan kita mencantumkan sumber dana (perolehan) dan untuk apa
tujuan dilakukannya transaksi keuang tersebut. Jika kita tidak melakukan pengisian form yang
telah disediakan tersebut, maka jangan berharap kita akan dilayani oleh petugas bank tersebut.
Kalau tujuan dari penciptaan hukum itu adalah untuk menghambat para pelaku kejahatan atau
tindak pidana yang menghasilkan uang menyimpan hasil kejahatannya di lembaga keuangan,
maka hal itu sebenarnya sudah tercapai dengan semakin rumitnya melakukan transaksi keuangan
belakangan ini. Namun jika tujuannya adalah untuk pengembalian kerugian Negara seperti
tujuan penciptaan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, maka penulis
belum menemukan angka-angka statistic yang mencatat jumlah kerugian Negara yang
dikembalikan berdasarkan putusan mengenai tindak pidana pencucian uang.
Pengembalian kerugian Negara patut diperhitungkan dalam undang-undang ini, karena salah satu
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah hasil dari tindak pidana korupsi. Dan jika
hal ini kita kaitkan dengan kemanfaatan hukum maka penulis belum melihat undang-undang ini
memberi dampak yang cukup besar bagi Negara dalam hal efektifitas hukum.
C.

PENUTUP

REKOMENDASI
Sebagai seorang praktisi hukum penulis cukup prihatin dengan pertentangan yang terjadi dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Dalam tulisan ini penulis ingin merekomendasikan untuk perubahan terhadap
undang-undang, khususnya agar Pasal 69 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini harus dirubah atau
dihilangkan sama sekali, agar tujuan dari penciptaan hukum yang mencakup keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum tercapai dan memberikan dampak terhadap perubahan social
kemasyarakatan.
D.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta,
1988
Achmad Ali & Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan,
Kencana, Jakarta, 2012
Alexander Seran, Moral Hukum, Obor, Jakarta, 1999
B. Arif Sidharta, Disiplin Hukum: Tentang Hubungan Antara Ilmu Hukum, Teori Hukum dan
Filsafat Hukum (State of The Arts), Artikel 2005
Berdnard L. Tanya, dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Cetakan Ke III, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 1989
H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral, & Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum¸Cetakan ke I,
Kencana, Jakarta, 2012
Ine Minara S. Ruky, Implementasi Kebijakan Persaingan Melalui Hukum Persaingan dan
Liberalisasi Perdagangan, Desertasi Doktor, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2004
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Cetakan Ke-3, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Cetakan Ke 2, Rajawali
Pers, Jakarta, 2012
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Philips Darwin, Money Laundering; cara memahami dengan tepat dan benar soal pencucian
uang, Sinar Ilmu, 2012
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Cetakan Keenam 2006, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
Alumni, Bandung, 1981
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 2000
Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 1993
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan ke 5, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
Sunarijati Hartono, Apakah The Rule of Law Itu, Bandung, 1986
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju
Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat), cetakan ke 2, RajawaliPers, Jakarta, 2013
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cetakan Ketujuh, Sinar Garfika, Palu, 2012

[1] B. Arif Sidharta, Disiplin Hukum: Tentang Hubungan Antara Ilmu Hukum, Teori Hukum dan
Filsafat Hukum (State of The Arts), Artikel, 2005 hal 1
[2] C. S. T. Kansil , Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal 84
[3] Achmad Ali & Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan,
Kencana, Jakarta, 2012, hal 43
[4] Alexander Seran, Moral Hukum, Obor, Jakarta, 1999, hal 135
[5] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983 hal. 148
[6] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum Cetakan Keenam 2006, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hal 43
[7] Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2007, hal 10
[8] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cetakan ketujuh, Sinar Garfika, Palu, 2012, hal 62
[9] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Cetakan ke 5, Universitas
Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal 19

[10] Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum (Pemikiran
Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat), cetakan ke 2, RajawaliPers, Jakarta,
2013, hal 111
[11] Ibid, hal 112
[12] Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Cetakan Ke 2, Rajawali
Pers, Jakarta, 2012, hal 120
[13] Ibid, hal. 123
[14] H.M. Agus Santoso, Hukum, Moral, & Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum¸Cetakan
ke I, Kencana, Jakarta, 2012, hal 1
[15] Baca pembukaan UUD 1945
[16] Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH Indonesia,
Jakarta, 1988, hal 20
[17] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Cetakan Ke-3, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 30
[18] Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Op Cit, hal 75
[19] Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 2000, hal
19
[20] Sudikno Mertokusumo, Op Cit, hal 26
[21] Pernyataan tersebut dilontarkan oleh JE Sahetapy dalam sebuah dialog di acara Indonesia
Lawyer Club yang tayang setiap hari selasa di tvone
[22] Zainuddin Ali, op. cit, hal 64
[23] Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
Alumni, Bandung, 1981, hal 186
[24] Ine Minara S. Ruky, Implementasi Kebijakan Persaingan Melalui Hukum Persaingan dan
Liberalisasi Perdagangan, Desertasi Doktor, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2004, hal.9.
[25] Philips Darwin, Money Laundering; cara memahami dengan tepat dan benar soal
pencucian uang, Sinar Ilmu, 2012, hal 5
[26] Alexander Seran , op. cit, hal 136

[27] Sunarijati Hartono, Apakah The Rule of Law Itu, Bandung, 1986, hal 1
[28] Berdnard L. Tanya, dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Cetakan Ke III, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal 115
[29] Zainuddin Ali, op. Cit, hal 62
[30] Lihat Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang
[31] Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 1993, hal, 2
[32] Lihat pasal 1 angka 2 jo pasal 37 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
[33] Philips Darwin, op. cit, hal 85
[34] Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hal 1