STUDI PENGARUH PENAMBAHAN GLISEROL DAN SORBITOL TERHADAP AKTIVITAS ENZIM PROTEASE DARI Actinomycetes ANL4 2b-3

I.

PENDAHULULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan industri berdampak pada peningkatan kebutuhan pasar akan suatu
katalisator, baik katalisator sintetik maupun biokatalisator. Kesadaran masyarakat terhadap
masalah lingkungan yang semakin tinggi, serta adanya tekanan dari para ahli dan pecinta
lingkungan menjadikan teknologi enzim sebagai salah satu alternatif untuk menggantikan
berbagai proses kimiawi dalam bidang industri (Falch, 1991). Enzim adalah protein yang
diproduksi oleh sel hidup dan digunakan sebagai katalisator reaksi biokimia yang khas
(Shahib, 2005). Beberapa kelebihan yang dimiliki enzim yaitu mengkatalisis reaksi yang
bersifat spesifik sehingga meminimalkan reaksi samping dan bekerja pada kondisi yang
ramah. Keunggulan enzim sebagai biokatalisator ini menyebabkan enzim menjadi pilihan bila
dibanding dengan katalis kimia lainnya yang bersifat toksik dan mencemari lingkungan
(Virdianingsih, 2002).

Protease merupakan enzim penting dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah penjualan enzim protease yang mencapai 60% dari total penjualan enzim
dunia yang mencapai 1 milyar dollar AS pertahun (Sumantha et al., 2006), selain itu protease

memilki aplikasi yang sangat luas baik dibidang industri pangan maupun non pangan
diantaranya seperti industri deterjen, kulit, tekstil, makanan, hidrolisat protein, pengolahan
susu, farmasi dan limbah (Moon and Paulekar, 1993).

Selain memiliki banyak kelebihan, terdapat pula beberapa kendala dalam mengaplikasikan
enzim pada proses produksinya. Kendala tersebut yaitu kurang stabilnya enzim, baik pada
suhu maupun pH tertentu. Kestabilan enzim sangat dipengaruhi oleh struktur atau konformasi
dari enzim itu sendiri. Adanya gangguan pada struktur enzim akan menyebabkan gangguan

pada aktivitas dan kestabilan enzim. Pada suhu tinggi enzim akan mengalami denaturasi yang
membuat enzim menjadi inaktif. Sedangkan penggunaan suhu tinggi sangat diperlukan untuk
meningkatkan laju reaksi dan mengurangi masalah-masalah viskositas (Ahern and Klibanov,
2001) sehingga diperlukan enzim yang stabil pada suhu tinggi dalam proses tersebut.

Menurut Suhartono (1989) terdapat beberapa cara untuk meningkatkan kestabilan enzim
diantaranya teknik amobilisasi, modifikasi kimia, rekayasa molekuler dan penambahan aditif.
Penggunaan aditif sebagai penstabil merupakan metode yang paling sederhana yang dapat
digunakan untuk meningkatkan aktivitas dan stabilitas enzim.

Aktivitas enzim berhubungan langsung dengan perubahan struktur tertier dari molekul

protein enzim. Pada keadaan suhu, pH, dan konsetrasi ion normal, struktur tersier protein
distabilkan oleh empat jenis interaksi. lnteraksi tersebut adalah ikatan hidrogen, interaksi
hidrofobik, gaya tarik ionik, dan jembatan kovalen (Monsan and Combess, 1984).

Salah satu zat aditif penstabil yang mudah digunakan adalah poliol (polihidroksi alkohol).
Penggunaan poliol sebagai zat aditif penstabil memiliki beberapa kelebihan diantaranya yaitu
meningkatkan stabilitas dan lama waktu penyimpanan enzim, sifat hidrofilik dari gugus
hidroksilnya dapat menurunkan aktivitas air, serta dapat meningkatkan interaksi hidrofobik
diantara molekul protein enzim serta dapat bekerja sebagai penangkap atau pengikat senyawa
radikal bebas sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya oksidasi enzim (Suhartono,
1989). Adapun senyawa aditif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah gliserol dan
sorbitol, dimana gliserol dan sorbitol merupakan suatu polihidroksi yang memilki jumlah
atom karbon tiga atau lebih yang diketahui sangat reaktif untuk menarik molekul air dan
meningkatkan interaksi hidrofobisitas diantara molekul enzim.

Enzim protease dapat diproduksi dari berbagai mikroorganisme, diantaranya adalah
actinomycetes (Alina, 2003). Actinomycetes adalah suatu kelompok mikroorganisme yang
morfologinya merupakan bentuk peralihan antara bakteri dan jamur. Actinomycetes
berpotensi menghasilkan senyawa metabolit sekunder, enzim selulase, enzim protease dan
enzim kitinase (Margavey et al., 2004) . Actinomycetes yang akan digunakan untuk produksi

enzime protease yaitu jenis ANL4 2b-3 yang didapatkan dari isolat lumpur tanah yang yang
berada di Pantai Ringgung Teluk Lampung pada kedalaman 2 cm. Berdasarkan hasil
penelitian pendahuluan yang telah dilakukan oleh Andini (2010), telah diuji kemampuan
proteolitiknya pada Media Salt Medium dengan pertumbuhan optimum pada suhu 37oC, pH
7dan waktu inkubasi 120 jam. Enzim protease dari bakteri ini juga berhasil diisolasi dan
ditentukan karakterisasinya yaitu optimum pada suhu 50 oC, pH 7 dan waktu inkubasi 60
menit. Pada penelitian ini telah dipelajari mengenai pengaruh penambahan gliserol dan
sorbitol terhadap aktivitas enzim protease

B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mempelajari pengaruh gliserol dan sorbitol terhadap aktivitas enzim protease dari
Actinomycetes ANL4 2b-3.
2. Mengetahui kemampuan dari gliserol dan sorbitol dalam mempertahankan aktivitas enzim
protease dari Actinomycetes ANL4 2b-3.

C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh gliserol
dan sorbitol terhadap aktivitas proteolitik enzim protease dari Actinomycetes ANL4 2b-3


sehingga dapat meningkatkan pemanfaatannya dalam bidang industri, penelitian, ilmu
pengetahuan dan sebagainya.

I.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Actinomycetes
Actinomycetes merupakan mikroorganisme tanah yang umum dijumpai pada berbagai jenis
tanah. Populasinya berada pada urutan kedua setelah bakteri bahkan kadang kadang hampir
sama (Alexander, 1961). Actinomycetes hidup sebagai saprofit dan aktif mendekomposisi
bahan organik sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah (Nonomura and Ohara, 1969a)
. Pada umumnya Actinomycetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya menurun pada
keadaan lingkungan dengan pH dibawah 5.0 (Jiang and Xu, 1985). Rentang pH yang paling
cocok untuk Actinomycetes adalah antara 6,5-8.0. Temperatur yang cocok untuk
pertumbuhan Actinomycetes adalah 25-30oC, tetapi pada suhu 55-65oC Actinomycetes masih
dapat hidup dalam jumlah cukup besar khususnya genus Thermoactinomycetes dan
Streptomyces (Rao, 1998).

Actinomycetes merupakan kelompok mikroba bersifat gram positif (Lay dan Hastowo, 1992).

Pernyataan tersebut sesuai dengan Alexander (1961) yang mengatakan bahwa actinomycetes
memiliki dinding sel yang terdiri dari polimer-polimer gula, asam amino dan asam gula
seperti dinding sel bakteri gram positif.

Actinomycetes dikatakan sebagai mikroorganisme peralihan antara bakteri dan fungi
(Alexander, 1961). Terlihat dari luar ia berfilamen seperti jamur yang memiliki sel
eukariotik, namun organisme ini sesuai dengan semua kriteria seperti bakteri yaitu bersel
prokariotik (Magarvey et al., 2004). Selain itu, Actinomycetes menyerupai fungi karena
memilki hifa bercabang dengan membentuk miselium. Miselium tumbuh menjulang ke udara
dan memisah dalam bentuk fragmen-fragmen pendek sehingga terlihat seperti cabang pada

bakteri (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1991) serta actinomycetes memilki kesamaan dengan
bakteri pada struktur sel dan ukuran irisan yang melintang (Foth, 1991).

B. Enzim
Enzim adalah suatu katalisator protein atau dalam bentuk gabungan dengan molekul asam
nukleat yang berfungsi mempercepat reaksi kimia dalam makhluk hidup atau dalam sistem
biologi (Shahib, 2005). Enzim merupakan katalis biologi, yang mampu meningkatkan laju
reaksi dengan cara selektif dan efisien yang mendasar pada hukum termodinamika dan
kinetika. Sifat-sifat katalitik khas dari enzim ialah sebagai berikut (Page, 1989 ):

1. Enzim mampu meningkatkan laju reaksi pada kondisi biasa (fisiologi) dari tekanan, suhu
dan pH.
2. Enzim berfungsi dengan selektifitas tinggi terhadap substrat (substansi yang mengalami
perubahan kimia setelah bercampur dengan enzim) dan jenis reaksi yang dikatalisis.
3. Enzim memberikan peningkatan laju reaksi yang tinggi dibanding dengan katalis biasa.
Enzim memilki beberapa keunggulan diantaranya ialah memiliki produktivitas dan
spesifisitas yang tinggi tanpa pembentukan senyawa samping, sehingga mengurangi biaya
purifikasi dan efek kerusakan terhadap lingkungan (Chaplin and Bucke, 1990).
Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi enzim, substrat, suhu,
pH, kofaktor, pelarut organik dan inhibitor. Tiap enzim memiliki suhu dan pH optimum yang
berbeda-beda, karena enzim merupakan protein yang dapat mengalami perubahan bentuk jika
suhu dan pH berubah. Diluar suhu dan pH optimal enzim tidak dapat bekerja maksimal atau
bahkan akan kehilangan fungsinya sebagai katalis karena rusaknya struktur protein enzim
(Maton et al., 1993).

Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim :
1) Konsentrasi enzim
Konsentrasi enzim secara langsung mempengaruhi kecepatan laju reaksi enzimatik dimana
laju reaksi meningkat dengan bertambahnya konsentrasi enzim (Poedjiadi, 1994). Laju reaksi
tersebut meningkat secara linier selama konsentrasi enzim jauh lebih sedikit dari pada

konsentrasi substrat. Hal ini biasanya terjadi pada kondisi fisiologis (Page, 1989).
2) Konsentrasi substrat
Pada konsentrasi enzim tetap dan konsentrasi enzim bervariasi terdapat hubungan antara
aktivitas enzim dengan konsentrasi substrat. Pada konsentrasi substrat yang terlalu rendah
aktivitas katalitiknya pun rendah. Dengan meningkatnya konsentrasi substrat aktivitas enzim
meningkat secara linier, kemudian secara logaritmatik dan akhirnya mencapai harga
maksimum dimana penambahan konsentrasi substrat lebih lanjut tidak mempengaruhi laju
reaksi enzim. Gejala ini disebut kinetika penjenuhan (Page, 1989). Hubungan antara
konsentrasi substrat dengan laju reaksi enzim ditunjukkan dalam Gambar 1.

Vmaks

V (laju)

½ Vmakx
Km
[S]

Gambar 1. Hubungan konsentrasi substrat dengan laju reaksi enzim
(Shahib, 2005)


3) Inhibitor

Inhibisi atau hambatan reaksi enzim adalah penurunan kecepatan reaksi enzimatik akibat
adanya suatu senyawa kimia tertentu dalam larutan enzim substrat (Mara, 1999). Molekul
atau ion yang dapat menghambat reaksi tersebut dinamakan inhibitor (Poedjiadi, 1994). Pada
umumnya cara kerja inhibitor adalah dengan menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim
tidak dapat lagi berikatan dengan substrat sehingga fungsi katalitiknya terganggu (Winarno,
1989).
4) Suhu
Suhu optimum merupakan suhu pada saat enzim memiliki aktivitas maksimum. Hubungan
antara aktivitas enzim dengan suhu ditunjukkan dalam Gambar 2. Dalam gambar
diterangkan bahwa suhu dapat meningkatkan laju reaksi enzimatik sampai batas tertentu.
Suhu yang terlalu tinggi (jauh dari suhu optimum suatu enzim) akan menyebabkan enzim
terdenaturasi (Poedjiadi, 1994). Hal ini disebabkan karena terbukanya lipatan molekul
enzim, sehingga interaksi hidrofobik menurun dan akhirnya akan membentuk agregat. Pada
suhu tinggi substrat juga dapat mengalami perubahan konformasi sehingga gugus reaktifnya
rusak atau mengalami hambatan dalam memasuki sisi aktif enzim (Suhartono, 1989).

Aktivitas

Enzim
Suhu

Gambar 2. Hubungan suhu dengan aktivitas enzim (Shahib, 2005)
5) pH
Struktur ion enzim bergantung pada pH lingkungan. Enzim dapat berbentuk ion positif dan
negatif (Zwitter ion). Dengan demikian perubahan pH akan mempengaruhi efektivitas bagian

aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim-substrat. Selain itu, pH yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan ini akan mengakibatkan menurunnya aktivitas
enzim. Secara umum pengaruh pH terhadap aktivitas enzim ditunjukkan pada Gambar 3.
Pada beberapa enzim memiliki aktivitas maksimum pada kisaran pH antara 4,5-8,0 (Winarno,
1989)

pH optimum

Aktivitas
Enzim

pH


Gambar 3. Hubungan pH dengan aktivitas (Shahib, 2005)
6). Kofaktor logam.
Kofaktor adalah suatu faktor yang membantu keaktifan enzim. Ikatan antara kofaktor dan
enzim dapat sangat kuat dan ada pula yang tidak terikat dengan kuat (Poedjiadi, 1994).
7). Pelarut organik.
Penggunaan pelarut dalam reaksi enzimatik memberikan keuntungan antara lain ialah
kelarutan substrat-organik dan enzim lebih tinggi dibandingkan dengan air serta
meningkatkan kestabilan enzim dengan pelarut (Kwon and Rhee, 1986).
Enzim bekerja berdasarkan teori kunci gembok, menurut teori ini terjadinya reaksi antara
substrat dengan enzim karena adanya kesesuaian bentuk ruang antara substrat dengan situs
aktif dari enzim, sehingga sisi aktif enzim cenderung kaku. Substrat berperan sebagai kunci
masuk ke dalam situs aktif, sehingga terjadi kompleks enzim-substrat. Pada saat ikatan

kompleks enzim-substrat terputus, produk hasil reaksi akan dilepas dan enzim akan kembali
pada konfigurasi semula. Berbeda dengan Teori kunci gembok, menurut Teori kecocokan
induksi reaksi antara enzim dengan substrat berlangsung karena adanya induksi substrat
terhadap situs aktif enzim sedemikian rupa sehingga keduanya merupakan struktur yang
komplemen atau saling melengkapi. Menurut teori ini sisi aktif tidak bersifat kaku, tetapi
lebih fleksibel (Yandriano, 2006).


C. Protease
Protease adalah enzim yang dapat menghidrolisis protein menjadi senyawa-senyawa yang
lebih sederhana seperti peptida kecil dan asam amino. Berdasarkan CIUEB (Commision on
Enzym of the International Union of Biochemistry) protease merupakan enzim kelas 3,
hidrolase dan subkelas 3,4 peptida hidrolase atau peptidase (Beynom and Bond, 1989).
Berdasarkan cara pemotongan ikatan peptida , enzim protease dapat dibedakan menjadi
eksopeptidase dan endopeptidase. Eksopeptidase terdiri atas karboksil eksopeptidase yang
memotong peptida dari arah gugus karboksil terminal dan amino eksopeptidase dari gugus
amino terminal, sedangkan endopeptidase memecah ikatan peptida dari dalam. Menurut
Harley (1960) dalam Winarno (1989) endopeptidase dapat dibedakan berdasarkan gugus
reaktif pada sisi aktif yang terlibat dalam katalisis, menjadi:
1. Protease serin merupakan enzim protease yang memilki residu serin dalam sisi
aktifnya. Contohnya adalah enzim tripsin dan subtilisin. Enzim protease golongan ini
dihambat kuat oleh senyawa diisopropil fluorophosphat (DFP).
2. Protease Sulfidril (proteasetiol) artinya enzim yang aktivitasnya bergantung pada
adanya satu atau lebih residu sulfidril pada sisi aktifnya.

3. Protease Metal yaitu protease yang keaktifannya bergantung pada adanya logam per
mol enzim. Metal tersebut terdiri dari Mg, Zn, Co, Fe, Hg, Ni dan sebagainya. Enzim
ini dihambat oleh EDTA yang dapat mengkhelat metal sehingga keaktifan enzim
hilang.
4. Protease Asam yaitu enzim yang keaktifannya disebabkan adanya dua gugus karbonil
pada sisi aktifnya. Protease asam memotong substrat protein pada asam amino
aromatik atau asam amino berukuran besar. Keaktifannya dapat dihambat oleh pbromofenasilbromida.

D. Stabilitas Enzim
Stabilitas enzim dapat diartikan sebagai kestabilan aktivitas enzim selama penyimpanan dan
penggunaan enzim tersebut, serta kestabilan terhadap berbagai senyawa yang bersifat
merusak enzim seperti pelarut tertentu (asam atau basa) dan oleh pengaruh suhu dan pH yang
ekstrim (Wiseman, 1978 dalam Junita, 2002).
Ada dua cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan enzim yang mempunyai stabilitas
tinggi, yaitu menggunakan enzim yang memiliki stabilitas ekstrim alami dan mengusahakan
peningkatan stabilitas enzim yang secara alami tidak/kurang stabil (Junita, 2002). Untuk
meningkatkan stabilitas enzim yang secara alami tidak/kurang stabil, salah satunya adalah
dengan penambahan senyawa aditif.
a. Stabilitas termal enzim
Pada suhu yang terlalu rendah kemantapan enzim tinggi, tetapi aktivitasnya rendah,
sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi aktivitas enzim tinggi, tetapi kemantapannya
rendah. Daerah suhu saat kemantapan dan aktivitas enzim cukup besar disebut suhu
optimum untuk enzim tersebut (Wirahadikusumah, 1997).

Dalam industri, pada proses reaksinya biasanya menggunakan suhu yang tinggi.
Penggunaan suhu yang tinggi bertujuan untuk mengurangi tingkat kontaminasi dan
masalah-masalah viskositas serta meningkatkan laju reaksi. Namun, suhu yang tinggi ini
merupakan masalah utama dalam stabilitas enzim, karena enzim umumnya tidak stabil
pada suhu tinggi.
Penggunaan enzim dalam industri umumnya dilakukan pada suhu relatif rendah, misalnya
pada suhu 50-60°C (untuk glukoamilase dan glukosa isomerase) atau lebih rendah.
Penggunaan enzim pada suhu yang lebih tinggi hingga 85-100°C hanya dijumpai pada
proses hidrolisis pati dengan menggunakan α-amilase bakterial. Oleh sebab itu,
diperlukan enzim dengan stabilitas termal pada rentang suhu yang tinggi.
Proses inaktivasi enzim pada suhu tinggi berlangsung dalam dua tahap, yaitu :
1) Adanya pembukaan partial (partial unfolding) struktur sekunder, tersier dan atau
kuartener molekul enzim.
2) Perubahan struktur primer enzim karena adanya kerusakan asam amino-asam
amino tertentu oleh panas (Ahern and Klibanov, 1987).
Air memegang peranan penting pada kedua tahap di atas. Oleh karena itu, dengan
menggunakan air seperti pada kondisi mikroakueus, reaksi inaktivasi oleh panas dapat
diperlambat dan stabilitas termal enzim akan meningkat.
Stabilitas termal enzim akan jauh lebih tinggi dalam kondisi kering dibandingkan dalam
kondisi basah. Adanya air sebagai pelumas membuat konformasi suatu molekul enzim
menjadi sangat fleksibel, sehingga bila air dihilangkan molekul enzim akan menjadi lebih
kaku (Virdianingsih, 2002).
b. Stabilitas pH enzim

Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi (Suhartono,
1989). Stabilitas enzim dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu, pH, pelarut,
kofaktor dan kehadiran surfaktan (Eijsink et al., 2005). Dari faktor-faktor tersebut, pH
memegang peranan penting. Diperkirakan perubahan keaktifan pH lingkungan
disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau kompleks enzim substrat.
Enzim menunjukkan aktivitas maksimum pada kisaran pH optimum enzim dengan
stabilitas yang tinggi (Winarno, 1989).
Pada reaksi enzimatik, sebagian besar enzim akan kehilangan aktivitas katalitiknya secara
cepat dan irreversible pada pH yang jauh dari rentang pH optimum untuk reaksi
enzimatik. Inaktivasi ini terjadi karena unfolding molekul protein sebagai hasil dari
perubahan kesetimbangan elektrostatik dan ikatan hidrogen (Kazan et al., 1997).

E. Senyawa Poliol (Polihidroksi Alkohol)
Polihidrat alkohol atau biasa disebut dengan poliol adalah senyawa organik rantai lurus yang
hanya memiliki hidroksil sebagai gugus fungsionalnya. Senyawa ini dinilai lebih stabil, baik
dari suhu maupun struktur kimiawinya daripada gula konvensional. Harga senyawa ini tentu
lebih mahal, namun diimbangi dengan penampilan yang cantik pada produk akhir. Contoh
senyawa polihidrat alkohol yang sering dijumpai dalam produk pangan adalah gliserin,
sorbitol, mannitol, dan propilen glikol.

a.

Gliserol
Gliserol atau sering disebut gliserin, gliseritol dan glisil alkohol adalah gula alkohol yang
memililki 3 gugus hidroksil alkoholik yang bertanggungjawab pada kelarutannya dalam
air. Gliserol diproduksi dari dihidroksiaseton phospat (DHAP) oleh enzim gliserol

tripospat dehidrogenase dalam sitoplasma sel eukariot selama glikolisis. Gliserol
merupakan komponen penting dalam trigliserida dan komponen lipid.

Dalam bentuk murni merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berwarna, higroskopis
dan berupa cairan kental yang berasa manis dengan titik leleh 180C, titik didih 2900C,
densitas sebesar 1,261 g/cm3, massa molekulnya 92,0982 g/mol, dengan nama IUPAC
propane-1,2,3-triol (Hart, 2003).
Struktur gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur Gliserol

b. Sorbitol
Sorbitol juga dikenal dengan glusitol. Sorbitol memiliki berat molekul 182,17 g/mol,
densitas sebesar 0,68 g/cm3, titik didih 2960C dan titik leleh 950C. Sorbitol banyak
ditemukan pada buah-buahan dan biji-bijian dari genus Sorbus. Sorbitol digunakan
sebagai bahan campuran sirup obat batuk, selain itu sorbitol digunakan sebagai gula
pengganti pada makanan dan minuman rendah kalori. Struktur dari sorbitol dapat dilihat
pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur Sorbitol

F. Isolasi dan Pemurnian Enzim
Enzim dapat diisolasi secara ekstraseluler dan intraseluler. Enzim ekstraseluler merupakan
enzim yang bekerja di luar sel, sedangkan enzim intraseluler merupakan enzim yang bekerja
di dalam sel. Ekstraksi enzim ekstraseluler lebih mudah dibandingkan ekstraksi dari
intraseluler, karena tidak memerlukan pemecahan sel, dan enzim yang dikeluarkan dari sel
mudah dipisahkan dari pengotor lain serta tidak banyak bercampur dengan bahan-bahan sel
lain (Pelczar and Chan, 1986).

a. Sentrifugasi
Sentrifugasi merupakan tahap awal pemurnian enzim dengan memisahkan enzim
ekstraseluler dari sisa-sisa sel. Sentrifugasi dilakukan pada suhu rendah (dibawah suhu
kamar) untuk menjaga kehilangan aktivitas enzim (Suhartono, 1989) selain itu
mempercepat pengendapan debris sel. Sentrifugasi akan menghasilkan filtrat yang jernih
yang merupakan ekstrak kasar enzim dan endapan yang terikat kuat pada dasar tabung,
yang kemudian dipisahkan.

Prinsip sentrifugasi berdasarkan pada kenyataan bahwa setiap partikel yang berputar pada
laju sudut yang konstan akan memperoleh gaya keluar (F). Besar gaya ini bergantung
pada laju sudut ω (radian/detik) dan radius pertukarannya (sentimeter).
F = ω2 r
Gaya F dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi, karena itu dinyatakan sebagai gaya
sentrifugal relatif (RCF dengan satuan g (gramavitasi)).
ω 2r
RCF =
980

Dalam praktiknya, alat sentrifugasi dioperasikan dengan laju rpm. Oleh sebab itu, harga
rpm dikonversikan kedalam bentuk radian menggunakan persamaan:

ω=

π rpm
30

RCF = (πrpm)2 r x

980
302

RCF = (1.119x10-5)(rpm)2r
(Cooper, 1997 dalam Sariningsih, 2000).
b. Fraksinansi Garam amonium sulfat
Menurut Suhartono (1989), Penambahan senyawa elektrolit menurunkan kelarutan
protein, karena kelarutannya dipengaruhi oleh kekuatan ion. Dengan meningkatnya
kekuatan ion, kelarutan enzim akan semakin besar atau disebut dengan peristiwa salting
in, setelah mencapai suatu titik tertentu kelarutannya akan semakin menurun atau disebut
peristiwa salting out. Pada kekuatan ion rendah, protein akan terionisasi sehingga
interaksi antar protein akan menurun dan kelarutan akan meningkat. Peningkatan

kekuatan ion ini meningkatkan kadar air yang terikat pada ion, dan jika interaksi antar ion
kuat, kelarutannya menurun akibatnya interaksi antar protein lebih kuat dan kelarutannya
menurun (Agoestin dan Munir, 1997).
Senyawa elektrolit yang sering digunakan untuk mengendapkan protein ialah amonium
sulfat. Kelebihan amonium sulfat dengan dibandingkan dengan senyawa-senyawa
elektrolit lain ialah memiliki kelarutan yang tinggi, tidak mempengaruhi aktivitas enzim,
mempunyai daya pengendap yang efektif, efek penstabil terhadap kebanyakan enzim,
dapat digunakan pada berbagai pH dan harganya murah (Scopes, 1982).
c.

Dialisis
Dialisis merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan garam dari larutan protein
berdasarkan pada sifat semipermeabel membran. Secara umum, proses dialisis
berlangsung sebagai berikut: Larutan protein atau enzim dimasukkan ke dalam kantung
dialisis yang terbuat dari membran semipermeabel (selofan). Jika kantung yang berisi
larutan protein atau enzim dimasukkan ke dalam larutan buffer, maka molekul kecil yang
ada di dalam larutan protein atau enzim seperti garam anorganik akan keluar melewati
pori-pori membran, sedangkan molekul protein atau enzim yang berukuran besar tetap
tertahan dalam kantung dialisis. Keluarnya molekul menyebabkan distribusi ion-ion yang
ada di dalam dan di luar kantung dialisis tidak seimbang. Untuk memperkecil pengaruh
ini digunakan larutan buffer dengan konsentrasi rendah di luar kantung dialisis
(Lehninger, 1982). Setelah tercapai keseimbangan, larutan di luar kantung dialisis diganti
dengan larutan yang baru agar konsentrasi ion-ion di dalam kantung dialisis dapat
dikurangi.
Proses ini dapat dilakukan secara terus menerus sampai ion-ion di dalam kantung dialisis
dapat diabaikan (Mc Phie, 1971 dalam Boyer 1993). Difusi zat terlarut bergantung pada

suhu dan viskositas larutan. Meskipun suhu tinggi dapat meningkatkan laju difusi, namun
sebagian besar protein dan enzim stabil pada suhu 4-8°C sehingga dialisis harus dilakukan
di dalam ruang dingin (Pohl, 1990).
d. Penentuan kadar protein dengan metode Lowry
Penentuan kadar protein bertujuan untuk mengetahui bahwa protein enzim masih terdapat
pada tiap fraksi pemurnian (tidak hilang dalam proses pemurnian) dengan aktivitas yang
atau tetap baik. Salah satu metode untuk menentukan kadar protein adalah metode
Lowry. Metode ini bekerja pada kondisi alkali dan ion tembaga (II) akan membentuk
kompleks dengan protein. Ketika reagen folin-ciocalteau ditambahkan, maka akan
mengikat protein. Ikatan ini secara perlahan akan mereduksi reagen folin menjadi
heteromolibdenum dan merubah warna dari kuning menjadi biru.
Pada metode ini, pengujian kadar protein didasarkan pada pembentukan kompleks Cu2+
dengan ikatan peptida yang akan tereduksi menjadi Cu+ pada kondisi basa. Cu+ dan
rantai samping tirosin, triftofan, dan sistein akan bereaksi dengan reagen folin-ciocalteau.
Reagen bereaksi dengan menghasilkan produk tidak stabil yang tereduksi secara lambat
menjadi molibdenum atau tungesteen blue. Protein akan menghasilkan intensitas warna
yang berbeda tergantung pada kandungan triftofan dan tirosinnya.
Metode ini relatif sederhana dan dapat diandalkan serta biayanya relatif murah. Namun,
metode ini mempunyai kelemahan yaitu sensitif terhadap perubahan pH dan konsentrasi
protein yang rendah. Untuk mengatasinya adalah dengan cara menggunakan volume
sampel yang sangat kecil sehingga tidak mempengaruhi reaksi ( Lowry et al., 1951).

1

I.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium
Biokimia, Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat gelas, jarum
ose, pembakar spiritus, pipet Ependroff, pengaduk magnet, pH Universal,
sentrifuga, autoklaf , lemari pendingin, shaker incubator (orbit environ shaker),
cold plate, waterbath, laminar air flow, dan spektrofotometer UV-Vis.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain malt extract, pepton,
yeast extract, larutan kasein, susu skim, air laut steril, akuades, alkohol, kantung
selofan, glukosa, Na2CO3, NaOH ,TCA, (NH4)2 SO4, reagen folin ciocelteau,
Na/K tartarat, NaCl, NaH2PO4, Na2HPO4, BSA (Bovine Serum Albumin), gliserol
dan sorbitol. Bakteri penghasil enzim protease yang digunakan yaitu
Actinomycetes ANL4 2b-3.

C. Prosedur Penelitian
1. Pembuatan Media dan Larutan Pereaksi
a. Pembuatan Media Pertumbuhan dan Peremajaan Actinomycetes

2

1). Media ISP-2 (International Streptomyces Project) untuk Peremajaan
Actinomycetes ANL4 2b-3
Media ISP-2 terdiri dari 4 gram yeast ekstract, 10 gram malt extract, 4 gram
dextrose, dan 24 gram agar dilarutkan dalam 1L air laut steril lalu disterilisasi
selama 15 menit 121oC, 1 atm. Setelah media sedikit dingin ditambahkan
sikloheksamida 25µg/mL dan nalidixic acid 25µg/mL (Margavey, et al., 2004).
2). Pembuatan Media Inokulum dan Fermentasi untuk Produksi Enzim
Media cair dibuat dengan komposisi yeast extract 0,5%, glukosa 0,1%, susu skim
0,5%, 1% NaCl 0,5 M dilarutkan dalam 100 mL akuades, kemudian disterilisasi
selama 15 menit pada suhu 121˚C dan tekanan 2 atm.

b. Pembuatan Pereaksi Untuk Pengukuran aktivitas Protease Metode
Kunitz
1). Buffer Phospat pH 7
Stok A : 0,2 M NaH2PO4 (15,601 g NaH2PO4.2H2O dilarutkan dalam labu
ukur 1L dengan akuades.
Sok B : 0,2 M Na2HPO4 (17,799 g NaH2PO4.2H2O dilarutkan dalam labu ukur
1L akuades.
Buffer phospat pH 7 dibuat dengan mencampurkan 38,9 mL stok A dan 61,1 mL
stok B.

2). Larutan Kasein
1 gram larutan kasein dilarutkan dalam labu ukur 100 mL dengan buffer phospat
pH 7 pada penangas air (80-90oC) pH akhir 7,2 .
3). Larutan Asam Trikloroasetat

3

5 gram TCA dilarutkan dalam labu ukur 100 mL lalu diencerkan dengan akuades
hingga garis batas.
4). Larutan Standar Tirosin
Larutan standar tirosin dibuat dengan kadar 0, 20, 40, 60, 80, 100, 120 ppm.

c.

Pembuatan Pereaksi Untuk Pengukuran kadar protein Metode Lowry

Pereaksi A

: 2 gram Na2CO3 dilarutkan dalam 100 mL NaOH 0,1 N.

Pereaksi B

: 5 mL larutan CuSO4.5H2O 1% ditambahkan ke dalam 5 mL
larutan Na(K) tartarat 1%.

Peraksi C

: 2 mL pereaksi B ditambahkan 100 mL pereaksi A.

Pereaksi D

: reagen folin ciocelteau diencerkan dengan akuades 1 : 1.

Larutan standar : larutan BSA (Bovine Serum Albumin) dengan kadar 0, 20, 40,
60, 80, 100, 120, 140 ppm.

2. Penyiapan Inokulum

Isolat bakteri yang telah ditumbuhkan pada media ISP-2 diinokulasikan kedalam
erlenmeyer yang berisi IL media yang mengandung yeast extract 0,5%, glukosa

4

0,1%, susu skim 0,5%, 1% NaCl 0,5 M, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC,
pH 7.0 dan waktu inkubasi 120 jam. Biakan ini disebut starter atau inokulum.

3.

Isolasi dan Pemurnian Enzim

Media yang digunakan untuk isolasi enzim sama dengan media pada penyiapan
inokulum, media tersebut disterilisasi selama 15 menit 121oC, 1 atm. Selanjutnya
biakan actinomycetes diinokulasikan dan diinkubasi pada suhu 37oC, pH 7.0 dan
waktu inkubasi 120 jam. Untuk memisahkan larutan enzim dari konstituen seluler
lainnya dilakukan sentrifugasi pada 3500 rpm selama 20 menit. Filtrat yang
diperoleh disebut ekstrak kasar enzim, terhadap ekstrak kasar enzim tersebut
dilakukan penentuan kadar protein dengan metode Lowry dan uji aktivitas enzim
menggunakan metode Kunitz.

a.

Pengendapan dengan amonium sulfat [(NH4)2SO4]

Ekstrak kasar enzim yang diperoleh diendapkan dengan garam amonium sulfat
pada berbagai derajat kejenuhan yaitu (0-15)%; (15-30)%; (30-45)%; (45-60);
(60-75)% ; dan ( 75-90)%. Skema proses pengendapan protein enzim dengan
penambahan amonium sulfat ditunjukkan pada Gambar 6.
Sejumlah ekstrak kasar enzim yang diperoleh ditambahkan garam amonium sulfat
secara perlahan sambil diaduk dengan magnetic stirrer. Endapan protein enzim
yang didapatkan pada tiap fraksi kejenuhan amonium sulfat dipisahkan dari
filtratnya dengan sentrifugasi dingin pada kecepatan 3500 rpm selama 20 menit.
Kemudian endapan yang diperoleh dilarutkan dengan buffer phosfat 0,1 M pH 7,0

5

dan diuji aktivitasnya dengan metode Kunitz, serta diukur kadar proteinnya
dengan metode Lowry. Selanjutnya, filtrat yang didapat dari fraksi 0-15%
digunakan untuk diendapkan kembali dengan fraksi kejenuhan 15-30% dengan
prosedur yang sama (Kazan et al., 1997).

Gambar 6. Skema pengendapan protein enzim dengan amonium sulfat

b. Dialisis

Endapan enzim yang telah dilarutkan dari tiap fraksi amonium sulfat dengan
aktivitas spesifik yang tinggi dimasukkan ke dalam kantung selofan dan didialisis
dengan buffer posphat 0,01 M pH 7 selama 24 jam pada suhu dingin (Pohl, 1990).

6

Selama dialisis, dilakukan pergantian buffer selama 4-6 jam agar konsentrasi ionion di dalam kantung dialisis dapat dikurangi. Proses ini dilakukan secara terus
menerus sampai ion-ion di dalam kantung dialisis dapat diabaikan. Untuk
mengetahui bahwa sudah tidak ada lagi ion-ion garam dalam kantung, maka diuji
dengan menambahkan larutan Ba(OH)2 atau BaCl2, bila masih ada ion sulfat
dalam kantung, maka akan terbentuk endapan putih BaSO4. Semakin banyak
endapan yang terbentuk, maka semakin banyak ion sulfat yang ada dalam
kantung. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas dengan metode Kunitz, serta diukur
kadar proteinnya dengan metode Lowry.

4.

Pembuatan Campuran Enzim dan Senyawa Aditif

Campuran enzim dan senyawa aditif dibuat dengan menambahkan senyawa
aditif (gliserol dan sorbitol) ke dalam larutan enzim dengan perbandingan 1:1.
Konsentrasi senyawa aditif yang digunakan yaitu masing-masing 0,5M, 1M dan
1,5M baik untuk gliserol maupun sorbitol.

5.

Karakterisasi Enzim Sebelum dan Setelah Penambahan Senyawa Aditif

a.

Penentuan pH Optimum Enzim Protease

Untuk mengetahui pH optimum dari campuran masing-masing enzim dan
senyawa aditif (gliserol dan sorbitol) dilakukan pengukuran aktivitas enzim
menggunakan metode Kunitz dengan variasi pH yang digunakan yaitu 5, 5,5, 6,
6,5, 7, 7,5, 8, 8,5 dan 9.

b.

Penentuan Suhu Optimum Enzim Protease

7

Untuk mengetahui suhu optimum dari campuran masing-masing enzim dan
senyawa aditif (gliserol dan sorbitol) dilakukan pengukuran aktivitas enzim
dengan metode Kunitz dengan variasi temperatur yang digunakan adalah 45, 50,
55, 60, 65, 70 dan 75 oC.

c.

Penentuan Waktu Inkubasi Maksimum

Untuk mengetahui waktu inkubasi optimum dari campuran msing-masing enzim
dan senyawa aditif (gliserol dan sorbitol), dilakukan pengukuran aktivitas enzim
menggunakan metode Kunitz dengan variasi waktu inkubasi 50, 55, 60, 65, 70, 75
dan 80 menit.

d.

Uji stabilitas enzim

Penentuan stabilitas enzim dilakukan dengan mengukur aktivitas sisa enzim
setelah diinkubasi selama suhu dan pH tertentu (suhu dan pH optimum). Caranya
yaitu dengan mengukur aktivitas enzim setelah proses pemanasan selama waktu
tertentu sesuai dengan pengukuran aktivitas enzim. Aktivitas awal enzim (tanpa
perlakuan) di beri nilai 100% (Virdianingsih et al., 2002)

Aktivitas sisa =

6.

(

)

Uji Aktivitas Protease dan Penentuan Kadar Protein

x 100%

8

Uji aktivitas protease dilakukan pada tiap tahap isolasi, tiap tahap pemurnian dan
pada saat karakterisasi enzim hasil isolasi dan pemurnian. Penentuan kadar
protein dilakukan pada tiap tahap isolasi dan pada tiap tahap pemurnian.
a.

Pengujian Aktivitas Protease Metode Kunitz

Analisis aktivitas dilakukan menurut metode Kunitz menggunakan substrat kasein
(Soedigdo, 1998). Pengukuran didasarkan pada jumlah peptida yang terlarut
dalam TCA (asam trikloroasetat). Prosedur pengujian adalah sebagai berikut : 1
mL larutan kasein dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian ditambah 1 mL
larutan enzim. Kemudian diinkubasi pada 35oC selama 30 menit. Setelah 30
menit, tabung reaksi dikeluarkan lalu ditambah 3 mL larutan TCA , larutan diaduk
dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar agar pengendapan sempurna.
Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan sentrifugasi. Absorbsi filtrat diukur
pada panjang gelombang 280 nm. Pada pengujian aktivitas untuk uji stabilitas
termal, 1mL kasein dan 1mL larutan enzim diinkubasi pada suhu 50oC selama 60
menit yang merupakan suhu dan waktu inkubasi optimum yang diperoleh pada
karakterisasi enzim protease. Kontrol dibuat dengan menambahkan larutan TCA
sebelum enzim lalu diinkubasi. Aktivitas enzim dihitung berdasarkan jumlah asam
amino (peptida sederhana) yang terbentuk dengan menggunakan kurva standar
tirosin. Aktivitas 1 unit tirosin ditetapkan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan
untuk menguraikan 1µmol tirosin dari kasein di dalam 1 mL volume reaksi per
menit.

b.

Penentuan kadar protein Metode Lowry

9

Kadar protein enzim ditentukan dengan metode Lowry (Lowry et al., 1951).
Penentuan kadar protein ini bertujuan untuk mengukur aktivitas spesifik dari
protein enzim protease. Sebanyak 0,1 mL enzim protease ditambahkan 0,9 mL
akuades lalu direaksikan dengan 5 mL pereaksi C dan diaduk rata kemudian
dibiarkan selama 10 menit pada suhu ruang. Setelah itu ditambahkan dengan
cepat 0,5 mL pereaksi D dan diaduk dengan sempurna, didiamkan selama 30
menit pada suhu kamar. Untuk kontrol, 0,1 mL enzim diganti dengan 0,1 mL
akuades, selanjutnya perlakuannya sama seperti sampel. Serapannya diukur
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 750 nm. Untuk
menentukan konsentrasi protein enzim yang digunakan kurva standar BSA
(Bovine Serum Albumin). Penentuan kadar protein enzim protease dengan
menggunakan metode Lowry ini dilakukan pada tahap isolasi dan pada tiap tahap
pemurnian.