ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VARIETAS HIBRIDA PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

1. Alumni Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung 2. Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung

ABSTRAK

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VARIETAS HIBRIDA PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

Shinta Tantriadisti1, Suriaty Situmorang2, dan Teguh Endaryanto2 Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis factor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi jagung varietas hibrida, efisiensi produksi jagung varietas hibrida, dan daya saing usahatani jagung hibrida pada lahan kering di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan.

Penelitian dilaksanakan di Desa Sumur dan Desa Ruguk Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan. Pengambilan sampel petani jagung dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Responden terdiri dari 52 orang petani jagung. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan November 2009 - Januari 2010. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif (statistik) dan kualitatif (deskriptif).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) produksi usahatani jagung varietas hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan pada musim tanan I dipengaruhi oleh luas lahan (X1), pupuk KCL (X5), dan tenaga kerja (X8). Produksi usahatani jagung varietas hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan pada musim tanam II dipengaruhi oleh luas lahan (X1), pupuk urea (X3), pupuk Sp-36/TSP (X4), dan tenaga kerja (X8), (2) secara teknis, penggunaan input pada musim tanam I dam musim tanam II berada pada daerah II (constant return to scale). Secara ekonomis, penggunaan input pada musim tanam I dan II belum efisien, (3) berdasarkan nilai PCR dan DRC dari perhitungan PAM, diketahui bahwa usahatani jagung varietas hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan pada musim tanam I berdaya saing tinggi dengan nilai PCR 0,46 dan DRC 0,09. Pada musim tanam II, usahatani jagung jagung varietas hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan berdaya saing tinggi dengan nilai PCR 0,42 dan DRC 0,07.


(2)

1. Alumni of Socio-Economic Programs Faculty of Agriculture, Lampung University 2. Lecturer of Socio-Economic Programs Faculty of Agriculture, Lampung University

ABSTRACT

ANALYSIS OF PRODUCTION EFFICIENCY AND COMPETITIVENESS OF HYBRID MAIZE VARIETIES FARMING ON DRY LAND IN KETAPANG DISTRICT OF SOUTH LAMPUNG REGENCY

By

Shinta Tantriadisti1, Suriaty Situmorang2, and Teguh Endaryanto2 This study aimed to analyze factors that influencing the production of hybrid varieties of maize, the production efficiency of hybrid varieties of maize, and competitiveness of hybrid varieties of maize farming on dry land in Ketapang District of South Lampung Regency.

Research conducted in the Sumur and Ruguk villages Ketapang District of South Lampung Regency. Sampling involved maize farmers, which were randomly selected by simple random sampling method. Respondents consisted of 52 maize farmers. Data collection was conducted in November 2009 - January 2010. Data analysis methods used in this research were quantitative analysis (statistical) and qualitative (descriptive).

The results showed that: (1) productions of hybrid varieties of maize farming in the Ketapang District of South Lampung Regency in the first season were

influenced by land area (X1), KCL fertilizer (X5), and labor (X8). The production of hybrid varieties of maize farming in the Ketapang District of South Lampung Regency on the second season was influenced by land area(X1), urea fertilizer (X3), Sp-36/TSP fertilizer (X4), and labor (X8), (2) technically, the use of inputs in the first and second planting seasons were located in region II (constant returns to scale). Economically, the use of inputs in the first and second planting seasons has not been efficient, (3) based on PCR (Private Cost Ratio) and DRC (Domestic Resource Cost) values from the calculation of PAM (Policy Analysis Matrix), it was known that hybrid varieties of maize farming in the Ketapang District of South Lampung Regency in the first growing season were highly competitive with the PCR value of 0.46 and 0.09 DRC. In the second planting season, hybrid varieties of maize farming in the Ketapang District of South Lampung Regency were highly competitive with PCR and DRC values in a row were 0.07 and 0.42. Keywords: Production, competitiveness, maize


(3)

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VARIETAS HIBRIDA PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(Skripsi)

Oleh

Shinta Tantriadisti

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram rantai pemasaran jagung ……….………. 17 2. Hubungan antara produk total (PT), produk rata-rata (PR), produk

marjinal (PM), dan elastisitas produksi (Ep)...……… 22 3. Paradigma analisis efisiensi produksi dan daya saing usahatani jagung. 35 4. Pola tanam jagung di Kecamatan Ketapang Lampung Selatan, tahun

2008/2009... 64 5. Mendeteksi autokorelasi berdasarkan nilai Durbin Watson pada MT I. 80 6. Mendeteksi autokorelasi berdasarkan nilai Durbin Watson pada MT II. 86


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……….……….……… viii

DAFTAR TABEL ……….……….……… x

DAFTAR GAMBAR ……….……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah …………..……….….…… 1

B. Tujuan Penelitian ……….….……… 7

C. Kegunaan Penelitian ……….…..…..……… 7

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka ………..….…... 8

1. Budidaya Tanaman Jagung ……….…...….. 8

2. Teori Ekonomi Produksi ……….………..….….… 18

3. Konsep Efisiensi Produksi………….………..…... 23

4. Konsep Daya Saing Dengan Menggunakan PAM..…...…. 28

B. Hasil Penelitian Terdahulu ……….……… 31

C. Kerangka Pemikiran ……..………..……….………. 33

D. Hipotesis .………..………..……….. 34

III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar ……….... 36

B. Metode, Lokasi, dan Waktu Penelitian …………....……….……. 39

C. Responden dan Pengumpulan Data ………... 40

D. Metode Analisis dan Pengujian Hipotesis ………. 42

1. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi ……….. 42

2. Analisis Daya Saing ……….. 46

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 52


(6)

B. Gambaran Umum Kecamatan Ketapang... 55

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Keadaan Umum Responden ... 58

1. Umur petani responden ... 58

2. Pendidikan Petani Jagung Hibrida ... 59

3. Pengalaman Berusahatani Jagung ... 59

4. Jumlah Tanggungan Keluarga... 60

5. Pekerjaan Non Usahatani ... 62

6. Luas Lahan Dan Status Penguasaan Lahan ... 62

B. Keragaan Usahatani ... 64

1. Pola Tanam di Kecamatan Ketapang ... 64

2. Budidaya Jagung di Kecamatan Ketapang ... 64

C. Produksi dan Penggunaan Sarana Produksi ... 66

1. Produksi ... 66

2. Penggunaan Benih ... 67

3. Penggunaan Pupuk Urea, SP-18, KCL, Dan NPK/Phonksa ... 69

4. Penggunaan Pestisida ... 71

5. Penggunaan Tenaga Kerja... 72

D. Keuntungan Usahatani Jagung Varietas Hibrida ... 73

E. Analisis Efisiensi Produksi Jagung Varietas Hibrida ... 76

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dengan fungsi produksi Cobb-Douglas ... 76

2. Analisis Efisiensi Produksi ... 89

F. Analisis Daya Saing ... 98

1. Analisis Input Tradeable dan Nontradeable ... 98

2. Analisis Penerimaan dan Pendapatan... 111

3. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ... 114

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Saran... 121

DAFTAR PUSTAKA ……….. 122


(7)

DAFTAR PUSTAKA

Alhamzah, Z. 2008. Anggaran Subsidi Pupuk Habis Juli 2008. http://zaky alhamzah.blogspot.com/2008/04/anggaran-subsidi-pupuk-habis-juli-2008.html. Dikses tanggal 28 Februari 2010.

Anonymous. 2002. Pupuk Dan Pemupukan. http://wahyuaskari.wordpress.com /literatur/pupuk-dan-pemupukan/. Diakses tanggal 3 Mei 2010.

Anonymous. 2006. Pioneer, Jagung Bergizi Tingkatkan Ketahanan Pangan Di Sumatera Utara. www2.dupont.com/Media_Center/en_ID/daily_news/ 2006/article20061107. Diakses tanggal 1 Agustus 2009.

Anonymous. 2007. Dua Varietas Baru Jagung Hibrida. http://www.tempo interaktif.com/hg/ekbis/2007/07/26/brk,20070726-104426,id.html. Diakses tanggal 1 Agustus 2009.

Anonymous. 2007. Indonesia Masih Mengimpor 90 Persen Bahan Aktif Pestisida. http://www.madina-sk.com/index.php?option=com _docman& task=doc_view&gid=390. Diakses tanggal 28 Februari 2010.

Anonymous. 2008. Lampung dalam Angka. Bandar Lampung: BPS Propinsi Lampung.

Anonymous. 2008. Nacacl Fertilizer 60 KCl. http://www.himfr.com/d-p114430369383437400-Nacacl_Fertilizer_60_Kcl/. Diakses tanggal 22 Februari 2010.

Anonymous. 2008. Pupuk Langka, Pemkab Simalungun Diminta Ambi Tindakan. http://nasrilbahar.wordpress.com/2008/01/30/pupuk-langka-pemkab-simalungun-diminta-ambil-tindakan. Diakses tanggal 28 Februari 2010.

Anonymous. 2009. Laporan Inflasi. http://www.scribd.com/doc/23484415 /LAPORAN-INFLASI?secret_password=&autodown=pdf. Diakses tanggal 22 Februari 2010.

Anonymous. 2010. Distribusi Pupuk Diperketat. http://cetak.kompas.com /read/xml/2010/03/15/14005731/distribusi.pupuk.diperketat. Diakses tanggal 30 Maret 2010.


(8)

Anonymous. 2010. Harga Benih Naik, Keuntungan Petani Tergerus. http:// cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/20/03163130/harga.benih..naik.keuntu ngan.petani.tergerus. Diakses tanggal 30 Maret 2010.

Anonymous. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial- Ekonomi Indonesia. www.BPS.go.id. Diakses tanggal 22 Februari 2010.

Beattie dan Taylor. 1996. Ekonomi Produksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suhaya, Dede. 2006. Quantum Foam Make me Roam. www.dedesuhaya. multiply.com/journal/item/4/4. Diakses tanggal 1 Agustus 2009. Hidayat, Taufik. 2009. Analisis Efisiensi Produksi Usahatani Ubi Kayu

(Manihot esculenta) di Kecamatan Gedung Meneng Kabupaten Tulang Bawang. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Iriany, Neni, dkk. 2007. Asal, Sejarah, Evolusi, dan Taksonomi Tanaman Jagung. www.balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/tiga.pdf. Diakses tanggal 17 Juli 2009.

Irma. 2010. Makna Dan Manfaat Sosiologi. http://irma.ngeblogs.com/category /uncategorized/page/2/. Diakses tanggal 26 April 2010.

Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi Edisi Kedua. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.

Kariyasa, K. 2007. Analisis Keunggulan Komparatif Dan Insentif Berproduksi Jagung di Sumatera Utara. Kajian Ekonomi. Volume 6 no.1.hlm 96-116. Pearson, Scott, dkk. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 396 Hlm.

Priyanto, Dwi. 2009. Analisis Keuntungan dan Daya Saing Usahatani Jagung Hibrida di Kabupaten Lampung Timur. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Remonaldi, Yoga. 2009. Analisis Penggunaan Benih dan Daya Saing Usahatani Jagung Hibrida di Kabupaten Tanggamus. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta: UI-Press.

Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sugiarto, dkk. 2003. Teknik Sampling. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suprapto dan Marzuki. 2002. Bertanam Jagung: Edisi Revisi. Jakarta:


(9)

Penebar Swadaya.

Suprapto. 2002. Keunggulan Kompetitif Dan Komparatif Ekspor Ikan Hias Dki Jakarta Di Pasar Internasional. http://74.125.153.132/search?q=cache:f_ 9b4x0hi0QJ:research.mercubuana.ac.id/proceeding/EKSPOR-IKAN-HIAS-DKI-JAKARTA-DI-PASAR-INTERNASIONAL.doc+penentuan+harga+ bayangan&cd=9&hl=id&ct=clnk&gl=id. Diakses tanggal 22 Januari 2010. Susanto, Ari. 2007. Analisis Efisiensi Produksi dan Pemasaran Jagung di

Kecamatan Ketapang Di Kabupaten Lampung Selatan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 146 hal.

Sahara dan Idris. 2005. Efisiensi Produksi Usahatani Padi Pada Lahan Sawah Irigasi Teknis. http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/ udejournal/(7)%20soca-dewi%20sahara%20dan%20idris-efisiensi%20 produksi(1).pdf. Diakses tanggal 10 Oktober 2009.


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Luas panen, produktivitas, dan produksi jagung pada beberapa

sentra produksi jagung di Indonesia tahun 2003-2007…….…...…. 3

2. Beberapa varietas jagung dan penyebaran di Propinsi Lampung, tahun 2008……….…… 4

3. Luas lahan yang ditanami jagung hibrida per kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2006-2008 (dalam hektar bilangan bulat)….... 5

4. Policy Analysis Matrix (PAM)……….……….……….…….. 28

5. Penentuan harga paritas output……….………....…. 48

6. Penentuan harga paritas input……….……….... 48

7. Policy Analysis Matrix (PAM)………….………….……….…….. 50

8. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2008……….………….………....…. 54

9. Jumlah petani jagung hibrida menurut umur, 2008/2009…..………….... 58

10. Tingkat pendidikan petani responden di Desa Tanjung Jaya, tahun 2008/2009………...…………...…….. 59

11. Pengalaman berusahatani jagung hibrida di Desa Tanjung Jaya, tahun 2008/2009………....………….…….. 60

12. Sebaran petani jagung hibrida berdasarkan jumlah tanggungan keluarga di Kecamatan Ketapang, 2008/2009………..………....…. 61

13. Sebaran petani jagung hibrida berdasarkan pekerjaan non usahatani, 2008/2009……….... 62

14. Sebaran petani jagung hibrida berdasarkan luas lahan, tahun 2008/2009………...….…….. 63


(11)

15. Sebaran petani jagung responden berdasarkan jenis benih yang digunakan di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun

2008/2009………....………….…….. 67 16. Sebaran petani jagung responden berdasarkan jenis benih yang digunakan

di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun

2008/2009………..………..…....…. 68 17. Rata-rata penggunaan benih per usahatani dan per hektar di Kecamatan

Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2008/2009...……….... 68 18. Rata-rata penggunaan pupuk oleh petani jagung responden per usahatani

dan per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2008/2009………...…..…….. 70 19. Sebaran petani jagung responden berdasarkan jenis pestisida yang digunakan

di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2008/2009 71 20. Rata-rata penggunaan tenaga kerja petani jagung responden per usahatani

dan per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan MT I tahun 2008/2009………..…....…. 72 21. Rata-rata penggunaan tenaga kerja petani jagung responden per usahatani

dan per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan MT II tahun 2008/2009...……….. 73 22. Rata-rata penerimaan, biaya, dan keuntungan petani jagung varietas

hibrida per usahatani di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan MT I tahun 2008/2009………...….……. 74 23. Rata-rata penerimaan, biaya, dan keuntungan petani jagung varietas

hibrida per usahatani di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan MT II tahun 2008/2009………...…...…….. 75 24. Hasil analisis regresi fungsi produksi jagung varietas hibrida di Kecamatan

Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009…...…. 78 25. Hasil analisis regresi fungsi produksi jagung varietas hibrida di Kecamatan

Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009... 84 26. Analisis efisiensi produksi usahatani jagung varietas hibrida di Kecamatan

Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun

2008/2009………...….…...…. 93 27. Kombinasi optimal penggunaan faktor-faktor produksi usahatani jagung

varietas hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009………...…...…...…. 95


(12)

28. Analisis efisiensi produksi usahatani jagung varietas hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009…….. 96 29. Kombinasi optimal penggunaan faktor-faktor produksi usahatani jagung

varietas hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009………..…………...…. 97 30. Biaya input tradeable dalam harga privat pada usahatani jagung hibrida per

1,03 hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009………...….…...…. 99 31. Biaya input tradeable dalam harga privat pada usahatani jagung hibrida per

hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009………...…...…...…. 100 32. Biaya input tradeable dalam harga sosial pada usahatani jagung hibrida per

1,03 hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009………...…………...…...…….. 101 33. Biaya input tradeable dalam harga sosial pada usahatani jagung hibrida per

hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009…………...…. 101 34. Biaya input non tradeable dalam harga privat pada usahatani jagung hibrida

per 1,03 hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009... 102 35. Biaya input non tradeable dalam harga sosial pada usahatani jagung hibrida

per 1,03 hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009... 102 36. Biaya input non tradeable dalam harga privat pada usahatani jagung hibrida

per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009………...….…...…. 104 37. Biaya input non tradeable dalam harga sosial pada usahatani jagung hibrida

per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009………...….…...…. 104 38. Biaya input tradeable dalam harga privat pada usahatani jagung hibrida per

1,17 hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009…………...…...…...…. 105 39. Biaya input tradeable dalam harga privat pada usahatani jagung hibrida per

hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009………...…………...…...…….. 106


(13)

40. Biaya input tradeable dalam harga sosial pada usahatani jagung hibrida per 1,17 hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009…………...…. 107 41. Biaya input tradeable dalam harga sosial pada usahatani jagung hibrida per

hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009... 108 42. Biaya input non tradeable dalam harga privat pada usahatani jagung hibrida

per 1,17 hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009………...….…...…. 108 43. Biaya input non tradeable dalam harga sosial pada usahatani jagung hibrida

per 1,17 hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009………...….…...…. 109 44. Biaya input non tradeable dalam harga privat pada usahatani jagung hibrida

per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009…………...…...…...…. 110 45. Biaya input non tradeable dalam harga sosisl pada usahatani jagung hibrida

per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009…………...…...…...…. 111 46. Pendapatan usahatani jagung hibrida per 1,03 hektar dalam harga privat dan

harga sosial di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009…………...…...…...…. 112 47. Pendapatan usahatani jagung hibrida per hektar dalam harga privat dan harga

sosial di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009………...…………...…...…….. 112 48. Pendapatan usahatani jagung hibrida per 1,17 hektar dalam harga privat dan

harga sosial di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan MT II tahun 2008/2009…………...…. 113 49. Pendapatan usahatani jagung hibrida per hektar dalam harga privat dan harga

sosial di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan MT II tahun 2008/2009... 113 50. Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani jagung hibrida per 1,03 hektar di

Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun

2008/2009………...….…...…. 114 51. Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani jagung hibrida per hektar di

Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun


(14)

52. Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani jagung hibrida per 1,17 di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun

2008/2009………...….…...…. 117 53. Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani jagung hibrida per hektar di

Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam membangun

perekonomian suatu negara, terutama negara yang merupakan negara agraris seperti Indonesia. Oleh karena itu, sektor pertanian perlu dikembangkan lebih lanjut demi keberlangsungan perekonomian negara. Sub sektor tanaman pangan merupakan salah satu sub sektor yang memerlukan perhatian besar karena berhubungan langsung dengan ketahanan pangan negara. Ketahanan pangan negara yang kuat akan mendukung negara tersebut untuk memiliki ketahanan nasional yang kuat pula. Untuk dapat memperkuat ketahanan pangan, perlu adanya pengembangan di sektor pertanian, terutama sub sektor tanaman pangan. Tanaman pangan yang ditanam di Indonesia banyak ragamnya, antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dll. Akan tetapi, yang menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia hanyalah padi atau beras. Oleh karena itu, untuk dapat mengurangi ketergantungan masyarakat akan padi atau beras, terdapat alternatif pangan pengganti padi atau beras sebagai pangan pokok di Negara Indonesia, yaitu jagung. Hal ini disebabkan oleh kandungan kimia jagung yang terdiri atas air 13.5%, protein 10%, lemak 4.0%, karbohidrat 61.0%, gula 1.4%, pentosa 6.0%, serat kasar 2.3%, abu 1.4%, dan zat-zat kimia lainnya 0.4% tidak jauh


(16)

berbeda dengan kandungan gizi atau kandungan kimia beras (Dupont, 2006). Mencermati kandungan dan komposisi kimia tersebut, jagung selain merupakan sumber kalori, juga mensuplai nutrisi lainnya yang diperlukan untuk

keseimbangan gizi penduduk.

Selain sebagai bahan pangan, jagung juga digunakan sebagai bahan pakan ternak, pemanis pengganti gula tebu, bahan baku pembuat biofuel, bahan baku pembuat plastik, dan masih banyak lagi (Suhaya,2006). Oleh karena kegunaannya yang banyak tersebut, permintaan jagung dunia menjadi meningkat. Hal ini

menyebabkan harga jagung di pasar dunia juga ikut meningkat.

Jagung bisa ditanam di lahan kering maupun lahan sawah. Akan tetapi, sebagian besar petani jagung di Indonesia lebih banyak menanam jagung di lahan kering. Oleh karena itu, penelitian ini lebih difokuskan pada tanaman jagung yang ditanam di lahan kering.

Indonesia juga merupakan salah satu produsen jagung dunia. Akan tetapi, Indonesia belum bisa mencukupi permintaan jagung di negara sendiri. Hal ini menyebabkan Indonesia mengimpor jagung dari luar negeri. Oleh karena harga jagung dunia melambung tinggi, maka pemerintah Indonesia mencoba untuk mengurangi impor jagung dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri agar dapat memenuhi permintaan dalam negeri, bahkan kalau memungkinkan dapat mengekspor ke luar negeri. Perkembangan luas lahan, produktivitas, dan

produksi, serta pangsa produksi tanaman jagung di 5 propinsi yang menjadi sentra produksi jagung di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.


(17)

Tabel 1. Luas panen, produktivitas, dan produksi jagung pada beberapa sentra produksi jagung di Indonesia tahun 2003-2007

No Propinsi 2003 2004 2005 2006 2007 Growth (%/th) 1 2 3 4 5 Jawa Timur Produksi (ton) Luas panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Pangsa produksi (%) Jawa Tengah Produksi (ton) Luas panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Pangsa produksi (%) Lampung Produksi (ton) Luas panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Pangsa produksi (%) Sumatera Utara Produksi (ton) Luas panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Pangsa produksi (%) Sulawesi Selatan Produksi (ton) Luas panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Pangsa produksi (%)

4.181.550 1.169.388 3,58 38,41 1.836.233 599.973 3,44 16,87 1.087.751 330.852 3,29 10,00 687.360 210.782 3,26 6,31 650.832 213.818 3,04 5,99 4.133.762 1.141.671 3,62 36,86 2.121.297 521.645 3,52 18,90 1.216.974 364.842 3,34 10,84 712.560 214.885 3,31 6,35 674.716 196.393 3,44 6,01 4.398.502 1.167.630 3,65 35,12 2.191.258 578.404 3,67 17,50 1.439.000 409.394 3,49 11,50 735.456 218.375 3,36 5,87 705.995 201.037 3,42 5,64 4.011.182 1.099.184 3,65 34,55 1.856.023 497.928 3,73 15,99 1.183.982 332.640 3,56 10,20 682.024 200.146 3,41 5,87 696.084 206.387 3,37 6,00 4.393.656 1.154.365 3,81 33,08 2.206.639 571.484 3,86 16,62 1.339.074 368.325 3,64 10,08 788.091 227.277 3,47 5,93 896.839 254.526 3,52 6,75 1,5 -0,23 1,58 -3,66 5,6 -0,33 2,93 -0,02 6,38 3,62 2,57 0,5 3,79 2,19 1,57 -1,48 8,94 5,05 3,89 3,27 Indonesia Produksi (ton) Luas panen (ha) Produktivitas (ton/ha) 10.886.442 3.357.803 3,24 11.225.243 3.356.914 3,34 12.523.894 3.506.234 3,43 11.609.463 3.345.805 3,47 13.279.794 3.619.411 3,67 5,44 2,01 3,18 Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2007

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa Propinsi Lampung dan Sulawesi Selatan

memiliki perkembangan yang positif untuk empat variabel jagung yang disajikan, walaupun Propinsi Lampung memiliki perkembangan yang lebih kecil

dibandingkan dengan Propinsi Sulawesi Selatan. Laju pertumbuhan produktivitas Propinsi Lampung menempati urutan ketiga setelah Propinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah selama periode 2003-2007, tetapi laju petumbuhan luas panen Propinsi Lampung menempati urutan kedua setelah Propinsi Sulawesi Selatan. Hal ini berarti Propinsi Lampung memiliki potensi yang cukup baik untuk dapat menjadi produsen jagung terbesar di Indonesia, karena apabila produktivitas dan


(18)

luas panen jagung di Propinsi Lampung ditingkatkan, maka ada kemungkinan Propinsi lampung akan menjadi sentra produksi terbesar di Indonesia.

Untuk dapat meningkatkan produksi dan produktivitas jagung domestik, pemerintah menyarankan untuk menggunakan benih jagung hibrida yang hasil produksinya bisa mencapai 8 – 14 ton per hektar (Tempo, 2007). Penyebaran jagung di Propinsi Lampung berdasarkan varietas yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa varietas jagung dan penyebaran di Propinsi Lampung, 2008 No Varietas Kabupaten/Kota (ha/Pohon/Rumpun)

L.Brt Tgms L.Sel L.Tim L.Teng L.Utr W.Knn T.Bw B.L Mtro Jmlh

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Hibrida P.12 Bisi.16 P.11 P.21 Bisi.2 Komposit Arjuna Bisma Sukmaraga Lamuru Srikandi Kuning SHS.11 SHS.12 Jaya.1 Jaya.2 Lokal/ lain-lain 25 99 6 105 26 5 3 3 4 10 - 10 - 7 37 100 560 50 602 160 15 12 10 15 25 75 75 15 - 610 250 11.135 225 11.520 550 50 50 50 75 25 10 115 15 60 11.865 1.500 6.734 700 6.733 1.600 60 40 40 50 600 75 90 10 100 8.562 1.250 6.251 750 6.549 1.500 100 75 75 150 300 150 100 175 50 3.598 200 1.900 100 2.190 400 125 60 50 90 200 125 100 150 100 2.392 100 600 75 650 150 75 50 40 60 100 75 125 60 70 530 750 1.750 400 1.825 500 100 75 60 125 300 150 75 96 82

902 30 150 - 160 196 4.175 29.175 2.306 30.244 4.886 530 365 328 569 1.560 750 690 521 469 28.722 Jumlah 340 2.324 36.085 26.894 20.983 8.812 2.760 7.190 30 506 105.294

Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Lampung, 2008

Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis benih hibrida yang tersebar di Propinsi Lampung adalah P.12, Bisi 16, P.11, P.21, dan Bisi 2. Dilihat dari

penyebarannya, maka penyebaran benih jagung hibrida paling banyak adalah di daerah Lampung Selatan, yaitu sebesar 23.680 ha. Perkembangan luas lahan yang ditanami jagung hibrida di Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2006-2007 dapat dilihat pada Tabel 3.


(19)

Tabel 3. Luas lahan yang ditanami jagung hibrida per kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2006-2008 (dalam hektar bilangan bulat)

No Nama Total Lahan Sawah Total Lahan Non Sawah

Kecamatan 2006 2007 2008 2006 2007 2008*

1 Padang Cermin* 195 575 - 3,040 4,780 -

2 Padang Pidada* 0 0 - 0 0 -

3 Kedondong* 0 0 - 3 8 -

4 Way Lima* 0 0 - 25 94 -

5 Gedong Tataan* 20 120 - 690 3,920 -

6 Negeri Katon* 0 0 - 4,932 16,434 -

7 Tegineneng* 0 0 - 10,168 16,381 -

8 Natar 10 2,070 3,385 18,605 31,835 45,405

9 Jati Agung 1,750 1,530 1,500 7,750 16,050 22,600

10 Tanjung Bintang 524 411 357 10,599 13,266 12,518

11 Tanjung Sari ** 0 0 90 0 0 6,436

12 Katibung 0 20 0 13,570 12,104 16,928

13 Merbau Mataram 0 0 0 11,558 17,312 16,292

14 Way Sulan ** 0 0 0 0 0 9,983

15 Sidomulyo 3,593 1,158 3,405 11,096 15,845 19,138

16 Candipuro 2,270 1,101 0 5,858 6,408 9,682

17 Way Panji ** 0 0 2,577 0 0 8,462

18 Kalianda 1,054 1,593 429 7,413 10,185 16,936

19 Rajabasa 642 69 250 62 269 552

20 Palas 1,388 8,228 674 8,106 16,784 19,492

21 Sragi 0 0 0 5,239 24,664 11,255

22 Penengahan 310 60 275 32,309 32,300 37,778

23 Ketapang 0 0 0 34,960 56,980 49,904

24 Bakauheni 0 0 0 0 0 21,080

Jumlah 11,756 16,935 12,942 185,983 295,619 324,441

Keterangan:

* : sudah menjadi Kabupaten Pesawaran pada tahun 2008

**: belum ada pada tahun 2006 dan merupakan pemekaran pada tahun 2007 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten lampung Selatan, 2009

Pada tahun 2006, kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan masih berjumlah 21 kecamatan, seperti dapat dilihat pada Tabel 3 di atas. Akan tetapi, terjadi pemekaran kabupaten pada tahun 2007. Tujuh dari 21 kecamatan yang ada di Lampung Selatan dimekarkan menjadi kabupaten baru, yaitu Kabupaten Pesawaran. Walaupun begitu, luas lahan yang ditanami jagung hibrida di Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2008 tetap mengalami peningkatan


(20)

menjadi 337.383 ha dari 197.739 ha pada tahun 2006. Kecamatan dengan luas tanam jagung terbesar di Kabupaten Lampung Selatan selama periode 2006 sampai tahun 2008 adalah Kecamatan Ketapang.

Jika dilihat dari perkembangan produksi dan luas panen jagung nasional, maka dapat dilihat bahwa terdapat fluktuasi pada hasil produksi dan juga luas panen di tiap tahunnya dari tahun 2003 hingga 2007. Akan tetapi, perbandingan antara perubahan produksi terkadang tidak berbanding lurus atau tidak sebanding dengan perubahan luas panen pada saat itu. Hal ini mungkin saja terjadi karena adanya alokasi penggunaan faktor produksi yang kurang efisien. Keadaan ini idak hanya terjadi pada hasiil produksi dan luas panen secara keseluruhan, tetapi terjadi juga pada 5 propinsi sentra produksi jagung di Indonesia.

Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan usahatani jagung nasional, khususnya untuk mencapai target swasembada jagung nasional, perlu dilakukan kajian/analisis efesiensi produksi dan daya saing usahatani jagung di sentra-sentra produksi jagung nasional, termasuk di Propinsi Lampung, khususnya di

Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan.

Dilihat dari uraian latar belakang yang ada, maka rumusan masalah yang hendak dikaji/dianalisis melalui penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap produksi jagung varietas hibrida di lahan kering di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan?

2. Bagaimana efisiensi produksi jagung varietas hibrida yang ada di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan?


(21)

3. Bagaimana daya saing jagung varietas hibrida yang ada di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan?

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang ada, maka tujuan penelitian adalah: 1. Menganalisis factor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi

jagung varietas hibrida di lahan kering di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan.

2. Menganalisis efisiensi produksi jagung hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan.

3. Menganalisis daya saing usahatani jagung hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan.

C. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan berguna sebagai:

1. Pertimbangan bagi petani dalam mengefisiensikan biaya produksi usahataninya.

2. Informasi bagi instansi terkait dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan efisiensi biaya produksi dan daya saing usahatani jagung hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Budidaya Tanaman Jagung

Menurut Iriany, Yasin, dan Takdir (2007), jagung merupakan tanaman

semusim determinat, dan satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk pertumbuhan generatif. Klasifikasi tanaman jagung adalah: Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Class : Monocotyledoneae

Ordo : Poales

Familia : Poaceae

Genus : Zea

Spesies : Zea mays L

Jenis jagung dapat diklasifikasikan berdasarkan: (a) sifat biji dan endosperm, (b) warna biji, (c) lingkungan tempat tumbuh, (d) umur panen, dan (e) kegunaan. Jenis jagung berdasarkan lingkungan tempat tumbuh meliputi: (a) dataran rendah tropik (<1.000 m dpl), (b) dataran rendah subtropik dan


(23)

mid-altitude (1.000-1.600 m dpl), dan (c) dataran tinggi tropik (>1.600 m dpl). Jenis jagung berdasarkan umur panen dikelompokkan menjadi dua yaitu jagung umur genjah dan umur dalam. Jagung umur genjah adalah jagung yang dipanen pada umur kurang dari 90 hari, jagung umur dalam dipanen pada umur lebih dari 90 hari.

Sejalan dengan perkembangan pemuliaan tanaman jagung, jenis jagung dapat dibedakan berdasarkan komposisi genetiknya, yaitu jagung hibrida dan jagung bersari bebas. Jagung hibrida mempunyai komposisi genetik yang heterosigot homogenus, sedangkan jagung bersari bebas memiliki komposisi genetik heterosigot heterogenus. Kelompok genotipe dengan karakteristik yang spesifik (distinct), seragam (uniform), dan stabil disebut sebagai varietas atau kultivar, yaitu kelompok genotipe dengan sifat-sifat tertentu yang dirakit oleh pemulia jagung. Diperkirakan di seluruh dunia terdapat lebih dari 50.000 varietas jagung.

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), tanaman jagung memerlukan aerasi dan drainase yang baik sehingga perlu penggemburan tanah. Pada umumnya persiapan lahan untuk tanaman jagung dilakukan dengan cara dibajak sedalam 15 – 20 cm, diikuti dengan penggaruan tanah sampai rata. Ketika

mempersiapkan lahan, sebaiknya tanah jangan terlalu basah, tetapi cukup lembab sehingga mudah dikerjakan dan tidak lengket. Untuk jenis tanah berat dengan kelebihan air, perlu dibuatkan saluran drainase.


(24)

a. Pengolahan Lahan

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005) terkadang lahan harus dipersiapkan dengan cepat karena hujan sudah mulai turun. Apabila tidak sempat untuk mempersiapkan lahan secara keseluruhan karena waktu tanam yang mendesak, maka pengolahan tanah dilakukan pada areal yang akan ditanami saja.

Tindakan ini hanya untuk memburu waktu penanaman, sisa tanah yang belum dikerjakan digarap bersamaan dengan penyiangan pertama (15 hari setelah penanaman).

Pada lahan tegalan, penanaman lebih baik dilakukan pada saat musim labuhan (permulaan musim hujan) yaitu pada bulan September – November atau pada saat musim marengan (musim hujan hampir berakhir), yaitu pada bulan Februari - April. Pada lahan jenis sawah, penanaman dapat dilakukan pada musim labuhan, musim marengan, dan musim kemarau. Khusus penanaman pada musim labuhan sebaiknya dipilih varitas yang genjah (umurnya pendek) sehingga tersedia waktu untuk persiapan penanaman padi.

b. Penanaman

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005) pada saat penanaman, tanah harus cukup lembab tetapi tidah becek. Pola dan jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur panen karena semakin panjang umurnya, tanaman akan semakin tinggi dan membutuhkan tempat yang lebih luas. Jagung berumur panjang (umur panen lebih dari 100 hari) sebaiknya ditanam dengan jarak 100 cm x 40 cm. Jagung berumur sedang (umur panen 80 - 100 hari) sebaiknya ditanam


(25)

dengan jarak 75cm x 25 cm. Jagung berumur pendek (umur panen kurang dari 80 hari), jarak tanamnya sebaiknya dengan jarak 50 cm x 20 cm.

Sebelum benih ditanam, tanah dilubangi terlebih dahulu dengan tugal sedalam 3 - 5 cm kemudian diisi dengan 1 atau 2 benih setiap lubangnya. Lubang dibuat sedalam 3 – 5 cm menggunakan tugal, setiap lubang diisi 2 -3 biji jagung kemudian lubang ditutup dengan tanah.

c. Pemupukan

Selanjutnya Suprapto dan Marzuki (2005) menyatakan bahwa dari semua unsur hara yang diperlukan tanaman, biasanya pupuk hanya memberikan unsur nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Ketiga unsur ini merupakan tiga unsur utama. Penyerapan zat hara ini oleh tanaman sangat bervariasi tergantung kepada tingkat kesuburan tanah, keadaan lingkungan, serta keadaan tanaman itu sendiri.

Nitrogen dibutuhkan tanaman jagung selama masa pertumbuhan sampai fase pematangan biji. Kekurangan nitrogen dalam tanaman, walaupun pada stadia permulaan akan menurunkan hasil. Kebutuhan N ini perlu dipenuhi sebab bila kekurangan N, tanaman akan menjadi kerdil dan daun menjadi sempit.

Jumlah pupuk N yang diperlukan sekitar 200 – 300 kg urea/hektar. Urea diberikan tiga kali, yaitu 1/3 bagian pada waktu tanam, 1/3 bagian pada waktu berumur 30 hari, dan 1/3 lainnya pada waktu umur 40 – 45 hari.

Tanaman jagung membutuhkan pasokan unsur P sampai stadia lanjut, khususnya saat tanaman masih muda. Gejala kekurangan fosfat, seperti


(26)

pertumbuhan terhambat (kerdil) dan daun-daun/malai menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun (Hardjowigeno, 1993 dalam Tani Muda), akan terlihat sebelum tanaman setinggi lutut. Jumlah pupuk fosfat yang dianjurkan sekitar 40 – 80 kg TSP/ha yang diberikan sebagai pupuk dasar (sehari sebelum tanam atau bersamaan tanam).

Sejumlah besar kalium diambil tanaman sejak tanaman setinggi lutut sampai selesai pembungaan. Dosis pupuk K kurang lebih 50 KCl per hektar,

diberikan pada waktu tanam sebagai pupuk dasar. Pada tanah yang kaya akan kalium, pemupukan dengan kalium ini dapat ditiadakan. Pupuk diberikan di dalam lubang yang dibuat dengan tugal di kiri atau kanan lubang tanam dengan jarak 7 cm dan kedalaman 10 cm.

d. Pemeliharaan

Suprapto dan Marzuki (2005) menyatakan bahwa tindakan pemeliharaan jagung yang dilakukan antara lain adalah penyulaman (mengganti benih ang tidak tumbuh dengan benih baru), penjarangan, penyiangan, pembumbunan, dan pemangkasan daun. Penyulaman dapat dilakukan sekitar 1 minggu. Penjarangan tanaman dilakukan 2 – 3 minggu setelah tanam. Tanaman yang sehat dan tegap terus dipelihara sehingga diperoleh populasi tanaman yang diinginkan.

Penyiangan pertama dilakukan pada umur 15 hari setelah tanam dan harus dijaga agar jangan sampai mengganggu atau merusak akar tanaman. Penyiangan kedua dilakukan sekaligus dengan pembumbunan pada waktu


(27)

pemupukan kedua. Pembumbunan ini, selain untuk memperkokoh batang juga untuk memperbaiki drainase dan mempermudah pengairan.

Tindakan pemeliharaan lainnya adalah pemangkasan daun. Daun segar dapat digunakan sebagai pakan ternak, misalnya sapi, kerbau, dan lain-lain,

kemudian dapat dikembalikan ke lahan dalam bentuk pupuk kandang. Hasil penelitian Suprapto dan Marzuki (2005) menunjukkan bahwa pemangkasan seluruh daun pada fase kemasakan tidak menurunkan hasil secara nyata karena pada fase itu biji telah terisi penuh.

Jagung tumbuh dengan baik pada curah hujan 250 – 5.000 mm selama pertumbuhannya. Air sangat diperlukan pada saat penanaman, pembungaan (45 – 55 hari sesudah tanam) dan pengisian biji (60 – 80 hari setelah tanam). Pada masa pertumbuhan, kebutuhan airnya tidak begitu tinggi dibanding dengan waktu berbunga (yang membutuhkan air terbanyak). Pada masa berbunga ini waktu hujan yang pendek diselingi dengan matahari, jauh lebih baik daripada hujan terus-menerus.

Pengairan sangat penting untuk mencegah tanaman jagung menjadi layu. Daerah dengan curah hujan yang tinggi, pengairan melalui air hujan dapat mencukupi. Pengairan juga dapat dilakukan dengan mengalirkan air melalui parit di antara barisan jagung atau menggunakan pompa air bila kesulitan mendapatkan air.


(28)

(1) Penyakit Penting Tanaman Jagung

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), penyakit berbahaya pada bertanam jagung umumnya disebabkan oleh jamur. Berikut beberapa jenis penyakit berbahaya tersebut.

(a) Penyakit Bulai (Corn Downey Midew) (b) Penyakit Hawar Daun

(c) Penyakit Karat

(2) Hama Penting Tanaman Jagung

Suprapto dan Marzuki (2005) juga menjelaskan bahwa seperti halnya penyakit, kehadiran hama juga sangat merugikan. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai hama tanaman jagung sangat penting. Tindakan pencegahan dapat dilakukan sejak jagung masih berupa benih, atau melalui pengaturan waktu tanam, dan penggunaan insektisida. Beberapa hama penting tanaman jagung adalah:

(a) Lundi

(b) Lalat bibit (Atherigona exagu Stein.)

(c) Ulat tanah (Agrotis sp.) dan ulat daun (Prodenia litura F.) (d) Penggerek batang (Sesamia inferens Wlk. dan Pyrausta nubila) (e) Ulat tentara (Leucania unifuneta HAW)


(29)

e. Panen

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), waktu panen jagung dipengaruhi oleh jenis varietas yang ditanam, ketinggian lahan, cuaca, dan derajat masak. Umur panen jagung yang ditanam di dataran rendah lebih pendek dari yang ditanam di dataran tinggi. Tanaman ini umumnya sudah cukup masak dan siap sipanen pada umur 7 minggu setelah berbunga. Pemanenan dilakukan apabila jagung sudah cukup tua, yaitu bila kulit jagung (kelobot) sudah kuning. Pemeriksaan di kebun dapat dilakukan dengan menekankan kuku ibu jari pada bijinya, bila tidak membekas, maka jagung dapat segera dipanen. Daerah bercurah hujan rendah dan tinggi cara memanennya berbeda. Di daerah yang curah hujannya rendah, jagung yang sudah matang dibiarkan dipohon sampai kering (kadar air 17 – 20%), baru dipetik tanpa kelobotnya. Di daerah curah hujan tinggi, jagung dipanen dalam keadaan segar (kadar air 30 – 40%), kemudian kelobotnya dikupas.

f. Pasca panen

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), selain waktu dan cara panen, penanganan pascapanen jagung juga akan menentukan kualitas hasil.

Pengelolaan pascapanen yang tepat akan menunjang keberhasilan pemasaran. (1). Pengeringan

Setelah dipanen kulit jagung sebaiknya segera dikupas kemudian dijemur sampai cukup kering. Pengeringan jagung pada umumnya dilakukan dengan menghamparkan jagung di bawah terik matahari, menggunakan alas tikar atau


(30)

terpal. Pada cuaca cerah, penjemuran dilakukan selama 3 – 4 hari. Pengeringan juga dapat menggunakan mesin ”grain dryer”.

Jagung yang telah cukup kering segera dipipil. Dalam jumlah kecil, pemipilan jagung dapat dilakukan dengan tangan, tetapi dalam jumlah besar, sebaiknya menggunakan alat pemipil. Setelah dipipil, biji jagung harus segera dijemur lagi sampai kering konstan (kadar air kurang dari 12%), agar dapat disimpan lama, biasanya memerlukan waktu penjemuran 60 jam di bawah sinar matahari langsung.

(2). Penyimpanan

Dalam penyimpanan jagung, kadar air bahan sangat menentukan daya simpan. Penyimpanan jagung dapat dilakukan dalam beberapa bentuk jagung, yaitu jagung berkulit, tongkol terkupas, dan pipilan. Jagung yang disimpan umumnya dalam keadaan kering dengan kadar air maksimum 14%. Untuk menyimpan dalam waktu lama, biji jagung atau kelobot dapat disimpan di karung yang bersih.

(3) Pengolahan

Cara pengolahan jagung ada 2 macam, yaitu:

(a) Pengolahan basah (wet process), yaitu pengolahan jagung yang dilakukan dengan merendam jagung terlebih dahulu di dalam air sehingga menghancurkannya lebih mudah, dan setelah itu dikeringkan. (b) Pengolahan kering (dry process), yaitu pengolahan secara kering tanpa


(31)

(4). Pemasaran

Perbandingan yang menguntungkan antara nilai dan biaya produksi merupakan salah satu perangsang bagi petani untuk meningkatkan

produksinya. Untuk mencapai sasaran tersebut, kenaikan produksi pertanian yang tinggi tanpa diimbangi dengan sistem tataniaga yang baik justru dapat merugikan petani karena inefisiensi. Peningkatan ini juga harus diimbangi dengan kualitas.

Pemanfaatan jagung untuk konsumsi penduduk sangat dipengaruhi oleh ketersediaan beras dan tingkat harganya. Perkembangan industri minyak dan pakan ternak juga telah mendorong meningkatnya permintaan jagung di dalam negeri. Oleh karena itu, usaha untuk mencapai produksi jagung yang tinggi perlu diikuti dengan pengadaan saluran pemasaran yang pasti dan mampu menciptakan keuntungan bagi petani. Pada umumnya mata rantai

perdagangan jagung adalah seperti Gambar 1.

Gambar 1. Diagram rantai pemasaran jagung Sumber: Suprapto dan Marzuki (2005)

Biasanya petani selalu berada pada posisi yang sulit, karena pemasaran hasil produksinya mengahadapi dilema harga yang tidak menguntungkan, terutama pada saat-saat panen. Untuk itu perlu diperhatikan bahwa peningkatan produktivitas jagung dari tahun ke tahun harus diikuti oleh perbaikan sistem tataniaga, sehingga petani dapat merasakan arti kenaikan produksinya. Salah

Petani Pedagang Desa Pedagang Besar

Pabrik Makanan


(32)

satu upaya yang dapat dilakukan adalah membangun kemitraan antara petani dan pengusaha Pabrik Makanan Ternak (PMT) atau mengaktifkan peran KUD untuk menampung hasil produksi petani dengan harga dasar yang memadai.

2. Teori Ekonomi Produksi

Menurut Soekartawi (2003), istilah faktor produksi sering pula disebut dengan “korbanan produksi”, karena faktor produksi tersebut “dikorbankan” untuk menghasilkan produksi. Dalam bahasa Inggris, faktor produksi ini disebut dengan “input”. Hubungan antara input (faktor produksi) dengan output (produksi) disebut “factor relationship” (FR). Dalam rumus matematis, FR ini dapat dituliskan sebagai:

Y = f(X1. X2, … , Xi, …Xn) ...(1) di mana:

Yi = produk atau variabel yang dipenagruhi oleh faktor produksi, Xi. Xi = faktor produksi atau variabel yang mempengaruhi Y.

i = 1, 2, 3, ..., n.

Dalam praktek, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Faktor biologi, seperti lahan pertanian (dengan macam dan tingkat

kesuburannya), bibit, varietas, pupuk, obat-obatan, gulma, dan sebagainya. b. Faktor sosial-ekonomi, seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat

pendapatan, risiko dan ketidakpastian, kelembagaan, tersedianya kredit, dan sebagainya.


(33)

a. Lahan pertanian

Soekartawi (2003) menjelaskan bahwa dalam banyak kenyataan, lahan pertanian dapat dibedakan dengan tanah pertanian. Lahan pertanian banyak diartikan sebagai tanah yang disiapkan untuk diusahakan usaha tani, misalnya sawah, tegalan dan pekarangan; sedangkan tanah pertanian adalah tanah yang belum tentu diusahakan dengan usaha pertanian. Dengan demikian luas tanah pertanian selalu lebih luas daripada lahan pertanian.

Ukuran lahan pertanian sering dinyatakan dengan hektar, tetapi bagi petani di pedesaan, seringkali masih menggunakan ukuran tradisional, misalnya ”ru”, ”bata”, ”jengkal”, ”patok”, ”bahu”, dsb. Di samping ukuran luas lahan, maka ukuran nilai lahan juga perlu diperhatikan. Ukuran nilai tanah akan berubah karena beberapa hal, antara lain: tingkat kesuburan tanah, lokasi, topografi, status lahan, dan faktor lingkungan.

b. Tenaga Kerja

Menurut Soekartawi (2003), beberapa hal yang perlu diperhatikan pada faktor produksi tenaga kerja adalah: tersedianya tenaga kerja, kualitas tenaga kerja, jenis kelamin, tenaga kerja musiman, upah tenaga kerja, dan besar kecilnya upah tenaga kerja. Besar kecilnya upah tenaga kerja ditentukan oleh berbagai hal, antara lain: mekanisme pasar atau bekerjanya sistem pasar, jenis kelamin, kualitas tenaga kerja, umur tenaga kerja, lama waktu bekerja, dan tersedia tidaknya tenaga kerja bukan manusia.


(34)

c. Modal

Menurut Soekartawi (2003), dalam kegiatan proses pertanian, modal dibedakan menjadi dua macam, yaitu modal tetap dan modal tidak tetap (biasanya disebut modal variabel). Modal tetap didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam sekali proses produksi tersebut. Akan tetapi, istilah modal tetap hanya berlaku untuk proses produksi yang terjadi dalam waktu yang relatif pendek (short term), tetapi tidak berlaku untuk jangka panjang (long term). Modal tidak tetap atau modal variabel adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dalam satu kali proses produksi tersebut, misalnya biaya produksi yang dikeluarkan untuk membeli benih, pupuk, obat-obatan, atau yang dibayarkan untuk tenaga kerja. Besar-kecilnya modal dalam usaha pertanian tergantung dari berbagai hal, antara lain: skala usaha, macam komoditas, dan tersedianya kredit.

d. Manajemen

Dalam usahatani modern, peranan manajemen menjadi sangat penting dan srategis. Manajemen dapat diartikan sebagai ”seni” dalam merencanakan, mengorganisasi dan melaksanakan serta mengevaluasi suatu proses produksi. Dalam praktek, faktor manajemen ini banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek, antara lain: tingkat pendidikan, tingkat keterampilan, skala usaha, besar-kecilnya kredit, dan macam komoditas.


(35)

Soekartawi (2003) menyatakan bahwa ada kaitan antara produk marginal (PM), produk rata-rata (PR), produk total (PT), melalui hubungan antara input dan output yang lebih informatif. Dilihat dari keterkaitan tersebut, maka dapat diketahui elastisitas produksi yang sekaligus juga akan diketahui apakah proses produksi yang sedang berjalan dalam keadaan elastisitas produksi yang rendah atau sebaliknya.

(1). Elastisitas produksi

Elstisitas produksi (Ep) adalah presentase perubahan dari output sebagai akibat dari presentase perubahan dari input. Ep ini dapat dituliskan melalui rumus :

X

X Y

Y Ep  /

, ...(2) atau

Y

X X Y

Ep .

  

...(3) Karena ΔY/ΔX adalah PM, maka besarnya Ep tergantung dari besar kecilnya PM dari suatu input, misalnya input X.

(2). Hubungan antara PM dan PT: Gambar 2 memperlihatkan bahwa:

(a). Bila PT meningkat, maka nilai PM positif.

(b). Bila PT mencapai maksimum, maka nilai PM menjadi nol. (c). Bila PT sudah menurun, maka nilai PM menjadi negatif. (d). Bila PT meningkat pada tahapan ”increasing rate”, maka PM


(36)

Secara grafik, hubungan PT, PM, PR, dan Ep disajikan pada Gambar 1. Y

PT max

Daerah I Daerah II Daerah III (Ep > 1) (0 < Ep ≤ 1) (Ep < 0)

PR

0 Ep = 1 Ep = 0 PM X Gambar 2. Hubungan antara produk total (PT), produk rata-rata (PR), produk marjinal (PM), dan elastisitas produksi (Ep)

Sumber: Soekartawi, 2003

(3). Hubungan antara PM dan PR

Apabila PR didefinisikan sebagai perbandingan antara PT dengan sejumlah input, maka rumus untuk mencari PR adalah:

X Y

PR

...(4) Dengan demikian, hubungan antara PM dan PR dapat dicari, antara lain:

(a) Bila PM lebih besar dari PR, maka posisi PR masih dalam keadaan meningkat.

(b) Bila PM lebih kecil dari PR, maka posisi PR dalam keadaan menurun. (c) Bila PM sama dengan PR, maka PR dalam keadaan maksimum.


(37)

Kalau hubungan antara PM dan PT serta PM dan PR dikaitkan dengan besar kecilnya Ep, maka Gambar 2 dapat pula menjelaskan bahwa:

(a) Ep = 1 bila PR mencapai maksimum atau bila PR sama dengan PM-nya. (b) Ep = 0 bila PM = 0 dan PR dalam situasi sedang menurun.

(c) Ep >1 bila PT meningkat pada tahapan increasing rate dan PR juga meningkat di daerah I. Pada daerah ini petani masih mampu

memperoleh sejumlah produksi yang cukup menguntungkan manakala sejumlah input masih ditambahkan.

(d) Nilai 1 < Ep <0, dalam keadaan demikian, maka penambahan sejumlah input tidak diimbangi secara proporsional oleh tambahan output yang diperoleh. Peristiwa seperti ini terjadi di daerah II, di mana ketika ditambahkan sejumlah input, maka PT tetap meningkat pada tahapan decreasing rate.

(e) Nilai Ep < 0, berada di daerah III. Pada situasi yang demikian, PT dalam keadaan menurun, nilai PM menjadi negatif dan PR dalam keadaan menurun. Dalam keadaan ini, setiap penambahan input akan tetap merugikan bagi petani yang bersangkutan.

3. Konsep Efisiensi Produksi

Menurut Beattie dan Taylor (2003), hubungan teknis antara input dan output disebut fungsi produksi, atau fungsi produksi adalah suatu deskripsi

matematis atau kuantitatif dari berbagai macam kemungkinan-kemungkinan produksi teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Hubungan input output dirumuskan sebagai :


(38)

Y = f (X1,X2,X3,………….., Xi) ………..(5) Keterangan: Y = output atau produksi

X = input atau masukan ke-i (i = 1,2,3,...,n)

Menurut Soekartawi (2003) bentuk model yang akan digunakan untuk formulasi fungsi produksi antara lain adalah model fungsi linear, fungsi persamaan kuadratik, dan model fungsi Cobb-Douglas. Masing-masing formulasi fungsi produksi tersebut memiliki kelemahan. Kelemahan fungsi linear terletak pada jumlah variabel X yang hanya satu dipakai di dalam model sehingga tidak dapat memasukkan variabel lain. Di antara penduga fungsi produksi yang paling banyak dipakai adalah fungsi produksi Cobb-Douglas, apalagi jika suatu persamaan menggunakan lebih dari tiga variabel bebas.

Menurut Soekartawi (2003), model fungsi Cobb-Douglas lebih banyak

dipergunakan karena model ini memiliki kelebihan dari fungsi lainnya, yaitu : a. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relative mudah dibandingkan dengan

fungsi yang lain, misalnya fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linear.

b. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan dihasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan besaran elastisitas. c. Jumlah dari elastisitas merupakan ukuran return to scale.

Dalam teori produksi terdapat tiga perhitungan, yaitu :

a. Produksi Total (PT), yaitu jumlah produk yang diproduksi selama suatu periode waktu tertentu dengan menggunakan semua faktor produksi yang dibutuhkan dalam proses produksi tersebut. Misalnya, faktor produksi


(39)

yang digunakan adalah tenaga kerja (L) dan modal (K), di mana kedua faktor produksi tersebut disebut input. Setelah melalui proses produksi, input tersebut akan menghasilkan output, dan output inilah yang disebut Produk Total.

b. Produksi Rata-Rata (PR), yaitu pembagian jumlah total output dengan jumlah total input, yang dituliskan dalam bentuk rumus sebagai:

PR = Total Produksi ...(6) Input Variabel

c. Produk Marjinal (PM), yaitu perubahan output karena adanya perubahan input satu satuan terkecil, atau perubahan dalam produksi total jika kita menambah penggunaan satu satuan input variabel. Apabila dituliskan dalam bentuk rumus, maka PM adalah:

PM = ∆ Total Produksi ...(7) ∆ Input Variabel

Dalam terminologi ilmu ekonomi, efisiensi dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu (1) efisiensi teknis, (2) efisiensi harga atau alokatif, dan (3) efisiensi ekonomi. Suatu penggunaan faktor produksi dapat dikatakan efisien secara teknis faktor produksi yang dipakai menghasilkan produk yang

maksimal (pada saat PR mencapai maksimum atau pada saat elastisitas produksi (Ep) besarnya adalah 1). Dikatakan efisien secara teknis apabila dengan menggunakan input dalam jumlah yang sama dapat menghasilkan output yang lebih tinggi. Dikatakan efisiensi harga apabila sejumlah output yang sama diproduksi dengan biaya yang paling rendah. Dikatakan efisiensi ekonomi apabila usaha pertanian tersebut mencapai efisiensi teknis sekaligus mencapai efisiensi harga.


(40)

Menurut Soekartawi (1990) dalam Hidayat (2009), pengukuran efisiensi dengan menggunakan model fungsi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut: Y = AXi bi ...(8) PM = ∂y

∂Xi ...(9) = bi AXi bi-1 ...(10) = bi Y ...(11) Xi

NPM = PM . Py, maka NPM = bi Y . Py ...(12) Xi

Usaha tani yang dilakukan efisien jika:

bi . Y . Py = 1 ...(13) Xi . Pxi

atau

NPM = Px ...(14) atau

NPM = 1...(15) Px

Keterangan:

bi = koefisien regresi ke- i (i = 1,2,3,...,n) Y = produksi yang dihasilkan

Py = harga jual produksi Xi = faktor produksi ke-i Px = harga faktor produksi NPM= nilai produk marjinal n = jumlah faktor produksi

Penggunaan faktor produksi harus ditambah apabila nilai produk marjinal (NPM) lebih besar dari harga faktor produksi. Apabila nilai produk marjinal (NPM) lebih kecil dari harga faktor produksi, maka penggunaan faktor produksi harus dikurangi, dan apabila nilai produk marjinal (NPM) sama


(41)

dengan harga faktor produksi, maka penggunaan faktor produksi telah efisien secara ekonomi, dan menghasilkan keuntungan maksimum.

Terdapat beberapa alasan mengapa sulit untuk membuat nilai produksi marjinal sama dengan harga faktor produksinya dalam keadaan yang

sesungguhnya terjadi di lapangan, antara lain : (1) pengetahuan petani dalam menggunakan faktor produksi terbatas, (2) kesulitan petani dalam memperoleh faktor produksi dalam jumlah yang tepat, dan (3) adanya faktor luar yang menyebabkan petani tidak berusahatani secara efisien. Jika fungsi produksi merupakan fungsi Cobb-Douglas, maka kemungkinan kondisi persamaan yang dapat ditemui adalah :

a. Pxi Xi Py Y bi . . .

>1 ; artinya penggunaan faktor produksi xi belum efisien secara ekonomis. Agar keuntungan maksimum tercapai maka penggunaan faktor produksi xi perlu ditambah, sehingga nilai produk marjinal (NPMxi) sama dengan harga faktor produksi ke-i (Pxi). b. Pxi Xi Py Y bi . . .

=1 ; artinya penggunaan faktor produksi xi telah efisien secara ekonomis. Nilai produk marjinal (NPMxi) sama dengan harga faktor produksi ke-i (Pxi).

c. Pxi Xi Py Y bi . . .

<1 ; artinya penggunaan faktor produksi xi belum efisien secara ekonomis. Agar keuntungan maksimum tercapai maka penggunaan faktor produksi xi perlu dikurangi, sehingga nilai produk marjinal (NPMxi) sama dengan harga faktor produksi ke-i (Pxi)


(42)

4. Konsep Daya Saing Dengan Menggunakan PAM (Policy Analysis Matrix)

Menurut Pearson, Gotsch, dan Bahri (2005) metode PAM membantu

pengambil kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan daya saing sebuah sistem usahatani pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Isu kedua ialah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Isu ketiga berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efiensi sistem usahatani.

Tabel 4. Policy Analysis Matrix (PAM)

No Keterangan Penerimaan

Output Biaya Keuntungan Input Tradeable Input Nontradeable 1 2 3 Harga privat Harga sosial Dampak kebijakan A E I B F J C G K D H L

Sumber : Monke dan Pearson, 1995. dimana:

Keuntungan Finansial (D) = A-(B+C)

Keuntungan Ekonomi (H) = E-(F+G)

Transfer Output (OT) (I) = A-E

Transfer Input Tradeable (IT) (J) = B-F

Transfer Input Nontradeable (FT) (K) = C-G

Transfer Bersih (NT) (L) = I-(K+J)

Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B)

Rasio BSD (DRC) = G/(E-F)

Koefisien Proteksi Output Nominal (NCPO) = A/E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F


(43)

Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A-B)/(E-F)

Koefisisen Keuntungan (PC) = D/H

Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) = L/E

Tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam tiga isu sentral di atas. Sebuah tabel PAM untuk suatu usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat. Tujuan kedua dari analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani. Tujuan ketiga dari analisis PAM adalah menghitung transfer effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan.

Matriks PAM terdiri atas dua identitas, yaitu identitas tingkat keuntungan (profitability identity) dan identitas penyimpangan (divergences identity). Identitas keuntungan pada sebuah tabel PAM adalah hubungan perhitungan lintas kolom dari matriks. Identitas penyimpangan (divergences identity) adalah hubungan lintas baris dari matriks.

Identitas keuntungan (profitability identity) – keuntungan privat hanya memperlihatkan angka-angka yang ada pada baris pertama dari tabel PAM, yang berisikan nilai-nilai yang dihitung berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar). Huruf A adalah simbol untuk pendapatan pada tingkat harga privat, huruf B adalah simbol untuk biaya input tradabel (tradeable inputs) pada tingkat harga privat, huruf C adalah simbol biaya faktor domestik pada tingkat harga privat, dan huruf D adalah simbol keuntungan privat.


(44)

Identitas keuntungan (profitability identity) – keuntungan sosial hanya menyajikan angka yang terdapat pada baris kedua, berisikan angka-angka budget yang dinilai dengan harga sosial (harga yang akan menghasilkan alokasi terbaik dari sumberdaya, dan dengan sendirinya menghasilkan

pendapatan tertinggi). Huruf E adalah simbol pendapatan yang dihitung dengan harga sosial (pendapatan sosial), huruf F adalah simbol biaya input tradable sosial, huruf G adalah simbol biaya faktor domestik sosial, dan huruf H adalah simbol keuntungan sosial. Sebuah negara akan mencapai

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengedepankan aktivitas-aktivitas yang menghasilkan keuntungan sosial yang tinggi (H positif yang besar). Identitas divergensi (divergentes identity) menampilkan seluruh entry untuk sebuah tabel PAM, yang menggunakan simbol huruf A sampai L. Sel dengan simbol I mengukur tingkat divergensi revenue (atau pendapatan) yang

disebabkan oleh distorsi pada harga output. Simbol J mengukur tingkat divergensi biaya input tradeable yang disebabkan oleh distorsi pada harga input tradabel. Simbol K mengukur divergensi biaya faktor domestik yang disebabkan oleh distorsi pada harga faktor domestik, dan simbol L mengukur net transfer effects atau mengukur dampak total dari seluruh divergensi.

Barang dan jasa yang diperjualbelikan dapat digolongkan menjadi 2 golongan, yaitu tradeable goods (barang-barang yang diperdagangkan) dan nontradeable (barang-barang yang tidak diperdagangkan). Menurut Kadariah (2001), yang dimaksud dengan barang-barang yang diperdagangkan (tradeable goods) adalah:


(45)

(1) pada barang ekspor

(a) jika harga f.o.b. lebih tinggi daripada biaya produksi dalam negeri, atau

(b) barang ekspor dengan campur tangan pemerintah, dengan mendapat subsidi ekspor dan semacamnya.

(2) pada barang impor

Jika biaya produksi dalam negeri lebih tinggi daripada harga c.i.f. Barang-barang yang tidak diperdagangkan (non-tradeable goods) adalah barang:

(1) dengan harga c.i.f. lebih tinggi daripada biaya produksi dalam negeri dan biaya produksi dalam negeri lebih tinggi daripada f.o.b.

(2) yang tidak diperdagangkan karena adanya campur tangan pemerintah berupa larangan impor, kuota, dan semacamnya.

5. Kajian Penelitian Terdahulu

Hidayat (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Efisiensi Produksi Usahatani Ubi Kayu (Manihot esculenta) di Kecamatan Gedung Meneng Kabupaten Tulang Bawang”, menemukan bahwa produksi usahatani ubi kayu di Kecamatan Gedung Meneng Kabupaten Tulang Bawang

dipengaruhi oleh luas tanam (X1), jumlah bibit (X2), jumlah pupuk urea (X3), jumlah pupuk SP-36 (X4), jumlah pupuk KCl (X5), jumlah kandang (X6), dan tenaga kerja (X8). Secara teknis, penggunaan input belum efisien, proses produksi berada pada daerah II (constant return to scale) dan secara ekonomi


(46)

pun penggunaan input juga tidak efisien, karena nisbah produk marjinal (NPMxi) dengan biaya korbanan marjinal (BKMxi atau Pxi) masing-masing variabel tidak sama dengan satu.

Remonaldi (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Penggunaan Benih dan Daya Saing Usahatani Jagung Hibrida di Kabupaten Tanggamus”, menemukan bahwa usahatani jagung hibrida di Kabupaten Tanggamus mempunyai daya saing dengan keunggulan kompetitif PCR (Private Cost Ratio) dan komparatif DRC (Domestic Resource Cost) sebesar 0,5576 dan 0,1521.

Priyanto (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Keuntungan dan Daya Saing Usahatani Jagung Hibrida di Kabupaten Lampung Timur”

menemukan bahwa usahatani jagung hibrida di Kabupaten Lampung Timur berdaya saing tinggi, dengan nilai rasio biaya privat (PCR) sebesar 0,38 dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) sebesar 0,21.

Susanto (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Efisiensi Produksi dan Pemasaran Jagung di Kecamatan Ketapang Kabupaten

Lampung Selatan” menyimpulkan bahwa penggunaan faktor produksi lahan dan benih pada usahatani jagung di Kecamatan Ketapang Kabupaten

Lampung Selatan belum efisien secara ekonomis. Hal ini disebabkan oleh nilai produksi marjinal lahan dan benih lebih besar dari harga faktor produksinya, sehingga perlu adanya penambahan faktor produksi tersebut. Sistem pemasaran jagung di Kabupaten Lampung Selatan belum efisien. Hal


(47)

ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas transmisi harga jagung yang lebih besar dari satu, yang berarti laju perubahan harga jagung di tingkat petani lebih besar daripada di tingkat konsumen (pabrik makanan ternak) dan sistem pemasaran jagung berada dalam struktur pasar yang tidak bersaing sempurna.

B. Kerangka Pemikiran

Jagung merupakan komoditas yang masih menjadi primadona saat ini. Indonesia sebagai salah satu konsumen jagung dunia beberapa waktu yang lalu masih perlu mengimpor jagung dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Namun, pada masa sekarang ini, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan impor jagung dari luar negeri, karena negara-negara pengekspor jagung, seperti Cina dan Amerika, sudah mengurangi jumlah ekspor jagung mereka. Pengurangan ekspor tersebut disebabkan oleh negara-negara tersebut lebih cenderung untuk

menggunakan hasil produksi jagung mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri masing-masing.

Dengan adanya perubahan kondisi jagung di pasar internasional, maka Indonesia perlu meningkatkan produksi dalam negeri untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri. Peningkatan produksi jagung dapat dilakukan dengan menggunakan benih jagung unggul. Saat ini benih jagung hibrida banyak digunakan oleh para petani jagung di Indonesia. Pemerintah Indonesia pun menghimbau para petani jagung untuk menggunakan benih hibrida. Hanya saja, kelemahan benih jagung hibrida adalah harganya yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan benih lainnya, serta hanya dapat dipakai satu kali tanam.


(48)

Benih jagung hibrida memiliki keunggulan tertentu, diantaranya: produktivitasnya relatif tinggi dan toleran terhadap hama dan penyakit tertentu. Selain itu benih jagung hibrida juga dapat ditanam di lahan sawah atupun non sawah (lahan kering). Di Provinsi Lampung, sebagian besar petani jagung menanam benih jagung hibrida di lahan non sawah (lahan kering). Namun, produktivitas rata-rata jagung Provinsi Lampung selama tahun 2003-2007 tidak lebih besar dari 4 ton/ha. Hal ini mengindikasikan bahwa ada permasalahan dalam usahatani jagung hibrida di Propinsi Lampung. Untuk itu perlu diketahui/dikaji apakah penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani jagung hibrida di Propinsi Lampung sudah efisien dan apakah usahatani jagung tersebut memiliki daya saing yang tinggi. Alur dari kerangka pemikiran demikian disajikan pada Gambar 3.

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah:

1. Diduga faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani jagung hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan adalah luas lahan (X1), benih (X2), pupuk urea (X3), pupuk SP-36/TSP (X4), pupuk KCl (X5), pupuk NPK/Ponska (X6), pestisida (X7), tenaga kerja (X8).

2. Diduga proses produksi usahatani jagung hibrida pada lahan kering di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan belum efisien.

D domestik jagung > S domestik

Usahatani Jagung

S domestik harus ditingkatkan, antara lain melalui penggunaan benih unggul


(49)

Gambar 3. Paradigma analisis efisiensi produksi dan daya saing usahatani jagung.

Ket: : berpengaruh langsung

: berpengaruh secara tidak langsung : bukan fokus penelitian


(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar

Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang

digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan penelitian, mencakup :

Usahatani jagung adalah kegiatan menanam dan mengelola tanaman jagung untuk menghasilkan produksi, sebagai sumber utama penerimaan usaha yang dilakukan oleh petani.

Luas lahan garapan adalah luas lahan yang digarap oleh petani dan digunakan untuk usahatani jagung pada musim tanam 2008/2009, diukur dengan satuan luas (ha).

Lahan kering merupakan lahan dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap. Produksi jagung adalah jumlah produksi jagung pada satu periode produksi, yang diukur dalam kg.

Produktivitas jagung adalah hasil produksi jagung per hektar, yang diukur dalam satuan kilogram per hektar (kg/ha).


(51)

Biaya produksi adalah total biaya yang dikeluarkan karena dipakainya faktor-faktor produksi, baik yang bersifat tunai maupun diperhitungkan, dalam proses produksi jagung selama satu kali musim tanam, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani jagung yang besar-kecilnya tidak tergantung dari besar-besar-kecilnya output yang diperoleh, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk usahatani jagung yang besar-kecilnya berhubungan langsung dengan jumlah produksi dan merupakan biaya yang dipergunakan untuk memperoleh faktor produksi berupa tenaga kerja, benih, pupuk, dan pestisida, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani secara langsung (tunai) dalam proses produksi atau usahatani jagung, misalnya : biaya pembelian benih, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja dari luar keluarga, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani tetapi tidak dalam bentuk uang tunai, misalnya penggunaan faktor produksi dari dalam keluarga, dihitung dalam satuan rupiah (Rp).

Varietas unggul jagung hibrida merupakan benih dari varietas hibrida yang berasal dari keturunan pertama (F1) hasil persilangan varietas bersari bebas, varietas bersari bebas dan galur, atau galur dan galur.


(52)

Penggunaan benih jagung hibrida adalah penggunaan benih jagung hibrida dalam satu musim tanam atau satu kali proses produksi, diukur dalam satuan kilogram (Kg).

Pestisida yang digunakan oleh petani dalam melakukan usahatani diukur dalam kilogram bahan aktif. Walaupun terdapat perbedaan satuan jumlah , yaitu liter dan kilogram, tetapi diasumsikan bahwa 1 liter sama dengan 1 kilogram. Oleh karena itu, satuan yang dipakai adalah kilogram bahan aktif. Daya saing usahatani jagung didefinisikan sebagai kemampuan usahatani jagung untuk tetap layak secara finansial (privat) pada kondisi teknologi usahatani, lingkungan ekonomi, dan kebijakan pemerintah yang ada.

Harga privat adalah harga yang didasarkan atas harga aktual atau harga pasar, dihitung dalam satuan rupiah (Rp).

Harga sosial untuk input/output tradeable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) atau harga impor untuk komoditas impor, dan harga ekspor untuk komoditas ekspor, diukur dalam satuan rupiah (Rp). Harga sosial untuk faktor domestik (lahan, tenaga kerja, dan modal) adalah estimasi dengan prinsip opportunity cost melalui pengamatan lapangan atas pasar faktor domestik di pedesaan, karena tidak diperdagangkan secara internasional, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Keuntungan privat adalah selisih antara penerimaan privat dengan biaya privat, diukur dalam satuan rupiah (Rp).


(53)

Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan sosial dengan biaya sosial, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Efek divergensi adalah selisih antara harga aktual atau harga privat dengan harga sosial, dihitung dengan menggunakan identitas divergensi (divergences identity). Menurut Pearson et.al (2005), semua nilai yang ada di baris ketiga tabel PAM (matriks PAM) merupakan selisih antara baris pertama (usahatani yang diukur dengan harga aktual atau harga privat) dengan baris kedua (usahatani yang diukur dengan harga sosial).

B. Metode, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Ketapang merupakan daerah yang memiliki luas tanam tanaman jagung terbesar di Lampung Selatan. Dari Kecamatan Ketapang, dipilih desa yang memiliki luas tanam yang lebih besar dari desa lainnya dan juga memiliki kelompok tani yang aktif, yaitu Desa Sumur dan Desa Ruguk, dengan masing-masing luas tanam sebanyak 3.247 ha dan 2.740 ha.

Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didapat melalui metode survei dengan wawancara kepada petani menggunakan kuisioner. Data sekunder diperoleh dari lembaga/instansi yang berhubungan dengan penelitian, seperti Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Propinsi Lampung, Badan Pusat Statistik, dan lembaga lainnya serta publikasi dan laporan-laporan tertulis yang


(54)

berhubungan dengan penelitian . Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan November2009-Januari 2010.

C. Responden dan Pengumpulan Data

Populasi petani jagung di Desa Sumur dan Desa Ruguk, Kecamatan Ketapang adalah 886 dan 660 petani. Desa Sumur dan Desa Ruguk dipilih menjadi tempat penelitian dikarenakan dua desa tersebut yang memiliki kegiatan kelompok tani yang paling aktif dari 17 desa yang ada di Kecamatan

Ketapang, Kabupaten Lampung Selatan. Dari jumlah populasi petani jagung pada dua desa tersebut ditentukan jumlah sampel dengan menggunakan rumus yang merujuk pada teori Sugiarto, Siagian, Sunaryanto, dan Oetomo (2003), yaitu : 2 2 2 2 2 S Z Nd S NZ n   ...(16) di mana : n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

S2 = variasi sampel (5% = 0,05) Z = tingkat kepercayaan (90% = 1,64) d = derajat penyimpangan (5% = 0,05) Perhitungannya adalah :

05 . 0 ) 64 . 1 ( ) 05 . 0 ( 1546 05 . 0 ) 64 . 1 ( 1546 2 2 2 x x x x x n

3.999 90608 . 207  responden 52 98 . 51  


(55)

xn N Ni ni

Berdasarkan perhitungan di atas, maka diperoleh jumlah sampel penelitian keseluruhan dari dua desa tersebut sebanyak 52 petani jagung. Untuk sampel setiap desa ditentukan secara proporsional dengan menggunakan rumus Natsir (1988), yaitu:

...(17)

di mana: ni = jumlah sampel di desa i (i=1,2)

Ni = jumlah anggota kelompok tani di desa i (i=1,2) N = jumlah anggota kelompok tani di 1 dan 2

n = jumlah sampel di Kecamatan Ketapang (Desa Sumur + Desa Ruguk)

Dengan demikian, jumlah sampel :

Desa Sumur x52responden 29.80 30responden 1546

886

 

Desa Ruguk x52responden 22.19 22responden 1546

660

Pengambilan sampel atau petani jagung responden per masing-masing desa ditentukan dengan menggunakan metode simple random sampling. Pada Desa Sumur ketiga puluh responden tersebut diambil dari populasi petani jagung di Desa Sumur, yaitu sebanyak 886 petani jagung. Pada Desa Ruguk, dua puluh dua responden tersebut diambil dari populasi petani jagung di di Desa Ruguk, yaitu sebanyak 660 petani.


(56)

Pengambilan sampel tersebut hanya berlaku untuk musim tanam I saja, pada musim tanam II, dari 52 responden yang menanam jaung varietas hibrida pada lahan kering hanya tersisa 41 responden saja. Oleh karena itu, responden pada musim tanam II berkurang menjadi 41 petani jagung responden di Desa

Sumur dan Desa Ruguk, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Lampung Selatan.

D. Metode Analisis dan Pengujian Hipotesis

1. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi

Efisiensi penggunaan faktor produksi usahatani di Kecamatan Ketapang Lampung Selatan dilakukan melalui dua tahapan analisis, yaitu : analisis fungsi produksi dan analisis efisiensi penggunaan faktor produksi.

a. Analisis Fungsi Produksi Jagung Hibrida

Untuk mengetahui pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi terhadap produksi jagung digunakan analisis fungsi produksi. Hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input) dianalisis dengan menggunakan model fungsi Cobb_Douglas. Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi jagung dituliskan sebagai:

Y = bo X1b1 . X2b2 . X3b3 . eu ...(18) Untuk memudahkan proses perhitungan, maka persamaan (18) diubah dalam bentuk logaritma linier, menjadi:

Ln Y = Ln b0 + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + U ….(19) di mana : Y = jumlah produksi jagung (kg)


(1)

dan tidak ada kegagalan pasar serta intervensi kebijakan pemerintah. Dampak kebijakan output yang bernilai negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah masih berpihak kepada konsumen.

Biaya input tradeable terdiri dari biaya benih jagung hibrida, biaya pupuk urea, biaya pupuk SP-36/TSP, biaya pupuk KCl, biaya pupuk

NPK/Ponska, dan biaya pestisida. Jumlah biaya input tradeable pada harga privat adalah sebesar Rp 1.854.318,25, sedangkan jumlah biaya

input tradeable pada harga sosial adalah sebesar Rp 4,827,620.10. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan harga pada masing-masing komponen biaya input tradeable. Perbedaan harga tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah khususnya dalam hal kebijakan harga input tradeable.

Biaya input nontradeable terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya sewa lahan, biaya penyusutan, dan biaya angkut. Jumlah biaya input nontradeable

pada harga privat adalah sebesar Rp 3.403.597,00, sedangkan biaya input nontradeable pada harga sosial adalah sebesar Rp 3.884.450,26.

Perbedaan biaya input non tradeable pada harga privat dan input non tradeable pada harga sosial adalah Rp 480.853,26.

Berdasarkan perhitungan, maka dapat disusun matrik PAM per hektar pada musim tanam I adalah seperti pada Tabel 51.


(2)

Tabel 51. Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani jagung hibrida per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009

Keterangan Penerimaan Output

Biaya Keuntungan

Input Input

Tradeable nontradeable

Harga privat 8,952,647.87 1,800,308.98 3,304,463.11 3,847,875.78 Harga sosial 45,875,231.34 4,701,212.53 3,773,516.61 37,400,502.20

Dampak

Kebijakan -36,922,583.47 -2,900,903.55 -469,053.50 -33,552,626.42

Dengan menggunakan data Tabel 51, maka dihitung indikator daya saing usahatani jagung hibrida yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

Tabel 52. Indikator daya saing usahatani jagung hibrida per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT I tahun 2008/2009

No Indikator Nilai

1 Keuntungan Finansial (D) 3,847,875.78

2 Keuntungan Ekonomi (H) 37,400,502.20

3 Transfer Output (I) -36,922,583.47

4 Transfer Input Tradeable (J) -2,900,903.55

5 Transfer Input Nontradeable (K) -469,053.50

6 Transfer Bersih (L) -33,552,626.42

7 Rasio biaya Privat (PCR) 0.46

8 Rasio biaya sumber daya (DRC) 0.09

Keunggulan kompetitif jagung hibrida dapat diketahui dari Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR). PCR merupakan indikator

profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem komoditi untuk membayar biaya sumberdaya domestik dan tetap kompetitif. Nilai PCR yang diperoleh yaitu sebesar 0,46. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk memperoleh nilai tambah Rp 100, maka diperlukan tambahan biaya sebesar Rp 46. Hal ini berarti bahwa usahatani jagung hibrida di


(3)

Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan memiliki keunggulan kompetitif.

Rasio Biaya Domestik atau Domestic Resource Cost (DRC) digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif. DRC merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Nilai DRC yang diperoleh sebesar 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani jagung hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan memiliki keunggulan komparatif. Oleh karena itu, pemenuhan permintaan jagung dalam wilayah tersebut ataupun dengan tujuan promosi ekspor akan lebih menguntungkan jika jagung diproduksi sendiri. Indikator dari table PAM lainnya dapat dilihat di lampiran.

Berdasarkan perhitungan, maka dapat disusun matrik PAM pada musim tanam I adalah seperti pada Tabel 53.

Tabel 53. Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani jagung hibrida per 1,17 di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009

Keterangan Penerimaan Output

Biaya

Keuntungan

Input Input

Tradeable nontradeable

Harga privat 9,523,475.01 2,080,270.94 3,095,123.11 4,348,080.96 Harga sosial 51,245,791.87 6,115,832.90 3,604,456.58 41,525,502.39

Dampak

Kebijakan -41,722,316.86 -4,035,561.95 -509,333.47 -37,177,421.43

Penerimaan output pada harga privat adalah Rp 9.523.475,01. Penerimaan


(4)

output tersebut dipengaruhi oleh perbedaan harga jagung. Harga jagung secara ekonomi menunjukkan harga jagung yang seharusnya diterima oleh petani bilamana harga tersebut terjadi pada keadaan persaingan sempurna dan tidak ada kegagalan pasar serta intervensi kebijakan pemerintah. Dampak kebijakan output yang bernilai negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah masih berpihak kepada konsumen.

Biaya input tradeable terdiri dari biaya benih jagung hibrida, biaya pupuk urea, biaya pupuk SP-36/TSP, biaya pupuk KCl, biaya pupuk

NPK/Ponska, dan biaya pestisida. Jumlah biaya input tradeable pada harga privat adalah sebesar Rp 2.080.270,94, sedangkan jumlah biaya

input tradeable pada harga sosial adalah sebesar Rp 6.115.832,90. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan harga pada masing-masing komponen biaya input tradeable. Perbedaan harga tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah khususnya dalam hal kebijakan harga input tradeable.

Biaya input nontradeable terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya sewa lahan, biaya penyusutan, dan biaya angkut. Jumlah biaya input nontradeable

pada harga privat adalah sebesar Rp 3,095,123.11, sedangkan biaya input nontradeable pada harga sosial adalah sebesar Rp 3,604,456.58.

Perbedaan biaya input non tradeable pada harga privat dan input non tradeable pada harga sosial sebesar Rp 509,333.47.

Berdasarkan perhitungan, maka dapat disusun matrik PAM per hektar pada musim tanam II adalah seperti pada Tabel 54.


(5)

Tabel 54. Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani jagung hibrida per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009

Keterangan Penerimaan

Output

Biaya

Keuntungan

Input Input

Tradeable nontradeable

Harga privat 8,139,722.23 1,779,274.64 2,645,568.86 3,714,878.74

Harga sosial 43,799,822.11 5,226,992.86 3,080,704.74 35,492,124.51

Dampak

Kebijakan -35,660,099.88 -3,447,718.22 -435,135.89 -31,777,245.77

Dengan menggunakan data Tabel 54, maka dihitung indikator daya saing usahatani jagung hibrida yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

Tabel 55. Indikator daya saing usahatani jagung hibrida per hektar di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, MT II tahun 2008/2009

No Indikator Nilai

1 Keuntungan Finansial (D) 3,714,878.74

2 Keuntungan Ekonomi (H) 35,492,124.51

3 Transfer Output (I) -35,660,099.88

4 Transfer Input Tradeable (J) -3,447,718.22

5 Transfer Input Nontradeable (K) -435,135.89

6 Transfer Bersih (L) -31,777,245.77

7 Rasio biaya Privat (PCR) 0.42

8 Rasio biaya sumber daya (DRC) 0.07

Keunggulan kompetitif jagung hibrida dapat diketahui dari Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR). PCR merupakan indikator

profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem komoditi untuk membayar biaya sumberdaya domestik dan tetap kompetitif. Nilai PCR yang diperoleh yaitu sebesar 0,42. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk memperoleh nilai tambah Rp 100, maka diperlukan tambahan biaya sebesar Rp 42. Hal ini berarti bahwa usahatani jagung hibrida di Kecamatan


(6)

Rasio Biaya Domestik atau Domestic Resource Cost (DRC) digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif. DRC merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Nilai DRC yang diperoleh sebesar 0,07. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani jagung hibrida di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan memiliki keunggulan komparatif. Oleh karena itu, pemenuhan permintaan jagung dalam wilayah tersebut ataupun dengan tujuan promosi ekspor akan lebih menguntungkan jika jagung diproduksi sendiri.