Analisis efisiensi ekonomi dan daya saing usahatani jagung pada lahan kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan

(1)

DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN

Oleh:

AHMAD YOUSUF KURNIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRACT

AHMAD YOUSUF KURNIAWAN. Analysis of Economic Efficiency and Competitiveness of Dryland Maize at Kabupaten Tanah Laut, South Kalimantan Under direction of SRI HARTOYO and YUSMAN SYAUKAT.

South Kalimantan is well known as a province with large area of dryland. This potency can be used in maize farming that will increase national maize production and play an important role as import substitution. One of the major problems in maize farming is its low productivity that might be caused by its low efficiency of input use. The objectives of this research are: (1) analyzing factors influencing maize production and analyzing dryland farming efficiencies, both in technical and allocative, and (2) analyzing dryland maize farming competitiveness in Kabupaten Tanah Laut South Kalimantan, and the efficiency effect to its competitiveness. The Methods used are the stochastic frontier production function and the dual cost function for the first objective, and criterion of private cost ratio (PCR) and domestic resources cost ratio (DRCR) for the second objective. The results show that land, seed, organic fertilizer, P-fertilizer, pesticide, labor and land treatment significantly influence production. Generally, the farmers at research area have been technically efficient but allocatively inefficient. Age, education, experience and membership in farmer union are not significant to technical efficiency rate. The maize commodity in Kabupaten Tanah Laut has competitive and comparative advantages and also able to finance its domestic inputs, both in private and social prices. The increasing of allocative efficiency will increase the competitiveness.


(3)

RINGKASAN

AHMAD YOUSUF KURNIAWAN. Analisis Efisiensi dan Daya Saing Usahatani Jagung Pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan.

Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan YUSMAN SYAUKAT.

Kebutuhan jagung nasional terus meningkat dari tahun ke tahun, bukan saja dikarenakan pertambahan penduduk, tetapi juga pertumbuhan usaha peternakan dan industri pangan. Peningkatan permintaan jagung yang begitu pesat tidak diimbangi oleh peningkatan produksi dalam negeri karena penurunan luas lahan pertanian di Jawa, sehingga terjadi kesenjangan antara permintaan dan produksi yang makin lebar. Kesenjangan tersebut untuk saat ini ditutupi dengan cara mengimpor jagung. Laju peningkatan impor jagung telah mencapai 10.46% per tahun.

Kabupaten Tanah Laut, Propinsi Kalimantan Selatan, memiliki potensi lahan kering yang luas yang sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk dikembangkan menjadi usahatani jagung. Produktivitas jagung di daerah tersebut berkisar antara 3.5 – 5 ton per hektar, masih rendah dibandingkan potensi yang ada yang mencapai 5.4 – 6.3 ton per hektar. Hal ini diduga berkaitan dengan efisiensi penggunaan dan pengalokasian input. Efisiensi merupakan akar penentu daya saing. Produksi yang efisien akan menyebabkan penurunan biaya produksi yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan pendapatan petani dan daya saing komoditas tersebut.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi, efisiensi, keunggulan kompetitif dan komparatif jagung di lahan kering Kalimantan Selatan. Secara rinci tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung dan tingkat efisiensi teknis dan alokatif usahatani lahan kering dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier dan fungsi biaya dual, dan (2) menganalisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usahatani jagung lahan kering dan pengaruh efisiensi terhadap daya saing di Kab. Tanah Laut, Kalimantan Selatan dengan menggunakan PAM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa secara statistik variabel luas lahan, benih, pupuk organik, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan pengolahan tanah ditemukan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf α=15%, sedangkan pupuk N dan K tidak berpengaruh nyata. Ini diduga karena penggunaan pupuk N diduga sudah berlebihan. Rata-rata penggunaan urea di daerah penelitian adalah 447.5 kg per hektar, sedangkan rekomendasi penggunaan pupuk urea adalah 350 – 400 kg per hektar.

Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan efisien jika lebih besar dari 0.8 karena daerah penelitian merupakan sentra produksi jagung di Kalimantan Selatan. Rata-rata efisiensi teknis petani di daerah penelitian adalah 0.887. jumlah petani memiliki nilai efisiensi teknis lebih besar dari 0.8 adalah 89.48% dari, sehingga sebagian besar usahatani jagung yang diusahakan telah efisien secara teknis. Jadi, karena sebagian besar petani telah efisien secara teknis, maka untuk meningkatkan output perlu dilakukan introduksi teknologi baru seperti benih unggul yang lebih sesuai dengan kondisi agroklimat dan mekanisasi pertanian.

Faktor-faktor umur, pendidikan, pengalaman dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak berpengaruh secara nyata terhadap inefisiensi teknis. Hal ini


(4)

karena ada kecendrungan petani untuk beralih ke usahatani lain seperti karet dan adanya pertambangan emas ilegal.

Efisiensi alokatif dianalisis dengan menggunakan model fungsi biaya dual frontier yang diturunkan dari fungsi produksi frontier. Petani responden di daerah penelitian belum efisien secara alokatif. Rata-rata efisiensi alokatif adalah 0.566. Rendahnya efisiensi alokatif ini menyebabkan efisiensi ekonomis juga rendah, yaitu 0.498. Salah satu penyebab rendahnya efisiensi alokatif ini adalah penggunaan pupuk urea yang berlebihan. Penurunan penggunaan pupuk urea dari 447.51 kg per hektar menjadi 400 per hektar menyebabkan kenaikan efisiensi alokatif menjadi 0.518 dan efisiensi ekonomis menjadi 0.512.

Analisis daya saing dilakukan dengan menggunakan kriteria PCR dan DRC. Berdasarkan nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu, artinya jagung di daerah penelitian memiliki daya saing sebagai substitusi impor. Ini dapat dilihat dari terserapnya semua hasil poduksi jagung di pasar lokal, sedangkan jagung impor hanya masuk ke pasar lokal saat paceklik saja. Harga jagung impor lebih mahal daripada harga jagung lokal dengan selisih harga Rp 100/kg.

Namun diperlukan beberapa kebijakan yang operasional untuk mendorong daya saing potensial ini menjadi daya saing nyata, diantaranya: (1) menghilangkan atau mengurangi berbagai distorsi pasar yang menghambat perkembangan usahatani jagung, seperti penghapusan bea masuk impor saprodi, (2) berbagai kebijakan atau program penelitian dan pengembangan sehingga ditemukan varietas jagung yang sesuai dengan kondisi lahan setempat dan harganya terjangkau, dan (3) menyediakan infrastruktur fisik maupun ekonomi sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas sentra-sentra produksi jagung terhadap pasar baik input maupun output.

Peningkatan efisiensi akan meningkatkan daya saing. Jika efisiensi alokatif ditingkatkan menjadi dari 0.566 menjadi 0.581 (meningkat 2.65%), maka nilai PCR yang makin turun dari 0.56 menjadi 0.55, dan DRC turun dari 0.61 menjadi 0.60. Ini menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat efisiensi maka daya saing jagung akan semakin meningkat pula.


(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2008

AHMAD YOUSUF KURNIAWAN NRP. A151050131


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI

JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT

KALIMANTAN SELATAN

AHMAD YOUSUF KURNIAWAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

Judul Tesis : Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan

Nama Mahasiswa : Ahmad Yousuf Kurniawan Nomor Pokok : A151050131

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 17 Februari 1980 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Dr. Ir. M. Djamhuri, SU (alm) dengan Musfiyatun.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Loktabat 2 Banjarbaru Kalimantan Selatan pada tahun 1992, kemudian pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Banjarbaru pada tahun 1995 dan SMU Negeri 1 Banjarbaru pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan dan meraih gelar sarjana pada tahun 2003.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Lambung Mangkurat sejak Desember 2003. Pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa BPPS dari Dirjen DIKTI.


(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas pertolongan dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis Program Magister Sains. Tesis ini berjudul “Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan”.

Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberi saran, bimbingan dan sumbangan pemikiran dari awal penulisan proposal hingga penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku penguji luar komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Unlam dan Dekan Fakultas Pertanian Unlam atas kesempatan yang diberikan untuk menempuh pendidikan lanjutan.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, dan seluruh dosen dan staf yang telah memberikan bimbingan dalam menjalani perkuliahan di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, IPB.

3. Dr. Ir. Heru Sutikno, SU dan keluarga atas bantuan baik moril maupun materil.

4. Staf dan penyuluh lapang Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut dan staf Badan Pusat Statistik Tanah Laut, serta petani responden yang telah membantu penulis memperoleh data dan informasi untuk penulisan ini.


(12)

5. Teman-teman di EPN angkatan 2005 (Wiji, Budi Sulistyo, Mariyah, Raja M. Sari, Pini Wijayanti, Tono, Zuraidah, Aprilaila Sayekti, Zednita Azriani, Dewi Nurasih, M. Yadjid, Betrixia Barbara, Veralianta Sebayang, Novindra, Andri Meiriki, Zais M. Samiun, Ranthy Pancasasty dan Rumna), serta teman-teman EPN angkatan 2004 dan 2006 atas bantuan dan dorongan semangat yang diberikan.

6. Pihak-pihak lain yang namanya tidak disebutkan di sini, namun telah banyak membantu penulis dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan hormat kepada Ayahanda M. Djamhuri (alm), Ibunda Musfiyatun, adik-adikku Elmi dan Aldi, serta Hesti yang telah memberikan dukungan moril dan materil, perhatian, kesabaran, do’a yang tulus ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mempersembahkan tesis ini kepada pembaca sebagai salah satu sumber informasi dan pengetahuan yang bermanfaat dan berguna bagi penelitian berikutnya.

Bogor, Mei 2008


(13)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

1.5. Keterbatasan Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Tinjauan Teoritis ... 10

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 25

2.3. Kerangka Konseptual ... 33

2.4. Hipotesis Penelitian ... 34

III. METODE PENELITIAN ... 35

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.2. Pemilihan Petani Contoh ... 35

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 36

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 37

3.5. Metode Analisis Data ... 37

3.6. Definisi Operasional ... 50

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 53

4.1. Keadaan Geografis ... 53

4.2. Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan ... 54

4.3. Kendudukan ... 55

4.4. Sarana dan Prasarana... 55


(14)

5.2. Usahatani Jagung ... 61

5.3. Analisis Finansial dan Ekonomi ... 65

VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI ... 69

6.1. Analisis Stochastic Frontier ... 70

6.2. Analisis Efisiensi Teknis ... 75

6.3. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomis ... 82

VII. ANALISIS DAYA SAING PENGARUH EFISIENSI TERHADAP DAYA SAING... 88

7.1. Analisis Daya Saing ... 88

7.2. Pengaruh Efisiensi terhadap Daya Saing ... 92

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

8.1. Kesimpulan ... 96

8.2. Saran Kebijakan ... 96

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN ... 105


(15)

Nomor Halaman 1. Perkembangan Permintaan Jagung di Indonesia Tahun

1980-2004 ... 2

2. Perkembangan Produksi, Permintaan, Ekspor dan Impor Jagung Indonesia Tahun 1990-2003 ... 3

3. Konstruksi Model Policy Analysis Matrix ... 23

4. Luas tanam, Produktivitas dan Produksi Jagung per Kecamatan di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2006 ... 33

5. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing ... 47

6. Alokasi Biaya Tata Niaga Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing ... 48

7. Perkembangan Penggunaan Jenis Lahan di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2003 – 2006 ... 54

8. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan di Kabupaten Tanah Laut, Tahun 2006 ... 56

9. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2001 – 2006 ... 57

10. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pengalaman dan Keanggotaan dalam Kelompok Tani di Kabupaten Tanah Laut ... 59

11. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Jagung ... 60

12. Analisis Finansial dan Ekonomis Usahatani Jagung di Kabupaten Tanah Laut Musim Tanam I Tahun 2006-2007 ... 66

13. Ringkasan Data Pendugaan Fungsi Produksi ... 69

14. Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS ... 70

15. Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode MLE ... 72

16. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Responden ... 76

17. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 78


(16)

19. Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Petani Responden Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier .... 84 20. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Responden

Setelah Penurunan Penggunaan Pupuk N ... 86 21. Tabel PAM Usahatani Jagung di Kabupaten Tanah Laut Musim

Tanam I Tahun 2006-2007 ... 89 22. Tabel PAM Usahatani Jagung Jika Efisiensi Alokatif Ditingkatkan

Menjadi 0.581 di Kabupaten Tanah Laut Musim

Tanam I Tahun 2006-2007 ... 93


(17)

Nomor Halaman 1. Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 13 2. Ukuran Efisiensi ... 17 3. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual ... 33 4. Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Petani

Responden Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier... 84 5. Kondisi Produksi yang Efisien Secara Teknis dan Inefisien Secara

Alokatif ... 85


(18)

Nomor Halaman 1. Peta Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan ... 106 2. Data Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Jagung Lahan

Kering Musim Tanam I Tahun 2006-2007 ... 107 3. Listing Program SAS 9.0 untuk Pendugaan Fungsi Produksi

Metode OLS Tanpa Retriksi ... 110 4. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS Tanpa

Retriksi dengan Menggunakan Program SAS 9.0 ... 111 5. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS dengan

Retriksi Lahan dengan Menggunakan Program SAS 9.0 ... 112 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Rata-Rata (OLS) dan

Fungsi Produksi Stochastic Frontier (MLE) dengan Menggunakan

Frontier version 4.1c ... 113 7. Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Petani

Responden Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier... 119


(19)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan pertanian perlu terus dikembangkan agar mengarah pada terciptanya pertanian yang efisien, memiliki daya saing, mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup para petani pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Arah pengembangan tersebut melalui peningkatan pola agribisnis, terutama peningkatan kualitas dan kuantitas produksi, penganekaragaman komoditas unggulan, peningkatan nilai tambah produk serta perluasaan penguasaan pasar (Mahfudz et al., 2004).

Salah satu komoditas pertanian yang potensial dan punya nilai ekonomi tinggi untuk dikembangkan adalah jagung. Jagung merupakan salah satu tanaman pangan utama selain padi dan kedelai (Rusastra et al., 2004). Jagung juga digunakan sebagai makanan hewan ternak dan juga digiling menjadi tepung jagung (cornstarch) untuk produk-produk makanan, minuman, pelapis kertas dan farmasi. Di beberapa negara, jagung dibuat menjadi alkohol sebagai campuran bahan bakar kendaraan untuk mengurangi polusi (Park, 2001).

Permintaan jagung dunia diperkirakan meningkat di masa datang. World

Bank memproyeksikan kenaikan total permintaan jagung tahun 1995-2010 naik rata-rata 3.2 persen per tahun (Amang, 2003). Kebutuhan jagung nasional juga terus meningkat dari tahun ke tahun, bukan saja dikarenakan pertambahan penduduk, tetapi juga pertumbuhan usaha peternakan dan industri pangan.

Berdasarkan data dari Departemen Pertanian, kebutuhan jagung terus mengalami peningkatan. Meski kebutuhan jagung untuk konsumsi terus mengalami penurunan dengan laju 2 persen per tahun, namun kebutuhan jagung untuk industri pangan dan pakan terus mengalami peningkatan yang cukup pesat


(20)

dengan laju masing-masing 3.00 dan 5.78 persen per tahun, seperti terlihat pada Tabel 1. Peningkatan permintaan jagung yang begitu pesat tidak diimbangi oleh peningkatan produksi dalam negeri, maka kesenjangan antara permintaan dan produksi akan semakin lebar. Kesenjangan tersebut untuk saat ini ditutupi dengan cara mengimpor jagung.

Tabel 1. Perkembangan Permintaan Jagung untuk Konsumsi, Industri Pangan dan Industri Pakan di Indonesia Tahun 1980-2006

(Ribu Ton)

Tahun Konsumsi Industri Pangan Pakan Total

1980 3 705 0 237 3 942

(93.99) (0.00) (6.01)

1990 5 703 499 396 6 598

(86.44) (7.56) (6.00)

2000 4 657 2 340 3 713 10 719

(43.45) (21.83) (34.64)

2001 4 567 2 415 3 955 10 937

(41.76) (22.08) (36.16)

2002 4 478 2 489 4 197 11 164

(40.11) (22 29) (37 59)

2003 4 388 2 564 4 438 11 390

(38.53) (22.51) (38.96)

2004 4 299 2 638 4 680 11 617

(37.01) (22.71) (40.29)

2005 4 213 2 717 4 950 11 880

(35.46) (22.87) (41.66)

2006 4 129 2 799 5 235 12 162

(33.94) (23.01) (43.04)

Laju (%/th) -2.00 3.00 5.76 2.02 Sumber : Departemen Pertanian, 2005-2007 (diolah)

Keterangan : Angka dalam kurung ( ) menunjukkan persentase terhadap total permintaan

Rata-rata impor jagung selama kurun waktu tahun 1990 – 2007 mencapai 750 ribu ton per tahun, dengan laju peningkatan sekitar 10.46 persen per tahun. Bahkan sejak tahun 2000, volume impor jagung Indonesia sudah di atas 1 juta ton, seperti terlihat pada Tabel 2. Apabila dilihat dari pangsanya terhadap permintaan dalam negeri, volume impor jagung Indonesia sebenarnya masih relatif kecil, yaitu hanya sekitar 8.21 persen. Namun karena kecenderungannya


(21)

semakin meningkat, maka perlu segera dilakukan upaya khusus untuk mengatasi kenaikan impor jagung tersebut.

Tabel 2. Perkembangan Produksi, Permintaan, Ekspor dan Impor Jagung Indonesia Tahun 1990-2006

(Ribu Ton)

Tahun Produksi Permintaan Ekspor Impor

1990 6 734.03 6 352.30 141.80 90.10

1991 6 255.91 6 220.10 33.20 323.30

1992 7 995.46 7 556.00 149.70 55.70

1993 6 459.74 6 497.70 60.80 494.50

1994 6 868.89 7 551.90 37.40 1 118.30

1995 8 245.90 8 678.10 79.10 969.20

1996 9 307..42 9 402.10 26.80 616.90

1997 8 770.85 9 357.50 18.90 1 098.40

1998 10 169.49 9 357.00 632.50 313.50

1999 9 204.04 9 244.50 90.60 618.10

2000 9 676..90 10 366.50 28.10 1 264.60

2001 9 347.19 9 595.30 90.50 1 035.80

2002 9 585.28 10 309.20 16.30 1 154.10

2003 10 886.00 11 676.40 33.70 1 345.50

2004 11 609.46 12 176.15 28.99 306.37

2005 12 523.89 12 697.29 62.75 414.76

2006 11 609.46 13 240.73 29.16 2 327.95

Laju (%/th) 3.71 4.28 - 0.93 10.46

Sumber: Departemen Pertanian, 2005-2007, diolah

Permintaan jagung di pasar domestik maupun pasar dunia akan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri pakan dan industri pangan olahan berbahan baku jagung. Selama periode tahun 1990-2001, penggunaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan di dalam negeri meningkat cukup tajam dengan laju sekitar 11.81 persen per tahun. Mulai tahun 1994, ketergantungan pabrik pakan terhadap jagung impor sangat tinggi, yaitu sekitar 40.29 persen. Pada tahun 2000, penggunaan jagung impor dalam industri pakan sudah mencapai 47.04 persen, sementara 52.96 persen sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri (Departemen Pertanian, 2005).

Upaya untuk memperkecil kesenjangan antara produksi dan permintaan jagung dalam negeri sebenarnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu meningkatkan produksi jagung melalui perluasan areal dan peningkatan


(22)

produktivitas. Usaha untuk meningkatkan produksi dan produktivitas jagung di Indonesia telah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum memuaskan.

Saat ini laju produksi jagung cenderung melambat. Jika selama periode tahun 1993-1997 rata-rata laju peningkatan produksi jagung 4.97 persen, maka pada periode tahun 2000-2004 mengalami penurunan menjadi 4.13 persen per tahun. Perlambatan laju produksi ini antara lain karena konversi lahan pertanian produktif terutama di Jawa untuk penggunaan non pertanian. Menurut Departemen Pertanian (2005) pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.63 juta hektar dan sekitar 1 juta hektar diantaranya terjadi di Jawa.

Oleh karena itu, menurut Solahuddin (1999), upaya untuk meningkatkan produksi tidak hanya dilakukan pada lahan-lahan irigasi atau lahan-lahan yang secara intensif telah dimanfaatkan, melainkan juga pada lahan-lahan alternatif seperti lahan rawa pasang surut, gambut dan lahan kering. Lahan-lahan alternatif tersebut umumnya berada di luar pulau Jawa. Menurut Departemen Pertanian (2005), potensi lahan kering yang sesuai untuk tanaman jagung, namun belum dimanfaatkan, cukup luas, yaitu sekitar 20.5 juta hektar, yang tersebar di Sumatera (2.9 juta hektar), Kalimantan (7.2 juta hektar), Sulawesi (0.4 juta hektar), Maluku dan Papua (9.9 juta hektar), serta Bali dan Nusa Tenggara (0.06 juta hektar). Peluang pemanfaatan lahan kering untuk komoditas jagung cukup besar.

Salah satu unsur dalam pengembangan komoditas jagung adalah daya saing dan dukungan pemerintah. Efisiensi sebagai salah satu penentu daya saing merupakan salah satu faktor yang diperhatikan dalam pengembangan komoditas ini. Intervensi pemerintah akan mempengaruhi daya saing suatu sistem komoditas. Data dan informasi tentang keunggulan kompetitif dan


(23)

komparatif merupakan salah satu pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya.

1.2. Rumusan Masalah

Provinsi Kalimantan Selatan, yang memiliki potensi lahan kering yang luas yang sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, dituntut untuk memberikan kontribusi dalam upaya mengurangi atau mengatasi beban impor jagung sekaligus menghemat devisa negara. Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Selatan (2005), menunjukkan bahwa lahan kering di Kalimantan Selatan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian adalah 647 ribu hektar. Dari jumlah tersebut, baru dimanfaatkan seluas 210 ribu hektar atau sekitar 32.5 persen.

Salah satu pemanfaatan lahan kering tersebut adalah dengan mengembangkan komoditas jagung. Ada empat kabupaten yang dijadikan sentra pengembangan jagung berdasarkan persentase produksi jagung terhadap total produksi di tingkat provinsi, yaitu Kabupaten Tanah Laut (35.52 persen), Kabupaten Kotabaru (23.40 persen), Kabupaten Tapin (6.83 persen) dan Kabupaten Banjar (7.62 persen). Diantara empat kabupaten tersebut yang paling menonjol ditinjau dari segi luas tanam, produksi dan produktivitas adalah Kabupaten Tanah Laut (Mahfudz et al., 2005).

Peluang pengembangan jagung di Kalimantan Selatan cukup besar dilihat dari produksi yang dicapai pada tahun 1998 adalah sebesar 32 ribu ton, sementara keperluan untuk pakan ternak sebesar 158.4 ribu – 184.8 ribu ton ditambah untuk konsumsi 43.4 ribu ton per tahun. Melihat potensi lahan dan peluang pasar yang ada, Kalimantan Selatan memiliki peluang untuk mengembangkan komoditas jagung untuk memenuhi kebutuhan jagungnya.


(24)

Namun, sampai saat ini Kalimantan Selatan belum mampu untuk memenuhi kebutuhan jagung di pasar lokalnya.

Kabupaten Tanah Laut dengan luas wilayah yang dimiliki sebesar 3.63 ribu km2 atau 363.14 ribu hektar dan meliputi sembilan wilayah kecamatan, memiliki potensi lahan sawah seluas 60.57 ribu hektar, lahan kering 162.45 ribu hektar serta lahan pemukiman/pekarangan 25.74 ribu hektar. Potensi lahan tersebut juga merupakan lahan yang potensial untuk pengembangan komoditas jagung. Sampai saat ini komoditas jagung merupakan komoditas yang dominan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di daerah ini (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut, 2004).

Kabupaten Tanah Laut sendiri juga merupakan sentra peternakan ayam. Kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan untuk Kabupaten Tanah Laut dan sekitarnya adalah sekitar 6 ribu ton per bulan atau 72 ribu ton per tahun. Produksi jagung pada tahun 2006 hanya mencapai 56.66 ribu ton, sehingga masih kekurangan produksi sebesar 15.34 ribu ton. Kekurangan ini diatasi dengan mendatangkan jagung dari luar. Namun, jagung dari luar memiliki harga yang lebih mahal dan ada ketidakpastian pengiriman karena faktor cuaca. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar baik di tingkat kabupaten maupun provinsi masih terbuka.

Produktivitas jagung lahan kering di tingkat petani di Kabupaten Tanah Laut berkisar antara 3.5 – 5 ton per hektar. Hasil ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas jagung daerah lain seperti di Jawa Timur yang mencapai 5.7 ton per hektar (Suprapto, 2006). Sementara itu, benih hibrida yang saat ini beredar di Indonesia memiliki produktivitas antara 6.2 – 9.0 ton per hektar1. Penelitian Subandi et al. (2005) menunjukkan bahwa produktivitas jagung di Kabupaten Tanah Laut dapat mencapai 5.4 – 6.3 ton per hektar. Jadi,


(25)

produktivitas jagung di tingkat petani di Kabupaten Tanah Laut masih bisa ditingkatkan lagi.

Permasalahan produktivitas usahatani jagung lahan kering yang rendah ini diduga berkaitan erat dengan persoalan efisiensi penggunaan input. Alokasi penggunaan input juga diduga masih belum optimal. Penggunaan rata-rata input berupa pupuk seperti Urea, SP-36 dan KCl adalah masing-masing 450 kg, 45 kg dan 41 kg per hektar. Dosis ini tidak sesuai dengan rekomendasi yakni urea 350-400 kg, SP-36 75-100 kg dan KCl 75-100 kg per hektar.

Salah satu indikator dari efisiensi adalah jika atau sejumlah output tertentu dapat dihasilkan dengan menggunakan sejumlah kombinasi input yang lebih sedikit dan dengan kombinasi input-input tertentu dapat meminimumkan biaya produksi tanpa menurangi output yang dihasilkan. Dengan biaya produksi yang minimum akan diperoleh harga output yang lebih kompetitif.

Produktivitas dan efisiensi merupakan akar penentu tingkat daya saing (Sumbodo, 2005). Suatu komoditas akan mampu bersaing di pasar bila memiliki daya saing tinggi. Daya saing yang tinggi dicerminkan dengan harga dan kualitas yang baik. Tetapi hal ini akan menimbulkan masalah apabila komoditas yang dihasilkan tidak mampu bersaing. Keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas tergantung dari faktor kunci diantaranya adalah keragaan pasar. Disamping itu intervensi pemerintah berupa kebijakan akan turut mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif suatu sistem komoditas. Data dan informasi tentang keunggulan komparatif dan kompetitif merupakan salah satu pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya.

Dari uraian di atas, dalam melihat efisiensi dan daya saing tersebut dapat ditelusuri dan diformulasikan lebih lanjut faktor-faktor apa saja yang dominan mempengaruhi produksi jagung dan efisiensi produksinya. Pada akhirnya apabila telah terlihat gambaran menyeluruh dari suatu sistem komoditas jagung, maka


(26)

dapat dikatakan bahwa efisiensi berkaitan erat dengan peningkatan daya saing dan pendapatan petani. Efisiensi akan menyebabkan penurunan biaya produksi yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing.

Dari uraian permasalahan di atas maka muncul beberapa pertanyaan: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi jagung lahan kering dan

bagaimana efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efisiensi teknis?

2. Bagaimana daya saing usahatani jagung di lahan kering di Kab. Tanah Laut, Kalimantan Selatan dan bagaimana pengaruh efisiensi terhadap daya saingnya?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi, efisiensi, keunggulan kompetitif dan komparatif jagung di lahan kering Kalimantan Selatan. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung dan tingkat efisiensi teknis dan alokatif usahatani lahan kering.

2. Menganalisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usahatani jagung lahan kering di Kab. Tanah Laut dan pengaruh efisiensi terhadap daya saingnya.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian analisis produksi dan daya saing jagung pada lahan kering meliputi kegiatan yang terdiri dari: (1) analisis produksi dan efisiensi, (2) analisis daya saing, dan (3) pengaruh efisiensi terhadap daya saing. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan


(27)

karena kabupaten tersebut merupakan sentra produksi jagung lahan kering di Kalimantan Selatan.

1.5. Keterbatasan Penelitian

1. Variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam fungsi produksi harus berpengaruh positif terhadap produksi jagung (bertanda positif). Jika bertanda negatif, maka variabel tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam model karena jika ada variabel yang bertanda negatif maka penurunan fungsi produksi ke fungsi biaya dual tidak dapat dilakukan.

2. Pengukuran efisiensi hanya dilakukan dari sisi input.

3. Tingkat daya saing yang diukur adalah hanya daya saing dari sisi mampu tidaknya komoditas jagung untuk membiayai faktor produksi domestiknya.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Konsep Fungsi Produksi

Fungsi produksi menerangkan hubungan teknis (technical relationship) antara sejumlah input yang digunakan dengan output dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi digunakan untuk menentukan output maksimum yang dapat dihasilkan dari penggunaan sejumlah input.

Untuk mengetahui secara tepat karakteristik dari suatu fungsi produksi sangat sulit dilakukan. Kita dapat mengabstraksikan fenomena dari proses produksi ke dalam bentuk yang disederhanakan. Bentuk sederhana ini merupakan suatu moel yang diharapkan untuk menerangkan mekanisme proses produksi sesungguhnya. Langkah penyederhanaan dapat dilakukan dengan menggunakan konsep ekonometrika dan statistika sebagai alat pendekatannya. Secara matematis model umum fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Y = f(X

1

, X

2

, .... X

n

)

... (2.1)

dimana:

Y = jumlah ountput (produksi)

Xi = jumlah output ke=i yang digunakan i = 1, 2, ... 3

Model umum fungsi produksi pada persamaan (2.1) belum dapat menerangkan hubungan input dan output secara kuantitatif. Oleh karena itu fungsi produksi harus dinyatakan dalam bentuk fungsi yang spesifik, seperti fungsi linear, kuadratik, polinomial, akar pangkat dua atau Cobb-Douglas.

Konsep fungsi produksi berguna untuk mengetahui keragaan proses produksi. Dengan dikeahuinya keragaan tersebut maka proses produksi dapat


(29)

diidentifikasi apakah telah berjalan dengan efisien atau tidak. Dengan demikian diharapkan petani akan bertindak rasional dalam mengambil keputusan untuk kegiatan usahatani.

2.1.2. Fungsi Produksi Frontier

Production frontier memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dengan fungsi produksi dan umumnya banyak digunakan saat menjelaskan konsep pengukuran efesiensi, frontier digunakan untuk menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan (Coelli et al., 1998). Konsep produksi batas (frontier production function) menggambarkan output maksimal yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi yang paling praktis atau menggambarkan produksi maksimal yang dapat diperoleh dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat pengetahuan dan teknologi tertentu (Doll dan Orazem, 1984). Fungsi produksi

frontier diturunkan dengan menghubungkan titik-titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input. Jadi fungsi tersebut mewakili kombinasi input-output secara teknis paling efisien.

Pengukuran fungsi produksi frontier secara umum dibedakan atas 4 cara yaitu: (1) deterministic nonparametric frontier, (2) deterministic parametric

frontier, (3) deterministic statistical frontier, dan (4) stochastic statistical frontier (stochastic frontier).

Model fungsi produksi deterministic frontier dinyatakan sebagai berikut:

Y

i

= f(x

i

; ).e

-ui

, I = 1,2 … N

... (2.2)

dimana f(xi;β) adalah bentuk fungsi yang cocok (Cobb-Douglas atau Translog), parameter β adalah parameter yang dicari nilai dugaannya dan ui adalah variabel acak yang tidak bernilai negatif yang diasosiaikan dengan faktor-faktor spesifik


(30)

perusahaan yang memberikan kontribusi terhadap tidak tercapainya efisiensi maksimal dari proses produksi (Battese, 1992).

Kelemahan dari model ini adalah tidak dapat menguraikan komponen residual ui menjadi pengaruh efisiensi dan pengaruh eksternal yang tidak tertangkap (random shock). Akibatnya nilai inefisiensi teknis cederung tinggi, karena dipengaruhi sekaligus oleh dua komponen error yang tidak terpisah (Kebede, 2001).

Model stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tak terduga (stochastic effects) di dalam batas produksi. Model fungsi produksi stochastic frontier dinyatakan sebagai berikut:

... (2.3) i

ji n

i j

i x

y =

β

+

β

+

ε

=

ln ln

1 0

Stochastic frontier disebut juga composed error model karena error term terdiri dari dua unsur, dimana i = vi – ui dan i = 1, 2, .. N. Variabel i adalah spesifik error term dari observasi ke-i. Variabel acak vi berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor-faktor yang tidak pasti seperti cuaca, pemogokan, serangan hama dan sebagainya di dalam nilai variabel output, bersama-sama dengan efek gabungan dari variabel input yang tidak terdefinisi di dalam fungsi produksi. Variabel acak vi merupakan variabel random shock yang secara identik terdistribusi normal dengan rataan (μi) bernilai 0 dan variansnya konstan atau N(0,σv2), simetris serta bebas dari ui. Variabel acak ui merupakan variabel non negatif dan diasumsikan terdistribusi secara bebas. Variabel ui disebut one-side disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi. Struktur dasar model stochastic frontier pada Persamaan 2.2 dijabarkan pada Gambar 1.

Komponen yang pasti dari model batas yaitu f(xi; β) digambarkan dengan asumsi memiliki karakteristik skala pengembalian yang menurun. Petani i


(31)

menggunakan input sebesat xi dan memperoleh output sebesar yi. Akan tetapi output batasnya dari petani i adalah yi*, melampaui nilai pada bagian yang pasti dari fungsi produksi yaitu f(xi;β). Hal ini bisa terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan, dimana variabel vi bernilai positif. Sementara itu petani j menggunakan input sebesar xj dan memperoleh hasil sebesar yj. Akan tetapi batas dari petani j adalah yj*, berada di bawah bagian yang pasti dari fungsi produksi. Kondisi ini bisa terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan, dimana vi bernilai negatif.

f(x

i

; )

y

x

i

x

j

Output observasi (yj)

Output batas (y

i*

),

y = F(x

i

; ) exp(v

i

), jika v

i

>0

Output batas (y

j*

),

y = F(x

j

; ) exp(v

j

), jika v

j

<0

Output observasi (yj)

Sumber: Coelli et al. (1998)

Gambar 1. Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Sebagaimana disajikan oleh Coelli et al. (1998) yang dikutip dari Aigner et al. (1977), persamaan fungsi produksi stochasticfrontier secara ringkas adalah:

lnyit = βxit + (vit – uit), i = 1,2,3,...n ... (2.4) dimana:

yit = produksi yang dihasilkan petani-i pada waktu-t

xit = vektor masukan yang digunakan petani-i pada waktu-t


(32)

vit = variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama) sebarannya simetris dan menyebar normal (vit~N(0,σv2)). uit = variabel acak non negatif, dan diasumsikan mempengaruhi tingkat

inefisiensi teknis dan berkaitan dengan aktor-faktor internal dan sebarannya bersifat setengah normal (uit ~ | N(0,σv2|)

Komponen galat (error) yang sifatnya internal (dapat dikendalikan petani) dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas managerial petani dalam mengelola usahataninya direfleksikan oleh ui. Komponen ini sebarannya asimetris (one

side) yakni ui > 0. Jika proses produksi berlangsung efisien (sempurna) maka keluaran yang dihasilkan berimpit dengan potensi maksimalnya berarti ui = 0. Sebaliknya jika ui > 0 berarti berada di bawah potensi maksimumnya. Distribusi menyebar setengah normal (uit ~ |N(0,σv2|) dan menggunakan metode pendugaan Maximum Likelihood.

Metode pendugaan Maximum Likelihood Estimation (MLE) pada model

stochastic frontier dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input produksi (βm). Tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi (βm), intersep (β0) dan varians dari kedua komponen kesalahan vi dan ui (σv2 dan σu2).

Fungsi produksi frontier oleh beberapa penulis diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana menurut Teken dan Asnawi (1981) dikemukakan bahwa apabila peubah-peubah yang terdapat dalam fungsi Cobb-Douglas dinyatakan dalam bentuk logaritma, maka fungsi tersebut akan menjadi fungsi

linear additive. Dengan demikian untuk mengukur tingkat efisiensi usahatani jagung dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi stochastic frontier

Cobb-Douglas. Pilihan terhadap bentuk fungsi produksi ini diambil karena lebih sederhana dan dapat dibuat dalam bentuk linear.


(33)

2.1.3. Konsep Efisiensi

Suatu metode produksi dapat dikatakan lebih efisien dari metode lainnya jika metode tersebut menghasilkan output yang lebih besar pada tingkat korbanan yang sama. Suatu metode produksi yang menggunakan korbanan yang paling kecil, juga dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya, jika menghasilkan nilai output yang sama besarnya.

Tujuan produsen untuk mengelola usahataninya adalah untuk meningkatkan produksi dan keuntungan. Asumsi dasar dari efisiensi adalah untuk mencapai keuntungan maksimum dengan biaya minimum. Kedua tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi produsen dalam pengambilan keputusan untuk usahataninya. Dalam pengambilan keputusan usahatani, seorang petani yang rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input itu. Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu proses produksi.

Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi pendekatan yaitu dari sisi alokasi penggunaan input dan dari sisi output yang dihasilkan. Pendekatan dari sisi input yang dikemukakan Farrell (1957), membutuhkan ketersediaan informasi harga input dan sebuah kurva isoquant yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara maksimal. Pendekatan dari sisi output merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa mengubah jumlah input yang digunakan.

Menurut Lau dan Yotopoulos (1971) konsep efisiensi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) efisiensi teknis (technical efficiency), (2) efisiensi harga (price efficiency), dan (3) efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi


(34)

teknis mengukur tingkat produksi yang dicapai pada tingkat penggunaan input tertentu. Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien dibandingkan petani lain, apabila dengan penggunaan jenis dan jumlah input yang sama, diperoleh output fisik yang lebih tinggi. Efisiensi harga atau efisiensi alokatif mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marginal setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marginalnya atau menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menggunaan input dengan proporsi yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki. Efisiensi ekonomis adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi harga. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Farrell (1957).

Menurut Sugiyanto (1982), efisiensi ekonomis dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum (profit maximization) dan kriteria biaya minimum (cost

minimization). Efisiensi ekonomi akan tercapai bila kenaikan hasil sama dengan nilai penambahan faktor produksi atau nilai marginal (NPM) dari faktor-faktor produksi sama dengan biaya korbanan marginalnya (BKM). Dengan kata lain, menurut Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993), rasio produk marginal untuk tiap pasangan input sama dengan rasio harganya.

Efisiensi teknis dianggap sebagai kemampuan untuk berproduksi pada

isoquant batas, sedangkan alokatif mengacu pada kemampuan untuk berproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan rasio input pada biaya yang minimum. Sebaliknya, inefisiensi teknis mengacu pada penyimpangan dari isoquant frontier, sedangkan inefisiensi alokatif mengacu pada penyimpangan dari rasio input pada biaya minimum. Konsep efisiensi dari sisi input diilustrasikan oleh Farrell (1957) pada Gambar 2. Konsep efisiensi Farrel ini diasumsikan pada kondisi Constant Return to Scale.


(35)

Pada Gambar 2, kurva isoquant frontier SS’ menunjukkan kombinasi input per output (x1/y dan x2/y) yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output

Y0 = 1. Titik P dan Q menggambarkan dua kondisi suatu perusahaan dalam berproduksi menggunakan kombinasi input dengan proporsi input x1/y dan x2/y yang sama. Keduanya berada pada garis yang sama dari titik O untuk memproduksi satu unit Y0. Titik P berada di atas kurva isoquant, sedangkan titik

Q menunjukkan perusahaan beroperasi pada kondisi secara teknis efisien (karena beroperasi pada kurva isoquant frontier). Titik Q mengimplikasikan bahwa perusahaan memproduksi sejumlah output yang sama dengan perusahaan di titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Jadi, rasio OP/OQ menunjukkan efisiensi teknis (TE) perusahaan P, yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada Pdapat diturunkan, rasio input per output (x1/y : x2/y) konstan, sedangkan output tetap.

S

S’ Q’

x2/y

x1/y

A

A’ R

Q P

O

Sumber: Farrell (1957)


(36)

Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan. Garis

isocost (AA’) digambarkan menyinggung isquant SS’ di titik Q’ dan memotong garis OP di titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang meminimumkan biaya produksi pada tingkat output tertentu karena slope isquant sama dengan slope garis isocost. Titik Q secara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan di titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi dari pada di titik Q’. Jarak OR-OQ menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di titik Q’ (secara alokatif dan teknis efsien), sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di titik P adalah rasio OR/OQ. Oleh Farrell (1957), efisiensi alokatif ini juga disebut sebagai efisiensi harga (price efficiency).

Menurut Kumbakhar dan Lovell (2000), produsen dikatakan efisien secara teknis jika dan hanya jika tidak mungkin lagi memproduksi lebih banyak output dari yang telah ada tanpa mengurangi sejumlah output lainnya atau dengan menambah sejumlah input tertentu. Menurut Bakhshoodeh dan Thomson (2001), petani yang efisien secara teknis adalah petani yang menggunakan lebih sedikit input dari petani lainnya untuk memproduksi sejumlah ouput pada tingkat tertentu atau petani yang dapat menghasilkan output yang lebih besar dari petani lainnya dengan menggunakan sejumlah input tertentu.

Berdasarkan definisi di atas, efisiensi teknis dapat diukur dengan pendekatan dari sisi output dan sisi input. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi output (indeks efisiensi Timmer) merupakan rasio dari output observasi terhadap output batas. Indeks efisiensi ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis di dalam analisis stochastic frontier. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi input merupakan rasio dari input atau biaya batas (frontier) terhadap input atau biaya observasi. Bentuk umum dari ukuran efisiensi teknis yang


(37)

dicapai oleh observasi ke-i pada waktu ke-t didefinisikan sebagai berikut (Coelli, 1996):

[

i i

i i

i i

i

E

U

X

U

Y

E

X

U

Y

E

TE

exp(

)

/

ε

)

,

0

(

)

,

(

*

=

=

=

]

... (2.5) dimana nilai TEi antara 0 dan 1 atau 0 < TEi < 1.

Pada saat produsen telah menggunakan sumberdayanya pada tingkat produksi yang masih mungkin ditingkatkan, berarti efisiensi teknis tidak tercapai karena adanya faktor-faktor penghambat. Tetapi banyak faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya efisiensi teknis di dalam fungsi produksi. Penentuan sumber dari inefisiensi teknis ini tidak hanya memberikan informasi tentang sumber potensial dari inefisiensi, tetapi juga saran bagi kebijakan yang harus diterapkan atau dihilangkan untuk mencapai tingkat efisiensi total.

Ada dua pendekatan alternatif untuk menguji sumber-sumber inefisiensi teknis (Daryanto, 2000). Pertama adalah prosedur dua tahap. Tahap pertama menyangkut pendugaan terhadap skor efisiensi (efek efisiensi) bagi individu-individu perusahaan, setelah melakukan pendugaan terhadap fungsi produksi batas. Tahap kedua menyangkut pendugaan terhadap regresi dimana skor efisiensi (inefisiensi dugaan) dinyatakan sebagai fungsi dari variabel sosial ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi efek inefisiensi. Pendekatan kedua adalah prosedur satu tahap dimana efek inefisiensi di dalam stochastic frontier dimodelkan dalam bentuk variabel yang dianggap relevan dalam menjelaskan inefisiensi di dalam proses produksi.

Ada beberapa efek model efisiensi teknis yang sering digunakan dalam penelitian empiris menggunakan analisis stochastic frontier. Coelli et al. (1998) membuat model efek inefisiensi teknis diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan variabel acak yang tidak negatif. Untuk usahatani ke-i


(38)

pada tahun ke-t, efek inefisiensi teknis uit diperoleh dengan pemotongan terhadap distribusi N(μit,σ|), dengan rumus:

it

=

0

+ Z

it

+ w

it ... (2.6)

dimana Zit adalah variabel penjelas yang merupakan vektor dengan ukuran (1xM) yang nilainya konstan, adalah parameter skalar yang dicari nilainya dengan ukuran (Mx1) dan wit adalah variabel acak.

Dengan mengasumsikan bahwa sebuah usahatani dalam mencapai keuntungannya harus mengalokasikan biaya secara minimum dari input yang ada, atau berarti sebuah usahatani berhasil mencapai efisiensi alokatif. Dengan demikian, akhirnya akan diperoleh fungsi biaya frontier dual yang bentuk persamaannya sebagai berikut:

C = C(y

i

,p

i

,

i

) + u

i ... (2.7)

dimana:

C = biaya produksi yi = jumlah output pi = harga input

βi = koefisien parameter

ui = error term (efek inefisiensi biaya)

Efisiensi ekonomi (economic efficiency) didefiisikan sebagai rasio total biaya produksi minimum yang diobservasi (C*) dengan total biaya produksi aktual (C) (Jondrow et al. (1982) dalam Ogundari dan Ojo (2006)).

[

exp

.(

/

ε

)

,

,

(

)

,

,

0

(

*

i i i i i i i i i

U

E

P

Y

u

C

E

P

Y

u

C

E

C

C

EE

=

=

=

=

]

... (2.8) dimana EE bernilai 0 < EE < 1.

Efisensi ekonomis ini merupakan gabungan dari efisiensi teknis dan alokatif. Pengukuran efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut secara terintegrasi, membutuhkan sebuah fungsi


(39)

produksi yang bersifat homogen. Fungsi produksi yang memenuhi kriteria homogenitas adalah fungsi produksi Cobb-Douglas.

2.1.4. Teori Daya Saing

Daya saing menggambarkan kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang baik dan biaya produksi yang serendah-rendahnya. Sehingga pada tingkat harga yang terjadi di pasar, petani dapat memperoleh keuntungan dan dapat mempertahankan kelanjutan produksinya. Daya saing suatu komoditas akan tercermin pada harga jual yang murah di pasar dan mutu yang tinggi. Untuk analisis daya saing suatu komoditas biasanya ditinjau dari sisi penawaran karena struktur biaya produksi merupakan komponen utama yang akan menentukan harga jual komoditas tersebut (Salvatore, 1997).

Daya saing suatu komoditas sering diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya yang terbuka (Krugman dan Obstfeld (2000) dalam Kariyasa (2003)).

Menurut Asian Development Bank (1992) keunggulan komparatif adalah kemampuan suatu wilayah atau negara dalam memproduksi satu unit dari beberapa komoditas dengan biaya yang relatif lebih rendah dari biaya imbangan sosialnya dari alternatif lainnya. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang diterapkan suatu negara untuk membandingkan beragam aktivitas produksi dan perdagangan di dalam negeri terhadap perdagangan dunia. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa biaya produksi dinyatakan dalam nilai sosial dan harga komoditas diukur pada tingkat harga di pelabuhan yang berarti juga berupa harga bayangan.


(40)

Dengan demikian, analisis keunggulan komparatif adalah analisis ekonomi (social) dan bukan analisis finansial (private). Oleh karena itu baik harga input maupun harga output dihitung dengan menggunakan komponen subsidi maupun pajak yang mungkin terkandung dalam harga aktual di pasar (harga finansial). Dalam analisis ekonomi yang diperhatikan ialah hasil total, produktivitas atau keuntungan yang di dapat dari semua sumberdaya yang dipakai dalam proyek (proses produksi) untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa-siapa yang menerima hasil dari proyek tesebut (Kadariah et al., 1978)

Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi (Asian Development Bank, 1992). Harga pasar adalah harga yang benar-benar dibayar produsen untuk faktor produksi dan harga yang benar-benar-benar-benar mereka terima dari hasil penjualan outputnya. Selain itu dinyatakan pula bahwa keunggulan kompetitif dapat dijadikan sebagai suatu indikator untuk membandingkan antar negara dalam menghasilkan suatu komoditas. Dengan asumsi adanya sistem tata niaga dan intervensi pemerintah, maka suatu negara akan dapat bersaing di pasar internasional, jika negara tersebut mempunyai keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditas.

Asian Development Bank (1992) mengemukakan perbedaan antara keunggulan komparatif dan kompetitif serta cara mengukurnya. Indikator keunggulan komparatif digunakan untuk mengetahui apakah suatu negara memiliki keunggulan ekonomi untuk memperluas produksi dan perdagangan suatu komoditas. Sedangkan keunggulan kompetitif merupakan indikator untuk melihat apakah suatu negara akan berhasil dalam bersaing di pasar internasional suatu komoditas.


(41)

2.1.5. Policy Analysis Matrix

Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM) digunakan untuk menganalisis keadaan ekonomi dari pemilik ditinjau dari sudut usaha swasta (private profit) dan sekaligus memberi ukuran tingkat efesien ekonomi usaha atau keuntungan sosial (social profit). Menurut Monke dan Pearson (1989), model PAM dapat memberikan pemahaman lebih lengkap dan konsisten terhadap semua pengaruh kebijakan dan kegagalan pasar pada penerimaan (revenue), biaya-biaya (cost), dan keuntungan (profit) dalam produksi sektor pertanian secara luas.

Menurut Monke dan Pearson (1989), kontruksi model policy analysis matrix (PAM) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kontruksi Model Policy Analysis Matrix

Biaya (cost)

Penerimaan Tradable

Input

Faktor Domestik

Keuntungan

Harga Privat (Private prices)

A B C D1

Harga Sosial (Social prices)

E F G H2

Pengaruh divergensi (Effects divergensces)

I3 J4 K5 L6

Keterangan :

1. Keuntungan privat (D) = A – B – C 2. Keuntungan Sosial (H) = E – F – G 3. Transfer Output (I) = A – E

4. Transfer Input (J) = B – F 5. Transfer Faktor (K) = C – G

6. Transfer Bersih (L) = D – H = I – J = K. 7. Rasio Biaya Privat = C/(A – B)

8. Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) = G/(E – F)

Tiga issues yang menyangkut prinsip-prinsip yang dapat ditelaah (investigate) dengan model PAM, yaitu :

1. Dampak kebijakan terhadap daya saing (competitiveness) dan tingkat profitabilitas pada tingkat usahatani.


(42)

2. Pengaruh kebijakan investasi pada tingkat efesiensi ekonomi dan keunggulan komparatif (comparative advantage).

3. Pengaruh kebijakan penelitian pertanian pada perbaikan teknologi, selanjutnya model PAM merupakan produk dari dua identitas perhitungan yaitu:

a. Tingkat keuntungan atau profitabilitas (profitability) merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya-biaya.

b. Pengaruh penyimpangan atau divergensi (distorsi kebijakan dan kegagalan pasar) merupakan perbedaan antara parameter-parameter yang diobservasi dan parameter yang seharusnya ada terjadi jika divergensi tersebut dihilangkan.

Menurut Morrison dan Balcombe (1992), ada beberapa kelemahan dalam PAM sehingga memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan indikator-indikator PAM, yaitu:

1. PAM bekerja pada kerangka kerja parsial dan statis, serta mengabaikan umpan balik (feedback) dan efek multiplier.

2. Keakurasian data yang digunakan, diantaranya: pertama, harga pasar dan kuantitas input yang digunakan pada baris pertama kerangka kerja PAM sering dikumpulkan dalam keadaan sistem informasi pasar pertanian yang kurang berkembang. Di sektor pertanian, keragaman harga-harga input dan output tidak cukup digambarkan dengan harga rata-rata biasa. Kedua, umumnya harga dunia (world price) digunakan untuk menyusun harga perbatasan (border parity price), yang kemudian digunakan sebagai proxy dari harga ekonomi. Ini menimbulkan kesulitan karena adanya hambatan perdagangan di banyak negara menyebabkan variabilitas harga dunia cenderung tinggi, namun variabilitas ini umumnya tidak ditransmisikan secara penuh ke harga domestik.


(43)

2.1.6. Hubungan antara Efisiensi dan Daya Saing

Salah satu pendekatan daya saing adalah berdasarkan ide umum bahwa daya saing berarti keberhasilan dalam meraih tujuan-tujuan ekonomi di pasar, yang diterjemahkan sebagai peningkatan profitabilitas, dan juga kesejahteraan dalam sudut pandang sosial (FAO, 1999 dalam Curtiss, 2001). Keuntungan privat dan sosial yang positif menggambarkan daya saing tingkat produksi dalam pasar domestik maupun internasional.

Inefisiensi ekonomi dalam memproduksi suatu komoditas akan terjadi jika terdapat ruang untuk mengoptimalkan penggunaan dan pengalokasian sumberdaya, atau dengan kata lain ada ruang untuk meningkatkan profitabilias dan kesejahteraan (Curtiss, 2001). Jika hanya satu faktor, yaitu perbedaan dalam potensi manajemen, diasumsikan menyebabkan inefisiensi ekonomi, maka ada hubungan sempurna antara efisiensi ekonomi (efisiensi teknis dan alokatif) dan daya saing. Namun, jika ada kegagalan pasar, maka akan ada deviasi dalam hubungan antara efisiensi teknis dan daya saing. Ini diprediksi karena efisiensi skala usaha dan efisiensi alokatif lebih sensitif untuk memfungsikan pasar daripada efisiensi teknis (Mathijs and Vranken (1999) dalam Curtiss (2001)).

Menurut Curtiss (2001), peningkatan efisiensi teknis dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan efisiensi produksi. Realokasi sumberdaya, dari digunakan untuk proteksi menjadi untuk kebijakan peningkatan efisiensi teknis, akan menjamin efek yang sama pada tingkat profitabilitas dan secara simultan meningkatkan keunggulan komparatif suatu komoditas.

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian tentang analisis produksi dan analisis efisiensi telah banyak dilakukan. Untuk menganalisis tingkat efisiensi dapat menggunakan fungsi produksi biasa dan fungsi produksi frontier.


(44)

Purmiyanti (2002) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk menganalisis tingkat efisiensi ekonomis usahatani bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan, benih, pupuk P, pupuk K, tingkat pendidikan, status garapan dan varietas bibit, berpengaruh terhadap produksi. Pengujian efisiensi ekonomis (penggunaan input) dilakukan dengan cara membandingkan nilai produk marginal (VMPxi) dari setiap input terhadap harga input tersebut. Efisiensi alokatif tercapai bila nilai produk marginal (VMPxi) dari setiap input sama dengan harga input tersebut (Pxi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio nilai produk marginal terhadap harga masing-masing input tidak sama dengan 1, artinya penggunaan input dalam produksi bawang merah masih belum efisien. Purmiyanti (2002) juga melakukan analisis daya saing dengan alat analisis PAM untuk mencari nilai PCR (Private Cost Ratio) dan DRC (Domestic Resources Cost). Nilai PCR dan DRC lebih kecil dari 1 yang berarti bahwa bawang merah layak diusahakan.

Ada beberapa kelemahan fungsi produksi biasa dalam menganalisis tingkat efisiensi ini. Diantaranya adalah: (1) fungsi ini tidak mampu menangkap faktor-faktor yang menjadi sumber-smber inefisiensi, baik yang bersifat terkontrol maupun yang tidak terkontrol, seperti: cuaca, pemogokan, serangan hama, dan sebagainya, (2) fungsi produksi biasa menggambarkan tingkat produksi rata-rata, bukan tingkat produksi maksimum yang dapat dicapai, dan (3) dengan fungsi produksi biasa hanya mampu menganalisis efisiensi ekonomis (alokatif) pada tingkat produksi rata-rata, sedangkan efisiensi teknis tidak bisa.

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut maka digunakan fungsi

produksi frontier. Penelitian-penelitian yang menggunakan fungsi produksi frontier dalam menganalisis efisiensi telah banyak dilakukan.

Penelitian yang dilakukan Daryanto (2000), menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis petani padi yang


(45)

menggunakan beberapa sistem irigasi pada tiga musim tanam berbeda di Jawa Barat. Sistem irigasi yang dibandingkan teridiri dari sistem irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan desa. Fungsi produksi dugaan yang digunakan adalah fungsi produksi translog stochastic frontier, dengan model efek inefisiensi teknis non-netral. Variabel-variabel penjelas yang disertakan di dalam model efek inefisiensi teknis terdiri dari: (1) logaritma luas lahan, (2) rasio tenaga kerja yang disewa terhadap total tenaga kerja, dan (3) partisipasi petani di dalam program intensifikasi.

Hasil penelitiannya menunjukkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Model fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan, secara signifikan dapat diterima. Dengan kata lain, fungsi produksi rata-rata tidak cukup menggambarkan efisiensi dan inefisiensi teknis yang terjadi di dalam proses produksi.

2. Rata-rata nilai inefisiensi teknis dari petani sampel berada pada kisaran 59 persen hingga 87 persen, dan terdapat pada setiap petani sampel disemua sistem irigasi dan musim tanam.

3. Semua variabel penjelas di dalam model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier, secara signifikan mempengaruhi inefisiensi teknis.

4. Ukuran lahan dan rasio tenaga kerja, memberikan pengaruh yang tidak sama terhadap inefisiensi teknis petani di setiap sistem irigasi dan musim tanam.

Swastika (1996) menggunakan fungsi produksi frontier stochastic translog untuk mengukur perubahan teknologi dan perubahan efisiensi teknis serta kontribusinya terhadap pertumbuhan produktivitas faktor total pada padi sawah irigasi di Jawa Barat. Variabel penjelas yang disertakan dalam model ini adalah vektor input yang terdiri dari benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan penggunaan traktor, serta dummy waktu sebagai proxy dari perubahan teknologi


(46)

tahun 1988 dan 1992. Pendugaan fungsi produksi frontier dilakukan dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan teknologi dari tahun 1980 sampai 1988 sebesar 42.72 persen. Dalam periode yang sama, efisiensi teknis turun sebesar 2 persen. Oleh karena itu, pertumbuhan produktivitas faktor totalnya adalah sebesar 40.74 persen. Sebaliknya dari tahun 1988-1992 terjadi penurunan produksi frontier sebesar 51.57 persen dari kenaikan efisiensi teknis sebesar 2.06 persen. Pada periode tersebut, pertumbuhan produktivitas faktor total adalah sebesar -49.51 persen. Kenaikan produktivitas faktor total dari tahun 1980-1988 diduga disebabkan oleh perbaikan tingkat penerapan teknologi dari awal Insus sampai Supra Insus. Setelah Supra Insus, tidak ada lagi terobosan teknologi baru, baik dari segi kultur teknis maupun varietas baru yang berpotensi hasil melebihi varietas-varietas sebelumnya.

Selain stagnasi teknologi, juga disebabkan penurunan genetik varietas-varietas yang ada, penurunan kualitas dan kesuburan tanah, dan serangan hama pada musim tanam 1992. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan teknologi selama periode analisis cenderung bias ke arah pengurangan benih dan tenaga kerja serta peningkatan pemakaian pupuk, pestisida, dan traktor. Juga ditemukan adanya hubungan yang negatif antara peningkatan produksi frontier dengan tingkat efisiensi teknis.

Myint dan Kyi (2005) melakukan penelitian tentang analisis efisiensi teknis pada sistem produksi padi sawah beririgasi di Myanmar, dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas stochastic frontier. Faktor-faktor yang dimasukkan sebagai variabel penjelas adalah: luas areal, tenaga kerja keluarga, jumlah benih, jumlah pupuk, biaya tenaga kerja sewa, dan dummy penggunaan pupuk kandang. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi adalah umur petani, dummy tingkat pendidikan, dan dummy penyuluhan. Hasil penelitian


(47)

menunjukkan bahwa tenaga kerja keluarga dan pupuk urea secara signifikan mendorong peningkatan tingkat produktivitas pada petani kecil. Tingkat pendidikan petani menengah bernilai negatif dan secara nyata berhubungan dengan inefisiensi teknis. Petani besar memiliki nilai skor efisiensi teknis tertinggi, yaitu 0.77, diikuti oleh petani menengah dan petani kecil. Dengan demikian, pemerintah harus melanjutnya dukungannya terhadap peningkatan investasi publik di bidang infrastruktur dan teknologi untuk memperoleh efisiensi yang lebih tinggi. Di lain pihak, peningkatan produksi dan efisiensi dapat dicapai dengan peningkatan penggunaan pupuk urea dan tenaga kerja keluarga, dan tingkat pendidikan harus ditingkatkan untuk meningkatkan efisiensi teknis.

Penelitian tentang daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) pada berbagai komoditas telah banyak dilakukan. Penelitian Siregar dan Sumaryanto (2003) tentang daya saing komoditas kedelai di DAS Brantas, dengan menggunakan PAM menunjukkan bahwa nilai PCR dan DRC sekitar satu yang berarti bahwa kedelai memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang lemah di DAS Brantas. Komoditas kedelai akan mempunyai daya saing finansial jika harga kedelai dunia naik paling sedikit 8.5 persen, atau nilai tukar dollar terhadap rupiah paling sedikit turun 9.2 persen atau produktivitas kedelai naik paling sedikit 27.4 persen, centeris paribus.

Oktaviani (1991) dalam penelitiannya menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengetahui daya saing komoditas pangan dan dampak kebijakan pemerintah pada kurun waktu tahun 1984 dan 1989. PAM digunakan karena memberikan kemudahan dalam menganalisis efisiensi finansial, efisiensi ekonomi dan dampak kebijakan pemerintah. Penelitian dilakukan terhadap komoditas pangan di Indonesia, yang ternyata efisien secara finansial maupun ekonomi sehingga layak diproduksi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah terhadap komoditas padi (1984 dan 1989), jagung (1984 dan 1989) dan ubikayu


(48)

(1984) tidak memberikan insentif bagi produsen untuk berproduksi. Sebaliknya pada ubikayu (1989) dan kedelai (1984 dan 1989) memberikan insentif kepada produsen untuk berproduksi. Hasil yang hampir sama dengan menggunakan metode yang sama juga diperoleh Hidayani (2004) yang meneliti daya saing tanaman karet di Kalimantan Selatan.

Suprihatini et al. (1996) menggunakan pendekatan koefisien BSD (Biaya Sumberdaya Domestik) untuk mengetahui daya saing teh hitam Indonesia. Keunggulan komparatif dihitung dengan membagi jumlah biaya sumberdaya domestik atas dasar harga bayangan (BSDb) dengan harga bayangan nilai tukar uang (SER). Sedangkan keunggulan kompetitif dihitung dengan membagi jumlah biaya sumberdaya domestik atas dasar harga pasar (BSDp) dengan harga pasar nilai tukar uang (OER). Kedua hasil bagi ini disebut koefisien BSD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teh hitam yang diproduksi di beberapa lokasi di Jawa dan Sumatera tidak memiliki daya saing karena nilai koefisien BSD kurang dari satu. Artinya Indonesia berada dalam posisi sudah tidak memiliki keuntungan ekonomi untuk memperluas dan memperdagangkan teh hitam. Hasil analisis kepekaan dengan menggunakan elastisitas BSD menunjukkan bahwa kenaikan upah tenaga kerja berdampak paling parah terhadap penurunan daya saing.

Penelitian yang dilakukan Rusastra (1996) tentang keunggulan komparatif, struktur proteksi dan perdagangan internasional kedelai Indonesia menyebutkan bahwa keragaman potensi sumberdaya alam dan manusia yang dimiliki Indonesia akan menentukan keunggulan komparatif kedelai. Demikian juga perbedaan tingkat adopsi teknologi, efisiensi pengusaha kedelai, biaya transportasi dan pemasaran. Studi tentang keunggulan komparatif juga dilakukan dengan mengingat adanya perubahan lingkungan strategi di tingkat global. Data yang digunakan adalah data agregatif regional dengan mempertimbangkan pola


(49)

perdagangan substitusi impor, perdagangan antar daerah maupun promosi ekspor.

Secara finansial usahatani kedelai di luar Jawa cukup menguntungkan dibandingkan dengan di Jawa dengan tingkat profitabilitas sebesar 105-121 persen, sedangkan di Jawa hanya 42-40 persen terhadap total biaya. Secara finansial struktur biaya kedelai didominasi oleh biaya lahan hampir 50 persen, baik di Jawa maupun luar Jawa. Berikutnya adalah biaya bibit dan tenaga kerja, sedangkan biaya tradable input adalah sama. Secara ekonomis usahatani kedelai di luar Jawa lebih efisien dibandingkan di Jawa. Koefisien DRCR berkisar antara 1.5302-1.7070 untuk Jawa. Keadaan ini disebabkan rataan biaya ekonomis di luar Jawa lebih rendah daripada Jawa.

Dinamika proteksi yang dilakukan pemerintah terhadap kedelai ditunjukkan oleh adanya peningkatan proteksi nominal (NPR) sebesar 4.8 persen per tahun selama periode 1985-1994. Besarnya insentif terhadap kedelai yang ditunjukkan oleh nilai EPR dirasa tidak proporsional. Jawa menikmati lebih besar dibanding luar Jawa, padahal tidak memiliki keunggulan komparatif.

Kesimpulan dan implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah telah terjadi pengontrolan yang ketat terhadap pasar kedelai domestik sehingga usahatani kedelai secara finansial memberikan keuntungan, meskipun tidak menguntungkan secara ekonomis khususnya di Jawa. Di Jawa usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai DRCR lebih besar dari satu. Untuk mencapai titik impas harga output harus lebih tinggi dari harga paritasnya di pasar internasional, atau produktivitasnya perlu ditingkatkan. Kondisi ini dalam waktu dekat tidak realistis, oleh sebab itu upaya pengembangan kedelai dapat dilakukan melalui penciptaan varietas unggul yang tahan terhadap hama dan penyakit, produktivitasnya tinggi dan cocok dengan agroklimat setempat.


(50)

Penelitian-penelitian tentang komoditas jagung juga telah banyak dilakukan. Akhir-akhir ini penelitian tentang jagung lebih banyak pada keterkaitan antara pasar jagung dengan pasar produk-produk turunannya (Kariyasa et al. (2004) dan Imron (2007)) dan kebijakan tarif impor jagung (Erwidodo et al. (2003)).

Penelitian lain tentang jagung adalah penelitian Ramli dan Swastika (2005) tentang keunggulan kompetitif beberapa tanaman palawija di Kalimantan Tengah. Keunggulan kompetitif pada dasarnya analog dengan penentuan tingkat produktivitas minimal dari suatu komoditas agar kompetitif terhadap usahatani komoditas lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, usahatani jagung harus berproduksi minimal 1.06 ton per hektar agar dapat bersaing dengan usahatani kedelai, 1.46 ton per hektar agar dapat bersaing dengan usahatani kacang tanah, dan 4.28 ton per hektar agar dapat bersaing dengan usahatani ubi jalar. Dengan produksi jagung aktual sekitar 2.01 ton per hektar, maka usahatani jagung memiliki keunggulan kompetitif terhadap usahatani kacang tanah dan kedelai tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif dengan usahatani ubi jalar.

Hasil-hasil penelitian di atas hanya melakukan penelitian tentang tingkat efisiensi dan daya saing secara terpisah. Penelitian yang mengaitkan antara tingkat efisiensi dan daya saing suatu komoditas (jagung) sampai saat ini belum ada. Penelitian ini akan mencoba mengaitkan antara tingkat efisiensi dan daya saing. Penelitian ini akan mencoba mengukur tingkat efisiensi dan kondisi daya saing komoditas jagung di lahan kering serta bagaimana dengan saing komoditas tersebut bila tingkat efisiensi dinaikkan.


(51)

2.3. Kerangka Konseptual

Gambar 3 menunjukkan kerangka pemikiran konseptual dari penelitian ini. Kalimantan Selatan memiliki potensi sumberdaya lahan kering yang potensial untuk pengembangan jagung berpeluang untuk meningkatkan produksi jagungnya dalam rangka dapat memenuhi kebutuhan jagung baik tingkat provinsi maupun tingkat nasional. Dengan peningkatan produksi diharapkan menjadi substitusi impor komoditas jagung.

Usahatani Jagung Lahan Kering

Produktivitas Rendah

Analisis Produksi dan Efisiensi:

- Lahan, benih, pupuk organik, pupuk NK, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan pengolah tanah - Umur, pendidikan, pengalaman dan

keanggotaan kelompok tani

Tingkat Efisiensi - Efisiensi Teknis - Efisiensi Alokatif - Efisiensi Ekonomis

Tingkat Daya Saing - PCR

- DRCR

Saran Kebijakan


(52)

Permasalahan jagung lahan kering di Kalimantan Selatan adalah produktivitas jagung di tingkat petani yang masih rendah, yaitu sekitar 3.5-5 ton per hektar. Rendahnya produktivitas ini diduga terkait dengan efisiensi penggunaan input baik jumlah maupun alokasinya. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi kondisi dan permasalahan usahatani jagung di Kalimantan Selatan dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi dan efisiensi usahatani jagung di lahan kering.

Produktivitas dan efisiensi merupakan akar penentu tingkat daya saing. Suatu komoditas akan mampu bersaing di pasar bila memiliki daya saing tinggi untuk bersaing dengan jagung impor. Disamping itu intervensi pemerintah berupa kebijakan akan turut mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas.

2.4. Hipotesis Penelitian

Dari tinjauan pustaka di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Dalam fungsi produksi faktor-faktor yang diduga berpengaruh nyata (positif)

adalah lahan, benih, penggunaan pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Rata-rata tingkat efisiensi yang dicapai petani diharapkan di atas 0.8 karena Kabupaten Tanah Laut merupakan sentra produksi jagung.

2. Diduga usahatani jagung secara finansial dan ekonomi masih memberikan keuntungan pada petani jagung dan memiliki daya saing yang kuat untuk mempertahankan kelanjutan produksinya. Semakin efisien, semakin kuat pula daya saingnya.


(1)

the final mle estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.54118172E+01 0.66039320E+00 0.81948409E+01 beta 1 0.44756381E+00 0.12338495E+00 0.36273777E+01 beta 2 0.14418498E+00 0.78294677E-01 0.18415681E+01 beta 3 0.87363895E-01 0.48495160E-01 0.18014972E+01 beta 4 0.34778898E-02 0.45288900E-01 0.76793428E-01 beta 5 0.21152212E-01 0.68648720E-02 0.30812246E+01 beta 6 0.42758841E-01 0.32042263E-01 0.13344514E+01 beta 7 0.31664221E+00 0.82657246E-01 0.38307859E+01 beta 8 0.45451560E-01 0.38967941E-01 0.11663834E+01 delta 0 -0.16494162E+00 0.78916634E+00 -0.20900742E+00 delta 1 0.15709867E-02 0.78299857E-02 0.20063724E+00 delta 2 -0.65388527E-01 0.12045429E+00 -0.54284931E+00 delta 3 0.85053937E-02 0.15245532E-01 0.55789420E+00 delta 4 -0.27571426E+00 0.46541637E+00 -0.59240345E+00 sigma-squared 0.99404035E-01 0.14014640E+00 0.70928711E+00 gamma 0.89236418E+00 0.14970431E+00 0.59608448E+01 log likelihood function = 0.37224379E+02

LR test of the one-sided error = 0.68182543E+01 with number of restrictions = 6

[note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 41

(maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 76

number of time periods = 1 total number of observations = 76 thus there are: 0 obsns not in the panel


(2)

Lampiran 3. Lanjutan covariance matrix :

0.43611918E+00 0.70639729E-01 -0.14673661E-01 -0.19763515E-01 -0.76657840E-02 0.11519537E-02 0.98758993E-03 -0.32126789E-01 -0.54355956E-02 0.15040268E+00 -0.13661711E-03 0.24510532E-01 -0.12028310E-02 0.80837794E-01 -0.32439391E-01 -0.31789248E-01

0.70639729E-01 0.15223845E-01 -0.55635810E-02 -0.23753391E-02 -0.40598303E-03 0.23858617E-03 -0.42838067E-03 -0.55703764E-02 -0.11211214E-02 0.16769579E-01 0.28792492E-04 0.46470130E-02 -0.11247859E-03 0.11627196E-01 -0.50250524E-02 -0.48411594E-02

-0.14673661E-01 -0.55635810E-02 0.61300564E-02 -0.51901772E-03 -0.19281140E-03 -0.49782670E-04 -0.13808995E-03 0.47780960E-03 0.55701235E-03 -0.26555391E-02 0.87346669E-05 -0.31348502E-03 -0.37207090E-04 0.28764741E-03 0.73680011E-03 0.13321538E-02

-0.19763515E-01 -0.23753391E-02 -0.51901772E-03 0.23517806E-02 0.51283981E-03 -0.89194091E-05 0.30421794E-03 -0.26667693E-03 0.10055899E-03 -0.10788973E-01 0.35508167E-04 -0.15559359E-02 0.30500824E-04 -0.66763719E-02 0.21850076E-02 0.19278736E-02

-0.76657840E-02 -0.40598303E-03 -0.19281140E-03 0.51283981E-03 0.20510844E-02 0.43005996E-04 -0.46199041E-03 -0.11284572E-02 0.38228885E-03 -0.34237299E-02 0.44802884E-04 0.89786494E-03 0.30287438E-04 -0.19011436E-03 -0.31531937E-03 -0.20911313E-03

0.11519537E-02 0.23858617E-03 -0.49782670E-04 -0.89194091E-05 0.43005996E-04 0.47126468E-04 -0.10154134E-04 -0.21609649E-03 0.36094761E-04 0.13618915E-02 -0.54654128E-05 0.29760097E-03 -0.67233821E-05 0.87710359E-03 -0.35098727E-03 -0.40213392E-03

0.98758993E-03 -0.42838067E-03 -0.13808995E-03 0.30421794E-03 -0.46199041E-03 -0.10154134E-04 0.10267066E-02 -0.40289440E-03 0.13611609E-04 0.24847011E-02 -0.44724163E-04 -0.86856139E-03 -0.24599257E-04 -0.43615186E-03 0.33978529E-03 -0.92913188E-05

-0.32126789E-01 -0.55703764E-02 0.47780960E-03 -0.26667693E-03 -0.11284572E-02 -0.21609649E-03 -0.40289440E-03 0.68322204E-02 0.62467649E-04 -0.56423266E-02 -0.44497308E-04 -0.19601022E-02 0.11695809E-03 -0.27201547E-02 0.19397892E-02 0.20959984E-02

-0.54355956E-02 -0.11211214E-02 0.55701235E-03 0.10055899E-03 0.38228885E-03 0.36094761E-04 0.13611609E-04 0.62467649E-04 0.15185004E-02 0.54740010E-03 -0.12470987E-04 -0.35271177E-03 0.71764266E-05 -0.39407033E-03 0.21505184E-03 0.30176047E-03

0.15040268E+00 0.16769579E-01 -0.26555391E-02 -0.10788973E-01 -0.34237299E-02 0.13618915E-02 0.24847011E-02 -0.56423266E-02 0.54740010E-03 0.62278351E+00 -0.30377019E-02 0.42814619E-01 -0.62100264E-02 0.28198694E+00 -0.91267445E-01 -0.98333364E-01

-0.13661711E-03 0.28792492E-04 0.87346669E-05 0.35508167E-04 0.44802884E-04 -0.54654128E-05 -0.44724163E-04 -0.44497308E-04 -0.12470987E-04 -0.30377019E-02 0.61308677E-04 0.20207320E-03 -0.38456916E-04 -0.66421206E-03 0.10182039E-03 0.20483363E-03

0.24510532E-01 0.46470130E-02 -0.31348502E-03 -0.15559359E-02 0.89786494E-03 0.29760097E-03 -0.86856139E-03 -0.19601022E-02 -0.35271177E-03 0.42814619E-01 0.20207320E-03 0.14509235E-01 -0.74056914E-03 0.42571692E-01 -0.14249266E-01 -0.12889699E-01


(3)

-0.12028310E-02 -0.11247859E-03 -0.37207090E-04 0.30500824E-04 0.30287438E-04 -0.67233821E-05 -0.24599257E-04 0.11695809E-03 0.71764266E-05 -0.62100264E-02 -0.38456916E-04 -0.74056914E-03 0.23242624E-03 -0.38799800E-02 0.11153107E-02 0.11006295E-02

0.80837794E-01 0.11627196E-01 0.28764741E-03 -0.66763719E-02 -0.19011436E-03 0.87710359E-03 -0.43615186E-03 -0.27201547E-02 -0.39407033E-03 0.28198694E+00 -0.66421206E-03 0.42571692E-01 -0.38799800E-02 0.21661240E+00 -0.56868819E-01 -0.54199110E-01

-0.32439391E-01 -0.50250524E-02 0.73680011E-03 0.21850076E-02 -0.31531937E-03 -0.35098727E-03 0.33978529E-03 0.19397892E-02 0.21505184E-03 -0.91267445E-01 0.10182039E-03 -0.14249266E-01 0.11153107E-02 -0.56868819E-01 0.19641013E-01 0.19905270E-01

-0.31789248E-01 -0.48411594E-02 0.13321538E-02 0.19278736E-02 -0.20911313E-03 -0.40213392E-03 -0.92913188E-05 0.20959984E-02 0.30176047E-03 -0.98333364E-01 0.20483363E-03 -0.12889699E-01 0.11006295E-02 -0.54199110E-01 0.19905270E-01 0.22411382E-01

technical efficiency estimates :

firm year eff.-est. 1 1 0.90640085E+00 2 1 0.92706835E+00 3 1 0.90341258E+00 4 1 0.90502636E+00 5 1 0.94742219E+00 6 1 0.92890163E+00 7 1 0.91910737E+00 8 1 0.96076488E+00 9 1 0.80666375E+00 10 1 0.94290756E+00 11 1 0.90530326E+00 12 1 0.90491338E+00 13 1 0.88500585E+00 14 1 0.92135718E+00 15 1 0.94223902E+00 16 1 0.93095977E+00 17 1 0.91904809E+00 18 1 0.84528269E+00 19 1 0.88999398E+00 20 1 0.78048521E+00 21 1 0.84058362E+00 22 1 0.90536155E+00 23 1 0.94821471E+00 24 1 0.94119099E+00 25 1 0.71377604E+00 26 1 0.92019403E+00 27 1 0.74093502E+00


(4)

Lampiran 3. Lanjutan

28 1 0.84396970E+00 29 1 0.84542132E+00 30 1 0.93938749E+00 31 1 0.85255528E+00 32 1 0.95762243E+00 33 1 0.82264489E+00 34 1 0.96976875E+00 35 1 0.83865417E+00 36 1 0.91496632E+00 37 1 0.95446461E+00 38 1 0.89593726E+00 39 1 0.89656018E+00 40 1 0.94142639E+00 41 1 0.95518260E+00 42 1 0.92066488E+00 43 1 0.90565644E+00 44 1 0.94660901E+00 45 1 0.88509028E+00 46 1 0.94152214E+00 47 1 0.89224804E+00 48 1 0.90102001E+00 49 1 0.81610479E+00 50 1 0.68229538E+00 51 1 0.82484412E+00 52 1 0.92956529E+00 53 1 0.93592812E+00 54 1 0.67667945E+00 55 1 0.62179159E+00 56 1 0.89656610E+00 57 1 0.91521483E+00 58 1 0.84387747E+00 59 1 0.95446259E+00 60 1 0.94320550E+00 61 1 0.86115385E+00 62 1 0.83680975E+00 63 1 0.95435116E+00 64 1 0.96055255E+00 65 1 0.92971946E+00 66 1 0.95587139E+00 67 1 0.96422590E+00 68 1 0.92502030E+00 69 1 0.71106604E+00 70 1 0.94771276E+00 71 1 0.94194044E+00 72 1 0.61447798E+00 73 1 0.89447327E+00 74 1 0.94929849E+00 75 1 0.88916020E+00 76 1 0.91586237E+00 mean efficiency = 0.88679110E+00


(5)

No. Efisiensi Teknis Efisiensi Alokatif Efisiensi Ekonomis 1 0.906 0.494 0.448 2 0.927 0.513 0.475 3 0.903 0.569 0.514 4 0.905 0.578 0.523 5 0.947 0.458 0.434 6 0.929 0.478 0.444 7 0.919 0.527 0.484 8 0.961 0.452 0.434 9 0.807 0.631 0.509 10 0.943 0.550 0.519 11 0.905 0.552 0.500 12 0.905 0.531 0.481 13 0.885 0.543 0.481 14 0.921 0.566 0.522 15 0.942 0.515 0.485 16 0.931 0.529 0.492 17 0.919 0.559 0.514 18 0.845 0.583 0.492 19 0.890 0.579 0.515 20 0.780 0.649 0.506 21 0.841 0.645 0.542 22 0.905 0.568 0.514 23 0.948 0.528 0.501 24 0.941 0.488 0.459 25 0.714 0.649 0.463 26 0.920 0.603 0.554 27 0.741 0.661 0.489 28 0.844 0.586 0.494 29 0.845 0.551 0.465 30 0.939 0.476 0.447 31 0.853 0.630 0.537 32 0.958 0.613 0.587 33 0.823 0.736 0.606 34 0.970 0.582 0.564 35 0.839 0.648 0.543 36 0.915 0.659 0.603 37 0.954 0.534 0.509 38 0.896 0.534 0.478 39 0.897 0.559 0.501 40 0.941 0.528 0.497 41 0.955 0.495 0.473 42 0.921 0.523 0.481 43 0.906 0.607 0.549 44 0.947 0.611 0.578 45 0.885 0.602 0.533 46 0.942 0.599 0.564 47 0.892 0.572 0.510 48 0.901 0.517 0.466 49 0.816 0.533 0.435


(6)

No. Efisiensi Teknis Efisiensi Alokatif Efisiensi Ekonomis 50 0.682 0.592 0.404 51 0.825 0.677 0.559

52 0.930 0.507 0.471 53 0.936 0.564 0.528 54 0.677 0.770 0.521 55 0.622 0.713 0.443 56 0.897 0.516 0.463 57 0.915 0.570 0.522 58 0.844 0.577 0.487 59 0.954 0.562 0.536 60 0.943 0.587 0.553 61 0.861 0.592 0.509 62 0.837 0.543 0.455 63 0.954 0.523 0.500 64 0.961 0.510 0.490 65 0.930 0.477 0.443 66 0.956 0.433 0.414 67 0.964 0.551 0.531 68 0.925 0.635 0.587 69 0.711 0.744 0.529 70 0.948 0.478 0.453 71 0.942 0.490 0.462 72 0.614 0.600 0.369 73 0.894 0.592 0.529 74 0.949 0.529 0.502 75 0.889 0.517 0.460 76 0.916 0.489 0.447