Bagan Alir Penelitian METODE PENELITIAN 4.1. Pendekatan Penelitian

27

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Temuan Penelitian Sebelumnya

Penelitian pada tahun sebelumnya bertujuan untuk mengetahui kontribusi pengembangan destinasi pariwisata perdesaan terhadap masyarakat lokal. Penelitian ini telah menghasilkan beberapa temuan yaitu tentang dampak destinasi pariwisata perdesaan terhadap masyarakat lokal dan peran sentral elit desa dalam pengembangan desa wisata di Desa Pakraman Pinge. Dampak yang ditimbulkan dari pengembangan Desa Wisata Pinge cukup beragam yang meliputi aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Namun berbagai dampak tersebut sampai saat belum sepenuhnya dinikmati oleh sebagian besar masyarakat lokal akibat jenis partisipasi masyarakat selama ini masih manipulatif dan pasif serta adanya dominasi elit dalam pengembangan Desa Wisata Pinge. Dominasi elit ini muncul lebih disebabkan oleh kevakuman aktivitas pariwisata selama tujuh tahun, karena masyarakat lokal tidak berdaya mengembangkan Desa Wisata Pinge yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan pada tahun 2004. Kemudian setelah beberapa elit yang merupakan pensiunan pegawai pemerintah dan swasta pariwisata mengisi kekosongan tersebut dengan berinisiatif mengembangkan produk desa wisata, aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge kembali berkembang. Munculnya sejumlah elit yang mempunyai peran sentral dalam pengembangan Desa Wisata Pinge menyebabkan dampak yang ditimbulkan akhirnya mengarah kepada kutub-kutub kekuatan para elit tersebut. Menarik untuk dibahas kemudian berdasarkan temuan tersebut adalah terdapatnya dua tipologi elit dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Kedua jenis elit tersebut adalah elit inklusif dan elit eksklusif yang mempunyai karakteristik yang tidak sama dan dapat memberikan pengaruh berbeda dalam konteks pengembangan Desa Wisata Pinge. Dualisme elit dalam kepariwisataan Desa Pakraman Pinge dapat menciptakan renggangnya kohesivitas sosial dan menyimpan potensi konflik. Terkait dengan kemungkinan resiko yang terjadi, kata kunci dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Pakraman Pinge adalah inklusivitas elit-elit tersebut. Inklusivitas elit dalam penelitian ini berupa rumusan model yang mampu mensinergikan kedua kekuatan elit tersebut. 28 Dualitas elit yang dibangun harus mengakomodasi berbagai kepentingan terutama masyarakat lokal dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

5.2. Posisi Strategis Elit dalam Ranah Desa Wisata Pinge

Secara garis besar, elit merupakan pusat kekuatan dalam ranah Desa Wisata Pinge yang mengakumulasi beragam modal. Akumulasi modal tersebut berimplikasi pada posisi sosial elit yang strategis. Karakter elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadi unik karena ketokohannya berasal dari kalangan pensiunan yang pulang kampung, sehingga dianggap memiliki pengalaman berdasarkan karir yang ditempuh sebelumnya. Dengan pengalamannya tersebut, elit ini memiliki kapasitas dalam menyelenggarakan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Terlebih lagi dari elit ini terdapat pensiunan birokrasi pemerintahan dan manajer hotel bintang lima di Kawasan Pariwisata Sanur. Dapat dikatakan para elit inilah apa yang disebut sebagai cross cutting person, sebagai aktor penghubung antara kepentingan eksternal pariwisata seperti : wisatawan, biro perjalanan pariwisata, pemandu wisata, organisasi pariwisata, pemerintah, perguruan tinggi dengan pihak internal yaitu masyarakat lokal. Dari dua tipologi elit pariwisata yang teridentifikasi di Desa Pakraman Pinge yaitu elit eksklusif dan elit inklusif, diketahui masing-masing memiliki karakter yang spesifik. Elit ekslusif merupakan aktorkelompok aktor yang mengakumulasi modal dalam Desa Wisata Pinge atau dapat disebut dengan ranah pariwisata dan memilikinyanya secara ekslusif. Elit ini tidak berkeinginan untuk berbagi modal dengan aktorkelompok aktor lainnya dalam ranah pariwisata Pinge. Hal ini dapat dimengerti karena elit eksklusif berasal dari pensiunan pejabat birokrasi pemerintah, sehingga dengan trayektorinya tersebut menghasilkan habitus khas. Terbiasa memerintah kelompok yang dianggap bawahan dan hanya patuh kepada kelompok yang dianggap atasan. Kelompok elit eksklusif ini relatif memandang masyarakat lokal sebagai pihak bawahan, sehingga relasi sosial yang dikonstruksi berbasis interaksi ”memerintah- diperintah”. Dengan kata lain konstruksi relasi yang terbangun berbasis patron- client, dengan mengidentifikasi dirinya sebagai patron lewat pengetahuan dan