BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Teori Kontrak Psikologi Psychological Contract Theory
Rousseau 2000 teori kontrak psikologi Psychological Contract Theory diartikan sebagai keyakinan individu akan kewajiban timbal balik yang diperolehnya sebagai karyawan, juga
termasuk pengharapan atau ekspektasi kedua belah pihak secara tertulis atau tidak tertulis. Ekspektasi yang dimaksud berkisar ditingkat imbalan, promosi, keamanan kerja dan juga
prosedur lainnya. Rousseau 2000 menekankan kontrak psikologis mengacu pada syarat dan elemen yang terdiri dari spesifik kewajiban yang diberikan perusahaan terhadap karyawan
seperti keamanan kerja karyawan. Psychological Contract Theory berfungsi untuk meredam kondisi ketidakpastian dengan
mempertahankan sarana tertulis atau tidak tertulis yang diperlukan dalam menjalankan praktek kerja dalam organisasi Adkins et al. 2001 dikutip dari Yasadiputra dan Putra 2014. Giannikis
dan Mihail 2011 menemukan studi dari Turnley dan Feldman 2000 serta Robinson 1996 menunjukkan bahwa secara umum kontrak psikologi merupakan kewajiban perusahaan terhadap
harapan karyawan yang belum terpenuhi. Secara khusus, mereka menemukan bahwa terjadinya pelanggaran kontrak psikologis dapat menyebabkan menurunnya komitmen karyawan .
Pemenuhan terhadap kontrak psikologi akan berdampak positif terhadap kepuasan kerja, komitmen dan loyalitas karyawan, sementara pelanggaran terhadap kontrak psikologi akan
berkaitan dengan menurunnya komitmen, penurunan kepuasan kerja, peningkatan absensi dan tingkat turnover yang tinggi Suazo, 2009. Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan
job insecurity adalah pandangan individu terhadap situasi yang ada dalam organisasi tempatnya
bekerja yang menimbulkan ketidakberdayaan seseorang untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam pekerjaan.
2.1.2 Karyawan Kontrak
Karyawan kontrak merupakan karyawan yang bekerja di perusahaan dengan terikat perjanjian kerja waktu tertentu PKWT. Indah dkk. 2014 karyawan kontrak adalah karyawan
yang bekerja paruh waktu, sementara, atau hanya sampai waktu yang telah ditentukan dalam kontrak tertentu. Pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Kepmenakertrans
100MENIV2004 Perjanjian kerja waktu tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerjaburuh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja
dalam waktu tertentu. Indah dkk. 2014 menyebutkan memperkerjakan karyawan sementara memungkinkan
perusahaan mempertahankan efisiensi dari pengurangan biaya tenaga kerja sementara disisi lain cukup fleksible untuk menghadapi kebutuhan yang baru dan berubah. Secara tradisional,
karyawan sementara sering mendapatkan pembayaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan karyawan tetap dan mereka juga tidak mendapat berbagai tunjangan dan tidak mendapat akses
untuk mendapatkan program dana pensiun yang disponsori oleh perusahaan. Indah dkk. 2014 dalam penelitiannya menyatakan bahwa di antara para karyawan yang memiliki keterampilan
tinggi, para pekerja sementara dapat menjadi alternatif yang menguntungkan dibandingkan ketenagakerjaan tradisional, karena para karyawan ini dapat melakukan negosiasi kontrak
termasuk pemberian tunjangan atau gaji yang aman dan memadai untuk menutupi tunjangan yang dibayar sendiri.
2.1.3 Komitmen Organisasi
Muthuveloo dan Rose 2005 dikutip dari Srimulyani 2009 komitmen dikatakan sebagai “an employee level of attachment to some aspect of worf”, artinya, komitmen digambarkan
sebagai suatu tingat ikatan karyawan atau pegawai pada beberapa aspek pekerjaan. Sopiah 2008 :154 menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu keinginan yang dimiliki oleh
anggota untuk tetap bertahan dalam organisasi serta berusaha dengan keras untuk mewujudkan tujuan dari organisasi tersebut. Hasnain et al. 2014 mengemukakan bahwa komitmen
organisasi dalam perilaku organisasi dan psikologi industri serta organisasi didefinisikan sebagai lampiran psikologis individu untuk organisasi.
Mayer dan Allen 1991 mendefenisikan komitmen organisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan
memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan
pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan Luthans,
2006:248. Konsep komitmen organisasi dari Mowday, Porter, dan Steers dikutip dari Luthans,
2006:249, merupakan pendekatan sikap dimana komitmen didefinisikan sebagai: 1
Keinginan yang kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu 2
Keinginan untuk bekerja keras sesuai keinginan organisasi 3
Keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi Dasar di balik banyak penelitian yang terkait dengan hal tersebut adalah untuk menemukan
cara-cara untuk meningkatkan bagaimana perasaan karyawan tentang pekerjaan mereka sehingga para karyawan akan menjadi lebih berkomitmen untuk organisasi mereka. Robbins dan Judge
2008:100 menyatakan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasi mengacu pada orang yang tinggal dalam organisasi karena mereka
ingin afektif, karena mereka perlu kelanjutan, atau karena mereka merasa mereka harus normatif Bosman et al., 2005. Komitmen organisasi merupakan sikap kerja yang penting
karena orang-orang yang memiliki komitmen diharapkan bisa menunjukan kesediaan untuk bekerja lebih keras demi mencapai tujuan organisasi dan memiliki hasrat yang lebih besar untuk
tetap bekerja di suatu perusahaan Kreitner dan Kinicki, 2014:165. Berdasarkan pendapat beberapa para ahli dapat dinyatakan Komitmen organisasi
merupakan konstruk psikologis atau keinginan yang dimiliki oleh anggota untuk tetap bertahan dalam oganisasi karena mereka ingin afektif, mereka perlu kelanjutan, mereka harus
melakukan normatif serta berusaha dengan keras untuk mewujudkan tujuan dari organisasi tersebut.
Steers dan Porter Sopiah, 2008: 164 mengemukakan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu :
1 Faktor personal yang meliputi job expectations, psychological contract, job choice faktor,
karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akan membentuk komitmen awal. 2
Faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision, goal consistency organizational. Semua faktor itu akan membentuk atau memunculkan
tanggung jawab.
3 Non-organizational faktor, yang meliputi availability of alternative jobs. Faktor yang
bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif pekerjaan lain. Jika ada dan lebih baik, tentu pegawai akan meninggalkannya.
Luthans 2006:250 memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada
diri karyawan, yaitu: 1
Berkomitmen pada nilai utama manusia yakni dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
2 Memperjelas dan mengkomunikasikan misi yakni menggunakan praktek perekrutan
berdasarkan nilai dan memperjelas misi dan idiologi. 3
Menjamin keadilan organisasi yakni memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komperhensif.
4 Menciptakan rasa komunitas yakni membangun homogenitas berdasarkan nilai, keadilan,
saling mendukung kerja tim. 5
Mendukung perkembangan karyawan yakni melakukan aktualisasi, menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.
Indikator untuk mengukur komitmen organisasi Aydogdu dan Asikgil, 2011, Allen dan
Mayer, 1991 antara lain: 1
Affective commitment, adalah keterkaitan emosional dari karyawan untuk melibatkan diri dalam organisasi, dengan kata lain seseorang merasa bangga menjadi anggota organisasi.
2 Continuance commitment, adalah nilai ekonomi yang dirasakan apabila bertahan dalam
suatu organisasi dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut.
3 Normative Commitment, adalah keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap
organisasi dengan bersedia dilibatkan dalam kegiatan kerja demi kepentingan organisasi.
2.1.4
Job Insecurity
Pada akhir tahun 1970-an, perekonomian dunia mengalami penurunan drastis yang menyebabkan munculnya perubahan-perubahan dalam organisasi, seperti restrukturisasi, merger,
dan akuisisi. Perubahan organisasi tersebut mengakibatkan banyaknya pemutusan hubungan kerja pada tenaga kerja dalam jumlah besar Noviarini, 2013. Hal tersebut tentunya
menimbulkan perasaan tidak aman bagi tenaga kerja karena berkaitan dengan kelanjutan dan masa depan pekerjaan, yang dikenal dengan job insecurity. Menurut Rosenblatt dan Ruvio
1996 job insecurity didefinisikan sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam pekerjaan.
Dengan timbulnya rasa tidak aman dalam bekerja dapat mempengaruhi psikologis karyawan Yousef, 1998. Job insecurity mencerminkan derajat kepada karyawan yang
merasakan pekerjaan mereka terancam dan merasakan tidak berdaya untuk melakukan segalanya tentang itu Ashford et al., 1989. Sejak saat itu, job insecurity menjadi suatu konstruk yang
penting untuk diteliti berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan job insecurity terhadap perilaku tenaga kerja dalam organisasi.
Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt 1984 job insecurity adalah ketidakberdayaan seseorang kehilangan kekuasaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam
situasi kerja yang terancam. Sementara itu, Sverke et al. 2002 dikutip dari Noviarini 2013 mengatakan bahwa job insecurity adalah ketidakamanan yang dirasakan seseorang akan
kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting yang berkatian dengan pekerjaan itu sendiri. Job insecurity mencerminkan derajat kepada karyawan yang merasakan pekerjaan mereka terancam
dan merasakan tidak berdaya untuk melalukan segalanya tentang itu Ashford et al., 1989. Menurut Akpan 2013 job insecurity adalah harapan seseorang tentang kontinuitas dalam
situasi pekerjaan mereka. Ini ada hubungannya dengan perasaan karyawan takut kehilangan pekerjaan. Job insecurity merupakan faktor penting dalam komitmen karyawan. Ito dan
Brotheridge 2006 dalam Fatimah 2012 melihat efek dari ketidakamanan kerja atau job insecurity akan berdampak pada hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi
sehingga timbul kecenderungan untuk meninggalkan organisasi. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat
dinyatakan bahwa job insecurity adalah pandangan individu terhadap situasi yang ada dalam organisasi tempatnya bekerja yang menimbulkan ketidakamanan akan kelanjutan pekerjaannya,
dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak berdaya. Ashford et al. 1989 mengungkapkan bahwa job insecurity terdiri dari dua aspek, yaitu aspek ancaman akan kehilangan pekerjaan itu
sendiri dan aspek ancaman kehilangan fase-fase penting dalam pekerjaan, seperti gaji, kesempatan untuk promosi dan lain sebagainya. Berdasarkan pada kedua aspek job insecurity
Asford et al. 1989 dalam mengembangkan indikator job insecurity menjadi : 1
Keparahancaman severity of threat Keparahancaman meliputi seberapa besar individu mempersepsikan adanya ancaman
terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan dan ancaman terhadap pekerjaan secara keseluruhan. 1
Ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan Aspek-aspek yang berkatian dengan pekerjaan seperti kebebasan menentukan jadwal
pekerjaan, dll. Persepsi seseorang mengenai besarnya ancaman aspek-aspek pekerjaan dapat diketahui melalui seberapa besar aspek-aspek itu dirasakan penting dan seberapa
besar kemungkinan individu akan kehilangan aspek-aspek tersebut. Semakin penting dan
semakin tinggi aspek-aspek tersebut dipersepsikan mungkin hilang, maka semakin tinggi tingkat ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan yag dirasakan individu tersebut.
2 Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan
Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan merupakan persepsi seseorang mengenai adalanya kejadian-kejadian negatif yang dapat mempengaruhi pekerjaannya,
seperti diberhentikan untuk sementara waktu. Ancaman tersebut dapat diketahui melalui seberapa penting dan seberapa mungkin kejadian-kejadian negatif tersebut dipersepsikan
akan mempengaruhi pekerjaannya secara keseluruhan. 2
Ketidakberdayaan powerlessness Ketidakberdayaan menujukkan ketidakmampuan seseorang untuk mencegah munculnya
ancaman yang berpengaruh terhadap aspek-aspek pekerjaan dan pekerjaan secara keseluruhan. Semakin individu merasa tidak berdaya, semakin tinggi tingkat job insecurity.
2.1.5 Kepuasan Kerja