Kegiatan Militer di Ruang Angkasa Ditinjau Dari Article IV Of The Outer Space Treaty 1967

16

BAB II
PEMBENTUKAN HUKUM INTERNASIONAL
MENGENAI KEGIATAN DI RUANG ANGKASA

A. Pengertian Ruang Angkasa dan Hukum Ruang Angkasa
Ruang angkasa telah menjadi subjek dalam banyak karya seni dan
literature serta banyak menginspirasi banyak hal – hal lain, dan bahkan dijadikan
sebagai visual seni, drama seni, puisi, prosa dan musik. Selain literature Jules
Verne tentang manusia yang melakukan penerbangan pertama ke bulan dalam
From the Earth to the Moon tahun 1865 ada In Les Exilés de la Terre (Exiled from
Earth) tahun 1887 oleh Paschal Grousset, perjalanan ke ruang angkasa juga
menjadi inspirasi dalam film Le Voyage dans la Lune (1902) yang ditulis dan
disutradarai oleh Georges Méliès, sebuah silent film Perancis yang berdasarkan
novel Jules Verne From the Earth to the Moon dan the First Men in the Moon,
sampai khayalan manusia untuk menjelajahi ruang angkasa pun dapat
direalisasikan pada saat ini.
Dengan pengaruh literatur dan seni yang mudah menginspirasi manusia
untuk mengenal dan mengetahui tentang ruang angkasa walaupun manusia telah
mengenal ruang angkasa tetapi tidak semua mengerti tentang pengertian dari

ruang angkasa. Untuk mengetahui arti dan letak ruang angkasa harus terlebih
dahulu mengetahui arti dari dirgantara atau angkasa. Mengenai dirgantara atau
ruang angkasa yang menurut Ruman Sudrajat adalah :

Universitas Sumatera Utara

17

“Menunjuk suatu ruang yang terdiri dari dua ruang yaitu ruang udara dan
antariksa atau ruang angkasa”. 13
Dari pengertian Ruman Sudrajat berarti dirgantara atau angkasa adalah merujuk
ke bagian yang relatif kosong dan hampa dari jagad raya atau semesta di
luar atmosfer dari benda – benda angkasa “celestial” atau suatu ruangan atau
wilayah yang terletak dimulai dari ruang udara pada permukaan bumi menuju ke
atas langit yang tanpa batas (extraterrestrial). Istilah Luar Angkasa digunakan
untuk membedakannya dengan ruang udara dan lokasi "terrestrial".
Ruang udara adalah bagian dari atmosfer yang dapat dikontrol oleh suatu
negara karena merupakan hak yurisdiksi dimana setiap negara memiliki
kedaulatan mutlak atas wilayahnya untuk melakukan suatu perbuatan untuk tujuan
– tujuan tertentu, termasuk perairan yang teritorial atau, lebih umum, setiap

bagian tiga – dimensi tertentu dari atmosfer. Hal ini tidak sama dengan
kedirgantaraan, yang merupakan istilah umum untuk atmosfer bumi dan luar
angkasa di sekitarnya. Ruang udara adalah suatu ruangan yang berisi partikel –
partikel gas yang disebut udara yang dapat dihiruf untuk bernafas bagi semua
makhluk di dunia ini secara alamiah. Ruang udara yang semakin ke atas maka
semakin menipis gas udaranya dan sampai pada suatu tempat yang ruang
udaranya kosong atau hampa, ruangan yang kosong dan hampa udaranya disebut
dengan ruang angkasa. Jadi ruang angkasa adalah suatu ruang yang kosong dan
hampa udara yang berada jauh diatas ruang udara permukaan bumi yang bebas

13

Ruman Sudrajat, Masalah Penggunaan Antariksa / Ruang Angkasa untuk Maksud
Damai dan Kemanusiaan Ditinjau dari Hukum Dirgantara / Hukum Angkasa, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional R.I., 1978, h. 4.

Universitas Sumatera Utara

18


dari yurisdiksi dan klaim kepemilikan oleh suatu negara dan terdapat bulan dan
benda – benda angkasa didalamnya.
E. Suherman mengartikan ruang angkasa adalah sebagai berikut :
Istilah angkasa luar atau ruang angkasa, yang pada sekarang ini telah
mendapat suatu arti yang lebih luas dari semula, dan dapat dipergunakan
sebagai ekivalen dari istilah bahasa inggris “Space” atau “Outer Space”.
Dalam pemakaian yang lazim sekarang ini, istilah ruang angkasa tidak
lagi berarti ruang udara, akan tetapi mungkin ekivalen dengan istilah
antariksa. Malah kalau diberi arti ruang dengan seluruh isinya, yaitu
benda – benda langit seperti bulan dan planet, lebih jauh lagi dari ruang
angkasa dan meliputi juga ruang antar planet. 14
Memperhatikan uraian yang dijelaskan oleh Suherman dapat diartikan
bahwa ruang angkasa dahulu memiliki pengertian yang sama dengan ruang udara
tetapi dengan perkembangan pengertian ruang angkasa memiliki pengertian yang
lebih luas dan memiliki pengertiannya sendiri yaitu suatu ruang yang seluruh
isinya, yaitu benda – benda langit seperti bulan dan planet dan meliputi juga ruang
antar planet.
Priyatna mengutip dalam Donald Cox and Michael Stoiko yang
menjelaskan bahwa Cooper membagi angkasa dalam tiga bagian yurisdiksi
hukum, yakni lapis troposfir yang terdapat dalam ruang udara nasional suatu

Negara. Di lapis stratosfir, mesosfir dan termosfir terdapat ruang udara tambahan
(“contiguous airspace”). Dan dalam lapis eksosfir terdapat ruang udara bebas.

14

Suherman. E, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara. Alumni, Bandung, 1984, h. 8 –

9.

Universitas Sumatera Utara

19

Yang dimaksud Cooper dengan ruang bebas ini rupanya lingkungan ruang
angkasa. 15
Walaupun ada pembagian lapisan – lapisan tersebut di atas, pada akhirnya
kita akan sampai kepada suatu ruang yang tidak bisa dibagi – bagi lagi karena
sifat ruangnya itu sendiri. Dan dalam ruang ini mungkin tidak terdapat lagi unsur
– unsur gas yang disebut “udara” (kosong udara). Dalam hal ini Priyatna
mengkutip Jessup dan Taubenfeld yang menyatakan bahwa :

“Above the stratosphere is the layer generally called ionosphere, though it
is sometime divided into the mesosphere and thermosphere. It extends for
several hundred miles, perhaps 400 to 500 miles above the Earth. Next is
the exosphere which gradually merges into interplanetary space. It is
generally said to extend for 10.000 to 18.000 miles beyond the earth,
through traces of atmospheric components as far out as 60.000 miles are
reported. For our purposes, it may well be that at least the exosphere
should be joined with “interplanetary space” when speaking of “Outer
Space”. 16
Diatas stratosfir terdapat ionosfir yang terbagi dalam mesosfir dan termosfir yang
mempunyai jarak ± 100 mil atau pada ketinggian ± 400 sampai ± 500 mil dari
Bumi. Selanjutnya terdapat lapis eksosfir yang dapat dikatakan sebagai “ruang
antar planet” yang mempunyai jarak ± 10.000 sampai 18.000 mil dari bumi.
Walaupun merupakan bagian dari atmosfir tetapi sudah sangat jauh dan mencapai
jarak ± 60.000 mil, yang tergabung dengan suatu ruang yang adakalanya
dinamakan “ruang antar planet”, secara yuridis wilayah tersebut dinamakan
“ruang angkasa”.
Pepin sama sekali tidak dapat menyetujui segala macam pembagian
yuridis diangkasa yang dilakukan tersebut. Alasan yang diajukan ialah bahwa


15

Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa Dan “Space Treaty 1967”,
Binacipta, Bandung, 1977, hal. 2.
16
Supra 9, pembagian ini bertitik tolak pada hukum.

Universitas Sumatera Utara

20

dipandang dari segi hukum kita sebaiknya memakai dan menerima kenyataan
bahwa di sekeliling bumi didapati ruang atmosfir yang berisi gas udara dan di atas
atmosfir terdapat ruang (“space”). Oleh karena itu dari segi hukum hanya terdapat
dua jalur, pertama ruang udara yang status hukumnya telah ditentukan oleh
Konvensi Chicago 1944 dan ruang yang status hukumnya belum tegas kecuali apa
yang diatur oleh “Space Treaty 1967”. Maka untuk angkasa terdapat dua
pengaturan hukum yang pokok yaitu, untuk ruang udara ialah Konvensi Chicago
1944 dan untuk ruang angkasa “Space Treaty 1967”. 17
Jika kita memperhatikan pernyataan Cooper yang membagi angkasa secara

tiga yurisdiksi hukum yaitu lapis troposfir, stratosfir dan eksosfir atau ruang
udara, ruang angkasa dan diatas ruang angkasa, dengan pernyataan Jessup dan
Taubenfeld yang hanya membagi ruang udara dan ruang angkasa sebagai
pembagian secara yuridis, dalam pembagian angkasa secara yuridis saya lebih
setuju dengan pendapat Jessup dan Taubenfeld yang membagi angkasa secara
yuridis yaitu ruang udara dan ruang angkasa dengan alasan diatas ruang angkasa
dari ruang angkasa atau eksosfir masih dalam lingkup ruang angkasa dan
didukung juga dengan pendapat Pepin yang tidak menyetujui segala macam
pembagian yuridis diangkasa karena itu dari segi hukum hanya terdapat dua jalur,
pertama ruang udara yang status hukumnya telah ditentukan oleh Konvensi
Chicago 1944 dan untuk ruang angkasa diatur dalam “Space Treaty 1967”.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas pengertian dirgantara atau
angkasa terdiri atas ruang udara dan ruang angkasa dimana ruang udara
merupakan ruang yang terletak diatas suatu Negara, ruang daratan dan atau ruang

17

Ibid

Universitas Sumatera Utara


21

lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi dimana suatu negara
mempunyai hak yurisdiksi dan kedaulatan yang mutlak. Ruang daratan, ruang
lautan dan ruang udara merupakan satu kesatuan ruang yang tidak dapat dipisah –
pisahkan dari suatu Negara, sedangkan ruang angkasa adalah ruang yang hampa
udara dan teletak diatas ruang udara dimana terdapat bulan, planet dan benda –
benda angkasa (celestial bodies), ruang angkasa merupakan ruang yang bebas dan
tidak satu pun Negara yang berhak mengklaim kepemilikan terhadap ruang
angkasa karena ruang angkasa merupakan kepemilikan seluruh umat manusia
(province of all mankind).
Apa yang dimaksud dengan suatu negara memiliki hak yurisdiksi dan
kedaulatan yang mutlak di ruang udara? Prinsip kedaulatan mutlak di ruang udara
dan prinsip kebebasan di ruang angkasa E. Suherman mengemukakan :
Pertama bahwa kedaulatan di ruang udara bukan berarti kedaulatan
atas dasar pemilikan suatu benda secara fisik, karena yang dimiliki dalam
ruang udara adalah yurisdiksi dan kontrol atas pemakaian ruang udara
untuk tujuan – tujuan tertentu. Kedua bahwa konvensi Chicago
mengatakan bahwa “sovereignty” adalah “absolute” dan “exclusive”,

dalam pasal 5 menentukan bahwa penerbangan berjadwal berhak terbang
ke dalam atau melewati wilayah Negara lain tanpa minta izin
terlebih dahulu meskipun Negara yang bersangkutan berhak untuk
meminta agar pesawat tersebut melakukan pendaratan. 18
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat kita artikan bahwa prinsip
“sovereignty” atau kedaulatan di ruang udara tidak secara mutlak sampai pada
dasar memiliki suatu benda secara fisik tetapi yang dimaksud prinsip kedaulatan
di ruang udara adalah hanya kedaulatan mutlak terhadap yurisdiksi dan kontrol
oleh Negara yang berdaulat tersebut atas pemakaian ruang udara untuk tujuan –
tujuan tertentu.

18

Suherman. E, Op.Cit, hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

22

Setelah mengurikan pengertian dari ruang angkasa, Diederiks –

Verschoor mengartikan hukum ruang angkasa sebagai berikut :
Hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan Negara – Negara untuk
menentukan hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang timbul dari segala
aktivitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa dan
aktivitas itu demi kepentingan seluruh manusia untuk memberikan
perlindungan terhadap kehidupan terrestrial dan non terrestrial dimanapun
aktivitas itu dilakukan. 19
Charles de Visscher mengartikan hukum angkasa merupakan keseluruhan
norma – norma hukum yang berlaku khusus untuk penerbangan angkasa, pesawat
angkasa, dan benda-benda angkasa lainnya dan ruang angkasa dalam peranannya
sebagai ruang kegiatan penerbangan (angkasa). 20 Sedangkan menurut E.
Suherman hukum angkasa dipakai dalam arti sempit yaitu hanya bidang hukum
yang mengatur ruang angkasa dan pemanfaatannya, sebagai ekuivalen dari istilah
Space Law atau Outer Space Law. 21
Dalam uraian diatas menunjukkan tujuan dibentuknya hukum angkasa
adalah untuk mengatur setiap aktivitas Negara – Negara dalam melakukan
kegiatan di ruang angkasa maupun yang tertuju ke ruang angkasa termasuk bulan,
planet dan benda – benda angkasa (celestial bodies), sehingga dapat menimbulkan
hak – hak dan kewajiban – kewajiban dari aktivitas dan kegiatan yang dilakukan
oleh Negara – Negara tersebut di ruang angkasa, setiap kegiatan atau aktivitas

tersebut tidak diperkenankan diluar dari upaya untuk mengeksplorasi, melindungi

19

Diederiks Verschoor, Persamaan dan Perbedaan Antara Hukum Udara dan Hukum
Ruang Angkasa, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 7.
20
Agus Pramono, Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2011, hal. 64.
21
Agus Pramono, Op.Cit., hal 65.

Universitas Sumatera Utara

23

dan memelihara ruang angkasa demi kepentingan seluruh kehidupan umat
manusia seperti yang tercantum di dalam The Outer Space Treaty 1967.
Dengan pesatnya kemajuan dan berkembangnya ilmu pengetahuan dalam
bidang antariksa banyak Negara – Negara yang telah berhasil menciptakan
teknologi ruang angkasa untuk mendukung Negara tersebut dalam melaksanakan
upaya eksplorasi ruang angkasa dengan melakukan peluncuran benda – benda
seperti roket yang dimulai dari tanpa awak sampai memiliki awak dan
penempatan satelit – satelit pada orbit bumi, antara lain seperti Sputnik dan
Eksplorer.
Terdapat deretan peristiwa kegiatan di ruang angkasa dan sekian banyak
benda – benda angkasa buatan manusia yang telah diluncukan ke ruang angkasa
seperti satelit – satelit dan roket (yang bertenaga nuklir dan non nuklir) oleh
berbagai Negara yang dapat menimbulkan permasalahan tentang keberadaan
benda – benda tersebut di ruang angkasa dengan jumlah yang semakin meningkat
tiap tahun, Priyatna dalam bukunya meninjau pengenalan masalah – masalah
dalam hukum angkasa yaitu bilamana kita persoalkan tata tertib hukumnya yakni
sehubungan dengan :
1.

Sifat dan luasnya wilayah di angkasa (ruang udara dan ruang angkasa)
dimana hukum ruang angkasa berlaku dan di terapkan ;

2.

Macam dan bentuk kegiatan manusia yang diatur di wilayah tersebut ;

Universitas Sumatera Utara

24

3.

Peralatan penerbangan bentuk apa (“Flight Instrumentalities”) dan
alat – alat penunjangnya yang menjadi objek ilmu hukum ruang
angkasa.

22

Dapat kita pahami bahwa pengenalan permasalahan dalam hukum angkasa
berhubungan dengan bagaimana penerapan hukum angkasa tersebut oleh setiap
Negara sesuai dengan sifat dan wilayahnya di angkasa (apakah wilayah ruang
udara atau ruang angkasa), permasalahan selanjutnya bagaimana bentuk kegiatan
atau aktivitas manusia di wilayah tersebut apakah dapat memberikan dampak bagi
ruang udara atau ruang angkasa dan apakah kegiatan yang menggunakan alat –
alat penunjang buatan manusia tersebut termasuk upaya untuk mengeksplorasi,
melindungi dan memelihara ruang angkasa demi kepentingan seluruh kehidupan
umat manusia atau sebaliknya bertentangan dengan tujuan – tujuan perdamaian.
Pengenalan masalah – masalah dibidang hukum ini akan mempunyai
tempat yang menentukan di dalam rangka penetapan dan tata tertib eksplorasi /
eksploitasi (dan penggunaan) ruang angkasa, terutama bagi kepentingan
kemanusiaan dan tujuan – tujuan perdamaian. Akan tampak misalnya adanya
ketidakseimbangan di bumi kita ini dalam hal mengingat adanya Negara – Negara
yang terdiri dari :
1.

Negara – Negara teknologi maju dalam soal keruangangkasaan
(”Space Powers”) ;

2.

Negara – Negara berkembang (“non – space powers”) letak geografis
yang berbeda – beda (misalnya Negara – Negara khatulistiwa dan

22

Priyatna Abdurrasyid, Hukum Antariksa Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hal.
14.

Universitas Sumatera Utara

25

bukan) ; kekayaan alam dan tanah yang tidak merata ; tentunya
kemudian perbedaan – perbedaan dalam segi lainnya.

23

Perbedaan dari negara – negara Space Powers dan Non – Space Powers
dapat menimbulkan ketidakseimbangan di bumi karena Space Power Nations atau
negara – negara yang mempunyai sumber daya dengan teknologi yang maju dan
modern dalam bidang keruangangkasaan memiliki kemampuan lebih besar dalam
melakukan eksplorasi dan eksploitasi di ruang angkasa dibanding negara – negara
berkembang atau Non – Space Powers sehingga pada akhirnya aktivitas dan
kegiatan dalam penggunaan ruang angkasa mereka hanya dalam rangka
memenuhi kepentingan dari Negara – Negara yang bersangkutan bukan lagi untuk
kepentingan seluruh umat manusia.
Pada abad Space Age ini faktanya hanya beberapa Negara di dunia yang
dapat melaksanakan misi investigasi terhadap ruang angkasa sehingga memicu
perlombaan di ruang angkasa (space race) bagi negara – negara space powers
yang bersangkutan untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam penjelajahan
dan penyelidikan di ruang angkasa, tidak terkontrolnya kegiatan dan aktivitas di
ruang angkasa dimulai dari peluncuran roket – roket yang tidak berawak seperti
Sputnik sampai yang berawak dan penempatan satelit – satelit pada orbit bumi
oleh Negara space powers sehingga terjadi penumpukan benda – benda angkasa
buatan manusia di ruang angkasa dan bahkan dapat menjadi suatu pecahan debris
(sampah angkasa).
Ruman Sudrajat mengemukakan tentang batas maksimal penempatan
satelit – satelit di orbit bumi :

23

Ibid, hal. 16.

Universitas Sumatera Utara

26

“ Kini Negara – Negara sedang memperbincangkan masalah penempatan
satelit di orbit bumi, karena orbit bumi dapat ditempati satelit sebanyak
180 buah. Sehingga timbul kekuatiran Negara – Negara berkembang dan
Negara – Negara belum maju tidak dapat menempatkan satelitnya di
kemudian hari. “ 24
dapat kita artikan apabila penempatan satelit di orbit bumi tidak dapat di kontrol
maka dapat terjadi penumpukan benda – benda buatan manusia di orbit bumi
sehingga ditetapkanlah batas maksimal untuk penempatan satelit – satelit tersebut,
tetapi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang keruangangkasaan
yang semakin ultramodern dapat diprediksikan jumlah penambahan satelit –
satelit dan roket – roket tersebut di ruang angkasa akan semakin progresif.
Dengan semakin modernnya teknologi di bidang keruangangkasaan
diperlukan suatu perangkat dan aturan yang dapat mengontrol dan mengatur
Negara – Negara space powers dalam penggunaaan ruang angkasa ketika
melakukan peluncuran benda – benda angkasa buatan manusia tersebut, jika tidak
dibatasi dengan aturan atau hukum dapat diprediksikan akan terjadi suatu tragedi
yang akan mempengaruhi kehidupan umat manusia, diperlukan suatu peraturan
yang menyesuaikan perkembangan teknologi keruangangkasaan, peraturan yang
bergerak secara dinamis mengikuti kemajuan teknologi ruang angkasa.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa angkasa atau dirgantara
menunjuk pada suatu ruang yang terdiri atas dua ruang yaitu ruang udara dan
ruang angkasa atau antariksa, ruang udara merupakan ruang yang memiliki
partikel – partikel gas atau udara yang dapat dihirup untuk bernafas sedangkan
ruang angkasa adalah ruang hampa udara yang bebas dan tidak bertuan dimana

24

Ruman Sudrajat, Op.Cit., hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

27

terdapat bulan, planet dan benda – benda angkasa didalamnya, tidak satupun
Negara berhak mengklaim terhadap kedaulatan dan kepemilikan ruang angkasa,
karena itu seluruh Negara memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi dan
menjaga ruang angkasa karena ruang angkasa adalah wujud dari warisan bersama
umat manusia (common heritage of mankind) sehingga seluruh negara dalam
pemanfaatan, eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa harus dengan tujuan damai
dan bermanfaat untuk seluruh umat manusia. Dalam pemanfaatan ruang angkasa
dibutuhkan suatu peraturan yang menyesuaikan dengan semakin meningkatnya
ilmu pengetahuan di bidang keruangkasaan sehingga dapat mengkontrol benda –
benda buatan manusia yang diluncurkan ke ruang angkasa, yaitu suatu sarana dan
prasarana hukum yang dapat mengkontrol segala aktivitas dan kegiatan manusia
dalam melakukan pemanfaatan ruang angkasa di zaman yang semakin
ultramodern ini.

B. Delimitasi Ruang Angkasa
Ruang merupakan dasar untuk menentukan sesuatu sistem hukum.
Sehubungan dengan ini ruang angkasa merupakan jenis ruang yang baru dikenal
dan yang paling menonjol ialah luas yang pada kenyataannya melampaui segala
ukuran yang ada di dalam suatu kerangka hukum dan hubungan fisiknya dengan
bumi kita. 25 Sehubungan dengan angkasa, dalam hukum Romawi dikenal dalil
yang sampai hari ini mempunyai pengaruh yang besar di dalam kehidupan kita,
yakni yang berbunyi Cuius est solum eius est uesque ad coelum. Prinsip yang
diwariskan oleh hukum Romawi ini telah diterima oleh Hukum Angkasa dan

25

Priyatna Abdurrasyid, supra note 18, hal 30.

Universitas Sumatera Utara

28

dipakai menurut kebutuhan manusia akan suatu pengaturan di ruang angkasa yang
selama ini tidak pernah dihiraukan oleh negara – negara, terutama sampai jarak
ketinggian berapa negara itu dapat melaksanakan kedaulatannya. 26
Yehuda Abramovitch mengutarakan dalam McGill Law Journal tentang
The Maxim 'Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum' is a presumption rebuttable
by circumstances :
“ Centuries ago, before mankind thought of the flying machine the Latin
maxim was coined, "cujus est solum ejus usque ad coelum". This rule
means: "Whose is the soil, his it is up to the sky', or in a more simple
explanation "He who possesses the land possesses also that which is above
it". Other elucidations are: "He who owns the soil owns everything above
(and below) from heaven (to hell)",' and "He who owns the land owns
up to the sky ". 27
Berabad yang lalu, sebelum umat manusia berfikir tentang mesin terbang pepatah
latin menciptakan "cujus est solum ejus usque ad coelum". Peraturan ini berarti :
“Siapa yang memiliki tanah, terserahnya sampai ke langit”, atau penjelasan lebih
mudah “Dia yang menguasai tanah menguasai juga yang diatasnya”. Penjelasan
yang lain : “Dia yang memiliki tanah memiliki segalanya diatas (dan dibawah)
dari surga ke neraka”. dan “Dia yang memiliki tanah memiliki sampai ke langit”.
Dengan semakin meningkatnya peluncuran satelit dan roket – roket buatan
manusia, sekarang persoalan tentang ketinggian hak negara ini menjadi hangat
kembali, apakah suatu negara yang memiliki kedaulautan mutlak atas yurisdiksi
hukum dan kontrol atas negara dibawahnya berarti memiliki hak dan kepemilikan
di atasnya juga seperti ruang angkasa? Jika benar demikian akan ganjil
kedengarannya apabila penguasa pulau Christmas menuntut kekuasaan atas lautan

26

Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal. 30.
Yehuda Abramovitch, The Maxim “Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum” as
Applied In Aviation, McGill Law Journall, Vol. 8, 1961, hal. 247.
27

Universitas Sumatera Utara

29

Hindia misalnya. 28

Teori delimitasi ini lahir untuk memperkuat argumentasi

klaim terhadap batas – batas kedaulatan suatu negara atas ruang angkasa,
permasalahan mengenai sampai sejauh mana suatu negara berdaulat atas ruang
udara diatas wilayahnya mulai muncul sejak Perang Dunia I, namun pasca Perang
Dunia II persoalan justru mengarah ke arah yang lebih luas, yakni ruang angkasa
(outer space). Dalam Article II Space Treaty 1967 ditegaskan bahwa :
“Outer Space, Including the moon and other celestial bodies, is not
subject to national appropriation by claim of sovereignty, by means of use
or occupation, or by any other means.” 29
Menetapkan bahwa ruang angkasa, termasuk bulan dan benda – benda di langit
lainnya tidak boleh dijadikan obyek pemilikan nasional dengan klaim kedaulatan,
dengan cara penggunaan atau pendudukan atau dengan cara lain. Demikian negara
– negara dicegah untuk meluaskan wilayahnya di sana. Pengaturan yang
bersangkutan dengan tegas menggunakan dua istilah yakni pemakaian (“Use”)
dan pendudukan (“Occupation”).
Yang pertama sekali penggunaan atau “Use” dari ruang angkasa tidak
berarti memberikan suatu negara dapat menyatakan kepemilikan terhadap ruang
angkasa, penggunaan dari ruang angkasa seperti peluncuran benda – benda buatan
manusia ke ruang angkasa tersebut hanya bentuk dari pelaksanaan kedaulatan
karena penggunaan atau “use” tersebut dilaksanakan dalam menjalankan
kekuasaan dan dilakukan dengan tujuan damai, sehingga peluncuran benda –
benda buatan ke ruang angkasa yang dilakukan setiap negara jika dilakukan

28

Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal. 31.
Outer Space Treaty 1967, Treaty on Principles Governing the Activity in the
Exploration and Use for Outer Space, Including Moon and Other Celestial Bodies.
29

Universitas Sumatera Utara

30

dengan tujuan damai maka tidak merupakan bentuk penguasaan ruang angkasa
dan merupakan bagian kedaulatannya. 30
Istilah selanjutnya “Occupation” atau Pendudukan di masa lampau sering
dianggap sebagai suatu usaha agresif. Oleh karena itu lebih baik kita tidak lagi
mempersoalkan teori mengenai pemakaian dan pendudukan ini, karena tidak
dapat dibenarkan untuk menciptakan kedaulatan negara – negara dalam soal ruang
angkasa, bulan, dan benda – benda langit lainnya. Dengan demikian kita sepakati
bahwa keadaan yang demikian tidak boleh dan selanjutnya tidak membenarkan
juga pemilikan dengan cara – cara lain (“any other means”). Apa yang dimaksud
dengan cara – cara lain ini? Misalnya cara yang paling tua yaitu penemuan yang
bersumber kepada res nullius yang oleh Hukum Internasional tidak lagi dianggap
mutlak dan telah dikurangi artinya. 31
Hal ini berlaku didalam usaha – usaha eksplorasi ruang angkasa, ketika
telah berhasil dilakukannya suatu penemuan dalam eksplorasi ruang angkasa yang
dilakukan oleh suatu negara tidak berarti benda – benda angkasa yang ditemukan
menjadi milik negara yang melakukan usaha penemuan tersebut, ruang angkasa
tidak bisa dijadikan suatu objek pemilikian merupakan peraturan esensial yang
telah ditegaskan didalam “Space Treaty 1967” karena ruang angkasa, termasuk
bulan dan benda – benda langit lainnya bebas untuk dijadikan obyek penyelidikan
dan pemakaian hanya untuk tujuan – tujuan damai oleh setiap negara tanpa
perbedaan dalam bentuk apapun dan berdasarkan persamaan derajat tanpa adanya
diskriminasi.

30
31

Priyatna Abdurrasyid, Loc.Cit.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

31

Kesimpulannya bahwa ruang angkasa, bulan, planet dan benda – benda
langit didalamnya yang secara eksplisit didalam “Space Treaty 1967” tidak dapat
menjadi obyek kepemilikan nasional setiap negara karena tuntutan kedaulatan
negara dengan cara apapun. Bahwa ditinjau dari susunan hak dan kewajiban
negara – negara dan masyarakat internasional, baik yang tertulis didalam
perjanjian maupun yang tidak, dengan keluar atau tidak ikut sertanya negara
dalam suatu perjanjian internasional, ia tidak akan mempunyai kebebasan untuk
bertindak ataupun melaksanakan kedaulatannya di ruang angkasa. 32
Pengaturan yang tidak membenarkan melakukan pemilikan nasional
(“national appropriation”) terhadap ruang angkasa dan benda – benda langit
lainnya merupakan perkembangan baru di dalam pengaturan hak milik.
Pengaturan “Space Treaty 1967” mencegah negara – negara untuk menciptakan
hubungan – hubungan pemilikan dengan ruang ini. Hak punya adalah istilah
hukum yang menunjukkan akibat dari “pemilikan”, dalam mana tercakup
pengertian bahwa pemilik mempunyai hak penuh untuk memakai ataupun
menyingkirkan sesuatu benda dan selanjutnya meniadakan pihak – pihak lain
untuk berbuat sesuatu terhadap benda tersebut tanpa hak. Masalah hak milik atas
benda – benda yang diluncurkan ke ruang angkasa merupakan soal yang berlainan
dengan hak milik biasa. Yang kita harus perhatikan disini ialah masalah – masalah
alamiah. Di ruang angkasa negara – negara tidak diperkenankan untuk
mempunyai hak – hak khusus yang akan mengakibatkan yang lainnya tidak dapat
mendapat hak – hak yang sama. 33

32
33

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

32

Dari yang diutarakan diatas maka kebebasan yang dimiliki setiap negara
dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa dengan tujuan damai
tidak menjadikan setiap negara dapat melakukan pemilikan nasional terhadap
benda – benda angkasa yang telah ditegaskan dalam “Outer Space Treaty 1967”,
karena hak milik dalam istilah hukum memiliki arti bahwa suatu negara yang
memiliki hak milik terhadap suatu benda – benda angkasa tersebut dapat
melakukan apapun terhadap benda – benda angkasa yang dimilikinya baik
menggunakannya ataupun meniadakannya, dan dengan hak milik tersebut negara
lain tidak memiliki hak terhadap benda – benda angkasa yang dimiliki oleh negara
itu. Jika hal tersebut dilakukan oleh suatu negara maka negara tersebut telah
melanggar ketentuan yang telah dideklarasikan dalam “Outer Space Treaty 1967”
seperti ketentuan untuk tidak mengadakan perbedaan karena setiap negara
memiliki persamaan hak dan derajat dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi
ruang angkasa dengan tidak bertentangan dengan Hukum Internasional.
Walaupun sampai sekarang baru beberapa negara saja yang mampu
menjelajahi ruang angkasa dan menciptakan benda – benda ruang angkasa buatan
yang dapat diluncurkan ke ruang angkasa tetapi dengan adanya ketentuan dari
hukum ruang angkasa tersebut adalah berfungsi untuk memberikan batas – batas
kebebasan negara – negara diruang angkasa dan meniadakan hal – hal yang akan
mempengaruhi persamaan hak dan derajat setiap negara di ruang angkasa yang
mungkin akan terjadi pada masa yang akan datang karena hak – hak negara selain
negara yang telah mampu melakukan kegiatan di ruang angkasa dapat terus
terjamin.

Universitas Sumatera Utara

33

Menyinggung apa yang dimaksud dengan “other celestial bodies” di
dalam (“Outer Space Treaty 1967”) atau benda – benda langit lainnya itu?
Apakah nama benda – benda langit lainnya yang dimaksud dalam hukum ruang
angkasa meliputi semua benda – benda di ruang angkasa? Priyatna mengutarakan
:
Pada permulaan pembuatan hukum telah diusulkan agar kepada benda
– benda tersebut diberikan status yang berlainan dari ruang angkasa itu
sendiri, yaitu bahwa mereka dapat memiliki terra nullius dan mengakui
kedaulatan atas mereka. 34
Dapat kita artikan bahwa saat awal pembuatan hukum sebelum dinamakan dengan
“benda – benda angkasa” terjadi adanya usulan untuk memberikan status kepada
benda – benda angkasa yang terbagi dengan banyaknya jenis dan ukuran dari
terbesar hingga terkecil dari benda – benda angkasa tersebut. Priyatna
melanjutkan :
Tingkat pengetahuan manusia belum sampai pada tingkat yang dapat
membedakan besar kecilnya benda tersebut dan mencarikan dasar untuk
penyusunan definisi hukum dan teknis. Pada tingkat sekarang istilah
“benda – benda langit” sebagaimana yang dipergunakan oleh pengaturan
yang bersangkutan sebaiknya dipandang saja sebagai sebutan umum untuk
semua isi ruang angkasa. 35
Karena keterbatasan pada masa itu yang berbeda dengan betapa modernnya
tingkat imu pengetahuan di bidang keruangangkasaan pada masa ini sehingga
kekompleksan yang terjadi dalam membedakan ukuran dan jenis benda – benda

34
35

Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal. 34.
Ibid., hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

34

ruang angkasa menjadikan istilah “benda – benda di langit” yang secara umum
yang merepresentatif benda – benda di ruang angkasa yang tidak dapat diketahui.
Sebagai masalah yang juga penting artinya bagi adanya sistem hukum ini
adalah persoalan perbatasan ruang angkasa. Setelah dijelaskan bahwa ruang
angkasa merupakan suatu wilayah yang mempunyai sistem hukum khusus, kini
timbul pertanyaan apakah perlu ditetapkan atau dimanakah perbatasan ruang
angkasa itu. Lachs mengetengahkan bahwa ada dua jenis perbatasan yang ada,
yaitu perbatasan luar dan perbatasan dalam. 36
Yang pertama memang sangatlah sulit untuk ditentukan karena tidak
satupun pengetahuan yang mengetahui tentang perbatasan luar ruang angkasa
yang begitu luasnya dan tidak berbatas, tetapi bagaimana dengan perbatasan
dalam? ternyata masalah ini sudah mulai dipersoalkan pada tahun 1959 pada
waktu tahap pertama Hukum Ruang Angkasa mulai akan disusun. Priyatna
mengemukakan hukum belum melihat kegunaan adanya perbatasan antara ruang
udara dengan ruang angkasa. Dimanapun perbatasan itu kelak ditetapkan, setiap
benda yang melakukan perjalanan dari bumi ke ruang angkasa atau sebaliknya
perlu melewati ruang udara. Kegiatan ini tidak akan menimbulkan kesulitan untuk
penerapan Hukum Angkasa jika penerbangan itu dilakukan hanya di dalam
perbatasan negara dari mana pesawat itu diluncurkan atau di atas lautan bebas.
Kesulitan – kesulitan itu baru akan timbul jika benda ruang angkasa itu memasuki
daerah ruang udara negara lain. Dalam hubungan ini kiranya ada gunanya untuk
meneliti kembali kejadian – kejadian yang lampau yang mungkin dapat ditarik
kesimpulan dan memang merupakan kenyataan bahwa negara – negara yang
36

Ibid., hal. 37. Priyatna mengutip Sidang ke XV Legal Sub – Committee on the Peaceful
Uses of Outer Space, Geneve, 3 – 28 Mei 1976.

Universitas Sumatera Utara

35

melakukan kegiatan di ruang angkasa hanya memberitahu secara umum tentang
peluncuran benda – benda ruang angkasa tadi. Dan sama sekali tidak
memberitahukan negara – negara yang ruang udaranya mungkin akan
dilaluinya. 37 Selanjutnya mereka tidak pernah minta izin terlebih dahulu dari
negara yang ruang udaranya mungkin dilalui. Negara – negara yang dilalui oleh
benda – benda terbang itu sebegitu jauh tidak pernah mengajukan keberatan
terhadap kegiatan itu atau mencoba mencegah atau membatasi penerbangan –
penerbangan benda – benda tadi, atau mempergunakan hak mereka dan menuntut
agar di waktu – waktu mendatang diperlukan izin terlebih dahulu. 38
Dari yang telah diuraikan Priyatna diatas apabila kegiatan peluncuran
benda – benda ruang angkasa buatan manusia tersebut dapat dilakukan di wilayah
yurisdiksi negara peluncur maka tidak akan timbul permasalahan tetapi apabila
peluncuran tersebut mengenai wilayah kedaulatan negara lain negara tersebut
tidak mengajukan keberatan terhadap kegiatan peluncuran benda – benda angkasa
buatan negara peluncur dan telah berlangsung bahkan pada waktu sebelum adanya
perangkat hukum untuk ruang angkasa dan sampai pada saat ini dimana telah
adanya sistem hukum tertulis tentang ruang angkasa. Negara yang dilewati
wilayah kedaulatannya tidak mengajukan keberatan terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh negara peluncur dan kegiatan tersebut tetap berlangsung walaupun
sudah terjadi banyak benda – benda angkasa buatan yang diluncurkan melalui
ruang udara negara tersebut.
Dengan sendirinya dapat disimpulkan bahwa sebuah persetujuan secara
diam – diam telah tercipta, dalam arti bahwa negara – negara yang meluncurkan
37
38

Ibid., hal. 42
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

36

merasa bahwa kegiatan – kegiatan mereka tidak pernah melanggar hak – hak
kedaulatan negara – negara lain dan selanjutnya negara – negara yang dilewati itu
juga tidak merasa bahwa kedaulatan mereka itu dilanggar. Dalam hubungan ini
kiranya kita dapat mulai menarik kesimpulan telah diterimanya sebuah hukum
yang tidak tertulis yang telah tercipta secara lambat laun. 39
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa hak lintas damai yang
dimiliki oleh negara peluncur untuk melalui suatu wilayah kedaulatan negara lain
harus diterima selama kegiatan itu ditujukan untuk tujuan damai dan tidak
bertentangan dengan hak – hak negara yang dilalui tersebut dan prinsip – prinsip
hukum ruang angkasa atau hukum internasional. Hasil dari penyelidikan dan
pemakaian ruang angkasa dan benda – benda langit oleh negara yang memiliki
sumber daya teknologi keruangangkasaan dilaksanakan untuk keuntungan dan
kepentingan semua negara, sehingga negara – negara yang belum mampu
menjelajahi ruang angkasa memberikan hak lintas damai bagi negara – negara
peluncur untuk dapat melalui wilayah kedaulatan mereka. Kebebasan untuk
melintasi dengan maksud damai pada prinsipnya harus diberikan kepada semua
negara tanpa diskriminasi tapi tidak tertutup kemungkinan negara yang dilintasi
mengajukan keberatan apabila pelintasan benda – benda buatan ruang angkasa
yang akan diluncurkan ataupun kegiatan ruang angkasa tersebut bertentangan
dengan kedaulatan negara yang akan dilalui atau hukum ruang angkasa.

39

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

37

C. Pembentukan The Outer Space Treaty 1967 dan Prinsip Yang Terkandung
di Dalamnya.
Sejak keberhasilan Uni Soviet meluncurkan SPUTNIK I pada tanggal 4
Oktober 1957 dan suksesnya Amerika Serikat mendaratkan Apollo 11 di Bulan
pada tanggal 20 Juli 1969, manusia telah beralih pada dimensi yang lebih
spektakuler yakni dimensi pemanfaatan ruang angkasa. Kegiatan pemanfaatan
ruang angkasa oleh berbagai negara itu, terutama oleh kedua Space Powers yakni
Amerika Serikat dan Uni Soviet akan terus berkembang sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi
penerbangan di ruang angkasa. 40
Penjelajahan ruang angkasa kian hari kian ditingkatkan disebabkan adanya
keinginan dan desakan hati manusia untuk meneliti hal – hal yang belum
diketahui dan mencari jalan untuk lebih meningkatkan martabat nasional dengan
cara menyempurnakan ilmu pengetahuan dan teknologi keruangangkasaan
(prestise). Segala usaha telah ditujukan kepada pengamatan dan percobaan ilmiah
yang dapat memperkaya pengetahuan kita tentang Bumi, Tata Surya dan Alam
Semesta.41
Permasalahan yang muncul berkenaan dengan usaha pemanfaatan ruang
angkasa, khususnya di bidang hukum internasional telah disadari secara dini sejak
keberhasilan Uni Soviet dalam peluncuran satelit Sputnik I yang sukses itu.
Bahwa keberhasilan itu akan menimbulkan berbagai perkembangan di bidang

40

Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa (Sebagai Pengantar), Jakarta, Pradnya
Paramita, 1996, hal. 11.
41
Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal. 44.

Universitas Sumatera Utara

38

hukum internasional, akhirnya muncullah suatu bidang hukum internasional yang
relatif masih baru yakni Hukum Ruang Angkasa. 42
Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama pada
hukum internasional dan kerja sama internasional. Oleh karena itu, peran hukum
internasional sangat menentukan, di mana hukum internasional yang telah ada dan
yang berlaku dicoba diterapkan pada bagian – bagian yang masih kurang atau
belum diatur mengenai kepentingan – kepentingan pihak – pihak yang saling
berhubungan. 43
Pembentukan hukum internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa
pada saat ini dikenal dengan sebutan Hukum Ruang Angkasa ditandai dengan
pengajuan serentetan Resolusi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa.
Resolusi tersebut meliputi petunjuk – petunjuk dan cara – cara meningkatkan
kerja sama internasional dalam bidang keruangangkasaan serta penerapan prinsip
– prinsip dasar tentang peraturannya. 44
Pada tanggal 13 Desember 1958 Majelis Umum Perserikatan Bangsa –
Bangsa melalui resolusi 1348 (XIII) membentuk sebuah Komite sementara yakni
“Ad Hoc Committee on the Peaceful Uses of Outer Space”. 45 Komite ini
mempunyai tugas untuk menyelidiki masalah – masalah di bidang hukum yang
timbul di dalam usaha penyelidikan ruang angkasa. Ad Hoc Committee sebagai
bagian dari Legal Sub – Committee, melakukan pertemuan untuk pertama
kalianya pada tahun 1959 dan akhirnya menghasilkan sebuah laporan. Ada enam
masalah yang diutamakan, yaitu :
42

Juajir Sumardi, Op.Cit., hal. 11.
Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal. 15.
44
Juajir Sumardi, Ibid., hal. 12.
45
UNGA Resolution 1348 (XIII) December 13, 1958.
43

Universitas Sumatera Utara

39

1. The extent to which there was established a general rule, through the
practice of States in the satellite programs of the International
Geophysical Year, that within the context of strictly peaceful Uses
“Outer space is freely available for exploration and use by all in
accordance with existing of future international law or agreements”;
2. The problem of liability for injury or damage caused by space vehicles;
3. The problem of allocation of radio frequencies to space vehicles;
4. The avoidance of interference between space vehicles and aircraft;
5. The identifications and registration of space vehicles and the
coordination of launching; and
6. The problems associated with the reentry and landing of space vehicles.
Jelas dinyatakan bahwa ruang angkasa bebas untuk dieksplorasi dan
dieksploitasi oleh semua negara. Tercantum didalamnya misalnya masalah
kewajiban pertanggungjawab atas kelalaian atau kerusakan – kerusakan yang
diakibatkan oleh pesawat ruang angkasa dan kendaraan ruang angkasa, masalah
alokasi frekuensi radio untuk kendaraan ruang angkasa, juga penghindaran
gangguan antara kendaraan ruang angkasa dan pesawat terbang, juga identifikasi,
registrasi dan klasifikasi pesawat ruang angkasa dan kordinasi peluncuran
kendaraan ruang angkasa dan masalah yang terkait dengan masuk kembali dan
pendaratan kendaraan ruang angkasa. 46
Dalam tahun 1959 “The American Bar Association” mencetuskan sebuah
resolusi yang berkata bahwa demi kepentingan bersama umat manusia, benda –
benda di langit (“celestial bodies”) tidak dapat dijadikan obyek pemilikan. 47
Masalah yang utama dihadapi oleh Ad Hoc Committee on the Peaceful
Uses of Outer Space juga masalah seandainya negara – negara melakukan
tuntutan (“Claim”) atas seluruh atau sebagian benda – benda di langit lainnya.

46
47

Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal. 44.
Ibid., hal. 45.

Universitas Sumatera Utara

40

Pada ketika itu Amerika Serikat mengusulkan agar benda – benda di langit
lainnya tidak bisa dijadikan obyek pemilikan siapapun (kedaulatan). 48
Beberapa waktu setelah terbentuknya “Ad Hoc Committee” Majelis Umum
Perserikatan Bangsa – Bangsa membentuk suatu Komite yaitu “Committee on the
Peaceful Uses of Outer Space”. 49 Tugas komite ialah mempelajari dan menelaah
masalah – masalah hukum yang timbul di masa mendatang, sebagai akibat adanya
eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa. Kemudian komite telah mengajukan
konsep resolusi Amerika Serikat dan yang diterima oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa – Bangsa pada tanggal 20 Desember 1961 dengan suara
bulat. Resolusi ini mempersoalkan masalah tentang kerjasama internasional dalam
rangka penggunaan ruang angkasa untuk maksud – maksud damai (“International
cooperation on the Peaceful Uses of Outer Space”). Dikemukakan dua prinsip
sebagai pedoman yang dapat dipakai oleh negara – negara dalam melakukan
eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa, yaitu :
1. International law, including the Charter of the United Nations, applies
to outer space and celestial bodies ;
2. Outer Space and celestial bodies are free for exploration and use by all
states in conformity with international law and are not subject to
national appropriation”.50
Kedua prinsip di atas menjadi bahan pembahasan dalam sidang pertama
Legal Sub – Committee tahun 1962 dan sidang kedua pada tahun 1963. Pada
sidang pertama di Jenewa telah dibahas masalah usul Amerika Serikat dan usul
Uni Soviet. 51 Usul Amerika Serikat tersebut mempersoalkan masalah pertolongan,
pengembalian

para awak

dan pesawat

ruang

angkasa,

serta masalah

48

Ibid.
Ibid., hal. 46
50
Ibid.
51
Supra 5

49

Universitas Sumatera Utara

41

pertanggunganjawab atas kerugian – kerugian yang diakibatkan oleh pesawat
ruang angkasa (“subjects of liability for space vehicles accidents”). Usul Uni
Soviet adalah “Proposed Declaration of Basic Principles Use of Outer Space”.
Kemudian pada pertemuan di New York bulan September 1962, Komite
menyerahkan masalah usul Amerika Serikat dan Uni Soviet tersebut kepada
pertimbangan Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa dan setelah diberi
pertimbangan diserahkan kembali kepada komite pada tanggal 14 Desember 1962,
dengan resolusi 1802 (XVII).52
Sebuah masalah yang penting dan terus diperbincangkan ialah masalah
larangan menempatkan senjata – senjata yang mempunyai daya rusak masal di
orbit, di stasiun dan di benda – benda angkasa. 53 Masalah ini dibicarakan sejak
tahun 1963 dan akhirnya disetujui dengan aklamasi oleh Majelis Umum pada
tanggal 17 Oktober 1963 setelah dijadikan usul gabungan antara Amerika Serikat
dan Uni Soviet, yakni “Treaty Banning nuclear weapons Test in atmosphere, in
Outer Space and Under Water”, dengan resolusi 1884 (XVIII). Dan selanjutnya
terhadap ketentuan resolusi 1962 (XVIII) mengenai “Declaration of Legal
Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer
Space”, yang mendapat kata sepakat dengan suara bulat pada tanggal 13
Desember 1963, dengan ketentuan – ketentuan utama yang terdapat dalam
paragraph 2 dan 3, yakni :

54

2. Outer space and celestial bodies are free for exploration and use by all
States on a basis of equality and in accordance with international law.

52

Ibid., hal. 46
Article IV of Outer Space Treaty 1967
54
Ibid., hal. 47

53

Universitas Sumatera Utara

42

3. Outer space and celestial bodies are not subject to national
appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation,
or by any other means.
Deklarasi No. 1962 ini, walaupun merupakan resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa – Bangsa, tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai suatu
“Treaty” dan hanya mencerminkan adanya pengertian internasional yang
sepatutnya dianut oleh negara – negara yang menyangkut masalah eksplorasi dan
eksploitasi ruang angkasa dan benda – benda di langit lainnya. 55
Sidang – sidang berikutnya dilakukan pada tahun 1964 dan tahun 1965,
pada sidang – sidang keempat dibicarakan mengenai masalah pertolongan dan
pengembalian para astronot dan benda – benda buatan di ruang angkasa serta
pertanggungjawab terhadap kerusakan – kerusakan yang disebabkan oleh pesawat
ruang angkasa. Pada sidang kelima tahun 1965 dihasilkan resolusi Majelis Umum
tertanggal 21 Desember 1965, yaitu resolusi 2130 (XX) yang menyangkut prinsip
prinsip – prinsip hukum yang menguasai kegiatan negara di ruang angkasa. 56
Pada sidang kelima ini, Legal Sub – Committee mempertimbangkan suatu
konsep konvensi mengenai eksplorasi dan pemakaian ruang angkasa dan benda –
benda di langit lainnya, 57 yang dijadikan masalah untuk segera dijadikan
perjanjian internasional. Dinyatakan bahwa ruang angkasa, bulan dan benda –
benda langit lainnya bebas untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh semua
negara. Tidak satupun negara diperbolehkan menuntut kedaulatan terhadapnya.
Ruang angkasa, bulan dan benda – benda di langit lainnya bebas untuk penelitian
ilmu pengetahuan oleh semua negara, sendiri – sendiri atau bersama – sama dapat

55

Ibid.
Ibid., hal. 47.
57
Supra 2
56

Universitas Sumatera Utara

43

melakukan penelitian ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ruang angkasa.
Harus dihindarkan pencemaran lingkungan dan penularan penyakit. Para astronot
semua negara harus saling tolong menolong kalau diperlukan. Tidak
diperbolehkan menempatkan senjata – senjata yang mempunyai daya rusak masal
di stasiun ruang angkasa dan di benda – benda langit lainnya. Dilarang melakukan
segala macam gerakan militer dan percobaan senjata – senjata.58
Selanjutnya pada tanggal 16 Juni 1966, atas usul Amerika Serikat dan Uni
Soviet diajukan konsep “Treaty” on Principles Governing the Activities of States
in the Exploration and Use of Outer Space, the moon and other celestial bodies”.
Maka dengan aklamasi Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa tertanggal 9
Desember 1966 telah menerima sebuah “Treaty” dalam Resolusi Majelis Umum
no. 222 (XXI) dan ditanda – tangani di Washington, London, Moskow pada
tanggal 27 Januari 1967. 59
Sebanyak 60 negara menanda – tangani “Treaty” tersebut termasuk
Amerika Serikat, Uni Soviet dan Kerajaan Inggris. “Space Treaty 1967” mengatur
status ruang angkasa, bulan dan benda – benda di langit lainnya, serta mengatur
usaha – usaha dan kegiatan manusia di ruang angkasa dan sekaligus menetapkan
segala hak dan kewajiban negara – negara. 60
Space Treaty 1967 inilah yang merupakan hukum dasar bagi penciptaan
hukum – hukum dalam masalah aktivitas manusia di ruang angkasa termasuk
Bulan dan benda – benda langit lainnya, atas dasar prinsip – prinsip yang
terkandung di dalam Space Treaty 1967 tersebut, hingga kini Perserikatan Bangsa

58

Priyatna Abdurrasyid, Ibid., hal. 48
Ibid.
60
Ibid.

59

Universitas Sumatera Utara

44

– Bangsa melalui Komite Pemanfaatan Ruang Angkasa Untuk Tujuan Damainya
(United Nation Committee on the Peaceful Uses of Outer Space yang disingkat
UN-COPUOS) telah menciptakan suatu aturan hukum internasional mengenai
kegiatan di ruang angkasa, yaitu :
a.

b.
c.
d.

Agreement on the Rescue of Astronauts, the return of Astronauts and
the return of Objects launched into Outer Space, yang ditanda tangani
di London, Moscow dan Washington pada tanggal 22 April 1968.
Convention on International Liability for Damage caused by Space
Objects, yang ditandatangani pada tanggal 28 Maret 1972.
Convention concerning the registration of Objects Launched into
Space for Exploration or Use of Outer Space, tahun 1957, dan
Moon Agreement tahun 1980.61

Keseluruhan dari perjanjian hukum internasional mengenai aktivitas di
ruang angkasa tersebut di atas merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip –
prinsip hukum dan kerja sama internasional dalam rangka melakukan eksplorasi
dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa.
Dengan lahirnya The Outer Space Treaty, maka turut lahirlah suatu hukum
pertama dan satu – satunya dimasa itu, yang mengatur mengenai ruang angkasa.
kalau dibaca dan diteliti kembali isi dari resolusi – resolusi terdahulu yang
membahas mengenai ruang angkasa, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya
yang mendahului Outer Space Treaty 1967, maka akan jelas bahwa pada
hakikatnya isi treaty ini hanya mengukuhkan prinsip – prinsip tersebut di dalam
suatu perjanjian internasional publik. Namun, terlepas daripada itu, dengan
adanya kehadiran Outer Space Treaty 1967 memberikan suatu kekuatan hukum
yang lebih kuat apabila dibandingkan dengan resolusi – resolusi sebelumnya,
mengingat memiliki bentuk sebagai Treaty, terlebih dengan fakta bahwa terdapat

61

Ibid., hal. 15 – 16.

Universitas Sumatera Utara

45

102 negara yang menandatanganinya dan hanya terdapat 26 negara yang belum
melakukan ratifikasi.
Space Treaty 1967 yang secara lengkap disebut Treaty on Principles
Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space,
Including the Moon and the other Celestial