Tanggung Jawab Negara Terhadap Peluncuran Benda Ruang Angkasa Ditinjau Dari Space Liability Convention 1972

(1)

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION

1972

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

LOWIS RIKARDI NADEAK NIM : 070200083

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION

1972 SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

LOWIS RIKARDI NADEAK NIM : 070200083

Diketahui dan Disahkan oleh : Ketua Departemen Hukum Internasional

(ARIF,SH,MH

NIP : 196403301993031002 )

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Sutiarnoto, S.H, M.Hum (CHAIRULBARIAH,SH,M.HUM)

NIP : 195610101986031003 NIP:195612101986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah : “TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION 1972”.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, penggunaan istilah, maupun sistem penulisan. Maka dari itu penulis akan merasa terhormat jika ada kritik dan saran yang membangun sehingga dalam karya tulis berikutnya penulis dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah berperan baik dalam penulisan skripsi maupun dalam kehidupan penulis, yakni :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, S.H, M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak M. Husni , S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif, S.H, M.H selaku Ketua Departemen Hukum Internasional

6. Bapak Sutiarnoto, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis dalam penulisan skripsi.

7. Ibu Chairul Bariah, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis dalam penulisan skripsi.

8. Bapak/Ibu dosen yang telah mendidik penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima Kasih banyak Bapak/Ibu atas ilmu yang telah disampaikan.

9. Keluarga yang luar biasa Bapak dan Mamak yang tersayang terima kasih buat pengajaran yang telah kalian berikan, kak’ Fitri yang cerewet tapi baik hati, alm. B’Andi kaulah teladanku, kenangan bersamamu takkan pernah kulupakan.

10.Teman-teman penulis selama duduk di bangku perkuliahan lae Indra dan lae Gabe, lae Gerhat Siagian terima kasih buat masukan-masukannya, teman-teman penulis pada masa tingkat persiapan di semester satu Dermawanty Lumbantoruan, Aris Ginting, dan Daulat Sianturi mari berkumpul kembali di lope serta teman-teman penulis lainnya.

11.Buat Bung dan Sarinah GMNI Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tetap berjuang demi kaum marhaen.

Akhirnya besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.


(5)

Hormat Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI………

iii

ABSTRAKSI ………... vii

BAB I : PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Perumusan Masalah ………. 10

C. Tujuan Penulisan... 11

D. Keaslian Penulisan... 11

E. Tinjauan Kepustakaan………11

F. Metode Penulisan ………..12

G. Sistematika Penulisan ………...13

BAB II : PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA ... 16

A... Sejarah Terbentuknya Hukum Ruang Angkasa ……….. 16

B. Lingkup Ruang ( Delimitasi ) Ruang Angkasa ……….28

C. Komersialisasi Ruang Angkasa ……….33

D... Kepentingan Negara Peluncur Dan Kedudukan Negara Kolon ………..36

BAB III : PRINSIP TANGGUNG JAWAB NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ……….40

A. Konsep Timbulnya Tanggung Jawab Negara ………40

B. Teori-Teori Tentang Tanggung Jawab Negara ………..52


(7)

1. Tangung Jawab Negara Atas Pelanggaran Traktat Atau Berkenaan

Dengan Perjanjian Kontraktual.. ……… 53

2. Tanggung Jawab Negara Berkaitan dengan Pengambilalihan Hak Milik (Expropriation). ……… 55

3. Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran yang Tidak Ada Kaitannya dengan Kewajiban Kontraktual. ………. 56

D. Pembelaan Diri Dan Dasar-Dasar Pembenaran Atas Tanggung Jawab Negara ………. 58

BAB IV: TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION 1972 ……….61

A. Bentuk-Bentuk Pertanggungjawaban Negara Peluncur ………61

1. Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liability) ... .. ………61

2. Tangung Jawab Berdasarkan Kesalahan ……….63.

3. Tanggung Jawab Secara Bersama Antar Negara Dan Sebagian Negara-Negara (Joint And Several Liability). ……….. 65

4. Pembebasan Dari Tanggung Jawab (Exoneration Liability)…. 68 B. Prinsip-Prinsip Yang Terkandung Dalam Space Liability Convention 1972 ……… 69

C. Penerapan Prinsip-Prinsip Penyelamatan Bagi Kegiatan Di Ruang Angkasa Dalam Rescue Agreement 1968. ……… 71

D. Tanggung Jawab Negara Berdasarkan Space Liability Convention ..77

E. Implementasi Penanganan dan Penyelesaian Kasus Cosmos 954… 86 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ………103


(8)

ABSTRAKSI Lowis Rikardi Nadeak1 Sutiarnoto, S.H., M.Hum2 Chairul Bariah, S.H., M.Hum3

Berkembangnya komersialisasi ruang angkasa juga telah membawa kita kepada sebuah era baru dikegiatan keruangangkasaan. Indikator dari hal ini adalah meningkatnya jumlah benda ruang angkasa yang ditempatkan diruang angkasa. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana tanggung jawab dari negara peluncur suatu benda ruang angkasa tersebut kepada benda ruang angkasanya dan kemudian bagaimanakah tata cara pengajuan suatu ganti rugi kepada negara peluncur apabila benda ruang angkasa dari negara tersebut ada yang jatuh ke bumi dan menimbulkan suatu kerugian bagi pihak ke tiga. Negara peluncur itu memiliki suatu tanggung jawab yang mutlak untuk mengganti seluruh biaya kerugian yang disebabkan oleh benda ruang angkasa miliknya. Bentuk-bentuk pertanggungjawaban negara peluncur itu dibagi kedalam empat Bentuk-bentuk tanggung jawab yaitu tanggungjawab secara mutlak, tanggungjawab berdasarkan atas kesalahan,tanggung jawab antara beberapa gabungan negara, suatu pembebasan dan tanggungjawab. Bentuk-bentuk tanggungjawab ini telah dijelaskan dan diuraikan dalam liability convention 1972. Begitu juga mengenai tata cara pengajuan ganti rugi yang telah diatur juga dalam liability covention Dunia internasional dihadapkan kepada beragam aspek dan kepentingan yang berbeda antara kepentingan satu negara dengan kepentingan negara lain. Dalam tatanan dunia internasional tersebut, segala bangsa dan negara perlu untuk menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, berlaku/bertindak tanpa memperhatikan aspek/kepentingan lain dalam mencapai suatu tujuan dari tindakan tersebut.

Tindakan negara tersebut terkadang dapat menimbulkan kerugian terhadap negara lainnya. Oleh karena itu, selain patut memperhatikan kepentingan bangsa atau negara lain, seharusnyalah segala tindakan dan hubungan antara berbagai bangsa/ negara itu dilandaskan pada norma-norma tertentu. Dengan berlandaskan pada norma-norma tersebut, maka kedaulatan suatu negara merupakan kedaulatan yang tidak tanpa batas. Kedaulatan negara dibatasi oleh batas-batas wilayah serta pada oleh kedaulatan negara lainnya.

Dengan demikian, dalam pelaksanaan tindakan/ jurisdiksinya suatu negara perlu memperhatikan akibat-akibat yang mungkin terjadi serta pertanggung- jawaban yang ditimbulkan dari akibat-akibat tersebut. Dihubungkan dengan dengan tanggung jawab negara dalam keterkaitan aktivitasnya di ruang angkasa, maka jelaslah negara yang melakukan kegiatan atau memanfaatkan sumber daya ruang angkasa tidak boleh merugikan negara lain. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa negara pemilik benda angkasa wajib bertanggung jawab terhadap negara yang dirugikan.

1

Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2 Dekan Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3 Staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(9)

1972. Jadi negara peluncur tersebut selaku pihak yang meluncurkan benda keruang angkasa memiliki suatu tanggungjawab mutlak atas benda ruang angkasa tersebut.

Kata Kunci :

1. Tangung Jawab Negara 2. Peluncuran


(10)

ABSTRAKSI Lowis Rikardi Nadeak1 Sutiarnoto, S.H., M.Hum2 Chairul Bariah, S.H., M.Hum3

Berkembangnya komersialisasi ruang angkasa juga telah membawa kita kepada sebuah era baru dikegiatan keruangangkasaan. Indikator dari hal ini adalah meningkatnya jumlah benda ruang angkasa yang ditempatkan diruang angkasa. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana tanggung jawab dari negara peluncur suatu benda ruang angkasa tersebut kepada benda ruang angkasanya dan kemudian bagaimanakah tata cara pengajuan suatu ganti rugi kepada negara peluncur apabila benda ruang angkasa dari negara tersebut ada yang jatuh ke bumi dan menimbulkan suatu kerugian bagi pihak ke tiga. Negara peluncur itu memiliki suatu tanggung jawab yang mutlak untuk mengganti seluruh biaya kerugian yang disebabkan oleh benda ruang angkasa miliknya. Bentuk-bentuk pertanggungjawaban negara peluncur itu dibagi kedalam empat Bentuk-bentuk tanggung jawab yaitu tanggungjawab secara mutlak, tanggungjawab berdasarkan atas kesalahan,tanggung jawab antara beberapa gabungan negara, suatu pembebasan dan tanggungjawab. Bentuk-bentuk tanggungjawab ini telah dijelaskan dan diuraikan dalam liability convention 1972. Begitu juga mengenai tata cara pengajuan ganti rugi yang telah diatur juga dalam liability covention Dunia internasional dihadapkan kepada beragam aspek dan kepentingan yang berbeda antara kepentingan satu negara dengan kepentingan negara lain. Dalam tatanan dunia internasional tersebut, segala bangsa dan negara perlu untuk menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, berlaku/bertindak tanpa memperhatikan aspek/kepentingan lain dalam mencapai suatu tujuan dari tindakan tersebut.

Tindakan negara tersebut terkadang dapat menimbulkan kerugian terhadap negara lainnya. Oleh karena itu, selain patut memperhatikan kepentingan bangsa atau negara lain, seharusnyalah segala tindakan dan hubungan antara berbagai bangsa/ negara itu dilandaskan pada norma-norma tertentu. Dengan berlandaskan pada norma-norma tersebut, maka kedaulatan suatu negara merupakan kedaulatan yang tidak tanpa batas. Kedaulatan negara dibatasi oleh batas-batas wilayah serta pada oleh kedaulatan negara lainnya.

Dengan demikian, dalam pelaksanaan tindakan/ jurisdiksinya suatu negara perlu memperhatikan akibat-akibat yang mungkin terjadi serta pertanggung- jawaban yang ditimbulkan dari akibat-akibat tersebut. Dihubungkan dengan dengan tanggung jawab negara dalam keterkaitan aktivitasnya di ruang angkasa, maka jelaslah negara yang melakukan kegiatan atau memanfaatkan sumber daya ruang angkasa tidak boleh merugikan negara lain. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa negara pemilik benda angkasa wajib bertanggung jawab terhadap negara yang dirugikan.

1

Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2 Dekan Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3 Staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(11)

1972. Jadi negara peluncur tersebut selaku pihak yang meluncurkan benda keruang angkasa memiliki suatu tanggungjawab mutlak atas benda ruang angkasa tersebut.

Kata Kunci :

1. Tangung Jawab Negara 2. Peluncuran


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia internasional dihadapkan kepada beragam aspek dan kepentingan yang berbeda antara kepentingan satu negara dengan kepentingan negara lain. Dalam tatanan dunia internasional tersebut, segala bangsa dan negara perlu untuk menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, berlaku/bertindak tanpa memperhatikan aspek/kepentingan lain dalam mencapai suatu tujuan dari tindakan tersebut.

Tindakan negara tersebut terkadang dapat menimbulkan kerugian/perselisihan antar suatu negara dengan negara lain, ataupun antar hukum yang digunakan oleh suatu negara dengan negara lain. Oleh karena itu, selain patut memperhatikan kepentingan bangsa atau negara lain, seharusnyalah segala tindakan dan hubungan antara berbagai bangsa/ negara itu dilandaskan pada norma-norma Hukum Internasional.

Dengan berlandaskan pada norma-norma tersebut, walaupun pada saat ini masyarakat internasional terutama yang terdiri dari negara-negara merdeka dan berdulat yang tidak mengakui kekuasaan tertinggi negara lainnya, namun sebenarnya kedaulatan dan kekuasaan tertinggi negara itu tidaklah tanpa batas. Kedaulatan negara dibatasi oleh batas-batas wilayah serta pada oleh kedaulatan negara lainnya.

Dengan demikian, dalam pelaksanaan tindakan/ jurisdiksinya suatu negara perlu memperhatikan akibat-akibat yang mungkin terjadi serta pertanggung-


(13)

jawaban yang ditimbulkan dari akibat-akibat tersebut. Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab bilamana suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Dengan demikian, secara umum, unsur-unsur tanggung jawab negara adalah :4

1. Ada perbuatan atau kelalaian (act or omission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu negara;

2. Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya.

Suatu konsep Hukum Internasional adalah berlaku apabila telah diterima sebagai suatu ketentuan yang mengatur oleh Masyarakat Internasional itu sendiri. Hal ini dapat berupa suatu Kebiasaan Internasional yang telah lama ada, maupun berdasarkan atas suatu landasan hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih negara sebagai salah satu subjek Hukum Internasional yang telah diakui keberadaannya. Dalam bukunya yang berjudul, “Pengantar Hukum Internasional”, J. G. Starke memberikan definisi Hukum Internasional sebagai berikut: “Keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku

4

Setyabudi, Eddy, Aspek Politik Juridis Peertanggungjawaban Internasional tentang

Jatuhnya Benda-Benda Buatan Manusia yang Diluncurkan ke Antaraiksa. Makalah Seminar


(14)

yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat utuk menaati, dan karenya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan negara-negara satu sama lain.”5

Seorang sarjana hukum Belanda yang sangat terkenal terutama dalam Hukum Internasional, Grotius (Hugo de Groot: 1583-1645) menulis secara sistematis tentang kebijaksanaan perang dan damai dalam bukunya, “De Jure Belli ac Pacis” (The Law of War and Peace = Perihal Hukum Perang dan Damai), membahas mengenai kebiasaan-kebiasaan (customs) yang diikuti negara-negara dari zamannya. Ia juga memperkenalkan beberapa doktrin Hukum Internasional, misal doktrin “Hukum Kodrat” (Law of Nature) yang menjadi sumber dari Hukum Internasional itu di samping kebiasaan dan traktat. Dan hubungan dengan karangannya ini, maka Grotius dianggap sebagai “Bapak dari Hukum Internasional” (Father of The Law of Nations).

6

5

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh, Jakarta : Sinar Grafika,2009, hal 3.

6

Mochtar Kusumaatmadja, LLM., Pengantar Hukum Internasional, Penerbit: Bonacipta, Bandung , 1977, Hal. 23-24.

Secara khusus mengenai latar belakang pemilihan judul skripsi ini adalah erat berhubungan dengan konsep dan kaedah yang terdapat di dalam Hukum Internasional dengan mengamati dan meneliti aspek perkembangannya. Saat ini telah dirasakan pula arti pentingnya suatu bagian dari Hukum Internasional tersebut, yakni mengenai Hukum Udara dan Ruang Angkasa Internasional yang keberadaannya perlu dicermati. Mengingat bahwa wilayah udara dan ruang angkasa telah menjadi suatu sumber daya yang penting bagi pertahanan dan keamanan, juga bernilai ekonomis tinggi di dalam pemanfaatannya.


(15)

Kini kita dihadapkan pada suatu tantangan di era globalisasi dimana semua sudah berkembang sangat maju. Priyatna Abdurrasyid mengemukakan bahwa: “Kini kita hidup dalam abad angkasa (Space Age). Ilmu pengetahuan yang selamanya bergerak maju, berkembang pesat dalam 50 tahun terakhir ini, terutama sejak Perang Dunia II. Kemajuan teknologi khususnya teknologi penerbangan pada abad kini memberi akibat yang positif kepada tingkat kehidupan manusia yang sekarang telah mampu melakukan penerbangan-penerbangan ke dan di ruang angkasa.”7

7

Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa Dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung 1977,Hal 4.

Ruang angkasa merupakan warisan bersama umat manusia. Adanya prinsip “Common Heritage of Mankind” (Warisan bagi Seluruh Manusia) dan “First Come First Served” (Kebebasan Mengeksploitasi) di dalam pemanfaatan ruang angkasa, membuat negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi secara berlomba-lomba ingin menguasai pemanfaatan kawasan ruang angkasa tersebut.

Semenjak ditemukannya balon-balon udara pada abad ke-18 dan kemudian pesawat udara pada abad ke-20, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang canggih termasuk ditemukannya alat-alat penerbangan ke luar angkasa. Sejalan dengan itu timbul pula adanya keperluan pengaturan kegiatan ruang angkasa dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang ruang angkasa untuk menghindari adanya penyalahgunaan dan pelanggaran yang dapat membahayakan ruang angkasa.


(16)

Untuk penerbangan di ruang angkasa diawali pada tanggal 4 Oktober 1957, dimana pada saat itu Uni Soviet (sekarang telah berubah/pecah menjadi beberapa negara yang berdiri sendiri) berhasil meluncurkan satelit buminya yang pertama. Keberhasilan ini menimbulkan penghargaan dan pandangan terhadap Uni Soviet membumbung tinggi, sekaligus menurunkan gengsi Amerika Serikat yang merupakan negara saingannya.

Sejak keberhasilan Uni Soviet meluncurkan satelitnya yang diberi nama Sputnik I, maka Amerika Serikat berusaha pula untuk menyaingi atau setidak-tidaknya mensejajarkan kedudukannya dengan pihak Uni Soviet dalam berbagai kemajuan khususnya teknologi ruang angkasa.

Pendaratan yang dilakukan oleh astronot Amerika Serikat di bulan dengan mulus merupakan kejadian yang menggemparkan dunia internasional dan sekaligus menaikkan gengsi Amerika Serikat di forum internasional.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang telah dicapai di bidang keantariksaan telah memungkinkan dan membuka kesempatan yang cukup besar bagi berbagai pihak maupun negara tertentu untuk melakukan kegiatan di ruang angkasa. Kegiatan dalam bidang keantariksaan ini nampaknya akan terus meningkat baik mengenai jumlah negara yang terlibat di dalamnya maupun mengenai ruang lingkupnya.

Memang, berbagai bentuk pesawat ruang angkasa (flight instrumentalities) telah diciptakan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Berbagai bentuk satelit, stasiun ruang angkasa serta kendaraan ruang angkasa lainnya telah mengorbit bumi atau menjelajahi ruang angkasa. Semua alat-alat atau benda-benda buatan


(17)

manusia itu telah dimanfaatkan guna peningkatan kualitas dan taraf hidup manusia, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian sumber-sumber alam baru.8

1. komunikasi

Salah satu hal yang sedang berkembang pesat dalam era modern ini adalah komersialisasi ruang angkasa. Hal ini adalah suatu fenomena baru memasuki abad ke-21 ini. Walaupun era komersialisasi ruang angkasa telah berlangsung dalam dunia ini belum ada perjanjian-perjanjian internasional yang telah menjelaskan pengertian istilah ini atau definisi istilah lain yang mempunyai maksud yang sama. Untuk sementara dapat dikemukakan bahwa komersialisasi ruang angkasa itu adalah segala macam aktivitas yang berhubungan ruang angkasa untuk memperoleh suatu keuntungan ekonomis.

Aktivitas komersial ini dilakukan oleh semua pihak baik dilakukan oleh badan-badan pemerintah ataupun swasta, nasional maupun badan internasional. Banyak juga aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh badan-badan semi pemerintah yang melibatkan perusahaan swasta atau yang sahamnya dimiliki swasta.

Bentuk-bentuk aktivitas yang telah atau sedang berkembang untuk di komersialkan adalah :

2. penginderaan jauh

3. sistem transportasi ruang angkasa 4. pengolahan bahan

5. pembangkit tenaga 6. pertambangan

8


(18)

Semua bentuk kegiatan atau aktivitas diatas sangat menentukan tingkat kemajuan di masa yang akan datang. Aktivitas komersial di ruang angkasa di satu sisi memang memberikan dampak positif bagi kehidupan tetapi di sisi lainnya aktivitas komersial ruang angkasa juga dapat menimbulkan dampak negatif.

Salah satu indikator perubahan yang diakibatkan oleh aktivitas komersial di ruang angkasa adalah besarnya peningkatan frekuensi dan jumlah peluncuran satelit serta penempatan benda antariksa (satelit dan roket) di ruang angkasa. Frekuensi dan peluncuran satelit pun akan semakin meningkat mengingat meningkatnya kebutuhan akan pemanfaatan satelit baik untuk keperluan telekomunikasi maupun keperluan lainnya seperti : penginderaan jauh, meteorologi, navigasi, siaran televisi secara langsung melalui satelit serta kegiatan militer.

Perkembangan kegiatan antariksa dan peluncuran benda-benda antariksa buatan manusia yang selanjutnya disebut sebagai benda antariksa (space objects) yang diakibatkan oleh komersialisasi ruang angkasa akan berlanjut tanpa hentinya. Pada saat ini banyak sekali benda-benda antariksa buatan manusia berupa satelit, fragment dari satelit atau roket yang berada di ruang angkasa, dan itu semua akan semakin bertambah banyak seiring dengan terus berjalannya aktivitas komersial di ruang angkasa.

Namun, di samping hasil-hasil yang positif dari aplikasi teknologi ruang angkasa, tidak dapat diabaikan begitu saja kenyataan yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat internasional. Dalam hal ini, kerugian yang terjadi


(19)

menimbulkan pertanggungjawaban dari negara yang melakukan pemanfaatan terhadap peluncuran benda ruang angkasa tersebut.

Atas dasar dominasi politik dan militer, maka nampaklah bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa itu dapat menimbulkan dua arah dampak, yaitu di samping memberikan dampak positif juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap umat manusia itu sendiri yang menimbulkan berbagai kerugian yang perlu dipertanggungjawabkan.9

Setiap benda antariksa (space objects) baik benda antariksa buatan manusia mempunyai suatu jangka waktu "life time" untuk dapat terus berada di orbit, setiap benda antariksa terutama yang berada pada orbit rendah dan menengah yang "life time" nya sudah berakhir atau mengalami kerusakan (malfunction) pasti akan selalu jatuh ke bumi.

Akibat negatif dari aktivitas ruang angkasa pada umumnya lebih dari sekedar resiko kehilangan atau kerusakan. Percobaan-percobaan yang berbahaya dapat mempengaruhi keberadaan umat manusia secara keseluruhan, merusak lingkungan bumi, mencemari atmosfer dan menimbulkan gangguan berat terhadap kehidupan.

10

Benda antariksa yang jatuh kembali ke bumi akan melalui dan bergesekan dengan lapisan udara atau atmosfer bumi yang makin dekat ke permukaan bumi makin tinggi kecepatannya, sehingga akan terjadi gesekan dengan lapisan udara yang menimbulkan panas yang sangat tinggi dan akan mengakibatkan benda antariksa tersebut pecah menjadi bagian kepingan-kepingan kecil yang disebut

9

Priyatna Abdurrasyid. Op. Cit. Hal 5.

10


(20)

sebagai sampah antariksa atau Space Debris, yang dapat menimpa suatu wilayah ribuan sampai dengan puluhan ribu kilometer luasnya.

Sudah tentu "Space Debris" yang jatuh ke wilayah permukaan bumi dapat menimbulkan kerugian, kehilangan terhadap makhluk hidup, harta benda, dan lingkungan apalagi bila sampah antariksa tersebut memuat bahan radioaktif ataunuklir yang dapat menimbulkan pencemaran dan radiasi yang dapat mengancam kelangsungan hidup makhluk hidup yang tinggal di daerah sekitar jatuhnya sampah antariksa tersebut.

Keadaan seperti ini merupakan permulaan pengotoran antariksa dan dapat menimbulkan dampak yang merugikan dan membahayakan manusia maupun kegiatan keantariksaan itu sendiri. Mengingat pentingnya masalah ini, banyak negara memperhatikan dan mencari penyelesaian dalam masalah yang ditimbulkan oleh aktivitas komersial ruang angkasa ini.

Konsep tentang pertanggungjawaban negara dalam hukum ruang angkasa dirumuskan dalam bentuk pembatasan terhadap kebebasan melakukan aktivitas, termasuk tentunya untuk tujuan komersial. Bila dihubungkan dengan dengan masalah tanggung jawab negara dalam keterkaitan aktivitasnya di ruang angkasa, maka jelaslah negara yang melakukan kegiatan atau memanfaatkan sumber daya ruang angkasa tidak boleh merugikan negara lain.11

Salah satu konvensi yang relevan dengan masalah pertanggungjawaban ini adalah "Convention of International Liability for Damage by Space Objetcs 1972". Konvensi ini berkaitan dengan masalah pengaturan pertanggungjawaban

11


(21)

secara internasional yang dibebankan kepada negara-negara yang melakukan kegiatan peluncuran Space Object ke ruang angkasa yang merugikan yaitu adanya kerusakan atau kecelakaan baik terhadap harta benda atau manusia atau lingkungan di permukaan bumi yang diakibatkan Space Object yang diluncurkan ke ruang angkasa.

Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan di sini adalah sejauh mana pertanggungjawaban negara peluncur apabila ada benda antariksa yang merupakan produk komersial ruang angkasa seperti satelit yang jatuh ke wilayah permukaan bumi, kemudian apabila pihak yang mengalami kerugian ingin menuntut, bagaimanakah tata cara pengajuan ganti rugi yang diatur menurut hukum angkasa. Mengingat banyaknya masalah-masalah yang terjadi belakangan ini yang disebabkan oleh aktivitas komersial di ruang angkasa.

Sesuai uraian di ataslah yang mendorong rasa keingintahuan penulis untuk lebih mengetahui dan mengerti tentang pertanggunggjawaban negara perihal kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas komersial di ruang angkasa tersebut dan selanjutnya memilih judul skripsi: “TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION 1972”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dan untuk memfokuskan pembahasan dalam penulisan ini, maka pokok permasalahan yang menjadi objek pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:


(22)

1. Bagaimana perkembangan hukum internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa ?

2. Bagaimanakah prinsip tanggung jawab negara menurut hukum internasional ? 3. Bagaimanakah tanggung jawab negara terhadap peluncuran benda ruang angkasa

ditinjau dari space liability convention 1972? C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perkembangan hukum internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa.

2. Untuk mengetahui prinsip tanggung jawab negara menurut hukum internasional. 3. Untuk mengetahui tanggung jawab negara terhadap peluncuran benda ruang

angkasa ditinjau dari space liability convention 1972. D. Keaslian Penulisan

Sehubungan dengan judul skripsi ini, maka telah dilakukan pemeriksaan di arsip yang ada pada Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan hasil pemeriksaan, judul skripsi di atas tidak ada yang sama dengan judul skripsi lainnya baik yang ditulis sekarang maupun yang terdahulu. Dengan demikian judul skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

Ditinjau dari judulnya, “Tanggung Jawab Negara Terhadap Peluncuran Benda Ruang Angkasa Ditinjau Dari Space Liability Convention 1972”, maka mengandung makna sebagai berikut.


(23)

1. Tanggung Jawab artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, ; menerima pembebanan, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain.

2. Negara artinya organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.

3. Peluncuran artinya jalan (tempat) untuk meluncur; proses, cara, perbuatan meluncurkan; peresmian beredarnya (buku, film, kaset, dsb).

4. Benda artinya segala yang ada di alam yang berwujud atau berjasad (bukan roh); zat; barang yg berharga; harta; barang.

5. Ruang artinya rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada.

6. Angkasa artinya lapisan udara yang melingkupi bumi, awang-awang, langit. F. Metode Penulisan

Dalam rangka untuk mengumpulkan data-data dan bahan-bahan dalam penyusunan skripsi ini, dan agar suatu penulisan mempunyai suatu manfaat, maka penulis merasakan perlu adanya suatu metode tertentu yang dipakai dalam pengumpulan data guna mencapai tujuan dari penulisan itu sendiri.

Di dalam penulisan skripsi ini penulis memakai metode pengumpulan data yang bersumber dari perpustakaan, berbagai literatur dan berbagai media


(24)

informasi yang ada, yang mengangkat permasalahan khusus mengenai judul skripsi ini.

Dengan melakukan suatu metode penggabungan data-data yang telah diperoleh melalui library research, yaitu dengan menggunakan buku-buku, literatur-literatur, data-data dari berbagai media informasi yang dapat mendukung selesainya penulisan skripsi ini.

Maka dengan demikian diharapkan dengan metode penggabungan pengumpulan data ini dapat membantu penulis dalam memahami permasalahan yang diangkat dan menjadi landasan pemikiran penulis dalam menganalisa permasalahan tersebut. Kiranya diharapkan tujuan untuk mendapatkan kebenaran akan jawaban yang sesungguhnya dari permasalahan yang telah penulis angkat dalam skripsi ini dapat tercapai dengan baik.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menguraikan rangkaian materi dari skripsi ini penulis berusaha membuat suatu model-model penulisan sehingga menjadi suatu sistematika dari skripsi ini. Tujuan dari penentuan model-model tersebut adalah untuk mempermudah penguraiannya dan sekaligus pula untuk pemahamannya.

Oleh karena itu penulis membagi skripsi ini ke dalam 5 bab dan dilengkapi dengan sub-sub bab dari setiap babnya, yakni sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis hendak menguraikan beberapa uraian hal-hal yang bersifat umum, yaitu tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat


(25)

penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA

Pada bab ini penulis mencoba menyampaikan dan menguraikan tentang sejarah terbentuknya hukum ruang angkasa, lingkup ruang ( delimitasi ) ruang angkasa, komersialisasi ruang angkasa, kepentingan negara peluncur dan kedudukan negara kolong.

BAB III : PRINSIP TANGGUNG JAWAB NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Pada bab ini membahs tentang sifat dan jenis-jenis tanggung jawab negara, teori-teori tentang tanggung jawab negara, tangung jawab negara atas pelanggaran traktat atau berkenaan dengan perjanjian kontraktual : tanggung jawab negara dalam artikel tentang tanggung jawab negara ( draft articles on responsibility of states for internationally wrongful acts), pembelaan diri dan dasar-dasar pembenaran atas tanggung jawab negara.

BAB IV : TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP

PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION 1972


(26)

Pada bab ini membahas tentang tinjauan umum terhadap konvensi, prinsip-prinsip yang terkandung dalam space liability convention 1972, penerapan prinsip-prinsip penyelamatan bagi kegiatan di ruang angkasa dalam rescue agreement 1968, tanggung jawab negara berdasarkan space liability convention 1972.

BAB V : PENUTUP

Sebagai bab terakhir dalam penulisan skripsi ini, maka pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran.


(27)

BAB II

PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

KEGIATAN RUANG ANGKASA

E. ... Sejarah Terbentuknya Hukum Ruang Angkasa

Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama kepada Hukum Internasional. Oleh karena itu, peranan Hukum Internasional sangat menentukan. Hukum internasional yang berlaku diterapkan pada bagian-bagian yang masih kurang atau belum diatur mengenai pihak-pihak yang berhubungan atas suatu kepentingan tertentu.12

Sebagai tahapan selanjutnya dari pembentukan Hukum Ruang Angkasa ini adalah dengan diterimanya deklarasi prinsip-prinsip hukum untuk mengatur kegiatan-kegiatan negara di ruang angkasa yang berhubungan dengan penyelidikan dan penggunaan ruang angkasa.

Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa bergerak ke arah dua tahap. Tahap pertama ditandai oleh pengajuan serentetan resolusi oleh Majelis Umum. Resolusi ini meliputi petunjuk-petunjuk dan cara-cara meningkatkan kerja sama internasional serta penetapan prinsip-prinsip dasar tentang pengaturannya.

13

12

Priyatna Abdurrasyid, Loc.Cit, Hal 15

13

Ibid ,Hal 23

Hukum Udara dan Ruang Angkasa merupakan bagian komponen dari Hukum Angkasa, untuk itu perlu


(28)

diteliti apa-apa saja yang merupakan bagian dari/ruang lingkup dari Hukum Ruang

Angkasa, yakni:14

1. Sifat dan luas wilayah di ruang angkasa dimana Hukum Angkasa diterapkan dan berlaku.

2. Bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut.

3. Bentuk peralatan penerbangan (flight instrumentalities) seperti pesawat udara dalam penerbangan di ruang udara dan pesawat ruang angkasa untuk ruang angkasa yang mempunyai sangkut-paut dan diatur oleh Hukum Angkasa, atau dengan perkataan lain segala peralatan penerbangan yang menjadi objek Hukum Angkasa.

Hukum Angkasa sebagai salah satu cabang dari ilmu hukum yang relatif muda, oleh para ahli hukum maupun masyarakat internasional dirasakan perlu untuk lebih dikembangkan. Pengembangan yang dilakukan bertujuan agar Hukum Angkasa dapat menjadi cabang ilmu hukum yang mantap dan mapan terutama dalam mengantisipasi kemajuan teknologi yang sangat pesat.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut antara lain dengan mengidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul dari ditemukannya dimensi ruang angkasa hingga menelaah berbagai dampak hukum atas dimanfaatkannya dimensi tersebut oleh manusia. Hal inilah yang mendasari adanya pembagian Hukum Angkasa itu sendiri secara umum pada saat ini.

14


(29)

Ernest NYS merupakan orang pertama yang menggunakan istilah khusus bagi bidang ilmu hukum untuk ruang udara ini. Istilah yang ia gunakan ialah “Droit Aerien” dan dipakainya di dalam laporan-laporannya kepada Institute de Droit Internationale pada rapat di tahun 1902 dan kemudian di dalam tulisan-tulisan ilmiahnya. Oleh karena itu, istilah-istilah yang ditemukan sebelum tahun 50-an dan sesudahnya ialah misalnya istilah “Luchtrecht, Luftrecht atau Air Law” yang banyak digunakan orang.

Di Indonesia sendiri dipakai istilah Hukum Udara, istilah yang telah membaku di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran sejak tahun 1963. Setelah Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit buatannya yang pertama maka timbullah istilah hukum yang lebih luas lagi, yakni Air and Space Law, Lucht en Ruimte Recht atau Hukum Angkasa. Ada pula digunakan orang istilah Aerospace Law. Semua istilah ini memang menunjukkan adanya suatu bidang ilmu hukum yang mempersoalkan berbagai macam pengaturan terhadap medium ruang.

Istilah Hukum Ruang Angkasa dianggap lebih tepat daripada penggunaan istilah Hukum Antariksa, satu sama lain karena masih belum jelas apa yang dimaksud dengan antariksa. Secara garis besar dapat dikatakan, untuk ilmu hukum ini dipakai istilah “Hukum Angkasa”, “Air and Space Law” di Kanada, “Aerospace Law” di Amerika Serikat, “Lucht en Ruimte Recht” di Belanda, “Droit Aerien et de l’espace” di Perancis, “Luft und Weltraumrecht” di Jerman, yang mencakup dua bidang ilmu hukum dan mengatur 2 sarana wilayah penerbangan yakni hukum udara yang mengatur sarana penerbangan di ruang udara yaitu ruang di sekitar bumi yang berisi gas-gas udara. Kemudian Hukum


(30)

Ruang Angkasa yakni hukum yang mengatur ruang yang hampa udara (outer space).15

Tata surya kita secara geografis yuridis dapat kita klasifikasikan sebagai berikut:

Istilah Hukum Angkasa (yang terdiri dari Hukum Udara dan Ruang Angkasa) telah dipergunakan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Sesko AU di Bandung sejak tahun 1963. Seringkali istilah ruang angkasa ini (outer space) dicampuradukkan dengan istilah angkasa luar atau antariksa. Secara legalistis, dapat disimpulkan bahwa antariksa itu ialah ruang angkasa dengan segala isinya.

16

1. Ruang udara ialah ruang di sekitar bumi yang berisikan gas-gas udara yang

dibutuhkan manusia demi kelangsungan hidupnya.

2. Antariksa mempunyai arti sebagai berikut:

1) Ruang angkasa yakni ruang yang kosong/hampa udara (aero space) dan berisikan

langit.

2) Bulan dan benda-benda (planet-planet) lainnya. 3) Orbit geostasioner (Geo Stationary Orbit - GSO).

Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan antar negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari segala aktifitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa aktifitas itu demi kepentingan seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan, terrestrial dan non terrestrial, dimana pun aktifitas itu dilakukan. Dalam definisi yang terakhir itu ruang angkasa dipandang sebagai suatu keseluruhan yang utuh, yang dalam lingkupnya mencakup benda-benda langit lainnya. Juga terdapat definisi Hukum Angkasa (Aerospace Law) yang berusaha

15

Ibid, Hal. 6

16


(31)

untuk mencakup kedua bidang ilmu hukum itu, secara gabungan menjadi bagian hukum tunggal. Karena itulah, dalam sebuah glossary yang diterbitkan tahun 1955 oleh Research Studies Institutes pada Maxwell Air Force Base, dapat ditemui sebuah definisi istilah “aerospace”. Istilah tersebut didukung oleh mereka yang berkeyakinan bahwa Hukum Udara dan Ruang Angkasa hanya disatukan dalam suatu cabang hukum tunggal, karena bidang tersebut mewakili bidang hukum yang secara langsung maupun tidak langsung berlaku pada penerbangan-penerbangan yang dilakukan manusia.

1. Outer Space Treaty 1967 (Treaty on Principles Governing The Activities in The Exploration and Use of Outer Space, Including Moon and Other Celestial Bodies)

Perjanjian mengenai Hukum Ruang Angkasa ini lebih dikenal sebagai Space Treaty 1967 yang ditandatangani pada tanggal 27 Januari 1967 dan berlaku sejak 10 Oktober 1967. Pesatnya perkembangan teknologi dalam bidang penerbangan mendorong adanya keinginan negara-negara maju untuk melakukan penerbangan lintas wilayah udara yakni ruang angkasa, yang kemudian diikuti oleh pesawat ruang angkasa Amerika Serikat. Namun, usaha-usaha yang dilakukan oleh negara-negara maju tersebut, kemudian dianggap sebagai ancaman oleh negara-negara lain terhadap keamanan mereka. Oleh karenanya dibentuklah sebuah komite melalui PBB guna merancang peraturan-peraturan bagi semua kegiatan dalam bidang ruang angkasa ini.17

17

I. H. Ph. Diederiks – Verschoor, Persamaan dan Perbedaan Antara Hukum Udara dan

Hukum Ruang Angkasa, Sinar Grafika. Hal. 10


(32)

Setelah beberapa resolusi disahkan oleh PBB, maka sebuah traktat khusus mengenai ruang angkasa (space treaty) dibentuk pada tahun 1967, tepatnya sepuluh tahun setelah peluncuran Sputnik milik Rusia. Perjanjian yang diprakarsai oleh PBB didasarkan atas konsep bahwa ruang angkasa (outer space) harus dipertahankan sebagai milik seluruh umat manusia dan harus dieksplorasi dan digunakan bagi keuntungan serta kepentingan semua negara. Definisi yang lebih spesifik tidak berhasil disepakati di dalam Outer Space Treaty 1967 ini. Adapun tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk membuat ketentuan-ketentuan bagi penggunaan secara damai ruang angkasa tersebut.

Menurut Outer Space Treaty 1967 bahwa seluruh aktifitas-aktifitas keruangangkasaan hanya dapat dilakukan sesuai dengan UN Charter (Piagam PBB) dan Prinsip-prinsip Hukum Internasional, namun demikian masalah kedaulatan sangat erat kaitannya dengan beberapa aktifitas keruangangkasaan. 18

Di dalam Pasal II Outer Space Treaty 1967 secara khusus terdapat adanya suatu larangan bagi semua negara, terhadap pemilikan secara nasional atas wilayah ruang angkasa oleh suatu negara melalui tuntutan-tuntutan kedaulatan, pemakaian atau pendudukan atau dengan cara-cara lainnya. Dengan kata lain

Karena dalam Hukum Ruang Angkasa kita menghadapi suatu fakta bahwa kebebasan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa berada dalam lingkup hubungan antar negara yang berkedaulatan sama atas wilayah ruang angkasa itu

18


(33)

bahwa yang dinamakan sebagai wilayah ruang angkasa tersebut adalah milik semua negara yang tidak dapat dikuasai secara sepihak dengan alasan apa pun juga oleh suatu negara tertentu.

2. Konvensi I.T.U. (International Telecommunication Union) 1973

Suatu badan bersama yang sifatnya internasional yakni International Telecommunication Union (ITU) yang bertugas menjaga dan mengembangkan kerjasama internasional untuk peningkatan dan pemakaian berbagai sarana telekomunikasi internasional, menandatangani suatu perjanjian bersama di Malaga – Toremolinos pada tahun 1973.

Didasari oleh perkembangan teknologi satelit yang telah dimiliki oleh negara-negara maju, sebagai salah satu sarana yang vital bagi perkembangan telekomunikasi dunia, maka secara khusus dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU 1973 dipandang oleh banyak negara, terutama oleh negara berkembang, lebih mengakomodasikan kepentingan-kepentingan negara-negara maju yang telah memiliki teknologi dan kemampuan di bidang satelit saja. Maka, pada pertemuan ITU pada tahun 1982 di Nairobi (Kenya) dibuat suatu perubahan yaitu di dalam Pasal 10 3c (mod 67), ditetapkan bahwa dalam rangka pemanfaatan GSO secara lebih efektif dan ekonomis harus senantiasa diperhatikan negara-negara yang membutuhkan bantuan, demikian juga bagi negara-negara yang sedang berkembang serta negara yang mempunyai keadaan geografis yang khusus (negara-negara khatulistiwa).


(34)

Ketentuan-ketentuan ITU tersebut oleh negara-negara maju dianggap cukup memadai untuk mengatur pemanfaatan GSO, di samping kemajuan teknologi akan mampu mengatasi kejenuhan yang dikhawatirkan akan terjadi dalam pengembangan sistem telekomunikasi khususnya bidang satelit ruang angkasa.

3. Liability Convention 1973

Perkembangan pemanfaatan wilayah ruang angkasa khususnya wilayah orbit geostasioner, menimbulkan kesadaran masyarakat internasional akan timbulnya suatu malapetaka yang kemungkinan timbul di kemudian hari. Malapetaka itu yakni, kemungkinan jatuhnya benda angkasa buatan manusia itu kembali ke bumi, yang membawa dampak buruk bagi negara yang lain karena terjadinya hal tersebut.

Maka, sejak tahun 1960 sebuah badan khusus PBB mengenai ruang angkasa yakni United Nations Committee on The Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS), telah mulai membicarakan hal tersebut dalam forum PBB karena telah ada contoh-contoh kejadian yang nyata dan tidak dapat disangkal lagi oleh masyarakat internasional.

Amerika Serikat kemudian mengusulkan agar bahaya jatuhnya benda buatan manusia dari ruang angkasa itu dapat diselesaikan secara tuntas. Akhirnya pada tanggal 29 Maret 1972 PBB mensahkan “Convention on International Liability Damage Caused by Space Objects”, setelah lebih dari lima negara (yang merupakan syarat dapat berlakunya konvensi ini) meratifikasinya dan hingga tahun 1976 jumlah negara yang telah meratifikasi berjumlah 40 negara.


(35)

Konvensi yang didasari oleh beberapa Pasal Space Treaty 1967 mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk membentuk kaidah hukum tentang tanggung jawab internasional terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh benda-benda angkasa.

2. Memberikan tata cara penggantian kerugian secara seketika (prompt) dan setimpal (equitable) kepada korban kerusakan (damage).

Hal tersebut didasari adanya kemungkinan yang besar jatuhnya (kembali ke permukaan bumi) benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa. Maka, bila terjadi, sistem ganti rugi ditetapkan secara “absolute liability”, dimana merupakan suatu usaha hukum yang berlaku mutlak tanpa pembuktian yang ketat. Dan beberapa tahun kemudian dibuat suatu aturan mengenai cara pengidentifikasian benda-benda angkasa (yang mungkin jatuh), yang diusahakan melalui “Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space” pada tahun 1976.

3. Deklarasi Bogota 1976

Pada tahun 1976 di dalam suatu pertemuan yang membahas secara khusus mengenai Geostationary Orbit (GSO) diadakan di Bogota. Tujuh negara yang wilayahnya tepat berada di bawah garis khatulistiwa, yakni: Brazil, Kolombia, Ekuador, Kongo, Kenya, Zaire dan Indonesia, menuangkan gagasannya di dalam kesepakatan/deklarasi tentang tuntutan atas orbit geostasioner yang memang tepat berada di atas wilayah kedaulatan mereka.

Adapun yang menjadi tuntutan dari negara-negara khatulistiwa tadi bukanlah suatu tuntutan mengenai penguasaan atas wilayah (territorial claim),


(36)

namun hal tersebut didasarkan oleh karena adanya ketidakadilan dalam pemanfaatan orbit geostasioner yang sebelumnya berdasar pada prinsip kebebasan untuk memanfaatkan bagi semua negara (first come first served).19

4. Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976

Sebagai akibatnya pemanfaatan orbit geostasioner hanya didominasi oleh negara-negara maju karena memiliki kemampuan untuk itu, baik dari segi teknologi maupun finansialnya. Dan dirasakan pemanfaatan orbit geostasioner itu telah menjadi suatu usaha komersialisasi oleh negara-negara maju tersebut sehiungga cenderung merugikan negara-negara lain yang belum mampu memanfaatkannya.

Deklarasi Bogota 1976 ini banyak mendapat reaksi yang luas oleh banyak negara, namun negara-negara maju menentang isi dari gagasan yang terkandung di dalamnya karena bertentangan dengan kepentingan mereka. Hal itu juga dianggap dapat menimbulkan adanya monopoli dalam pemanfaatan orbit geostasioner (larangan pada Pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU 1973), dan terutama bertentangan dengan Pasal II Space Treaty 1967.

Registration Convention berakar kepada ketentuan yang ditetapkan bagi International Geophysical Year, dalam suatu periode selama 18 bulan dimulai dari tanggal 1 Juli 1957 sampai dengan 31 Desember 1958. Dimana masyarakat ilmiah melakukan kajian-kajian di seluruh dunia mengenai lingkungan manusia dengan bumi dan lautan, atmosfir dan ruang angkasa. Peluncuran satelit-satelit

19

Dr. E. Saefullah Wiradipradja, SH. LL.M., Dr. Mieke Komar Kantaatmadja, SH. M.C.L., C.N., Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Remadja Karya CV., Hal. 152.


(37)

bumi buatan merupakan salah satu dari proyek-proyek yang direncanakan, dan untuk hal tersebut maka Manual on Rockets and Satellites menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran objek-objek yang diluncurkan ke wilayah ruang angkasa.

Di awal tahun 1961 Majelis Umum PBB meminta agar negara-negara yang meluncurkan objek-objek ke dalam atau di luar orbit dan memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada Committee on The Peaceful Uses of Outer Space, melalui Sekretaris Jenderal PBB dengan tujuan untuk melakukan pendaftaran peluncuran-peluncuran ini. Sekretaris Jenderal PBB dengan permohonan diminta untuk mengurus suatu daftar umum informasi tersebut. Tidak ada kewajiban mengikat di pihak negara-negara peluncur, akibatnya sistem tersebut berjalan hanya berdasarkan kesukarelaan semata-mata. Dan pada umumnya dikatakan bahwa sistem sukarela itu berjalan cukup baik dan hal ini terlihat dari hampir semua negara yang berpartisipasi dalam aktifitas-aktifitas keruangangkasaan telah memberikan informasi mengenai peluncuran-peluncuran yang mereka lakukan.

Di dalam Hukum Ruang Angkasa terdapat ketentuan penting dalam Registration Convention berkenaan dengan situasi dimana dua negara atau lebih bersama-sama berpartisipasi dalam suatu peluncuran khusus. Pada Pasal 21 Registration Convention menyerahkan penandaan nomor pendaftaran sebuah objek ruang angkasa yang dapat dipergunakan kembali setelah pendaratannya dan akan didaftarkan berdasarkan pada Registration Convention sebagai sebuah objek


(38)

yang diluncurkan ke ruang angkasa dan bukan sebagai pesawat udara seperti ketentuan di dalam Konvensi Chicago 1967.

Pada tahun 1975 Convention on Registration of Objects into Outer Space ditandatangani dan mulai berlaku pada tanggal 15 Desember 1976 setelah masuknya lima ratifikasi dari negara-negara yang menandatangani sebelumnya. Pada bulan Maret 1981 lebih dari 30 negara telah menandatangani konvensi ini. Hal ini membuat ketentuan mengajukan informasi mengenai pendaftaran telah menjadi suatu kewajiban untuk negara peserta konvensi ini.

Tujuan dari konvensi ini adalah :

1. Membuat ketentuan untuk mendaftar objek-objek ruang angkasa oleh negara-negara peluncur.

2. Menyediakan suatu daftar terpusat mengenai objek-objek ruang angkasa yang akan ditetapkan serta diurus atas dasar kewajiban oleh PBB.

3. Membuat ketentuan tentang cara-cara tambahan untuk membantu mengidentifikasi objek-objek ruang angkasa.

Konvensi ini memakai prinsip penunjukan yurisdiksi atas dasar pendaftaran nasional (national registry). Prinsip ini akan memungkinkan pengidentifikasian yang tepat atas objek-objek ruang angkasa, yang pada gilirannya akan membantu dalam menentukan tanggung jawab dan menjamin hak untuk memperoleh kembali objek-objek tersebut. Pada Pasal IV Registration Convention menetapkan bahwa pendaftaran/pemberitahuan harus dilakukan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan bukan kepada ICAO (seperti yang ditetapkan pada Pasal 21 Konvensi Chicago


(39)

2. Lingkup Ruang ( Delimitasi ) Ruang Angkasa

Ruang merupakan dasar untuk menentukan suatu sistem hukum. Sehubungan dengan ini ruang angkasa merupakan jenis ruang yang baru dikenal dan yang paling menonjol ialah luas yang pada kenyataannya melampaui segala ukuran yang ada di dalam suatu kerangka hukum dan hubungan fisiknya dengan bumi kita.20

Prinsip kebebasan dalam outer space treaty 1967 itu terangkum dalam kalimat : “ Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lain, bebas Teori delimitasi ini lahir untuk memperkuat argumentasi klaim batas kedaulatan sebuah negara atas ruang udara sesuai dengan prinsip-prinsip hukum udara internasional. Namun teori ini juga dapat diterapkan untuk mengetahui batas ketinggian jelajah pesawat udara komersial. Sehingga apabila terjadi kecelakaan pesawat udara dapat dipakai sebagai dasar argumentasi yuridisnya.

Permasalahan mengenai sampai sejauh mana suatu negara berdaulat atas ruang udara diatas wilayahnya mulai muncul sejak Perang Dunia I, namun pasca Perang Dunia II persoalan justru mengarah ke arah yang lebih jauh , yakni ruang angkasa (outer space).

Dalam hukum ruang angkasa berlaku prinsip kebebasan yang tercantum dalam outer space treaty 1967 . Traktat Ruang Angkasa 1967 ini disahkan sepuluh tahun setelah Uni Soviet mengorbitkan Sputnik I.

20


(40)

untuk dieksplorasi dan pemanfaatan oleh setiap negara dan ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya itu tidak dapat dimiliki oleh negara-negara manapun juga, dengan alasan pemakaian atau pendudukan atau dengan cara apapun”. Hal ini berarti bahwa ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya bebas untuk dimanfaatkan. Akan tetapi, kepemilikan atas ruang angkasa dan benda-benda langit lainnya tidak dibenarkan.

Hukum udara internasional mengenal beberapa teori delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Antara lain Schater Air Space Theory diperkenalkan oleh Oscar Scahater. Jenks Free Space Theory (teori ruang angkasa bebas) diperkenalkan oleh C Wilfred Jenks, Haley’s International Unanimity Theory (teori persetujuan internasional) diperkenalkan oleh Andrew G. Haley dan Cooper’s Control Theory (teori pengawasan) diperkenalkan oleh John Cobb Cooper.

Banyaknya para ahli memberikan argumentasi keilmuan tentang delimitasi ruang udara dan ruang angksa. Mereka memberikan warna tersendiri dan pemahaman yang mendalam serta teliti. Pendapat mereka dijadikan sebagai doktrina (pendapat para ahli hukum) sebagaimana tertera dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional yang dijadikan sebagai sumber hukum formil bagi para hakim dalam memutus sebuah perkara hukum.

Namun ada juga beberapa teori yang dilahirkan dari organisasi internasional, perjanjian internasional, cara bekerja sebuah pesawat angkasa, cara bekerja transmisi gelombang radio, teori orbit satelit. Antara lain :


(41)

:

1. Teori ICAO (International Civil Aviation Organization). Teori ini berdasarkan pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan segenap annex-nya yang menggunakan batas berlakunya ketentuan hukum udara internasional. Dimulai batas maksimum yang dapat dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan mendefinisikan pesawat udara sebagai”. Setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir karena reaksi udara (any machine can derive support in the atmosphere from the reaction of the air). Konvensi ini tidak menyebutkan secara jelas dan pasti batas ketinggian kedaulatan suatu negara atas ruang udaranya. Dapat dikatakan bahwa ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada reaksi udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25 mil sampai 30 mil dari permukaan bumi atau sekitar 60.000 kaki.

2. Teori Transmisi Radio. Teori ini didasarkan pada sifat gelombang yang memancar melalui perantaraan konduktor atmosfir udara dapat ditentukan bahwa batas ruang angkasa dimulai dari batas maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat menembus batas tersebut melainkan kembali memantul ke bumi ketinggian berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil dari permukaan bumi.

3. Teori Outer Space Treaty 1967. Teori ini memberi batas antara ruang udara dan ruang angkasa berdasarkan teori titik terendah orbit suatu satelit atau suatu space objects. Pembatasan teori outer space treaty bersifat tidak pasti. Hal ini bergantung pada karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan atmosfir di suatu orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai pada


(42)

ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi yang merupakan batas ketinggian minimum (lower limit) dari suatu orbit satelit.

4. Teori GSO (Geo Stationary Orbit). Teori ini dipakai oleh negara-negara “kolong” dimana negaranya dilalui garis khatulistiwa termasuk Indonesia untuk memperjuangkan klaim hak-hak berdaulat, mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di ruang angkasa yang berbentuk cincin ketinggian berkisar 36.000 km dari permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan perjuangan negara-negara equator (khatulistiwa) untuk memperoleh preferential rights atas GSO (Ida Bagus Rahmadi Supancana, E Saefullah Wiradipradja, Mieke Komar Kantaatmadja, 1988). Ide ini diusulkan pada sidang ke-22 sub komite hukum UNCOPOUS (United Nations Committee of Peacefull of Outer Space) untuk memperkuat argumentasi yuridis atas kekayaan alam ruang angkasa bagi negara-negara khatulistiwa.

5. Teori Pesawat Lockheed U-2 Milik Amerika Serikat dengan kemampuan terbang berkisar 78. 000 kaki. Pesawat LU-2 jenis pengintai ini ditembak jatuh oleh USSR. Sehingga menimbulkan perang argumentasi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes Amerika karena pesawat udaranya telah memasuki wilayah udara Uni Soviet. Sebaliknya, Amerika berdalih bahwa pesawatnya terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah ruang angkasa yang bebas dari klaim kedaulatan dari negara manapun. Pihak USSR berpegang pada Air Code Soviet yang berbunyi “The Complete and exclusive sovereignity over the airspace of USSR shall be long to the USSR.Air space of USSR shall be deemed to be the air space above the land and water territory of


(43)

the USSR including the space above territorial waters as determined by laws of USSR and by international treaties”

6. Teori Space Shuttle atau teori Orbiter. Dilahirkan dari pemikiran penulis untuk,memperkuat argumentasi yuridis masalah status hukum pesawat ulang-alik yang banyak menimbulkan silang pendapat di kalangan ilmuan hukum udara. Beberapa ilmuan hukum udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang penundukan hukum atas pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hukum ruang angkasa dan di sisi lain tunduk pada hukum udara internasional. Karena sifat-sifat kendaraan tersebut selalu berubah-ubah, kadang sifatnya sebagai pesawat angkasa dan juga sebagai pesawat udara biasa (K Martono, 1987). Untuk memperkuat argumen yuridis terhadap teori yang penulis lahirkan berkenaan dengan batas delimitasi ruang udara dan ruang angkasa dapat dilihat dari proses kerja pesawat ulang alik pada saat menjalankan misinya. Meluncur ke ruang angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap ascend/launching (peluncuran), tahap orbital (penempatan ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali ke bumi memasuki atmosfir). Tuurunya pesawat dengan gaya aerodinamis menggunakan reaksi udara mirip pesawat udara komersial biasa. Dari proses kerja pesawat ini dapat diambil teori penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Teori tersebut adalah batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan terbakar disusul dua roket pendorong lepas pada ketinggian 50 mil dari permukaan bumi. Teori baru dari hasil pemikiran penulis ini mudah-mudahan dapat menambah khasanah bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum udara dan ruang angkasa.


(44)

F. Komersialisasi Ruang Angkasa

Suatu era baru telah dimulai di dalam perkembangan kegiatan keantariksaan. Kegiatan keruangangkasaan itu meliputi semua hal mengenai eksploitasi bulan beserta benda langit lainnya, dan pemanfaatan ruang angkasa sebagai suatu ruang. Kegiatan itu antara lain meliputi proses penempatan peralatan eksploitasi, kegiatan eksploitasi dan pengangkutan ke bumi hasil eksploitasi, kemudian kegiatan ruang angkasa itu meliputi proses penempatan dan pengoperasian benda-benda angkasa ke ruang angkasa.

Kini pada abad modern ini, telah berkembang dan meningkat pesat salah satu bentuk kegiatan keruangangkasaan yakni komersialisasi ruang angkasa. Letak ruang angkasa yang jauh dari daratan bumi tidak menghalangi manusia untuk melakukan aktivitas yang memberikan keuntungan yanag berlipat ganda. Bukti-bukti yang terus bertambah, terutama di negara-negara industri maju, telah menyangkal kebenaran sindiran “ outer space is a waste of taxpayers’ money”.

Kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam aktivitas komersial ruang angkasa adalah sebagai berikut :21

1. Telekomunikasi dan Informasi

Kegiatan telekomunikasi dan informasi ini pada awalnya menitik beratkan untuk kepentingan pelayanan dan search rescue. Namun dalam perkembangannya kemudian memperluas pelayanan jasa-jasanya menjadi suatu jaringan komunikasi global untuk pelayanan mobile communication, misalnya untuk mereka yang bergerak di bidang penerbitan, pengelolaan, data, hukum, tata buku, periklanan

21

Supancana, I.B.R Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, 2003, CV. Mitra karya, Jakarta.Hal 56


(45)

dan peningkatan secara tajam jenis-jenis space communication dari hanya voice menjadi bentuk jasa-jasa lain seperti navigation, direct broadcasting, messages, digital radio, multimedia. Kemudian juga perluasan pemanfaatan orbit bumi dan pengembangan jasa jaringan infrastruktur informasi global.

2. Transportasi Ruang Angkasa

Kegiatan transportasi ruang angkasa mengalami peningkatan frekuensi peluncuran secara drastis, klasifikasi jenis flight intrumentalifies pun semakin bervariasi. Yang termasuk kegiatan transportasi ruang angkasa adalah:22 1) Penempatan/peluncuran satelit-satelit pada orbitnya

2) Pemasokan akomodasi stasiun ruang angkasa 3) Wisata di ruang angkasa

4) Pembangunan instalasi bagi industri di bidang ruang angkasa

5) Kemudian bahkan ada suatu kemungkinan dibuatnya pemukiman di ruang angkasa

3. Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Teknologi satelit penginderaan jauh telah mengalami suatu kemajuan yang pesat sehingga mampu menghasilkan citra dengan resolusi yang sangat tinggi, demikian juga perangkatnya yang makin bervariasi. Pemanfaatan hasil citra dari penginderaan jauh juga semakin bervariasi, antara lain seperti:

a. Untuk kepentingan-kepentingan sumber daya alam hayati dan non hayati

b. Pertanian, pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan, tata kota, pelestarian hujan, kehutanan, pencegahan bencana alam dan lain-lain.

22


(46)

Hasil dari penginderaan jauh ini sangat berguna dan dibutuhkan untuk menunjang upaya pembangunan bagi negara-negara khususnya Negara berkembang.

4. Penyiaran Langsung (Direct Broadcasting)

Dengan adanya penyiaran langsung ini, prospek dari penyelenggaraan jasa satelit langsung juga melonjak dengan pesat, baik untuk kepentingan televise (signal TV) maupun kepentingan radio (digital radio). Melalui jasa satelit penyiaran langsung ini maka daerah-daerah yang selama ini tidak dapat dijangkau dengan siaran TV dan radio akan mulai dapat terjangkau sehingga informasi dapat disebarluaskan ke seluruh daerah.

5. Penambangan di Ruang Angkasa (mining)

Salah satu yang mendorong penambangan di ruang angkasa adalah semakin berkurangnya cadangan sumber daya alam di bumi, ditemukannya kandungan sumber daya mineral yang cukup besar seperti besi, alumunium dan titanium di bulan dan asteroid-asteroid tertentu.

6. Industri Fabrikan

Dari kegiatan industri fabrikan telah dikembangkan penelitian bagi kemungkinan-kemungkinan pengkajian usaha produksi logam mulia, semi konduktor dan obat-obatan. Selain itu telah disiapkan suatu rangkaian percobaan untuk menghasilkan produk seperti nikel dan semi nikel dalam kondisi tanpa bobot yang dikenal dengan program TT 500A.

7. Stasiun Ruang Angkasa


(47)

1) Merakit bangunan besar di ruang angkasa

2) Penelitian micrograviti untuk kepentingan industri informasi 3) Pengembangan ilmu pengetahuan tentang atmosfir dan kehidupan 4) Kegiatan perbaikan dan pemeliharaan satelit di ruang angkasa 5) Pemeliharaan plat form ruang angkasa

G. ... Kepe ntingan Negara Peluncur Dan Kedudukan Negara Kolong

1) Kepentingan negara peluncur

Kepentingan negara peluncur yang umumnya didominasi oleh negara-negara maju yang telah terlebih dahulu memanfaatkan ruang angkasa khususnya kawasan orbit geostationer itu secara komersil adalah merupakan bentuk kemampuan mereka dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi ruang angkasa. Serta tidak ada larangan bagi negara manapun di dunia ini untuk melakukan eksplorasi maupun eksploitasi ruang angkasa sepanjang untuk kepentingan negara-negara/pihak-pihak yang telah melakukan pemanfaatan ruang angkasa khususnya orbit geostationer secara komersil.23

23

Juajir Sumardi. Op. Cit. Hal 54

Suatu kenyataan yang terjadi pada masa sekarang ini, bahwa di dalam usaha pemanfaatan orbit geostationer terjadi suatu kepemilikan secara de facto, dimana apabila satelit suatu negara/pihak yang telah menempati satu tempat atau posisi di orbit geostationer (slot), maka seandainya satelit tersebut tidak dapat beroperasi lagi maka akan segera diganti dengan satelit yang baru milik suatu negara/pihak tadi.


(48)

Implikasi dari hal ini yaitu bahwa tidak ada suatu negara/pihak yang sebagai pemilik satelit akan meninggalkan slot-nya di orbit geostationer. Hal ini bila tidak diatur dengan ketentuan Hukum Internasional yang adil bagi semua negara, dapat menimbulkan suatu monopoli secara tidak langsung oleh sebagian negara maju di dalam perkembangan selanjutnya dalam pemanfaatan orbit geostationer tersebut.

2) Kedudukan negara kolong

Adapun yang dimaksud dengan negara kolong adalah negara-negara yang tepat berada di bawah garis khatulistiwa yang wilayahnya juga merupakan wilayah negara yang berada tepat di bawah kawasan orbit geostationer.

Kawasan orbit geostationer adalah merupakan suatu kawasan yang termasuk di dalam wilayah ruang angkasa, dan prinsip Hukum Internasional yang berlaku bagi wilayah ruang angkasa tidak ada menetapkan suatu ketentuan yang mengatur mengenai kedaulatan bagi negara-negara atas wilayah ruang angkasa.

Dalam perkembangan Hukum Ruang Angkasa dewasa ini, yang dikaitkan dengan semakin gencarnya usaha yang dilakukan negara-negara/pihak-pihak dalam pemanfaatan orbit geostationer, telah disadari tentang diperlukannya status hukum yang tegas dan berlaku secara internasional bagi objek-objek ruang angkasa yang diluncurkan. Hal ini berkaitan dengan masalah kedaulatan negara-negara yang dilintasi oleh objek-objek ruang angkasa, pada saat objek-objek ruang angkasa tersebut sedang berada di ruang udaar negara yang sedang dilintasinya, baik dalam perjalanan menuju orbit atau ketika sedang kembali kebumi.


(49)

Wilayah negara-negara kolong dapat saja tertimpa satelit atau benda-benda buatan manusia lainnya yang diluncurkan keluar angkasa pada waktu yang tidak diduga/ditentukan sebelumnya. Bila dipandang dari sudut akibatnya, sebagaimana diketahui benda angkasa buatan manusia yang diluncurkan keruang angkasa ada yang mempergunakan sumber tenaga nuklir, maka jika benda tersebut jatuh dapat mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan/ keselamatan umat manusia, makhluk lain dan lingkungan disekitar jatuhnya benda tersebut.

Efek yang dapat timbul oleh jatuhnya benda angkasa yang masih mengandung bahan radioaktif yang jatuh dipermukaan bumi daapat dikemukakan sebagai berikut24

1. Efek jangka pendek, terbagi atas dua tipe yaitu tipe ringan dan tipe berat. Gejala-gejala yang nampak pada tipe ringan adalah : sakit tenggorokan, demam malaise, kelelahan, purpura dan haemoglobin serta leukosit berkurang secara drastis. Tipe berat akan ditandai dengan gejala-gejala seperti : timbulnya penyakit tertentu (kanker kulit, paru-paru, tulang dan lain-lain) yang biasanya terjadi lebih awal dan sulit pengobatannya.

:

2. Efek jangka panjang , yaitu terjadinya kerusakan terhadap bahan genetik yang dapat mengakibatkan adanya kelainan pada genesis keturunan, manusia yang terkena efek jangka panjang ini akan mengakibatkan keturunannya yang lahir dalam keadaan cacat.

24


(50)

3. Efek lambat, yaitu radiasi yang mengenai tubuh akan merusak organ-organ tubuh secara pelan-pelan dan baru akan menimbulkan bahaya yang fatal setelah bertahun-tahun.

4. Terjadinya kontaminasi terhadap objek-objek lain di sekitar jatuhnya benda angkasa tesebut, antara lain pada udara, air, makanan dan objek lainnya.

Dalam suatu pertemuan yang diadakan di Bogota (Kolombia) pada tahun 1976) beberapa negara yang termasuk ke dalam kelompok negara-negara khatulistiwa yaitu Brazil, Kolombia, Ekuador, Kongo, Zaire, dan Indonesia telah menuangkan kesepakatan-kesepakatan mereka dalam deklarasinya yang menyatakan suatu tuntutan atas orbit geostationer yang berada tepat diatas wilayah mereka.

Adapun yang menjadi tuntutan negara-negara tersebut bukanlah merupakan suatu tuntutan yang berdasarkan pada aspek kewilayahan (teritorial claim), akan tetapi lebih merupakan reaksi terhadap ketidakadilan dalam pemanfaatan orbit geostationer yang pengaturannya selama ini lebih bertumpu pada doktrin “ first come first served”. Akibat dari penerapan doktrin ini, maka telah sebagian besar kemampuan jalur orbit geostationer didominasi oleh negara-negara maju, sebaliknya bagi negara-negara-negara-negara berkembang masih belum dapat memanfaatkannya disebabkan oleh banyaknya keterbatasan-keterbatasan yang ada.


(51)

BAB III

PRINSIP TANGGUNG JAWAB NEGARA MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

A. Konsep Timbulnya Tanggung Jawab Negara

Lingkup dari tanggung jawab negara itu banyak sekali dipengaruhi oleh perkembangan daripada masyarakat internasional itu sendiri. Kemudian pengertian mengenai tanggung jawab itu sendiri di pengaruhi juga oleh perkembangan dari kegiatan-kegiatan, akibat-akibat, juga sifat dari suatu kerugian yang timbul dari kegiatan tersebut dan serta pengaturan dari aspek-aspek tersebut.

Tiap-tiap negara secara internasional bertanggungjawab atas kegiatan-kegatan spasial yang dilakukannya. Negara juga harus mengawasi prakarsa-prakarsa swasta dan menjaga agar kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan perjanjian Ruang Angkasa.25

Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara tegas dibatasi pada pertanggungjawaban negara bagi tindakan–tindakan yang secara internasional tidak sah. Hal ini merupakan tanggung jawab negara secara tegas , sumber dari

Sering tindakan yang diambil oleh suatu negara menimbulkan luka terhadap , atau penghinaan atas, martabat atau kewibaan negara lain. Kaidah-kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaaan dimana, dan prinsip-prinsip dengan mana, negara yang dirugikan berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya.

25

Boer Mauna, Hukum Internasional “Pengertian Peranan Dan Fungsi DalamEra


(52)

tanggung jawab tersebut adalah suatu tindakan atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum internasional. Akan tetapi, dapatkah tanggung jawab dibebankan terhadap negara-negara berkenaaan dengan tindakan-tindakan yang tidak merupakan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum internasional, misalnya tindakan perdata tanpa memandang apakah tindakan itu bertentangan atau tidak dengan hukum domestik.

Pengenaan kewajiban yang diberikan bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah akan bergantung pada keadaan-keadaan kasusnya. Yang paling lazim negara yang dirugikan akan berusaha memperoleh pelunasan (satisfaction) melalui perundingan-perundingan diplomatik, dan apabila hanya menyangkut kehormatan, pada umumnya hanya dengan suatu pernyataan maaf secara resmi dari negara yang bertanggung jawab atas suatu jaminan bahwa persoalan yang diprotes tidak akan terulang lagi. Namun penggantian dalam bentuk uang, yang dibedakan dari pelunasan (satisfaction), kadang-kadang perlu, khususnya apabila terjadi kerugian materi.

Kesalahan atau kerugian-kerugian yang menimbulkan tanggung jawab negara beragam jenisnya. Dengan demikian suatu negara bertanggung jawab karena melanggar traktat, berkaitan dengan tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban kontraktual, karena kerugian-kerugian terhadap warga negara dari negara lain dan sebagainya. Pelanggaran kewajiban negara dapat berupa suatu tindakan ataupun kelalaian.

Tanggung jawab negara diatur oleh standar-standar hukum internasional dan hal itu bergantung pada hukum internasional mengenai apakah dan sejauh


(53)

manakah tindakan atau kelalaian dari suatu negara tertentu dianggap sah atau tidak sah. Apabila tindakan-tindakan atau kelalaian-kelalaian suatu negara yang diukur oleh standar-standar tersebut dinyatakan sah, maka tanggung jawab negara tidak akan timbul.

Hal penting lainnya terkait dengan tanggung jawab negara yakni sejauh mana negara terlibat atau dapat dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas yang sangat membahayakan, misalnya percobaan-percobaan nuklir, pengembangan energi nuklir, eksplorasi ruang angkasa dan sonic boom dari jenis pesawat baru.

1. Konsep Imputabilitas dan Atributalitas

Tindakan pelanggaran internasional merupakan sumber dari timbulnya tanggung jawab negara, maka penting dikemukakan mengenai keterkaitan (imputability). Pelanggaran-pelanggaran kewajiban oleh badan-badan negara dapat dikaitkan kepada negara yang dituntut menurut kaidah-kaidah hukum internasional meskipun menurut hukum nasional tindakan-tindakan demikian tidak ada kaitannya dengan negara itu, karena misalnya badan yang terkait telah bertindak diluar lingkup kewenangannya.26

1) tindakan suatu organ atau pejabat negara yang melanggar kewajiban yang telah ditetapkan di dalam suatu kaidah hukum internasional;

Keterkaitan tersebut bergantung pada pemenuhan dua syarat berikut :

2) bahwa menurut hukum internasional, pelanggaran tersebut akan diatribusikan kepada negara terkait.27

26

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, hlm. 404.

27


(54)

Dengan adanya imputability, keterkaitan tersebut secara langsung berhubungan dengan konsep atributalitas (hubungan antara tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan negara) yang menimbulkan tanggung jawab negara.

Dalam aturan tradisional, Dionisio Anzilotti mempunyai pemikiran mengenai konsep atributalitas yang menganalisa persyaratan untuk mengatribusikan wrongful act kepada negara. Secara umum tindakan-tindakan individu seperti mencuri, merusak, membunuh atau tindakan-tindakan lain adalah suatu hal tersendiri di luar tanggung jawab negara. Dalam sistem hukum internasional, pertanggungjawaban negara hanya akan dilibatkan apabila tindakan individu tersebut mengakibatkan negara melanggar norma hukum internasional. ...international law regards acts injuring or offending foreign State committed by individuals as individual acts not attributable to the State; but it combines with these acts particular international obligations, and corresponding duties; a liability of the State for a wrongful act, accordingly, arises not in consequence of the individual’s action, but only from the failure to meet the obligations that international law combines therewith (hukum internasional menganggap tindakan melukai atau menyinggung Negara asing yang dilakukan oleh individu sebagai tindakan individu tidak disebabkan oleh Negara; tetapi menggabungkan dengan tindakan kewajiban internasional tertentu, dan tugas yang sesuai, kewajiban Negara untuk tindakan yang salah, sehingga tidak muncul konsekuensi dari


(55)

tindakan individu, tetapi hanya dari kegagalan untuk memenuhi kewajiban hukum internasional yang menggabungkan tindakan/pelanggaran tersebut).28

…from the viewpoint of international law is not hing other than the consequence of the relationship of causality that exist between an act contrary to the law of nations and the activity of the State that is the author of that act.

Maka konsep atribusi yang murni dari sudut pandang hukum internasional, tidak lebih dari konsekuensi hubungan sebab akibat antara tindakan yang berlawanan dengan hukum internasional dan aktivitas negara yang menjadi pelaku tindakan tersebut.

29

Jika Anzilotti memakai istilah wrongful act, maka berbeda dengan Oppenheim memakai istilah tindakan pelanggaran internasional dengan istilah International Delinquencies. Menurut Oppenheim istilah tersebut adalah kerugian yang disebabkan oleh suatu negara yang dilakukan oleh organ negara atas pelanggaran hukum internasional. International delinquencies, merupakan suatu

Dionisio Anzilotti menegaskan bahwa tidak ada yang lebih absurd selain daripada ide bahwa kekuasaan negara dijalankan lewat otoritas yang diberikan oleh hukum internasional. Maka atribusi dari internationally wrongful act tidak mengikat hukum domestik dan internasional secara bersamaan. Karena hukum domestik menentukan apakah pelaku wrongful act tersebut dapat dikategorikan sebagai agen negara, sementara hukum internasional mangatribusikan apakah tindakan tersebut memiliki kualitas di mata hukum internasional.

28

www.ejil.org/journal/Vol3/No1/art8-01.html. Pierre-Marie Dupuy, Dionisio Anzilotti

and The Law of International Responsibility of States, 30 Maret 2006. 29


(56)

istilah yang menerapkan pada pengertian pelanggaran atas keberadaan dan ketentuan dalam suatu perjanjian dengan obyek yang berbeda. Obyek dalam pelanggaran internasional dapat berupa keadaan suatu negara yang dirugikan dalam hubungan dengan hal kemerdekaan sampai pada hal intervensi yang tidak pada tempatnya; dalam hubungan dengan perjanjian sampai pada suatu tindakan yang melanggar suatu perjanjian; atau dalam hubungan dengan hak perlindungan atas warganegara yang berada di luar negeri melalui tindakan yang melanggar hak perorangan atau hak milik salah satu warga negaranya luar negeri.

Oppenheim berpikiran mengenai tindakan yang dapat dikategorikan (diatribusikan) sebagai tindakan negara, bahwa negara sebagai subyek yang berdaulat tidak dapat dibebani pertanggungjawaban. Pandangan ini hanya benar apabila dikaitkan dengan tindakan-tindakan negara terhadap warganya.

It is often maintained that a State, as asovereign person, can have no legal responsibility whatever. This is only correct with reference to certain acts of a State towards its subjects (Hal ini sering menyatakan bahwa suatu Negara, sebagai pribadi asovereign, bisa tidak memiliki tanggung jawab hukum apapun. Ini hanya benar dengan mengacu pada tindakan tertentu dari suatu Negara terhadap warga negaranya).

Keadaan tersebut akan berbeda dalam hubungan suatu negara dengan negara lainnya. Negara berkedudukan sebagai subyek hukum internasionaln dan memiliki pertanggungjawaban dalam arti hukum yang melekat pada dirinya. Dalam bukunya, Oppenheim membedakan responsibility secara original (asli) dan vicarious (pengganti).


(57)

a. Original Responsibility

Tanggung jawab ini dipikul oleh negara atas tindakan pemerintahnya, tindakan pegawai pemerintah, atau atas tindakan individu yang dijalankan lewat instruksi pemerintah atau otorisasinya.

An international delinquency is any injury to another State committed by the head or Government of a State in violation of an international legal duty. Equivalent to acts of the Head or Government are acts of officials or other individuals commanded or authorized by the Head or Government (Sebuah pelanggaran internasional merugikan negara lain yang dilakukan oleh kepala atau Pemerintah dari Negara yang melanggar suatu kewajiban hukum internasional. Setara dengan tindakan Kepala atau Pemerintah adalah tindakan pejabat atau individu lain yang diperintahkan atau diberi kuasa oleh Kepala atau Pemerintah).30

Oppenheim mengatakan bahwa, “ International delinquencies in the technical sense of the term must not be confused with so-called ‘Crimes against the Law of Nations’ (Pelanggaran internasional dalam pengertian teknisnya tidak Tindakan oleh pemerintah atau kepala pemerintahan yang dimaksud adalah tindakan pejabat atau individu lain yang diperintahkan atau yang diberi hak atau wewenang oleh pemerintah atau kepala pemerintahan. Pengertian menyeluruh tentang suatu pelanggaran internasional dapat berarti dari pelanggaran biasa atas kewajiban perjanjian, menyertakan tidak lebih daripada kompensasi yang berhubungan dengan uang, sampai pada pelanggaran hukum internasional yang melibatkan tindakan kriminal dalam arti umum.

30

H. Lauterpacht, International Law A Treaties by L. Oppenheim,vol. 1, Eight Edition, London, Longmans, 1955, hlm. 338.


(1)

jatuhnya benda ruang angkasa dan begitu juga dengan negara-negara lainnya juga harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip/ketentuan hukum internasional.

3. Diharapkan Indonesia maupun negara-negara lainnya secara internasional harus dapat memahami dan mengerti mengenai tata cara pengajuan ganti rugi sesuai dengan Liability Convention 1972 maupun pengaturan lainnya secara internasional sehingga adanya suatu kepastian dalam penerapan ganti rugi yang disebabkan oleh peluncurun benda ruang angkasa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU :

Abdurrasyid, Priyatna. 1975. Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967. Bandung : Bina Cipta.

______.1989. Hukum Antariksa Nasional. Jakarta : Rajawali.

Akehurst, & Malanczuck, Peter. 1997. Modern Introduction to International

Law, 7th Edition, Routledge.

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2003. Hukum Internasional, Bunga Rampai. Bandung : Alumni.

Brownlie, Ian.1986. Systems of The Law of Nations, State Responsibility Part I, Oxford, London.

Dixon, Martin and McCorquodale, Robert. 2000. Cases and Materials on International Law Third Edition. London : Blackstone Press Limited.

Evan, D. Malcolm. 2001. International Law Documents, Fifth Edition. , London : Blackstone Press Limited.


(2)

jatuhnya benda ruang angkasa dan begitu juga dengan negara-negara lainnya juga harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip/ketentuan hukum internasional.

3. Diharapkan Indonesia maupun negara-negara lainnya secara internasional harus dapat memahami dan mengerti mengenai tata cara pengajuan ganti rugi sesuai dengan Liability Convention 1972 maupun pengaturan lainnya secara internasional sehingga adanya suatu kepastian dalam penerapan ganti rugi yang disebabkan oleh peluncurun benda ruang angkasa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU :

Abdurrasyid, Priyatna. 1975. Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967. Bandung : Bina Cipta.

______.1989. Hukum Antariksa Nasional. Jakarta : Rajawali.

Akehurst, & Malanczuck, Peter. 1997. Modern Introduction to International

Law, 7th Edition, Routledge.

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2003. Hukum Internasional, Bunga Rampai. Bandung : Alumni.

Brownlie, Ian.1986. Systems of The Law of Nations, State Responsibility Part I, Oxford, London.

Dixon, Martin and McCorquodale, Robert. 2000. Cases and Materials on International Law Third Edition. London : Blackstone Press Limited.

Evan, D. Malcolm. 2001. International Law Documents, Fifth Edition. , London : Blackstone Press Limited.


(3)

Green, L.C. 1978. International Law through the Cases. Toronto : The Carswell Co. Ltd.

John O’Brien, International Law. 2001. London : Cavendish Publishing Limited.

Kantaatmadja, Mieke Komar. 1984. Berbagai Masalah Hukum dan Ruang Angkasa. Bandung : Remaja Karya.

Kelsen, H. 1952. Principles of International Law. New York : Rinehart. Kusumaatmadja, Mochtar LLM. 1977. Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bonacipta.

Lachs, Manfred, The Law of Outer Space, Sitjhoff, Leiden, 1972.

Lauterpacht, H., International Law A Treaties by L. Oppenheim,vol. 1, Eight Edition, Longmans, London, 1955.

Mauna, Boer. 2000. Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung : Alumni.

M.A. Fitzgerald, P.J. 1966. Salmond on Jurisprudence, Twelfth Edition. London : Sweet and Maxwell.

Putra, Ida B. W. 2001. Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa, Bandung : Refika Aditama.

Starke, J. G. 1977. An Introduction to International Law, Eight Edition. London : Butterworths & Co. Publisher Ltd.

_______ . 1992. Pengantar Hukum Internasiona l 1, Edisi Kesepuluh. Jakarta : Sinar Grafika.


(4)

Sumardi, Juajir. 1996. Hukum Ruang Angkasa (Suatu pengantar). Jakarta : Pradnya Paramita.

Sunggono, Bambang. 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Supancana, I.B.R. 2003. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan. Jakarta : CV Mitra Karya.

Tsani, Mohd. Burhan. 1990. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta : Liberty.

Verschoor. Persamaan dan Perbedaan Antara Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa, Sinar Grafika

Zwanzerberger, Georg. 1971. International Law and Order, Steven & Sons Ltd., London.

B. ARTIKEL :

Fristikawati,Yanti, catatan kuliah Hukum Lingkungan Internasional, Jumat, 17 Februari 2006

Starke, J. G., “Imputability in International Delinquencies”, “The British Year Book of International Law”, 1938 London, vol. 19, p. 105 1953-III, vol. 84, Leyden, Sijthoff, 1955

The British Year Book of International Law 1938, London, 1975, vol. II The Canadian Yearbook of International Law, Vol. XXV, 1987, University of British Columbia Press, Vancouver, 1988


(5)

Dupuy, Pierre-Marie, Dionisio Anzilotti and The Law of International Responsibility of States, www.ejil.org/journal/Vol3/No1/art8-01.html , 30 Maret 2006.

Esmaeili, Hussein, “Class Notes Public International Law”, www.rmmlf.org/pubs/plr/PLR 2000-04 article.htm, week 10, May 2003. Roy, Guha, “Is the Law of Responsibility of States for Injuries to Aliens a Part of Universal International Law? 55 A.J.I.L. 863,888-90 (1961)”, www. http://www.usapears.com//injurytoaliens, 18 Mei 2006.

Spined, M. & Simma, B., “United Nations Codification of the StateResponsibility”, 1987. www.un.org/law/ilc/introfra.htm, Februari 2006. Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nicaragua v. United States of America), Merit , Judgment, I.C.J. Reports 1986., www.icj-cij.org, 2 Februari 2006.

Report of the Commission on the Work of its Twenty-Second Session, 1970, www.un.org/law/ilc/introfra.htm, 2 Februari 2006.

D. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL : 1. KONVENSI:

Treaty on Principles governing the Activities of State in the Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and Other Celestical Bodies 1967. Agreement on the Rescue of Astronouts, the Return of Astronouts and the Return of Objects Launched into Outer Space 1968.

Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972.


(6)

Convention Concerning the Registration of Objects launched Into Space for the

Exploration or Use of Outer Space 1975.

2. DOKTRIN:

ILC Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts