FAKTOR FAKTOR RESILIENSI PADA IBU DENGAN

FAKTOR-FAKTOR RESILIENSI PADA IBU DENGAN ANAK PENYANDANG
TUNA RUNGU
Ummi Kulsum
Mahasiswa: Psikologi/ FISIP
Universitas Brawijaya
Malang, Jawa Timur
ABSTRACT
This study aim to understand and know factors of resilience mothers with child
hearing impairment. This study uses qualitative methods with phenomenological
approach. Techniques of data collection use semi-structured interviews and nonparticipant observation. Analysis techniques use coding of open coding, axial coding and
selective coding.There are three subjects in this study, all three showed factors
resilience. Factor of resilience on subjects AT and HN are emotional regulation, impulse
control, optimistic, causal analysis, emphaty, self-efficacy, and reaching out. While
factors of resilience subject TN are emotional regulation, impulse control, optimistic,
causal analysis, emphaty, and reaching out. She felt lack of ability to give best treatment
for her children because how cost is expensive to pay.
Key words: Resilience Factors, Mother, Hearing Impairment

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui faktor-faktor resiliensi
ibu dengan anak penyandang tunarungu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
semi terstruktur dan observasi non-partisipan. Analisis data menggunakan koding yaitu
open coding, axial coding dan selective coding. Terdapat tiga subyek dalam penelitian
ini, ketiganya menunjukkan faktor-faktor beresiliensi. Pada subyek AT dan HN
beresiliensi dengan Emotional Regulation, Impulse Control, Optimis, Causal Analysis,
Emphaty, Self-Efficacy, dan Reaching Out. Sedangkan subyek TN beresiliensi dengan
Emotional Regulation, Impulse Control, Optimis, Causal Analysis, Emphaty, dan
Reaching Out. Ia merasa kurang mampu untuk memberikan penanganan terbaik untuk
anaknya karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
Kata kunci: Resiliensi, Ibu, Anak tuna rungu

1

2

PENDAHULUAN
Setiap orang pasti menginginkan memiliki keluarga yang sempurna. Keluarga memiliki
peran penting bagi perkembangan anak. Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama
untuk perkembangan setiap anak. Keluarga yang harmonis akan memberikan dampak yang
positif terhadap perkembangan anak tanpa adanya konflik yang terjadi dalam keluarga.

Namun, kondisi keluarga menjadi berbeda ketika salah satu dari anggota keluarganya terlahir
dengan kebutuhan khusus (Semiawan dan Mangunsong, 2010).
Kelahiran seorang anak memiliki dampak yang sangat signifikan pada dinamika
sebuah keluarga (Semiawan dan Mangunsong, 2010). Keluarga, khususnya orang tua yang
mendapati salah satu dari anaknya merupakan anak berkebutuhan khusus, mengalami
perubahan yang lebih kompleks dan lebih berat, setidaknya perlu penyesuaian lebih agar
dapat diterima di masyarakat serta rutinitas sehari-hari dalam keluarga menjadi terganggu.
Kebutuhan khusus yang dimiliki anak dapat pula berdampak lebih jauh, misalnya pada
keharmonisan dan karir seseorang (Mangunsong, 2009). Memiliki anak yang berkebutuhan
khusus mempengaruhi ibu, ayah, dan semua anggota keluarga dengan cara yang bervariasi.
Suran dan Rizzo mendefinisikan bahwa anak yang memiliki kebutuhan khusus
sebagai anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari
fungsi kemanusiaan. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat
dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi
mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan
emosional (Semiawan dan Mangunsong, 2010). Tuna rungu menurut Hallahan dan Kauffman
merupakan satu istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang
ringan sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang dengar (a
hard of hearing) (Wardani, Astati, Hernawati dan Somad, 2007).


3

Masalah utama pada anak dengan gangguan pendengaran adalah

masalah

komunikasi. Penderitaan anak tunarungu berpangkal dari kesulitan mendengar, sehingga
pembentukan

bahasa

sebagai

salah

satu

cara

berkomunikasi


menjadi terhambat

(Mangunsong, 2009). Ketidakmampuan berbahasa pada anak khususnya secara verbal, akan
mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran, perasaan, gagasan, kebutuhan dan
hendaknya pada orang lain, sehingga kebutuhan mereka kurang terpuaskan secara sempurna.
Disamping tidak dimengerti oleh orang lain, anak tuna rungu sukar memahami orang lain,
sehingga tidak jarang mereka terkucil atau terisolasi dari lingkungan sosialnya (Mangunsong,
2009).
Menghadapi respon masyarakat bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus bukanlah hal yang mudah. Masyarakat terkadang dapat bereaksi tidak sepantasnya
atau bahkan kejam pada anak-anak yang berkebutuhan khusus (Mangunsong, 2009). Tekanan
dari masyarakat tidak hanya tertuju pada anak yang menderita tunarungu melainkan juga
pada orang tua dikarenakan anaknya berbeda dengan anak pada umumnya yang bisa
berkomunikasi dengan baik. Tekanan yang diterima oleh orang tua membuatnya merasa lebih
bersalah. Menurut Semiawan dan Mangunsong (2010) tingginya tingkat rasa bersalah
diantara para orang tua kemungkinan besar diakibatkan oleh kenyataan bahwa penyebab
utama dari kekhususan anaknya tidak diketahui. Para orang tua dapat merasa sangat rapuh
terhadap kritik dari pihak lain tentang bagaimana mereka menangani masalah-masalah
anaknya.

Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap orang tua yang memiliki
anak penyandang tunarungu pada tanggal 23 maret 2013, menyebutkan bahwa anaknya
sering mendapatkan cacian dari teman-temannya karena keadaannya yang tunarungu. Sering
kali masyarakat memperlakukan tidak baik kepada semua anggota keluarganya. Latar
belakang masyarakat mencaci ataupun memperlakukan tidak baik karena berkebutuhan

4

khusus yaitu tunarungu. Ibu yang dikenal menjadi pengasuh utama anak, sering kali merasa
bertanggung jawab atas kondisi anaknya. Ibu merasa lebih sensitif dan rapuh atas apa yang
terjadi pada anaknya. Oleh sebab itu, perlu penyesuaian yang lebih berat pada ibu atas
keadaan keluarga yang memiliki berkebutuhan khusus (AT, 2013).
Dukungan sosial yang diterima oleh orang tua dapat menolong mereka dalam
menghadapi tekanan membesarkan anak yang berkebutuhan khusus, sehingga perlu adanya
penyesuaian diri terutama dalam lingkungan masyarakat. Penyesuaian diri yang baik
merupakan sebuah bentuk kemampuan seseorang untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam
keadaan apapun yang dikenal dengan resiliensi. Menurut Reivich dan Shate (Desmita, 2010)
resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan
dengan kondisi yang sulit. Jackson mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu
untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit.

Orang tualah yang menjadi pokok dalah menghadapi persoalan-persoalan dalam
kehidupan keluarga dan individu-individu didalamnya. Pada penelitian ini orang tua yang
dimaksud adalah ibu. Faktor ibu adalah faktor yang sangat penting yang mana adalah
pengasuh utama. Ibu orang pertama yang berhubungan, melakukan kontak fisik dan
emosional dengan anak (Andayani dan Koentjoro, 2007). Gunarsa dan Gunarsa mengatakan,
kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral sangat penting untuk melaksanakan kehidupan.
Kepedulian

ibu terhadap anaknya dianggap sebagai reaksi naluriah. Ibu dapat

mengembangkan hubungan emosional yang kuat (Gunarsa dan Gunarsa, 2004). Anak juga
membutuhkan model yang tepat agar dalam perkembangannya anak dapat mencapai
kedewasaan yang matang secara sosial, emosional, intelektual dan spiritual, sehingga pada
berbagai budaya didunia pengasuhan dibebankan atau “dipercayakan” kepada ibu (Andayani
dan Koentjoro, 2007).

5

Ibu dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak dalam masa kanak-kanak
akhir. Hurlock (2002) menjelaskan bahwa akhir masa kanak-kanak akhir yaitu berumur enam

sampai tiga belas pada perempuan dan enam sampai enam belas tahun pada laki-laki.
Goleman (Desmita, 2010) juga menjelaskan perkembangan emosional pada masa kanakkanak akhir telah mampu mengklasifikasi kecerdasan emosional diantaranya, mengenali
emosi, mengelola emosi, motivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina
hubungan.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti akan mengkaji resiliensi pada ibu dengan
anak penyandang tuna rungu. Hal tersebut dimaksudkan agar ibu sebagai pengasuh utama
dapat mengetahui kemampuan dirinya dalam mengasuh anaknya serta memaksimalkan
kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari,
Mardiawan dan Prakoso (2011) menyebutkan memiliki anak autis merupakan tantangan bagi
orang tua, khusunya ibu dalam memberikan pendampingan dan pengasuhan pada anaknya.
Hal ini dikarenakan ibu yang memiliki anak autis memiliki stres yang lebih besar dan
penyesuaian yang lebih sulit dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan kesulitan
fisik dan intelektual lainnya, sehingga menjadikan alasan peneliti tertarik untuk meneliti lebih
dalam mengenai bagaimana cara ibu bertahan serta bangkit dari kesulitan-kesulitan yang
dialaminya serta hal-hal yang mempengaruhinya melalui faktor-faktor resiliensi.

TINJAUAN PUSTAKA
A. RESILIENSI
Resiliensi menurut Desmita, adalah suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan
dalam kehidupan seseorang karena kehidupan manusia senantiasa diwarnai adanya

adversity (kondisi yang tidak menyenangkan). Reivich dan Shate mengungkapkan

6

resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan
dengan kondisi yang sulit (Desmita, 2010).
Resiliensi menurut Luthar, merupakan suatu proses dinamis yang menuju pada
fungsi adaptasi ditunjukkan oleh kemalangan atau kesengsaraan para individu yang
signifikan. Menurut Kaplan, fokus dari fungsi adaptasi adalah menahan bahaya dari
identifikasi resiliensi yang merupakan karakteristik individu yang sukses dalam hidup,
mengikuti asumsi bahwa setiap orang dapat melakukannya jika mereka berusaha cukup
keras (Schoon, 2006).
B. FAKTOR-FAKTOR RESILIENSI
Menurut Reivich dan Shatte (Jackson dan Watkin, 2004) terdapat tujuh faktor dalam
resiliensi, yaitu:
1.

Emotional Regulation
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang
penuh tekanan.


2.

Impulse Control
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam dirinya.

3.

Optimism
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka yakin bahwa berbagai
hal dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan terhadap masa
depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah kehidupannya.

4.

Emphaty
Empati menggambarkan sebaik apa seseorang dapat membaca petunjuk dari orang
lain berkaitan dengan kondisi psikologis dan emosional orang tersebut.


7

5.

Causal Analysis
Analisis kausal merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada kemampuan
individu untuk secara akurat mengidentifikasi penyebab dari permasalahan mereka.

6.

Self-Efficacy
Self-efficacy menggambarkan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan
masalah yang dialaminya dan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk
mencapai kesuksesan

7.

Reaching Out
Reaching out menggambarkan kemampuan seseorang untuk mencapai keberhasilan.
Menunjukkan adanya keberanian untuk melihat masalah sebagai tantangan bukan

ancaman dan adanya kemampuan pada seseorang untuk mencapai keberhasilan di
dalam hidupnya.

C. HUBUNGAN IBU DAN ANAK
Ibu menurut Andayani dan Koentjoro (2007) adalah faktor terpenting dalam
perkembangan anak. Selama ini ibu-lah yang menjadi tokoh utama menentukan “warna”
dari perkembangan anak. Menurut Kartono, pada awalnya sang ibu wajib memuaskan
semua kebutuhan intinktual anaknya. Anak akan merasakan kasih sayang dan
kelembutan ibunya. Tugas selanjutnya dari ibu ialah mendidik anaknya. Sebab
disamping memelihara fisik, kini ia harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan
psikis anaknya, agar anaknya bisa mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya.
Ibu harus terus menerus melatih anaknya, agar anak mampu mengendalikan instinkinstinknya, untuk menjadi manusia beradap (Kartono, 2007).
D. MASALAH DAN DAMPAK KETUNARUNGUAN
Reaksi-reaksi yang tampak biasanya dapat dibedakan atas bermacam-macam pola
Somantri (2007), yaitu:
1. Timbul rasa bersalah atau berdosa

8

2. Orang tua menghadapi cacat anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak
memenuhi harapannya
3. Orang tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak-anak lain.
4. Orang tua menerima anaknya beserta keadaanya sebagaimana mestinya

METODE
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Penelitian ini menggunakan 3 ibu dengan karakteristik pemilihan subyek yaitu
ibu yang memiliki anak tuna rungu dengan rentang usia 6-11tahun (masa kanak-kanak akhir),
tinggal dan hidup bersama anaknya. Selain data primer yaitu ibu, peneliti juga memperoleh
data sekunder dari suami dan orang tua subyek.
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur dan observasi non
partisipan serta dokumentasi. Teknik analisa data menggunakan coding yaitu open coding,
axial coding dan selective coding (Emzir, 2010). Keabsahan data dalam penelitian ini
menggunakan

Derajat

Kepercayaan

(Credibility/Validitas

Internal),

Keteralihan

(Transferability/Validitas Eksternal), Keajegan (Depenability/Reliabilitas), dan Kepastian
(Confirmability/Objektivitas) Prastowo (2012).

HASIL
Berdasarkan analisa hasil penelitian yang dilakukan pada ketiga subyek menggunakan
coding sehingga menghasilkan ringkasan sebagai berikut:
Tabel 7. Ringkasan Faktor-Faktor Resiliensi Pada Setiap Subyek
Faktor
Subyek AT
Pembentuk
Emotional
Ketika anaknya diejek
Regulation dan diperlakukan tidak
baik, AT merasa kesal
namun
ia
mampu

Subyek TN

Subyek HN

Ketika
anaknya
diejek, TN merasa
sedih
namun
ia
mampu

Ketika anaknya diejek
dan
diperlakukakn
tidak
baik,
HN
berusaha

9

Impulse
Control

Optimism

Emphaty

Causal
Analysis
SelfEfficacy

ReachingOut

mengendalikan
perasaanya. Cara ia
meluapkan
kekesalannya
ialah
dengan bercerita kepada
ibu mertuanya
Menerima
kondisi
anaknya serta tidak
malu memiliki anak
Tuna rungu
Yakin bahwa AU akan
mampu berbicara
Saling membantu dan
peduli kepada sesama
orang yang bernasib
sama dengan anaknya
Karena
penyandang
tuna rungu sehingga
sering diejek
Berusaha semaksimal
mungkin
untuk
memberikan
penanganan

Mampu
mengambil
hikmah
dari
permasalahannya

mengendalikan rasa
kesalnya dengan cara
bercerita
kepada
suaminya tentang apa
yang terjadi pada
anaknya
Keinginan untuk bisa
mengaji

mengendalikan
amarahnya
dengan
cara
membawa
anaknya pulang

Ketika
bertengkar
tidak diperbolehkan
bermain

Yakin anaknya akan Yakin DH mampu
mampu berbicara
mendengar
dan
berbicara
membantu
Saling
membantu Saling
terutama teman IQ anak tuna rungu serta
peduli akan masa
disekolah
depan anak tuna rungu
Karena
ketuna Karena tuna rungu
runguan pada anaknya sehingga orang lain
menganggap berbeda
akan
Tidak yakin akan Yakin
kemampuannya untuk kemampuannya untuk
mencapai kesuksesan. kenormalan anaknya
TN ragu jika harus yaitu dengan cara
melakukan
operasi memaksimalkan
untuk
gendang telinga pada penanganan
anaknya, ia takut anaknya
menerima
efek
sampingnya
Belajar
untuk Memaknai dari setiap
permasalahannya dan
bersabar,
mendapatkan hikmah menjadikan sebagai
dari permasalahannya ujian

DISKUSI
Resiliensi menurut Reivich & Shatte yaitu merupakan kemampuan seseorang untuk
bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit (Desmita 2010). Penelitian
ini mengangkat fenomena resiliensi ibu yang memiliki anak tuna rungu. Ibu dalam penelitian
ini merupakan subyek utama, hal tersebut dikarenakan ibu adalah faktor yang sangat penting
yang mana adalah pengasuh utama. Ibu orang pertama yang berhubungan, melakukan kontak
fisik dan emosional dengan anak (Andayani & Koentjoro, 2007). Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan kepada ibu-ibu yang memiliki anak tuna rungu diketahui bahwa

10

ketiga subyek dalam penelitian ini dapat mengendalikan emosi dan prilakunya ketika
menghadapi permasalahan dalam hidupnya, sehingga dapat mengendalikan tindakannya
menjadi lebih baik. Mereka tidak senantiasa meluapkan emosinya secara tidak terkendali.
Rasa kecewa dan sedih yang mereka rasakan perlahan berkurang seiring usaha mereka dalam
memberikan penanganan serta pengasuhan anaknya.
Hasil penelitian yang telah dilakukan, pada subyek pertama yaitu AT, ia beresiliensi
dengan ketujuh faktor yaitu Emotional Regulation, Impulse Control, Optimis, Empathy,
Causal Analysis, Self Efficacy, dan Reaching Out. Subyek AT dapat dikatakan meregulasi
dapat ditunjukkan dengan sikapnya yang mampu mengontrol emosinya seperti halnya ketika
ada orang yang menghina anaknya yang tuna rungu. Ia tidak senantiasa meluapkan
kekesalannya kepada orang tersebut, AT berusaha untuk tetap tenang dalam kondisi yang
menekan. Menurutnya akan percuma jika ia harus meluapkan rasa marahnya ataupun merasa
kecewa atas kondisi anaknya, tidak akan merubah keadaan. AT menyadari akan keterbatasan
yang dimiliki oleh anaknya, sehingga ia berusaha untuk mengendalikan keinginan serta
dorongan yang muncul pada dirinya dengan cara memaksimalkan apa yang dimiliki oleh
anaknya. Ia yakin anaknya memiliki kelebihan, dari kelebihan tersebut AT menutupi
keterbatasan yang dimiliki oleh anaknya.
Adanya rasa optimis yang dimiliki oleh AT, mempengaruhi pula self-efficacy pada
dirinya. AT yakin kelak anaknya akan mampu berbicara seperti anak normal lainnya, ia
berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan anaknya. AT yakin jika ia terus berusaha
pasti ada jalan untuk kesembuhan anaknya. Ia juga menyadari kondisi ekonomi keluargannya
tergolong dalam ekonomi menengah kebawah, sehingga ia berusaha mencari biaya untuk
kesembuhan anaknya dari berbagai bantuan yang diberikan kepadanya. Rasa empatinya
tumbuh karena ia sering bertemu dengan beberapa orang yang dianggapnya bernasib sama,
baik orang tua yang memiliki anak tuna rungu maupun yang sama-sama memiliki anak sakit

11

jantung. Rasa empati tersebut ia tunjukkan dengan sikap saling membantu antar sesama orang
tua anak sakit jantung dan lebih mengerti tentang kondisi anak tuna rungu yang ada
disekitarnya. Ia mencoba membantu orang yang menurutnya bernasib sama dengannya
seperti halnya sakit jantung. AT membantunya untuk sama-sama mendapatkan pengobatan
terbaik karena ia tahu bagaimana susahnya untuk mendapatkan pengobatan yang baik.
AT juga mampu mengedintifikasi penyebab dari mengapa anaknya diperlakukan
tidak baik serta dihina oleh beberapa orang lain dan sering disebut causal analysis dalam
resiliensi. Ia mengatakan bahwa anaknya dihina serta diperlakukan tidak baik oleh beberapa
tetangganya dikarenakan kondisi anaknya yang tuna rungu. Beberapa orang tetangganya
menganggap AU berbeda dengan anak mereka, sehingga sering kali AU mendapatkan hinaan
dari orang-orang tersebut. Atas kondisi anaknya yang tuna rungu, AT dapat mencoba hal-hal
baru untuk anaknya seperti halnya lebih mengerti tentang anak tuna rungu, lebih mengerti
cara merawat anak tuna rungu, mencoba mencari biaya ke beberapa tempat tempat untuk
pengobatan anaknya sehingga menjadikannya pengalaman. Selain itu AT menjadi belajar
untuk lebih bersabar dan bersyukur atas kondisi anaknya yang tuna rungu.
Subyek kedua yaitu TN, ia beresiliensi dengan beberapa faktor. TN dapat meregulasi
emosinya, hal tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap tetap tenang dalam menghadapi
tekanan dari lingkungan sekitar. Seperti halnya ketika ada orang yang menghina kondisi
anaknya serta beberapa temannya yang memperlakukan IQ tidak baik ketika bermain, hal
tersebut cukup membuat rasa kesal pada dirinya, namun ia berusaha untuk tidak meluapkan
kekesalannya tersebut dengan hal yang tidak baik. Ia meluapkan rasa kesalnya tersebut
dengan cara saling berbagi perasaan yang dirasakan kepada suaminya sehingga TN merasa
lebih tenang dan tidak perlu lagi untuk merasa kesal atas ucapan orang lain mengenai
anaknya. TN juga merasa kesal kepada guru mengaji anaknya yang tidak mau mengajarnya
dengan alasan karena IQ seorang tuna rungu. TN berusaha mencari solusi untuk tetap dapat

12

mengajarkan dengan cara tetap. TN menginginkan anaknya bisa membaca Al-Qur’an
sehingga ia dan suaminya tetap mencoba mengajarkannya mengaji

meskipun guru

mengajinya tidak mau. Hal tersebut membuktikan bahwa kemampuan meregulasi emosi TN
saling berhubungan, ia juga mampu mengendalikan impulse control-nya.
Rasa optimis pada diri TN ditunjukkan dengan sikap yakin bahwa anaknya akan
mampu berbicara seperti anak yang lain suatu saat nanti. Ia yakin kelak anaknya mampu
berbicara dan tidak lagi dihina oleh orang lain karena kondisinya yang tuna rungu, namun
rasa optimis yang ditunjukkan oleh TN tidak diikuti oleh self-efficacy-nya. Ia merasa kurang
mampu untuk melakukan penanganan terbaik untuk anaknya karena besarnya biasa yang
harus dikeluarkan. TN merasa kurang yakin akan keberhasilan jika anaknya melakukan
operasi pada telinganya. Efek samping serta biaya dalam melakukan operasi yang
membuatnya kurang adanya rasa yakin akan keberhasilan. Hal tersebut menunjukkan adanya
sikap kurang merasa yakin akan kemampuannya untuk mendapatkan kesuksesan.
Sikap empati yang ditunjukkan oleh subyek TN dengan cara peduli dengan sesama
anak tuna rungu ataupun sesama anak yang memiliki keterbatasan di sekolah anaknya.
Bentuk peduli tersebut berupa saling membantu dalam mengerjakan PR ataupun membantu
dalam menyelesaikan tugasnya dalam kelas. TN juga saling berbagi tentang pengetahuan
tingkah laku anak mereka masing-masing. TN dapat mengetahui penyebab mengapa anaknya
sering mendapatkan hinaan dan diperlakukan tidak baik oleh beberapa temannya, hal tersebut
dikarenakan kondisi IQ yang tuna rungu. Teman-temannya terkadang menganggap IQ
berbeda dengan mereka, sehingga seringkali ia mendapat hinaan dari orang lain. Kondisi IQ
yang demikian membuat TN belajar untuk lebih bersabar dalam menjalaninya, selain itu ia
menjadi lebih mengerti dalam merawat dan segala sesuatunya tentang anak tuna rungu seperti
halnya mencoba hal baru dalam belajar menggunakan bahasa isyarat agar dapat memahami

13

bahasa anaknya. Sikap tersebut menunjukkan bahwa TN juga mampu melakukan reachingout.
Subyek ketiga yaitu HN, ia dapat menunjukkan kemampuan meregulasi dengan
sikap tetap tenang dalam situasi yang menekan. Kemampuan meregulasi emosi tersebut dapat
ditunjukkan mampu menyalurkan emosi serta kekesalannya secara baik ketika tahu anaknya
mendapat perlakuan tidak baik dari beberapa temannya. Ia tidak lantas meluapkan emosi
serta kekesalannya tersebut. HN berusaha untuk tetap tenang dengan cara selalu meminta
kepada tuhan agar diberi kesabaran dan kesembuhan untuk anaknya. Anaknya, yaitu DH
sering kali mendapatkan hinaan dan perlakuan tidak baik oleh beberapa temannya karena
kondisi DH ynag tuna rungu. Bahasa dan cara komunikasi DH-lah yang menjadi suatu
permasalahan. Menurutnya akan menjadi percuma jika ia harus kecewa dan bersedih ketika
tahu anaknya penyandang tuna rungu, perasaan kecewa dan kesal tidak akan merubah
keadaan anaknya. Ia berusaha menerima keadaan anaknya tersebut, serta berusaha
membimbing anaknya agar ia mampu seperti anak normal lainnya. Mampunya ia
mengendalikan keinginan serta dorongan tersebut menunjukkan terpenuhinya Impulse
Contol.
Rasa optimis yang ada pada subyek HN ditunjukkan dengan yakinnya ia akan
kemampuan anaknya untuk berbicara. Rasa yakin tersebut diiringi dengan terus berusahanya
HN serta suami untuk terus mencari penanganan terbaik untuk anaknya. Ia tidak putus asa
ketika ada keluarganya yang meminta agar tidak lagi berusaha memberikan penanganan
untuk DH namun ia tidak begitu saja untuk menyerah. HN yakin jika ia terus berusaha maka
anaknya akan menjadi normal. Selain itu HN yakin akan kenormalan anaknya dengan adanya
bimbingan dari orang tua, keluarga serta lingkungan sekitar. HN yakin ia mampu untuk
menjadikan anaknya mampu berbicara. HN terus berusaha agar meskipun harus

14

menghabiskan biaya banyak, karena ia yakin jika ia terus berusaha maka akan ada jalan untuk
kenormalan anaknya.
Keyakinan yang ia memiliki dapat memotivasinya untuk terus berusaha memberikan
penanganan untuk anaknya sehingga DH mampu untuk mendengar dan berbicara. Keyakinan
tersebut menunjukkan self-efficacy yang mana ia yakin atas kemampuannya dalam mencapai
suatu kesuksesan. Faktor empati dalam resiliensi dapat ia tunjukkan dengan adanya rasa
peduli serta saling membantu terutama kepada anak penyandang tuna rungu ataupun kepada
anak yang sama memiliki keterbatasan. Ia merasa mereka senasib dengannya sehingga ia
merasa harus saling membantu.
HN juga mampu menganalisis alasan mengapa anaknya sering mendapatkan hinaan
serta perlakuan tidak baik dari teman-teman serta orang-orang dilingkungan sekitarnya. Hal
tersebut dikarenakan kondisi anaknya yang tuna rungu, menurutnya jika DH normal maka
teman-temannya tidak akan menghinanya serta menganggapnya berbeda dengan mereka. Hal
tersebut menunjukkan adanya faktor causal analysis dari subyek HN. Kondisi DH yang tuna
rungu serta permasalahannya membuat HN menjadi belajar lebih bersabar untuk mengadapi
HN, selain itu ia menjadi berusaha mencari hal baru seperti halnya mencari tahu tentang anak
tuna rungu serta perawatannya. HN berusaha untuk lebih mengerti kondisi anaknya sehingga
ia berusaha untuk mencari tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan anaknya. Hal
tersebut dimaksudkan agar ia lebih memahami anaknya. Sikap tersebut menunjukkan bahwa
HN mampu memenuhi reaching out dalam resiliensi.
Tidak mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima kondisi anaknya yang
berkebutuhan khusus, namun dengan seiring waktu orang tua dari anak tuna rungu berusaha
untuk beradaptasi dengan keadaan yang ada. Mereka menyadari bahwa dengan hanya kecewa
dan merasa bersalah atas kondisi anaknya akan percuma dan tidak akan merubah kondisi
anaknya saat ini. Motivasi dan pola pikir yang positif mampu membangkitkan para ibu untuk

15

tetap berusaha untuk dapat mencari solusi agar anaknya bisa normal dan tidak lagi dihina
oleh orang lain. Perlu adanya kerjasama antar anggota keluarga untuk dapat beradaptasi dan
mengembalikan keadaan dengan baik, namun kadang kala terdapat beberapa faktor yang
dapat menghambat terjadinya resiliensi tersebut.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan menyimpulkan bahwa ketiga subyek
menunjukkan faktor-faktor resiliensi dari permasalahan yang mereka alami. Pada emotional
regulation, ketiga subyek mampu tetap tenang dalam kondisi menekan atas ketunarunguan
anaknya. Pada impulse control ketiga subyek dapat mengendalikan keinginan serta dorongan
yang diterimanya. Ketiga subyek juga memliki rasa optimis bahwa anaknya kelak akan
mampu mendengar dan berbicara. Rasa emphaty ketiga subyek ditunjukkan dengan cara
saling membantu dan peduli terhadap orang-orang yang dianggapnya memiliki nasib yang
sama dengan anaknya. Pada faktor self efficacy subyek AT dan subyek HN dapat ditunjukkan
dengan keyakinan atas kemampuan yang dimiliki untuk memberikan penanganan kepada
anaknya, namun pada subyek TN ia kurang menunjukkan self-efficacynya karena ia merasa
tidak yakin akan keberhasilannya jika harus melakukan operasi gendang telinga anaknya.
Ketiga subyek dapat menganalisa penyebab permasalahan mereka yaitu ketunarunguaan yang
dialami anaknya. Atas permasalahan yang mereka alami, ketiga subyek menunjukkan
reaching out yaitu mampu memaknai segala permasalahannya agar kelak dapat menjadi
pribadi yang lebih baik.

SARAN
Sebagai ibu dari anak tuna rungu sebaiknya tidak menjauhkan anaknya dengan anakanak normal yang lain sehingga anak tidak merasa berbeda, hal tersebut juga dapat

16

meningkatkan perkembangan bahasa sehari-hari anak tuna rungu serta lebih percaya diri
dengan apa yang ia miliki saat ini. Dukungan materil ataupun non-materil dari keluarga
terutama suami sangat membantu ibu dalam beresiliensi, Pada penelitian ini mengkaji
resiliensi pada ibu yang memiliki anak tuna rungu melalui faktor-faktor pembentuk resiliensi
saja, sehingga untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan untuk mengkaji resiliensi
pada ibu yang memiliki anak tuna rungu melalui sumber-sumber pada resiliensi.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani. B, & Koentjoro. 2007. Peran Ayah Menuju Coparenting. Sidoarjo: Laros.
Desmita. 2005. Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Emzir. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta. PT Rajagrafindo
Persada.
Gunarsa, S.D & Gunarsa, Y.S.D. 2004. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, Dan Keluarga.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Hurlock, E.B. 2002. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jackson R. & Watkin C. 2004. The resilience inventory: Seven essential skills for
overcoming life’s obstacles and determining happiness. Jurnal. Vol. 20, No. 6, Hal
13-17.
Diunduh
http://www.google.co.id/url?q=http://www.haygroup.com/downloads/us/pa_the_
resilience_inventory.pdf&sa=U&ei=srpLUcCvEIesrAfGyYDgBg&ved=0CCEQFjAD&us
g=AFQjCNH3BFxnthEG-9PYitH-14ypLdxp8g tanggal 29 Maret 2013.
Kartono, K. 2007. Psikologi Wanita (Jilid 2) Mengenal Wanita Sebagai Ibu & Nenek.
Bandung: CV. Mandar Maju
Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,jilid satu.
Depok: Lembaga Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas
Indonesia.
Prastowo, A. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Persepektif Rancangan Penelitian.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sari, Y., Mardiawan, O., & Prakoso, H. 2011. Profil Resiliensi Pada Ibu Yang Memiliki
Anak Anak Autis Di Kota Bandung. Jurnal. Fakultas Psikologi Unisba. Vol XXVII,
No.
1,
Hal
105-112.
Diunduh
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu/article/view/538
tanggal 16 Juli
2013.
Schoon, I. 2006. Risk and Resilience; Adaptions in Changing Times. New York: Cambridge
University Press.

17

Semiawan, C.R. & Mangunsong F. 2010. Keluarbiasaan Ganda. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Somantri, T.S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.
Wardani, Astati, Hernawati T., & Somad P. 2007. Pengantar pendidikan luar biasa. Jakarta:
Universitas Terbuka.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25