Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Kepemilikan Merek “Lexus” Antara Perusahaan PT. Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha Dengan PT. Lexus Daya Utama (Studi Kasus Putusan No. 194.K Pdt.Sus 2011)

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam suatu produk yang diperdagangkan, kualitas dan jaminan terhadap
merek atas barang atau produk yang ditawarkan kepada konsumen harus diperhatikan
agar tidak terjadi kesalahan yang menyebabkan terjadinya sengketa. Karena begitu
pentingnya tidak sedikit perusahaan konsultan yang memfokuskan untuk memberikan
jasa pemilihan merek dagang kepada pengusaha sebelum produk tersebut di jual
belikan. Bagi produsen, merek digunakan sebagai jaminan mutu dari hasil
produksinya karena hal-hal tersebut menjadi identitas dan pembeda produk yang
mereka buat dengan produk produsen lain.1)
Untuk itu suatu merek dagang atau jasa sebagai bagian dari apa yang
dinamakan Hak Kekayaan Intelektual (untuk selanjutnya disebut HKI atau akronim
HaKI), dan sangat berperan besar dalam dunia bisnis di era globalisasi ini. HKI
adalah suatu sistem yang sekarang ini melekat pada tata kehidupan modern.2) HKI
juga biasa diartikan sebagai hak bagi seseorang karena dia telah membuat sesuatu
yang berguna bagi orang lain.3) HKI juga dapat diartikan dengan hasil olah pikir
manusia yang menghasilkan suatu produk atau proses yang ekonomis hasil suatu

1)

Sri Hernowo, Merek sebagai Aset Usaha, (Jakarta: Makalah Kursus Konsultan HKI
angkatan I, 2005), hal. 1.
2)
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs (Bandung: Alumni,
2005), hal. 1.
3)
Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HAKI Hak Kekayaan Intelektual, Hak
Cipta, Paten, Merek, dan Seluk Beluknya (Jakarta: Airlangga, 2008), hal 34.

1

2

kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul
atau lahir karena kemampuan intelektual manusia, secara garis besar HKI dibagi
dalam 2 (dua) bagian, yaitu : 4)
1.
2.


Hak Cipta dan Hak terkait
Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), mencakup :
a. Paten (Paten);
b. Desain Industri (Industrial Design)
c. Merek Dagang dan Jasa (Trademark and Servicemark);
d. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Intergrated Circuit);
e. Rahasia Dagang (Trade Secret);
f. Vaeritas Tanaman (Plant Varieties).
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan

bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsaat).5) Untuk melindungi hal
tersebut maka lahirlah Undang-Undang tentang Merek, Hak Cipta, dan Paten tersebut
diatas.
Dalam sejarah perundang-undangan merek di Indonesia dapat dicatat bahwa
pada masa kolonial Belanda berlaku Reglement Industriele Eigendom (RIE) yang
dimuat dalam Stb. 1912 No.545 Jo. Stb. 1913 No. 214.6) Setelah Indonesia merdeka
peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945. Ketentuan ini masih terus berlaku, hingga akhirnya sampai pada tahun
1961. Ketentuan tersebut diganti dengan Undang-Undang (selanjutnya disebut UU)

No. 21 Tahun 1961 tentang merek perusahaan dan merek perniagaan yang

4)

Edy Damian, Hak Cipta, (Bandung: Alumni, 2005), hal.1-2.
Dengan tegas di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, pada pasal
1 ayat (3) menegaskan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
6)
Otto Cornelius Kaligis, Teori & Praktek Hukum Merek Indonesia, (Bandung: PT. Alumni,
2008), hal. 3.
5)

3

diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI
No. 290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2341
yang mulai berlaku pada bulan November 1961.7)
Lahirnya UU No. 21 Tahun 1961 bertujuan untuk melindungi khalayak ramai
dari tiruan barang-barang yang memakai suatu merek yang sudah dikenalnya sebagai
merek barang-barang yang bermutu baik. Disamping itu UU No. 21 tahun 1961 juga

bermaksud melindungi pemakai pertama dari suatu merek di Indonesia. UU No. 21
Tahun 1961 ini berlaku kurang lebih selama 31 tahun. Kemudian dengan berbagai
pertimbangan UU ini harus dicabut dan digantikan dengan UU No. 19 Tahun 1992
tentang merek yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 1992 No. 81 dan
penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3490, pada tanggal 28
Agustus 1992. UU ini berlaku sejak 1 April 1993.8)
Dengan berlakunya UU No. 19 Tahun 1992 maka UU No. 21 Tahun 1961
dinyatakan tidak berlaku lagi. UU No. 19 Tahun 1992 Pada prinsipnya telah
melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
merek, guna disesuaikan dengan Paris Convention. UU No. 19 tahun 1992 kemudian
mengalami perubahan dan penyempurnaan yang dituangkan dalam UU No. 14 Tahun
1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 19 tahun 1992 tentang Merek.
Perubahan pada dasarnya bertujuan untuk menyesuaikan dengan Paris Convention

7)

OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004) , hal. 331.
8)
Tim Lindsey, et.al, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Alumni,

2011), hal. 132.

4

dan penyempurnaan terhadap kekurangan atas beberapa ketentuan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan dan praktik-praktik Internasional, termasuk penyesuaian dengan
persetujuan TRIPs Agreement. Pengaturan mengenai ketentuan merek ini kemudian
mengalami perubahan yang menyeluruh, yaitu dengan disahkannya Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun
2001 No. 110, tambahan Lembaran Negara No. 4131 yang mulai berlaku sejak
tanggal 1 Agustus 2001.9)
Perubahan menyeluruh ini selain dimaksudkan untuk mengantisipasi
perkembangan transportasi dan teknologi informasi yang telah menjadikan kegiatan
di sektor perdagangan semakin meningkat secara pesat serta menempatkan dunia
sebagai pasar tunggal bersama serta iklim persaingan usaha yang sehat, juga
dimaksudkan untuk menampung beberapa aspek atau ketentuan dalam TRIPS
Agreement yang belum diatur dalam UU No. 14 Tahun 1997. Terdapat 3 (tiga) dasar
pertimbangan yang merupakan latar belakang dan tujuan yang mengiringi
pembentukan UU No. 15 tahun 2001, yakni:
1.


Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi
Internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat
penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat;

2.

Bahwa untuk hal tersebut di atas, diperlukan pengaturan yang memadai tentang
merek guna memberikan peningkatan layanan bagi masyarakat;

9)

Casavera, 15 Kasus Sengketa Merek Di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal.44.
(selanjutnya disebut buku I).

5

3.

Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas serta

memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan UU Merek yang ada
dipandang perlu untuk mengganti UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 14 tahun 1997 tentang Perubahan atas
UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek.
Dengan dibentuknya UU No. 15 tahun 2001 maka terciptalah pengaturan

merek dalam satu naskah (single text) sehingga masyarakat lebih mudah
menggunakannya.10) Dalam hal ini ketentuan-ketentuan di dalam UU Merek
sebelumnya, yang substantifnya tidak diubah, dituangkan kembali didalam UU ini.
Peran suatu merek dapat dilihat seperti yang di tegaskan oleh OK. Saidin
bahwa:
“Dengan merek, produk barang dan jasa sejenis dapat dibedakan asal
muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original.
Kadangkala yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan
produknya, tetapi mereknya. Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau
dilekatkan pada satu produk, tetapi ia bukan produk itu sendiri. Sering kali
setelah barang dibeli, mereknya tak dapat dinikmati oleh pembeli. Benda
meterilnyalah yang tak dapat memberikan apa pun secara fisik. Inilah yang
membuktikan bahwa merek adalah kekayaan immaterial”.11)
Pada pasal 15 ayat (1) persetujuan TRIPs mengatur tentang apa yang

dimaksud merek yaitu “setiap tanda atau gabungan dan tanda-tanda yang dapat
membedakan barang dan jasa suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya dapat
dianggap sebagai merek dagang”. Tanda semacam ini khususnya kata-kata yang

10)

Hery Firmansyah, Perlindungan Hukum Terhadap Merek, Panduan Memahami
Dasar Hukum Penggunaan dan Perlindungan Merek, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011) hal. 36
11)
O.K Saidin, Op Cit, hal. 329-320.

6

termasuk nama pribadi, huruf, angka, dan gabungan warna, setiap gabungan dan
tanda semacam itu, dapat didaftarkan sebagai merek dagang. Pengertian Merek dalam
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 adalah “tanda yang
berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”.12)
Dalam perjanjian TRIPs tidak memberikan definisi tentang merek terkenal,

namun perjanjian ini memberikan kriteria merek terkenal, yaitu:13)
1.
2.

Pengetahuan masyarakat tentang merek tersebut dalam sektor yang relevan dari
masyarakat;
Pengetahuan negara anggota Uni sebagai hasil dari promosi merek tersebut.

Perjanjian TRIPs memperluas perlindungan merek terkenal dengan tidak
membatasi pada merek barang saja tetapi juga memberikan perlindungan terhadap
merek jasa, sebagaimana di definisikan pada pasal 16 ayat (2) perjanjian TRIPs.
Pada tanggal 20 September 1999 ditandatangani rekomendasi bersama tentang
Ketentuan perlindungan terhadap merek terkenal (Joint Recommendation Concerning
Provision on the Protection of Well Known Marks). Joint Recommendation
merupakan instrument internasional ketiga (setelah Konvensi Paris dan TRIPs
Agreement) yang mengatur masalah perlindungan terhadap merek terkenal. Joint
Recommendation ini lebih diharapkan untuk memperjelas dan mendukung pengaturan
perlindungan merek khususnya merek terkenal secara internasional yang sudah
12)


Casavera, 8 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 456.
(selanjutnya disebut buku II).
13)
Firdaus Syafaat, Perlindungan Hukum Pemilik Merek Dagang Terdaftar dengan Penetapan
Sementara dalam TRIPs-WTO sebagai Upaya mewujudkan Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya
Ringan, (Medan: Proposal Penelitian Disertasi, Program Doktor (S3) Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2014), hal.12-13.

7

diatur

sebelumnya

dalam

konvensi Paris

dan


TRIPs Agreement

serta

memudahkan penerapan standar internasional yang sudah ada.14)
Dalam syarat atau pengakuan timbulnya hak atas merek bagi kepemilikan
merek menurut sistem konstitusi adalah mendaftarkan mereknya pada Direktorat
Jendral HKI sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15
tentang Merek tahun 2001.15) Merek juga memiliki kemampuan sebagai tanda yang
dapat membedakan hasil perusahan yang satu dengan yang lain di dalam pasar
perdagangan, baik untuk barang dan atau jasa yang sejenis maupun tidak sejenis.
Dengan demikian merek juga mempunyai fungsi alat bukti dasar untuk menolak
permohonan merek orang lain, dan mencegah orang lain untuk menggunakan merek
yang sama.16)
Berkenaan dengan hak prioritas, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek diatur bahwa apabila pemohon tidak memiliki bukti penerimaan
permohonan yang pertama kali menimbulkan hak prioritas dalam jangka waktu tiga
bulan setelah berakhirnya hak prioritas, permohonan diproses seperti permohonan
biasa, hal ini merupakan kerugian bagi pemohon.17) Pendaftaran merek sekaligus
menjadi faktor penting dalam rangka perlindungan hukum yaitu tahap awal suatu
perlindungan yang bersifat preventif dan dasar berpijak yang kuat bagi upaya
perlindungan merek selanjutnya.
14)

Ibid
Muhamad Firmansyah, Tata Cara Mengurus HaKI, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 50.
16)
Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta;
Rineka Cipta, 2008), hal. 14.
17)
Casavera, Buku I, hal.44-45.
15)

8

Merek juga dikenal dengan adanya hak eksklusif sebagaimana dinyatakan
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Pada Pasal 3, yaitu
“hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek. Secara umum hak
eksklusif dapat didefinisikan sebagai hak yang memberi jaminan perlindungan hukum
kepada pemilik merek, dan merupakan pemilik satu-satunya yang berhak memakai
dan

mempergunakan

serta

melarang

siapa

saja

untuk

memiliki

dan

mempergunakannya”. Dengan demikian, hak eksklusif memuat dua hal, yaitu:18)
1.

menggunakan sendiri merek tersebut,

2.

memberi izin kepada pihak lain menggunakan merek tersebut.
Pemberian nama dalam produk barang dan atau jasa perusahaan juga harus

diperhatikan nama merek yang tepat memberikan sejumlah manfaat bagi pemilik
merek dan bagi konsumen. Bagi pemilik merek, manfaat yang diperoleh meliputi
identifikasi produk yaitu dengan pembelian ulang dan loyalitas membantu aktifitas
promosi, familiaritas merek dengan mempermudah dan mempelancar peluncuran
produk baru, dan potensi penerapan harga premium (premium pricing). Sementara
untuk konsumen, manfaat merek antara lain identifikasi menekan biaya pencarian,
dan jaminan kualitas.
Dalam pemberian nama dalam suatu barang dan atau jasa juga sering
membuat para pemilik merek berlabuh di meja hijau. Banyak faktor yang menjadi
penyebab sengketa, diantaranya; sengketa pembatalan merek terdaftar, sengketa

18)

Ridwan Khairandy, Kapita Selekta Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), Cet Keempat, (Yogyakarta: Pusat Studi Imu Hukum FH UII, 2000), hal. 115-116.

9

kepemilikan terhadap persaingan usaha, sengketa merek karena penipuan atau
pemalsuan, sengketa merek terkenal dengan merek terdaftar, dan masih banyak lagi.
Kendala lain adalah karena adanya indikasi pelanggaran merek dengan didaftarkan
merek-merek yang tidak sepatutnya didaftar, misalnya: karena merek itu sama atau
serupa dengan merek terkenal, merek didaftar terlebih dahulu oleh pihak lain yang
ternyata juga diterima pendaftarannya oleh Ditjen HKI, atau merek yang didaftarkan
dengan itikad buruk.19)
Untuk mencegah pelanggaran suatu merek khususnya merek terkenal
diperlukan suatu pemahaman atau pengaturan yang jelas mengenai definisi dan
kriteria untuk merek terkenal. Hingga saat ini masih menjadi perdebatan dan polemik
mengenai definisi dan kriteria merek terkenal di berbagai kalangan. Padahal
ketentuan ini sangat dibutuhkan mengingat sengketa-sengketa merek terkenal sering
terjadi. Ketika ada ketentuan tersebut diharapkan dalam mempermudah untuk
menyelesaikan sengketa merek terkenal. Apalagi apabila ada ketentuan tersebut dan
terjadi sengketa di pengadilan, pihak-pihak yang bersangkutan dapat memperoleh
acuan atau pedoman yang jelas dan rinci untuk bisa dikatakan bahwa suatu merek
disebut sebagai merek terkenal dan kriteria merek terkenal yang dipergunakan dalam
pembuktian di pengadilan. Sedangkan untuk para hakim, dapat dipergunakan sebagai
tolak ukur atau petunjuk dalam memutus sengketa merek terkenal agar kedepannya
terjadi keseragaman mengenai merek terkenal di kalangan para hakim.

19)

Suyud Margono, Hukum & Perlindungan Hak Cipta, (Jakarta; Novindo Pustaka Mandiri,
2003), hal. 30.

10

Ciri-ciri adanya pelanggaran bagi suatu merek tertentu melanggar merek
terkenal ada beberapa poin, poin pertama adalah hal ini disebabkan karena undangundang merek sangat terbatas, Poin kedua di mana sesungguhnya dianggap sebagai
suatu kasus merek apabila merek tersebut serupa ataupun sama. Diluar hal itu
pelanggaran semakin canggih, semakin pintar melanggar sehingga dua poin tersebut
dapat saja tidak termasuk.
Akan tetapi dengan tidak adanya ketentuan baku tersebut, para hakim harus
menemukan hukum untuk mengisi kekosongan hukum mengenai merek terkenal.
Padahal banyak pihak yang beritikad tidak baik yang memanfaatkan kekosongan
hukum tersebut untuk memperoleh keuntungan yang tidak wajar dengan cara
membonceng merek terkenal misalnya dalam kasus sengketa merek antara PT.
Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha dengan Lexus Daya Utama. Sengketa merek
“LEXUS” yang diajukan oleh PT. Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha, berkantor pusat
di Toyota-cho, Toyota-shi, Aichi-Ken, Jepang adalah pemakai pertama merek
“LEXUS” untuk melindungi mobil-mobil, suku cadang dan perlengkapannya. Merek
dagang LEXUS dan Logo L terdaftar di Indonesia pada Direktorat Merek,
Departemen Kehakiman dengan no: 275.609 tanggal 25 Mei 1992 dan diperbaharui
dengan No: 496.408 tanggal 25 Mei 2002.20)
Sedangkan PT. Lexus Daya Utama yang berkedudukan di ruko Kalideres
Megah Blok A.57-58, Jalan Peta Selatan Raya, Kalideres, Jakarta Barat. Direktorat
Merek Departemen Kehakiman telah menerima pendaftaran merek “LEXUS” pada
20)

Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor 194 K/Pdt.Sus/2011 hal 2-3.

11

tanggal 11 Januari 2010, no: IDM000232235 kelas 9, yang diajukan untuk
melindungi segala macam komputer dan bagian-bagian serta aksesoris dan
perlengkapannya yaitu personal komputer (software), disket komputer, power supply
computer, monitor komputer, disk drive, mouse, keyboard komputer, USB,
uninteruptible power supply computer, memory computer, notebook, CD/DVDRW,
drive, inverter, converter, charge, battery charger, stabilizer untuk komputer, MP3
player, flash disk.21)
Walaupun menggunakan merek “LEXUS” untuk barang yang tidak termasuk
dalam produk Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha, namun kesamaan merek “LEXUS”
tersebut dinilai amat merugikan Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha. Lexus milik
penggugat adalah pendaftar pertama di Indonesia dan memiliki hak khusus karena
merek tersebut adalah merek terkenal. Walaupun sudah memiliki hak khusus
Pengadilan Niaga tidak menemukan bukti yang asli dalam Sertifikat Merek dagang
milik penggugat.
Sehingga hasil putusan penyelesaian sengketa tersebut terdapat perbedaan
antara pengadilan Niaga dengan Mahkamah Agung. Pada putusan di Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menyatakan gugatan pembatalan merek
harus berdasarkan pada itikad tidak baik dan adanya persamaan pokoknya dengan
merek yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk produk barang tidak sejenis,
berdasarkan pasal 4 dan 6 UU Merek Nomor 15 Tahun 2001. Sedangkan pada
putusan Mahkamah Agung menolak putusan Pengadilan Niaga dan memenangkan
21)

Ibid.

12

sengketa merek “LEXUS” untuk PT. Toyota Jidosha Kabusikhi Kaisha, berkantor
pusat di Toyota-cho, Toyota-shi, Aichi-Ken, Jepang.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis akan melakukan
penelitian dengan judul tesis “Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Kepemilikan
Merek “Lexus” Antara Perusahaan PT. Toyota Jidosha Kabusikhi Kaisha dengan PT.
Lexus Daya Utama (Studi Kasus Putusan No. 194.K/Pdt.Sus/2011)”.

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, dapatlah dikemukakan
permasalahan yang terkandung didalamnya untuk diteliti selanjutnya adalah sebagai
berikut:
1.

Apakah persamaan merek pada pokoknya dapat diterapkan pada kelas barang
yang berbeda?

2.

Bagaimana terjadi perbedaan pendapat antara Hakim Pengadilan Niaga dengan
Hakim Mahkamah Agung dalam kasus PT. Toyota Jidosha Kabusikhi Kaisha
dengan PT. Lexus Daya Utama?

3.

Bagaimanakah pemilik merek dapat membuktikan keterkenalan merek “Lexus”
dalam kasus PT. Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha dengan PT. Lexus Daya
Utama?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah;

13

1.

Untuk mengetahui apakah persamaan merek pada pokoknya dapat diterapkan
dalam barang atau jasa dalam kelas yang berbeda.

2.

Untuk mengetahui perbedaan pendapat antara putusan Hakim Pengadilan Niaga
dengan putusan Hakim Mahkamah Agung dalam menegakkan sengketa tersebut.

3.

Untuk mengetahui keterkenalan merek yang terlebih dahulu ada.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat dari dua
sisi baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu;
1.

Secara teoritis,
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan bidang hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) khususnya
didalam penyelesaian sengketa merek.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat
dan khususnya pada pelaku bisnis, maupun praktisi hukum.

2.

Secara praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat umum,

pelaku

bisnis, dan praktisi hukum dalam menyelesaikan sengketa kepemilikan
terhadap merek.
b. Hasil

penelitian

ini

juga

diharapkan

untuk

dapat

permasalahan sengketa merek yang sering terjadi di lapangan.

mengungkapkan

14

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan dari hasil-hasil penelitian yang
sudah ada dalam kepustakaan Universitas Sumatera Utara yang khususnya pada
program Pascasarjana Kenotariatan, penelitian tentang “Analisis Yuridis Terhadap
Sengketa Kepemilikan Merek “LEXUS” Antara Perusahaan PT. Toyota
Jidosha Kabushiki Kaisha dengan PT. Lexus Daya Utama (Studi Kasus Putusan No.
194.K/Pdt.Sus/2011), belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Dengan demikian
penelitian ini asli belum pernah dipublikasikan sepanjang mengenai judul dan
permasalahan yang diuraikan diatas, sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah.
Adapun penelitian yang menyerupai namun tidak membahas tentang
permasalah yang sama, yaitu;
1.

Faktor-Faktor Penyebab Sengketa Merek di Tinjau dari HAKI yang ditulis oleh
Shahreiza, dengan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 090705092, adapun
rumusan masalah yang dibahas yaitu;
a. Bagaimana ruang lingkup kualifikasi merek dagang terkenal menurut hukum
di Indonesia?
b. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa merek
dagang terkenal di Indonesia?
c. Bagaimana upaya-upaya hukum dalam melindungi merek dagang terkenal dan
cara penyelesaian atas sengketa merek dagang terkenal serta bagaimana
analisis hukum

majelis

Hakim Pengadilan

Niaga

Medan

terhadap

15

pertimbangan-pertimbangan hukum dalam penyelesaian atas sengketa merek
dagang terkenal?
2.

Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Merek Terkenal (Studi Kasus Putusan
Pengadilan) oleh Wahdini Syafrina, dengan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) :
047011075, adapun rumusan masalah yang dibahas yaitu;
a. Apakah yang menjadi kualifikasi juridis merek terkenal?
b. Apakah yang menjadi faktor penyebab banyak terjadi sengketa terkenal?
c. Apakah upaya-upaya hukum dan peran aparatur negara dalam menghadapi
sengketa merek terkenal sudah maksimal?

3.

Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Merek Berdasarkan UndangUndang Nomor 15 tahun 2001 Tentang merek (studi kasus Perkara No
01/Merek/2002/PN.Niaga/PN. Medan oleh Miftahul Haq, dengan Nomor Induk
Mahasiswa (NIM) : 057011057, adapun rumusan masalah yang dibahas yaitu;
a. Apa latar belakang yang menyebabkan terjadinya sengketa gugatan
pembatalan atas merek pada Pengadilan Niaga?
b. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa dari suatu hak atas merek terdaftar
berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ?
c. Apakah pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Niaga
di dalam penyelesaian sengketa gugatan pembatalan merek telah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ?

16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori merupakan suatu generalisasi yang dicapai, dan suatu teori harus diuji

dengan

menghadapkannya

pada

fakta-fakta

yang

dapat

menunjukkan

ketidakbenarannya. Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk
membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat sampai kepada landasan filosopinya
yang tinggi.22) Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori dapat diartikan
sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan yang
mungkin disetujui atau tidak disetujui,23) pada penelitian ini.
Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum.
untuk itu fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk
serta kejelasan, dikarenakan dalam penelitiaan ini merupakan penelitian hukum
yuridis normatif. Untuk itu terhadap suatu kepastian hukum yang dimana setiap
peraturan perundang-undangan selalu dilengkapi dengan sarana penegakan hukum,
sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan, aparat hukum dapat
menegakkan hukum.
Menurut pendapat pakar hukum, Purwadi Purbacaraka berpendapat bahwa:
“Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah hukum atau menilai secara mantap dan
mengejawantahkan sikap tidak sebagai rangkaian nilai tahap akhir, yaitu
22)
23)

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 254.
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: C.V. Mandar Maju, 1994), hal. 80.

17

menciptakan
(sebagai
“social
enginering”),
memelihara
dan
mempertahanakan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup
manusia).24)
Pendapat senada disampaikan oleh Soerjono Soekanto atas hal tersebut
sebagai berikut :
“Secara konsensional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan kaidah yang
mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup”.25)
Kepastian hukum tidak hanya mensyaratkan keabsahan peraturan hukum yang
dibuat melalui kekuasaan, melainkan juga menuntut pada seluruh isinya, dapat
diadministrasikan dengan pasti sehingga dapat dilaksanakan.26)
Oliver Wendell Holmes juga mengatakan bahwa “kepastian hukum itu tidak
lain apa yang dapat diperbuat seseorang dan hingga mana seseorang itu dapat
bertindak dengan tidak mendapatkan hukuman, atau dengan tidak dapat dibatalkan
oleh Hakim akibat-akibat dari perbuatan yang dikehendakinya itu.27)
Pembentukan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum terhadap
peristiwa

berdasarkan

kaidah-kaidah

atau

metode-metode

tertentu

seperti

interprestasi, argumentasi atau penalaran, kontruksi hukum dan lain-lain. Kaidahkaidah atau metode-metode itu digunakan agar hukum dapat dipertanggung jawabkan
24)

Purnadi Purwacaraka, Penegakan Hukum dalam Menyukseskan Pembangunan, (Bandung:
Alumni, 1977), hal. 80.
25)
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.
Radja Grafindo Persada, 2007), hal. 5.
26)
Miftahul Haq, Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Pembatalan Pendaftaran
Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Studi Kasus Putusan-Putusan Pengadilan
Niaga Jakarta, (Medan: Tesis Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2007) , hal.26
27)
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2002), hal. 124.

18

secara ilmu hukum dengan kata lain penemuan hukum merupakan konkretisasi
peraturan (das sollen) kedalam peristiwa

tertentu (das sein).28)

Dalam teori

kemanfaatan, tentu saja undang-undang merek sangat bermanfaat bagi masyarakat
terutama pelaku bisnis pada khususnya dalam mendaftarkan merek-mereknya agar
hak-hak mereka terlindungi, dan juga dapat memberikan rasa aman kepada pelaku
bisnis dan pelaku perindustrian dalam berkarya dan mengembangkan perekonomian
Negara.29)
Berhasil tidaknya upaya penegakan hukum, sedikit banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor atau unsur-unsur yang menurut penuturan Soerjono Soekanto ada 5
unsur dari penegakan hukum, yaitu: 30)
a. faktor hukumnya sendiri,
b. faktor penegak hukumnya, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
c. penegakan hukum,
d. faktor masyarakat dan,
e. faktor kebudayaan.
Kelima faktor atau unsur tersebut, saling berkaitan dan saling mendukung.
Bila ada salah satu unsur yang tidak terpenuhi, maka tujuan penegakan hukum tidak
tercapai. Hasil studi mengenai Reformasi Hukum di Indonesia juga memberikan

28)

Suparman Usman, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Banten: CV. Suhud Sentra Utama,
2010), hal. 90.
29)
Sanny Hendrik, Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Pembuatan Akta Pengalihan
Hak Merek Dengan Secara Notariil (Jakarta: Tesis Pascasarjana Kenotariatan Universitas Indonesia,
2013), hal.18-19.
30)
Soerjono Soekanto, op. cit, hal. 8.

19

kesimpulan yang sama, bahwa keberhasilan suatu penegakan hukum tidak tercapai
dengan baik dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut;
1) Isi peraturan perundang-undangan,
2) Sumber daya manusia,
3) Fasilitas pendukung,
4) Kelompok kepentingan dalam masyarakat, dan
5) Budaya hukum.
Bertolak dari uraian di atas, maka keberhasilan penegakan hukum di bidang
merekpun dipengaruhi oleh:
1). Substansi dari peraturan perundang-undangan di bidang merek itu sendiri;
2). Kesiapan dari aparat penegak hukum;
3). Tersedianya sarana penunjang yang cukup memadai;
4). Sikap masyarakat terhadap hukum merek.
Dari sisi substansi akan dilihat apakah pengaturan yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan bidang merek sudah cukup untuk mendukung upaya
penegakan hukum di bidang ini. Kemudian kesiapan dari aparat penegak hukum yang
meliputi pihak Kepolisian, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Kejaksaan dalam
menjalankan fungsinya. Hal ini terkait dengan masalah sumber daya manusia.
Disamping itu mengenai tersedianya sarana atau fasilitas pendukung cukup
memadai yang turut mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum di bidang merek.
Terakhir mengenai sikap masyarakat terhadap hukum merek yang yang berkaitan
dengan budaya hukum. Dari ke empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan

20

penegakan hukum, faktor masyarakatlah yang paling rumit. Sikap menerima atau
menolak terhadap hukum merek sangat ditentukan oleh kondisi-kondisi khusus yang
ada dalam masyarakat, Misalnya faktor sosial ekonomi, dan masalah budaya hukum.
Khusus mengenai budaya hukum perlu dikemukakan mengingat ada sementara
pendapat yang menyatakan bahwa pengembangan HKI di Indonesia bertentangan
dengan budaya hukum Indonesia.
Penegakan hukum dibidang merek dimaksudkan untuk memberi perlindungan
kepada pemilik hak atas merek agar ia dapat dengan aman mengambil manfaat
ekonomi atas hasil jeripayahnya, misalnya dalam memproduksi atau menjual barang
atau jasa dengan merek tersebut. Sedangkan konsumen sebagai pemakai barang dan
jasa yang dihasilkan oleh produsen atau pemilik hak atas merek dapat terhindar dari
kerugian akibat terkecoh dalam membeli barang atau jasa yang tidak diinginkannya.
Penegakan hukum dibidang merek adalah juga untuk mencegah kerugian negara
sebagai akibat dari kehilangan pemasukan pajak atas barang atau jasa.31)
Oleh karena hukum HKI merupakan bagian dari hukum harta benda, maka
pada prinsipnya pemilik HKI adalah bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendak
dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri pada hubungan hukumnya.32) Salah
satu sifat yang dimiliki oleh HKI adalah hak ekslusif dan mutlak, yang artinya bahwa
pemilik HKI dapat mempertahankan hak yang dimilikinya tersebut terhadap

31)

Wonk Dermayu, Perlindungan Hukum Terhadap pemanfaatan Merek Terkenal, lihat
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/perlindungan-hukum-terhadappemanfaatan-merekterkenal/, diakses pada tanggal 04 juli 2014, pukul 14.44 WIB.
32)
Ibid

21

siapapun, dan dapat menuntut suatu pelanggaran yang dilakukan siapa pun juga.
Pemilik atau pemegang HKI mempunyai suatu hak yang monopoli atas karya
intelektual yang ada, dengan hak monopoli itu pemilik dapat melarang siapa pun yang
tanpa persetujuan membuat ciptaan/penemuan ataupun yang menggunakannya.33)
Ketentuan hukum tentang perlindungan atas hak merek pertama kalinya
dimuat dalam KUHPidana (Wetboek van Strafrecht-WvS) Hindia Belanda Tahun
1915. Pasal 89 WvS menetapkan, bahwa penyalahgunaan atas segel, stempel, dan
merek atas lembaga bank atau perdagangan yang dilindungi oleh hukum.34)
Sedangkan Undang-Undang tentang Merek baru ditetapkan pada pada tahun 1885.
Oleh sebab itu didalam pendaftaran merek dikenal dua sistem yang digunakan selama
ini yaitu, sistem deklaratif dan sistem konstitutif (atributif). Sistem konstitutif
maksudnya disini bahwa hanya merek-merek yang terdaftar saja yang dilindungi oleh
hukum, dan juga sistem konstitutif maksudnya disini baru akan menimbulkan hak
apabila telah didaftarkan oleh si pemegang hak. Oleh karena dalam sistem deklaratif
titik berat diletakkan atas pemakai pertama, siapa yang memakai pertama suatu merek
dialah yang dianggap yang berhak menurut hukum atas merek bersangkutan.
Jadi pemakai pertama menciptakan hak atas merek bukan pendaftaran.
Selanjutnya, mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau
dunia usaha penyelesaian sengketa merek memerlukan badan peradilan khusus yaitu
Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri. Sehingga diharapkan sengketa merek dapat
33)

Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : Sejarah, Teori, dan
Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 23.
34)
Ibid

22

diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Hal penting yang dijadikan sebagai
pedoman berkenaan dengan proses pendaftaran merek adalah perlunya itikad baik
atau good faith dari pendaftar, dengan prinsip ini hanya pendaftar yang beritikad
baiklah yang akan mendapat perlindungan.35)
2.

Kerangka Konsep
Peran konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan

observasi, antara abstraksi dan realitas.36) oleh karena itu konsep merupakan definisi
dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan adanya hubungan empiris diantara
variable-variable yang diteliti.37)
a. Tinjauan Yuridis adalah pendapat hukum mengenai merek atau dalam kata
lain pendapat Hukum sebagai gambaran dari fungsi hukum, yaitu dengan
konsep dimana hukum sebagai suatu keadilan, ketertiban, kepastian,
kemanfaatan dan kedamaian.
b. Sengketa disini diartikan perselisihan terhadap perusahaan satu dengan
perusahaan lainnya yang mempermasalahkan tentang merek perusahaan
tersebut. Gugatan dalam sengketa merek ditunjukkan kepada pengadilan
Niaga didaerah hukum yang tergugat bertempat tinggal.
c. Merek, secara umum orang mengartikan merek sebagai tanda yang berfungsi
sebagai pembeda. Tanda ini biasanya berupa kata-kata tertentu yang
35)
36)

Otto Cornelius Kaligis, Op. Cit, hal.14.
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989),

hal.34.
37)

Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1997), hal. 21.

23

dilekatkan pada bungkusan atau kemasan suatu produk. Pemakain tanda ini
untuk memudahkan konsumen dalam memilih produk yang diinginkannya.
d. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang atau badan hukum.38)
e. Merek dagang adalah “merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis
lainnya.”39)
f. Merek terkenal adalah “suatu merek yang sudah dikenal luas oleh masyarakat
didasarkan pada reputasi yang diperolehnya karena promosi yang terusmenerus oleh pemiliknya yang diikuti dengan pendaftaran merek di berbagai
Negara”.40)
g. Hak merek adalah seseorang yang mendaftar pertama kali di Direktorat
Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual.
G. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang dilakukan secara metodelogis,
sistematis, dan konsisten.41) Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat

38)

Adrian Sutedi, Hak Atas kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 91.
Republik Indonesia, Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001
40)
Imam Sjahputra, Jeri Herjando dan Parjio, Hukum Merek di Indonesia, (Jakarta: Harvindo,
2005), hal.46.
41)
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta;Sinar Grafika, 1996), hal.2.
39)

24

didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan.42) usaha inilah yang disebut metodologi penelitian.
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini menggunakan
metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif), 43) yaitu penelitian hukum yang
mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan.44) Meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang mencakup asasasas hukum sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,
perbandingan hukum dan sejarah hukum.45)
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. 46) penelitian ini
bersifat deskriptif analitis (just to describe something as it).47)
2.

Sumber Data
Dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang

dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Di dalam
penelitian hukum, data sekunder terdiri dari:
a.

Bahan hukum Primer

42)
Muslam Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang; UMM Press,
2009), hal.91.
43)
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), hal. 12.
44)
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang; Bayu Media
Publishing, 2005), hal. 337.
45)
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), hal. 15.
46)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan III, (Jakarta: UI Press, 1986),
hal. 43.
47)
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Jakarta: PT. Softmedia, 2012), hal. 107.

25

Bersumber dari bahan hukum yang diperoleh langsung akan digunakan dalam
penelitian ini yang merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara yuridis, yaitu:
1).Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek ;
2).Putusan Makamah Agung;
3).Peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan
penelitian.
b.

Bahan Hukum Sekunder
Bahan yang bersumber dari hasil studi kepustakaan dengan cara mendapatkan
data melalui buku, literatur, hasil penelitian, dan makalah yang berhubungan
dengan penelitian yang khususnya tentang Hak Kekayaan Inteletual yaitu salah
satunya adalah Merek.

c.

Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3.

Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan

sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang
diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan yang diharapkan. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini, diperoleh dari studi pustaka (library
reseacrh),

peraturan

perundang-undangan,

catatan

hukum,

putusan

hakim,

26

dikumpulkan dan dikaji guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan
rumusan masalah.48)
4.

Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif,

dimana data yang yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan
pengukuran. Akan tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan, serta
pandangan informan untuk menjawab permasalahan pada tesis ini.
Analisis kualitatif menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang
dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis, lisan dan prilaku
nyata.49)

48)

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2004), hal. 125.
49)
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta; Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hal 67.

Dokumen yang terkait

Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun antara PT. Hutama Karya (Persero) dengan PT. Bersaudara (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 146 K/PDT.SUS/2012)

6 96 83

Analisis Yuridis Penolakan Paten Terkait Dengan Penyempurnaan Invensi (Studi Kasus Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 802 K/PDT.SUS/2011)

11 119 100

ANALISIS YURIDIS SENGKETA MEREK BIORE DENGAN MEREK BIORF (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 590 K/PDT.SUS/2012)

12 72 143

Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta Seni Lukis (Analisis Putusan Mahkamah Agung No.596k/Pdt.Sus/2011)

0 22 131

Persemaan merek cardinal dengan cadinar (Analisis Putusan MA No. 892 K/Pdt.Sus/2012 dalam Kasus PT. Multi Garmenjaya dengan PT. Gisha Cahaya Mandiri)

9 46 100

STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 165 PK/PDT.SUS/2012 MENGENAI PEMBATALAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 697 K/PDT.SUS/2011 TERKAIT ADANYA UNSUR PERSAMAAN PADA POKOKNYA DALAM MEREK ( PT.ANGS.

0 0 1

Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Kepemilikan Merek “Lexus” Antara Perusahaan PT. Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha Dengan PT. Lexus Daya Utama (Studi Kasus Putusan No. 194.K Pdt.Sus 2011)

0 1 15

Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Kepemilikan Merek “Lexus” Antara Perusahaan PT. Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha Dengan PT. Lexus Daya Utama (Studi Kasus Putusan No. 194.K Pdt.Sus 2011)

0 0 2

Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Kepemilikan Merek “Lexus” Antara Perusahaan PT. Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha Dengan PT. Lexus Daya Utama (Studi Kasus Putusan No. 194.K Pdt.Sus 2011)

1 5 24

Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Kepemilikan Merek “Lexus” Antara Perusahaan PT. Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha Dengan PT. Lexus Daya Utama (Studi Kasus Putusan No. 194.K Pdt.Sus 2011)

1 3 6