Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun antara PT. Hutama Karya (Persero) dengan PT. Bersaudara (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 146 K/PDT.SUS/2012)
PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN PEMBANGUNAN PLTM
SILAU 2 SIMALUNGUN ANTARA PT. HUTAMA KARYA (PERSERO)
DENGAN PT. BERSAUDARA
SIMALUNGUN ENERGI
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 146 K/PDT.SUS/2012)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
O l e h :
Doni Asikin
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(2)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... iv
BAB I : P E N D A H U L U A N ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
F. Metode Penelitian ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II : PERJANJIAN PADA UMUMNYA ... 15
A. Pengertian Perjanjian ... 15
B. Unsur-Unsur Perjanjian ... 18
C. Syarat-Syarat Perjanjian ... 20
D. Asas-Asas Dalam Perjanjian ... 23
E. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya ... 26
BAB III : TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN BANGUNAN ... 29
A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Pemborongan ... 29
B. Jenis Perjanjian Pemborongan ... 30
C. Isi Perjanjian Pemborongan ... 32
(3)
E. Prakualifikasi, Kualifikasi dan Klasifikasi Pemborong ... 35
BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN PEMBANGUNAN PLTM SILAU 2 SIMALUNGUN ANTARA PT. HUTAMA KARYA (PERSERO) DENGAN PT. BERSAUDARA SIMALUNGUN ENERGI ... 41
A. Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 146 K/PDT.SUS/ 2012... 41
B. Analisis Kasus ... 50
1. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Gugatan Wanprestasi Dalam Penandatanganan Surat Kontrak Pemborongan Pekerjaan... 50
2. Akibat Hukumnya Jika Salah Satu Pihak Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan ... 62
3. Penyelesaian Hukum dalam Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun ... 73
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 80
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA
(4)
ABSTRAK
Dalam kasus perjanjian pemborongan kerja antara PT. Hutama Karya (Persero) Wilayah I dengan PT. Bersaudara Simalungun Energi, dimana dalam perjanjian kerja tersebut ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bahwa perjanjian tersebut ada dan mengikat para pihak apabila dituangkan dalam suatu kontrak.
Surat kontrak merupakan syarat untuk adanya suatu perjanjian pemborongan, tetapi dalam kasus tersebut kontrak kerja tidak ditandatangani oleh si pemberi proyek seperti apa yang telah dijanjikannya, karena sebelum kontrak kerja atas proyek tersebut ditandatangani, terlebih dulu ditandatangani surat penunjukan sebagai dasar dilaksanakannya pekerjaan.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan, bagaimana akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan, bagaimana penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder yaitu dengan menganalisis suatu kasus putusan Mahkamah Agung RI.
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan menurut majelis hakim menyatakan bahwa putusan Arbitrase sudah tepat dan benar, karena dapat dibuktikan adanya pekerjaan tambahan, yang dilakukan oleh Pemohon Banding (PT. Hutama Karya), hal ini dapat dibuktikan pula dengan adanya Instruksiinstruksi lapangan yang dikeluarkan oleh pihak owner yaitu PT. Bersaudara Simalungun Energi (Termohon Banding), meskipun pekerjaan tambahan tersebut diingkari oleh PT. Bersaudara Simalungun Energi, akan tetapi dengan adanya instruksi-instruksi lapangan dari pihak pekerja, maka secara tidak langsung PT. Bersaudara Simalungun Energi menyetujui pekerjaan tambahan tersebut. Akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan membawa akibat hukum bahwa pihak yang dirugikan meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun dilakukan dengan cara musyawarah jika tidak tercapai kata sepakat baru dimajukan tuntutan ganti rugi melalui arbitrase dan jika keberatan atas putusan badan arbitrase dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
(5)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur terhadap Allah SWT yang dengan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.
Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan 2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting SH.MH sebagai Pembantu Dekan I FH. USU Medan 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.MH. DFM sebagai Pembantu Dekan II FH. USU Medan
sekaligus sebagai Pembimbing II.
4. Bapak OK.Saidin SH.MH sebagai Pembantu Dekan III FH. USU Medan
5. Bapak Sunarto Adiwibowo, SH.M.Hum sebagai Pembantu Bidang Akademik FH.USU Medan
6. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH.MS, sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi.
7. Bapak M. Hayat, SH, sebagai Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi
8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.
9. Terima kasih yang sebesar-besarnya dari penulis kepada ayahanda dan Ibunda yang dengan susah payah membesarkan, mendidik dan membiayai pendidikan penulis.
(6)
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Tuhan YME yang dapat membalas budi baik semuanya.
Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.
Medan, 22 Juli 2014
Doni Asikin
(7)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM
OUT LINE
WANPRESTASI TERHADAP KONTRAK PEMBORONGAN
PEKERJAAN BANGUNAN
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 407 K/Pdt/1998). KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ABSTRAK
BAB I : P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang B. Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan D. Keaslian Penulisan
E. Tinjauan Kepustakaan F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan
BAB II : PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian
B. Unsur-Unsur Perjanjian C. Syarat-Syarat Perjanjian D. Asas-Asas Dalam Perjanjian
E. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya
BAB III : TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN BANGUNAN
(8)
A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Pemborongan B. Jenis Perjanjian Pemborongan
C. Isi Perjanjian Pemborongan
D. Pengumuman dan Penjelasan Pelelangan
E. Prakualifikasi, Kualifikasi dan Klasifikasi Pemborong F. Jaminan dan Kredit Konstruksi
G. Pelelangan dan Pelulusan
BAB IV : WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No.407 K/Pdt/1998 B. Analisis Kasus
1. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Gugatan Wanprestasi Dalam Penandatanganan Surat Kontrak Pemborongan Pekerjaan
2. Akibat Hukumnya Jika Salah Satu Pihak Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
B. Saran DAFTAR BACAAN LAMPIRAN.
(9)
ABSTRAK
Dalam kasus perjanjian pemborongan kerja antara PT. Hutama Karya (Persero) Wilayah I dengan PT. Bersaudara Simalungun Energi, dimana dalam perjanjian kerja tersebut ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bahwa perjanjian tersebut ada dan mengikat para pihak apabila dituangkan dalam suatu kontrak.
Surat kontrak merupakan syarat untuk adanya suatu perjanjian pemborongan, tetapi dalam kasus tersebut kontrak kerja tidak ditandatangani oleh si pemberi proyek seperti apa yang telah dijanjikannya, karena sebelum kontrak kerja atas proyek tersebut ditandatangani, terlebih dulu ditandatangani surat penunjukan sebagai dasar dilaksanakannya pekerjaan.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan, bagaimana akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan, bagaimana penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder yaitu dengan menganalisis suatu kasus putusan Mahkamah Agung RI.
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan menurut majelis hakim menyatakan bahwa putusan Arbitrase sudah tepat dan benar, karena dapat dibuktikan adanya pekerjaan tambahan, yang dilakukan oleh Pemohon Banding (PT. Hutama Karya), hal ini dapat dibuktikan pula dengan adanya Instruksiinstruksi lapangan yang dikeluarkan oleh pihak owner yaitu PT. Bersaudara Simalungun Energi (Termohon Banding), meskipun pekerjaan tambahan tersebut diingkari oleh PT. Bersaudara Simalungun Energi, akan tetapi dengan adanya instruksi-instruksi lapangan dari pihak pekerja, maka secara tidak langsung PT. Bersaudara Simalungun Energi menyetujui pekerjaan tambahan tersebut. Akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan membawa akibat hukum bahwa pihak yang dirugikan meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun dilakukan dengan cara musyawarah jika tidak tercapai kata sepakat baru dimajukan tuntutan ganti rugi melalui arbitrase dan jika keberatan atas putusan badan arbitrase dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
(10)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, oleh karena itu dapat dikatakan hukum tentang pemborongan dan bangunan umurnya setua peradaban manusia.
Jika bangunan tersebut dibangun oleh orang lain maka prinsip-prinsip dasar hukum, pemborongan dan bangunan sudah mulai diterapkan walaupun masih dalam bentuk yang sangat sederhana.
Perkembangan kontrak tentang pemborongan bangunan sangat pesat dan kompleks, sehingga hukum tentang pemborongan berkembang terus sepanjang zaman sampai dengan saat ini. Khusus di Indonesia peraturan yang masih berlaku sampai sekarang adalah dalam KUH. Perdata dan peraturan standard AV 1941.
Dalam Buku III KUH. Perdata diatur bermacam-macam perjanjian yang pada umumnya merupakan perjanjian konsensuil yaitu perjanjian yang lahir dari kontrak atau persetujuan. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, ada perundingan atau penawaran sebagai tindakan mendahului tercapainya persetujuan yang tetap, tawaran pihak yang satu diterima oleh pihak lainnya, tercapainya kata sepakat tentang pokok perjanjian. Suatu perjanjian mempunyai kekuatan hukum, artinya mengikat para pihak yang membuatnya apabila perjanjian itu dibuat secara sah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.
KUH. Perdata tidak banyak mengatur tentang kontrak pemborongan pekerjaan, yaitu hanya terdapat dalam 14 pasal saja, yaitu mulai dari Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1617. “Tidak ada ketegasan dalam pasal-pasal KUH. Perdata mengenai kontrak pemborongan ini
(11)
apakah besifat memaksa atau hanya hukum mengatur, tetapi kebanyakan ketentuan tentang hukum pemborongan tersebut bersifat hukum mengatur, jadi umumnya dapat dikesampingkan para pihak”.1
Pengaturan yang dianut Buku III KUH. Perdata adalah sistem terbuka, artinya bahwa orang/para pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja baik isi, tujuan dan bentuknya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang baik. Bahkan orang boleh mengesampingkan peraturan-peraturan dari hukum perjanjian yang dimuat dalam Buku III KUH. Perdata, karena Buku III KUH. Perdata ini hanya berfungsi sebagai pelengkap saja, hanya melengkapi perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang telah ada.
2
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa “perjanjian merupakan suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antar dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.
Dalam Pasal 1313 KUH. Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perumusan tersebut hanya cocok untuk perjanjian sepihak.
3
Untuk proyek pemerintah peerjanjian pemborongan dibuat secara tertulis dengan perjanjian baku. Arti perjanjian baku adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan peraturan standard. Adapun standard untuk perjanjian pemborongan adalah AV 1941 (Algemene
Dari rumusan perjanjian tersebut di atas, maka pengertiannya menjadi luas, tidak hanya mengenai perjanjian sepihak saja tetapi juga meliputi perjanjian timbal balik dimana dalam hubungan tersebut ada hak dan kewajiban pada masing-masing pihak seperti misalnya perjanjian pekerjaan pemborongan.
1
Munir Fuady., Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998, hal.26 2
J. Satrio., Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992, hal.128 3
(12)
Voorwarden Voor de uitvoering bij aaneming van openbare werken in Indonesia), yaitu syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.
Peraturan standard dalam perjanjian selain menyangkut persyaratan teknisnya juga mengatur persyaratan administratifnya, yaitu ketentuan yuridisnya. Peraturan standard tersebut selain berlaku bagi perjanjian pemborongan bangunan mengenai pekerjaan umum yang diborongkan oleh pemerintah, juga dinyatakan berlaku untuk pemborongan bangunan oleh pihak swasta.4
Mengenai bentuk perjanjian pemborongan bangunan pada asasnya adalah dibuat secara tertulis, karena selain berguna bagi kepentingan pembuktian juga dengan pengertian bahwa perjanjian pemborongan bangunan tergolong perjanjian yang mengandung resiko bahaya yang menyangkut keselamatan umum dan tertib bangunan. “Perjanjian tersebut juga didasarkan pada peraturan standard yang menyangkut segi yuridis dan segi teknisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak”.5
Dalam praktek lazim ditempuh jalan bahwa sebelum kontraknya jadi, maka demi pelaksanaan pekerjaan yang cepat sesuai dengan jangka waktu yang diberikan didahului dengan membuat surat penunjukkan/surat perintah kerja. “Surat penunjukan sebagai dasar kesepakatan untuk dapat dimulainya penggarapan suatu pekerjaan. Surat penunjukan hanya sebagai penunjukan untuk pelaksanaan dari suatu pekerjaan atau merupakan surat pernyataan dari suatu perusahaan untuk menyatakan pelaksanaan pekerjaan dapat dilaksanakan”.6
Menurut ketentuan Kepres No. 16 Tahun 1994 Pasal 21 ayat 7 huruf c dan d menyebutkan bahwa, pekerjaan pemborongan yang nilainya di atas Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) berdasarkan pemilihan langsung dengan kontrak atau cukup dengan surat perintah kerja atau surat penunjukan, yang
4
Sri Soedewi Maschjun Sofwan., Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan. Liberty, Yogyakarta, 1982, hal.5
5
Ibid., hal.55. 6
(13)
dilakukan dengan membandingkan sekurang-kurangnya tiga penawar yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM) dan melakukan negoisasi, baik teknis maupun harga, sehingga dapat diperoleh harga yang wajar dan yang secara teknis dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan untuk pekerjaan pemborongan yang nilainya lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) harus dilaksanakan atas surat perjanjian/surat kontrak berdasarkan pelelangan umum atau pelelangan terbatas.
Dalam kasus perjanjian pemborongan kerja antara PT. Hutama Karya (Persero) sebagai pemberi proyek dan PT. Bersaudara Simalungun Energi sebagai kontraktor, dimana dalam perjanjian kerja tersebut ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bahwa perjanjian tersebut ada dan mengikat para pihak apabila dituangkan dalam suatu kontrak, surat kontrak merupakan syarat untuk adanya suatu perjanjian pemborongan, tetapi dalam kasus tersebut kontrak kerja tidak ditandatangani oleh si pemberi proyek seperti apa yang telah dijanjikannya, karena sebelum kontrak kerja atas proyek tersebut ditandatangani, terlebih dahulu ditandatangani surat penunjukan sebagai dasar dilaksanakannya pekerjaan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan
2. Bagaimana akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan.
3. Bagaimana penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun.
(14)
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan.
b. Untuk mengetahui akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan.
c. Untuk mengetahui penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun.
2. Manfaat Penulisan
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis.
a. Secara teoretis penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoretis yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang masalah perjanjian pemborongan.
b. Secara Praktis :
1) Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai perjanjian pemborongan.
2) Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam menyelesaikan masalah wanprestasi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan.
(15)
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun Antara PT. Hutama Karya (Persero) Dengan PT. Bersaudara Simalungun Energi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 146 K/PDT.SUS/2012)”.
Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu juga diadakan penelitian. Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.
E. Tinjauan Kepustakaan
Menurut pendapat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjian itu adalah "suatu perbuatan hukum seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih".7
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.8
7
Sri Soedewi Maschoen Sofwan., Op.Cit, hal.7. 8
R. Wirjono Prodjodikoro., Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung,1992, hal.11.
(16)
Selanjutnya menurut pendapat R. Subekti bahwa perjanjian adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".9
Perjanjian dan persetujuan adalah berbeda. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak, sedangkan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipakai adalah perikatan.
Jadi kedua istilah tersebut adalah sama artinya, tetapi menurut pendapat R. Wirjono Prodjodikoro bahwa :
10
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan perjanjian itu atau diantara para pihak yang bersepakat di dalam perjanjian itu. Jadi perjanjian adalah merupakan
Dari kedua definisi yang dikemukakan oleh R. Subekti dan R. Wirjono Prodjodikoro di atas pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Adanya perbedaan tersebut hanya terletak pada redaksi kalimat yang dipilih untuk mengutarakan maksud dan pengertiannya saja. Yang pasti dari peristiwa perjanjian itu kemudian akan menimbulkan suatu hubungan antara kedua orang atau kedua pihak tersebut.
Jadi perjanjian dapat menerbitkan perikatan diantara kedua orang atau kedua pihak yang membuatnya itu. Menampakkan atau mewujudkan bentuknya, perjanjian dapat berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau dituliskan.
9
R. Subekti., Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, h.1.
10
(17)
salah satu sumber perikatan di samping sumber-sumber perikatan lainnya. Perjanjian disebut sebagai persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentu menyetujui atau menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi tertentu.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah merupakan hal yang nyata atau suatu peristiwa kongkrit. Sebab perikatan tidak dapat terlihat secara nyata melainkan hanya dapat dibayangkan, sedangkan perjanjian pada umumnya terlihat jika itu dalam bentuk tertulis dan jika hanya lisan saja, maka perjanjian dapat didengar isinya atau perkataan-perkataan yang mengandung janji tersebut.
Pemborongan pekerjaan adalah merupakan bagian tersendiri dalam KUH. Perdata yaitu yang diatur dalam pasal-pasal 1601 b dan Pasal 1604 s/d 1616 tentang persetujuan tertentu pada Buku III, bab 7 A bagian ke – 6.
Pengertian perjanjian pemborongan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu yaitu si pemborong mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain yaitu pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Demikian bunyi Pasal 1901 b KUH. Perdata. Maksud perjanjian pemborongan tersebut di atas dimana pihak yang satu dalam hal ini si pemborong berjanji kepada pihak yang memborongkan akan meyelenggarakan pekerjaan tertentu dan dengan mendapat upah tertentu.
Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan itu selain untuk membangun juga dikenal perjanjian pemborongan pekerjaan untuk menyediakan barang-barang. Dalam pembahasan ini hanya akan membicarakan sekitar tentang masalah persetujuan pemborongan bangunan.
Pasal 1338 ayat (2) KUH.Perdata mengatakan, bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikat baik. Namun dalam prakteknya para pihak sering tidak konsekuen dengan apa yang telah diperjanjikan, maka tidak jarang suatu perjanjian pada akhirnya harus
(18)
diselesaikan di Pengadilan yang banyak memakan biaya dan waktu. Dalam hal ini perjanjian dibuat secara lisan akan mengalami kesulitan pembuktian di Pengadilan.
Perjanjian pemborongan yang dibuat para pihak akan memuat panjang lebar tentang luasnya pekerjaan, urutan tentang pekerjaan dan syarat yang disertai dengan bestek, persyaratan bahan material, tentang harga tertentu, jangka waktu penyelesaian, resiko dan lain-lain yang tersebut di atas dirumuskan secara terperinci.
Di dalam suatu perjanjian pemborongan bangunan terdapat para pihak yang saling mengikatkan diri untuk melaksanakan perjanjian yang mereka buat tersebut. Adapun pihak tersebut adalah pihak yang memborongkan yang memberi pekerjaan dan pihak yang memborong (yang mengerjakan) biasa disebut pihak kontraktor. Namun hal itu tidaklah sesederhana hal tersebut mungkin lebih dari dua pihak.
Pihak-pihak yang menjadi peserta dalam perjanjian bangunan adalah : a. Pemberi Pekerjaan
Pemberi pekerjaan dalam hal ini adalah pemerintah yang memprakarsai dan merencanakan pembangunan sesuai dengan bangunan Daftar Isian Proyek (DIP) dari masing-masing departemen. Dalam melakukan pembangunan fisik sangat erat hubungannya dengan Departemen Pekerjaan Umum sebagai pemberi pekerjaan, karena untuk proyek-proyek yang menyangkut kepentingan (kesejahteraan umum), misalnya jalan raya, jembatan dan lain-lain, tidak bisa terlepas dari tugas Departemen PU yang mengurus kepentingan umum.
Setiap pembangunan yang menyangkut kepentingan umum maka yang bertindak sebagai pemberi pekerjaan (mewakili pemerintah) adalah Departemen PU. Hubungan antara pemerintah sebagai pemberi pekerjaan dengan pemborong dari pihak swasta dituangkan dalam surat perjanjian pemborongan atau Surat Perintah Kerja (SPK).
(19)
Perencana adalah pihak yang menyusun rencana bangunan memuat arsitek sesuai dengan kehendak pemberi pekerjaan. Tugas perencanaan dalam pemborongan dilakukan oleh orang-orang dan ahli, yaitu arsitek atau insinyur.
c. Pemborong .
Pemborong adalah pihak yang bertindak sebagai pelaksana pembangunan sesuai dengan isi perjanjian. Pemborong ini bisa perseorangan, badan hukum swasta maupun pemerintah.
Dalam melaksanakan pekerjaan, pemborong yang memenangkan lelang (tender)
sering bekerjasama dengan pemborong yang lain yang biasa disebut sub kontraktor. Pekerjaan tidak boleh diserahkan kepada sub kontraktor secara keseluruhan, hanya boleh untuk sebahagian pekerjaan yang biasanya tidak menjadi keahlian pemborong setelah sebelumnya sub kontraktor ini diusulkan oleh pemborong dan dapat izin secara tertulis dari pemberi tugas.
Dalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka dikatakan wanprestasi. Dengan terjadinya wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat meminta atau menuntut ganti rugi dan juga dapat membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Hal ini ditentukan dalam Pasal 1266 KUH. Perdata ayat (1) yang menyebutkan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan “dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan pada hakim”.
(20)
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan empiris yaitu dengan mengemukakan kasus yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini..
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan analisis kasus berdasarkan relevansinya dengan permasalahan yang diteliti untuk kemudian dikaji sebagai suatui kesatuan yang utuh.
5. Analisis Data.
Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa menggunakan rumus-rumus statistik sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan dapat diuraikan, yaitu :
BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan
(21)
BAB II : Perjanjian Pada Umumnya meliputi : Pengertian Perjanjian, Unsur-Unsur Perjanjian, Syarat-Syarat Perjanjian, Asas-Asas Dalam Perjanjian, Wanprestasi dan Akibat Hukumnya.
BAB III Tinjauan Tentang Perjanjian Pemborongan Bangunan meliputi : Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Pemborongan, Jenis Perjanjian Pemborongan, Isi Perjanjian Pemborongan, Pengumuman dan Penjelasan Pelelangan, Prakualifikasi, Kualifikasi dan Klasifikasi Pemborong..
BAB IV Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun Antara PT. Hutama Karya (Persero) Dengan PT. Bersaudara Simalungun Energi meliputi : Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 146 K/PDT.SUS/2012, Analisis Kasus, Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Gugatan Wanprestasi Dalam Penandatanganan Surat Kontrak Pemborongan Pekerjaan, Akibat Hukumnya Jika Salah Satu Pihak Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan
BAB V Kesimpulan dan Saran, sebagai layaknya dalam penulisan skripsi, maka dalam penulisan ini penulis membuat suatu kesimpulan dan juga saran-saran yang menjadi bahan masukan untuk penelitian mengenai masalah ini dan dalam skripsi ini akan turut pula dimasukkan daftar bacaan dan lampiran-lampiran.
(22)
BAB II
PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.11
Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.
Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan istilah perjanjian tetapi memakai kata persetujuan. Yang menjadi masalah adalah apakah kedua kata tersebut yaitu perjanjian dan persetujuan memiliki arti yang sama.
12
a) Hanya menyangkut sepihak saja
Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.
Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama pengertiannya dengan persetujuan. Oleh karena itu, persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata dapat dibaca dengan perjanjian.
Menurut para sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad bahwa rumusan perjanjian dalam KUH Perdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu.
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
b) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa
(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsesus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”.
c) Pengertian perjanjian terlalu luas
11
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio., Terjemahan KUH.Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal.306. 12
(23)
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku Ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.
d) Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan pasal itu tidak di sebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa. 13
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum”.14
M. Yahya Harahap mengatakan perjanjian adalah “hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.15
R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan perjanjian adalah “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.16
1. Terdapatnya para pihak yang berjanji;
Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah :
2. Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat / kesesuaian hendak; 3. Perjanjian merupakan perbuatan hukum atau hubungan hukum; 4. Terletak dalam bidang harta kekayaan;
13
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal. 78 14
Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 97. 15
M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 6 16
(24)
5. Adanya hak dan kewajiban para pihak; 6. Menimbulkan akibat hukum yang mengikat;
Dari 6 unsur tersebut ada hal yang perlu diperjelas, misalnya perubahan konsep perjanjian yang menurut paham KUH Perdata dikatakan perjanjian hanya merupakan perbuatan (handeling),
selanjutnya oleh para sarjana disempurnakan menjadi perbuatan hukum (rechtshandeling) dan perkembangan terakhir dikatakan sebagai hubungan hukum (rechtsverhoudingen). Jadi para ahli hukum perdata hendak menemukan perbedaan antara perbuatan hukum dengan hubungan hukum. Perbedaan ini bukan hanya mengenai istilahnya saja tetapi lebih kepada subtansi yang dibawa oleh pengertian perjanjian itu.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan :
Perbedaan perbuatan hukum dan hubungan hukum yang melahirkan konsep perjanjian sebagai berikut : bahwa perbuatan hukum (rechtshandeling) yang selama ini di maksudkan dalam pengertian perjanjian adalah satu perbuatan hukum bersisi dua (een
tweezijdigerechtshandeling) yakni perbuatan penawaran (aanbod) dan penerimaan
(aanvaarding). Berbeda halnya kalau perjanjian dikatakan sebagai dua perbuatan hukum yang masing-masing berisi satu (twee eenzijdige rechtshandeling) yakni penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang yang saling
berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum, maka konsep perjanjian yang demikian merupakan suatu hubungan hukum (rechtsverhoudingen). 17
Sehubungan dengan perkembangan pengertian perjanjian tersebut, Purwahid Patrik
menyimpulkan bahwa “perjanjiian dapat dirumuskan sebagai hubungan hukum antara dua pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan hukum sepihak”.18
Perjanjian itu adalah merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hukum yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan diantara dua orang atau lebih yang
17
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 7-8. 18
Purwahid Patrik, Makalah, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1990, hal.15.
(25)
menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberi sesuatu. Atau dengan kata lain pihak yang mempunyai hak disebut kreditur, sedangkan pihak yang mempunyai kewajiban disebut debitur.
Jadi jelaslah bahwa yang menjadi subjek perjanjian adalah kreditur dan debitur. Perjanjian itu tidak hanya harus antara seorang debitur dengan seorang kreditur saja, tetapi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya. Juga jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan seorang debitur juga tidak menghalangi perjanjian itu.19
B. Unsur-Unsur Perjanjian
Dari perumusan perjanjian, maka suatu perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Ada pihak-pihak minimal dua pihak
Dikatakan pihak bukan orang karena mungkin sekali dalam suatu perikatan terlibat lebih dari dua orang, tetapi pihaknya tetap dua.
2. Ada persetujuan antara para pihak, mengenai : a. Tujuan
b. Prestasi
c. Bentuk tertentu lisan/tulisan
d. Syarat tertentu yang merupakan isi perjanjian
Dalam perjanjian itu sendiri terdapat 3 (unsur), yaitu sebagai berikut :
1. Unsur essensialia
19
Djanius Djamin dan Syamsul Arifin., Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas Medan, 1991, hal.153.
(26)
Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Dengan demikian unsur ini penting untuk terciptanya perjanjian, mutlak harus ada agar perjanjian itu sah sehingga merupakan syarat sahnya perjanjian.
2. Unsur naturalia;
Unsur naturalia adalah unsur lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa
diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan bawaan atau melekat pada perjanjian. Dengan demikian, unsur ini oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan. Jadi sifat unsur ini adalah aanvullendrecht (hukum mengatur).
3. Unsur accidentalia
Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam
perjanjian. Unsur ini ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian artinya undang–undang tidak mengaturnya. Dengan demikian unsur ini harus secara tegas diperjanjikan para pihak.20
C. Syarat-Syarat Perjanjian
KUH. Perdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.
Adapun keempat syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH. Perdata tersebut adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
20
(27)
3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal.
ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, para pihak setuju atau seia sekata mereka mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik, misalnya seorang penjual suatu benda untuk mendapatkan uang, sedang si pembeli menginginkan benda itu dari yang menjualnya.
Dalam hal ini kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.
ad.2. Kecakapan untuk membuat perjanjian.
Kecakapan di sini orang yang cakap yang dimaksudkan adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin. Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Tidak termasuk orang-orang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh Pengadilan diputuskan berada di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami.
Mengenai seorang perempuan yang masih bersuami setelah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka Pengadilan tanpa seizin suami.
(28)
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sekurang-kurangnya macam atau jenis benda dalam perjanjian itu sudah ditentukan, misalnya jual beli beras sebanyak 100 kilogram adalah dimungkinkan asal disebutkan macam atau jenis dan rupanya, sedangkan jual beli beras 100 kilogram tanpa disebutkan macam atau jenis, warna dan rupanya dapat dibatalkan.
ad.4. Suatu sebab yang halal.
Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.
Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.21
1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal jika tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Akibat perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1338 KUH. Perdata yang menyebutkan :
2. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
21
(29)
3. Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Dengan demikian, perjanjian yang dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH. Perdata berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian. Artinya pihak-pihak harus mentaati isi perjanjian seperti mereka mentaati Undang-Undang sehingga melanggar perjanjian yang mereka buat dianggap sama dengan melanggar Undang-Undang. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat pihak-pihak dan perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya.
D. Asas-Asas Dalam Perjanjian
Arti asas secara etimologi adalah dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat)”22 Mahadi menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.23
Apabila arti asas tersebut diartikan sebagai bidang hukum maka dapat diperoleh suatu makna baru yaitu asas hukum merupakan dasar atau pikiran yang melandasi pembentukan hukum positif. Dengan perkataan lain asas hukum merupakan suatu petunjuk yang masih bersifat umum dan tidak bersifat konkrit seperti norma hukum yang tertulis dalam hukum positif. Bellefroid memberikan pengertian asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.24
22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal.52
23
Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal.119 24
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal.32.
Jadi pembentukan hukum sebagaimana yang dikatakan oleh Eikema Hommes adalah praktis berorientasi pada asas-asas
(30)
hukum, dengan perkataan lain merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif”.25
Oleh karena sedemikian pentingnya asas hukum ini dalam suatu sistem hukum, maka asas hukum ini lazim juga disebut sebagai jantungnya peraturan hukum, disebut demikian kata Satjipto Rahardjo karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.26
Asas-asas hukum perjanjian itu, menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut :27
1. Asas kebebasan berkontrak
Terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH. Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Undang-undang memperbolehkan membuat perjanjian berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya. Tujuan dari pembuat undang-undang menuangkan kebebasan berkontrak dalam bentuk formal, sebagai suatu asas dalam hukum perjanjian adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum dilapangan hukum perjanjian.
2. Asas Pacta Sunt Servanda.
Asas ini merupakan asas yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuatnya
25
Ibid., hal.33. 26
Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal.85. 27
Mariam Darus Badrulzaman, Sistem Hukum Perdata Nasional, Dewan Kerjasama Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Medan, 1987, h.17
(31)
sendiri seperti undang-undang, kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan dalam perjanjian yang mereka buat.
3. Asas Konsensualisme
Suatu perjanjian cukup adanya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum yang lain.
4. Asas Itikad Baik
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH. Perdata, semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.
5. Asas Kekuatan Berlakunya Suatu Perjanjian
Pada prinsipnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja, tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga, diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH. Perdata.
6. Asas Kepercayaan
Seseorang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya atau memenuhi prestasinya.
7. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, sehingga para pihak wajib menghormati satu sama lain.
8. Asas Keseimbangan
Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.
(32)
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
10.Asas Moral
Terdapat dalam Pasal 1339 KUH. Perdata, dalam asas ini terdapat faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada moral-moral
11.Asas Kebiasaan
Asas ini terdapat dalam Pasal 1347 KUH. Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.
E. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya
Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.28
1. Memberikan sesuatu.
Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu berupa :
2. Berbuat sesuatu. 3. Tidak berbuat sesuatu.
28
Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal 87
(33)
Sementara itu, yang dimaksud dengan wanprestasi (default atau non fulfiment ataupun yang disebut juga dengan istilah breach of contract) adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Menurut pendapat M. Yahya Harahap yang dimaksud dengan wanprestasi adalah : “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”.29
1. Kesengajaan.
Kata “Tidak tepat pada waktunya dan kata tidak layak” apabila dihubungkan dengan kewajiban merupakan perbuatan melanggar hukum. Pihak debitur sebagian atau secara keseluruhannya tidak menempati ataupun berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :
2. Kelalaian.
3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).
Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau untuk selama-lamanya).
29
(34)
Apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umumnya (dengan beberapa pengecualian) tidak dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau dalam undang-undang, maka wanprestasinya si debitur resmi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur (ingebrehstelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur.
(35)
BAB III
TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN BANGUNAN
A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Pemborongan.
Pasal 1601 b KUH. Perdata memberikan pengertian bahwa “perjanjian pemborongan pekerjaan sebagai suatu perjanjian dengan mana pihak pertama, yaitu pemborong, mengikatkan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain, yaitu bowheer, dengan harga yang telah ditentukan.30
Pengertian perjanjian pemborongan menurut M. Yahya Harahap yang dikutip oleh Munir Fuady menyebutkan “perjanjian pemborongan pekerjaan sebagai suatu persetujuan dimana pihak pemborong mengikatkan diri kepada pihak pemberi borongan untuk menyelesaikan suatu
Perjanjian pemborongan bukanlah kontrak unilateral, dimana hanya pemborong yang mengikatkan diri dan harus berprestasi, padahal baik pihak pemborong maupun pihak pemberi proyek/bowheer saling mengkat diri, dengan masing-masing mempunyai hak dan kewajibannya sendiri-sendiri. Kewajiban utama dari pihak pemborong adalah melaksanakan pekerjaan sementara kewajiban-kewajiban utama dari pihak bowheer adalah membayar uang borongan.
Dalam perjanjian pemborongan, terdapat hubungan horisontal antara pihak pemborong dengan pihak bowheer, dimana kedudukannya sama tinggi, jadi tidak ada hubungan atasan bawahan. Prestasi yang diberikan oleh pihak pemborong adalah melakukan atau membangun sesuatu secara fisik. Selanjutnya fee yang diberikan kepada pemborong tidak dengan tarif tertentu, melainkan sejumlah uang tertentu yang lebih bersifat negosiatif.
30
(36)
borongan tertentu dan sebagai imbalan atas penyelesaian tersebut maka pemborong mendapat harga tertentu sebagai upah”.31
B. Jenis Perjanjian Pemborongan.
Perjanjian pemborongan diatur dalam Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1617 KUH. Perdata. tidak ada ketegasan dalam pasal-pasal tersebut mengenai perjanjian pemborongan bersifat memaksa atau hanya hukum mengatur, tetapi pada umumnya pasal-pasal dalam buku Ketiga bersifat hukum mengatur.
Selain KUH. Perdata ada pula peraturan-peraturan khusus yang dibuat pemerintah seperti Kepres No. 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang berlaku pada tanggal 22 Maret 1994 dan Peraturan Standard AV 1941, dimana ketentuan-ketentuan dalam AV 1941 tersebut umumnya terdiri dari peraturan-peraturan yang bersifat administratif dan hanya berlaku sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dilihat dari berbagai segi tertentu, maka pemborongan bangunan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan sebagai berikut :
1. Menurut cara penunjukannya perjanjian bangunan terdiri atas : a. Perjanjian pemborongan bangunan dalam negeri.
b. Perjanjian pemborongan Internasional. Ataupun dapat juga dibagi ke dalam : a. Kontrak dengan penunjukkan langsung. b. Kontrak dengan penunjukan secara lelang.
2. Dilihat dari sumber dananya, perjanjian pemborongan bangunan dibagi atas : a. Kontrak kontruksi dengan dan perusahaan sendiri.
31
(37)
b. Kontrak konstruksi dengan dana pinjaman dalam negeri. c. Kontrak konstruksi dengan APBN.
d. Kontrak Konstruksi dengan APBD.
e. Kontrak konstruksi dengan dana Inpres/Banpres.
f. Kontrak konstruksi dengan biaya Pinjaman Luar Negeri.
3. Menurut segi penyediaan dan tiap tahun anggaran, diklasifikasikan sebagai berikut : a. Kontrak konstruksi dalam satu tahun anggaran.
b. Kontrak konstruksi lebih dari satu tahun anggaran.
4. Dilihat dari segi pemberian tugasnya, kontrak konstruksi dibagi menjadi : a. Kontrak konstruksi dari perseorangan.
b. Kontrak konstruksi dari swasta. c. Kontrak konstruksi dari pemerintah.
5. Ditinjau dari segi penunjukan pihak pemborong, maka suatu kontrak konstruksi dapat dibagi dalam :
a. Kontrak dengan tender (Competitive Bidding), yang biasanya merupakan kontrak dengan
fixed price basis yang terdiri dari : (1) Kontrak dengan unit price. (2) Kontrak dengan harga limp sum.
b. Kontrak dengan negosiasi antara bowheer dengan pemborong, baik secara lump sum, unit price atau cost plus fee.
6. Dilihat dari segi pembayaran kepada pemborong yaitu : a. Lump sum contract.
b. Cost-Reimburseable Contract. c. Unit Price Contract.
(38)
7. Dilihat dari cara terjadinya perjanjian pemborongan bangunan dibedakan atas :
a. Perjanjian pemborongan bangunan yang diperoleh sebagai hasil pelelangan atas dasar penawaran yang diajukan (competative bid contract).
b. Perjanjian pemborongan bangunan atas dasar penunjukan.
c. Perjanjian pemborongan bangunan yang diperoleh sebagai hasil perundingan antara si pemberi tugas dengan pemborong (notiation contract).
C. Isi Perjanjian Pemborongan.
Perjanjian pemborongan dapat dibuat dalam bentuk tertulis maupun lisan. Apabila perjanjian yang menyangkut biaya yang besar, perjanjian pemborongan bangunan pada dasarnya dibuat dalam bentuk tertulis, karena selain berguna bagi kepentingan pembuktian juga dengan pengertian bahwa “perjanjian pemborongan bangunan tergolong perjanjian yang mengandung resiko bahaya yang menyangkut keselamatan umum dan tertib bangunan”.32
32
Sri Soedewi Mascjhon Sofwan., Op.Cit, hal.55
Menurut ketentuan Kepres No.16 Tahun 1994 Pasal 21 ayat 7 huruf c dan d menyebutkan bahwa, pekerjaan pemborongan yang nilainya diatas Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima pulih juta rupiah) berdasarkan pemilihan langsung dangan kontrak atau cukup dengan Surat Perintah Kerja/Surat Penunjukan, yang dilakukan dengan membandingkan sekurang-kurangnya tiga penawar yang tercatat dalam DRM dan melakukan negosiasi, baik teknis maupun harga, sehingga dapat diperoleh harga yang wajar dan yang secara teknis dpat dipertanggungjawabkan, sedangkan untuk pekerjaan pemborongan yang nilainya lebih dari Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) harus dilaksanakan atas Surat Perjanjian/Surat Kontrak, berdasarkan pelelangan umum atau pelelangan terbatas.
(39)
Sehingga lazimnya perjanjian pemborongan bangunan juga dibuat dalam bentuk perjanjian standard, yaitu mendasarkan pada berlakunya peraturan standard yaitu AV 1941 yang menyangkut segi yuridis dan segi teknisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak, karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengaturannya sangat minim. AV 1941 terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu :
1. Bagian kesatu tentang syarat-syarat administratif. 2. Bagian kedua tentang syarat-syarat bahan. 3. Bagian ketiga tentang syarat-syarat teknis.
Cara menyertakan peraturan standard 1941 dalam perjanjian pemborongan sebagai perjanjian standard adalah sebagai berikut :
1. Dengan penunjukan yaitu dalam perjanjian standard ketentuan yang menunjuk pada peraturan standard.
2. Dengan menendatangani yaitu peraturan standard dirumuskan dalam perjanjian standard.
D. Pengumuman dan Penjelasan Pelelangan
Dalam proses pemborongan bangunan terdapat kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan sebelum terjadinya perjanjian borongan bangunan. Fase sebelum kontrak atau lazim disebut prosedur pelelangan atau penawaran tender dari pihak pemberi proyek, jika pemborongan dilakukan dengan pelelangan, dimulai sejak adanya pemberitahuan atau pengumuman sampai dengan pelulusan dari pelelangan.
Berdasarkan Kepres No.16 Tahun 1994 Lampiran I tentang Pelelangan ditentukan bahwa pada pengumuman pelelangan antara lain memuat :
1. Nama instansi yang akan mengadakan pelelangan.
(40)
3. Syarat-syarat peserta lelang.
4. Tempat, hari dan waktu untuk memperoleh dokumen lelang dan keterangan-keterangan lainnya.
5. Tempat, hari dan waktu untuk diberikan penjelasan mengenai dokumen lelang dan keterangan-keterangan lainnya.
6. Tempat, hari dan waktu pelelangan akan diadakan. 7. Tempat, hari dan waktu penyampaian surat penawaran. 8. Alamat kemana surat-susrat penawaran harus disampaikan.
Pemborong yang berminat untuk melaksanakan pekerjaan tersebut setelah memenuhi persyaratan yang diwajibkan dapat mendaftarkan secara tertulis yaitu melakukan penawaran secara tertulis dengan mengingat batas waktu yang telah disebutkan dalam pengumuman, untuk kemudian ikut dalam pelelangan (tender).
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah pembukaan surat penawaran, para pemborong terikat pada penawaran yang telah diajukan dan dalam jangka waktu itulah si pemberi tugas menentukan pelulusan dan penunjukkan pemborongan yang akan melaksanakan pekerjaan.
E. Prakualifikasi, Kualifikasi dan Klasifikasi Pemborong. 1. Prakualifikasi pemborong.
Prakualifikasi merupakan kualifikasi sementara yang diadakan pada saat sebelum pelelangan pekerjaan, jadi hanya berlaku untuk suatu penentuan saja, dan merupakan seleksi pendahuluan. Perbuatan prakualifikasi pemborong ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dasar perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum, maupun yang tidak berbentuk badan hukum dimana mereka mempunyai usaha pokok berupa pelaksanaan pekerjaan pemborongan, konsultasi, dan pengadaan barang/jasa lainnya. Prakualifikasi diselenggarakan oleh suatu panitia yang di daerah dikepalai oleh Kepala Daerah yang
(41)
bersangkutan. Prakualifikasi disyaratkan khusus bagi pemborong yang akan ikut serta dalam penawaran dan pelelangan dalam pemborongan bangunan.
Kegiatan dalam proses prakualifikasi pemborong adalah sebagai berikut : a. Registrasi.
Registrasi merupakan suatu proses pencatatan sekaligus pendaftaran data perusahaan yang meliputi data administrasi, keuangan, personalia, peralatan, perlengkapan dan pengalaman dalam melaksanakan pekerjaan.
b. Klasifikasi.
Kegunaan klasifikasi ini merupakan penggolongan perusahaan menurut bidang, sub bidang dan lingkup pekerjaannya.
c. Kualifikasi.
Merupakan suatu proses penilaian dan penggolongan perusahaan menurut tingkat kemampuan dasarnya pada masing-masing bidang, sub bidang dan lingkup kerjanya.
Pelaksanaan kualifikasi dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut :
1. Penetapan panitia prakualifikasi, yang diketuai oleh Gubernur, dengan sekretaris adalah Asisten Sekwilda tingkat I Bidang Pembangunan dengan beberapa ketua bidang dan anggota, Panitia Prakualifikasi ini mempunyai tugas-tugas sebagai berikut :
a. Mengumumkan seluas-luasnya tentang akan diadakannya prakualifikasi.
b. Menetapkan calon rekanan yang akan masuk dalam Daftar Rekaman Mampu (DRM).
c. Menyebarluaskan Daftar Rekaman Mampu yang ditetapkan.
d. Menerima, meneliti dan melakukan tindak lanjut atas sanggahan atas DRM.
e. Mengeluarkan dari DRM rekanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai rekanan.
(42)
2. Pengumuman prakualifikasi. 3. Penyiapan dokumen prakualifikasi. 4. Pengambilan dokumen prakualifikasi. 5. Pengembalian dokumen.
6. Pemeriksaan dan penilaian dokumen. 7. Pengesahan penilaian dokumen. 8. Penetapan hasil prakualifikasi.
9. Pemberian kode rekanan dan tanda daftar rekanan. 10.Perubahan klasifikasi rekanan oleh rekanan.
Dalam pembangunan suatu proyek, cara memilih pihak pemborong dapat dilakukan dengan cara :
a. Penunjukkan secara langsung.
Pemilihan pemborong tanpa melalui suatu pelelangan umum ataupun pelelangan terbatas, akan tetapi dilakukan dengan memperbandingkan diantara beberapa pemborong (untuk mengadakan barang dan jasa Kepres No. 16 Tahun 1994 mensyaratkan minimal 3 pemborong/rekanan) dan langsung melakukan negosiasi teknis ataupun harga sehingga diperoleh harga yang wajar dan teknis yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Pengadaan secara langsung.
Pemilihan pemborong yang dilakukan diantara pihak pemborong saja, tanpa melalui suatu pelelangan umum, pelelangan terbatas dan juga tanpa pemilihan langsung.
c. Pemilihan pemborong dengan tender terbatas.
Pelelangan untuk proyek tertentu yang diikuti sejumlah minimal kontrak tertentu (Kepres No. 16 Tahun 1994 mensyaratkan minimal 5 rekanan).
(43)
d. Pemilihan pemborong dengan tender umum.
Pelelangan yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman resmi untuk diberitahukan kepada masyarakat luas jika ada dikalangan dunia usaha yang berminat untuk mengikuti tender tersebut dan memenuhi syarat prakualifikasi.
Pelelangan umum ini dilakukan dengan menempuh prosedur sebagai berikut : 1. Pembentukan panitia pelelangan.
2. Pengumuman dan pemberian penjelasan. 3. Pengajuan penawaran dan dokumen-dokumen. 4. Pembukaan dokumen penawaran.
5. Penetapan calon pemenang. 6. Penetapan pemenang.
7. Pengumuman pemenang dan penunjukkan pemenang. 8. Pelelangan ulang, jika pelelangan pertama gagal. 2. Kualifikasi dan Klasifikasi pemborong.
Persyaratan kualifikasi ditujukan untuk menilai pemborong atau seleksi terhadap pemborong mengenai kemampuannya atau tingkatannya, sehingga terdapat penggolongan pemborong menurut tingkat-tingkat kemampuan, penilaian demikian didasarkan pada data yang disimpulkan dari persyaratan untuk prakualifikasi, yaitu menilai keahlian, pengalaman, kemampuan keuangan, kemampuan peralatan, kemampuan operasional, kemampuan personil dan lain-lain.
Kualifikasi pemborong dilakukan dengan melakukan penyaringan, terdapat 3 (tiga) gelombang, yaitu :
(44)
2. Golongan A2 untuk pekerjaan sedang. 3. Golongan A1 untuk pekerjaan ringan.
Pengertian klasifikasi terhadap pemborong berbeda dengan kualifikasi, yaitu menilai pemborong menurut jenis/bidang atau spesifikasi yang dilakukan, sehingga terdapat pembedaan pemborong menurut jenis/bidang pekerjaan atau spesialisasi pekerjaan yang dilakukan seperti bidang gudang-gudang, bidang jalan-jalan, bidang jembatan, bidang instalasi dan bidang arsitektur.
Persyaratan prakualifikasi dan kualifikasi penting karena merupakan penilaian terhadap pemborong yang dapat menyangkut masalah keselamatan umum dan kesejahteraan masyarakat serta ketertiban pembangunan. Sedang persyaratan klasifikasi penting agar pekerjaan dilaksanakan oleh ahlinya sesuai dengan bidang spesifikasinya.
Pada prinsipnya, untuk proyek swasta dikenal dua prosedur pemilihan pemborong, yaitu :
1. Pemilihan pemborong secara negosiasi.
Melalui sistem negosiasi, pemilihan pemborong tidak dilakukan dengan satu tender tertentu, akan tetapi pihak bowheer bernegosiasi langsung dengan pihak pemborong untuk memastikan apakah pemborong tersebut dapat dipilih untuk mengerjakan proyek yang bersangkutan. Sehingga prosedur negosiasi ini praktis bersifat informal. Dalam hal ini, pihak bowheer mengontak satu atau lebih pemborong yang menurut penilaiannya mampu mengerjakan pekerjaan yang dimaksud, sambil menginformasikan persyaratan-persyaratan untuk itu. Biasanya, pihak bowheer memintakan pihak pemborong untuk memasukkan juga penawarannya. Dalam praktek pemilihan pemborong ini, sering juga dikombinasikan antara sistem negosiasi dengan sistem tender.
(45)
Pemilihan seperti ini prosedurnya jauh lebih panjang dan lebih formal. Ada dua macam tender yang lazim dijumpai, yaitu :
(1) Sistem tender terbuka.
Adalah suatu tender yang mengundang semua perusahaan yang berkepentingan untuk berpartisipasi dalam tender tersebut, dalam hal ini dengan cara pemasangan iklan di media massa. Sistem ini lebih formal dengan dokumentasi yang lebih rumit, tetapi dengan begitu akhirnya akan dipilih pemborong yang terbaik.
(2) Sistem tender terbatas.
Adalah tender yang hanya beberapa perusahaan tertentu saja yang ikut berpartisipasi dalam tender tersebut.
(46)
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN PEMBANGUNAN PLTM SILAU 2 SIMALUNGUN ANTARA PT. HUTAMA KARYA (PERSERO) DENGAN PT.
BERSAUDARA SIMALUNGUN ENERGI A. Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 146 K/PDT.SUS/2012
Penelitian ini dilakukan terhadap putusan Mahkamah Agung RI No. 146 K/PDT.SUS/2012. Adapun para pihak dalam perkara ini adalah antara PT. Hutama Karya (Persero) Wilayah I, sebagai Pembanding dahulu Termohon melawan PT. Bersaudara Simalungun Energi, sebagai Terbanding dahulu Pemohon.
Dalam kasus ini yang menjadi silang sengketa diantara para pihak adalah Pemohon dan Termohon telah membuat dan menandatangani Surat Perjanjian Pemborongan Nomor 02/SPP/BSE/VIII/2008 tertanggal 11 Agustus 2008 (selanjutnya disebut "Perjanjian") untuk pekerjaan pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun, Sumatera Utara. Berdasarkan Perjanjian tersebut Termohon merupakan pemborong/kontraktor dalam melaksanakan pekerjaan.
Antara Pemohon dengan Termohon terkait dengan pelaksanaan perjanjian terjadi perselisihan dan Termohon telah mengajukan perselisihan tersebut ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada tanggal 29 Nopember 2010 dan terdaftar dengan No. 373/XI/ARB-BANI/2010. Permohonan Termohon ke BANI tersebut pada pokoknya adalah:
1. Klaim tentang pekerjaan tambah.
2. Klaim tentang denda keterlambatan pembayaran.
3. Tuntutan agar ditetapkannya tanggal 30 Mei 2010 sebagai tanggal serah terima pekerjaan. Pemohon mengajukan tuntutan dalam rekonpensi dalam proses di BANI pada intinya adalah bahwa Termohon telah wanprestasi karena tidak menyelesaikan dan menyerahkan pekerjaan dalam 365 hari, sesuai dengan kesepakatan Perjanjian, sehingga Pemohon menuntut:
(47)
1. Klaim denda keterlambatan penyerahan pekerjaan.
2. Klaim biaya-biaya yang dibayarkan oleh Pemohon kepada pihak ketiga yang menyelesaikan pelaksanaan Pekerjaan.
3. Klaim pengembalian kelebihan Pembayaran yang telah diterima Termohon.
4. Klaim ganti rugi berupa beban bunga bank karena keterlambatan penyelesaian pekerjaan. BANI telah memeriksa sengketa dan menjatuhkan Putusan No. 373/XI/ARB-BANI/ 2010 yang dibacakan di kantor BANI pada tanggal 4 Agustus 2011 dan dalam Putusan BANI No. 373, Sekretaris Majelis diperintahkan untuk mendaftarkan Putusan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan ketentuan pasal 71 Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terhadap Putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan Negeri dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan dimaksud terdaftar di Pengadilan Negeri. Pemohon telah mengajukan permohonan pembatalan Putusan BANI No. 373 sebelum berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksud, sehingga memenuhi ketentuan tentang tenggang waktu pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang ditentukan oleh UU No. 30 tahun 1999.
Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 Pemohon dapat mengajukan permohonan pembatalan Putusan BANI, apabila:
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atau dinyatakan palsu.
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan
(48)
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Adapun permohonan pembatalan putusan BANI diajukan berdasarkan adanya alasan bahwa:
1. Adanya tipu muslihat dalam pemeriksaan sengketa, terkait dengan dokumen berupa instruksi lapangan.
Dikabulkannya tuntutan Termohon tentang pekerjaan tambah karena Arbiter bertitik tolak dari adanya 3 dokumen berupa Instruksi Lapangan. Berdasarkan adanya ketiga dokumen ini, Arbiter menyimpulkan dalam butir 20 pertimbangan Putusannya bahwa "setiap langkah Pemohon di awali dengan Instruksi Lapangan dari Termohon".
Dengan mendasarkan pada tiga dokumen berupa Instruksi Lapangan tersebut, Arbiter telah menggeneralisir sehingga seolah-olah ada Instruksi Lapangan dari Pemohon kepada Termohon sebelum melakukan setiap pekerjaan, termasuk pekerjaan tambah. Hal ini jelas merupakan tipu muslihat, karena Instruksi Lapangan merupakan prosedur standar dan tidak terkait dengan pekerjaan tambah. Termohon melakukan tipu muslihat, dengan menggunakan 3 bukti Instruksi Lapangan), seolah-olah pekerjaan tambah yang diklaim Pemohon adalah berdasarkan adanya instruksi Pemohon. Nyatanya bukti-bukti tersebut tidak ada kaitannya dengan pekerjaan tambah, karena merupakan instruksi-instruksi tentang cara dan standar pengerjaan sehubungan dengan pekerjaan pokok dalam Perjanjian.
Termohon melakukan tipu muslihat tersebut, karena tidak dapat membuktikan adanya persetujuan Pemohon atas tiap-tiap pekerjaan tambah yang diklaim Termohon, sehingga kemudian menggunakan dokumen Instruksi Lapangan yang tidak ada relevansinya dengan pekerjaan tambah yang diklaim. Termohon melakukan tipu muslihat dan mengelabui
(49)
Arbiter dengan menyatakan seolah-olah adanya instruksi Pemohon atas setiap setiap hal yang kemudian diklaim sebagi pekerjaan tambah.
2. Putusan melebihi yang dipersengketakan/mengabulkan yang tidak dituntut.
Putusan BANI No. 373 telah menyimpang/melebihi materi yang dipersengketakan dan yang dimohon para pihak untuk diputus. Hal ini terlihat dengan jelas dari fakta bahwa Arbiter memutus hal yang tidak dimohon bahkan telah terbukti dan diakui para pihak yaitu tentang nilai Pekerjaan yang diperjanjikan dalam Perjanjian, yang sudah dibayar oleh Pemohon kepada Termohon.
Pertimbangan Putusan butir 47, disebutkan bahwa seolah-olah adanya kekurangan pembayaran Pekerjaan sebesar Rp 462.132.118,77 dari total nilai yang diperjanjikan, yaitu sebesar Rp 67.031.250.000. Pertimbangan pada Putusan tersebut didasarkan pada bukti yang diajukan masing-masing pihak dalam proses di BANI, yaitu Bukti PR-17 dan Bukti TR-3. Padahal kedua bukti tersebut justru membuktikan hal yang sebaliknya dari Putusan butir 47 tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Putusan tersebut mengesampingkan fakta yang telah diakui para pihak dan terbukti secara sah.
Bukti yang diajukan oleh Pemohon dan Termohon dalam proses di BANI tersebut merupakan pengakuan secara tegas bahwa pembayaran Pemohon kepada Termohon atas nilai Pekerjaan telah melebihi yang diperjanjikan. Dengan demikian atas dasar apa Arbiter menyatakan adanya sisa dana yang belum dibayarkan. Hal ini jelas menyimpang dari hal yang dipersengketakan dan Arbiter telah memutus hal yang tidak dituntut.
Dengan kesalahan dalam Putusan BANI tersebut, Pemohon telah mengirimkan surat No. Ref : 327/PP-ltr-mrs/VIII/2011 tertanggal 19 Agustus 2011 kepada Arbiter agar dapat dilakukan koreksi, namun ternyata Arbiter dalam Perkara aquo mengabaikannya. Padahal
(50)
dalam pasal 58 UU No. 30 tahun 1999, diatur bahwa: "Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan."
Penjelasan pasal tersebut adalah: "Yang dimaksud dengan "koreksi terhadap kekeliruan administratif' adalah koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat para pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah substansi putusan. Yang dimaksud dengan "menambah atau mengurangi tuntutan" adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan terhadap putusan apabila putusan, antara lain:
a. Telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak lawan. b. Tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk diputus.
c. Mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu sama lainnya.
Berdasarkan ketentuan undang-undang di atas, Arbiter wajib mengkoreksi Putusan, karena telah mengabulkan yang tidak dituntut bahkan telah mengesampingkan fakta persidangan yang membuktikan hal yang sebaliknya dari Putusan BANI. Hal ini juga menunjukkan bahwa Arbiter dalam perkara BANI No. 373 telah memutus melebihi kewenangannya (ultra vires), sehingga sepatutnya Putusan BANI No. 373 dibatalkan.
3. Putusan bertentangan dengan prinsip hukum dan undang-undang.
Pemohon dan Termohon mengakui secara tegas berlakunya ketentuan-ketentuan Perjanjian. Adapun Termohon hanya mengajukan permohonan agar ketentuan harga
lumpsum yang disepakati dalam Perjanjian tidak berlaku, sedangkan mengenai ketentuan lainnya.
(51)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang- undang Hukum Perdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian Perjanjian antara Pemohon dan Termohon adalah undang-undang yang harus menjadi acuan dalam menilai setiap hak dan kewajiban maupun akibat-akibat hukumnya. Demikian juga Putusan BANI No. 373 tidaknya menyatakan Perjanjian ini batal, melainkan menyatakan bahwa Perjanjian sah dan mengikat para pihak.
Faktanya Putusan telah mengesampingkan ketentuan Perjanjian yang merupakan undang-undang bagi para pihak tersebut. Hal ini terlihat dari pertimbangan Putusan terkait dengan tuntutan denda keterlambatan pada rekonpensi. Arbiter telah membenarkan bahwa Pemohon terlambat menyelesaikan pekerjaan, namun demikian tuntutan denda keterlambatan ditolak dengan alasan "Para Pihak sama-sama mengetahui adanya resiko keterlambatan dalam pelaksanaan pekerjaan", karena adanya perubahan gambar dan pekerjaan tambahan.
Fakta di atas membuktikan bahwa Majelis telah mengesampingkan ketentuan pasal 19 ayat 4 Perjanjian yang menegaskan bahwa penambahan atau pengurangan pekerjaan tidak dapat dijadikan alasan untuk merubah waktu penyerahan pekerjaan. Dengan demikian meskipun terbukti adanya pekerjaan tambah (quad non), hal tersebut tidak mengesampingkan ketentuan tentang waktu penyelesaian dan penyerahan Pekerjaan. Karena itu Putusan BANI No. 373 telah mengesampingkan ketentuan Perjanjian yang sah dan merupakan undang-undang bagi para pihak. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum perdata di Indonesia tentang suatu perjanjian yang sah dan ketentuan pasal 56 UU No. 30 tahun 1999 serta pasal 15 ayat 2 Rules and Regulations yang merupakan acuan beracara di BANI.
Berdasarkan seluruh uraian di atas telah nyata bahwa Arbiter yang memeriksa dan menjatuhkan Putusan BANI No. 373 telah memutus bertentangan dengan hukum dan
(52)
perundang-undangan dan tidak berdasarkan bukti serta fakta persidangan. Karena itu sengketa ini tidaklah dapat diselesaikan melalui arbitrase lagi, karena telah nyata bahwa arbitrase tidak dapat memeriksa dan memutus menurut hukum, kepatutan dan keadilan. Banyaknya kesalahan dan kecerobohan yang fatal sebagaimana diuraikan di atas membuktikan secara nyata bahwa terjadi
unprofessional conduct dalam menjatuhkan Putusan, yang membuat Pemohon tidak dapat mempercayakan pemeriksaan ulang sengketa aquo oleh abitrase. Mohon kiranya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga melihat adanya resiko terjadinya kesalahan-kesalahan yang fatal tersebut bila sengketa aquo diperiksa kembali oleh arbitrase. Karena itu sangat patut dan berdasar bila Pemohon mohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan Putusan BANI No. 373 dan selanjutnya menyatakan bahwa sengketa dapat diperiksa kembali oleh Pengadilan Negeri.
Berdasarkanhal-hal tersebut di atas Pemohon mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan sebagai berikut :
Dalam Provisi:
Menyatakan bahwa Putusan BANI No.373/XI/ARB-BANI/2010 tidak dapat dilaksanakan dulu/ditunda pelaksanaannya, sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atas perkara permohonan ini.
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan bahwa Putusan BANI No. 373/XI/ARB-BANI/2010 batal dengan segala akibat hukumnya.
3. Menetapkan bahwa forum yang berwenang untuk memeriksa kembali sengketa antara Pemohon dan Termohon sehubungan dengan pelaksanaan Surat Perjanjian Pemborongan
(53)
Nomor 02/ SPP/ BSE/VIII/ 2008 tertanggal 11 Agustus 2008 adalah Pengadilan Negeri, sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
4. Menghukum Termohon untuk membayar biaya Perkara. Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan hukum
(Ex Aequo et Bono).
Terhadap permohonan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusan Nomor : 373/Pdt.G-ARB/2011/PN.Jkt.Pst. tanggal 2 Desember 2011 yang amarnya sebagai berikut:
Eksepsi :
1. Menolak eksepsi Termohon
2. Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara No. 373/Pdt.G- ARB/2011/PN.Jkt.Pst
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan bahwa Putusan BANI No. 373/XI/ARB-BANI/2010 batal dengan segala akibat
hukumnya.
3. Menetapkan bahwa forum yang berwenang untuk memeriksa kembali sengketa antara
Pemohon dan Termohon sehubungan dengan pelaksanaan Surat Perjanjian Pemborongan Nomor 02/SPP/BSE/VIII/ 2008 tertanggal 11 Agustus 2008 adalah Pengadilan Negeri, sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
4. Menghukum Termohon untuk membayar biaya Perkara Rp. 266.000,-(dua ratus enam puluh
enam ribu rupiah).
Selanjutnya dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung telah mengambil putusan mengabulkan permohonan banding dari Pemohon Banding : PT. Hutama Karya (Persero)
(1)
yang bersengketa untuk mengatur pertemuan dan mencapai suatu kesepakatan.Kesepakatan yang dicapai dalam mediasi ini dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis (pasal 50 ayat 6).
4) Konsiliasi.
Konsiliasi adalah penyesuaian dan penyelesaian sengketa dengan cara damai,secara baik,digunakan di pengadilan sebelum sidang dengan pandangan mencegah pemeriksaan pengadilan dan dalam sengketa perburuhan sebelum arbitrase. Pengadilan Konsiliasi adalah pengadilan dengan syarat yang diusulkan penyesuaian,sehingga untuk menghindari litigasi.
5. Arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase Ad Hoc.
Selain penyelesaian dengan sarana mediasi dan konsiliasi, cara lain yang dapat ditempuh dalam penyelesaian sengketa perjanjian kerja konstruksi adalah dengan cara arbitrase. Di Indonesia, pengaturan mengenai arbitrase telah diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Menurut pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor 30 tahun 1999, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Sehubungan dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrse, hal ini harus dijelaskan dengan tegas dalam kontrak kerja konstruksi, arbitrase apa yang dipilih (lembaga atau ad hoc), termasuk pula peraturan prosedur yang dipakai untuk menghindari persepsi yang berbeda antara para pihak yang dapat menjadi benih sengketa yang baru.
Penuangan klausula mengenai arbitrase ini, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No 30 Tahun 1999, yang menyatakan Perjanjian arbitrase adalah
(2)
suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Arbitrase dikatakan merupakan lembaga penyelesaian favorit para pihak kerja kontrak konstruksi, dikarenakan memiliki beberapa unggulan daripada lembaga peradilan. Beberapa arti penting dari lembaga arbitrase, antara lain:
a. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat
b. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak
c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
d. Putusan arbitrase dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang besangkutan. Sifat rahasia pada putusan arbitrase inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
(3)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan terhadap putusan Mahkamah Agung RI No.407 K/Pdt/1998, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan menurut majelis hakim menyatakan bahwa putusan Arbitrase sudah tepat dan benar, karena dapat dibuktikan adanya pekerjaan tambahan, yang dilakukan oleh Pemohon Banding (PT. Hutama Karya), hal ini dapat dibuktikan pula dengan adanya Instruksiinstruksi lapangan yang dikeluarkan oleh pihak owner yaitu PT. Bersaudara Simalungun Energi (Termohon Banding), meskipun pekerjaan tambahan tersebut diingkari oleh PT. Bersaudara Simalungun Energi, akan tetapi dengan adanya instruksi-instruksi lapangan dari pihak pekerja, maka secara tidak langsung PT. Bersaudara Simalungun Energi menyetujui pekerjaan tambahan tersebut.
2. Akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan membawa akibat hukum bahwa pihak yang dirugikan meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian tersebut.
3. Penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun dilakukan dengan cara musyawarah jika tidak tercapai kata sepakat baru dimajukan tuntutan
(4)
ganti rugi melalui arbitrase dan jika keberatan atas putusan badan arbitrase dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
B. Saran.
1. Agar para pihak yang akan mengadakan suatu perjanjian apabila perjanjian yang sifatnya menyangkut biaya dan resiko yang besar, juga menyangkut kepentingan umum harus memperhatikan dan mencermati ketentuan peraturan perundang-undangan yang disamping peraturan yang dibuat oleh para pihak sendiri, yang kadang kala dapat merugikan kepentingan salah satu pihak.
2. Prinsip mencegah lebih baik dari pada mengobati berlaku juga dalam suatu kontrak, berbagai tindakan pencegahan agar tidak terjadinya pemutusan/ pembatalan kontrak harus diperhatikan, untuk tindakan preventif antara lain : mengenal sejauh mungkin reputasi pihak lain dalam kontrak tersebut, melihat sejauh mana kemampuan pihak lain tersebut. Dengan membuat Memorandum of Understanding agar dapat saling menjajaki dan saling mengenal lebih jauh terhadap pihak mitranya dalam kontrak tersebut.
3. Agar penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah merupakan suatu pilihan hukum bagi para pihak yang bersengketa, dan disebabkan adanya suatu pilihan hukum maka kepada pihak yang bersengketa tersebut hendaknya dapat menghormati putusan arbitrase yang telah ditetapkan
4. Agar putusan di luar pengadilan, maka keputusan arbitrase lebih menekankan perdamaian dalam menyelesaikan sengketa, maka dalam hal ini disarankan kepada para pihak yang bersengketa, hendaknya dapat menempuh jalan arbitrase sebagai suatu pilihan hukum dalam menyelesaikan sengketa mereka.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.
---,1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
Djanius Djamin dan Syamsul Arifin, 1991, Bahan Dasar Hukum Perdata,Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas Medan.
FX Djumialdji, 1987, Perjanjian Pemborongan, Bina Aksara, Jakarta J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bhakti, Bandung
Mahadi, 1989, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung
Mariam Darus Badrulzaman., 1987, Sistem Hukum Perdata Nasional, Dewan Kerjasama Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Medan
Munir Fuady, 1998, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bhakti, Bandung.
---;Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
M. Yahya Harahap,1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
Purwahid Patrik, 1990, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
R. Wirjono Prodjodikoro, 1992, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung.
R. Subekti, 1992, Aneka Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1994, Terjemahan KUH.Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta R. Setiawan,1990, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta
Sri Soedewi Maschjun Sofwan, 1982, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan. Liberty, Yogyakarta.
(6)
Sajtipto Rahardjo,1986,Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Sudargo Gautama., Aneka Hukum Arbitrase (Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia Yang Baru), Citra Aditya Bhkati, Bandung, 1996
Sudikno Mertokusumo, 1998,Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta
Tan Kamello., Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2004