Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kecerdasan Emosional Remaja di SMA Katolik Tri Sakti Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pola Asuh Orang Tua
2.1.1. Definisi Pola Asuh Orang Tua
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model,
sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan kata asuh memiliki arti
menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih)
dan memimpin satu badan atau lembaga. Widodo (2011) dalam Chotimah (2012)
menyatakan pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara orang tua dan
anak, yaitu bagaimana sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak.
Termasuk cara menerapkan aturan, mengajarkan nilai/ norma, memberikan
perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku yang baik
sehingga dijadikan contoh atau panutan bagi anaknya.
2.1.2. Dimensi Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua menurut Baumrind (dalam Colbert & Martin, 1997)
dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu otoriter, demokratis, permisif, dan
uninvolved (tidak terlibat). Keempat tipe pola asuh ini merupakan interaksi antara
dua dimensi tingkah laku, yaitu dimensi emosi dan dimensi kontrol. Pengertian
dari dimensi emosi adalah orang tua bisa hangat, responsif, dan mementingkan
kebutuhan anak dalam pendekatannya untuk mengasuh anak, tetapi bisa saja

penolakan, tidak responsif, dan tidak terlibat dengan anak, serta fokus pada
keinginan dan kebutuhannya sendiri. Adapun pengertian dimensi kontrol adalah
orang tua sangat menuntut anak mereka, melarang tingkah laku anak-anaknya,

14
Universitas Sumatera Utara

15

atau bisa saja mereka bisa sangat permisif dan tidak menuntut apapun,
mengizinkan apapun yang anaknya ingin lakukan (Silalahi, 2010).
Menurut Baumrind (1973) dalam Berns (2004) mengelompokkan tipe pola
asuh orang tua menjadi tiga tipe, yakni:
a.

Pola Asuh Otoriter (Authoritarian Parenting)
Pola asuh otoriter berarti pola asuh yang mencoba untuk membentuk,

kontrol, dan mengevaluasi bahwa perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar
perilaku, biasanya standar mutlak, teologis termotivasi dan dirumuskan oleh

otoritas yang lebih tinggi. Pola asuh ini menghargai ketaatan sebagai suatu
kebajikan dan nikmat hukuman, dan tindakan yang kuat untuk mengekang diri, di
mana tindakan anak atau konflik keyakinan dengan apa yang dia pikir adalah
perilaku yang benar. Pola asuh ini juga menanamkan nilai-nilai penting seperti
menghormati otoritas, menghormati kerja, dan rasa hormat untuk pelestarian
tatanan dan struktur tradisional (Berns, 2004).
Sementara menurut Edwards (2008) pola asuh otoriter berarti pola asuh
yang di mana orang tua menuntut keteraturan, sikap yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan menekankan kepatuhan pada otoritas. Orang tua menggunakan
hukuman sebagai penegak kedisplinan. Orang tua otoriter tidak selalu bersikap
dingin dan tidak responsif, tetapi mereka lebih banyak menuntut dan bersikap
penuh amarah serta kurang bersikap positif dan mencintai anak-anak. Mereka juga
mengendalikan dan menilai perilaku anak dengan standar mutlak.
Oleh karena itu, gaya pengasuhan otoriter memiliki ciri- ciri, yaitu: (a)
Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua; (b) Pengontrolan orang
tua terhadap perilaku anak sangat ketat; (c) Anak hampir tidak pernah

Universitas Sumatera Utara

16


mendapatkan pujian; (d) Orang tua yang tidak mengenal kompromi dan dalam
komunikasi biasanya hanya terpusat pada orang tua (Tridhonanto, 2014).
b.

Pola Asuh Demokratis (Authoritative Parenting)
Menurut Hasan (2013) bahwa pola asuh demokratis berarti pola asuh

orang tua yang menerapkan perlakuan kepada anak dalam rangka membentuk
kepribadian anak dengan cara memprioritaskan kepentingan anak yang bersikap
rasional atau pemikiran- pemikiran. Menurut Tridhonanto (2014) bahwa pola asuh
ini ditandai dengan: (a) Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan
mengembangkan kontrol internal, (b) Anak diakui secara pribadi oleh orang tua
dan turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan, (c) Menetapkan peraturan
serta mengatur kehidupan anak. Saat orang tua, menggunakan hukuman fisik, dan
diberikan jika terbukti anak secara sadar menolak melakukan apa yang telah
disetujui bersama, sehingga lebih bersikap edukatif, (d) Memprioritaskan
kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka, (e)
Bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap berlebihan yang
melampaui kemampuan anak, (f) Memberikan kebebasan kepada anak untuk

memilih dan mealkuakn suatu tindakan,(g) Pendekatannya kepada anak bersifat
hangat.
c.

Pola Asuh Permisif (Permissive Parenting)
Pola asuh permisif menurut Hasan (2013), berati pola asuh orang tua pada

anak dalam rangka membentuk kepribadian anak dengan cara memberikan
pengawasan yang sangat longgar dan memberikan kesempatan pada anaknya
untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Adapun

Universitas Sumatera Utara

17

kecenderungan orang tua tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak
sedang dalam keadaan bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan.
Sehingga sikap dan sifat dari orang tua tersebut sering kali disukai oleh anak.
Tridhonanto (2014) menjelaskan bahwa pola asuh ini memiliki ciri- ciri, yaitu: (a)
Orangtua bersikap acceptance tinggi namun kontrolnya rendah, anak diizinkan

membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat sekehendaknya sendiri, (b)
Orangtua memberikan kebebasan pada anak untuk menyatakan dorongan atau
keinginannya, (c) Orang tua kurang menerapkan hukuman pada anak, bahkan
hampir tidak menggunakan hukuman Adapun dampak yang ditimbulkan dari pola
asuh tersebut, seperti: anak bersikap impulsif dan agresif, suka memberontak,
kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri, suka dominasi, tidak
jelas arah hidupnya, dan prestasinya rendah.
Tipe pola asuh menurut Maccoby dan Martin (1983) dalam Lestari (2006)
terdiri dari empat tipe yaitu: authoritarian (otoriter), authoritative (demokratis),
permissive (permisif) dan uninvolved parentig (Neglectful), yaitu pola asuh
dimana orangtua tidak mau terlibat dan tidak mau pula terlalu mempedulikan
kehidupan anaknya. Oleh karena itu, tipe pola asuh ini bercirikan orang tua yang
secara aktif melupakan anak mereka dan dimotivasi untuk melakukan apapun
yang dibutuhkan untuk menimbulkan biaya, dan usaha berinteraksi dengan anak.
Dengan pola asuh ini, akan menimbulkan serangkaian dampak buruk. Diantaranya
anak akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik,
kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang
tuanya.

Universitas Sumatera Utara


18

Tipe pola asuh menurut Hoffman (1970) dalam Lestari (2006) terdiri tiga
tipe, yaitu:
1.

Induction (pola asuh bina kasih)
Adalah suatu teknik disiplin dimana orang tua memberi penjelasan atau

alasan mengapa anak harus mengubah perilakunya. Pada tipe pola asuh seperti ini
dijumpai perilaku orang tua yang directive dan supportive tinggi.
2.

Power assertion (pola asuh unjuk kuasa)
Adalah perilaku orang tua tertentu yang menghasilkan tekanan-tekanan

eksternal pada anak agar mereka berperilaku sesuai dengan keinginan orangtua.
Pada tipe pola asuh ini dijumpai perilaku orang tua yang directive-nya tinggi dan
supportive rendah.

3.

Love withdrawal (pola asuh lepas kasih)
Adalah pernyataan-pernyataan nonfisik dari rasa dan sikap tidak setuju

orang tua terhadap perilaku anak dengan implikasi tidak diberikannya lagi kasih
sayang sampai anak merubah perilakunya. Pada tipe pola asuh ini dijumpai
perilaku orang tua yang directive dan supportive rendah.
2.1.3. Elemen Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Tridhonanto (2014) menyebutkan beberapa elemen yang mempengaruhi
pola asuh orang tua pada anak, yaitu:
a.

Usia orang tua. Rentang usia tertentu mempengaruhi orang tua dalam
menjalankan peran pengasuhan.

b.

Pendidikan orang tua. Pendidikan orang tua dalam perawatan anak akan
mempengaruhi kesiapan mereka menjalankan peran pengasuhan.


Universitas Sumatera Utara

19

c.

Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak. Orang tua yang telah
memiliki pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap
menjalankan peran pengasuhan dan lebih tenang.

d.

Keterlibatan orang tua. Kedekatan hubungan antara ibu dan anaknya sama
pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada
perbedaan, tetapi tidak mengurangi makna hubungan tersebut.

e.

Stres orang tua. Stres yang dialami oleh orang tua akan mempengaruhi

kemampuan orang tua dalam menjalankan peran sebagai pengasuh, terutama
dalam kaitannya dengan strategi menghadapi permasalahan anak.

f.

Hubungan suami istri. Hubungan yang kurang harmonis antara suami dan istri
akan berpengaruh terhadap kemampuan mereka dalam menjalankan perannya
sebagai orang tua yang mengasuh anak dengan penuh rasa bahagia.

2.1.4. Klasifikasi Dalam Pola Pengasuhan
Menurut Silalahi (2010) tentang klasifikasi dalam pola pengasuhan terdiri
dari tiga bagian, yaitu:
1) Orang tua dengan pola pengasuhan autoritatif/ demokratis memberikan model
yang bertanggung jawab secara sosial, tingkah laku menyayangi anak yang
mendorong anak untuk berbuat hal yang sama, memberikan kesempatan yang
lebih efektif untuk melakukan tingkah laku yang bertanggung jawab dengan
meminta anak untuk membuat pilihannya sendiri dengan bimbingan yang
jelas, dan memberikan umpan balik terhadap pilihan tersebut. Pemberian
umpan balik dapat ini dapat mendorong anak untuk mengenali hubungan
atara keputusan, tingkah laku, dan konsekuensi yang diambil, serta

merefleksikan kemampuan mereka sebagai pembuat keputusan.

Universitas Sumatera Utara

20

2) Orang tua dengan pola pengasuhan otoriter membatasi dilakukannya hal yang
dimiliki orang tua dengan pola pengasuhan autoritatif dan lebih menunjukkan
tingkah laku memaksa atau kurang menyayangi anak dan hal yang demikian
merupakan bukan contoh yang baik pada perkembangan anak yang meliputi
perkembangan psikoemosional anak.
3) Orang tua dengan pola pengasuhan permisif tidak memberikan panduan yang
jelas yang sesuai dengan usia dan pengalaman anak, serta kurang menyayangi
anak yang dapat membuat perkembangan psikoemosional anak menjadi tidak
baik.
2.1.5. Aspek-Aspek Penerapan Pola Asuh
Aspek-aspek penerapan pola asuh menurut Tridhonanto (2014) dapat
dijabarkan dalam bentuk tabel berikut:
Tabel 2.1 Aspek - Aspek Penerapan Pola Asuh
No Pola Asuh Otoriter

1. Orang tua mengekang
anak untuk bergaul dan
memilih-milih orang
yang menjadi teman
anaknya
2. Anak harus menuruti
kehendak orang tua tanpa
peduli keinginan dan
kemampuan anak
3. Segala aturan yang dibuat
orang tua harus ditaati
olehanak walaupun tidak
sesuai dengan keinginan
anak
4. Orang tua memberikan
kesempatan pada anak
untuk berinisiatif dalam
bertindak dan menyelesai
kan masalah

Pola Asuh Demokratis
1. Orang tua bersikap
acceptance, kontrol yang
tinggi, dan responsif
terhadap kebutuhan anak

PolaAsuh Permisif
1. Orang tua tidak
peduli terhadap
pertemanan anaknya

2. Orang tua mendorong
anak untuk menyatakan
pendapat atau pertanyaan

2. Orang tua kurang
memberikan
perhatian terhadap
kebutuhan anak
3. Orang tua tidak
peduli terhadap
pergaulan anak

3. Orang tua memberikan
penjelasan tentang dampa
k perbuatan yang baik
dan yang buruk
4. Orang tua bersikap
realistis terhadap kemam
puan anak

4. Orang tua tidak
perduli dengan
masalah yang
dihadapi

Universitas Sumatera Utara

21

5.

6.

Orang tua melarang
anaknya untuk
berpartisipasi dalam
kegiatan kelompok
Orang tua menuntut
anaknya bertanggung
jawab terhadap tindakan
yang dilakukannya tetapi
tidak menjelaskan kepada
anak mengapa anak harus
bertanggung jawab

5. Orang tua memberikan
5. Orang tua tidak
kebebasan kepada anak
peduli terhadap
untuk memilih dan
kegiatan kelompok
melakukan suatu tindakan
yang diikuti anaknya
6. Orang tua menjadikan
6. Orang tua tidak
dirinya sebagai model
peduli anaknya
panutan bagi anak
bertanggung jawab
7. Orang tua hangat dan
atau tidak atas
berupaya membimbing
tindakan yang
anak
dilakukannya.
8. Orang tua melibatkan
anak dalam membuat
keputusan
9. Orang tua berwenang
untuk mengambil
keputusan
10. Orang tua menghargai
disiplin anak.

2.1.6. Dampak Pola Asuh Terhadap Perilaku Remaja
Menurut Yusuf (2011) dampak pola asuh terhadap perilaku remaja
(kompetensi emosional, sosial, intelektual) dapat dilihat melalui tabel di bawah
ini:
Tabel 2.2 Dampak Pola Asuh terhadap Perilaku Remaja
Pola Asuh Orangtua
1. Authoritarian
(Otoriter)

1.

2.
3.

4.
5.

Perilaku Orang Tua
Sikap “acceptance”
rendah, namun kontrol
tinggi
Suka menghukum
secara fisik
Bersikap memerintah
anak untuk melakukan
sesuatu tanpa
kompromi
Bersikap kaku
Cenderung emosional
dan bersikap menolak

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Perilaku Remaja
Mudah tersinggung
Penakut
Pemurung
Mudah terpengaruh
Mudah stres
Tidak mempunyai arah
masa depan yang jelas
Tidak bersahabat

Universitas Sumatera Utara

22

2. Authoritative
(Demokratis)

1. Sikap “acceptance”
dan kontrolnya tinggi
2. Bersikap responsif
terhadap kebutuhan
anak
3. Mendorong anak untuk
menyatakan pendapat
atau pertanyaan
4. Memberikan penjelasan
tentang dampak
perbuatan yang baik
dan yang buruk

3. Permissive
(Permisif)

1. Sikap “acceptance”
tinggi, namun
kontrolnya rendah
2. Memberi kebebasan
kepada anak untuk
menyatakan dorongan/
keinginannya

1. Bersikap bersahabat
2. Memiliki rasa percaya
diri
3. Mampu mengendalikan
diri (self-control)
4. Bersikap sopan
5. Mau bekerja sama
6. Memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi
7. Mempunyai arah/tujuan
hidup yang jelas
8. Berorientasi terhadap
prestasi
1. Bersikap impulsif dan
agresif
2. Suka memberontak
3. Kurang memiliki rasa
percaya diri dan
pengendalian diri
4. Suka mendominasi
5. Tidak jelas arah
hidupnya
6. Prestasinya rendah

2.1.7. Hubungan Antara Karakteristik Emosional Remaja Dan Pola Asuh
Orangtua
Peck (Loree,1970) dalam Yusuf (2011) telah meneliti hubungan antara
karakteristik emosional dan pola asuh orangtua dengan elemen-elemen struktur
kepribadian remaja. Hasil temuannya menunjukka bahwa:
a.

Remaja yang memiliki “ego strength” (kematangan emosional, integrasi
pribadi, otonomi, bertingkah laku rasional, persepsi diri, dan sosial yang
akurat, dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan
masyarakat), secara konsisten berkaitan erat dengan pengalamannya di
lingkungan keluarga yang saling mempercayai dan menerima.

Universitas Sumatera Utara

23

b.

Remaja yang memiliki “superego strength” (berperilaku secara efektif yang
dibimbing oleh kata hatinya) sangat berkaitan erat dengan keteraturan dan
konsistensi kehidupan orangtuanya.

c.

Remaja yang “friendlines” dan spontanetty” berhubungan erat dengan iklim
orangtua yang demokratis.

d.

Remaja yang bersikap bermusuhan dan memiliki perasaan gelisah atau cemas
terhadap dorongan-dorongan dari dalam, berkaitan erat dengan orangtua yang
otoriter.

2.2. Konsep Kecerdasan Emosional
2.2.1. Definisi Kecerdasan Emosional
Salovey dan Mayer (1990) dalam Mubayidh (2006) mencetuskan bahwa
kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan
seseorang dalam memantau baik emosi dirinya maupun emosi orang lain, dan juga
kemampuannya dalam membedakan emosi dirinya dengan emosi orang lain,
dimana kemampuan ini digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan
perilakunya.
Sedangkan, menurut Goleman (2015) dalam bukunya yang berjudul
Working With Emotional Intelligence menjelaskan bahwa kecerdasan emosional
(emotional intelligence) merupakan kemampuan mengenali perasaan diri sendiri,
dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang
lain. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan
emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Universitas Sumatera Utara

24

Koordinasi suasana hati inilah yang merupakan inti dari hubungan sosial yang
baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu
yang lain atau dapat berempati, maka orang tersebut akan memiliki emosionalitas
yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta
lingkungannya.
2.2.2. Dimensi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional dijabarkan dalam beberapa dimensi oleh Salovey
dan Mayer (2003) dalam Ardiana (2010) , yaitu:

Kecerdasan emosional

dijelaskan dalam 4 (empat) dimensi, yaitu persepsi, penilaian dan ekspresi emosi,
fasilitasi emosi untuk berpikir, memahami dan menganalisis informasi emosi,
menggunakan pengetahuan emosional dan mengatur emosi.
Dimensi pertama, yaitu kemampuan mempersepsikan, menilai dan
mengekspresikan emosi terdiri dari beberapa kemampuan. Individu mampu
mengidentifikasi

emosi

pada

kondisi

fisik

dan

psikologi

individu,

mengidentifikasi emosi orang lain, mengekpresikan emosi dengan akurat dan
mengekspresikan kebutuhan terhadap perasaan tersebut. Selain itu individu juga
mampu membedakan ekspresi perasaan antara yang akurat dan tidak akurat, jujur
dan tidak jujur. Remaja perlu memiliki dimensi pertama ini. Remaja yang mampu
mempersepsikan, menilai dan mengekspresikan emosi akan lebih mampu untuk
mengidentifikasi emosi dan mampu mengekspresikan kebutuhan terhadap
perasaan yang dialami. Sehingga remaja dapat berinteraksi dengan orang lain,
mampu bertindak, dan mampu berkomunikasi dengan baik (Ardiana, 2010). Oleh
karena itu, remaja perlu memiliki kemampuan mempersepsikan, menilai dan
mengekspresikan emosi yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

25

Dimensi kedua, yaitu kemampuan fasilitasi emosi untuk berpikir. Dimensi
ini memungkinkan individu untuk mengatur dan memprioritaskan pikiran pribadi
berdasarkan perasaan yang dihubungkan dengan objek, kejadian dan orang lain,
membangkitkan emosi untuk memfasilitasi memori dan pendapat yang
berhubungan

dengan

perasaan

yang

dirasakan.

Individu

juga

mampu

mengintegrasikan mood dan perspektif serta menggunakan keadaan emosional
untuk memecahkan masalah dan menghasilkan kreativitas. Remaja perlu memiliki
kemampuan memfasilitasi emosi untuk berpikir. Remaja yang mampu
memfasilitasi emosi untuk berpikir akan lebih mampu memecahkan setiap
masalah yang dialami, dan mampu menghasilkan kreativitas karena remaja
membangkitkan

emosi

yang

dirasakan

untuk

memfasilitasi

memorinya

(Ardiana, 2010).
Dimensi ketiga, yaitu memahami dan menganalisis informasi emosional,
serta menggunakan pengetahuan emosional. Individu mampu mengetahui
bagaimana emosi-emosi yang berbeda saling berhubungan, menerima sebab dan
konsekuensi dari perasaan. Individu mampu menginterpretasikan perasaan yang
komplek serta mampu memahami dan mempredikasi perubahan emosi (Salovey
dan Mayer & Caruso, 2000
kemampuan

untuk

dalam Ardiana, 2010). Remaja perlu memiliki

memahami,

menganalisis

informasi

emosional,

dan

menggunakan pengetahuan emosional. Remaja akan lebih mampu memahami,
menerima sebab dan konsekuensi dari setiap emosi yang dirasakan sehingga
remaja mampu menginterpretasikan perasaan yang komplek (Ardiana, 2010).

Universitas Sumatera Utara

26

Dimensi yang terakhir menurut Salovey dan Mayer (2002) yaitu, mengatur
emosi. Dimensi ini terdiri dari beberapa kemampuan seperti terbuka terhadap
perasaan, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, memonitor dan
merefleksikan emosi dan menggunakan ataupun melepaskan emosi tergantung
pada pendapat atau rasional diri (Ardiana, 2010).
Bracket & Salovey (2006) dalam Ardiana (2010) berpendapat bahwa
persepsi, penilaian dan ekspresi emosi merupakan level terendah dan mengatur
emosi adalah level tertinggi dan paling komplek dalam dimensi kecerdasaan
emosional. Dimensi-dimensi kecerdasan emosional tersebut dapat dipengaruhi
oleh pola asuh orang tua dalam memberikan pengasuhan kepada anak.
2.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2005) dalam Fitriyani (2015) ada dua faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1) Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri seorang individu
yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosi seseorang.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar individu dan
mempengaruhi individu untuk mengubah sikap. Pengaruh luar dapat bersifat
individu maupun kelompok. Misalnya, antara individu kepada individu lain
ataupun antara kelompok kepada individu maupun sebaliknya. Pola asuh yang
diterapkan orangtua kepada anak merupakan salah satu contoh pengaruh yang
diberikan dari individu kepada individu lain, dalam hal ini anak. Pengaruh juga

Universitas Sumatera Utara

27

dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media masa baik
cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.
Menurut Hurlock (2008) ada beberapa kondisi yang mempengaruhi emosi
seseorang, diantaranya:
1.

Kondisi kesehatan
Kondisi kesehatan yang baik mendorong emosi yang menyenangkan menjadi

dominan, sedangkan kesehatan yang buruk menjadikan emosi yang tidak
menyenangkan lebih menonjol.
2.

Suasana rumah
Suasana rumah yang berisi kebahagiaan, sedikit kemarahan, kecemburuan,

dan dendam, maka akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menjadi
anak yang bahagia.
3.

Cara mendidik anak
Mendidik anak secara otoriter, yang menggunakan hukuman untuk

memperkuat kepatuhan secara ketat, akan mendorong emosi yang tidak
menyenangkan menjadi dominan. Cara mendidik anak yang bersifat demokratis
dan permisif akan menjadikan suasana yang santai akan menunjang emosi yang
menyenangkan.
4.

Hubungan dengan para anggota keluarga
Hubungan yang tidak rukun antara orangtua atau saudara akan lebih banyak

menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi negatif cenderung
menguasai kehidupan anak di rumah.

Universitas Sumatera Utara

28

5.

Hubungan dengan teman sebaya
Jika anak diterima dengan baik oleh kelompok teman sebaya, maka emosi

yang menyenangkan akan menjadi dominan. Apabila anak ditolak atau diabaikan
oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang dominan adalah emosi yang
negatif.
6.

Perlindungan yang berlebihan-lebihan
Orangtua yang melindungi anak secara berlebihan, yang selalu berprasangka

bahaya terhadap sesuatu akan menimbulkan rasa takut pada anak menjadi
dominan.
7.

Aspirasi orang tua
Orang tua yang memiliki aspirasi yang tinggi dan tidak realistis bagi anak,

maka akan menjadikan anak merasa canggung, malu dan merasa bersalah
terhadap suatu kritik. Jika perasaan ini terjadi berulangkali maka akan menjadikan
anak memiliki emosi yang tidak menyenangkan.
8.

Bimbingan
Bimbingan dengan menitikberatkan kepada penanaman pengertian bahwa

mengalami fustasi sekali waktu dapat mencegah kemarahan dan kebencian
menjadi emosi yang dominan. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keceradsan emosi
anak seperti kondisi kesehatan, suasana rumah, cara mendidik anak, hubungan
dengan para anggota keluarga, hubungan dengan teman sebaya, perlindungan
yang berlebih-lebihan, aspirasi orang tua, dan bimbingan (Fitriyani, 2015).

Universitas Sumatera Utara

29

2.2.4. Pengukuran Kecerdasan Emosional
Pengukuran kecerdasan emosional terdiri dari dua jenis yaitu tes performa
dan kuesioner self-report. Tes performa dilakukan dengan melihat performa emosi
individu secara obyektif seperti wajah. Kuesioner self-report adalah laporan emosi
yang dirasakan diri sendiri. Kedua tes ini masing-masing memiliki kekuatan dan
kelemahan. Tes performa membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan
kuesioner self-report karena tes performa membutuhkan waktu untuk observasi,
sedangkan kuesioner self-report lebih cepat dilakukan. Tidak seperti tes performa,
kuesioner self-report membutuhkan pemaham diri terhadap tingkat kecerdasan
emosional pribadi. Terkadang individu tidak mampu mengartikan emosi dirinya
sendiri. Kelemahan kuesioner self-report adalah terkadang individu mengubah
respon mereka agar terlihat baik. Oleh karena itu, pada kuesioner sebaiknya
menggunakan skala ukur. Adanya skala ukur dapat mengukur perbedaan respon
tiap-tiap individu terhadap setiap item pernyataan kecerdasan emosional (Ardiana,
2010).
Beberapa alat ukur kecerdasan emosional untuk mengukur performa antara
lain Multifactor emotional intelligence scale (MEIS), Mayer-Salovey-Caruso
emotional intelligence test (MSCEIT), level of emotional awareness scale
(LEAS). Beberapa alat ukur kecerdasan emosional yang berupa self-report antara
lain Self Report Emotional Intelligence Test (SREIT), Bar-on emotional quotient
inventory (EQ-i), Emotional competence inventory (ECI), Emotional Intelligence
Appraisal (EIA), dan Work Profile Questionnaire-Emotional Intelligence Version
(WPQei). The Self Report Emotional Intelligence Test (SREIT) adalah

Universitas Sumatera Utara

30

pengukuran self-report kecerdasan emosional yang terdiri dari 33 pernyataan yang
dikembangkan oleh Schutte and Colleagues (1998) dari Mayer & Salovey dengan
subsistemnya persepsi emosi, mengelola emosi diri sendiri, mengelola emosi
orang lain, dan pemanfaatan emosi. Instrumen ini memiliki rentang jawaban
dengan menggunakan skala Likert (Stys & Brown, 2004).
Instrumen The Self Report Emotional Intelligence Test (SREIT) ini telah
dilakukan pada 346 partisipan dengan nilai validitas penelitian ini adalah 0.43 dan
nilai reliabilitas dengan Cronbach Alpha of Internal Consistency 0.90. Instrumen
dalam penelitian ini terdiri dari 33 pertanyaan yang mencakup The Assesing
Emotions Scale. Jawaban dari pertanyaan berdasarkan skala Likert, yaitu sangat
setuju = 5, setuju = 4, netral/ragu = 3, tidak setuju = 2, sangat tidak setuju = 1,
dengan kriteria penilaian tinggi = > 82,6 dan rendah = 1-82,5 oleh Schutte,
Malouff & Bhullar (2009) dalam Abdollah, Talib, dan Motalebi (2013).

2.3. Konsep Perkembangan Remaja
2.3.1. Definisi Remaja
Kozier (2010) berpendapat bahwa remaja adalah periode ketika individu
menjadi matur secara fisik maupun psikologis dan memperoleh identitas personal
yang mencapai usia 20 tahun. Menurut Santrock (2010) remaja didefinisikan
sebagai periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa,
yang mencakup aspek biologis, kognitif, dan perubahan sosial yang berlangsung
sampai 20 tahun.

Universitas Sumatera Utara

31

2.3.2. Klasifikasi Remaja
Klasifikasi remaja dalam Depkes Jakarta I (2012), yaitu:
1) Remaja awal (early adolescense), seseorang yang berusia 10-14 tahun.
Remaja awal adalah remaja yang ditandai dengan berbagai perubahan tubuh
yang cepat, sering mengakibatkan kesulitan dalam menyesuaikan diri, dan
mencari identitas diri.
2) Remaja menengah (middle adolescense), seseorang yang berusia 15-17 tahun.
Remaja menengah ditandai dengan bentuk tubuh yang sudah menyerupai
orang dewasa. Oleh karena itu, remaja sering kali diharapkan dapat
berperilaku seperti orang dewasa, meskipun belum siap secara psikologis.
Pada masa remaja menengah sering terjadi konflik, karena remaja sudah
mulai ingin bebas mengikuti teman sebaya yang erat kaitannya dengan
pencarian identitas, dan dilain pihak mereka masih tergantung dengan orang
tua.
3) Remaja akhir (late adolescense), seseorang yang berusia 18-20 tahun. Remaja
akhir dapat ditandai dengan pertumbuhan biologis yang sudah melambat,
tetapi masih tetap berlangsung. Emosi, minat, konsentrasi, dan cara berpikir
remaja akhir mulai stabil. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah sudah
mulai meningkat.
2.3.3. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada periode
tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil
dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan
tugas berikutnya, tetapi apabila gagal, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan

Universitas Sumatera Utara

32

pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan
kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas- tugas berikutnya (Muhith, 2015).
Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Muhith (2015) adalah sebagai
berikut:
1) Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara
lebih efektif.
2) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya.
3) Mencapai suatu hubungan dengan pergaulan yang lebih matang antara lawan
jenis yang sebaya sehingga remaja akan mampu bergaul secara baik dengan
laki-laki maupun perempuan.
4) Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminim.
5) Berperilaku sosial yang bertanggung jawab.
6) Mempersiapkan diri untuk memiliki karier/ pekerjaan yang mempunyai
konsekuensi ekonomi dan finansial.
7) Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul
dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun
kelompok.
8) Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan baik untuk diri sendiri
dan orang lain.
9) Mempersiapkan perkawinan dan membentuk keluarga.
10) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku sesuai dengan norma yang ada dimasyarakat.

Universitas Sumatera Utara

33

2.3.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Remaja
Tridhonanto (2014) mengatakan bahwa keunikan dari karakter masingmasing remaja disebabkan oleh adanya perkembangan individu. Perkembangan
ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
1) Hereditas
Chotimah (2012) menyatakan bahwa hereditas merupakan faktor pertama
yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartikan
sebagai “totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada
anaknya, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu
sejak masa konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan dari
pihak orang tua melalui gen-gen”. Adapun yang diturunkan orang tua kepada
anaknya adalah sifat strukturnya bukan tingkah laku yang diperoleh sebagai hasil
belajar atau pengalaman.
2) Lingkungan Perkembangan
Yusuf (2011) menyebutkan bahwa lingkungan perkembangan adalah
keseluruhan fenomena (peristiwa, situasi, atau kondisi) fisik atau sosial yang
mempengaruhi

atau

dipengaruhi

perkembangan

remaja.

Lingkungan

perkembangan remaja tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Keberfungsian Keluarga
Keluarga yang fungsional ditandai oleh karakteristik: (a) saling
memperhatikan dan mencintai, (b) bersikap terbuka dan jujur, (c) orang tua mau
mendengarkan anak, menerima perasaannya dan menghargai pendapatnya, (d) ada
“sharing” masalah atau pendapat diantara anggota keluarga, (e) mampu berjuang
mengatasi masalah hidupnya, (f) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi,

Universitas Sumatera Utara

34

(g) orang tua melindungi dan mengayomi anak, (h) komunikasi antar anggota
keluarga berlangsung dengan baik, (i) keluarga memenuhi kebutuhan psikososial
anak dan mewariskan nilai-nilai budaya, dan (j) mampu beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi (Yusuf, 2011).
(2) Pola Asuh Orang Tua
Peck (Loree, 1970; Yusuf, 2011) mengelompokkan karakteristik
emosional dan pola asuh orang tua dengan elemen-elemen struktur kepribadian
remaja, diantaranya:
a)

Remaja yang memiliki ego strength (kematangan emosional, integrasi
pribadi, otonomi, bertingkah laku rasional, persepsi diri dan sosial yang
akurat, dan keinginan untuk menyesuaikan dengan harapan-harapan
masyarakat) berkaitan erat dengan pengalamannya di lingkungan keluarga
yang saling mempercayai dan menerima.

b) Remaja yang memiliki superego strength (berperilaku secara efektif yang
dibimbing oleh kata hatinya) sangat berkaitan erat dengan keteraturan dengan
konsistensi kehidupan keluarganya.
c)

Remaja yang friendliness spontanitty berkaitan dengan iklim keluarga yang
demokratis.

d) Remaja yang bersikap bermusuhan dan memiliki perasaan gelisah atau cemas
terhadap dorongan-dorongan dari dalam, berkaitan dengan keluarga yang
otoriter.

Universitas Sumatera Utara

35

(3) Kelas Ekonomi dan Status Sosial
Yusuf (2011) mengemukakan bahwa ada kaitan antara kelas sosial sesuai
dengan cara atau teknik orang tua dalam mengatur (mengelola/ memperlakukan)
anak, yaitu:
a.

Kelas Bawah (Lower Class): cenderung lebih keras dalam mendidik anak
dan lebih sering menggunakan hukuman fisik, dibangdingkan kelas
menengah. Anak-anak dari kelas bawah cenderung lebih agresif,
independen, dan lebih awal dalam pengalaman seksual.

b.

Kelas Menengah (Middle Class): cenderung lebih memberikan
pengawasan dan perhatiannya sebagai orang tua. Orang tuanya merasa
bertanggung jawab terhadap tingkah laku anaknya dan menerapkan
kontrol yang lebih tinggi dan menekan anak untuk mengejar statusnya
melalui pendidikan atau latihan profesional.

c.

Kelas Atas (Upper Class): cenderung lebih memanfaatkan waktu
luangnya dengan kegiatan-kegiatan tertentu, lebih memiliki latar
belakang pendidikan yang reputasinya tinggi, dan biasanya senang
mengembangkan apresiasi estetikanya.

Anak-anaknya cenderung

memiliki rasa percaya diri dan cenderung bersikap memanipulasi aspek
realitas.
(4) Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak
baik dalam cara berpikir, bersikap maupun cara berperilaku (Yusuf, 2011).
Menurut Zulkifli (2009) sekolah memainkan peranan yang berarti bagi
perkembangan kepribadian anak, yaitu: (a) para siswa harus hadir di sekolah, (b)

Universitas Sumatera Utara

36

sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan
perkembangan konsep diri, (c) anak-anak banyak menghabiskan waktunya di
sekolah daripada ditempat lain diluar rumah, (d) sekolah memberikan kesempatan
pada anak untuk meraih sukses, dan (e) sekolah memberikan kesempatan pertama
kepada nak untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistis.
(5) Kelompok Teman Sebaya
Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja
mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya.
Peranan kelompok teman sebaya bagi remaja adalah memberikan kesempatan
untuk belajar tentang: (a) bagaimana berinteraksi dengan orang lain, (b)
mengontrol tingkah laku, (c) mengembangkan keterampilan dan minat yang
relevan dengan usianya, dan (d) saling bertukar perasaan dan masalah (Yusuf,
2011).

Universitas Sumatera Utara