Pola asuh orang tua sebagai prediktor kecerdasan emosional pada remaja.

(1)

Winda Erlina

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah pola asuh orang tua memprediksi kecerdasan emosional pada remaja. Variabel bebas adalah pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved. Variabel tergantung adalah kecerdasan emosional. Subjek merupakan individu berusia 13-18 tahun. Subjek terdiri dari 61 laki-laki dan 95 perempuan. Alat ukur adalah skala pola asuh orang tua yang terdiri dari skala pola asuh authoritative (α=0.873), skala pola asuh authoritarian (α=0.919), skala pola asuh permissive (α=0.884), skala pola asuh uninvolved (α=0.877), dan skala kecerdasan emosional (α=0.924), yang disusun oleh peneliti. Analisis data menggunakan regresi berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola asuh authoritative dan authoritarian, berpengaruh positif signifikan pada kecerdasan emosional (β=0,301, p=0.024; β=0,444, p=0.001) dan pola asuh uninvolved berpengaruh negatif signifikan pada kecerdasan emosional remaja (β=0,339, p=0.026).

Kata kunci : Pola Asuh, Kecerdasan Emosional, Remaja

PARENTING STYLE AS PREDICTORS OF EMOTIONAL INTELLIGENCE AMONG ADOLESCENTS


(2)

This study aims to see whether the emotional intelligence in adolescence can be predicted by parenting style. The predictor variables in this study were : authoritative parents, authoritarian parents permissive parents, and uninvolved parents. The criterion variables was emotional intelligence. The subjects were individuals within 13-18 years old. The measuring instrument that used in this research was perceived parenting style scale includes authoritative parenting style scale (α=0.873), authoritarian perenting style scale (α=0.919), permissive parenting style scale (α=0.884), uninvolved parenting style scale (α=0.877), and emotional intelligence scale (α=0.924), made by the researcher. The data analysis used multiple regression analysis. The data analysis showed that authoritative parents, and authoritarian parents were positive influences to the emotional intelligence (β=0,301,p=0.024 ; β=0,444, p=0.001) and uninvolved parents were negative influence to the emotional intelligence (β= -0,339, p=0.026). Keywords : Parenting style, Emotional Intelligence, Adolescent


(3)

POLA ASUH ORANG TUA SEBAGAI PREDIKTOR KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Winda Erlina

119114188

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

We can’t always see where the road leads,

But God promises there’s something better Up ahead,

we just have to trust Him

I might not be the smartest

Not the strongest, but I am the most persistant.

I will fight till the end and never give up.


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Saya persembahkan karya ini untuk :

Tuhan Yang Maha Esa. Terimakasih atas segala berkat yang tak pernah berkesudahan di hidupku.

Kepada Orang Tuaku yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doa Caca dan cucu yang selalu mengingatkan agar skripsi ini segera terselesaikan Untuk semua sahabat, dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan


(8)

(9)

vii

POLA ASUH ORANG TUA SEBAGAI PREDIKTOR KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA

Winda Erlina

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah pola asuh orang tua memprediksi kecerdasan emosional pada remaja. Variabel bebas adalah pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved. Variabel tergantung adalah kecerdasan emosional. Subjek merupakan individu berusia 13-18 tahun. Subjek terdiri dari 61 laki-laki dan 95 perempuan. Alat ukur adalah skala pola asuh orang tua yang terdiri dari skala pola asuh authoritative (α=0.873), skala pola asuh authoritarian (α=0.919), skala pola asuh permissive (α=0.884), skala pola asuh uninvolved (α=0.877), dan skala kecerdasan emosional (α=0.924), yang disusun oleh peneliti. Analisis data menggunakan regresi berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola asuh authoritative dan authoritarian, berpengaruh positif signifikan pada kecerdasan emosional (β=0,301, p=0.024; β=0,444, p=0.001) dan pola asuh uninvolved berpengaruh negatif signifikan pada kecerdasan emosional remaja (β=0,339, p=0.026). Kata kunci : Pola Asuh, Kecerdasan Emosional, Remaja


(10)

viii

PARENTING STYLE AS PREDICTORS OF EMOTIONAL INTELLIGENCE AMONG ADOLESCENTS

Winda Erlina

ABSTRACT

This study aims to see whether the emotional intelligence in adolescence can be predicted by parenting style. The predictor variables in this study were : authoritative parents, authoritarian parents permissive parents, and uninvolved parents. The criterion variables was emotional intelligence. The subjects were individuals within 13-18 years old. The measuring instrument that used in this research was perceived parenting style scale includes authoritative parenting style scale (α=0.873), authoritarian perenting style scale (α=0.919), permissive parenting style scale (α=0.884), uninvolved parenting style scale (α=0.877), and emotional intelligence scale (α=0.924), made by the researcher. The data analysis used multiple regression analysis. The data analysis showed that authoritative parents, and authoritarian parents were positive influences to the emotional intelligence (β=0,301,p=0.024 ; β=0,444, p=0.001) and uninvolved parents were negative influence to the emotional intelligence (β= -0,339, p=0.026).


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan Rahmat-Nya yang melimpah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Setelah melalui banyak pengalaman suka dan duka, baik dan buruk, penulis percaya bahwa Kasih-Nya senantiasa menerangi setiap langkah sehingga atas kehendak-Nya juga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan bimbingannya kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si, Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi, Psi. Dosen pembimbing akademik yang memberikan arahan dan bimbingan selama masa studi dengan penuh kesabaran.

4. Dr. A. Priyono Marwan S. J. Dosen pembimbing skripsi yang telah memerikan bimbingan, arahan, kritik, saran, dalam penulisan skripsi ini. 5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


(13)

xi

selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

6. Staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah banyak membantu melancarkan proses pembelajaran selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis juga mengucapkan terimakasih banyak kepada yang terkasih : 1. Mama dan Papa, untuk cinta, doa dan dukungan yang tak pernah berhenti.

Caca dan cucu yang selalu menjadi penyemangat agar skripsi ini segera terselesaikan.

2. Ruth, Rhisty, Merna, Yoan, yang selalu ada disaat suka dan duka selama proses pengerjaan skripsi. Terimakasih atas segala dukungan, tenaga dan segala usaha yang diberikan sehingga membuahkan hasil yang bahagia. 3. Nova, Yolanda, Ratna, Jean, Tirsa, dan seluruh teman-teman kos Wisma

Dara. Terimakasih atas seluruh pengalaman yang mendewasakan kita semua.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangun demi kemajuan ilmu pengetahuan.


(14)

(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN MOTO……….... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. vi

ABSTRAK……….... vii

ABSTRACT………. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH………... ix

KATA PENGANTAR……….. x

DAFTAR ISI……….... xii

DAFTAR TABEL……….... xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….... xviii

BAB I PENDAHULUAN……….... 1

A. Latar Belakang……….. 1

B. Rumusan Masalah………. 7


(16)

xiv

D. Manfaat Penelitian……… 8

1. Manfaat Teoritis………. 8

2. Manfaat Praktis………... 8

BAB II LANDASAN TEORI………... 9

A. Kecerdasan Emosional………. 9

1. Definisi Kecerdasan Emosional……….. 9

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional……….. 10

3. Faktor-faktor Pembentuk Kecerdasan Emosional……….. 16

4. Individu yang Cerdas secara Emosi……… 17

B. Pola Asuh………... 18

1. Definisi Pola Asuh……….. 19

2. Dimensi Pola Asuh………. 19

3. Jenis-jenis Pola Asuh……….. 20

C. Remaja……….. 25

1. Definisi Remaja……….. 25

2. Aspek Perkembangan Remaja………..………….. 27

D. Dinamika Variabel……… 30

E. Kerangka Berpikir……… 34

F. Hipotesis Penelitian……….. 38


(17)

xv

A. Jenis Penelitian………. 39

B. Identifikasi Variabel Penelitian……… 39

C. Definisi Operasional………. 39

D. Subjek Penelitian……….. 41

E. Metode Pengumpulan Data……….. 42

F. Alat Pengumpulan Data……… 42

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………. 45

1. Validitas……….. 45

2. Seleksi Item……… 46

3. Reliabilitas……….. 51

H. Metode Analisis Data………. 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 55

A. Pelaksanaan Penelitian………. 55

B. Deskripsi Penelitian……….. 55

C. Hasil Penelitian………. 57

1. Uji Asumsi……….. 57

a. Uji Normalitas……….. 57

b. Uji Linearitas……… 58

c. Uji Multikolinearitas ……… 59


(18)

xvi

2. Uji Hipotesis………... 60

D. Pembahasan……….. 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………... 72

A. Kesimpulan……….... 72

B. Keterbatasan Penelitian……….. 72

C. Saran………... 73


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kemampuan-kemampuan dalam area kecerdasan emosional………. 15

Tabel 2 Ciri-ciri pola asuh orang tua………... 25

Tabel 3 Skor item skala pola asuh orang tua……….. 42

Tabel 4 Seberan item skala pola asuh orang tua sebelum seleksi item ………….. 43

Tabel 5 Skor item skala kecerdasan emosional……… 44

Tabel 6 sebaran item skala kecerdasan emosional sebelum sekeksi item ……….. 44

Tabel 7 Koefisien korelasi skala pola asuh orang tua……….…. 47

Tabel 8 Sebaran item yang gugur pada skala pola asuh orang tua……….…. 48

Tabel 9 Sebaran item skala pola asuh orang tua setelah seleksi Item………. 49

Tabel 10 Sebaran item yang gugur pada skala kecerdasan emosional……….…… 40

Tabel 11 sebaran item skala kecerdasan emosional setelah seleksi item…….…… 50

Tabel 12 Reliabilitas skala pola asuh orang tua sebelum dan setelah uji coba…… 51

Tabel 13 Deskripsi jenis kelamin subjek………. 56

Tabel 14 Deskripsi usia subjek……… 56

Tabel 15 Pengelompokkan subjek berdasarkan pola asuh……….. 56

Tabel 16 Hasil uji normalitas residu……… 57

Tabel 17 Hasil uji linieritas……….. 58


(20)

xviii

Tabel 19 Hasil uji Heterokedastisitas………... 59

Tabel 20 Uji F………... 60

Tabel 21 Hasil analisis regresi linier……… 61

Tabel 22 Koefisien determinasi ……….. 63


(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A : SKALA TRY OUT………. 81

LAMPIRAN B : UJI RELIABILITAS………. 99

LAMPIRAN C : SKALA PENELITIAN………. 113

LAMPIRAN D : HASIL UJI ASUMSI……… 128

LAMPIRAN E : HASIL ANALISIS REGRESI……….. 132

LAMPIRAN F :TABEL SUM OF SQUARES AND CROSS-PRODUCTS…... 133


(22)

(23)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecerdasan emosional adalah keterampilan yang dimiliki individu untuk mengelola emosinya dengan baik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari (Goleman, 1995). Goleman mengemukakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mampu mempersepsi emosi, mengekspresikan emosi, menggunakan emosi dalam pikiran, memahami makna emosi, dan meregulasi emosi terhadap diri sendiri dan orang lain. (Mayer, Salovey, & Caruso, 2004).

Perkembangan emosi manusia dimulai sejak lahir. Beberapa area emosi dalam otak berkembang lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan fisik. Pada masa kanak-kanak, individu menjadi lebih peka dengan perasaannya sendiri serta perasaan orang lain. Seiring dengan pertambahan usia, individu dapat lebih baik dalam mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan merespon tekanan emosional yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Selama periode ini pula kecerdasan emosional terbentuk (Saarni, 1999). Memasuki usia remaja, area sensoris di dalam otak mulai matang. Sistem limbik berkembang matang selama masa pubertas dan area lobus frontal yang mengendalikan emosi dan


(24)

kontrol diri, terus berkembang sampai usia remaja akhir (16 sampai 18 tahun) (Goleman, 1996).

Masa remaja merupakan tahap peralihan dari fase kanak-kanak menuju fase dewasa. Hall (dalam Santrock, 2014) mengungkapkan bahwa masa remaja merupakan fase badai dan tekanan (storm and stress). Pada fase ini, remaja rentan mengalami perubahan emosi ekstrim dan dapat berubah sangat cepat (Rosenblum & Lewis 2003 dalam Santrock, 2014). Hal ini disebabkan oleh perubahan hormonal selama masa pubertas. Penelitian menemukan, bahwa perubahan selama masa pubertas berkaitan dengan peningkatan emosi negatif (Dorn dalam Santrock , 2014).

Meskipun fluktuasi emosi pada remaja merupakan hal yang wajar, emosi negatif pada remaja dapat menjadi masalah yang serius (Nomen-Hoeksema, 2011). Goleman mengungkapkan bahwa emosi yang kuat merupakan akar dari dorongan yang memicu sebuah tindakan. Kemampuan untuk mengatur dorongan tersebut merupakan dasar dari kecerdasan emosional (Goleman, 1996).

Akhir-akhir ini fenomena perilaku negatif remaja seperti penyalahgunaan obat, pembunuhan, dan pemerkosaan marak terjadi. Hasil survei dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa pengguna Narkoba di Indonesia selalu bertambah. Sebanyak 921.965 pengguna adalah pelajar dan mahasiswa (SindoNews, 2014). Selain itu, peristiwa yang sedang ramai diberitakan saat ini adalah pembunuhan sadis


(25)

terhadap seorang perempuan bernama Eno di Jakarta yang dilakukan oleh remaja berusia 15 tahun (Pos Kota News, 2016). Begitu pula dengan peristiwa pemerkosaan disertai dengan pembunuhan terhadap Yuyun (13 tahun) yang masih duduk di bangku SMP. Pemerkosaan dan pembunuhan dilakukan oleh 13 orang dan enam orang statusnya masih di bawah umur. Dua di antaranya tercatat masih berstatus pelajar SMP (Merdeka News, 2016). Perilaku negatif yang dilakukan oleh remaja yang masih berstatus

pelajar menjadi keprihatinan masyarakat. Hal ini dikarenakan dampak negatif yang sangat merugikan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa.

Alhamri dan Fakhurrozi pada tahun 2007 menemukan bahwa salah satu hal yang melatar belakangi terjadinya perilaku kenakalan remaja adalah kurangnya kemampuan remaja untuk mengontrol dan mengelola emosi. Hal ini turut didukung oleh penelitian Lazzari (2000) yang menemukan bahwa berbagai perilaku negatif berupa kekerasan, penyalaggunaan obat, dan kenakalan remaja berhubungan dengan kurangnya kecerdasan emosional remaja.

Untuk menanggulangi berbagai perilaku negatif tersebut dibutuhkan kecerdasan emosional. Bebagai penelitian menemukan bahwa kecerdasan emosional mampu mencegah penyalahgunaan obat (Trinidad & Johnson, 2002), dilema moral (Fernandez-Berrocal & Extremera, 2005), dan juga perilaku bermasalah (Moriarty, 2004). Disamping itu, kecerdasan


(26)

emosional dapat memberikan remaja bekal untuk menjalani masa dewasa dengan baik. (Goleman, 1995).

Kecerdasan emosional terbentuk melalui pola asuh yang diterapkan oleh orang tua (Goleman, 1995). Pengalaman yang dimiliki remaja bersama keluarga sangat mempengaruhi kecerdasan emosional. Sprinthall dan Collins dalam Santrock 2014 mengungkapkan bahwa meskipun remaja seringkali dipandang seperti menarik diri dari keluarga, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa keluarga merupakan sumber sosial dan emosional yang penting dalam kehidupan remaja.

Hal ini didukung oleh pernyataan Goleman (1995) yang mengungkapkan bahwa peristiwa yang terjadi selama masa kanak-kanak dapat menjadi penentu kecerdasan emosional seseorang. Goleman (1995) juga menyatakan bahwa keluarga merupakan sekolah pertama yang menjadi tempat bagi individu untuk mempelajari dan mengembangkan kecerdasan emosionalnya (Goleman 1996). Hal ini sejalan dengan penelitian Parke (dalam Santrock, 2007) yang menunjukkan bahwa penerimaan dan dukungan orang tua terhadap emosi anak berhubungan dengan kemampuan seorang anak untuk mengelola emosi dengan cara yang positif.

Orang tua yang memberikan bimbingan dan dukungan membuat individu lebih mampu untuk meredakan emosi negatif dan mampu menenangkan diri (Gottman, Katz, & Hooven, 1997). Bentuk dukungan


(27)

dan juga penerimaan orang tua tercermin dalam pola pengasuhan yang diterapkan orang tua kepada remaja (Baumrind dalam Nixon dan Halpenny, 2010).

Baumrind (1991 dalam Santrock, 2014) mengembangkan beberapa jenis pola asuh dengan menunjukkan dua dimensi pengasuhan yaitu responsivitas dan kontrol. Responsivitas meliputi dukungan, kehangatan, dan kasih sayang yang ditunjukkan oran gtua kepada anak. Sementara kontrol adalah tuntutan yang diberikan orang tua kepada anak agar anak menjadi individu yang dewasa dan bertanggung jawab, serta memberlakukan aturan dan batasan yang sudah ditetapkan (Nixon dan Halpenny, 2010). Berdasarkan penilaian terhadap orang tua menggunakan dua dimensi ini, Baumrind membedakan empat gaya pengasuhan yaitu; authoritative, authoritarian, permissive dan uninvolved. Masing-masing pola pengasuhan tersebut menimbulkan dampak yang berbeda-beda pada kecerdasan emosional remaja.

Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritative mendorong remaja untuk mandiri tetapi masih menetapkan batasan-batasan dan kontrol atas perilaku remaja. Orang tua juga menunjukan kehangatan dan sangat komunikatif dengan remaja (Santrock, 2014). Pola asuh autrhoritative menghasilkan remaja dengan kemampuan sosial, self-esteem, dan perfoemansi sekolah yang baik. Remaja juga memiliki emosi yang stabil dan jarang terlibat dengan perilaku bermasalah serta memiliki


(28)

tingkat depresi yang rendah (Darling, 2014). Hal tersebut disebabkan orang tua mampu memberikan pemantauan, pendisiplinan yang efektif serta memberikan dukungan- dukungan yang diperlukan oleh remaja (Santrock, 2014).

Pola asuh authoritarian memiliki karakteristik tingginya tingkat kontrol orang tua terhadap remaja. Orang tua mengarahkan remaja untuk mengikuti arahan dan aturan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini cenderung menerapkan hukuman atas perilaku anak yang tidak sesuai dengan standar orang tua. Orang tua juga sangat jarang mengekspresikan kasih sayang kepada remaja baik secara verbal maupun fisik. Remaja yang mendapat pengasuhan dengan gaya authoritarian cenderung memiliki kecemasan yang tinggi, dan kemampuan berkomunikasi yang buruk (Santrock, 2014). Remaja juga mengalami kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri (Gottman dan DeClaire, 2008).

Sementara itu, pola asuh permissive (indulgent) identik dengan perilaku orang tua yang menunjukkan kehangatan yang tinggi tetapi menetapkan sedikit sekali kontrol kepada remaja. Dengan kata lain, orang tua sangat memanjakan remaja. Akibatnya remaja memiliki pengendalian diri yang kurang baik. (Santrock, 2014). Remaja yang diasuh oleh orang tua permissive juga memiliki kesadaran diri (self-awarness) yang rendah. Hal ini disebabkan remaja selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan dan tidak mendapatkan tuntutan untuk mengandalikan perilaku, sebagai


(29)

akibatnya remaja tidak mampu menangani emosi-emosi yang sulit dan mengalami kesulitan dalam menjalin relasi dengan orang lain (Gottman dan DeClaire, 2008).

Terakhir adalah pola asuh neglectful (uninvolved). Orang tua dengan pola asuh neglectful tidak terlibat dalam kehidupan remaja. Orang tua tidak menunjukkan kehangatan dan tidak memberlakukan batasan/kontrol pada perilaku remaja. Remaja menjadi kurang memiliki kontrol diri dan terjerumus perilaku negatif (Santrock, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Rohner, Khaleque, dan Cournoyer (2009) memperlihatkan bahwa remaja yang mempersepsi penolakan dari orang tua cenderung memiliki masalah perilaku, tempramen yang buruk, dan empati yang rendah. Remaja juga rentan mengalami ketidakstabilan emosi dan kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya terhadap orang lain.

Melihat kenyataan di atas, peneliti ingin mengetahui apakah pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved berpengaruh pada kecerdasan emosional remaja.

B. Rumusan Masalah

Apakah pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved berpengaruh pada kecerdasan emosional remaja?


(30)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved pada kecerdasan emosional remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya literatur dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian psikologi perkembangan mengenai pola asuh orang tua, serta untuk mengembangkan kajian kecerdasan emosional dalam ranah psikologi. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi subjek

Subjek diharapkan dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya berdasarkan pola asuh yang diterima dari orang tua. b. Bagi Orang tua / Pendamping remaja

Hasil penelitian ini dapat digunakan membantu orang tua/pendamping remaja untuk menerapkan pola asuh yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional remaja.


(31)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kecerdasan emosional

1. Definisi Kecerdasan emosional

Istilah kecerdasan emosional pertama kali dikememukakan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer (Goleman, 1997). Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memahami perasaan, menggunakan dan meregulasi emosi secara efektif untuk mencapai suatu tujuan. (Mayer & Salovey, 2004).

Goleman (1997) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai berbagai kemampuan, seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati dan menjaga agar stressor tidak melumpuhkan kemampuan berpikir.

Menurut Atkinson (1987), kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, empati, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, serta kemampuan untuk memecahkan masalah.

Berdasarkan definisi dari Salovey dan Mayer, Goleman, dan Atkinson, peneliti menyimpulkan kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memahami perasaan, meregulasi emosi, mengemdalikan dorongan hati, mengatur suasana hati,


(32)

memotivasi diri sendiri,menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, serta menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai suatu tujuan. 2. Aspek-aspek Kecerdasan emosional

Salovey dan Mayer (dalam Mayer & Salovey, 1997; Salovey & Grewal, 2005) mencetuskan teori Four Branch Model on Emotional Intelligence yang membagi kecerdasan emosional ke dalam empat aspek. Keempat aspek tersebut adalah sebagai berikut :

a. Mempersepsi emosi (Perceiving emotion)

Mempersepsi emosi adalah kemampuan untuk menafsirkan dan mengidentifikasi emosi pada wajah, gambar, suara, atau karya seni. (Salovey dan Grewal, 2005). Kemampuan ini mulai dipelajari sejak masih bayi, dimulai dengan mengidentifikasi keadaan emosi pada diri sendiri dan orang lain serta belajar untuk membedakan keadaan emosi-emosi yang ada. (Mayer & Salovey, 1997). Lebih jauhnya, individu menyadari suasana hati (mood) yang dialami dan pikiran-pikirannya terkait mood tersebut (Goleman, 1995).

Individu juga mampu untuk mengekspresikan perasaan secara akurat. Individu yang cerdas secara emosi mengetahui ekspresi dan manifestasi emosi sehingga mereka menjadi sensitif terhadap kejanggalan atau ekspresi yang manipulatif (Mayer & Salovey, 1997).

Goleman (1995) mengemukakan bahwa individu yang memiliki kepastian tentang perasaannya menyadari sepenuhnya


(33)

perasaan yang ada dalam diri mereka. Kesadaran akan perasaan tersebut mendorong individu untuk menentukan pilihan. Individu lebih yakin tentang bagaimana perasaan mereka terkait keputusan pribadi yang mereka ambil. Mempersepsi emosi adalah kemampuan yang paling dasar dari kecerdasan emosional karena mempersepsi emosilah yang memungkinkan terjadinya pemrosesan informasi yang terkait dengan emosi (Salovey & Grewal, 2005).

b. Menggunakan emosi (using emotion)

Menggunakan emosi merupakan kemampuan untuk memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi berbagai macam aktivitas kognitif, seperti berpikir dan memecahkan masalah (Salovey & Grewal, 2005). Seiring dengan kematangan individu, emosi mulai membentuk dan meningkatkan pikiran dengan mengarahkan perhatian individu pada perubahan-perubahan yang penting. Contohnya, ketika seorang anak khawatir dengan pekerjaan rumahnya, tetapi tetap menonton televisi. Sementara seorang guru yang memiliki pemikiran yang lebih berkembang akan lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum perhatiannya teralihkan pada hal-hal yang menyenangkan (Mayer & Salovey, 1997).

Selain itu, menggunakan emosi juga termasuk didalamnya menempatkan emosi yang ada di dalam diri seakan-akan kita adalah


(34)

lebih mudah dipahami (Mayer & Salovey, 1997). Individu yang cerdas secara emosi tahu kapan harus melibatkan atau memisahkan emosi dari pikiran (Mayer,Roberts, & Barsade, 2008).

Emosi juga dapat memfasilitasi pikiran dengan membuat individu mempertimbangkan banyak perspektif (Mayer & Salovey, 1997. Individu yang cerdas secara emosi dapat menguasai seutuhnya perubahaan mood-nya agar sesuai dengan tugas atau pekerjaan yang mereka miliki (Salovey & Grewal, 2005).

c. Memahami dan menganalisa emosi (Understanding emotion)

Kemampuan memahami serta mengerti relasi di antara emosi yang kompleks. Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk peka dengan bernagai macam emosi yang berbeda tipis, seperti merasa senang (happy) dan sangat senang (ecstatic) (Salovey & Grewal, 2005).

Aspek ini juga mencakup kemampuan untuk mengenali dan mendeskripsikan bagaimana emosi berkembang seiring waktu, Kemampuan ini berkembang, segera setelah anak mampu mengenali emosi, anak akan melabel dan memahami relasi di antara label-label yang ada. Kemudian, anak mulai belajar persamaan dan perbedaan antar emosi, seperti menyukai dan mencintai, kesal dan marah, dan lain sebgainya. Anak juga akan belajar secara otomatis makna relasi dari setiap perasaan, seperti kesedihan dan kehilangan. Individu yang


(35)

tumbuh dan berkembang juga akan mulai mengenali adanya emosi yang kompleks dan kontradiktif yang mungkin muncul pada situasi dan kondisi tertentu. Misalnya individu akan belajar bahwa mungkin untuk mempersepsi cinta dan benci terhadap orang yang sama (Mayer & Salovey, 1997).

Pada tahap perkembangan ini, individu juga akan belajar mengenai kombinasi emosi. Misalnya, takjub terkadang dilihat sebagai kombinasi dari rasa takut dan terkejut, harapan dianggap sebagai kombinasi kepercayaan dan optimisme (Mayer & Salovey, 1997). Panalaran tentang perkembangan emosi dalam relasi interpersonal inilah yang merupakan pusat dari kecerdasan emosi (Mayer & Salovey, 1997).

d. Mengatur atau meregulasi emosi

Kemampuan ini adalah kemampuan dalam area yang paling tinggi dalam kecerdasan emosional. Kemampuan ini terkait kemampuan meregulasi emosi secara sadar, baik dalam diri sendiri ataupun orang lain untuk meningkatkan perkembangan emosi dan kecerdasan individu. Reaksi emosi harus ditoleransi, bahkan diterima ketika terjadi, terlepas dari apabila reaksi tersebut menyenangkan atau tidak. Hanya orang yang mau memperhatikan perasaan yang ada yang dapat belajar tentang suatu hal terkait perasaan mereka. Oleh karena itu, area


(36)

ini dimulai dengan kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan (Mayer & Salovey, 1997).

Dalam perkembangannya, individu akan belajar mengenai emosi-emosi yang pantas dan tidak pantas untuk diekspresikan pada publik. Oleh karena itu, individu belajar bahwa emosi dapat dipisahkan dari perilaku. Sebagai konsenuensi, individu belajar untuk mengikuti atau tidak mengikuti emosi pada waktu-waktu yang tepat. Merasa marah pada seseorang karena ketidakadilan dapat berguna bagi penalaran terkait situasi yang ada, tetapi menjadi berkurang kegunaannya ketika rasa marah mencapai titik yang klimaks. Individu yang cerdas secara emosi akan mengetahui bahwa ia harus menahan dirinya dan mendiskusikan permasalahan dengan orang kepercayaan yang lebih tenang (cool-headed). Selanjutnya, pengalaman dari emosi tersebut digunakan untuk proses penalaran, yaitu memotivasi dan memfasilitasi, misalnya memicu kemarahan seseorang untuk melawan ketidakadilan (Mayer & Salovey, 1997). Dengan demikian, individu yang cerdas secara emosi mampu memanfaatkan emosi, termasuk yang negatif, dan mengelolanya untuk mencapai tujuan tertentu.

Berikut tabel mengenai kemampuan-kemampuan dalam area kecerdasan emosional :


(37)

Tabel 1

Kemampuan-kemampuan dalam area kecerdasan emosional

No Aspek Kecerdasan Emosi

Kemampuan dalam aspek kecerdasan emosional

1. Mempersepsi emosi Mengidentifikasi keadaan emosi, perasaan dan pikiran diri sendiri

Mengidentifikasi emosi pada orang lain, gambar, suara, atau karya seni.

Mengekspresikan emosi secara akurat

Membedakan jujur atau tidak jujur suatu perasaan 2. Menggunakan emosi Mampu melibatkan atau memisahkan emosi dari pikiran

Memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi berbagai macam aktivitas kognitif dan memecahkan masalah Mempertimbangkan sesuatu dari berbagai sudut pandang. Mampu menguasai perubahan suasana hati yang terjadi dalam diri

3. Memahami dan menganalisa emosi

Melabel emosi dan mengenali relasi antara label-label yang ada.

Menginterpretasi makna relasi antar emosi Mengerti relasi diantara emosi yang kontradiktif,

Mengenali adanya emosi yang kompleks yang berbeda tipis

4. Mengatur dan Meregulasi emosi

Kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Kemampuan untuk memisahkan emosi dari perilaku Kemampuan untuk mengikuti atau tidak mengikuti emosi pada waktu-waktu tertentu.

Memanfaatkan emosi dan mengelolanya untuk mencapai tujuan


(38)

2. Faktor-faktor Pembentuk Kecerdasan emosional

Goleman (1997) menyebutkan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional pada individu, yaitu :

a. Faktor internal

Faktor internal yang membentuk kecerdasan emosional individu adalah anatomi saraf emosi. emotional brain (otak emosional). Bagian otak yang bergungsi untuk mengatur emosi meliputi sistem limbik, area neokorteks dan prefrontal serta amygdala. Wilayah otak tersebut adalah bagian yang paling lambat matang. Ketika area sensorik matang selama masa kanak-kanak awal dan sistem limbik berkembang matang saat pubertas, lobus frontal, tempat kontrol emosi, pemahaman, dan respon artistik masih terus berkembang hingga usia 16 sampai dengan usia 18 tahun.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional adalah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terkecil yang dimiliki oleh seseorang. Pendidikan pertama yang diterima oleh individu pun berasal dari keluarga. Selain itu, interaksi di dalam keluarga akan mempengaruhi tingkah laku anak terhadap orang lain di dalam masyarakat. Oleh karena itu, orang


(39)

tua memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam mendidik anak-anaknya (Wahyuningytas, 2010). Salah satunya melalui adalah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua.

Faktor eksternal lainnya yang turut mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional adalah lingkungan sosial individu, serta lingkungan sekolah. Bentuk pendidikan emosi yang ada di sekolah salah satunya melalui pengajaran budi pekerti di sekolah.

3. Individu yang Cerdas secara Emosi

Berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional (Mayer, Salovey, & Caruso, 2004), maka individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah individu yang dapat mempersepsi emosi, menggunakan emosi dalam pikiran, memahami makna emosi, dan meregulasi emosi. Mereka mampu mendeskripsikan atau menjelaskan tujuan, target, dan misi dalam hidup mereka (Mayer, Salovey, & Caruso, 2004). Dalam menyelesaikan konflik, individu dengan kecerdasan emosional tinggi tidak membutuhkan upaya kognitif yang besar. Mereka juga cenderung memiliki keterampilan sosial dan kemampuan verbal yang lebih tinggi, terutama jika individu memiliki skor yang tinggi dalam area memahami emosi. Selain itu, mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi juga cenderung lebih terbuka, ramah dan kooperatif (agreeable).


(40)

Selain itu, jika dibandingkan dengan yang lainnya, individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi jarang terlibat dalam perilaku bermasalah dan menghindari perilaku merusak diri, seperti merokok, minum minuman keras berlebihan, memakai obat-obatan terlarang, atau melakukan kekerasan terhadap orang lain. Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi juga memiliki kelekatan yang sentimental terhadap keluarga (home) dan memiliki interaksi sosial yang lebih positif dengan orang-orang disekitarnya.

B. Pola Asuh 1. Pola Asuh

Pola asuh merupakan pola sikap mendidik dan memberikan perlakuan terhadap anak (Syamsu, 2000). Baumrind (dalam Alizadeh et al, 2011) mendefinisikan pola asuh sebagai keseluruhan kegiatan yang terdiri dari beberapa perilaku khusus dari orangtua yang bekerja secara bersama maupun secara individual, yang kemudian berpengaruh terhadap perilaku anak

Berk (2006) mendefinisikan pola pengasuhan sebagai kombinasi dari perilaku orangtua yang terjadi diseluruh situasi dan menciptakan iklim pengasuhan anak yang tetap. Pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang


(41)

berlaku di masyarakat agar anak hidup selaras dengan lingkungan (Santrock, 2002).

Berdasarkan berbagai definisi tersebut disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah serangkaian interaksi orang tua untuk bekerjasama memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan mengajarkan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sehingga berpengaruh pada perilaku anak.

2. Dimensi dalam Pola asuh

Terdapat dua dimensi yang dianggap signifikan dalam pola asuh. Dua dimensi tersebut adalah kontrol dan responsivitas (Baumrind dalam Santrock, 2014).

Dimensi kontrol meliputi tuntutan yang diberikan orangtua pada anak agar anak menjadi individu yang dewasa dan bertanggungjawab serta memberlakukan aturan dan batasan yang sudah ditetapkan (Nixon dan Halpenny, 2010). Dimensi responsivitas meliputi dukungan kehangatan dan kasih sayang yang ditunjukkan orangtua kepada anak (Nixon dan Halpenny, 2010).


(42)

Kontrol

Gambar 1 Dinamika Dimensi Pola Asuh

3. Jenis-Jenis Pola asuh

Keterkaitan antara dimensi kontrol dan responsibilitas membentuk empat jenis pola asuh. Keempat pola asuh tersebut adalah authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved (Baunrind dalam Santrock, 2014).

Orang tua yang memberikan responsivitas dan kontrol secara seimbang dikategorikan sebagai pola asuh authoritative. Orang tua yang memberikan kontrol tanpa disertai dengan responsivitas disebut sebagai pola asuh authoritarian. Sebaliknya, jika orang tua memberikan responsivitas tanpa adanya kontrol, maka dapat disebut sebagai pola asuh permissive. dan orang tua yang tidak memberikan responsivitas ataupun kontrol dapat disebut sebagai pola asuh uninvolved (Baumrind, 1991 dalam Darling, 2014).

Dengan demikian terdapat empat jenis pola asuh yang memiliki dampak berbeda terhadap remaja menurut Baumrind, yaitu :

+ -

Authoritative Permissive

Uninvolved Authoritarian

+

-


(43)

a. Pola asuh Authoritative

Pola asuh authoritative ditunjukan oleh tingginya tingkat kontrol dan tuntutan kedewasaan, dalam konteks pengasuhan. Pendisiplinan melibatkan penggunaan logika dan kekuasaan, tetapi tidak sampai melewati batas otonomi remaja. Pola asuh authoritative memiliki keseimbangan antara dimensi kontrol dan responsivitas. Orang tua menerapkan sistem musyawarah dalam pengambilan keputusan dan mendorong komunikasi verbal timbal balik. Selain itu, orang tua juga memberikan afeksi positif (kasih sayang dan kehangatan, penerimaan) pada remaja (Baumrind 1971, 1991, dan 2012 dalam Santrock, 2014).

Pola asuh authoritative menghasilkan remaja dengan kemampuan sosial, self-esteem dan performansi sekolah yang baik. Remaja juga memiliki emosi yang stabil dan jarang terlibat dengan perilaku bermasalah serta memiliki tingkat depresi yang rendah (Darling, 2014). Hal tersebut dikarenakan orangtua mampu memberikan pemantauan, pendisiplinan yang efektif serta memberikan dukungan-dukungan yang diperlukan oleh remaja (Santrock, 2014).

b. Pola asuh Authoritarian

Pola asuh authoritarian diidentifikasi dengan tingginya tingkat tuntutan dan kontrol pada remaja, disertai dengan rendahnya tingkat responsivitas. Orangtua dengan pola asuh authoritarian mendorong


(44)

remaja untuk mengikuti seluruh arahan mereka. Orang tua memberlakukan hukuman terhadap perilaku remaja yang menyimpang dari standar mereka. Dalam pola asuh authoritarian, dimensi kontrol lebih menonjol dibandingkan dengan dimensi responsivitas. Orangtua menetapkan batasan yang tegas dan tidak memberi peluang yang cukup untuk anak dapat menyampaikan pendapatnya. Mereka lebih mengambil jarak dan tidak hangat. Remaja yang diasuh oleh orang tua authoritarian memiliki kecemasan yang tinggi, dan kemampuan komunikasi yang buruk, serta sulit untuk mengekspresikan perasaan (Baumrind 1971, 1991, dan 2012 dalam Santrock, 2014)

Darling (2014) menyebutkan, remaja yang dibesarkan dengan pola asuh authoritarian memiliki performansi sekolah yang baik dan jarang memiliki perilaku bermasalah. Tetapi, remaja yang menerima pola asuh ini cenderung mudah depresi serta memiliki kemampuan sosial dan self-esteem yang rendah. Pemantauan dan pendisiplinan dengan cara menghukum membuat anak cenderung berusaha berperilaku baik dan memenuhi tuntutan orangtua agar terhindar dari hukuman. Akan tetapi, kurangnya dukungan dan kehangatan pada anak berdampak pada kurangnya kemampuan sosial remaja.


(45)

c. Pola asuh Permissive

Pola asuh Permissive (indulgent) ditandai dengan tingginya tingkat responsivitas akan tetapi orang tua kurang memberikan tuntutan dan kontrol pada remaja. Orang tua permissive sangat terlibat dengan remaja namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua membiarkan remaja melakukan apa saja yang mereka inginkan. Mereka menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri. Mereka hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri. Mereka hangat, tidak mengontrol, dan tidak menuntut.

Greenwood (2013) dalam Efobi dan Nwokolo (2014) menyebutkan bahwa orangtua dengan pola asuh permissive terbuka secara afeksi namun tidak memberikan batasan pada remaja. Akibatnya, Remaja kurang mampu mengendalikan tingkah laku mereka dan melakukan apapun yang ingin mereka lakukan. Remaja juga mengalami kesulitan untuk menjalin relasi dengan lingkungan sosialnya. Dampak lain yang diterima remaja adalah ketidakmampuan remaja untuk berempati dengan orang lain (Santrock, 2002).

d. Pola asuh Uninvolved

Pola asuh uninvolved, orangtua tidak terlibat di dalam kehidupan anak. Dalam pola asuh ini, baik dimensi kontrol maupun responsivitas kurang ditunjukkan oleh orangtua. Orang tua terkadang hanya


(46)

berfokus pada kebutuhannya sendiri dan mengabaikan kebutuhan anak. (Baumrind 1971, 1991, dan 2012 dalam Santrock, 2014)

Remaja yang diasuh dengan pola uninvolved cenderung memiliki rasa kurang berharga dan tingkat depresi cenderung tinggi. Selain itu performansi sekolah dan kemampuan sosial cenderung rendah disertai dengan tingkat perilaku bermasalah yang tinggi (Darling, 2014). Remaja yang menerima pola asun uninvolved merasa bahwa aspek-aspek lain kehidupan orang tuanya lebih penting dari dirinya. Hal ini dikarenakan kurangnya monitoring dari orang tua dan tidak adanya kehangatan dan afeksi yang diekspresikan orang tua kepada remaja.

Berikut adalah tabel yang mengemukakan ciri-ciri tiap Pola Asuh Orang tua berdasarkan dua dimensi pola pengasuhan.


(47)

Tabel 2

Ciri-ciri Pola Asuh Orang Tua

Jenis Pola Asuh

Responsivitas Kontrol

Authoritative Menekankan komunikasi dua arah, mengekspresikan afeksi positif (kasih sayang, kehangatan dan penerimaan)

Memberikan tuntutan untuk dewasa dan bertangung jawab, Menjelaskan alasan dibalik pendisiplinan

Authoritarian Menjaga jarak dan tidak hangat, Membatasi pertukaran pendapat.

Memberlakukan aturan yang tegas, Pendisiplinan menggunakan taktik hukuman

Permissive Terbuka secara afeksi namun terlalu memanjakan, memenuhi semua keinginan anak

Memberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang ingin dilakukan, Membiarkan remaja memonitor aktivitasnya sendiri

Uninvolved Mengabaikan kebutuhan remaja, menjauh dan menarik diri secara emosional

Tidak memberikan tuntutan, TIdak memberikan tuntutan kepada remaja, tidak mengontrol perilaku anak

C. REMAJA

1. Definisi Remaja

Remaja berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi matang (Steinberg, 2002). Sementara itu, Papalia, Olds dan Feldman (2009) menyebutkan bahwa remaja adalah transisi perkembangan yang terjadi kira-kira pada umur 10 atau 11 tahun sampai awal dua puluh tahun yang meliputi transisi pada ranah fisik, kognitif dan psikososial. Definisi remaja juga dapat dilihat berdasarkan usia kronologisnya. Hurlock (1996) membagi masa remaja menjadi dua


(48)

bagian, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan masa remaja akhir (17-18 tahun).

Pada tahun 1974 Badan kesehatan dunia atau WHO (dalam Sarwono, 2011) mendefinisikan remaja sebagai suatu masa ketika :

a) Remaja mengalami perkembangan biologis yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda seksual sekunder.

b) Remaja mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c) Remaja mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Selain itu, berdasarkan hasil riset dasar kesehatan pada tahun 2010, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI mengkategorikan usia remaja menjadi dua kelompok, yaitu remaja awal (13-15tahun) dan remaja akhir (16-18 tahun). Batas usia remaja awal didapatkan berdasarkan analisis yang dilakukan dengan mengamati keseluruhan proses perkembangan reproduksi yang dialami perempuan mulai dari usia pertama menstruasi (menarche) yang merupakan awal dari proses reproduksi dimulai, sampai dengan reproduksi berakhir (menopause). Hasil analisis menemukan bahwa 37,5% perempuan Indonesia mengawali usia reproduksi pada usia 13-14 tahun. (Riset Kesehatan, 2013).


(49)

Terkait dengan kecerdasan emosional, Goleman (1995) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional diatur oleh otak emosional (emotional brain) yang meliputi sistem limbik, neokorteks dan prefrontal, serta amygdala. Keempat bagian otak tersebut berkembang matang pada saat individu berada pada tahap remaja (pubertas hingga usia 18 tahun).

2. Aspek Perkembangan Remaja

Memasuki masa remaja, terjadi transisi dalam 3 aspek kehidupan yaitu,

a. Aspek Fisik

Pubertas merupakan awal penting yang menandai masa remaja. Pubertas adalah perubahan cepat pada kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal yang terutama terjadi selama masa remaja awal (Santrock, 2009).

Marshall (1978 dalam Steinberg, 2002) menyebutkan bahwa terdapat lima perubahan fisik yang terjadi selama masa pubertas, yaitu (1) perubahan tinggi dan berat badan yang berlangsung sangat cepat, (2) perkembangan karakteristik seks primer, termasuk perubahan kelenjar kelamin, yaitu testis pada laki-laki dan ovarium pada perempuan, (3) perkembangan karakteristik seks sekunder (4) perubahan pada komposisi tubuh khususnya pada terbentuknya otot


(50)

dan lemak pada tubuh, (5) perubahan pada sistem peredaran darah dan pernapasan.

b. Aspek Kognitif

Memasuki masa remaja, pemikiran individu menjadi lebih abstrak dan logis dibandingkan dengan anak-anak (Piaget dalam Santrock, 2002). Menurut Piaget, tahap perkembangan kognitif ini disebut dengan istilah operasional formal. Dalam tahap ini, remaja memiliki kemampuan untuk berkhayal, mengembangkan ide-ide dan hipotesis, bernalar secara abstrak dan cenderung idealis (Santrock, 2002).

Pemikiran remaja dalam tahap ini bersifat egosentris. Egosentrisme remaja dibagi menjadi dua, yaitu penonton khayalan dan dongeng pribadi (Elkind dalam Santrock, 2002). Penonton khayalan adalah keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana dirinya sendiri yang muncul dalam perilaku mengundang perhatian (Santrock, 2002). Remaja merasa bahwa tidak ada seorangpun yang memahami perasaan mereka. Sebagai hasilnya, remaja dapat mengarang cerita tentang dirinya sendiri yang dipenuhi dengan fantasi atau masuk ke dalam dunia yang jauh dari realitas (Santrock, 2002).


(51)

c. Aspek Sosio-Emosional

Kondisi emosional dalam tahap remaja masih labil dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya seperti keluarga. Erikson (1968) berpendapat bahwa dalam tahap ini remaja dihadapkan pada penentuan identitas dan masa depan (Feist dan Feist, 2006). Oleh karena itu, Erikson juga berpendapat bahwa peran orangtua sangat dibutuhkan dalam memberi kesempatan dan dukungan pada remaja untuk menjelajahi banyak peran dan mendampingi remaja agar dapat menjelajahi peran secara positif (Erikson dalam Santrock, 2002).

Orangtua yang mampu memberikan kenyamanan secara emosional akan membawa remaja mencapai identitas yang positif. Namun apabila remaja mengalami ketidaknyamanan emosional, remaja cenderung memberikan reaksi defensif seperti agresif atau melarikan diri dari kenyataan (Santrock, 2002).


(52)

D. Dinamika Pola Asuh Orang Tua sebagai Prediktor Kecerdasan emosional Pada Remaja

Kecerdasan emosional adalah keterampilan yang dimiliki individu untuk mengelola emosi dengan baik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari (Goleman, 1995).

Salah satu faktor eksternal yang membentuk kecerdasan emosional adalah keluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama bagi individu untuk belajar mengenai emosi (Goleman, 1995). Pengalaman-pengalaman yang terjadi selama masa kanak-kanak hingga remaja sangat mempengaruhi kehidupan emosi seseorang. Berkembangnya kecerdasan emosional remaja tidak dapat dipisahkan pola asuh yang mereka terima dari orang tua. Pola asuh merupakan cara orang tua membesarkan anak dengan memenuhi kebutuhan anak, memberikan perlindungan, mendidik anak, serta menanamkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat agar anak hidup selaras dengan lingkungan (Baumrind dalam Berk, 2006).

Remaja belajar mengenai peran-peran yang ada dalam masyarakat seperti nilai-nilai, sikap serta perilaku yang pantas dan tidak pantas, atau baik dan buruk melalui pengasuhan orang tua. Pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap kecerdasan emosional remaja (Gottman dan DeClaire, 2008). Remaja yang diasuh oleh orang tua authoritative merasakan kehangatan, penerimaan, dukungan dan kasih sayang yang diekspresikan oleh orang tua. Perasaan inilah yang membentuk kemandirian, harga diri tinggi, pandangan


(53)

positif, dan kemampuan regulasi emosi pada remaja (Rohner 1999,). Regulasi emosi merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosional. Individu yang mampu meregulasi emosi akan memanfaatkan emosi, termasuk emosi negatif, dan mengelolanya untuk mencapai tujuan tertentu (Salovey & Grewal, 2005). Salah satu karakteristik pola asuh authoritarian adalah tingginya kontrol yang diberian orang tua kepada remaja, tetapi tidak disertai dengan kehangatan. Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritarian menetapkan aturan dan batasan yang ketat pada remaja. Orang tua juga menerapkan taktik hukuman atas perilaku remaja yang menyimpang dari standar yang telah ditetapkan (Baumrind dalam Santrock, 2014). Remaja yang mendapatkan pola asuh authoritarian sangat rentan mengami kecemasan, depresi , serta berbagai emosi negatif lainnya. Remaja yang diasuh dengan pola asuh authoritarian mengalami kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri (Gottman dan DeClaire, 2008). Ketidakmampuan remaja dalam mengatur emosi akan berdampak pada kemampuan mereka dalam mengidentifikasi emosi yang ada pada diri mereka sendiri serta orang lain. Salah satu aspek kecerdasan emosional yang paling mendasar adalah kemampuan individu untuk menyadari dan mengidentifikasi emosi pada diri sendiri. (Salovey & Grewal, 2005)

Orang tua yang menerapkan pola asuh permissive (indulgent) cenderung memberikan kehangatan yang tinggi tanpa disertai dengan kontrol atas perilaku anak. Orang tua dengan pola asuh permissive memperbolehkan


(54)

remaja untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Orang tua berpendapat bahwa kebebasan yang diberikan akan mendorong kreativitas serta rasa percaya diri pada remaja (Santrock, 2014). Remaja yang diasuh dengan pola asuh permissive cenderung memiliki kontrol diri yang rendah, dan memiliki kesadaran emosi (emotional-self awarness) yang rendah. Hal ini dikarenakan remaja selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan dan tidak mendapatkan tuntutan untuk mengendalikan perilaku. Akibatnya remaja tidak mampu untuk menangani emosi-emosi yang sulit dan mengalami kesulitan dalam menjalin relasi dengan orang lain (Gottman dan DeClaire, 2008).

Jenis pola asuh yang terakhir adalah pola asuh uninvolved. Karakteristik dari pola asuh orang tua uninvolved adalah rendahnya kehangatan serta kontrol orang tua terhadap remaja. Dengan kata lain, orang tua tidak terlibat dengan kehidupan remaja. Remaja yang mendapatkan pola asuh uninvolved dari orang tuanya cenderung memiliki perasaan tidak berharga (Santrock, 2014). Berdasarkan teori Baumrind mengenai pola pengasuhan, orang tua yang menerapkan pola asuh uninvolved tidak terlibat secara emosional dengan anak-anaknya (Baumrind dalam Santrock, 2014). Hal ini membuat remaja tidak merasakan penerimaan dan kehangatan dari orang tua. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rohner, Khaleque, dan Cournoyer pada tahun 2009, remaja yang mempersepsi penolakan dari orang tua cenderung memiliki masalah perilaku, temperamen yang buruk, dan empati yang rendah. Remaja yang diasuh dengan pola asuh uninvolved rentan mengalami ketidakstabilan


(55)

emosi, kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya dan sulit untuk membangun relasi dengan orang lain. Salah satu ciri dari individu yang memiliki kecerdasan emosional adalah mampu mengekspresikan perasaannya serta meregulasi emosi secara positif untuk membangun hubungan dengan orang lain.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua berpengaruh pada kecerdasan emosional remaja.


(56)

E. Bagan Pengaruh Pola Asuh pada Kecerdasan Emosional Remaja

1. Bagan pengaruh pola asuh authoritative pada kecerdasan emosional remaja

Pola Asuh

Authoritative

Kontrol Tinggi Responsivitas Tinggi

- Memberikan Tuntutan untuk bertanggung jawab

- Menjelaskan alasan dibalik pendisiplinan

- Menekankan

komunikasi dua arah - Mengekspresikan afeksi

positif (kasih sayang, kehangatan, dan penerimaan)

- Merasa diterima dan disayangi

- Merasasa didukung

- Memiliki emosi yang stabil


(57)

2. Bagan Pengaruh Pola Asuh Authoritarian pada Kecerdasan Emosional Remaja

Pola Asuh Authoritarian

Kontrol Tinggi Responsivitas Rendah

- Memberlakukan aturan tegas

- Memberlakukan

hukuman atas perilaku remaja yang

menyimpang dari standar mereka

- Menjaga jarak dan tidak hangat

- Membatasi pertukaran pendapat

- Ketidakstabilan emosi - Tingkat depresi tinggi - Kesulitan untuk

mengekspresikan emosi


(58)

3. Bagan pengaruh Pola asuh permissive pada kecerdasan emosional remaja

Pola Asuh Permissive

Kontrol Rendah Responsivitas Tinggi

- Memberikan kebebasan penuh kepada remaja. - Membiarkan remaja

memonitor aktiviasnya sendiri

- Hangat

- Terbuka secara afektif namun cenderung memanjakan

- Kesulitan dalam menjalin relasi dengan orang lain

- Kurangnya pengendalian diri

- Kesulitan dalam memahami emosi diri


(59)

4. Bagan pengaruh pola asuh uninvolved pada kecerdasan emosional remaja

Pola Asuh Uninvolved

Kontrol Rendah Responsivitas Rendah

- Tidak memberikan tuntutan apapun kepada remaja

- Tidak memberlakukan kontrol kepada remaja

- Tidak peka dengan kebutuhan fisik maupun psikologis remaja - Menarik diri secara

emosional

- Merasakan penolakan dari orang tua - Merasa tidak disayangi

- Depresi

- Tempramen buruk

- Empati Rendah


(60)

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah :

1. Pola asuh authoritative berpengaruh positif signifikan pada kecerdasan emosional remaja ; peningkatan skor pada pola asuh authoritative meningkatkan skor kecerdasan emosional.

2. Pola asuh authoritarian berpengaruh negatif signifikan pada kecerdasan emosional remaja ; peningkatan skor pada pola asuh authoritarian menurunkan skor kecerdasan emosional.

3. Pola asuh permissive berpengaruh negatif signifikan pada kecerdasan emosional remaja ; peningkatan skor pada pola asuh permissive menurunkan skor kecerdasan emosional.

4. Pola asuh uninvolved berpengaruh negatif signifikan pada kecerdasan emosional remaja ; peningkatan skor pada pola asuh uninvolved menurunkan skor kecerdasan emosional.


(61)

39 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional dengan teknik analisis regresi (Sugiyono, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah pola asuh orang tua authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved memprediksi kecerdasan emosional remaja. B. Identifikasi Variabel

Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu :

1. Variabel independen : Pola asuh orang tua yang terdiri dari pola asuh authoritative, pola asuh authoritarian, pola asuh permissive, dan pola asuh uninvolved.

2. Variabel dependen : Kecerdasan emosional C. Definisi Operasional

1. Pola Asuh

Pola asuh adalah serangkaian interaksi orang tua untuk bekerjasama memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan mengajarkan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sehingga berpengaruh pada perilaku individu.

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala pola asuh orang tua yang disusun berdasarkan dua dimensi pola asuh Baumrind.


(62)

Cara pengkategorian pola asuh menggunakan kategori bukan jenjang (nominal). Tujuan kategori ini adalah menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok diagnosis yang tidak

memiliki makna “lebih” dan “kurang” atau “tinggi” dan “rendah”

(Azwar, 2002). Pengkategorian pola asuh dilakukan dengan mengubah skor subjek untuk setiap pola asuh ke dalam Z score. Rumus yang digunakan untuk menghitung Z score (Azwar,2008) :

Z = (X-M) / SD

Keterangan :

Z = Z score

X = Skor Subjek

M = Mean Kelompok Subjek

SD = Standar Deviasi Kelompok

Subjek akan masuk ke dalam kategori dari masing-masing pola asuh berdasarkan nilai Z score yang paling tinggi karena telah menunjukkan kecenderungan dari pola asuh yang diterima oleh subjek.


(63)

2. Kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan remaja untuk memahami, menggunakan dan meregulasi emosi secara efektif untuk mencapai suatu tujuan. Kecerdasan emosional diukur menggunakan skala kecerdasan emosional yang disusun empat aspek yang dari kecerdasan emosional yaitu :

a) Mempersepsi emosi b) Menggunakan emosi

c) Memahami dan menganalisa emosi d) Mengatur dan Meregulasi emosi D. Subjek Penelitian

Subjek dalam pemelitian ini adalah remaja yang berusia 13-18 tahun tahun. Subjek merupakan pelajar sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Bekasi. Pemilihan subjek menggunakan metode non probability purposive sampling, yaitu pemilihan subjek berdasarkan ciri-ciri tertentu yang berkaitan dengan sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Ary, Jacobs, Sorensen & Walket, 2014). Peneliti menetapkan dua kriteria untuk penetapan subjek yaitu :

1) Remaja laki-laki atau perempuan dengan rentang usia 13-18 tahun, 2) Tinggal bersama dengan orangtua lengkap (ayah dan ibu).


(64)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulkan data dilakukan dengan cara menyebarkan skala yang diisi oleh subjek. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala pola asuh orang tua yang terdiri dari skala pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, uninvolved, dan skala kecerdasan emosional. F. Alat Pengumpulan Data

1. Skala Pola Asuh Orang tua

Peneliti menggunakan skala pola asuh orang tua yang disusun berdasarkan dua dimensi pola asuh menurut Baumrind (dalam Santrock, 2014). Kedua dimensi tersebut adalah kontrol dan responsivitas.

Pernyataan-pernyataan dalam skala ini terdiri dari item favorable dan item unfavorable. Pemberian skor pada skala pola asuh orang tua adalah sebagai berikut :

Tabel 3

Skor Item Skala Pola Asuh Orang tua

Respon Skor Item

Favorable

Skor Item Unfavorable

Sangat Setuju 4 1

Setuju 3 2

Tidak Setuju 2 3


(65)

Tabel 4

Sebaran Item Skala Pola Asuh Sebelum Seleksi Item

2. Skala Kecerdasan Emosional

Peneliti menggunakan skala Kecerdasan Emosional yang disusun berdasarkan aspek-aspek teori kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer (2005). Aspek-aspek yang digunakan dalam skala ini, yaitu :

a. Mempersepsi emosi b. Menggunakan emosi

c. Memahami dan menganalisis emosi

No Jenis Pola Asuh Nomor Item %

Favorable Unfavorable

1. Authoritative

a. Kontrol b. Responsivitas 1,7,13,2,6,15 3,9,19,10,18, 21 5,14,17,10, 8, 16 11,12,20,22, 23,34 12.5% 12.5%

2. Authoritarian

a. Kontrol b. Responsivitas 25,39,48,31,3 5,37 43,46,44,27,3 0,42 45,40,26,41,2 8,34 38,33,29,36,3 2,47 12.5% 12.5% 3. Permissive

a. Kontrol b. Responsivitas 67,51,65,62,5 9,69 49,53,72,57,6 0,55 50,48,71,56,5 2,54 66,64,70,63,6 1,58 12.5% 12.5% 4. Uninvolved

a. Kontrol b. Responsivitas 73,86,82,88,9 4,92 75,80,77,84,9 3,89 78,91,95,79.9 0,83 87,85,74,96,7 6,81 12.5% 12.5%


(66)

d. Mengatur atau meregulasi emosi

Pernyataan-pernyataan dalam skala ini terdiri dari item favorable dan item unfavorable. Pemberian skor pada skala kecerdasan emosional adalah sebagai berikut :

Tabel 5

Skor Item Skala Kecerdasan Emosional

Respon Skor Item

Favorable

Skor Item Unfavorable

Sangat Setuju 4 1

Setuju 3 2

Tidak Setuju 2 3

Sangat Tidak Setuju 1 4

Tabel 6

Sebaran Item Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Seleksi Item

No Aspek Nomor Item %

Favorable Unfavorable 1. Mempersepsi

emosi 4,5,11,15,19,3 6,40,62,71,76 1,3,7,8,17,23,47 ,50,54,55 25%

2. Menggunakan emosi 16,27,44,57,6 0,59,63,69,67, 75 9,12,49,52,65,6 8,72,74,78,80 25%

3. Memahami emosi 2,20,21,22,24, 31,42,51,53,6 4 29,32,38,41,45, 58,61,70,73,77 25%

4. Mengatur dan Meregulasi emosi 6,10,26,30,34, 37,46,48,56,6 6, 13,14,18,25,28, 32,35,39,43,79 25%


(67)

G. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas Skala

Validitas adalah kemampuan suatu alat ukur dalam mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Alat ukur memiliki validitas tinggi apabila alat ukur tesebut memberi hasil yang sesuai dengan tujuan pengukuran (Azwar, 2003). Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan dua jenis validitas, yaitu validitas isi dan validitas konstruk.

Validitas isi adalah analisis logis atau empiris terhadap seberapa memadai isi tes mewakili ranah isi serta seberapa relevan ranah isi tersebut sesuai dengan interpretasi skor tes yang dimaksudkan. Isi tes mengacu pada tema-tema, pilihan kata, serta format atau bentuk item, tugas, atau pertanyaan yang digunakan dalam tes. Validitas isi lazim diperoleh melalui penilaian pakar atau ahli terhadap kesesuaian antara bagian-bagian tes dan konstruk yang diukur (Supratiknya, 2014).

Dalam penelitian ini validitas isi diperoleh melalui penilaian Dosen Pembimbing Skripsi, Dosen Psikologi, dan Guru BK yang merupakan lulusan S2 Psikologi. Penilaian meliputi format skala, penyusunan kalimat, pemilihan kata, dan kesesuaian antara item dengan indikator dari atribut yang hendak diukur. Selain itu, penilaian mengenai pemahaman kalimat setiap item dilakukan oleh beberapa


(68)

mahasiswa dan siswa SMP & SMA. Penilaian dilakukan dengan meminta penilaian dan saran perbaikan mengenai kalimat yang dapat dipahami untuk setiap item.

Validitas konstruk adalah penilaian tentang sejauh mana item-item dan komponen-komponen dalam tes saling berhubungan sedemikian rupa sesuai dengan konstruk yang diukur. Pengujian ini terkait dengan konsistensi internal atau homogenitas tes. Konsistensi internal atau homogenitas tes yang tinggi dipandang merupakan bukti yang kuat bahwa tes tersebut mengukur sebuah konstruk yang memang hendak diukur oleh peneliti (Supratiknya, 2014).

Validitas konstruk dalam penelitian ini dilakukan melalui perhitungan korelasi item total. Korelasi item total menggambarkan tentang hubungan antara masing-masing item dengan skor total tes sebagai kriteria internal (Supratiknya, 2014). Perhitungan korelasi item total ini akan dijabarkan lebih detail pada bagian seleksi item. 2. Seleksi Item

Uji coba dilakukan pada tanggal 27 dan 28 Mei 2016. Uji coba melibatkan 60 remaja berusia 13-18 tahun di SMP Pa Van Der Steur, dan siswa-siswi SMA di Bimbingan belajar New Concept, Bekasi. Peneliti menyebarkan 60 buah skala, akan tetapi terdapat 5 buah skala yang tidak dapat dipergunakan dikarenakan subjek tidak mengisi skala secara lengkap.


(69)

Seleksi item dilakukan dengan menghitung korelasi item total dari item yang terdapat pada masing-masing skala yang digunakan saat uji coba. Perhitungan korelasi item total dapat menunjukkan item-item yang paling baik mengukur konstruk atau isi yang sedang diukur. Semakin tinggi korelasi antara skor item dan skor total skala, semakin baik juga item yang bersangkutan. Item-item yang berkorelasi negatif dan berkorelasi positif, tetapi niainya rendah dengan skor total harus digugurkan. Item yang mencapai koefisien korelasi diatas 0.20 daya bedanya dianggap memuaskan (Supratiknya, 2014).

Peneliti menggunakan koefisien korelasi berbeda pada masing-masing skala untuk mendapatkan jumlah item yang mencukupi. Berikut merupakan koefisien korelasi yang digunakan pada masing-masing skala.

Tabel 7

Koefisien korelasi Skala Pola Asuh Orang tua

Skala Koefisien Korelasi

Skala Pola Asuh Authoritative rᵢₓ ≥ 0.20 Skala Pola Asuh Authoritarian rᵢₓ ≥0 .30 Skala Pola Asuh Permissive rᵢₓ ≥ 0.30 Skala Pola Asuh Uninvolved rᵢₓ ≥ 0.30 Skala Kecerdasan Emosional rᵢₓ ≥ 0.25

Uji seleksi item menggunakan korelasi item total melalui SPSS for Windows versi 21. Seleksi item pada skala pola asuh orang tua menghasilkan 70 item yang baik dari total 96 item. Komposisi untuk


(70)

70 item yang lolos adalah 15 item pada skala pola asuh authoritative, 19 item pada skala pola asuh authoritarian, 17 item pada skala pola asuh permissive, dan 19 item pada skala pola asuh uninvolved. Berikut adalah tabel sebaran item yang gugur (Tabel 8) dan sebaran item skala pola asuh orang tua setelah seleksi item (Tabel 9)

Tabel 8

Sebaran Item yang Gugur pada Skala Pola Asuh Orang Tua

*) Item yang gugur

No Aspek Pola Asuh Nomor Item Jumlah

Favorable Unfavorable 1. Authoritative

a. Kontrol b. Responsivitas 1,2*,7,13,6*,1 5* 3*,4*,9,19, ,18,21 5,14*,17,10, 8*, 16* 11,12*,20,22, 23,34 12 12

2. Authoritarian a. Kontrol b. Responsivitas 25,39*,48,31 *,35,37 43,46,44,27, 30,42 45,40,26,41, 28,34 38*,33*,29,3 6*,32,47 12 12 3. Permissive

a. Kontrol b. Responsivitas 67,51,65,62* ,59,69 49*,53,72*,5 7,60,55 50*,68,71,56 ,52,54* 66,64*,70,63 ,61,58* 12 12 4. Uninvolved

a. Kontrol b. Responsivitas 73,86*,82*,8 8,94*,92 75,80,77,84, 93,89 78,91,95*,79 .90,83 87*,85,74,96 ,76,81 12 12


(71)

Tabel 9

Sebaran Item Skala Pola Asuh Orang Tua Setelah Seleksi Item

Seleksi item pada skala kecerdasan emosional menghasilkan 54 item yang baik dari total 80 item. Untuk menyeimbangkan item pada masing-masing aspek, maka peneliti mengurangi 10 item dengan skor korelasi item terendah sehingga menghasilkan 44 item. Berikut adalah tabel sebaran item yang gugur (Tabel 10 ) :

No Aspek Pola Asuh Nomor Item Jumlah

Favorable Unfavorable 1. Authoritative

a. Kontrol b. Responsivitas 1,7,13, 9,19,18,21 5,10,17 11,20,22,23,24 6 9 2. Authoritarian

a. Kontrol b. Responsivitas 25,48,35,37 43,46,44,27 ,30,42 45,40,26,41,28 ,34 29,32,47 10 9 3. Permissive

a. Kontrol b. Responsivitas 67,51,65,59 ,69 53,57,60,55 48,71,56,52 66,70,63,61 9 8 4. Uninvolved

a. Kontrol b. Responsivitas 73,88,92 75,80,77,84 ,93,89 78,91,79.90,83 85,74,96,76,81 8 11


(72)

Tabel 10

Sebaran Item yang Gugur pada Skala Kecerdasan Emosional

No Aspek Nomor Item Total

Favorable Unfavorable 1. Mempersepsi emosi 4,5,11,15,19,36

*,40*,62*,71,76 * 1,3,7*,8*,17,2 3*,47,50*,54,5 5* 20

2. Menggunakan emosi 16*,27*,44,57,6 0,59,63*,69,67* ,75* 9*,12,49*,52* 65,68,72*,74,7 8,80 20

3. Memahami emosi 2*,20*,21,22,24 *31,42,51*,53,6 4* 29*,32,38*41, 45,58,61*70,7 3*,77 20

4. Mengatur dan Meregulasi emosi 6,10,26*,30,34, 37,46,48*56,66 * 13*,14*18,25, 28*,32,35,39*, 43*,79* 20

23 21 44 *) Item yang gugur

Tabel 11

Sebaran Item skala Kecerdasan Emosional Setelah Seleksi Item

No Aspek Nomor Item Total

Favorable Unfavorable

1. Mempersepsi emosi 4,5,11, 15,19,71 1,3,17,47,54 11 2. Menggunakan emosi 44,57,60,59,69 12,65,68,74,78,80 11 3. Memahami emosi 21, 22,31,42,53 32,41,45,58,70,77 11 4. Mengatur dan

Meregulasi emosi

6,10,30,34,37,46,56 18,25,32,35 11


(73)

3. Reliabilitas Skala

Reliabilitas berasal dari kata reliability yang megacu pada konsistensi atau kepercayaan kestabilan, keajegan, dan lain-lain. Suatu pengukuran yang mampu menghasilkan data yang memiliki tingkat reliabilitas tinggi disebut pengukuran yang reliabel (reliable). Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien

reliabilitas (rₓₓ’). Alat ukur yang memiliki reliabilitas tinggi adalah alat ukur

yang memiliki koefisien korelasi mendekati nilai satu (1,00), begitu sebaliknya semakin mendekati nilai nol (0), maka semakin rendah reliabilitasnya. Analisis reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach dengan bantuan program SPSS for Windors versi 21. Reliabilitas kedua skala adalah sebagai berikut :

a. Skala Pola Asuh Orang Tua Tabel 12

Reliabilitas skala pola asuh orang tua sebelum dan setelah uji coba No Pola Asuh Reliabilitas sebelum

Uji coba

Reliabilitas setelah Uji coba 1. Authoritative 0.816 0.873 2. Authoritarian 0.883 0.919 3. Permissive 0.810 0.884 4. Uninvolved 0.858 0.877


(74)

b. Skala Kecerdasan Emosional

Koefisien reliabilitas yang diperoleh pada skala kecerdasan emosional sebelum uji coba adalah sebesar 0.895 dan setelah uji coba sebesar 0.924.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa skala pola asuh orang tua dan skala kecerdasan emosional memiliki reliabilitas yang cukup baik, karena memiliki koefisien korelasi mendekati 1.00.

H. METODE ANALISIS DATA 1. Uji Asumsi

Sebelum melakukan analisis data menggunakan regresi berganda, perlu dilakukan langkah uji asumsi untuk mengetahui metode statistik yang tepat. Uji asumsi tersebut antara lain uji normalitas, uji linieritas, multikolonearitas, dan heterokedastisitas (Priyatno, 2012).

a. Uji normalitas

Uji Normalitas adalah uji yang dilakukan untuk melihat apakah data penelitian berasal dari populasi yang sebenarnya normal (Santoso, 2010). Dalam uji normalitas regresi, yang diuji adalah normalitanya adalah error atau residunya. Hal ini dikarenakan semakin besar error yang dihasilkan berarti semakin buruk prediksi yang dilakukan (Santoso,2010). Dalam penelitian ini uji normalitas yang digunakan adalah metode One Sample Kolmogorov-Smirnov.


(75)

b. Uji Linieritas

Uji linieritas adalah uji yang digunakan untuk menyatakan bahwa hubungan antar variabel yang hendak diukur akan mengikuti garis lurus (Santoso, 2010). Dalam penelitian ini, uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah Pola asuh orang tua sebagai variabel prediktor, memiliki hubungan yang linier dengan kecerdasan emosional sebagai variabel kriterium. Teknik yang digunakan untuk menguji linieritas adalah Test for Linierity pada program SPSS versi 20 for Windows. c. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas adalah uji yang dilakukan untuk melihat variabel-variabel prediktor tidak berkorelasi satu sama lain (Santoso, 2010). Jika ada dua variabel bebas di mana kedua variabel tersebut berkorelasi sangat kuat, maka secara logika persamaan regresinya cukup diwaliki oleh salah satu variabel saja (Yudiaatmaja, 2013). Multikolinieritas dapat diketahui dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan Tolerance (TOL).

d. Uji Heterokedastisitas

Uji heterokedastisitas perlu dilakukan untuk melihat ketidaksamaan varian yang dilihat dari nilai eror atau residu (Priyatno, 2012). Asumsi ini diuji menggunakan uji Glejster.


(1)

LAMPIRAN F

Tabel Sum of Squares and Cross-products

Correlations

Kecerdasan Emosional

Authoritativ e

Authoritaria n

Uninvolve d

Kecerdasan Emosional

Pearson Correlation 1 .307** .400** -.240**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .003

Sum of Squares and

Cross-products 39452.308 7189.769 9763.923 -4907.000

Covariance 254.531 46.386 62.993 -31.658

N 156 156 156 156

Authoritative

Pearson Correlation .307** 1 .383** -.125 Sig. (2-tailed) .000 .000 .120 Sum of Squares and

Cross-products 7189.769 13862.840 5533.474 -1516.167 Covariance 46.386 89.438 35.700 -9.782

N 156 156 156 156

Authoritarian

Pearson Correlation .400** .383** 1 -.231** Sig. (2-tailed) .000 .000 .004 Sum of Squares and

Cross-products 9763.923 5533.474 15080.436 -2925.667 Covariance 62.993 35.700 97.293 -18.875

N 156 156 156 156

Uninvolved

Pearson Correlation -.240** -.125 -.231** 1

Sig. (2-tailed) .003 .120 .004

Sum of Squares and

Cross-products -4907.000 -1516.167 -2925.667 10617.667

Covariance -31.658 -9.782 -18.875 68.501

N 156 156 156 156


(2)

LAMPIRAN G

Z Score

Subjek Autoritative Authoritarian Permissive Uninvolved

Nilai

Tertinggi SPSS KATEGORI

1 -1.83 -2.39 -1.07 -1.11 -1.07 3 Permissive

2 -0.13 -0.65 2.01 2.27 2.27 4 Uninvolved

3 0.19 -0.86 1.27 1.78 1.78 4 Uninvolved

4 -1.72 -1.27 0.04 1.42 1.42 4 Uninvolved

5 0.40 -0.96 0.78 1.90 1.90 4 Uninvolved

6 1.36 1.18 0.28 -1.83 1.36 1 Authoritative

7 -1.19 -1.37 -0.09 1.30 1.30 4 Uninvolved

8 0.83 0.98 0.65 -0.75 0.98 2 Authoritarian

9 -0.13 -0.96 0.41 -0.14 0.41 3 Permissive

10 -0.23 0.27 -0.58 -0.99 0.27 2 Authoritarian

11 -1.19 -0.65 -1.44 -1.83 -0.65 2 Authoritarian

12 -0.87 -1.67 0.16 1.06 1.06 4 Uninvolved

13 0.40 1.08 0.04 -2.07 1.08 2 Authoritarian

14 -0.66 -1.78 1.27 1.30 1.30 4 Uninvolved

15 1.57 1.18 0.41 -0.87 1.57 1 Authoritative

16 -0.87 -1.67 -1.81 -1.47 -0.87 1 Authoritative

17 0.40 1.08 0.53 -1.23 1.08 2 Authoritarian

18 -0.66 -1.78 1.15 1.54 1.54 4 Uninvolved

19 1.57 1.18 -0.09 -1.71 1.57 1 Authoritative

20 -0.77 -0.55 0.90 1.30 1.30 4 Uninvolved

21 1.57 2.00 0.65 -0.75 2.00 2 Authoritarian

22 0.72 1.69 0.53 -0.14 1.69 2 Authoritarian

23 -0.45 0.88 1.52 1.54 1.54 4 Uninvolved

24 0.09 -0.65 -1.07 2.14 2.14 4 Uninvolved

25 -0.02 0.27 1.40 -2.55 1.40 3 Permissive

26 -1.19 -0.96 0.41 1.06 1.06 4 Uninvolved

27 0.83 0.47 -0.09 -0.75 0.83 1 Authoritative


(3)

29 0.40 -0.65 -1.57 -0.39 0.40 1 Authoritative

30 1.57 2.00 1.02 -0.14 2.00 2 Authoritarian

31 0.72 1.69 -0.33 -1.47 1.69 2 Authoritarian

32 -0.23 -1.27 -2.31 -2.92 -0.23 1 Authoritative

33 -1.19 0.16 -0.09 -0.02 0.16 2 Authoritarian

34 -0.87 -0.96 -0.58 -0.39 -0.39 4 Uninvolved

35 0.40 0.47 -1.07 -1.71 0.47 2 Authoritarian

36 -0.66 -0.65 -1.57 -1.11 -0.65 2 Authoritarian

37 1.57 -0.45 0.90 1.42 1.57 1 Authoritative

38 -0.77 0.57 -1.07 -1.23 0.57 2 Authoritarian

39 1.57 -0.35 1.15 1.18 1.57 1 Authoritative

40 0.72 0.88 0.53 -1.35 0.88 2 Authoritarian

41 1.04 0.27 0.16 0.22 1.04 1 Authoritative

42 1.15 1.39 1.27 -0.51 1.39 2 Authoritarian

43 -0.55 1.80 1.27 -0.87 1.80 2 Authoritarian

44 -0.02 -1.88 -1.20 0.46 0.46 4 Uninvolved

45 -0.66 1.18 1.27 -0.27 1.27 3 Permissive

46 -0.23 -0.14 -0.83 0.82 0.82 4 Uninvolved

47 -0.13 -0.04 0.41 0.82 0.82 4 Uninvolved

48 1.15 -0.76 -1.07 -0.02 1.15 1 Authoritative

49 0.62 -0.86 -1.81 0.22 0.62 1 Authoritative

50 1.04 0.98 1.02 0.34 1.04 1 Authoritative

51 0.72 -0.76 -2.06 0.22 0.72 1 Authoritative

52 -1.19 1.08 1.40 0.22 1.40 3 Permissive

53 0.30 0.06 -0.58 -0.39 0.30 1 Authoritative

54 -1.94 -1.57 -1.07 -0.87 -0.87 4 Uninvolved

55 0.72 0.67 1.64 0.34 1.64 3 Permissive

56 0.19 0.37 1.15 0.70 1.15 3 Permissive

57 -1.40 -0.96 1.52 1.30 1.52 3 Permissive

58 0.51 0.78 -0.09 0.34 0.78 2 Authoritarian

59 1.68 1.08 -0.33 -0.75 1.68 1 Authoritative

60 -0.98 -1.06 0.53 0.82 0.82 4 Uninvolved

61 1.15 0.88 0.65 -0.27 1.15 1 Authoritative

62 0.40 0.27 -0.33 0.22 0.40 1 Authoritative


(4)

64 -2.26 -1.37 -0.21 -0.27 -0.21 3 Permissive

65 -1.09 -0.65 -0.58 0.10 0.10 4 Uninvolved

66 0.19 0.47 -0.21 -0.27 0.47 2 Authoritarian

67 -1.40 -0.45 1.02 0.94 1.02 3 Permissive

68 1.89 0.88 -1.44 -0.39 1.89 1 Authoritative

69 -1.09 -1.47 -0.83 -0.51 -0.51 4 Uninvolved

70 0.19 1.08 0.53 0.94 1.08 2 Authoritarian

71 -1.40 -0.65 0.41 1.18 1.18 4 Uninvolved

72 1.89 0.88 -1.32 -0.39 1.89 1 Authoritative

73 -1.30 -0.24 2.14 -0.14 2.14 3 Permissive

74 1.36 1.29 -0.46 1.06 1.36 1 Authoritative

75 0.83 1.08 0.41 -1.35 1.08 2 Authoritarian

76 -0.02 1.69 0.78 0.70 1.69 2 Authoritarian

77 0.40 -1.57 0.53 -0.14 0.53 3 Permissive

78 -0.23 0.88 -0.83 -0.75 0.88 2 Authoritarian

79 -1.19 -0.14 0.41 -0.63 0.41 3 Permissive

80 0.83 0.06 -0.70 -0.39 0.83 1 Authoritative

81 -0.77 -0.86 0.04 1.18 1.18 4 Uninvolved

82 0.62 -0.65 0.16 -0.39 0.62 1 Authoritative

83 1.36 1.80 -0.70 -0.14 1.80 2 Authoritarian

84 0.83 0.98 -1.07 -0.51 0.98 2 Authoritarian

85 -0.66 -1.67 -1.32 1.30 1.30 4 Uninvolved

86 -2.26 -0.04 0.41 -0.75 0.41 3 Permissive

87 -1.09 -0.65 -0.09 0.94 0.94 4 Uninvolved

88 0.19 -0.24 0.04 -0.39 0.19 1 Authoritative

89 -1.40 -1.47 0.53 1.18 1.18 4 Uninvolved

90 1.89 -0.14 1.52 1.54 1.89 1 Authoritative

91 -1.30 -0.04 -1.94 0.58 0.58 4 Uninvolved

92 1.36 0.37 1.15 -1.23 1.36 1 Authoritative

93 0.83 0.37 -0.21 0.82 0.83 1 Authoritative

94 1.04 0.27 0.04 -0.02 1.04 1 Authoritative

95 0.83 1.29 0.04 -0.02 1.29 2 Authoritarian

96 0.19 1.29 1.27 -0.39 1.29 2 Authoritarian

97 -0.77 -1.27 -0.83 -0.39 -0.39 4 Uninvolved


(5)

99 -1.30 -0.96 -0.95 -0.27 -0.27 4 Uninvolved

100 -0.23 0.47 0.41 -0.87 0.47 2 Authoritarian

101 0.51 -1.16 -0.70 0.22 0.51 1 Authoritative

102 0.40 -1.06 -0.83 -0.63 0.40 1 Authoritative

103 0.83 1.08 0.65 -0.39 1.08 2 Authoritarian

104 -0.34 -1.57 -1.20 -1.95 -0.34 1 Authoritative

105 -0.13 1.59 0.78 0.10 1.59 2 Authoritarian

106 -0.23 -0.65 -0.70 -0.39 -0.23 1 Authoritative

107 1.15 -1.27 0.28 0.34 1.15 1 Authoritative

108 -1.09 -1.06 1.02 0.58 1.02 3 Permissive

109 0.83 -0.14 -0.21 -0.27 0.83 1 Authoritative

110 0.09 -1.37 1.27 -0.02 1.27 3 Permissive

111 -0.45 0.06 1.40 0.70 1.40 3 Permissive

112 -1.51 1.90 -1.57 0.58 1.90 2 Authoritarian

113 -0.77 -0.04 -0.09 1.66 1.66 4 Uninvolved

114 0.40 -0.04 1.15 0.82 1.15 3 Permissive

115 -0.77 0.67 -0.46 -0.99 0.67 2 Authoritarian

116 1.47 0.47 0.53 0.58 1.47 2 Authoritarian

117 -0.98 -0.86 -0.58 -0.02 -0.02 4 Uninvolved

118 0.19 -1.57 -0.09 0.22 0.22 4 Uninvolved

119 -0.98 0.16 -0.70 -1.11 0.16 2 Authoritarian

120 1.68 -0.35 0.53 -0.39 1.68 1 Authoritative

121 -0.98 0.78 0.16 0.46 0.78 2 Authoritarian

122 1.47 0.27 -1.57 0.22 1.47 1 Authoritative

123 0.62 0.16 1.02 0.58 1.02 3 Permissive

124 -0.13 -0.35 0.41 -0.99 0.41 3 Permissive

125 -0.13 0.78 -0.58 -1.11 0.78 2 Authoritarian

126 -0.34 0.78 0.41 1.06 1.06 4 Uninvolved

127 -0.98 0.98 0.78 0.10 0.98 2 Authoritarian

128 0.72 1.59 0.41 -0.87 1.59 2 Authoritarian

129 -0.98 1.39 2.14 -0.27 2.14 3 Permissive

130 0.51 -1.06 0.04 1.06 1.06 4 Uninvolved

131 1.47 0.47 1.52 -0.14 1.52 3 Permissive

132 0.72 -0.24 -0.46 -0.02 0.72 1 Authoritative


(6)

134 -1.51 0.27 -0.95 -0.14 0.27 2 Authoritarian

135 -0.77 -1.27 -0.46 -1.11 -0.46 3 Permissive

136 0.30 1.39 -0.09 -0.87 1.39 2 Authoritarian

137 -0.77 1.59 -1.20 0.82 1.59 2 Authoritarian

138 1.47 -0.35 -2.31 0.22 1.47 1 Authoritative

139 1.15 0.47 -0.83 0.94 1.15 1 Authoritative

140 -1.09 -0.96 -0.46 0.94 0.94 4 Uninvolved

141 0.83 0.06 -1.81 -0.75 0.83 1 Authoritative

142 0.09 -0.45 -0.70 1.30 1.30 4 Uninvolved

143 -0.34 -1.27 1.02 -0.27 1.02 3 Permissive

144 -1.62 0.57 -1.69 0.34 0.57 2 Authoritarian

145 -0.98 0.47 1.15 -1.23 1.15 3 Permissive

146 0.19 -0.45 -0.70 -0.87 0.19 1 Authoritative

147 -0.98 0.27 0.28 1.42 1.42 4 Uninvolved

148 1.68 1.39 0.90 -1.71 1.68 1 Authoritative

149 -1.09 -0.55 1.40 1.66 1.66 4 Uninvolved

150 0.40 0.78 -1.94 -0.39 0.78 2 Authoritarian

151 -0.77 0.27 1.02 -1.35 1.02 3 Permissive

152 1.57 -0.24 -0.70 0.94 1.57 1 Authoritative

153 -0.98 -0.55 0.04 0.94 0.94 4 Uninvolved

154 1.26 -1.27 -0.33 -0.27 1.26 1 Authoritative

155 0.62 0.06 -1.07 0.58 0.62 1 Authoritative