Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kecerdasan Emosional Remaja di SMA Katolik Tri Sakti Medan

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.
Masa ini sering disebut dengan masa pubertas. Istilah pubertas juga istilah dari
adolescent yang berarti perubahan biologis baik bentuk maupun fisiologis yang
terjadi dengan cepat dari masa anak-anak ke masa dewasa, terutama perubahan
psikologis (Depkes Jakarta, 2012). Menurut WHO (1995) dalam Depkes Jakarta
(2012) menyatakan bahwa usia remaja adalah antara usia 10-18 tahun, yang
dimana dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu: (1) masa remaja awal (1013 tahun), (2) masa remaja tengah (14-16 tahun), dan (3) masa remaja akhir (1718 tahun).
Hasil Sensus Penduduk (2010) menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa, 63,4 diantaranya adalah penduduk remaja yang
terdiri dari laki-laki sebanyak 32.164.436 jiwa (50,70%) dan perempuan
31.279.012 jiwa (49,30%). Besarnya jumlah penduduk kelompok remaja ini akan
sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang. Melihat
jumlah penduduk remaja yang cukup besar, maka remaja sebagai generasi penerus
bangsa perlu dipersiapkan menjadi manusia yang sehat secara jasmani, rohani,
mental.
Usia remaja sangat menentukan kualitas penduduk pada masa depan
sehingga keberhasilan penduduk pada kelompok umur dewasa sangat tergantung

pada masa remajanya (BKKBN, 2013).

1
Universitas Sumatera Utara

2

Masa remaja (adolescence) merupakan masa transisi atau masa peralihan
antara masa kanak-kanak dan dewasa, serta relatif belum mencapai tahap
kematangan mental dan sosial, sehingga remaja harus menghadapi tekanantekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Masa transisi tersebut
memiliki kemungkinan besar untuk menimbulkan masa krisis, yaitu suatu masa
yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang atau
kenakalan remaja. Perilaku-perilaku menyimpang yang dilakukan remaja
berkaitan dengan ketidaksiapan remaja dalam menghadapi perkembangannya dan
kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua atau pengakuan dari
teman sebaya, sehingga mereka cenderung akan mengalami kecemasan, perasaan
tertekan atau ketidaknyamanan emosional dalam kehidupan remaja (Prasetyono,
2014).
Menurut penelitian Yunus (2015) yang berjudul hubungan pola asuh
demokratis dengan kecerdasan emosional pada remaja di SMA Negeri 4 Kota

Gorontalo terhadap 79 siswa menjelaskan bahwa kehidupan remaja tidak terlepas
dari

berbagai

macam

permasalahan

yang

ada

dalam

setiap

tahap

perkembangannya. Permasalahan yang ada dapat bersumber dari berbagai macam

faktor seperti dalam diri sendiri, keluarga teman sepergaulan atau lingkungan
sosial.
Jika seorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi-situasi kritis dalam
konflik yang terjadi karena remaja terlalu mengikuti gejolak emosi yang ada pada
dirinya sendiri, maka kemungkinan besar remaja akan terperangkap dalam
pergaulan dan perilaku yang buruk. Kasus-kasus penyalahgunaan obat,

Universitas Sumatera Utara

3

penyalahgunaan seks, kenakalan remaja yang lain, sering kali disebabkan oleh
kurang adanya kemampuan remaja untuk mengarahkan emosinya secara positif.
Keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam mengelola emosi tergantung pada
kecerdasan emosi. Makin tinggi kecerdasan emosi seseorang, maka individu dapat
mengatasi berbagai masalah, khususnya yang memerlukan kendali emosi yang
kuat (Sarwono, 2012).
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 komponen
Kesehatan Reproduksi Remaja (SDKI 2012 KRR) menunjukkan dari 6,83 orang
pria berusia 15-19 tahun, 74,4% merokok aktif, 30,2% minum-minuman

beralkohol, 2,8% pernah menggunakan obat-obatan dan 4,5% pernah melakukan
hubungan seksual. Data pada 6.018 orang wanita berusia 15-19 tahun
mengindikasikan 8,9% merokok aktif, 3,5% minum-minuman beralkohol, hanya
0,1% pernah menggunakan obat-obatan terlarang serta 0,7% yang pernah
melakukan hubungan seksual. Data tersebut menunjukkkan bahwa pria lebih
berisiko untuk terlibat dalam perilaku tersebut (BPS, 2013). Badan Narkotika
Nasional (BNN) juga mencatat jumlah kasus penyalahgunaan narkoba pada
kelompok umur 16-19 tahun terus saja meningkat dari 1.515 kasus pada tahun
2010, meningkat menjadi 1.774 pada tahun 2011 dan 2.106 kasus pada tahun
2012.
Dari data World Health Organization (WHO) tahun 2005 tercatat 50 ribu
penduduk Indonesia bunuh diri (suicide) setiap tahun. Dari kejadian kasus bunuh
diri tersebut, ternyata kasus yang paling tinggi terjadi pada usia remaja yakni 1524 tahun, fakta ini berhubungan dengan peningkatan tajam angka depresi pada

Universitas Sumatera Utara

4

remaja (Artha & Supriyadi, 2013). Disamping itu remaja juga sangat rentan
terhadap resiko Triad KKR (Seksualitas, NAPZA, HIV dan AIDS). Perilaku

seksual yang tidak sehat dikalangan remaja, khusunya remaja yang belum
menikah cenderung meningkat. Begitu juga dengan data dari Departemen
Kesehatan (2009) menunjukkan bahwa 35,9% remaja diempat kota besar (Medan,
Jakarta Pusat, Bandung, dan Surabaya) mempunyai teman yang sudah pernah
melakukan seks pranikah dan 6,9% responden telah melakukan hubungan seks
pranikah (BKKBN, 2013).
Dalam penelitian Wulansari (2014) juga menegaskan bahwa tingginya
perilaku kenakalan remaja yang telah dipaparkan mengindikasikan banyaknya
remaja yang belum optimal dalam mengembangkan kecerdasan emosional.
Kemampuan berpikir (kecerdasan kognitif) yang ada pada remaja merupakan
aspek penting dari sumber daya manusia karena mencerminkan kematangan
berpikir individu. Namun demikian, individu yang mempunyai kecerdasan
kognitif tinggi tidak menjamin kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan
sekitar jika tidak memiliki kecerdasan emosional. Dengan demikian, individu
dapat mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri dengan baik serta mampu
mengelola emosi dirinya dengan kegiatan-kegiatan yang positif.
Remaja dengan kecerdasan emosional yang tinggi tentu tidak akan mudah
terjebak dengan pergaulan yang salah.
Menurut Chotimah (2012) dalam penelitiannya tentang hubungan pola
asuh orangtua dengan kecerdasan emosi pada remaja menyatakan bahwa orang

yang mempunyai kecerdasan emosi rendah, yaitu bertindak mengikuti perasaan

Universitas Sumatera Utara

5

tanpa memikirkan akibat, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki
tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap
perasan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan perasan dan mood
yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan yang negatif, memiliki konsep
diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang
lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial
dengan kekerasan. Hal yang demikian disebut dengan kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam mengenali perasaan
diri, kemampuan memahami emosi orang lain, serta mampu menggunakan emosi
secara baik. Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik adalah mereka
yang mampu mengenali emosi dirinya sendiri, emosi orang lain, memahami
emosi. Kemudian memanfaatkan perubahan-perubahan emosi-emosi yang terjadi
dalam dirinya, kemudian bersama dengan fungsi kognitifnya mampu mengambil
keputusan dan juga berpikir jernih (Goleman, 2015).

Menurut Steiner (1997) dalam Aunillah (2015) kecerdasan emosional atau
emotional intelligence adalah suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi diri
sendiri dan orang lain, serta mengetahui cara emosi tersebut terekspresikan untuk
meningkatkan kekuatan pribadi. Kekuatan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang membuat anak remaja mampu mengambil keputusan, mengatasi konflik,
tekanan, bersikap empati, dapat berkomunikasi dengan baik, serta mampu
membuka diri atau bersikap terbuka. Sedangkan menurut Gunawan (2007) dalam
Yunus (2015) juga menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosi, yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.

Universitas Sumatera Utara

6

Lingkungan keluarga terdapat peran dan keterlibatan orang tua yang tercermin
didalam pelaksanaan pola asuh. Keluarga merupakan lingkungan yang paling
berpengaruh dalam mengembangkan kematangan emosi anak, khususnya remaja.
Departemen Kesehatan RI (2013), keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul
dan tinggal di suatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling

ketergantungan. Friedman (2010) menyatakan keluarga yang ideal adalah
keluarga yang dapat menjalankan peran dan fungsi dari keluarga tersebut dengan
baik sehingga akan terwujud hidup yang sejahtera. Keluarga juga dikatakan
sebagai lingkungan pertama anak dalam memulai, mempelajari dan memahami
emosi. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting adalah
pelaksanaan pengasuhan anak (pola asuh).
Pola asuh orang tua adalah segala interaksi antara orang tua dengan anak,
dimana orang tua bermaksud untuk mengajarkan anaknya berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai yang dianggap paling tepat, agar anak dapat mandiri, tumbuh
dan berkembang secara sehat dan optimal. Pola asuh orang tua memiliki peranan
yang sangat penting terhadap perkembangan kecerdasan emosional pada remaja
(Asyik, Ismanto, dan Babakal, 2015). Sementara menurut Sutriyani (2015) bahwa
pola asuh orangtua yang benar dan baik akan mempengaruhi kecerdasan emosi
anak, karena pola asuh merupakan kunci utama dalam perkembangan anak yang
semula terbentuk oleh lingkungan keluarga. Setelah orangtua menanamkan pola
asuh yang sesuai maka kecerdasan emosi dengan sendirinya akan terbentuk
melalui masa perkembangan yang dilalui oleh remaja.

Universitas Sumatera Utara


7

Pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anak menurut Baumrind
(1978) dalam Starr (2011) mengklasifikasikan gaya-gaya pola asuh ke dalam gaya
yang bersifat permisif (permissive), otoriter (authoritarian), dan demokratis
(authoritative). Gaya orang tua yang permisif dicirikan oleh sifat menerima dan
tidak menghukum dalam menghadapi perilaku anak-anak. Sebaliknya, gaya
otoriter menekankan kepatuhan terhadap aturan-aturan dan otoritas orang tua dan
gaya demokratis menekankan suatu cara yang rasional, berorientasi kepada
pemberian dan penerimaan. Dari ketiga gaya pengasuhan tersebut, bahwa gaya
demokratis yang dapat menghasilkan penyesuaian yang logis, berhasil secara
intelektual, emosional dan sosial, serta memiliki motivasi yang kuat untuk maju.
Orang tua memiliki peranan besar dalam menciptakan kecerdasan emosi
pada remaja, karena tindakan orangtua sekecil apapun akan berdampak pada
perkembangan remaja baik negatif maupun positif. Hal ini mencerminkan adanya
pola asuh yang tidak tepat yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya
dan kecerdasan emosi yang rendah dari remaja. Kecerdasan emosi dapat
dikembangkan selama masa tahap kehidupan individu. Perkembangan kecerdasan
emosi seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh
yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan emosi

menyangkut banyak aspek penting yang semakin sulit didapatkan pada manusia
modren sehingga perlu adanya dukunga dari orang tua untuk menciptakan
kecerdasan emosi pada remaja dengan pola asuh yang tepat dapat meningkatkan
kecerdasan emosi seseorang remaja (Chotimah, 2012).

Universitas Sumatera Utara

8

Berdasarkan hasil penelitian Respati, Arifin, dan Ernawati (2010)
menunjukkan bahwa kecerdasan emosional siswa akselerasi SMA di Jakarta
berada pada kategori rendah sebesar 16%, artinya mereka biasanya cenderung
kurang memiliki keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian
tentang emosi diri sendiri dan orang lain. Pada kategori sedang sebesar 72,9%
yang dapat diartikan bahwa siswa mampu dan memiliki keterampilan yang
berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang
lain. Sedangkan, pada kategori tinggi sebesar 11,1% yang artinya siswa lebih baik
memiliki keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilain emosi diri
sendiri dan orang lain, serta lebih baik dalam mengelola perasaan untuk
memotivasi, dan meraih tujuan kehidupan. Jadi, responden dalam penelitian ini

masih belum mampu mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, berempati,
dan membina hubungan dengan orang lain.
Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan Tafuli, Choiriyah, dan
Widodo (2012) menggambarkan bahwa kecerdasan spiritual yang rendah lebih
banyak pada peran orang tua yang cukup, yaitu 57,4% dan kecerdasan spiritual
yang tinggi lebih banyak pada peran orang tua yang baik yaitu 86,6%.
Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran orangtua terhadap
kecerdasan spiritual yang dianalisa dengan Pearson Chi Square dengan nilai pvalue 0,000.
Dalam penelitian Puspitasari (2015) mengenai hubungan antara persepsi
terhadap pola asuh orangtua otoritatif dengan kecerdasan emsional pada remaja
madya di SMA Negeri 2 Kudus Kelas X dan XI, juga menunjukkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

9

koefisien korelasi rxy = 0,506 dengan p- value = 0,000 (p < 0,05), yang berarti ada
hubungan positif antara persepsi terhadap pola asuh orangtua otoritatif dengan
kecerdasan emosional. Sedangkan hasil penelitian yang telah dilakukan Sodiyah
dan Sucahyono (2012) didapatkan pola pengasuhan permisif dan otoriter yang
paling dominan. Kedua pola pengasuhan tersebut berdampak pada perkembangan
bahasa dan sosial emosional anak. Anak dengan pola pengasuhan permisif dan
otoriter dapat mencapai perkembangan bahasa sesuai dengan tahap usianya.
Berbeda dengan hal itu, perkembangan sosial emosional anak tidak dapat dicapai
secara maksimal.
Berdasarkan hasil penelitian Chotimah (2012) menyatakan bahwa terdapat
hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh orang tua dengan
kecerdasan emosi yang berdasarkan perhitungan diperoleh nilai koefisien korelasi
R = 0,739; p = 0,000 (p < 0,01), artinya semakin positif pola asuh orang tua maka
semakin tinggi kecerdasan emosi remaja, dan sebaliknya semakin negatif pola
asuh orang tua maka semakin rendah kecerdasan emosi remaja.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka orang tua harus berupaya
membentuk kecerdasan emosional pada anak-anaknya. Untuk membentuk
kecerdasan emosional pada seorang anak bukanlah upaya yang mudah untuk
dilakukan, melainkan orang tua harus mempunyai upaya yang tepat dan konsisten
agar anak benar-benar memiliki kecerdasan emosional sebagaimana yang
diharapkan. Oleh karena itu, remaja merupakan sosok yang sangat membutuhkan
perhatian khusus bagi proses perkembangan kecerdasan emosionalnya, karena
pada remaja terjadi fluktuasi emosi (naik dan turun) yang berlangsung lebih sering
(Aunillah, 2015).

Universitas Sumatera Utara

10

Menurut Tandry (2015) dalam bukunya yang berjudul Happy Parenting
juga menegaskan bahwa orang tua sangat berperan penting dalam perkembangan
kecerdasan emosional anak untuk dapat membuat anak menjadi mampu dalam
mengendalikan diri, mempengaruhi orang lain, dan bersosialisasi. Orang tua juga
dapat menyampaikan penilaian moral atas situasi yang terjadi pada anaknya,
misalnya menghina adalah perbuatan buruk. Dengan demikian, anak mengetahui
nilai moral dari suatu perilaku. Begitu pula ketika orang tua merasa marah, sedih,
bingung, kesal, gembira, atau mengalami emosi lainnya, orang tua perlu
menyampaikan penyebabnya kepada anak-anaknya.
Kegagalan pola asuh orang tua sering kali menjadi faktor penyebab
terjadinya gangguan pada perkembangan kecerdasan emosional anak. Ketetapan
orang tua dalam menerapkan pola asuh memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap emosional anak. Kesalahan orang tua dalam menerapkan pola asuh dapat
mengakibatkan anak bertindak seenak hati, tidak mampu mengendalikan diri, pola
hidup bebas bahkan nyaris tanpa aturan dan akibat buruk lainnya (Asyik, Ismanto,
dan Babakal, 2015).
Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan peneliti di SMA Katolik
Trisakti Medan pada tanggal 5 November 2015 melalui wawancara dengan guru
Bimbingan Konseling (BK) bahwa penyimpangan yang terjadi di lingkungan
sekolah tersebut, yakni terlambat masuk sekolah, bolos sekolah, berkelahi, dan
tidak memakai atribut sekolah dengan lengkap. Walaupun jumlah penyimpangan
yang dilakukan remaja di lokasi tersebut masih sedikit, maka perlu diberikan
pembinaan dan bimbingan yang baik kepada remaja. Berdasarkan fenomena yang

Universitas Sumatera Utara

11

terjadi, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Pola
Asuh Orangtua Dengan Kecerdasan Emosional Remaja di SMA Katolik Trisakti
Medan.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan oleh peneliti, maka
pertanyaan penelitian ini adalah apakah ada hubungan pola asuh orang tua dengan
kecerdasan emosional remaja di SMA Katolik Trisakti Medan.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan pola asuh orangtua dengan kecerdasan
emosional remaja di SMA Katolik Trisakti Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1. Mengidentifikasi pola asuh orang tua yang diterapkan kepada
remaja di SMA Katolik Trisakti Medan.
1.3.2.2. Mengidentifikasi kecerdasan emosional remaja di SMA Katolik
Trisakti Medan
1.3.2.3. Mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan
kecerdasan emosional remaja di SMA Katolik Trisakti Medan.

Universitas Sumatera Utara

12

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang
terlibat langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan remaja, antara
lain:
1.4.1. Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk persiapan
materi penyuluhan yang berguna dalam meningkatkan kualitas pendidikan
keperawatan anak dan keluarga.
1.4.2. Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar
tentang perkembangan psikososial remaja khususnya kecerdasan emosional
sehingga dapat membantu didalam pemberian pelayanan yang tepat apabila
berhadapan dengan pengguna jasa pelayanan keperawatan khususnya remaja.
1.4.3. Remaja/ Orangtua/ Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk remaja sebagai cermin
diri dalam meningkatkan kecerdasan emosional dengan pengetahuan yang dasar
yang benar sehingga dapat diterima sesuai dengan norma dan kepada orangtua,
dapat mencegah sianak untuk dapat memahami emosinya secara efektif dengan
pembenahan dan fungsi keluarga yang baik.

Universitas Sumatera Utara

13

1.4.4. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian diharapkan mampu menambah ilmu keperawatan, serta
dapat digunakan sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya yang berfokus pada
pengaruh pola asuh orang tua terhadap kecerdasan emosional dalam mengatasi
perilaku menyimpang remaja.

Universitas Sumatera Utara