Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Modal Sosial Mahasiswa Asrama Mansinam Salatiga T2 752016002 BAB IV

BAB IV
KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI PEMBENTUK MODAL SOSIAL
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat
diidentifikasi bahwa karakter sosio-teologis mewarnai dasar dan proses Pembentukan
Modal Sosial Mahasiswa penghuni Asrama Mansinam. Karakter sosio-teologis ini tampak
dalam aktivitas harian mereka selama menjadi penghuni Asrama Mansinam.
Dengan ciri khas diatas, jika dikaitkan dengan motivasi mereka, baik itu
motivasi teologis yaitu kebutuhan akan pencapaian nilai-nilai ideal yang telah dirumuskan
oleh pihak Sinode GKI Papua selama mereka menjadi penghuni Asrama Mansinam,
maupun kebutuhan hubungan sosial, dapat dijelaskan bahwa motivasi tersebut keluar
sebagai persamaan tujuan yang hendak dicapai oleh sesama anggota, khususnya dalam
lingkup jaringan diantara sesama mereka sebagai penghuni Asrama Mansinam. Persamaan
tujuan seperti itu dapat dikategorikan sebagai persamaan kepentingan, yang kemudian tipe
mereka ini adalah community of interest.Mereka ini disebut sebagai community of interest
karena tidak datang dari tempat yang sama, namun hidup dalam tempat yang sama,
sekaligus memiliki kepentingan yang sama. Dengan dasar kepentingan yang sama inilah
yang mendasari seluruh aktivitas mereka sehari-hari.1
Dalam konteks kepentingan ini, Tonnies, mendefinisikan sebagaikemauan
rasional yang bermuara pada pilihan rasional. Motivasi para penghuni Asrama Mansinam
dalam komunitas ini, yang digerakkan oleh persamaan tujuan semua anggota, akan
menggiring setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang rasional untuk mencapai

1

Ngarbingan, A. A, Komunitas Dibo-Dibo di Sahu Halmahera Barat, Tesis. (Program Pasca Sarjana
Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2010), 85.

58

tujuan bersama itu. Kemauan yang melandasi tindakan individu adalah dasar utama dalam
konteks kehidupan berasrama. Demikian juga dengan komunitas penghuni Asrama
Mansinam, persamaan tujuan merupakan kemauan bersama yang melandasi keberadaan
komunitas penghuni Asrama Mansinam.2
Dengan ciri khas yang berlandaskan kepentingan, telah membuat mereka
sebagai penghuni Asrama Mansinam, mampu keluar dan melampaui identitas primordial
kultural maupun etnik mereka walaupun mereka semua semua berasal dari Papua, namun
mereka datang dari suku dan juga kota asal yang berbeda-beda. Akibatnya mereka mampu
membangun hubungan interpersonal yang sangat kuat diantara mereka, dimana dalam
aktivitas harian mereka, mereka dapat menjalankan peran mereka sesuai dengan tuntutan
kehidupan berasrama yang telah mereka rumuskan.3
Persamaan kepentingan ini, juga mengkondisikan solidaritas yang kuat di
antara sesama jaringan. Sebagaimana dalam bahasa Emile Durkheim bahwa solidaritas,

khususnya solidaritas sosial yang dimaknai sebagai kesetiakawanan yang menunjuk pada
satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama. Yang mana kesetiakawanan tersebut muncul sebagai bagian dari kesadaran
kolektif. Bentuk dari kesetiakawanan tersebut merupakan kesetiakawanan yang didasarkan
pada pembagian porsi peran dalam menopang sebuah sistem.4

2

Ngarbingan, A. A, Komunitas Dibo-Dibo di Sahu Halmahera Barat, Tesis. (Program Pasca Sarjana
Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2010), 87
3
Suranto, Aw, Komunikasi Interpersonal, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2011), 38.
4
Ngarbingan, Komunitas, 86

59

Dalam perspektif sebagai sebuah komunitas yang utuh, kesetiakawanan ini
ditampakkan oleh penghuni Asrama Mansinam dalam bentuk kerelaan tiap-tiap mahasiswa

penghuni Asrama Mansinam untuk mengutamakan keputusan komunitas, oleh Fukuyama,
hal ini disebutkan sebagai penerimaan sekumpulan nilai-nilai moral, demi menciptakan
pengharapan umum. Lebih lanjut bagi Fukuyama , inilah disebut sebagai kepercayaan.5
meskipun trust yang digambarkan Fukuyama memiliki konteks yang berbeda dengan
penelitian ini, namun begitu, penggambaran trust yang dilakukan olehnya, pada konteks
penelitiannya, juga tampak dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam ini.
Dari titik ini, kesetiakawanan yang melandasi aktivitas Mahasiswa penghuni
Asrama Mansinam dalam jaringan mereka merupakan bentuk ideal, dalam pandangan
Durkheim6sebagai solidaritas organik. Fungsi masing-masing penghuni Asrama Mansinam

dalam jaringan mereka menggambarkan fungsi masing-masing unsur dalam menopang
sebuah sistem, yakni alur tata kelola kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas.
Keberadaan seseorang dengan peran dan fungsinya tidak

akan bermakna jika fungsi

tersebut tidak didukung oleh peran dan fungsi penghuni lain. kesatuan dari fungsi tersebut
berdasarkan kedudukan, merupakan kesatuan fungsi dalam sistem yang utuh. Dalam
konteks semacam ini, dapat diasumsikan bahwa yang utuh berarti harus fungsional.
Parsons, sebagai pencetus pemikiran struktural-fungsional, menggambarkan


kondisi ini sebagai sebuah kondisi ideal dari struktural-fungsional dimana komunitas
terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai tertentu, dimana

5

Fukuyama, Francis, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, (New York: Free
Press, 1995), 122

60

nilai-nilai ini mampu meleburkan dan mengatasi perbedaan-perbedaan7. Kondisi ini disebut
ideal karena dalam gambaran Parsons, inilah kondisi suatu keseimbangan yang diharapkan
ada dalam komunitas. Pada komunitas penghuni Asrama Mansinam, struktur itu tampak
dari pembentukan Badan Formatur Pelaksana Harian oleh mereka sendiri, dimana struktur
itu sekaligus mengekspresikan peran yang harus dilakukan oleh setiap penghuni Asrama
Mansinam, tanpa terkecuali.
Dalam logika hubungan interpersonal, tuntutan peranan adalah desakan sosial
yang memposisikan individu untuk memenuhi peranan yang telah dibebankan
kepadanya.Desakan sosial dapat berwujud sebagai sanksi sosial dan dikenakan bila

individu menyimpang dari peranannnya. Dalam hubungan interpersonal, desakan halus
atau kasar dikenakan pada orang lain agar ia melaksanakan peranannya 8. Desakan-desakan
ini lebih banyak berbentuk pada sanksi-sanksi yang telah mereka sepakati bersama pada
awal mereka menjadi penghuni Asrama Mansinam, misalnya, teguran lisan maupun tertulis
oleh pihak pengurus, dan yang paling terakhir adalah dicabut haknya dan dikeluarkan dari
Asrama Mansinam, maupun dalam aturan-aturan lain yang dibuat oleh mereka sendiri, saat
telah menjadi penghuni Asrama Mansinam dalam rangka tujuan bersama, yaitu
kepentingan untuk keberlangsungan memiliki tempat untuk mondok sekaligus kepentingan
keberlangsungan keberadaan Asrama Mansinam itu.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa Modal Sosial akan berkaitan
dengan aliran norma timbal balik. Keberadaan norma timbal balik tersebut kemudian
dikonstruksikan menjadi sanksi-sanksi sosial yang berlaku antar setiap pribadi dalam
7

Richard, Grathoff, 2000. Kesesuaian antara Alfred Schutz dan Talcot Parsons: Teori Aksi Sosial,
(Jakarta, Kencana, 2000), 67-87.
8
Jalaludin Rakhmat, Psikologi, 122

61


sebuah komunitas. Dalam kaitannya dengan sanksi-sanksi yang berada dalam komunitas
penghuni Asrama Mansinam, diketahui bahwa bentuk sanksi yang berlaku di antara sesama
anggota jaringan dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam merupakan abstraksi dari
norma timbal balik antar sesama anggota jaringan dalam komunitas. Ekspresinya, akan
sangat nampak dalam apa yang akan terima anggota penghuni Asrama Mansinam apabila
tidak menjalankan norma-norma kesepakatan itu, dimulai dari teguran lisan, tertulis, hingga
dikeluarkan untuk tidak lagi menjadi penghuni Asrama Mansinam.
Dalam kaitan dengan itu, Ngarbingan dalam temuan penelitiannya pada
komunitas Dibo-dibo di Sahu,9menjelaskan bahwa dalam arus fungsional seperti yang
terpapar di atas, terlihat bahwa ada hubungandi antara sesama anggota. Dalam
hubungantersebut ada norma timbal balik dalam setiap anggota. Norma timbal balik ini
kemudian menjadi dasar dalam konstruksi pola jaringan yang tercipta pada komunitas
penghuni Asrama Mansinam yang bisa dilihat sebagai trust dalam komunitas penghuni
Asrama Mansinam.
Trust sebagai penyokong Modal Sosial, menjadi signifikan dalam kaitannya

dengan negosiasi harapan dengan tindakan setiap individu.10Kata „negosiasi‟ yang dipakai
pada pengertian di atas memberikan penekanan bahwa ada posis tawar-menawar pada
setiap individu antara tindakan dengan harapan diri sendiri maupun harapan pada orang lain

terhadap hasil dari tindakan tersebut. Terjadi tawar-menawar tersebut sebagai akibat dari
pengaruh variabel-variabel lain yang bisa saja mengganggu tindakan seseorang.

9

Ngarbingan, Komunitas, 88
Möllering, “The Nature of Trust” 403-420

10

62

Negosiasi tindakan atau re-aktualisasi dan re-organisasi tindakan akan muncul
dengan sendirinya ketika seorang anggota tidak bisa memenuhi perannya dengan maksimal,
yang biasanya dilakukan melalui rapat rutin untuk melakukan evaluasi. Pada setiap rapat
rutin bulanan, setiap penghuni dalam fungsi dan perannya masing-masing, secara terbuka
memberikan laporan-laporan kegiatan terkait dengan fungsi dan perannya, dimana setiap
anggota yang lain, secara terbuka untuk memberikan evaluasi berdasarkan pada rujukan
gambaran kerja yang telah disepakati sebelumnya.
Negosiasi dilakukan dalam upaya untuk menjaga keutuhan keberadaan mereka

dalam sebuah sistim yang disebut Asrama Mansinam. Negosiasi juga terjadi sebagai upaya
untuk menjaga keberlangsungan keberadaan mereka, dan keberlangsungan sistim yang
menaungi keberlangsungan keberadaan mereka. Di samping itu juga, hal ini dilakukan
dalam kerangka menjaga keharmonisan dan kestabilan hubungan sosial yang terjalin
selama ini. Atau dengan kata lain, keharmonisan tersebut diupayakan dalam menjaga
keutuhan sistim.
Pola trust semacam di atas dijalin dalam komunikasi tatap muka yang sering
dilakukan oleh komunitas penghuni Asrama Mansinam merupakan salah satu kondisi yang
sering dilakukan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Dewey, bahwa peran interaksi tatap
muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa digantikan.Terlihat bahwa Dewey
menganggap bahwa kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada
hubungan interpersonal.11Dari titik berangkat komunikasi antar pribadi yang intens, yang
sering dilakukan dalam bentuk tatap muka merupakan jaminan atas terjadinya trust pada
sesama penghuni Asrama Mansinam.
11

Jalaludin Rakhmat, Psikologi, 122

63


Telah disebutkan terdahulu bahwa kebutuhan pencapaian nilai-nilai, kebutuhan
survive, dan kebutuhan keberadaan yang lain merupakan kebutuhan utama penyokong

keberadaan mereka di Asrama Mansinam. Thibault dan Kelley, terkait dengan kebutuhan
sosial ini, maka untuk memenuhi kebutuhan ini setiap individu akan secara sukarela
memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial, selama hubungan tersebut cukup
memuaskan dari segi timbal-balik pada apa yang diperolehnya.12 Mereka yang menjadi
penghuni Asrama Mansinam, rupanya menjadi sangat betah menjadi penghuni, dan
biasanya mereka baru benar-benar keluar dari Asrama Mansinam, setelah menyelesaikan
studinya, karena mereka mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Berulang-ulang,
kata nyaman tinggal dan juga nyaman dengan penghuni yang lain, digunakan untuk
menjelaskan bagaimana kebutuhan mereka terpenuhi saat mondok di Asrama Mansinam.
Kenyamanan diantara mereka, juga menghasilkan distrust pada hubungannya
dengan jejaring yang lain, di luar sesama penghuni Asrama Mansinam. Kelemahankelemahan dalam keteraturan yang mereka buat, adalah komunitas penghuni Asrama
Mansinam kemudian terkesan menjadi eksklusif dan tertutup. Seiring dengan pemikiran
Luhman dalam upaya untuk memperbaiki pemikiran Parsons tentang struktural fungsional,
bagi Luhman, Parsons dengan teorinya tidak dapat menjawab persoalan kemampuan sistem
untuk merujuk pada dirinya sendiri. Pada titik berangkat ini, Luhman walaupun
menggunakan autopoetic, tetapi kemampuan merujuk pada dirinya sendiri telah
mengkondisikan sistem atau jaringan tersebut akan tertutup.13 Dalam arti bahwa sistem


12

Thibault, J & Kelley. H. 1959. The Social Psychology of Group, (Newyork, Wiley, 1959), 232
Ritzer, G dan Goodman, D. Teori Sosiologi Modern, 88

13

64

tersebut tidak bersangkut paut dengan lingkungan. Keterhubungan antara lingkungan
dengan sistem hanyalah relasi pengganggu untuk membentuk sistem yang lebih mapan.
Hal ini sangat nampak dalam situasi yang diperlihatkan di Asrama
Mansinam.Lingkungan sekitar tampak dianggap sebagai ancaman dalam keteraturan yang
telah dibuat secara interal oleh mereka sendiri.Tembok yang tinggi dan juga pagar yang
tinggi dan selalu tertutup baik siang maupun malam, dan lebih lagi setelah malam, adalah
jejak fisik yang tidak bisa dinafikan sikap ketertutupan mereka terhadap lingkungan di
luarnya. Meskipun begitu, kekuatan penghuni Asrama Mansinam terletak pada pola dalam
jaringan mereka sendiri sebagai komunitas. Menariknya, meskipun mereka terkesan
tertutup terhadap lingkungan di luar dirinya, tetapi kesadaran tiap individu tentang

tanggungjawab terhadap komunitas sangat tinggi.
Berangkat dari pola tanggung jawab dalam jaringan tersebut di atas, menurut
Maturana dan Varella, bahwa dalam komunitas, selalu ada dimensi kesadaran dalam diri
setiap anggotanya14. Kesadaran individu ini akan terus memberikan jaminan alur tanggung
jawab berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh sesama anggota komunitas. Kesadaran
tersebut menurut Maturana dan Varella muncul karena setiap individu terlibat dalam
jaringan makna (mereka meminjam istilah Geertz), yang mana masing-masing merasa
bermakna ketika dirinya ditemukan berelasi dengan orang lain. Dan relasi tersebut juga
dibangun sebagai bagian dari tanggung jawab individu dalam jaringan sosial.
Pada titik ini, penulis menemukan titik yang sama dengan kedua peneliti
(Maturana dan Varella) tersebut. Kesadaran akan kebermakaan dirinya benar-benar sebuah

14

Ngarbingan, Komunitas, 2010.

65

kesadaran intensionalitas menggunakan istilah Husserl,15 sebuah kesadaran akan makna
kehadiran dirinya, sebagai bermakna, ketika kehadiran dirinya benar-benar memiliki
manfaat bagi orang lain. Pada mahasisa penghuni Asrama Mansinam, kesadaran
intensionalitas ini benar-benar terwujudkan, diantara mereka sebagai sesama penghuni.
Hal ini menarik terutama dalam konteks kebebasan, dimana mereka bisa saja
memilih indekos untuk menemukan kebebasan dari segala aturan yang mengikatnya. Hal
ini tentu sangat menantang apa yang paling hakiki dalam kemanusiaan manusia yaitu soal
eksistensinya. Pemikir eksistensialisme semisal Sartre mengungkapkan “aku dikutuk
bebas, ini berarti bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri,
atau jika mau kita tidak bebas untuk berhenti bebas”16Kebebasan yang dimiliki oleh para
penghuni Asrama Mansinam untuk boleh saja dapat indekos dan tidak mondok di Asrama
Mansinam, namun dalam kebebasan yang sama mereka tetap memilih untuk menjadi
penghuni Asrama Mansinam. Kebebasan juga menjadi dasar bagi keteraturan yang mereka
sepakati bersama, ketika menjadi penghuni Asrama Mansinam. Kebebasan ini juga menjadi
modal bagi trust yang mereka bangun diantara mereka sendiri sebagai sesama penghuni
Asrama Mansinam.
Modal Sosial sering dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi. Pada pembahasan
teoritik sebelumnya, baik Coleman, Putnam, Bourdieu, dan Fukuyama, sama-sama melihat
bahwa hasil akhir dari bentukan Modal Sosial adalah akumulasi ekonomi. Pada skala
komunitas penghuni Asrama Mansinam, tesis ini terpatahkan. Modal Sosial yang dibentuk
oleh tiap individu, tidak selalu memiliki kaitan dengan aspek ekonomi. Ada kebutuhan lain,
Firdaus, M. Yunus “Kebebasan dan Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre” 267-282.
T.Z Lavine 2002. Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre.Alih Bahasa Andi Iswanto dan
Deddy Andrian Utama, (Yogyakarta, Jendela, 2002), 350.
15

16

66

yaitu kebutuhan kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial tersebut berbentuk dalam wujud
kebutuhan untuk memenuhi harapan orang tua agar dapat menyelesaikan studi, kebutuhan
akan kenyamanan dalam berelasi dan keteraturan, juga kebutuhan akan keberlangsungan
keberadaan demi memenui harapan orangtua tentang keberhasilan dalam studi menjadi
dasar bagi pembentukan Modal Sosial. Karena itu, dalam kebebasan mereka, mereka
memilih menggunakan kebebasan tersebut untuk memilih menjadi penghuni Asrama
Mansinam daripada indekos. Kenyamanan, keteraturan dan perasaan diterima sebagai
bagian dari yang lain, membuat mereka terus memilih untuk tinggal dan mondok hingga
mereka menyelesaikan perkuliahannya di UKSW.
Dengan begitu, maka dapat dikatakan bahwa pada level komunitas,
pembentukan Modal Sosial diantara para anggota komunitas, tidak serta-merta didorong
oleh faktor akumulasi ekonomi, tetapi lebih kepada faktor-faktor sosiologis. Hal ini juga
dapat dimengerti, karena konteks penelitian ini adalah mahasiswa dalam sebuah komunitas,
dimana mereka ditempatkan untuk tinggal pada satu tempat yang telah merumuskan
berbagai nilai-nilai yang harus diwujudkan, dengan harapan-harapan yang diberikan
orangtua kepada mereka, tetapi dalam kondisi tekanan perkuliahan yang tinggi, membuat
kebutuhan-kebutuhan menjadi sangat tinggi ada pada mereka untuk dipenuhi.
Menengok catatan-catatan teoritik yang sudah terpaparkan pada bab
sebelumnya, modal sosial dalam hasil penelitian ini lebih mengarah pada apa yang
disampaikan oleh Fukuyama. Fukuyama melihat modal sosial sebagai kekuatan-kekuatan
yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam komunitas, dimana unsur trust (rasa
percaya) yang diberikan terhadap masing-masing individu, lebih diutamakan dalam rangka
pencapaian tujuan yang lebih besar. Meskipun, dalam bahasannya, Fukuyama lebih banyak
67

bicara pada aspek pengembangan bisnis, namun begitu, catatan Fukuyama memberikan
pandangan bahwa dengan demikian, rasa percaya (trust) merupakan unsur yang universal
pada dasar dan proses pembentukan modal sosial.
Meskipun Putnam juga berbicara tentang tiga unsur modal sosial, dan terutama
trust, sebagai jembatan, pengikat sekaligus penghubung antar jaringan, namun begitu,
Putnam bicara dalam konteks asosiasi politik. Karenanya, rasa percaya itu sendiri di antara
jejaring, sangat bergantung pada kepentingan yang sama dalam asosiasi politik ini. Artinya,
para individu sebagai jejaring membangun rasa percaya mereka apabila ada kepentingan
yang sama. Disini, terdapat titik temu antara yang disampaikan Putnam dengan hasil
penelitian ini. Tampak bahwa kepentingan bersama untuk bisa tinggal dan mondok di
Asrama Mansinam dalam rangka menyelesaikan studi, juga kepentingan untuk
menyelamatkan Asrama Mansinam, menjadi dasar pengikat bersama untuk membangun
trust, juga jejaring di antara mereka. Namun begitu, terdapat perbedaan signifikan antara
hasil kajian ini dengan yang disampaikan Putnam. Putnam membahas asosiasi kepentingan.
Karena itu, rasa percaya itu bersifat longgar. Sementara komunitas ini berbicara tentang
keberlangsungan studi mereka. Asosiasi dapat saja berganti jejaring, apabila sudah tidak
ada titik temu atau kompromi politik terkait kepentingan. Namun tidak dengan komunitas
yang bertahan untuk survive. Ada sebuah desakan untuk saling membutuhkan. Situasinya
adalah mereka dikondisikan untuk harus saling percaya. Tidak ada pilihan asosiasi lain.
Meskipun mereka sendiri memiliki pilihan untuk bergabung dengan asosiasi lain yang lebih
longgar juga, misalnya keluar dari Asrama Mansinam dan menjadi penghuni kos-kosan.
Di sini, juga letak perbedaan signifikan hasil temuan ini dengan kajian Putnam.
Kebebasan dan kesetaraan untuk boleh memilih asosiasi yang lain saat kepentingan atau
68

tujuan yang dicapai jejaring sudah berbeda, namun tidak dengan komunitas penghuni
Asrama Mansinam ini. Kebebasan mereka tidak digunakan untuk membentuk atau
bergabung dengan asosiasi yang lain, tetapi kebebasan itu di arahkan untuk menjadi
bermakna bagi yang lain. Di sini, para penghuni menyadari apa yang dikatakan Husserl,
tentang kesadaran intensionalitas. Kesadaran bukan saja terkait dengan kepentingan diri,
tetapi kesadaran akan kepentingan yang lebih besar; dan terutama menyadari kebermaknaan
kehadirannya bagi sesama.
Coleman membicarakan Modal Sosial sebagai jembatan penolong bagi mereka
yang lemah secara ekonomi. Coleman adalah salah satu tokoh yang optimis dalam
memandang kekuatan modal sosial. Coleman melihat modal sosial sebagai akses yang
dimiliki individu untuk memperoleh akses dan jejaring dalam pencapaian tujuan-tujuan
pribadi. Terinspirasi dari ide sosiologi pilihan rasional, Coleman berpendapat bahwa modal
sosial tidak lain daripada kalkulasi rasional individu dalam rangka pencapaian tujuan
pribadi. Jika menengok pada motivasi yang menggerakan para individu penghuni Asrama
Mansinam ini, Coleman ada benarnya. Ada tujuan-tujuan pribadi menjadi dasar dalam
membentuk modal sosial di antara mereka sebagai sesama penghuni. Namun begitu, tujuan
pribadi ini tidak terkait dengan akses modal ekonomi dan jejaring yang lebih berpengaruh
seperti demi pencapaian tujuan individu seperti yang diceritakan Coleman. Setelah diteliti,
para individu yang membentuk komunitas penghuni Asrama Mansinam ini, tidak didorong
oleh sebuah kalkulasi rasional tentang kemudahan memperoleh modal ekonomi serta
jejaring yang lebih berpengaruh terkait pencapaian tujuan pribadi mereka masing-masing.
Motif awalnya murni karena kepentingan untuk memperoleh pemondokan. Tidak ada

69

jejaring di antara mereka yang memiliki pengaruh atau akses yang lebih luas kepada
kekuasaan dalam rangka memuluskan kepentingan pribadi yang lain.
Di sini, maka modal sosial yang dibentuk oleh komunitas penghuni Asrama
Mansinam, lebih dekat dengan apa yang digagas oleh penggagas modal sosial pertama kali
yaitu Hanifan. Hanifan memberikan catatan penting tentang dasar modal sosial yaitu
perasaan saling empati, kemauan untuk saling menolong, dan kesadaran intensionalitas atau
kesadaran sebagai individu yang bermakna saat menjadi bermakna bagi orang lain. Pada
titik ini, trust yang terbentuk di antara mereka, lebih dekat pada apa yang digagas oleh
Rousseau bahwa rasa percaya terjadi karena kesediaan seseorang untuk bertumpu dan
memiliki perasaan yakin yang kemudian diberikan kepada orang lain dan dasarnya adalah
ketidakpaksaan dan perasaan menerima apa adanya. Rasa percaya ini lebih didorong oleh
semangat persaudaraan, oleh kehendak untuk dapat maju bersama, oleh hasrat individuindividu yang sama, yaitu sama-sama berhasil dalam mencapai harapan orangtua yaitu
menyelesaikan studi mereka di UKSW.
Agar semangat persaudaraan dan perasaan menjadi bagian yang utuh dari
komunitas ini boleh terjadi, maka rasa percaya itu diekspresikan dengan memberikan fungsi
dan peran kepada setiap penghuni, sehingga semua merasa menjadi bagian dari satu
komunitas. Pada titik ini, Bourdieu boleh menjadi benar, bahwa modal sosial diproduksi
melalui sebuah kultur tertentu. Meskipun, Bourdieu berbicara dalam rangka kepentingan
kelas. Artinya, produksi kultural itu dimaksudkan untuk melanggengkan kelas tertentu. Di
sini, produksi kultur tertentu lewat aktivitas-aktivitas yang menjadi rutinitas harian
komunitas penghuni tampak lebih dekat dengan pemahaman struktural fungsional yang
dimaksdukan Parsons. Artinya bahwa, produksi kultur tertentu, tidak saja selalu bermakna
70

untuk melangggengkan struktur kekuasaan dalam kelas, tetapi produksi kultural bisa juga
terjadi karena ada kepentingan demi berlangsungnya sebuah sistim sosial. Disebut lebih
dekat dengan skema teoritik Parsons dibandingkan dengan skema produksi kultural
Bourdieu demi menguatkan Modal Sosial kelas tertentu karena produksi kultur melalui

pembiasaan mirip dengan skema AGIL ala Parsons.
Ada kesadaran untuk mengadaptasikan sebuah model ideal yaitu model
pembinaan yang diinginkan oleh Sinode GKI Papua melalui aktivitas harian, dimana
adaptasi itu dilakukan dengan memberikan fungsi dan peran terkait dengan rutinitas harian
yang dilakukan oleh komunitas penghuni Asrama Mansinam. Proses saling dan
memberikan rasa percaya (trust) terjadi pada tahapan ini. Dikatakan demikian karena dua
hal: pertama bahwa fungsi dan peran dari masing-masing individu penghuni komunitas
Asrama Mansinam berbeda-beda. Dibutuhkan rasa saling dan memberikan kepercayaan
kepada tiap individu untuk menjalankan peran dan fungsi yang berbeda itu, mengingat
masing-masing memiliki kapasitas dan kapabilitas yang juga berbeda. Kedua, meskipun
masing-masing individu memiliki kapasitas dan kapabilitas yang berbeda-beda,
mempercayakan peran dan fungsi kepada tiap-tiap individu dilakukan karena terkait dengan
pencapaian tujuan yang lebih besar.
Adaptasi ini terkait dengan goal achievement (pencapaian tujuan) yang
terumuskan secara mendetail dalam job description terkait fungsi dan peran setiap individu
penghuni Asrama Mansinam. Lewat pembiasaan fungsi dan peran itu, diharapkan dapat
mengintergrasikan setiap komponen dalam hal ini para penghuni Asrama Mansinam terkait
dengan Asrama Mansinam sebagai sebuah sistim pembinaan. Pada akhirnya, fungsi dan

71

peran ini menjadi latensi (pemeliharan pola), yang terwariskan secara turun temurun pada
saat ada penghuni baru masuk menjadi bagian dari komunitas ini.
Bourdieu mungkin saja sehati dengan Parsons saat membahas tentang proses
produksi model kultur terkait dengan membentuk modal sosial dalam komunitas maupun
masyarakat. Skema AGIL tentu saja dapat menjelaskan proses produksi kultur yang
dimaksudkan Bourdieu ini. Namun begitu, muara terakhir yang diharapkan Bourdie dengan
produksi kultur ini adalah menjaga posisi kelas tertentu. Sementara, hasil penelitian ini
dikatakan lebih dekat dengan pemahaman struktural fungsional ala Parsons karena produksi
kultur dalam arena Asrama Mansinam lebih tertuju pada kepentingan sistim yaitu Asrama
sebagai arena pembinaan karakter mahasiswa asal Papua.

72