BAGIAN SATU KONSEP DASAR PENDIDIKAN ANAK

BAGIAN SATU
KONSEP DASAR PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Pendidikan Anak Usia Dini

sangat penting untuk membangun

karakter anak sejak dini. Untuk mengetahui lebih jauh tentang Pendidikan
Anak Usia Dini kita perlu mengetahui konep dasar Pendidikan Anak Usia
Dini . Berikut ini adalah konsep-konsep dasar Pendidikan Anak Usia Dini.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab 1, pasal 1, butir 14 dinyatakan bahwa “Pendidikan Anak Usia Dini
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan ruhani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut”.
Sedangkan pada pasal 28 tentang

pendidikan anak usia dini

dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum

jenjang pendidikan dasar, dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan atau informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan
pendidikan

yang

menitikberatkan

pada

peletakan

dasar

ke

arah

pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan

kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan
spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan
komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang
dilalui oleh anak usia dini. (Adalilla, S, 2010)
Pendidikan

Anak

Usia

Dini

merupakan

salah

satu

bentuk


penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar
kearah pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kecerdasan, daya pikir,

daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi, dan social (Hasan,
2009).
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan pendidikan melibatkan seluruh
anak mencakup kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, dan social
anak. Pembelajaran diorganisasikan sesuai dengan minat-minat dan gaya
belajar anak (Santrock, 2007)
Secara

umum,

tujuan

pendidikan

anak

usia


dini

adalah

mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan
untuk

hidup

dan

dapat

menyesuaikan

diri

dengan


lingkungannya.

Pendidikan anak pun bisa dimaknai sebagai usaha mengoptimalkan
potensi-potensi luar biasa anak yang bisa dibingkai dalam pendidikan,
pembinaan terpadu, maupun pendampingan.
Fungsi pendidikan anak usia dini secara umum adalah :
a. Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak
b. Mengenalkan anak pada dunia sekitar
c. Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik
d. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi
e. Mengembangkan keterampilan, kreativitas, dan kemampuan yang
dimiliki anak
f. Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan selanjutnya.
Dibanding dengang perkembangan model dan jenis PAUD di berbagai
negara maju dan berkembang lainnya, PAUD di Indonesia memiliki
keunikan khusus yang agak berbeda dengan di luar negeri. Karena di luar
negeri PAUD pada umumnya hanya dibedakan menjadi 2 (dua) macam
yaitu Kindergarden atau Play Group dan Day Care, sedang di Indonesia
menjadi 4 (empat) macam yaitu :
a. Taman Kanak-Kanak (Kindergarten)

b. Kelompok Bermain (Play Group)

c. Taman Penitipan Anak (Day Care)
d. PAUD sejenis (Similar with Play Group)
Penyelenggaraan

PAUD

di

negara

lain

semata-mata

hanya

menstimulasi kecerdasan anak secara komprehensif dan pengasuhan
terhadap anak, karena aspek kecerdasan yang dikembangkan hanya

meliputi kecerdasan intelektual, emosional, estetika, dan social serta
pengasuhan. Sedang di Indonesia potensi kecerdasan tersebut diberikan
juga pendidikan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual yang
dilaksanakan melalui pendekatan olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Di
samping itu, juga diberikan pengetahuan dan pembinaan terhadap kondisi
kesehatan dan gizi peserta didik. Oleh karena itu, penyelenggaraan PAUD
di Indonesia disebut penyelenggaran PAUD secara “Holistik dan Integratif”.

1. PERANAN PAUD SEBAGAI SATUAN PENDIDIKAN NON-FORMAL
DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK
Pendidikan Anak Usia Dini yang merupakan salah satu bentuk
penyelenggaraan pendidikan non formal dengan menitikberatkan pada
peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi
motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan
emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta
agama), bahasa, dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap
perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Oleh karena itu, Pendidikan Anak Usia Dini memegang peranan
penting dalam pendidikan anak. Melalui Pendidikan Anak Usia Dini, anak
dapat dididik oleh gurunya dengan metode dan kurikulum yang jelas.

Mereka dapat bermain dan menyalurkan energinya melalui berbagai
kegiatan fisik, musik, atau keterampilan tangan. Dapat belajar berinteraksi
secara interpersonal dan intrapersonal. Kepada mereka secara bertahap
dapat dikenalkan huruf atau membaca, lingkungan hidup, pertanian, dan
bahkan industri. Pengenalan itu tidaklah berlebihan, karena dalam
penyampaiannya disesuaikan dengan dunia anak, yakni dunia bermain
sehingga proses belajarnya menyenangkan. Anak memang seringkali
mengeskpresikan ide dan perasaannya melalui permainan, sehingga ketika
mereka merasa menikmati dan senang dengan apa yang diajarkan itu,
maka dengan sendirinya akan bermanfaat bagi perkembangannya.
Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguhnya merupakan
sebuah realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan
yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara
signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi
pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai. Ironisnya, disaat
beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan

kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru
menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual
yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar

pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam
konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.
Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak
lulusan

pendidikan

formal

tidak

memiliki

spesifikasi

keahlian

yang

dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus

Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa
banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan
keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi,
sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal
lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan
perguruan tinggi.
Indonesia

mengalami

krisis

SDM

sebenarnya

berpangkal

pada


buruknya kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Untuk menghadapi krisis,
sistem pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor kehidupan
domestik dan pada beberapa kasus, juga memerlukan sumber-sumber di
luar batas nasional. Pendidikan memerlukan dana, namun anggaran
pendidikan

sulit

bertambah.

Pendidikan

memerlukan

sumber

daya,

khususnya sumber daya insani nasional yang terbaik untuk meningkatkan
kualitas, efisiensi, dan produktivitas. Pendidikan memerlukan prasarana
dan sarana, materi pengajaran yang baik dan lebih baik.
Di pelbagai tempat, pendidikan memerlukan pula makanan bagi murid
yang lapar agar mereka dalam kondisi siap belajar. Di atas semua itu
pendidikan memerlukan hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang, yakni
gagasan dan keberanian, keputusan, keinginan baru untuk mengetahui
kemampuan diri yang diperkuat oleh suatu keinginan untuk berubah dan
bereksperimen (Coombs,1968:15).

Berkaitan dengan frasa “sistem pendidikan”, lebih lanjut diungkapkan
bahwa sistem pendidikan tidak hanya mengacu pada tingkat dan tipe
pendidikan formal seperti sekolah kejuruan, umum dan spesialisasi, tetapi
juga seluruh program dan proses sistematik pendidikan di luar pendidikan
formal

yaitu

yang

dikenal

dengan

pendidikan

non

formal.

Sistem

pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan pendidikan formal maupun
non formal memiliki sejumlah input, yang diproses untuk memperoleh
output untuk memenuhi tujuan tertentu. Mengacu pada sistem pendidikan
selanjutnya diungkapkan bahwa pendidikan dengan demikian merupakan
suatu proses yang berinteraksi dengan lingkungannya. Output yang ingin
dihasilkan dari suatu sistem pendidikan ditentukan oleh tujuan yang
dikehendaki oleh lingkungan atau masyarakat. Manusia yang terdidik
hendaknya diperlengkapi untuk melayani masyarakat dan mengurus
dirinya sendiri sebagai individu dan anggota masyarakat, pekerja ekonomi,
pemimpin dan inovator, warga negara dan warga dunia dan penyumbang
kebudayaan. Untuk itu, pendidikan harus mampu meningkatkan basic
knowledge

(pengetahuan

dasar)

intellectual

and

manual

skills

(keterampilan manual dan intelektual); power of reason critism (daya
nalar/kritik); values, attitudes and motivation (nilai-nilai, sikap dan
motivasi); power of creativity and innovation (daya kreatif dan inovsi);
cultural appreciation (apresiasi kebudayaan); sense of social responsibillity
(tanggung jawab sosial); dan understanding of the modern world
(memahami dunia modern).
Peran Pendidikan Non Formal
Lingkungan yang berfungsi melahirkan individu-individu terdidik
(educational individuals) bukan hanya lingkungan keluarga yang disebut
juga lingkungan pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga lingkungan
kedua, tetapi juga lingkungan masyarakat yang disebut juga lingkungan

ketiga. (Purwanto, 1986 : 148). Peranan penting pendididkan pada
lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau
pendidikan non formal dikarenakan manusia adalah makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial manusia menjadi bagian dari pelbagai golongan
dalam masyarakat, baik dengan sendirinya maupun dengan sengaja.
Manusia dengan sendirinya adalah bagian dari keluarga, kota, negara dan
kelompok agama. Tapi ada juga golongan yang dengan sengaja dimasuki
seperti perkumpulan olah raga, serikat pekerja, koperasi, organisasi politik,
perkumpulan kesenian dan lain-lain. Melalui kelompok-kelompok inilah
pendidikan non formal dilakukan. Pendidikan non formal dapat menjadi
pelengkap

dari

pendidikan

formal,

terlebih

jika

dikaitkan

dengan

keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya krisis.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan

potensi

dirinya

untuk

memiliki

kekuatan

spiritual,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Sejalan dengan itu, sistem pendidikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajamen pendidikan
sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global
sehinga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah dan berkesinambungan.
Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF) merupakan upaya
dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu layanan
pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF
sangat beragam, yaitu meliputi: (1) pendidikan kecakapan hidup, (2)
pendidikan anak usia dini, (3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B,
dan

C,

(4)

pendidikan

keaksaraan,

(5)

pendidikan

pemberdayaan

perempuan, (6) pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja (kursus,

magang, kelompok belajar usaha), serta (7) pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya
lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang
kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar
kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu,
upaya

pendidikan

sejatinya

merupakan

kegiatan

penyerapan

dan

internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa
peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam
berbagai aspek.
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non
formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa
dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula
secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan
apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat,
berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis
pendidikan tersebut. Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga
berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini
terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan
Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya
ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut
dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti
sekarang ini.
Antonius Sumarno (2001:98), juga menuturkan bahwa kemunculan
lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa
misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam
menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan
bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan
berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi

terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan
tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap
berbagai kesempatan. Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan
non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun
juga

membekali

sikap

kemandirian

yang

mendorong

terciptanya

kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya
memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan
makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan,
banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan
lapangan pekerjaan. Namun dibalik semua keunggulan dan variasi
lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam
memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah
keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting
untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa
besar

kesesuian

bidang

pelatihan

yang

ditawarkan

oleh

lembaga

pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita
geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari
pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan
saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan
keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih
juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak
terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di
tengah jalan".
Pendidikan

non

formal

diharapkan

dapat

mengatasi

pelbagai

problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari (1994 :27) : “Apa
yang harus kita lakukan, agar kegiatan-kegiatan pendidikan non formal
yang kita selenggarakan benar-benar membawa kemajuan yang berarti,
yaitu kemajuan yang lebih besar daripada pembengkakan berbagai

problematika yang di hadapi, dan tidak kalah pula pesatnya dibandingkan
dengan laju kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain”. Pendidikan
melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal memiliki
berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa),
continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan
kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training
(latihan pekerja atau petani), dan extension service (pelayanan pendidikan
tambahan) dan dianggap sebagai sistem bayangan (shadow system).
Pelaksanaan pendidikan non formal dapat dilihat perbedaannya pada
kasus negara industri dan negara berkembang. Pada negara maju seperti
di Eropa dan Amerika Utara pendidikan non formal dipandang sebagai
pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup
sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga
alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan
tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang
diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan
kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan
memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka pendidikan
lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka
pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan
kemarin bagi generasi esok”.
Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan non formal
berperan untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja, usahawan kecil
dan lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak memiliki
keterampilan maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya
sendiri maupun bagi pembangunan bangsanya. Peran lainnya adalah untuk
meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi
seperti contohnya guru dan lainnya untuk bekerja di sektor swasta dan
pemerintah, agar mereka bekerja lebih efektif. Di Tanzania non formal

berperan untuk menyelamatkan investasi pendidikan dari mereka yang
tamat sekolah maupun drop out dari sekolah menengah, namun tidak
memperoleh pekerjaan, dengan memberikan kepada mereka pelatihanpelatihan khusus (Coombs, 1968 : 143). Di Indonesia pendidikan non fornal
mencakup

pendidikan

orang

dewasa

yang

bertujuan

agar

bangsa

Indonesia kenal huruf; dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang
dewasa;

mempergunakan

berkembang

secara

segala

dinamis

dan

sumber
kuat;

penghidupan
serta

tumbuh

yang
atas

ada;
dasar

kebudayaan nasional . Tujuan yang sudah digariskan pada peta pendidikan
sejak 27 Desember 1945 oleh BPKNIP ini (Poerbakawatja dan Harahap,
1981:270) masih memiliki relevansi hingga kini apalagi dalam menghadapi
menghadapi globalisasi.
Konsep awal dari Pendidikan Non Formal ini muncul sekitar akhir
tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H.
(1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan
pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan
Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF).
Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang
diorganisasikan diluar system persekolahan yang mapan, apakah dilakukan
secara terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas
dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk
mencapai tujuan belajarnya.
Penjelasan yang sama terdapat pula di UU Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), dimana disana dijelaskan
bahwa

pendidikan

diselenggaran

di dua

jalur,

yakni

jalur sekolah

(pendidikan formal) dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan
UU tentang SPN yang diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003,
istilah jalur pendidikan sekolah dan pendidilan luar sekolah berubah
menjadi system PF, PNF dan PIF. “Dalam UU ini dijelaskan bahwa PNF

adalah jalur pendidikan diluar PF yang dapat dilaksanakan secata
terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF merupakan jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan,” terang Syukri (1997:34).
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa
Pendidikan Non Formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan Pendidikan Non
Formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar)
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.
Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa Pendidikan Non Formal
meliputi pendidikan kecakapan hidup (life skills); pendidikan anak usia dini;
pendidikan

kepemudaan;

pendidikan

pemberdayaan

perempuan;

pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja;
pendidikan kesetaraan; serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.
Ditilik dari satuan pendidikannya, pelaksanaan Pendidikan Non
Formal terdiri dari kursus; lembaga pelatihan; kelompok belajar; Pusat
Kegiatan

Belajar

Masyarakat

(PKBM);

majelis

taklim;

serta

satuan

pendidikan yang sejenis (pasal 26 ayat 4). Disamping itu, dalam pasal 26
ayat 5, disana dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi
masyarakat

yang

memerlukan

bekal

pengetahuan,

keterampilan,

kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan profesi, bekerja, usaha
mandiri dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan hasil program
PF setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang
ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal
26 ayat 6).

Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Non Formal
Sasaran Pendidikan Non Formal dapat ditinjau dari beberapa segi,
yakni

pelayanan,

sasaran

khusus,

pranata

sistem

pengajaran

dan

pelembagaan program. Ditilik dari segi pelayanan, sasaran Pendidikan Non
Formal adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah
dasar (7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak
usia perguruan tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus,
Pendidikan Non Formal mendidik anak terlantar, anak yatim piatu, korban
narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun cacat tubuh.
Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan
dilingkungan

keluarga,

pendidikan

perluasan

wawasan

desa

dan

pendidikan keterampilan. Di segi layanan masyarakat, sasaran Pendidikan
Non Formal antara lain membantu masyarakat melalui program PKK, KB,
perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah tangga
dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran
Pendidikan Non Formal sebagai penyelenggara dan pelaksana program
kelompok,

organisasi

dan

lembaga

pendidikan,

program

kesenian

tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator
bahkan turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran
di majelis taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat
kursus. Sedangkan sasaran Pendidikan Non Formal ditinjau dari segi
pelembagaan, yakni kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak
penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan
desa atau pelaksana program pembangunan.
Bagaimana dengan karakteristik Pendidikan Non Formal? Secara
khusus Pendidikan Non Formal memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding
pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini
terlihat dari tujuan Pendidikan Non Formal , yakni memenuhi kebutuhan

belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa
depan, dimana dalam pelaksanananya tidak terlalu menekankan pada
ijazah. Dalam waktu pelaksanannya, Pendidikan Non Formal terbilang
relatif singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa
yang akan datang serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak
terus menerus.
Isi dari program Pendidikan Non Formal ini berpedolam pada
kurikulum

pusat

mengutamakan

pada

kepentingan

aplikasi

dimana

peserta

didik

menekanannya

(warga
terletak

belajar),
pada

keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan
lingkungannya. Soal persyaratan masuk Pendidikan Non Formal, hal itu
ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta
didik. Proses belajar mengajar dalam Pendidikan Non Formal pun relative
lebih fleksibel, artinya diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan
keluarga.

2.

PENTINGNYA

PENDIDIKAN

ANAK

USIA

DINI

SEBAGAI

PEMBENTUK KARAKTER ANAK
Pendidikan merupakan investasi terpenting yang dilakukan orang tua
bagi masa depan anaknya. Sejak anak lahir ke dunia, ia memiliki banyak
potensi dan harapan untuk berhasil di kemudian hari. Pendidikanlah yang
menjadi jembatan penghubung anak dengan masa depannya itu. Dapat
dikatakan, pendidikan merupakan salah satu pembentuk pondasi bagi
tumbuh dan berkembangnya seorang anak untuk memperoleh masa
depan yang lebih baik. Sebagai “buah hati”, maka dengan penuh rasa
kasih sayang para orang tua rela berkorban demi anaknya, karena masa
depan anak juga merupakan masa depan orang tua. Keberhasilan ataupun
kegagalan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya akan terlihat dari
perasaan hatinya manakala menyaksikan kehidupan anaknya ketika
dewasa. Pada hakikatnya masa depan anak juga merupakan masa depan
bangsa dan negara. Masa depan itu akan terlihat dua puluh atau tiga puluh
tahun ke depan, di saat mana jutaan anak yang ada sekarang ini
memasuki usia remaja dan dewasa. Merekalah nantinya yang menjadi
pelaku pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Kelak diantara mereka
ada

yang

berperan

sebagai

pemimpin-pemimpin

bangsa

yang

kebijakannya akan turut menentukan arah perjalanan bangsa dan negara
ini.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kelak akan
sangat berbeda dengan kondisi yang ada sekarang ini. Kehidupan
mendatang adalah kehidupan modern yang sangat dipengaruhi globalisasi
yang semakin masif, ekstensif, dan seolah tanpa batas. Hubungan antar
bangsa diwarnai oleh hubungan yang semakin kompetitif, karena semua
bangsa berpacu untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang. Untuk
menghadapi persaingan global yang semakin ketat, maka generasi

mendatang harus memiliki kecerdasan, keterampilan, produktivitas kerja
yang tinggi, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, ahli dan
profesional minimal di bidangnya masing-masing.
Dunia pendidikan memang sangat diperlukan untuk membentuk
generasi seperti itu. Akan tetapi, pendidikan sebagai proses berkelanjutan
tidak semata diarahkan kepada hal yang bersifat “reaktif” atau untuk
kepentingan jangka pendek, ia juga harus bersifat “proaktif” yang artinya
pendidikan

juga

harus

berorientasi

kepada

kemampuan

untuk

mengantisipasi permasalahan yang lebih luas dan mampu menjawab
tantangan yang lebih kompleks di masa yang akan datang. Untuk
membentuk generasi yang demikian itu, maka calon-calon generasi
mendatang itu harus dipersiapkan pertumbuhan dan perkembangannya
sedini mungkin, yakni sejak mereka lahir sampai berusia enam tahun,
sehingga mereka memiliki akar yang kuat sebagai pondasi untuk
memasuki pendidikan yang lebih tinggi.
Arti pentingnya pendidikan dini pada anak telah menjadi perhatian
internasional. Dalam pertemuan Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di
Dakkar, Senegal, telah menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka
aksi pendidikan untuk semua yang salah satu butirnya menyatakan:
“memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan
anak usia dini (PAUD), terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan
kurang beruntung.
Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah
dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan
yang dimulai pada usia Taman Kanak-kanak (4 - 6 tahun) pun sebenarnya
sudah terlambat. Menurut hasil penelitian di bidang neurologi seperti yang
dilakukan oleh Dr. Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari
Universitas Chicago, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa pertumbuhan
sel jaringan otak pada anak usia 0 - 4 tahun mencapai 50% (Cropley, 94).

Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan
yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang secara optimal.
Hasil penelitian di Baylor College of Medicine menyatakan bahwa
lingkungan memberi peran yang sangat besar dalam pembentukan sikap,
kepribadian, dan pengembangan kemampuan anak secara optimal. Anak
yang tidak mendapat lingkungan baik untuk merangsang pertumbuhan
otaknya, misal jarang disentuh, jarang diajak bermain, jarang diajak
berkomunikasi, maka perkembangan otaknya akan lebih kecil 20 - 30%
dari ukuran normal seusianya (Depdiknas, 2003:1).
Secara keseluruhan hingga usia delapan tahun, 80% kapasitas
kecerdasan manusia sudah terbentuk, artinya kapasitas kecerdasan anak
hanya bertambah 30% setelah usia empat tahun hingga mencapai usia
delapan tahun. Selanjutnya kapasitas kecerdasan anak tersebut akan
mencapai 100% setelah berusia sekitar 18 tahun (Abdulhak, 2002). Oleh
sebab itu masa kanak-kanak dari usia 0 - 8 tahun disebut masa emas yang
hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga
sangatlah penting untuk merangsang pertumbuhan otak anak melalui
perhatian kesehatan anak, penyediaan gizi yang cukup, dan pelayanan
pendidikan.
Menurut psikologi perkembangan dan berdasarkan riset neurologi
tentang pertumbuhan otak, usia dini meliputi anak yang berusia 0 - 8
tahun. Dalam hal ini, pendidikan anak usia dini merupakan konsep tentang
perlakuan dini terhadap anak yang berada pada usia prasekolah atau usia
sekolah yaitu di kelas-kelas awal SD (kelas 1, 2 dan 3) (Supriadi, Pikiran
Rakyat).
Namun dalam hal ini pembahasan mengenai anak usia dini dibatasi
mulai usia 0 - 6 tahun sebagaimana yang termaktub dalam Undangundang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 1 ayat 14 dan pasal
28 ayat 1 bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum

jenjang pendidikan dasar.
Sedemikian vitalnya anak usia dini, maka sangat dianjurkan kepada
orang tua untuk memberikan vaksinasi dan selalu memberikan nutrisi
lengkap dan seimbang kepada anaknya, agar anak mempunyai tubuh yang
sehat, kuat dan otak yang cerdas. Orang tua juga harus memperlakukan
anak secara hati-hati dan benar, agar anak memiliki karakter dan
kepribadian yang tepat untuk perkembangannya lebih lanjut. Anak usia
dini

dapat

digolongkan

ke

dalam

anak

usia

prasekolah

yang

pertumbuhannya terbagi dalam dua tahap, yakni: (1) Usia sejak lahir s.d.
usia 2 tahun. Pada usia ini pertumbuhan anak lebih mengarah kepada
fungsi-fungsi biologis. Ia menggunakan mulut sebagai sarana terpenting;
(2) Usia antara 2-6 tahun. Pada usia ini perkembangan panca indera
sangat

menonjol,

sehingga

dalam

proses

belajarnya

pun

mereka

menggunakan panca indera. Ada tiga macam perkembangan yang terjadi
pada usia ini, yakni perkembangan motorik (fungsi gerak), perkembangan
bahasa dan berpikir, dan perkembangan sosial.
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai berusia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan
Anak Usia Dini (selanjutnya, PAUD) merupakan salah satu bentuk
penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar
ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus
dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual, sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama),
bahasa, dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap
perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Seperti halnya jenjang pendidikan lainnya, jenjang PAUD merupakan
tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh karena itu
dalam pelaksanaannya, dikenal adanya tiga bentuk jalur pelaksanaan
PAUD,

yakni; Pertama

adalah PAUD jalur pendidikan formal yakni

pendidikan yang terstruktur untuk anak anak berusia empat tahun sampai
enam tahun seperti Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), dan
bentuk lain yang sederajat. Kedua, PAUD jalur pendidikan nonformal, yakni
pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran secara fleksibel
untuk anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia enam tahun,
seperti Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (Play Group), dan
bentuk lain yang sederajat. Ketiga, PAUD jalur pendidikan informal sebagai
bentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh
lingkungan untuk pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir (usia
tiga bulan) sampai berusia enam tahun.
Pendidikan bisa saja diberikan untuk bayi yang belum lahir seperti
yang dilakukan para orang tua dengan cara memperdengarkan musik
klasik kepada bayinya yang masih berada dalam kandungan. Secara garis
besar, pendidikan biasanya berawal pada saat bayi dilahirkan dan
berlangsung seumur hidup. Dalam agama Islam ada anjuran, “tuntutlah
ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat”, yang berarti bahwa pendidikan
itu harus dilakukan sedini mungkin, dimana saja, kapan saja dan
berlangsung seumur hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
diamanatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama
antara

Pemerintah,

Masyarakat,

dan

Orang

Tua.

Dalam

hal

penyelenggaraan PAUD dewasa ini terlihat bahwa masyarakat yang lebih
berperan, dimana institusi-institusi pendidikan yang dibangun dan dikelola
oleh masyarakat lebih banyak dan beragam yakni mencapai sekitar 80
persen sedangkan yang dibangun oleh pemerintah hanya 10 persen dari
lembaga yang ada. Meski pengelolaan pendidikan menjadi tanggung jawab

bersama, ternyata angka partisipasi pendidikan di Indonesia di berbagai
jenjang pendidikan masih tergolong rendah, termasuk dalam hal ini
rendahnya partisipasi anak balita untuk memasuki PAUD.
Minimnya
keterbatasan

pengetahuan

ekonomi

orang

keluarga,

tua

dan

tentang

pentingnya

keterbatasan

PAUD,

anggaran

biaya

pemerintah untuk alokasi penyelenggaraan PAUD merupakan faktor
penyebab anak usia balita tidak tersentuh pendidikan. Berdasarkan hasil
pendataan Depdiknas tahun 2004, baru sekitar 15,6 persen dari 11,5 juta
anak usia 4-6 tahun yang bersekolah di TK, sedangkan untuk anak usia 0-3
tahun, hanya sekitar 15,8 persen yang tersentuh pelayanan anak usia dini.
Data itu menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan angka partisipasi
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2002, sebanyak 72 persen
anak Indonesia usia nol sampai enam tahun di Indonesia, belum tersentuh
pendidikan usia dini, karena pada tahun itu baru 7,34 juta atau 28 persen
dari 26,1 juta anak usia 0-6 tahun yang mendapat pendidikan usia dini.
Sebagian besar di antara mereka, yakni 2,6 juta, mendapatkan pendidikan
dengan jalan masuk ke Sekolah Dasar pada usia lebih awal. Sebanyak 2,5
juta anak mendapat pendidikan di Bina Keluarga Balita (BKB), 2,1 juta anak
bersekolah di TK atau Raudhatul Atfhal, dan sekitar 100.000 anak di
Kelompok Bermain.
Berbeda

dengan

beberapa

negara

maju

yang

memandang

pembinaan anak usia dini adalah suatu proses persiapan pemberdayaan
sumber daya manusia yang sangat penting, sehingga Pendididikan Anak
Usia Dini dilakukan secara sangat intensif dan mendapat perhatian yang
sangat tinggi. Alasannya bukan karena orang tua mereka bekerja, tetapi
justru karena pada orang tua sudah tertanam pemahaman bahwa pada
usia dini anak-anak berada pada posisi paling ideal menerima dukungan
untuk

mengembangkan

kepribadian

dan

jati

dirinya.

Dengan

pemberdayaan yang baik pada usia dini, akan dihasilkan anak-anak yang

masa depannya cerah karena mereka menjadi orang dewasa yang kreatif
dan mempunyai rasa percaya diri yang kuat.
Kendalanya di Indonesia adalah bahwa tidak setiap orang tua punya
pengetahuan dan kesiapan untuk mendidik anaknya secara betul. Seorang
ibu memang telah memiliki “asam garam” dalam mengasuh anak-anak
mereka, akan tetapi agar perkembangan potensi anak berjalan maksimal,
maka

diperlukan

“kiat-kiat”

tertentu,

seperti

pengetahuan

tentang

psikologi anak, aktivitas yang mereka sukai, dan cara terbaik dalam
mendidik mereka. Adakalanya karena faktor ketidaktahuan itulah, maka
tidak jarang, dalam beberapa hal orang tua memperlakukan anaknya
secara berlebihan atau dengan cara paksaan mengajarkan hal-hal yang
sesungguhnya

belum

saatnya

mereka

terima

sehingga

justru

menjerumuskan si anak itu sendiri.
Oleh karena itu, PAUD memegang peranan penting dalam pendidikan
anak. Melalui PAUD anak dapat dididik oleh gurunya dengan metode dan
kurikulum

yang

jelas.

Melalui

PAUD,

mereka

dapat

bermain

dan

menyalurkan energinya melalui berbagai kegiatan fisik, musik, atau
keterampilan tangan. Mereka juga dapat belajar berinteraksi secara
interpersonal dan intrapersonal. Kepada mereka secara bertahap dapat
dikenalkan huruf atau membaca, lingkungan hidup, pertanian, dan bahkan
industri.
Pengenalan itu tidaklah berlebihan, karena dalam penyampaiannya
disesuaikan dengan dunia anak, yakni dunia bermain sehingga proses
belajarnya menyenangkan. Anak memang seringkali mengeskpresikan ide
dan perasaannya melalui permainan, sehingga ketika mereka merasa
menikmati dan senang dengan apa yang diajarkan itu, maka dengan
sendirinya akan bermanfaat bagi perkembangannya. Satuan PAUD seperti
Kelompok Bermain merupakan media bagi anak untuk bersosialisasi dalam
masyarakat kecil. Kelompok Bermain merupakan kegiatan bermain yang

teratur pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program
pendidikan dan program kesejahteraan bagi anak berusia dua tahun
sampai enam tahun.
Dalam

kelompok

itu,

mereka

akan

menyesuaikan

diri

dalam

lingkungan yang lebih luas, selangkah lebih mandiri, memiliki kebanggaan
menjadi anggota kelompok bermain di luar anggota keluarganya, dan
sejumlah manfaat lainnya yang pada gilirannya secara tidak sadar
mendorong

minat

dan

potensi

anak

untuk

belajar.

Ada

empat

pertimbangan pokok pentingnya pendidikan anak usia dini, yaitu: (1)
menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas, (2) mendorong percepatan
perputaran

ekonomi

dan

rendahnya

biaya

sosial

karena

tingginya

produktivitas kerja dan daya tahan, (3) meningkatkan pemerataan dalam
kehidupan masyarakat, (4) menolong para orang tua dan anak-anak.
Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi untuk memberikan
pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting berfungsi
untuk mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini
sepatutnya juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak
terbatas

pada

proses

pembelajaran

yang

terjadi

dalam

lembaga

pendidikan. Artinya, pendidikan anak usia dini dapat berlangsung dimana
saja dan kapan saja seperti halnya interaksi manusia yang terjadi di dalam
keluarga, teman sebaya, dan dari hubungan kemasyarakatan yang sesuai
dengan kondisi dan perkembangan anak usia dini.
Pembelajaran Melalui Bermain
Anak-anak usia dini dapat saja diberikan materi pelajaran, diajari
membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan bukan hanya itu saja, mereka
bisa saja diajari tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya. Jerome Bruner
menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur
dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya (Supriadi, 2002:

40). Kuncinya adalah pada permainan atau bermain. Permainan atau
bermain adalah kata kunci pada pendidikan anak usia dini. Ia sebagai
media sekaligus sebagai substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak
adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil bermain
yang melibatkan semua indra anak.
Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian
pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanakkanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh
dari bermain. Sayangnya, menurut Samples bermain sebagai gagasan
yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam
berbagai lingkungan budaya (Supriadi, 2002: 40).
Bermain

bagi

anak

adalah

kegiatan

yang

serius

tetapi

menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) bermain
adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan,
bukan

karena

hadiah

atau

pujian.

Melalui

bermain,

semua

aspek

perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas
anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang
sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anakanak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik
potensi fisik maupun mental intelektual dan spritual. Oleh karena itu,
bermain bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi berkembangnya
semua aspek.
Kritik yang ditujukan kepada sejumlah TK bukan karena mereka
mengajarkan berhitung, membaca, dan menulis melainkan caranya yang
salah seakan-akan menjadikan TK sebagai miniatur SD. Padahal PAUD itu
sesuatu yang lain dengan landasan psikologis dan pedagogis yang
berbeda. Belajar Quantum dari De Porter & Hernacki serta revolusi belajar
yang dibawakan oleh Dryden & Vos (Supriadi, 2002: 41) meletakkan titik
berat pada “pendinian” belajar pada anak dengan memilih cara-cara yang

sesuai, bukan pengakademikan belajar pada usia dini – dua hal yang
sangat besar perbedaannya. Pembelajaran pada anak usia dini dapat
dilaksanakan

dengan

menggunakan

beberapa

metode

(Direktorat

PADU,2001; Depdikbud, 1998), diantaranya yaitu:
a. Bercerita
Bercerita

adalah

menceritakan

atau

membacakan

cerita

yang

mengandung nilai-nilai pendidikan. Melalui cerita daya imajinasi anak
dapat ditingkatkan. Bercerita dapat disertai gambar maupun dalam
bentuk lainnya seperti panggung boneka. Cerita sebaiknya diberikan
secara menarik dan membuka kesempatan bagi anak untuk bertanya
dan memberikan tanggapan setelah cerita selesai. Cerita tersebut akan
lebih bermanfaat jika dilaksanakan sesuai dengan minat, kemampuan
dan kebutuhan anak.
b. Bernyanyi
Bernyanyi

adalah

kegiatan

dalam

melagukan

pesan-pesan

yang

mengandung unsur pendidikan. Dengan bernyanyi anak dapat terbawa
kepada situasi emosional seperti sedih dan gembira. Bernyanyi juga
dapat menumbuhkan rasa estetika.
c. Berdarmawisata
Darmawisata adalah kunjungan secara langsung ke obyek-obyek yang
sesuai dengan bahan kegiatan yang sedang dibahas di lingkungan
kehidupan anak. Kegiatan tersebut dilakukan di luar ruangan terutama
untuk melihat, mendengar, merasakan, mengalami langsung berbagai
keadaan atau peristiwa di lingkungannya. Hal ini dapat diwujudkan
antara lain melalui darmawisata ke pasar, sawah, pantai, kebun, dan
lainnya.
d. Bermain peran
Bermain peran adalah permainan yang dilakukan untuk memerankan
tokoh-tokoh, benda-benda, dan peran-peran tertentu sekitar anak.

Bermain peran merupakan kegiatan menirukan perbuatan orang lain di
sekitarnya. Dengan bermain peran, kebiasaan dan kesukaan anak untuk
meniru akan tersalurkan serta dapat mengembangkan daya khayal
(imajinasi)

dan

penghayatan

terhadap

bahan

kegiatan

yang

dilaksanakan.
e. Peragaan/Demonstrasi
Peragaan/demonstrasi adalah kegiatan dimana tenaga pendidik/tutor
memberikan contoh terlebih dahulu, kemudian ditirukan anak-anak.
Peragaan/demonstrasi ini sesuai untuk melatih keterampilan dan caracara yang memerlukan contoh yang benar.
f. Pemberian Tugas
Pemberian tugas merupakan metode yang memberikan kesempatan
kepada anak untuk melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk langsung
yang telah dipersiapkan sehingga anak dapat mengalami secara nyata
dan melaksanakan tugas secara tuntas. Tugas dapat diberikan secara
berkelompok ataupun individual.
g. Latihan
Latihan adalah kegiatan melatih anak untuk menguasai khususnya
kemampuan psikomotorik yang menuntut koordinasi antara otot-otot
dengan mata dan otak. Latihan diberikan sesuai dengan langkahlangkah secara berurutan.
Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kenyataan bahwa masih banyak anak usia dini yang belum
mendapatkan pelayanan pendidikan tak dapat dipungkiri, terlebih bagi
masyarakat kelas bawah yang merupakan sebagian besar penduduk
Indonesia yang berada di pedesaan. Hal itu disebabkan antara lain
kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini
masih sangat rendah. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi dan

kesehatan untuk peningkatan kualitas anak, nampaknya jauh lebih baik
daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hasil penelitian Meneg
Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah Jakarta dan sekitarnya
seperti yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Jalal, 2002: 13)
menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat memandang belum perlu
pendidikan diberikan kepada anak usia dini. Hal ini sangat wajar
mengingat bahwa pemahaman masyarakat terhadap pentingnya PAUD
masih sangat rendah serta pada umumnya mereka berpandangan bahwa
pendidikan

identik

dengan

sekolah,

sehingga

bagi

anak

usia

dini

pendidikan dipandang belum perlu.
Lebih jauh Hadis (2002: 25) mengemukakan ada beberapa faktor
yang menjadikan penyebab masih rendahnya kesadaran masyarakat di
bidang pendidikan anak usia dini seperti: ketidaktahuan, kemiskinan,
kurang berpendidikan, gagasan orangtua tentang perkembangan anak
yang masih sangat tradisional, kurang mau berubah, masih sangat konkret
dalam berpikir, motivasi yang rendah karena kebutuhan yang masih
sangat mendasar, serta masih sangat dipengaruhi oleh budaya setempat
yang sempit.
Rendahnya tingkat partisipasi anak mengikuti pendidikan prasekolah
dapat juga dipengaruhi oleh beberapa hal lainnya seperti: (1) Masih
terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di
masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK,
KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (2)
Rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan
anak usia dini. Fakta menunjukkan (Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di
seluruh Indonesia, 41.092 buah (99.46%) didirikan oleh pihak swasta
sedangkan pemerintah hanya mendirikan 225 buah (0.54%). Jumlah TK
tersebut tidaklah berimbang dengan jumlah anak yang seharusnya
mengikuti

pendidikan

dini.

Memang

berhasilnya

PAUD

merupakan

tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat terutama keluarga yang
merupakan penanggungjawab utama dalam optimalisasi tumbuh kembang
anak. Peran pemerintah adalah memfasilitasi masyarakat agar mereka
dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Upaya pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat antara lain
melalui standarisasi kurikulum guna membantu masyarakat mengontrol
penyelenggaraan pendidikan agar tidak merugikan peserta didik maupun
masyarakat, peningkatan kemampuan profesi dan akademik bagi tenaga
kependidikan, peningkatan fungsi keluarga sebagai basis pendidikan anak,
serta

pengembangan

manajemen

pembelajaran

yang

mencakup

pengembangan metodologi pembelajaran, pengembangan sarana dan
bahan belajar termasuk bacaan anak, pengembangan permainan dan alat
permainan serta pengembangan evaluasi tumbuh kembang anak.
Dalam rangka memberikan perhatian secara khusus terhadap anak
usia dini yang tidak terlayani pada lembaga formal (TK/RA) maka
dibentuklah Direktorat PADU di lingkungan Depdiknas. Kehadiran direktorat
ini terutama untuk memberikan layanan, bimbingan dan atau bantuan
teknis edukatif yang tepat terhadap semua layanan anak usia dini (di luar
TK dan RA) yang ada di masyarakat.
Masyarakat itu sendiri juga perlu meningkatkan peran sertanya
secara aktif dalam pelaksanaan, pembinaan, dan pelembagaan pembinaan
anak. Untuk itu pemerintah perlu memberdayakan peranserta masyarakat
sebagai

upaya

menumbuhkan

dan

mengembangkan

kemampuan

masyarakat, dengan cara mengembangkan segala potensi yang dimiliki
agar masyarakat memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan pilihan
dan mengambil keputusan. Dalam kondisi seperti ini, sinergi antara
pemerintah dengan masyarakat sangat diperlukan. Perlu pula diingat
bahwa kebanyakan program PAUD masih berjalan sendiri-sendiri, tidak ada
sinergi antar program yang ada di masyarakat.

Sinergi berbagai unsur yang berkepentingan dalam pembinaan anak
merupakan kunci keberhasilan upaya pembinaan anak. Pemerintah harus
memperluas jaringan kemitraan. Jaringan kemitraan merupakan kunci
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan program pendidikan, dimana
selama ini tumpang tindih program termasuk pembinaannya, merupakan
kesalahan sebagai akibat tidak berjalannya jaringan kemitraan termasuk
koordinasi sebagai salah satu komponennya. Disamping itu adanya
jaringan kemitraan yang luas di setiap tingkatan institusi masyarakat,
mulai

dari

pusat

sampai

grass-root,

merupakan

jawaban

atas

keberlangsungan suatu program di masyarakat.
Program yang mempunyai jaringan kemitraan memiliki ciri-ciri antara
lain tingginya komitmen semua unsur yang terlibat dan tingginya rasa
memiliki masyarakat terhadap program yang ada. Kedua ciri ini merupakan
komponen terpenting untuk menjamin keberlangsungan suatu program
yang

pada

gilirannya

mengarah

masyarakat.

Perluasan

jaringan

pada

pelembagaan

kemitraan

agar

program

efektif

di

hendaknya

diarahkan pada penciptaan situasi kondusif yang menumbuh kembangkan
komitmen semua unsur dan kepemilikan oleh masyarakat terhadap suatu
program.
Peranan Keluarga dan Lingkungan
Bagi anak usia dini, orangtua merupakan guru yang terpenting dan
rumah tangga merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus diingat
bahwa

fungsi

PAUD

bukan

sekedar

untuk

memberikan

berbagai

pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah
untuk

mengajak

anak

berpikir,

bereksplorasi,

bergaul,

berekspresi,

berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan
sinaps baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan
berfungsinya kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu

lingkungan yang baik untuk PAUD adalah lingkungan yang mendukung
anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada anggapan bahwa
lingkungan yang baik adalah ruangan yang berdinding putih, bersih, dan
tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan tanpa rangsangan
semacam itu justru menghambat perkembangan anak. Memang benar
bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang
tetapi pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah
pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor
lingkungan

merupakan

pengembangannya.

Tanpa

diperkaya

oleh

lingkungan, modal dasar tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi
menyusut.
Jika orangtua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya
sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh,
lembaga pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang
mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan
baik di lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di lua