RELASI MEDIA DAN KOMUNIKASI POLITIK PADA

RELASI MEDIA DAN KOMUNIKASI POLITIK PADA PILPRES 2014
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK MEDIA

Akhirul Aminulloh
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang
Email. akhirulaminulloh@gmail.com

ABSTRAK
Media massa telah menjadi kekuatan penting dalam komunikasi politik menjelang pemilihan presiden Tahun 2014. Media TV
One dan Metro TV menjadi salah satu contoh media partisan dalam hiruk pikuk kampanye politik oleh capres Prabowo
Subianto dan Joko Widodo. Adanya keberpihakan ini tak terlepas dari anggapan adanya intervensi dari kedua pemilik media
massa tersebut. Kondisi ini sebenarnya mengebiri kebebasan pers itu sendiri yang datang bukan dari pemerintah melainkan
dari pemilik media itu sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis relasi media TV One dan Metro TV pada
pilpres 2014.Tulisan ini menggunakan studi kasus pada Media TV One dan Metro TV. Kajian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan ekonomi politik media untuk mengetahui posisi dan polarisasi media pada pilpres 2014. Sumber
pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka untuk penguatan analisis kajian.Hasil kajian ini menunjukkan
bahwa terjadi polarisasi keberpihakan media dalam kontestansi pilpres 2014. Keberpihakan media ini terjadi karena adanya
intervensi pemilik media untuk mengarahkan dan mendukung partai politik atau kandidat tertentu dalam pemilihan presiden
2014. Kepentingan pemilik media inilah yang menjadikan media massa seperti TV One dan Metro TV tidak bisa independen
dan objektif dalam pemberitaan pilpres 2014, sehingga masyarakat juga yang dirugikan dengan opini berdasarkan pandangan
kedua media tersebut.

Kata kunci: Ekonomi Politik Media, Komunikasi Politik, Keberpihakan Media, dan Pemilihan Presiden 2014

Pendahuluan
Pemilihan presiden 2014 tidak hanya menjadi pertarungan dua kandidat calon presiden Prabowo
Subianto dan Joko Widodo, tetapi juga menjadi pertarungan antar media, baik media massa maupun media
sosial. Media massa terutama media televisi telah menjadi senjata ampuh dalam pergulatan pilpres 2014,
terutama sebagai corong komunikasi politik untuk mempengarui opini publik. Kekuatan media massa seakanakan menjadi penentu satu-satunya dalam mengarahkan dan mempengaruhi opini publik, sehingga media televisi
telah menjadi alat kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa media televisi dianggap sebagai media yang paling
efektif mempengaruhi opini publik dibanding media massa lainnya, karena jangkauannya yang lebih luas
dibanding media massa lainnya.
Media massa dalam pilpres 2014 mempunyai fungsi dan peran strategis dalam komunikasi politik para
kandidatnya, salah satunya adalah menjadi wadah penyampaian informasi, media propaganda, dan alat
kampanye politik untuk menmpengaruhi calon pemilih. Ketiga fungsi tersebut tentunya tidak serta merta
digunakan secara sembarangan apalagi menghalalkan secara cara, tetapi dan seharusnya tetap berlandaskan
kepada aturan dan etika media massa. Namun demikian, dalam prakteknya banyak media massa dalam
menjalankan peran dan fungsinya mengabaikan nilai-nilai etika dan posisi indendepensinya. Harapan masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang akurat, berimbang, dan obyektif jauh dari kenyataan. Hampir semua media
massa telah menjadi media partisan yang cenderung berpihak kepada salah satu kandidat calon presiden dan
wakil presiden pada pilpres 2014. Dalam pandangan demokratisi media, semestinya media mendukung
terwujudnya ruang publik yang bebas untuk perdebatan atau diskusi politik secara netral dan independen,

sehingga diskusi publik tentang politik dalam pilpres 2014 bisa berlangsung secara demokratis dan berkualitas.
Media juga diharapkan dapat menyampaikan informasi secara akurat dan merefleksikan opini sebenarnya yang
berkembang di masyarakat (Yuli, 2014).

Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dalam penyelenggaraan siaran mengenai pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden 2014, terdapat beberapa stasiun televisi yang dianggap tidak netral dan berpihak,
diantaranya: TV One, RCTI, MNC TV, Global TV, dan Metro TV. Penilaian itu didasarkan pada data hasil
pemantauan yang dilakukan KPI pada 19 Mei-24 Mei 2014. KPI menemukan indikasi penyimpangan atas
prinsip independensi media dan adanya kecenderungan media memanfaatkan berita untuk kepentingan kandidat
tertentu (Hidayat, 2014). Hal ini disinyalir tidak terlepas dari intervensi pemilik media yang mempunyai afiliasi
politik dengan partai politik atau kandidat tertentu.
Umar Idris, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, menganalisa pemberitaan yang tidak netral
sangat terlihat pada media televisi, antara lain: Metro TV, TV One, beserta MNC Group. Sementara itu, untuk
Indosiar dan SCTV, meskipun tidak terlihat secara nyata memihak, namun lebih nampak terlihat pemberitaan
yang positif untuk Jokowi (Harianjogya.com, 2014). Media massa, terutama televisi, harus sadar bahwa mereka
menggunakan frekuensi gelombang milik publik. Oleh karena itu bersikap tidak netral dan tidak berimbang
hanya menunjukkan adanya keberpihakan media terhadap kepentingan politik yang akhirnya mencederai
kepentingan publik. Keberpihakan ini tentunya sangat merugikan khalayak banyak yang menginginkan adanya
informasi yang akurat dan obyektif.
Tabel 1. Pemilik Media TV dan Afiliasi Politiknya

Media TV
Pemilik
Jabatan Politik
Metro TV
Surya Paloh
Ketua Partai Nasdem
TV One
Abu Rizal Bakrie
Ketua Golkar
ANTEVE
RCTI
Hari Tanoesoedibjo
Pembina Partai Hanura
Global TV
MNC TV

Afiliasi Politik
Tim Sukses Jokowi-JK
Tim Sukses Prabowo-Hatta
Tim Sukses Prabowo-Hatta


Sumber: diolah dari berbagai sumber

Dukungan media terhadap kandidat capres tertentu dalam pilpres 2014 selalu menyisakan perdebatan
etis dan normatif. Biasanya, terdapat dua isu perdebatan tentang peran media sebagai pemimpin opini
masyarakat dan objektivitas media. Pandangan pertama menyatakan, dukungan media terhadap salah satu
kandidat capres penting untuk menggerakkan diskusi publik, yang terkadang apatis dan rendah partisipasinya
menjelang pilpres. Padahal, pilpres sangat penting untuk menentukan masa depan bangsa ke depan dan
membangun sistem yang demokratis. Penggerak wacana publik ini adalah peran media sebagai pemimpin opini
masyarakat dan penentu agenda publik. Sementara pendapat kedua mengatakan, dukungan media terhadap
kandidat capres tertentu akan menimbulkan bias dalam pemberitaan media. Bagaimana media TV yang sudah
mendukung kandidat capres tertentu tidak bisa objektif dan independen dalam pemberitaan pemilu presiden
(Armando, 2014). Adanya keberpihakan media televisi yang begitu mencolok di hadapan publik tidak terlepas
dari wacana yang berkembang dari pertumbuhan industri televisi yang lebih mengarah ke kepentingan ekonomi
politik elit penguasa, dan oleh karenanya kepentingan dan kebutuhan publik untuk mendapatkan ruang diskusi
publik yang sesuai belum menjadi kebutuhan yang signifikan (Budi, 2004).
Media massa seharusnya menjauhkan diri dari keberpihakan terhadap salah satu pasangan caprescawapres dengan berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik. Menjaga kredibilitas dan netralitas seharusnya
menjadi komitmen setiap pengelola media massa, khususnya pengelola redaksi dalam membuat berita. Sebab,
hubungan media dengan khalayak semata-mata berdasarkan ikatan kepercayaan. Jika suatu media sudah tidak
dipercaya, khalayak akan meninggalkan media tersebut dan beralih ke media lainnya. Sebaliknya, khalayak akan

tetap loyal terhadap suatu media massa selama mereka masih mempercayainya (Armando, 2014). Berdasarkan
uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sikap dan posisi media televisi
dalam pilpres 2014.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif yang mengarah pada
pendeskripsian secara rinci dan mendalam baik kondisi maupun proses, dan juga hubungan atau saling
keterkaitannya mengenai hal-hal pokok yang ditemukan pada sasaran penelitian (Sutopo, 2006). Sumber data
menggunakan data sekunder dengan teknik penelusuran pustaka baik dari internet, buku jurnal, Koran, maupun

media lainnya. Adapaun teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis kritis dengan pendekatan teori
ekonomi politik media untuk mengetahui posisi dan keberpihakan media pada pilpres 2014.

Hasil dan Pembahasan
Media dalam Bingkai Ekonomi Politik
Ekonomi politik merupakan studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan
yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk di dalamnya
sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi atau media (Mosco, 2000). Sedangkan Boyd Barrett secara lebih
ambisius mengartikan ekonomi politik sebagai studi tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial.
Dari pendapat Mosco tersebut di atas dapat dipahami bahwa pengertian ekonomi politik secara lebih

sederhana adalah hubungan kekuasaan (politik) dalam hal sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Bila
seseorang atau sekelompok orang mampu mengontrol masyarakat, itu berarti dia berkuasa secara de facto,
meskipun secara de jure tidak memegang kekuasaan sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pandangan
Mosco tentang kekuasaan lebih ditekankan pada penguasa dalam arti de facto, yaitu orang atau kelompok orang
yang mengendalikan kehidupan masyarakat. Sedangkan dasar dari kehidupan sosial adalah ekonomi. Maka
pendekatan ekonomi politik merupakan cara pandang yang kris yang dapat membongkar akar sesuatu masalah
yang tampak pada permukaan.
Untuk memahami bagaimana penerapapan pendekatan ekonomi politik digunakan dalam studi media
massa, ada tiga konsep dasar yang harus dipahami, yaitu: (1) Commodification – segala sesuatu dikomoditaskan
(dianggap barang dagangan), (2) Spatialization – proses mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan
sosial, dan (3) Structuration – penyeragaman ideologi secara terstruktur. Komodifikasi adalah suatu upaya untuk
mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Tiga
hal yang saling terkait dalam media massa adalah: Isi media, jumlah audience, dan iklan. Berita atau isi media
adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audience/ oplah. Jumlah audience / oplah juga merupakan komoditas
yang dapat dijual kepada pengiklan. Uang yang masuk ke media merupakan profit dan dapat digunakan untuk
mengembangkan dan ekspansi media. Ekspansi media dapat menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam
mengendalikan wacana masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi, jaringan dan lain
sebagainya.
Spasialisasi adalah cara-cara yang digunakan untuk mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam
kehidupan sosial. Dengan perkembangan teknologi komunikasi, jarak dan waktu semestinya bukan lagi

hambatan dalam praktek ekonomi politik media. Berkaitan dengan media massa, maka suatu kegiatan yang ada
di kota kecil dapat disiarkan langsung oleh televisi yang berpusat di Jakarta untuk kemudian dikomoditaskan.
Strukturasi adalah penyeragaman ideologi secara terstruktur yang terjadi karena seringnya sebuah ideologi media
massa berkorelasi dengan ideologi para pemilik media. Selanjutnya ideologi pemilik media sering kali berkaitan
afiliasi politik yang didukungnya.
Gambaran media yang terikat oleh kepentingan ekonomi dan politik mencerminkan seperti apa yang
dikatakan oleh Altschull’s dalam studi kepemilikan dan pengawasan media, bahwa isi media selalu
merefleksikan kepentingan pihak tertentu yang membiayai mereka (McQuails, 2000). Ekonomi politik media
menjelaskan dan menekankan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi dan ideologis dari pada muatan isi
media itu sendiri. Teori ini mengemukakan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan
perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar
media komunikasi massa (Janet, 1997). Selain itu, ekonomi politik juga berfokus pada resistensi atau oposisi.
Pada bidang ini kajian ekonomi politik mencoba fokus hanya pada kekuatan dari perusahaan besar dan sebuah
sistem yang tidak bisa ditembus, sehingga isu-isu tersebut seringkali berkaitan dengan resistensi dan perlawanan
media (Arianto, 2011).

Hubungan Media dan Komunikasi Politik
Komunikasi politik merupakan proses komunikasi yang terjadi sistem politik dengan isi pesan yang
mengandung unsure-unsur politik. Komunikasi politik menjadi sarana dan strategi dalam politik dengan tujuan
memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Penggunaan media sangatlah penting dalam proses strategi

kampanye dan sosialisasi politik pada pemilu tidak terkecuali pada pilpres 2014. Dalam konteks politik modern,
keberadaan media massa bukan hanya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari politik, namun juga memiliki

posisi yang sentral dalam politik bahkan tidak jarang sebagai penentu dalam opini publik. Media massa sebagai
saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk kepentingan menyebarluaskan informasi, telah menjadi
ruang diskusi publik dalam mengartikulasikan keinginan dan harapan masyarakat yang beragam. Semua itu
dikarenakan sifat media massa yang dapat menyampaikan informasi, membangun citra politik secara massif dan
menjangkau khalayak yang luas (Pawito, 2009).
Dengan karakter yang dimilikinya, media menjadi kekuatan yang bisa menyatukan dan mengarahkan
opini masyarakat kepada salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden di pilpres 2014. Kekuatan media
mampu memberikan arah ke mana masyarakat harus berpihak dan pilihan-pilihan apa yang harus ditentukan.
Dengan kemampuannya, media dapat membangun wacana, menggerakkan perubahan keyakinan, dan
menggerakkan masyarakat untuk memilih kandidat tertentu. Dan dengan kekuatan agenda settingnya, media juga
mempunyai kelebihan untuk menaikkan atau menurunkan elektabilitas seseorang dan partai politik. Sehingga
dalam setiap pemilihan umum atau pilihan presiden tiap lima tahun sekali, tidak hanya menjadi ajang kekuatan
antar partai politik dan atar kandidat, tetapi juga menjadi pertaruhan antar media.
Meskipun peranan media massa sangat penting, namun di era modern ini terjadi perubahan dalam
komunikasi politik yang melibatkan media massa, aktor politik, dan masyarakat (Brants dan Voltmer, 2011).
Perubahan komunikasi politik ini dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini:
Bagan 1. Perubahan Komunikasi Politik

Jurnalis/
Media
massa

MEDIA

Politisi/
Partai
Politik

DESENTRALISASI

Sumber: Brants & Voltmer (2011)

Masyaraka
t/
Pemilih
massa

Bagan tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam perubahan politik di era modern tidak ada lagi kekuatan

politik yang bersifat terpusat tetapi menyebar/ desentralisasi. Media massa dan aktor pelaku politik tidak lagi
menjadi pelaku tunggal atau utama dalam politik, tetapi ada elemen lainnya yang ikut menentukan yaitu
masyarakat atau calon pemilih dalam politik (Haroni, 2014). Oleh karena itu, dalam komunikasi politik di pilpres
2014 partai politik dan tim sukses masing-masing kandidat capres perlu secara cerdas dan bijak dalam
menggunakan media sebagai alat kampanye politik.

Keberpihakan Media dalam Pilpres 2014
Media akan dapat menjalankan fungsi politiknya yang demokratis apabila media mempunyai bisnis
yang sehat, dan bebas dari intervensi politik. Secara politik televisi memegang peranan dan dominasi yang
sangat vital dalam hal publikasi bagi para kandidat capres pada pilpres 2014. Pada kondisi seperti ini, para
pemilik media ikut berperan pula dalam mengendalikan dan mengarahkan media untuk mempengaruhi opini
publik. Terdapat tiga pemilik media televisi yang juga memegang peranan penting dalam struktur partai politik
dan mempengaruhi eskalasi politik menjelang pilpres 2014. Pertama Aburizal Bakri, Ketua Umum Partai Golkar,
pemilik media televisi TV One dan ANTEVE. Kedua Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, pemilik media
televisi Metro TV. Dan ketiga Hari Tanoesoedibjo, Tim sukses Prabowo, pemilik media televisi RCTI, Global
TV, dan MNC TV.
Dalam perspektif ekonomi politik media, ternyata media tidak bisa netral dan obyektif sebagaimana
idealismenya. Media sangat terikat dan dipengaruhi ideologi pemiliknya. Sehingga media sangat rentan
dijadikan sebagai alat kekuasaan dalam sebuah sistem politik. Di sisi lain media juga harus menguntungkan


secara ekonomi baik untuk biaya operasional media itu sendiri maupun untuk keuntungan para pemilik modal.
Oleh karena itu media dituntut untuk menyesuaikan pada selera pasar agar menarik bagi para pengiklan. Iklan
merupakan salah satu nafas utama bagi sebuah media selain audien atau khalayaknya.
Pemihakan pemberitaan media televisi baik TV One dan Metro TV dalam pilpres 2014 dilakukan
melalui pembentukan opini publik bisa dilihat dari berapa jumlah durasi, jumlah frekuensi, serta kecenderungan
isi pemberitaan televisi yang dirasakan seperti alat propaganda. Televisi TV One, ANTEVE, dan MNC Group
selalu menonjolkan dengan porsi besar pemberitaan Prabowo-Hatta. Menyajikan hal positif dan kelebihan
kandidat Prabowo-Hatta. Sedangkan porsi pemberitaan Jokowi-JK sedikit dan cenderung menyajikan hal
negative dan kelemahan Jokowi-JK. Begitu juga sebaliknya Metro TV, juga selalu menonjolkan dengan porsi
besar pemberitaan Jokowi-JK dan menyajikan hal positif serta kelebihannya. Sedangkan porsi pemberitaan
tentang Prabowo-Hatta sedikit dan cenderung menyajikan hal negatif serta kelemahannya.
Diagram 1. Perbandingan Durasi Pemberitaan TV

Sumber: Data Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Keberpihakan media televisi di atas dapat dianalisis dengan pendekatan ekonomi politik media.
Menurut Goulding dan Murdock (Sarwoprasodjo & Agung, 2008), analisis ekonomi politik media berkaitan
dengan produksi makna sebagai praktek kekuasaan, analisis tekstual, dan konsumsi media. Produksi makna
sebagai praktek kekuasaan nampak pada perkembangan teknologi komunikasi yang telah menggeser status
masyarakat sebagai warga politik menjadi unit konsumsi dalam kampanye politik. Isi berita dan tayangan televisi
Metro TV dan TV One tentang kandidat capres dalam pilpres 2014 telah menunjukkan praktek kekuasaan dalam
mempengaruhi opini publik. Kekuatan-kekuatan politik dalam wujud praktek-praktek kekuasaan dalam
produksi dan distribusi media telah membatasi ruang publik masyarakat dengan pilihan-pilihan informasi yang
tidak berimbang dan netral.
Analisis tekstual berkaitan dengan bentuk-bentuk kebudayaan seperti iklan politik, dialog politik, berita
politik yang merupakan mekanisme media untuk mengatur dan menggiring wacana publik. Wacana yang
dibangun oleh media televisi seperti Metro TV dan TV One yang disampaikan dalam teks memungkinkan
khalayak untuk mengikuti agenda yang dimiliki oleh media tersebut, dimana salah satu angenda media dalam
pilpres 2014 adalah bagaimana khalayak mau memilih kandidat tertentu yang didukung oleh media tersebut.

Terakhir, analisis konsumsi media. Sebagai tanggapan terhadap pandangan khalayak sebagai penonton pasif
media, maka muncul pandangan dan teori bahwa terdapat pandangan tentang kebebasan khalayak dalam
menerima pesan atau makna dari media. Walaupun media partisan dalam pilpres 2014 mencoba membangun
wacana publik tentang kandidat tertentu. Akhirnya kebebasan khalayaklah yang menentukan apakah masyarakat
menerima atau tidak terhadap wacana media dalam produksi berita dan siarannya.
Para pemilik media massa yang berkepentingan dalam pemenangan calon presiden-dan wakil presiden
dalam pilpres yang tergabung dalam koalisi Prabowo-Hatta dan Koalisi Jokowi-JK telah tebar pesona dan
membangun citra dengan memanfaatkan media milik mereka sendiri. Idealnya, sebuah media harus mampu
menjaga objektivitas dan idependensi media melalui tayangannya termasuk iklan politik dan berita politik (Yuli,
2014). Melihat perkembangan media di Indonesia saat ini, teori ekonomi politik media sudah terbukti benar
karena melahirkan para konglomerat media dan para pemilik media massa ini sudah banyak yang menjadi
politisi baik di eksekutif maupun di legislatif.
Dalam perspektif hukum media, media televisi seperti Tv One dan Metro TV telah menyalahi ketentuan
pasal 33 UU No. 30 tahun 1999 tentang pers, yang menyatakan bahwa fungsi pers adalah sebagai media
informasi, media pendidikan, media hiburan serta fungsi kontrol sosial. Namun kenyataannya peran media dalam
pilpres 2014 jauh dari harapan. Kalau di kaitkan dengan fenomena peran media dalam kampanye politik
kandidat tertentu, maka fungsi Pers sebagai media pendidikan dan media pengontrol sosial tampak tidak hadir.
Padahal sudah dinyatakan dalam undang-undang Pers bahwa frekuensi televisi merupakan sumber daya alam
yang terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Ibrahim, 2014). Dinyatakan pula secara tegas dalam pasal 36 butir
4 UU Penyiaran bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan
golongan tertentu.

Kesimpulan
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terjadi polarisasi keberpihakan media dalam kontestansi pilpres
2014. Kekuasaan para pemilik media telah memaksa media massa untuk membangun wacana politik untuk
mempengaruhi opini publik terhadap capres tertentu. Keberpihakan media ini terjadi karena adanya intervensi
pemilik media untuk mengarahkan dan mendukung partai politik atau kandidat tertentu dalam pemilihan
presiden 2014. Kepentingan pemilik media inilah yang menjadikan media massa seperti TV One dan Metro TV
tidak bisa independen dan objektif dalam pemberitaan pilpres 2014, sehingga masyarakat juga yang dirugikan
dengan opini berdasarkan pandangan kedua media tersebut.

Daftar Rujukan
Aminulloh, Akhirul. (2014). Pengaruh Pemberitaan Media Massa Tentang Skandal Korupsi Kader Partai
Demokrat Terhadap Pencitraan Partai Demokrat Menjelang Pemilu 2014. Prociding: Potret Media dalam
Politik Indonesia 2014. Hal. 73-81. Jakarta: FIKOM Universitas Mercu Buana Jakarta
Arianto. (2011). Ekonomi Politik Lembaga Media Komunikasi. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 1 No. 2, Oktober
2011. ISSN: 2088-981X
Armando, Ade. (2014). Ke Mana Objektivitas Media Dalam Pilpres 2014?. Diakses tanggal 9 November 2014
dari http://sp.beritasatu.com/home/ke-mana-objektivitas-media-dalam-pilpres-2014/59572
Brants, Kees., Katrin Voltmer. (2011). Political Communication in Post-modern Democracy: Challenging
Primacy of Politic. London: Palgrave Macmillan.
Budi, Setio. (2004). Industri Televisi Swasta Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik. Jurnal Ilmu
Komunikasi, Vol. 1 No. 1, Juni 2004
Harianjogya.com. (2014). Dua Pemred Akui Tidak Ada Media yang Netral. Diakses tanggal 9 November 2014
dari http://www.harianjogja.com/baca/2014/07/09/pilpres-2014-2-pemred-akui-tidak-ada-media-yangnetral-518122
Haroni, Nanang. (2014). Figur dan Karakter Bakal Calon Presiden RI 2014. Prociding: Potret Media dalam
Politik Indonesia 2014. Hal. 73-81. Jakarta: FIKOM Universitas Mercu Buana Jakarta
Hidayat, Arif. (2014). Menggugat Netralitas Media Massa dalam Pilpres 2014. Diakses tanggal 9 November
2014 dari http://femaline.co/menggugat-netralitas-media-massa-dalam-pilpres-2014/
Ibrahim, Rahmad. (2014). Netralitas Media di Indonesia Terkait Pilpres 2014 dan Tanggung Jawab Hukumnya.
Diakses tanggal 9 November 2014 dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53b1a2c5be4a0/netralitas-media-di-indonesia-terkait-pilpres2014-dan-tanggung-jawab-hukumnya-broleh--rahmad-ibrahim-sh-llmJanet, Wasko. (1997). The Political Economy of Information. Medison: The University of Wisconsin, Press
McQuail, Denis. (1996). Teori Komunikasi Massa; Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit rlangga
Mosco, Vincent. (2000). Political Economy of Communication. London: Sage Publication
Murdoch, Graham & Golding, Peter. (2000). Political Economy of the Media. London: Routledge
Pawito. (2009). Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Kalasutra
Sarwoprasodjo, S. dan Agung. 92008). Perbandingan Pendekatan Ekonomi Politik Media dan Studi Kebudayaan
dalam kajian Komunikasi Massa. Jurnal Komunikasi Pembangunan, Vol. 06, No. 1, Februari 2008.
Yuli, Saskia. (2014). Koalisi Pemilik Media dalam Pilpres 2014. Diakses tanggal 5 November 2014 dari
http://news.detik.com/read/2014/05/21/112917/2588071/103/2/koalisi-pemilik-media-dalam-pilpres2014

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM SITUASI PERTEMUAN ANTAR BUDAYA STUDI DI RUANG TUNGGU TERMINAL PENUMPANG KAPAL LAUT PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA

97 602 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25