MATA KULIAH POLITIK LUAR NEGERI INDONESI

TUGAS PRESENTASI KELOMPOK
“POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
PADA KONFLIK SURIAH: DINAMIKA TAHUN 2010-2013”
TEMA PRESENTASI:
“POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
DI KONFLIK TIMUR TENGAH”
Dosen Pengampu: Bapak Adde Marup Wirasenjaya, S.IP., M.A.

Oleh:
KELOMPOK 5
MATA KULIAH POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA KELAS C

REGINA MAHARANI
GANENDRA WIDIGDYA
PANJI LAZUARDI
BAIQ RHAMDANI FAJRIANTI
DESMAY LOVA MARDA UGI
SANTHY WIDYA ANGGRAENI

20130510005
20130510007

20130510012
20130510049
20130510383
20130510441

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014
0

I.

Perkembangan Konflik Suriah
Suriah modern atau Suriah dengan sistem pemerintahan yang dapat dikatakan lebih

demokratis, berdaulat dan dengan lembaga pemerintahan yang lebih tertata, didirikan atas
mandat Perancis pada tahun 1920 dan mencapai kemerdekaannya pada tahun 1946. Namun
dalam masa-masa kemerdekaan yang relatif muda, Suriah dilanda ketidakstabilan politik dan
serangkaian kudeta dari berbagai kekuatan politik nasional yang ingin berkuasa, hingga pada
akhirnya kekuasaan politik di pemerintahan nasional Suriah diambil alih oleh partai Bath

(Ba’ath). Walaupun begitu, perebutan kekuasaan berlanjut menjadi konflik internal partai
hingga tahun 1970, dan mulai menunjukkan tanda-tanda kestabilan ketika Hafez Al-Assad
mengambil alih posisi kepemimpinan dan membentuk pemerintahan otoriter yang
berlangsung selama lebih dari 30 tahun.
Tindakan Hafez Al-Assad memerintah dengan pendekatan rezim otoriter pada masa
itu, begitu terlembaga hingga dijamin di bawah konstitusi Suriah yang menyatakan bahwa
presiden diberikan hak untuk mengendalikan keadaan darurat dengan menangkap dan
menahan warga negara yang membangkang dan meniadakan kepemilikan hak konstitusional
warga negaranya, sehingga memberikan peluang kepada pemerintahan Hafez Al-Assad
mengarah kepada kekuasaan yang tidak terbatas dalam hal keamanan di dalam negeri.
Pada tahun 2001 setelah didahului dengan meninggalnya Hafez Al-Assad, kekuasaan
beralih kepada putranya, Bashar Al-Assad, yang dilantik menjadi Presiden dan diharapkan
oleh warga negara Suriah untuk dapat menciptakan perubahan dalam kehidupan politik di
Suriah dengan mengakhiri rezim otoriter yang telah dibangun oleh pendahulunya tersebut.
Namun, pemerintahan Bashar gagal memenuhi harapan ini sehingga lebih kurang selama satu
dekade terakhir kepemimpinannya diwarnai oleh berbagai protes dan unjuk rasa.
Gelombang revolusi menuntut pemerintahan demokratis melanda negara-negara Arab
pada pertengahan 2010. Berawal dari penentangan terhadap rezim Ben Ali di Tunisia,
gelombang revolusi ini kemudian berlanjut kepada negara-negara lain di kawasan Timur
Tengah dan Afrika Utara seperti Mesir, Libya, dan Suriah. Khusus untuk Suriah, gelombang

unjuk rasa Arab Spring mulai mencapai titik puncaknya pada Maret 2011, dimana protes
besar-besaran yang terinspirasi oleh rangkaian peristiwa revolusi demokratis di beberapa
negara Arab lain Mesir, Tunisia, dan Libya. Dalam protes ini, rakyat menuntut kebebasan
individu seperti sebagaimana masyarakat yang ada di negara-negara demokratis ala Barat dan
menginginkan Presiden Bashar Al Assad melakukan reformasi politik secara menyeluruh
terutama yang disebabkan oleh pendekatan rezim otoriter selama ini di Suriah.
1

Situasi demonstrasi di Suriah ini, mulai menunjukkan tanda-tanda memburuk setelah
pihak militer Suriah menyerang warga sipil dan mulai melakukan penangkapan pemuda
Suriah di kota Deraa Barat. Kejadian ini menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian
material. Presiden Bashar Al-Assad, menunjukkan pertentangan yang semakin luas terhadap
publik dengan menolak bertanggung jawab atas upaya-upaya penekanan yang dilakukan
pemerintah dan menyalahkan semua kekacauan nasional yang terjadi dengan menuduh
adanya konspirasi antara kelompok teroris bersenjata dan ekstrimis Islam. Bashar Al-Assad
juga menolak akses bantuan kemanusiaan untuk warga sipilnya sendiri, sehingga menjadikan
dampak konflik semakin memburuk. Tindakan aparat militer Suriah yang represif ini,
kemudian menjadi penyulut pada determinasi rakyat Suriah yang semakin masif dalam
melakukan berbagai tindakan unjuk rasa.
Krisis di Suriah juga dilatarbelakangi oleh konstruksi sosial mengenai perbedaan

identitas dan sekte keagamaan dalam Islam yang ada di Suriah, terutama antara kelompok
minoritas Islam Alawit (12%) yang dipeluk oleh suku Kurdi dan kelompok Sunni Ikhwanul
Muslimin (70%) yang menjadi mayoritas. Meskipun mayoritas, kelompok Sunni memiliki
peran yang sangat terbatas dalam pemerintahan yang dikuasai oleh kelompok Alawit melalui
representasi Partai Baath. Kondisi ini pun menjadi pemicu kecemburuan sosial yang
sebenarnya sudah berlangsung lama. Tindakan itu diantara lain adalah, melalui kebijakan
Pemerintah Suriah yang memberikan kewarganegaraan kepada ribuan suku Kurdi dan
menempatkan mereka kepada posisi strategis dalam pemerintahan. Sementara masyarakat
Sunni banyak yang tidak diakui kewarganegaraannya dan tidak diberi kesempatan berpolitik.
Hal tersebut kemudian menjadi salah satu penyebab alternatif mengapa masyarakat Suriah
terus berunjuk rasa di kota Suriah menuntut penggulingan rezim Bashar Al-Assad.
Salah satu alasan lain mengapa krisis di Suriah dapat menjadi perhatian publik
internasional begitu luas, dikarenakan adanya beberapa kebijakan dari Presiden Bashar AlAssad yang melakukan hal-hal sistematis dalam menekan masyarakat Suriah yang melakukan
perlawanan melalui pembatasan terhadap akses bantuan kamnusiaan bersama dengan sekutusekutunya di kawasan. Banyak dari warga Suriah, terutama dari kelompok perlawanan
kemudian mengungsi ke Turki untuk mencari perlindungan dari tekanan aparatur pemerintah.
Namun pilihan tersebut ternyata sebuah pilihan yang salah, dikarenakan posisi pemerintah
Turki yang lebih cenderung pro terhadap pemerintahan Suriah oleh Bashar Al-Assad
sehingga para pengungsi mengalami tekanan secara politis. Hal ini menyebabkan warga sipil
2


terutama pengungsi politik di Suriah harus menghadapi beban berat dalam upaya bertahan
hidup, termasuk masalah-masalah mendasar seperti kekurangan bahan makanan, krisis air
bersih, dan ketiadaan pelayanan kesehatan. Berbagai tindakan spesifik pemerintahan Bashar
Al-Assad yang menutup akses bagi masuknya bantuan internasional melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) ataupun organisasi internasional lainnya semakin memperburuk
keadaan hingga muncul tekanan masyarakat internasional yang menilai Bashar dan
pemerintahannya melakukan pelanggaran kemanusiaan.
Krisis semakin berdampak secara sosial kemasyarakatan dengan tingginya gelombang
arus pengungsi yang mencari suaka dengan melarikan diri ke negara-negara tetangga Suriah.
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees;
UNHCR) melaporkan bahwa hingga Februari 2014, hampir 642.000 orang telah mengungsi
ke Turki, lebih dari 584.000 ke Yordania, 135.000 orang ke Mesir, 226.000 ke Irak, dan
962.000 lainnya ke Lebanon. Situasi ini diperburuk dengan kondisi yang harus dihadapi oleh
para pengungsi terutama bagi yang hidup di tengah-tengah kondisi alam dan kehidupan yang
ekstrim di tenda-tenda pengungsian. Negara-negara tujuan pengungsi ini juga telah
menyatakan ketidaksenangannya dengan arus pengungsi yang tinggi karena diyakini
merugikan negara. Di Lebanon, misalnya, kuantitas dan kualitas rumah sakit tidak terpenuhi
sementara tarif listrik serta sistem trasnportasi dan harga kebutuhan pokok semakin
meningkat akibat konflik yang berkepanjangan di wilayah semenanjung. Masalah
pengungsian ini pun kemudian memicu munculnya kembali ketegangan etnis dan agama di

Lebanon akibat pandangan yang berbeda ditambah dengan kondisi yang buruk antara
kelompok Sunni dan Syiah serta antara pendukung dan penentang rezim Bashar Al-Assad.
Akibatnya, banyak pengungsi dari Suriah terlantar tanpa menerima bantuan apapun.
Perkembangan lain dari krisis ini adalah terjadinya tindakan-tindakan yang mengarah
kepada munculnya gerakan-gerakan penentang bersenjata yang ditandai dengan munculnya
berbagai organisasi oposisi dengan misi utama menuntut diakhirinya rezim pemerintahan
Bashar Al-Assad. Kelompok-kelompok oposisi ini diantaranya: Majelis Nasional Suriah
(Syria National Council; SNC), Badan Koordinasi Nasional untuk Perubahan yang
Demokratis (National Coordination Body for Democratic Change; NCB), dan Tentara
Pembebasan Suriah (Free Syrian Army; FSA). Organisasi oposisi ini, mulai menunjukkan
keseriusan perjuangannya ketika pada bulan Agustus 2011, FSA mulai menyerang tentara
nasional Suriah dengan skala yang besar sehingga mentransformasi konflik dari sekedar
unjuk rasa menjadi kekerasan untuk menggulingkan rezim Bashar Al-Assad dengan harapan
3

mereka, dapat mengakhiri tindakan-tindakan represif terhadap warga sipil dilakukan secara
lebih luas oleh Pemerintahan Suriah.
Pertempuran intensif dengan pemerintah menggunakan kekuatan militer terus
berlangsung. Pada Februari 2012, pemerintah mengerahkan pasukan tank untuk menyerang
kota Deraa dan Homs. Kelompok pemberontak kemudian membalas dengan serangan roket

dan artileri. Konflik pun kemudian mencapai ibukota Damaskus dan Aleppo dengan korban
tewas lebih dari 80.000 orang. Bahkan menurut laporan intelijen Amerika Serikat, pada 21
Agustus 2013, krisis di Suriah memasuki tahapan baru dengan munculnya kemungkinan
penggunaan senjata kimia oleh militer pendukung Bashar Al-Ashad dengan korban tewas
lebih dari 1.400 orang.
Di dalam negeri, situasi tak kalah buruk. Kondisi ekonomi mengalami degradasi
drastis dengan tingkat pengangguran yang tinggi, peningkatan inflasi jauh dari ambang batas,
peningkatan angka kemiskinan, dan kenaikan harga kebutuhan pokok secara ekstrim adalah
beberapa di antaranya. Dari masyarakat internasional, tak banyak bantuan yang berarti
mengalir selain dijatuhkannya sanksi ekonomi dan pemblokiran akses bisnis, terutama
pariwisata dan minyak bumi serta pertanian dan perdagangan oleh organisasi internasional
seperti Liga Arab dan Uni Eropa serta Amerika Serikat dan Turki di waktu bersamaan untuk
menekan pemerintah Suriah agar segera mengakhiri konflik.
Pemerintahan rezim Bashar Al-Assad di Suriah terus mendapat kecaman dunia karena
aksi kekerasan terhadap warga negaranya sendiri yang telah menewaskan lebih dari 90.000
jiwa. Oleh sebab itu negara-negara Barat dan Arab dan juga Israel mendesak agar Presiden
Bashar Al-Assad mengundurkan diri sebagai langkah awal menuju perdamaian. Presiden
Bashar

Al-Assad


menolak

desakan

tersebut

dan

bahkan

menyampaikan

bahwa

pemerintahannya akan memberikan perlawanan terhadap Israel yang dianggapnya telah
mencampuri urusan internal nasional Suriah dan terindikasi menjadi kekuatan utama yang
mendukung perlawanan bersenjata di Suriah sebagai balas dendam atas kebijakan politik
pemerintahan Suriah yang mendukung pemerintahan Hizbollah di Libanon. Adanya
kemungkinan konflik baru antara Suriah–Israel ini memicu potensi bahanya sendiri bagi

stabilitas keamanan Timur Tengah.

4

II. Internasionalisasi Konflik Suriah
Dengan berbagai dinamika yang berkembang pada konflik yang dialami oleh negara
Suriah, konflik Suriah tidak lagi menjadi persoalan domestik Suriah semata, tetapi telah
melebar ke negara-negara tetangga dan menjadi ancaman bagi keamanan internasional.
Menurut berbagai penelitian, potensi perluasan konflik Suriah sangat terbuka karena posisi
negara tersebut di episentrum pertarungan politik kawasan. Saat ini ada tiga konflik
bersinggungan dengan krisis Suriah, yakni konflik Arab–Israel, konflik internal Lebanon, dan
isu nuklir Iran.
Salah satu upaya negosiasi internasional utama yang dilakukan masyarakat
internasional terhadap konflik di Suriah adalah melalui penyelenggaraan Konferensi Jenewa
II atas prakarsa AS dan Rusia. Dalam konferensi tersebut kedua pihak bersengketa
diharapkan dapat duduk bersama membentuk sebuah pemerintah transisi dengan wewenang
eksekutif penuh. Namun, pada Konferensi Jenewa II tersebut masih muncul berbagai
perbedaan kepentingan pihak-pihak yang terkait dalam konflik ini. Isu utama yang
menghambat proses tersebut adalah pro-kontra pengiriman senjata ke Suriah yang ternyata
melibatkan kepentingan banyak negara. Kondisi konflik Suriah juga dirasakan semakin

memprihatinkan setelah Pemerintah Suriah diduga menggunakan senjata gas kimia beracun
untuk menumpas gerakan oposisi. Penggunaan senjata kimia oleh pasukan Suriah sulit
terdeteksi karena relatif tidak meninggalkan jejak seperti bau dan warna serta memerlukan
pembuktian yang sangat ilmiah atas tindakan tersebut.
Internasionalisasi konflik Suriah juga didorong oleh sebab kemanusiaan, karena
diperkirakan akan ada tiga juta lebih pengungsi Suriah ke negara-negara tetangga seperti
Lebanon, Yordania, Turki dan Irak hingga akhir tahun 2013. Badan PBB yang menangani
pengungsi -UNHCR- telah meminta negara-negara Eropa untuk menerima penempatan lebih
dari satu juta pengungsi Suriah di negaranya, namun belum mendapat tanggapan.
Melalui Konferensi Perdamaian Jenewa II, tindakan yang lebih ekstrem dilakukan
oleh Uni Eropa (UE) dengan melakukan pemihakan secara jelas dan konkrit dalam konflik
Suriah. UE sepakat untuk mengizinkan pengiriman senjata membantu kelompok oposisi
Suriah. Keputusan ini diambil setelah negara-negara anggota UE melalui parlemen
supranasional di Strasbourg gagal untuk memperbaharui embargo senjata ke Suriah. UE
menilai pengiriman senjata kepada oposisi akan mendorong Pemerintahan Bashar Al-Assad
untuk mau memulai perundingan penyelesaian konflik. Hal ini sekaligus sebagai peringatan
kepada rezim Bashar Al-Assad bahwa UE siap membantu pejuang oposisi untuk
5

menyeimbangkan kekuatan persenjataan. Pengiriman senjata akan dilakukan UE dengan

catatan, yaitu hanya akan dilakukan setelah memberikan kesempatan proses perdamaian yang
digagas oleh AS dan Rusia terlaksana terlebih dahulu. Pencabutan embargo senjata terhadap
Suriah tidak disertai dengan pencabutan paket sanksi UE kepada rezim Bashar Al-Assad.
Sanksi lain di luar embargo senjata, termasuk pembekuan aset keluarga Bashar Al-Assad dan
kolega utamanya, serta pembatasan perdagangan dalam transaksi minyak dan keuangan tetap
diberlakukan.
Sementara itu, posisi Amerika Serikat (AS) pada konflik Suriah ditunjukkan dengan
dukungan AS terhadap keputusan UE untuk memberikan bantuan senjata kepada oposisi
Suriah. Pemerintah AS telah menegaskan penggunaan senjata kimia oleh rezim Bashar AlAssad kepada terhadap oposisi melanggar garis batas kemanusiaan sehingga dapat menjadi
alasan untuk intervensi internasional. Namun posisi AS sebenarnya dalam konflik Suriah
cukup dilematis, karena AS selama ini memutuskan untuk tidak mengirimkan bantuan senjata
canggih kepada pihak oposisi Suriah karena salah satu kelompok oposisi Suriah yakni AlNusra berafiliasi dengan jaringan Al-Qaidah. Namun kebijakan baru Rusia, intervensi milisi
Hizbullah dan posisi terdesak oposisi telah mengubah keputusan tersebut dan siap
mengirimkan bantuan senjata kepada pihak oposisi Suriah walaupun menurut beberapa
sumber peran AS di konflik Suriah tidak semenonjol peran UE.
Rusia yang merupakan sekutu Pemerintahan Bashar Al-Assad menilai pencabutan
embargo akan mengganggu prospek perdamaian yang telah dibangun melalui Konferensi
Jenewa II. Rusia membuat „aksi tanding‟ dengan berkomitmen mengirimkan sistem rudal
antipesawat S-300 kepada Pemerintahan Al-Assad sebagai faktor penyeimbang dan pencegah
intervensi asing di Suriah. Sistem rudal anti-pesawat S-300 adalah sistem rudal darat ke udara
yang setara dengan rudal Patriot milik AS. Rudal ini dirancang Rusia untuk mencegat
pesawat atau rudal-rudal lain yang telah digelar Aliansi Militer NATO di perbatasan TurkiSuriah. Rusia sebenarnya telah memiliki kontrak pembelian senjata dengan Suriah yang
disepakati tahun 2010 tersebut dengan nilai US$1 miliar, namun hanya terjadi masalah teknis
pengiriman senjata tersebut karena munculnya konflik Suriah.
Sementara itu, upaya menekan Pemerintahan Bashar Al-Assad dalam forum Dewan
Keamanan (DK) PBB selalu mendapat tentangan dan veto dari Rusia dan China. Masalah
Suriah merusak hubungan baik Uni Eropa dengan Rusia, dan menjadi sumber perselisihan
pendapat kedua pihak. Hubungan bilateral kedua pihak saat ini dapat menjadi dikatakan yang
terburuk semenjak era pasca-Soviet.
6

Terlibatnya dukungan Rusia pada konflik ini, memicu terlibatnya aktor baru yaitu
Israel. Israel merasa sangat terancam dengan keputusan Rusia untuk mengirim sistem peluru
kendali canggih ke Suriah. Israel menjadi seteru Pemerintahan Bashar Al-Assad yang
ditengarai memasok senjata kepada kelompok militan Hizbullah di Lebanon, yang selama ini
gencar melakukan perlawanan terhadap Israel. Bahkan dalam berbagai kesempatan,
pemerintahan Bashar Al-Assad menegaskan Suriah dan Hizbullah berada dalam satu barisan.
Milisi Dukungan Hizbollah dilakukan secara nyata dalam konflik Suriah dengan diperkirakan
adanya pengiriman 3000–4000 orang milisi untuk membantu pasukan rezim Bashar Al-Assad
untuk melawan oposisi. Sejak meletusnya perang saudara di Suriah Maret 2011, setidaknya
telah tiga kali Israel menggempur sejumlah lokasi di Suriah yang dicurigai sebagai lokasi
penyimpanan senjata untuk Hizbullah. Keterlibatan Hizbullah dalam konflik ini
memperdalam keretakan Suni dan Syiah di wilayah ini dan menimbulkan potensi konflik
baru. Keberadaan milisi Hizbullah berada di sepanjang perbatasan Suriah-Libanon juga
menjadi sumber masalah baik bagi Libanon maupun Suriah. Perbatasan Libanon–Suriah
kerap digunakan kelompok oposisi Suriah untuk menyelundupkan senjata guna melawan
Pemerintahan Bashar Al-Assad. Pihak militer Suriah telah mengancam akan memindahkan
peperangan Suriah ke Libanon sebagai reaksi kegiatan tersebut jika milis Hizbollah tidak
benar-benar mampu secara efektif melakukan pengawalan di perbatasan. Sementara di sisi
lain, dalam berbagai laporan intelijen diperkirakan terdapat 100.000 milisi asing diduga
masuk ke Suriah atas bantuan Turki (yang telah berganti haluan politik luar negeri dengan
kontra terhadap pemerintahan rezim Bashar Al-Assad), Arab Saudi dan Qatar untuk
membantu pasukan oposisi.
Namun terkait dengan peran negara-negara lain dalam konflik Suriah ternyata
memiliki hambatan yang sama seperti penanganan sebuah konflik secara multilateral lainnya,
yaitu terkait adanya potensi pembenturan terhadap prinsip penghormatan terhadap kedaulatan
Suriah sebagai negara merdeka dalam mengatur dirinya sendiri. Beberapa negara
internasional lantas mengambil “celah” untuk dapat melakukan intervensi dengan berupaya
membuktikan telah terjadinya pelanggaran kemanusiaan berat sehingga bisa dilakukan
intervensi dengan alasan kewajiban untuk melindungi kemanusiaan atau dikenal sebagai
norma responsibility to protect (R2P). Norma responsibility to protect juga sebenarnya
memiliki fungsi yang substansial dalam penanganan krisis ini. Bagi negara-negara lain yang
ingin melakukan intervensi untuk mengakhiri krisis ini secepat mungkin, maka norma ini
adalah kesempatan terbaik yang ada. Terlebih karena selama berlangsungnya krisis, terdapat
7

banyak bukti yang mengarah pada telah terjadinya pelanggaran kemanusiaan oleh pemerintah
Assad; di antaranya adalah kekerasan militer terhadap warga sipil, penutupan akses bantuan
internasional, serta tidak disediakannya pelayanan kesehatan serta pusat pengungsian yang
tidak layak bagi korban konflik dan kekerasan dimana terdapat indikasi bahwa tindakantindakan tersebut dengan sengja dan sistematis dilakukan oleh Pemerintahan Suriah untuk
menekan perlawanan kelompok oposisi. Bahkan oleh karena alasan kemanusiaan itu,
berbagai negara Barat memutuskan untuk memberikan sanksi terhadap Suriah dengan
mengusir para diplomat Suriah dari negara mereka. Suriah pun membalas dengan melakukan
tindakan yang sama: mengusir duta besar beserta staf kedutaan dari 17 negara yang mayoritas
adalah negara Barat. Terlihat bagaimana konflik Suriah telah berekskalasi dari konflik yang
bertataran nasional menjadi konflik yang berkapasitas internasional.

III. Perkembangan Hubungan Diplomatik Indonesia-Suriah
Hubungan diplomatik atau diplomatic relations secara umum sering diartikan sebagai
hubungan antara dua negara yang mengirimkan perwakilan atau diplomatnya untuk bekerja
di negara satu dan negara lainnya Dengan kata lain, antara negara satu dan negara lainnya
masing-masing mengirimkan perwakilan negara mereka di negara lainnya untuk dapat
memudahkan terjalinnya hubungan kedua negara. Hal yang sama terjadi dengan hubungan
diplomatic antara Indonesia dan Suriah. Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Suriah
telah berjalan sejak awal diakuinya kemerdekaan Indonesia. Jika dilihat dari segi historis
dalam aspek politik, Suriah merupakan salah satu dari beberapa negara Arab yang pertama
kali memberikan pengakuan kemerdekaan Indonesia dan melalui perwakilan tetap di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Suriah juga memperjuangkan penyelesaian konflik
antara Indonesia dan Belanda dalam permasalahan agresi militer Belanda di Indonesia untuk
menjadi pembahasan dalam Dewan Keamanan PBB yang berhasil diselesaikan melalui cara
damai yaitu perundingan dan dianggap sebagai kemenangan Indonesia dengan terciptanya
Perjanjian New York.
Selain itu, antara Indonesia dan Suriah juga memiliki hubungan persaudaraan yang
kuat di mana keduanya menjadi anggota dalam forum internasional seperti Non-Align
Movement (Gerakan Nonblok; GNB), dan Islamic Organization Conference (Organisasi

Konferensi Islam; OKI), selain keanggotaan bersama di forum PBB, serta keduanya saling
mengupayakan dukungan terhadap pencalonan masing-masing negara di dalam keanggotaan
8

badan-badan internasional. Indonesia dan Suriah juga pernah bersepakat untuk saling
mendukung dalam pencalonan kedua negara sebagai anggota tidak tetap Dewan Hak Asasi
Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa; menunjukkan persahabatan yang bukan sekadar
normatif semata. Perjanjian utama yang menandai hubungan kedua negara ini adalah
Perjanjian Persahabatan antara Republik Indonesia dan Republik Arab Suriah (Treaty of
Friendship between the Republic of Indonesia and the Syrian Arab Republic ) yang

ditandatangani pada tanggal 2 Juli 1947 bertempat di Damaskus, Suriah.
Sementara itu jika dilihat dalam aspek relasi ekonomi, secara keseluruhan hubungan
antara Indonesia-Suriah di berbagai bidang ekonomi baik dalam sektor perdagangan maupun
pariwisata juga mengalami perkembangan yang cukup baik. Tahapan baru hubungan
diplomatik pada era terkini antara Indonesia dan Suriah dimulai sejak tahun 1976 dimana
Indonesia-Suriah telah menetapkan beberapa perjanjian untuk semakin mengharmoniskan
hubungan keduanya, diantaranya:

 Pada 18 Maret 1976, ditandatangani perjanjian dan protokol mengenai pertukaran barang
antara kedua negara (Trade Agreement between the Government of the Republic of
Indonesia and the Government of the Syrian Arab Republic and Protocol on the Exchange
of Goods);

 Pada 27 Juni 1997, ditandatangani kesepakatan investasi antara kedua negara (Agreement
Between the Government of the Republic of Indonesia and Syrian Arab Republic
Concerning the Promotion and Protection of Investments);

 Pada 17 September 1997, ditandatangani perjanjian untuk menghindari pajak berganda
dan pengelakan pajak antara kedua negara (Agreement between the Governmet of the
Repubic Indonesia and Syrian Arab Republic for the Avoidance of Double Taxation and
the Prevention of Fiscal Evasion with the Respect to Taxes on Income); dan

 Paling terakhir pada Februari 2007, ditandatangani perjanjian kerja sama ekonomi, ilmu
pengetahuan, dan teknis antara kedua negara (Agreement between the Government of the
Republic of Indonesia and the Government of Syrian Arab Republic on Economic,
Scientific, and Technical Cooperation).

Sebenarnya hingga pada tahun 2009, hubungan kedua negara terus meningkat ketika
Perdana Menteri Suriah melakukan kunjungan ke Indonesia untuk menemui Presiden
Republik Indonesia dalam rangka negara memperluas hubungan kerjasama ekonomi kedua
negara di bidang-bidang seperti investasi, perdagangan, pertanian dan pangan, serta
kerjasama energi.
9

Di sisi lain, dalam aspek sosial dan budaya hubungan kedua negara dapat dikatakan
sangat baik karena keduanya memiliki latar belakang yang sama yaitu termasuk kedalam
negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, sehingga memudahkan keduanya
untuk melakukan berbagai kesepakatan, diantaranya:

 Pada 8 Juli 1965, deklarasi bersama setelah pertemuan perwakilan kedua negara (Joint
Declaration on the Visit the First Deputy Premier and Minister for Foreign Affairs of the
Republic of Indonesia to the Syrian Arab Republic);

 Pada 27 Juni 1997, perjanjian pertukaran budaya melalui programprogram pemerintah
(Arrangement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government
of the Syrian Arab Republic Regarding Cultural Exchange Program for the Years 1997,
1998 and 1999);

 Pada 17 Januari 2001, perjanjian pertukaran budaya melalui program-program eksekutif
(Arrangement for the Executive Program Between the Government of the Republic of
Indonesia and the Government of the Syrian Arab Republic Regarding Cultural Exchange
Program for the Years 2001, 2002 and 2003);

Di samping pertukaran budaya, antara kedua negara dilakukan melalui bidang
pendidikan melalui pertukaran pelajar yang sedang diinisiai berdasarkan Draft Memorandum
of Understanding between the Ministry of Higher Education in the Syrian Arab Republic and
the Ministry of Education in the Republic of Indonesia . Dalam perjanjian tersebut nantinya,

Suriah akan memberikan beasiswa untuk program sarjana bagi 2 hingga 4 mahasiswa dan
pihak Indonesia memberikan beasiswa untuk program pascasarjana bagi 2 hingga 4
mahasiswa setiap tahunnya.
Secara keseluruhan, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Suriah berjalan
dengan baik karena dilandasi dengan faktor sejarah dan kesamaan latar belakang yaitu
sebagai salah satu negara dengan berpenduduk muslim terbesar di dunia, sehingga hubungan
mereka cenderung kuat, erat dan bersahabat. Hal ini semakin diperkuat dengan intensitas
saling kunjung yang cukup baik antara pejabat tinggi kedua negara atau perwakilan dari
kedua negara, serta dengan dibangunnya kedutaan besar Indonesia di Suriah serta kantor
perwakilan usaha Suriah di Indonesia sehingga memudahkan kedua negara untuk mempererat
hubungan kerjasama antarkedua negara. Akan tetapi, semenjak meletusnya konflik Suriah
pada akhir 2011 hubungan kedua negara relatif tidak ada perkembangan dan berbagai
kerjasama ditangguhkan mengingat situasi di Suriah yang belum dapat dikatakan kondusif
hingga saat ini.
10

IV. Kontribusi Indonesia Dalam Konflik Suriah
Indonesia, sebagai negara yang mengkategorikan dirinya aktif dalam menjaga
perdamaian dunia, dalam berbagai kesempatan mengecam kekerasan yang dilakukan pada
masyarakat sipil dan mendukung upaya PBB untuk mencari solusi damai di Suriah. Sehingga
Indonesia pada awalnya menarik duta besar Indonesia di Suriah dengan tujuan sebagai bentuk
kecaman terhadap aksi kekerasan yang terus berlangsung di negara tersebut. Akan tetapi,
dengan didasarkan pada hubungan baik yang dimiliki kedua negara sebelum terjadi konflik
ini, Indonesia kembali mengirim duta besar ke Suriah dengan pemikiran bahwa ketika situasi
terus memburuk maka satu-satunya jalan untuk mencoba mencari solusi damai untuk Suriah
adalah dengan tetap menjalin komunikasi antara kedua negara, serta dengan dilandasi
hubungan bersahabat dan rasa

persaudaraan yang selama ini terjalin Indonesia ingin

menunjukkan keprihatinannya atas konflik yang terjadi di Suriah. Keprihatinan Indonesia ini
ditunjukkan dengan memanggil Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia, Basam Al-Khatib.
Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan diplomatik Indonesia dan Suriah tetap
dipertahankan dengan baik, karena walaupun Suriah tengah mengalami konflik yang
mendapat kecaman dari dunia internasional, Indonesia tetap menjalin hubungan diplomatik
dengan Suriah. Indonesia, sebagai negara yang memiliki kedekatan hubungan dengan Suriah,
dapat menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi melalui berbagai cara-cara diplomasi
dan rekonsiliasi damai.
Perlu diingat fakta bahwa, Indonesia merupakan negara mayoritas muslim terbesar
yang posisinya tersebut menyebabkan Indonesia memiliki posisi yang unik dalam berbagai
konflik internasional yang terkait dengan agama Islam. Sebagai negara yang memiliki
hubungan diplomatik yang baik dengan semua pihak yang terkait dalam masalah ini,
Indonesia semestinya bisa berperan dan lebih bisa diterima dalam mengupayakan perdamaian
di Suriah. Pada dasarnya dalam berbagai pernyataan politik Menteri Luar Negeri terhadap
konflik Suriah, Indonesia berprinsip kekerasaan dan tragedi kemanusiaan harus segera
dihentikan, diikuti transisi politik sesuai dengan keinginan masyarakat Suriah sendiri. Dengan
prinsip tersebut, Indonesia abstain dalam resolusi PBB yang mengakui pembentukan
National Coalition di Suriah. Selain itu, Indonesia menunjukan kepedulian dalam konflik

Suriah dengan menjadi bagian dari misi pemantau PBB dalam konflik Suriah.
Sehingga apabila diambil sebuah pengelompokan umum, dalam menanggapi situasi
krisis di Suriah yang telah berlangsung sejak tahun 2012 pemerintah Indonesia berperan

11

dengan menghasilkan beberapa kebijakan luar negeri yang dapat dibagi ke dalam empat garis
besar, yaitu:


Pertama , Indonesia memilih untuk abstain dalam dalam resolusi PBB yang mengakui

pembentukan koalisi nasional (National Coalition) sebagai sebuah bentuk pemerintahan
transisi, dikarenakan Indonesia percaya bahwa penentuan nasib masyarakat di Suriah


harus dilakukan oleh rakyat Suriah sendiri dan bukan oleh masyarakat internasional;
Kedua , Indonesia membantu penghentian kekerasan di Suriah melalui PBB. Indonesia

menjadi salah satu dari sejumlah negara yang diminta PBB untuk mengirimkan tim
pemantau ke Suriah. Saat ini ada 16 perwira Indonesia baik dari kepolisian dan TNI yang


bertugas sebagai tim pemantau di Suriah.
Ketiga , Indonesia pernah memanggil duta besar Indonesia untuk Suriah agar pulang ke

Jakarta. Hal tersebut dilakukan sebagai sikap kecaman Indonesia terhadap krisis
kemanusiaan yang terjadi di Suriah. Tetapi, kemudian Indonesia mengirim kembali duta
besarnya beserta pengiriman 16 orang tim pemantau Indonesia. Indonesia juga
memanggil kuasa usaha Suriah untuk Indonesia, Basam al-Khatib terkait tragedi


kemanusiaan di Houla.
Keempat, Indonesia mempertahankan hubungan diplomasi dengan Suriah, dengan

mempertimbangkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang mencapai 80.000 orang yang
berdomisili di Suriah.
Di samping itu, dalam pernyataan resminya di Konferensi Internasional Jenewa II, Menteri
Luar Negeri Republik Indonesia, Marty Natalegawa menegaskan kembali posisi dan
determinasi Indonesia bahwa:


Konflik Suriah tidak dapat diselesaikan secara kekerasan oleh militer, namun melalui
jalan damai dengan mengadakan perundingan untuk menghasilkan kesepakatan berupa




solusi politik yang komprehensif dan inklusif bagi seluruh pihak yang berkonflik.
Prioritas kunci adalah menghentikan kekerasan bersenjata terhadap warga sipil karena
telah menjadi tragedi yang melukai nilai-nilai kemanusiaan di Suriah.
Pemerintah Suriah harus membuka akses dan menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi
warga sipil yang terkena dampak konflik sehingga harus meninggalkan kediaman dan
menjadi pengungsi, baik di dalam maupun di luar negeri.

12

REFERENSI
Antara (2012) Indonesia Urges All Parties in Syria to End Violence. Antara News. Tersedia
di: http://antaranews.com/en/news/80134/indonesiaurges-all-parties-in-syria-to-end
violence (diakses 3 November 2014).
Armandhanu, Denny (2014) Rusia: Peran Indonesia Penting Bagi Perdamaian Suriah. Viva
News. Tersedia di: http://dunia.news.viva.co.id/news/read/480112-rusia--peran

indonesia penting-bagi-perdamaian-suriah (diakses 3 November 2014).
Dockal, Ondrej (2012) Current Crisis in Syiria. NATO Background Report. New York:
Association for International Affairs for the XVIII Year of Prague Student Summit.
Euronews (2013) Syrian Conflict: The Background and the Current Situation on the Ground.
Euronews. Tersedia di: http://www.euronews.com/2013/06/13/all-you-need-to-know

about the-syrian-conflict (diakses 3 November 2014).
Kementerian Luar Negeri (2008) Suriah. Kementerian Luar Negeri Indonesia . Tersedia di:
http://www.kemlu.go.id/Daftar%20Perjanjian%20Internasional/suriah.htm (diakses 3
November 2014).
Kementerian Luar Negeri (2009a) Politik. Kementerian Luar Negeri Indonesia . Tersedia di:
http://www.kemlu.go.id/damascus/Pages/Divisions.aspx?IDP=1&l=id (diakses 3
November 2014).
Kementerian Luar Negeri (2009b). Ekonomi. Kementerian Luar Negeri Indonesia . Tersedia
di: http://www.kemlu.go.id/damascus/Pages/Divisions.aspx?IDP=2&l=id (diakses 3
November 2014).
Kementerian Luar Negeri (2009c) Penerangan, Sosial dan Budaya. Kementerian Luar Negeri
Indonesia . Tersedia di:http://kemlu.go.id/damascus/pages/divisions.aspx?IDP=4&l=id

(diakses 3 November 2014).
Lunes (2011) Middle East: The Crisis in Syria. Consejo Dominicano de Relaciones
Internacionales. Tersedia di: http://cdri.funglode.org.do/index.php?option=com

_content&view=article&id=403:middle-east-syriacrisis&catid=231:observatorio-decrisis-internacionales&Itemid=104 (diakses 3 November 2014).
Pujayanti, Adirini (2013) Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Krisis Suriah. Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Vol. IV (11).

Pujayanti, Adirini (2013) Internasionalisasi Konflik Suriah dan Peran Indonesia. Pusat
Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Vol. V (2).

Security Council (2005) The Crisis in Syria. International Coalition for the Responsibility to
13

Protect. Tersedia di: http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php/crises/crisis-in

syria (diakses 3 November 2014).
United to End Genocide (2014) Syria Backgrounder. United to End Genocide. Tersedia di:
http://endgenocide.org/conflict-areas/syria/syria-backgrounder (diakses 3 November
2014).

14