T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penetapan Harga dan Penguasaan Pasar dalam Pelanggaran Kartel: Studi Atas Putusan Perkara Nomor 08KPPU I2014 dan Putusan Perkara Nomor 10KPPUI2015 T1 BAB II

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI

A. Kajian Kepustakaan

1. Penetapan Harga dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia

1.1 Pengertian Penetapan Harga

  Penetapan harga adalah sebuah perilaku yang sangat terlarang dalam perkembangan pengaturan persaingan. Hal ini disebabkan penetapan harga selalu menghasilkan harga yang senantiasa berada jauh di atas harga yang bisa dicapai melalaui persaingan usaha yang sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan terjadinya kerugian bagi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana diketahui, penetapan harga bersama-sama akan menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya

  penawaran dan permintaan. 1

  Dalam perkembangan penanganan perkara penetapan harga (price fixing) di berbagai belahan dunia, berkembang upaya pembuktian keberadaan perilaku tersebut, tidak hanya melalui bukti-bukti langsung (hard evidence), tetapi juga dikembangkan pembuktian- pembuktian lain melalui bukti-bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Hal ini terjadi, karena bukti langsung menjadi semakin sulit ditemukan karena keberadaan lembaga pengawas persaingan telah menjadi faktor yang diperhitungkan sehingga hal-hal yang berkaitan dengan bukti langsung telah dihindari oleh pelaku usaha. Tetapi bagaimanapun, penggunaan bukti-bukti tidak langsung harus tetap dilakukan dalam bingkai pembuktian

  sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999. 2

  1 Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hlm 43

  2 Draf pedoman pasal 5 tentang penetapan harga UU NO. 51999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

  Undang-Undang NO. 5 Tahun 1999 melarang adanya Penetapan Harga yang dilakukan oleh para pelaku usaha di Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu: (1)”pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama” (2)”ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :

  a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau;

  b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku”. 3

  Penetapan harga bukan hanya terjadi karena faktor produksi, namun dapat juga terjadi atau berasal dari lokasi penjualan, besarnya pasar, keunikan dari suatu produk, merek barang tersebut, pemegang hak paten, dan cara penjualan. Faktor- faktor tersebut

  mempengaruhi penentuan suatu harga dari produk yang dipasarkan. 4 Terdapat dua pihak yang selalu terlibat dalam setiap transaksi di suatu pasar, yaitu penjual dan pembeli, atau

  produsen dan konsumen.

  Terjadinya harga adalah tergantung dari kekuatan relatif yang dimiliki kedua belah pihak. Kekuatan tersebut tergantung atau dibatasi oleh tiga bentuk persaingan yang mempengaruhi terjadinya suatu harga, yakni:

  a. Persaingan antar konsumen, muncul sebagai akibat dari terbatasnya jumlah barang atau jasa yang dapat ditawarkan oleh pasar. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan konsumen untuk melakukan penawaran. Jika terdapat keterbatasan jumlah barang atau jasa yang ditawarkan, konsumen akan berusaha dan bersaing dengan konsumen lain untuk memenuhi segala kebutuhannya. Konsumen yang dapat membayar

  3 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, pasal 5

  4 Marshall C. Howard, Legal Aspect Marketing, (Massachusets: McGraw-Hill, Inc, 1964), hal.23.

  lebih tinggi dari konsumen yang lain akan mendapatkan barang atau jasa yang diinginkannya.

  b. Persaingan antar produsen, muncul ketika terdapat lebih dari satu produsen untuk suatu komoditi tertentu pada suatu pasar. Dengan asumsi terdapat jumlah konsumen yang terbatas untuk komoditi yang ditawarkan, maka produsen akan bersaing dengan produsen lainnya baik dalam kualitas maupun dalam harga untuk merebut konsumen yang ada. Persaingan antar produsen mengakibatkan naiknya posisi tawar konsumen.

  c. Persaingan antara konsumen dengan produsen, muncul sebagai akibat dari adanya perbedaan kepentingan antara konsumen dengan produsen. Konsumen selalu berusaha mendapatkan harga yang serendah mungkin dengan kualitas bagus, sedangkan produsen berusaha memperoleh harga yang tinggi semaksimal mungkin agar mendapatkan

  untung. 5

  Penetapan harga (price fixing) yang bisa terjadi secara fertikal maupun horizontal dianggap sebagai hambatan perdagangan (restraint of prade) karena membawa akibat buruk

  terhadap persaingan harga (price competition). 6 Jika price fixing dilakukan, kebebasa

  menentukan harga secara independen menjadi berkurang. Penetapan harga (price fixing) dibagi menjadi dua, yaitu:

  a. Price fixing horizontal (horizontal price fixing)

  Price fixing secara horizontal (horizontal price fixing) terjadi apabila lebih dari satu perusahaan yang berada pada tahap produksi yang sama, dengan demikian sebenarnya saling merupakan pesaing, menetukan harga jual produk mereka dalam tingkat yang sama.

  b. Price fixing vertikal (vertical price fixing)

  5 Asri Ernawati, “Penetapan Harga dalam Perspektif Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Studi Kasus Penetapan Tarif Bus Kota Patas AC di

  Wilayah DKI Jakarta”, (Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2004), hal 22-23 6 Arie Siswanto, 2002, hukum Persaingan Usaha, Jakarta : Ghalia Indonesia, h 39

  Price fixing vertikal (vertical price fixing) terjadi apabila suatu perusahaan yang berada dalam tahap produksi tertentu, menentukan harga produksi yang harus dijual oleh

  perusahaan lain yang berada dalam tahap produksi yang lebih rendah. 7

1.2 Penjabaran Unsur Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

  Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang adanya Penetapan Harga yang dilakukan oleh para pelaku usaha di Indonesia. (1)”pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama” (2)”ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :

  a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau;

  b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku”. 8

  Penetapan harga merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran terhadap hukum persaingan. Penetapan harga bersama-sama akan secara langsung menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi dipasar. Penetapan harga bersama seperti ini akan mendorong turunnya harga mendekati biaya produksi. Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dalam unsur suatu penetapan harga. Yaitu;

  a. Perjanjian penetapan harga

  b. Antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya

  c. Harga yang dibayar oleh konsumen Secara umum terdapat unsur penetapan harga yang termasuk dalam pelanggaran pasal

  5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Ialah :

  a. Unsur Pelaku Usaha

  7 Ibid, h 40

  8 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, pasal 5

  Sesuai dengan Pasal 1 Angka 5 dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha adalah “Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”

  b. Unsur Perjanjian
 Sesuai dengan Pasal 1 Angka 7 dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999,

  pelaku usaha adalah “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.“

  c. Unsur Pelaku Usaha Pesaing Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama.

  d. Unsur Harga Pasar Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan jasa sesuai

  kesepakatan antara para pihak dipasar bersangkutan.

  e. Unsur Barang Sesuai dengan Pasal 1 Angka 16 dalam Ketentuan Umum UU No.51999, pelaku

  usaha adalah “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.

  f. Unsur Jasa Sesuai dengan Pasal 1 Angka 17 dalam Ketentuan Umum UU No.5 Tahun 1999,

  pelaku usaha adalah “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi pelaku usaha adalah “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi

  g. Unsur Konsumen Pasar bersangkutan, menurut ketentuan pasal 1 angka 10 dari UU No.5 Tahun 1999 adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.

  h. Unsur Usaha Patungan Perusahaan patungan adalah sebuah perusahaan yang dibentuk melalui perjanjian oleh

  2 (dua) pihak atau lebih untuk menjalankan aktivitas ekonomi bersama, dimana para pihak bersepakat untuk membagi keuntungan dan menanggung kerugian yang dibagi secara proporsional berdasarkan perjanjian tersebut.

3.1 Pasal 5 tentang Penerapan harga menurut Pendekatan Per Se Illegal

  Rumusan pasal dalam UU Persaingan Usaha secara material menentukan pendekatan dalam penentuan pelanggaranya. Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran UU Persaingan Usaha harus dikaji dengan pendekatan. Pelanggaran Pasal 5 UU Persaingan Usaha menggunakan pendekatan per se illegal yang merupakan pendekatan yang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut paa persaingan, karena

  pada dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. 9

  Pendekatan per se illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga

  9 Rilda Murniati, Op. Cit., hlm. 78.

  penjualan kembali.

  Jenis Perilaku yang digolongkan sebagai per se illegal adalah perilaku-perilaku dalam dunia usaha yang hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang bersangkutan. 10

1.4 Dampak Negatif dari Penetapan Harga

  Penetapan harga dilarang karena akan mengakibatkan dampak negatif terhadap persaingan usaha (price competition). Adanya penetapan harga mengakibatkan kebebasan menentukan harga secara independen menjadi berkurang. Selain merugikan persaingan, tindakan penetapan harga juga merugikan konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi

  dan jumlah barang yang tersedia akan semakin sedikit. 11

  Dampak kerugian yang terjadi ketika pelaku usaha melakukan perjanjian penetapan harga ialah :

  a. Harga yang dibayar oleh konsumen lebih tinggi dibandingkan harga pada saat pelaku usaha bersaing secara konpetitif

  b. Pelaku usaha berpotensi untuk mengurangi jumlah output yang dapat menimbulkan kelangkaan.

  c. Akan terjadi kerugian konsumen (consumer loss), karena pelaku price fixing mendapat keuntungan lebih besar dengan mengeksploitasi surplus konsumen.

  10 Hukumonline,” Pentingnya prinsip "per se" dan "rule of reason" di UU Persaingan Usaha”, http:www.hukumonline.com dikunjungi pada tanggal 21 juli 2017 pukul 21:23 WIB

  11 Michael K. Vaska, “Concious Parallelism and Price Fixing: Defining The Boundary”, University of Chicago Law Review, (Vol.52, 1985), page 508 11 Michael K. Vaska, “Concious Parallelism and Price Fixing: Defining The Boundary”, University of Chicago Law Review, (Vol.52, 1985), page 508

2. Penguasaan Pasar dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia

2.1 Pengertian Penguasaan Pasar

  Pengertian Penguasaan Pasar menurut undang undang persaingan usaha dalam pasal

  19, yaitu; “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

  a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;

  b. Mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 13

  Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang kegiatan pelaku usaha yang bertujuan melakukan penguasaan pasar dengan cara menghambat atau bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Tindakan yang menghambat atau bertentangan dengan persaingan usaha tidak sehat berdasarkan Pasal 19 adalah kegiatan yang dilakukan melalui upaya penguasaan pasar yang dijabarkan dalam beberapa tindakan, yaitu:

  1. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

  2. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau

  12 Asri Ernawati, op.cit., hal. 45

  13 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, Pasal 19

  3. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau

  4. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. 14

2.2 Kegiatan yang dilarang pada Pasal 19 UU Persaingan Usaha

  Terdapat beberapa larangan yang terdapat dalam pasal 19 undang-undang persaingan usaha yaitu;

  a. Menolak pesaing (pasal 19 a) Dalam hal ini yang dilarang adalah jika seorang pelaku usaha secara sendiri maupun

  bersama-sama dengan pelaku usaha lain menolak atau menghalang-halangi pelaku usaha tertentu (pesaing) dalam hal melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan. Hal yang demikian dianggap dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan curang. Menolak dan atau menghalang-halangi pelaku usaha tertentu yang dilarang adalah jika dilakukan secara tidak wajar, misalnya dilakukan dengan alasan ekonomi, seperti karena alasan perbedaan suku, ras, status sosial, dan lain-lain.

  b. Menghalangi konsumen Juga dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli berupa kegiatan dari pelaku usaha baik sendiri maupun bersama-sama dengan pelaku usaha lain yang bersifat menghalang- halangi pihak konsumen dari pelaku usaha lain (pesaing) untuk tidak melakukan atau meneruskan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing tersebut. Hal ini juga jelas merupakan tindakan penguasaan pasar yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli pasar dan atau persaingan curang.

  c. Pembatasan peredaran produk

  14 DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

  Dalam hal ini, Undang-Undang Anti Monopoli melarang kegiatan oleh pelaku usaha baik sendiri maupun dengan pelaku usaha lain untuk membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar yang bersangkutan.

  d. Diskriminasi Tindakan berupa diskiriminasi terhadap pelaku usaha tertentu (pesaing) jelas tidak etis

  dan berbahaya bagi persaingan dan pasar yang baik sehingga karenanya dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli. 15

2.3 Penjabaran Unsur Pasal 19 UU NO.5 Tahun 1999

  Dalam menginterpretasikan isi Pasal 19 yang dimulai dengan larangan umum kemudian dibagi dalam empat larangan dapat diuraikan dalam unsur-unsur sebagai berikut:

  a. Unsur pelaku usaha Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5, pelaku usaha adalah: Setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

  b. Unsur melakukan baik sendiri maupun bersama Kegiatan yang dilakukan sendiri oleh pelaku usaha merupakan keputusan dan perbuatan independen tanpa bekerjasama dengan pelaku usaha yang lain. Kegiatan yang dilakukan secara bersama- sama merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar bersangkutan yang sama dimana pelaku usaha mempunyai hubungan dalam kegiatan usaha yang sama.

  15 Munir Fuady,Op.Cit., h.78-81 (Vicky Riyadi Wirasetya ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga) 15 Munir Fuady,Op.Cit., h.78-81 (Vicky Riyadi Wirasetya ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga)

  d. Unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan Satu atau beberapa kegiatan yang dilakukan dalam bentuk kegiatan secara terpisah ataupun beberapa kegiatan sekaligus yang ditujukan kepada seorang pelaku usaha.

  e. Unsur persaingan usaha tidak sehat Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

  f. Unsur menolak Menolak adalah ketika pelaku usaha tidak bersedia melakukan kegiatan usaha dengan pelaku usaha lainnya.

  g. Unsur menghalangi Menghalangi adalah ketika pelaku usaha melakukan kegiatan yang menciptakan hambatan bagi pelaku usaha lain atau pelaku usaha pesaingnya untuk masuk kedalam suatu pasar bersangkutan yang sama.

  h. Unsur pelaku usaha tertentu Pelaku usaha tertentu adalah pelaku usaha yang dirugikan oleh kegiatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 huruf (a) dan (d)

  i. Unsur kegiatan usaha yang sama Kegiatan usaha yang sama adalah kegiatan usaha yang sejenis dengan yang dilakukan oleh pelaku usaha.

  j. Unsur pasar bersangkutan

  Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 angka (10) Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau distribusi dari barang dan jasa tersebut. k. Unsur konsumen

  Menurut Pasal 1 angka (15): konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. l. Unsur pelanggan

  Pelanggan adalah pemakai atau pengguna dari barang dan atau jasa untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak lain yang menggunakannya secara berkesinambungan, teratur, terus menerus baik melalui perjanjian tertulis atau tidak. m. Unsur pelaku usaha pesaing

  Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama. n. Unsur hubungan usaha

  Hubungan usaha adalah kegiatan ekonomi antar pelaku usaha dalam bentuk berbagai transaksi dan atau kerjasama. o. Unsur membatasi peredaran

  Membatasi peredaran adalah kegiatan yang dilakukan pelaku usaha dengan tujuan untuk mengendalikan distribusi atau wilayah peredaran barang dan atau jasa. p. Unsur barang

  Menurut pasal 1 angka (16) barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

  q. Unsur jasa

  Menurut pasal 1 angka (17) jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. r. Unsur melakukan praktek diskriminasi

  Praktek diskriminasi merupakan tindakan atau perlakuan dalam berbagai bentuk yang berbeda yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu dalam

  suatu pasar bersangkutan. 16

3. Analisis Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Kartel

3.1 Pengertian Kartel

  Kartel adalah perbuatan pelaku usaha yang melakukan kerjasama dengan pelaku usaha lain, untuk menguasai pasar dengan cara mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. 17 Istilah kartel sebenarnya

  merupakan istilah umum yang dipakai untuk setiap kesepakatan atau kolusi atau konspirasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Pemakaian istilah kartel juga dibagi menjadi kartel yang utama dan kartel lainnya. Kartel yang utama terdiri dari kartel mengenai penetapan harga, kartel pembagian wilayah, persekongkolan tender dan pembagian konsumen.

  Suatu kartel dianggap sangat berbahaya karena para pelakunya sepakat melakukan konspirasi mengenai hal-hal yang sangat pokok dalam suatu transaksi bisnis yang meliputi harga, wilayah dan konsumen. Kartel juga sangat berbahaya karena dapat berperilaku seperti monopolis yang dapat menentukan tingkat harga yang sangat tinggi atau jumlah

  16 DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

  17 Yakub Adi Krisanto, Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU tentang Kartel, Jurnal Hukum Bisnis (Maret-April 2005), hal.40.

  produksi, sehingga akan menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

  Kartel akan menyebabkan kerugian bagi konsumen karena harga akan mahal dan terbatasnya barang atau jasa di pasar. 18 Juga Kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan

  yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat

  keuntungan yang wajar. 19

  Kartel diatur dalam Pasal 11 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

  persaingan usaha tidak sehat.” 20

  Secara sederhana ada tiga hal yang dapat dilakukan kartel, yakni dalam hal “harga”,

  “produksi”, dan “wilayah pemasaran”. 21 Terdapat dua kerugian yang terjadi pada kartel

  yakni, pertama, terjadinya praktik monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara makro mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya

  deadweight loss 22 . Kedua, dari segi konsumen akan kehilangan pilihan harga, kualitas yang

  Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

  19 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

  Persaingan Usaha Tidak Sehat.

  20 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, Pasal 11

  21 Farid Nasution dan Retno Wiranti, 2008, “Kartel dan Problematikanya”, Jakarta: Majalah Kompetisi, hal. 4

  22 Kerugian secara keseluruhan (net loss) dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh distorsi tertentu (misalnya intervensi tertentu oleh pemerintah), yang dihitung atas seluruh kerugian yang

  dialami oleh pihak yang merugi dalam masyarakat dikurangi dengan seluruh manfaatperbaikan (gains) yang didapat oleh pihak yang diuntungkan dalam masyarakat. Ini biasanya dihitung dalam bentuk perubahan dalam consumer producer surplus bersama dengan pendapatanpengeluaran pemerintah dalam analisis supply- demand. Sumber https:apaarti.wordpress.com20131015kamus-ekonomi-online dialami oleh pihak yang merugi dalam masyarakat dikurangi dengan seluruh manfaatperbaikan (gains) yang didapat oleh pihak yang diuntungkan dalam masyarakat. Ini biasanya dihitung dalam bentuk perubahan dalam consumer producer surplus bersama dengan pendapatanpengeluaran pemerintah dalam analisis supply- demand. Sumber https:apaarti.wordpress.com20131015kamus-ekonomi-online

  Hal utama dari praktek kartel ini adalah pengaturan jumlah produksi dan pemasaran secara bersama-sama dan sistematis dengan maksud untuk mempengaruhi harga demi keuntungan para anggota-anggota kartel. Konsekuensinya suatu perjanjian kartel secara

  tidak langsung membatasi persaingan usaha. 25 Salah satu syarat terjadinya kartel adalah harus ada perjanjian atau kolusi antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam

  kartel,yaitu:

  1. Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan- kebijakan tertulis, data penjualan dan data-data lainnya.

  2. Kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Media yang biasanya dipakai adalah sebuah asosiasi industri, sehingga pertemuan- pertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-peremuan yang legal seperti pertemuan asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi oleh penegak hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa setidaknya

  30 kartel melibatkan asosiasi. 26

3.2 Karakteristik Kartel

  Suatu kartel pada umumnya terdapat beberapa karakteristik. Yaitu;

  23 Didik J. Rachbini, “Cartel and Merger in Control in Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis (Volume 19 Mei-Juni 2002), hlm. 4.

  24 Ibid.,hal. 11-12. 25 Didik J. Rachbini, “Cartel and Merger in Control in Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis (Volume 19 Mei-Juni

  2002), hal. 11-12.

  26 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999. Hal 4 26 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999. Hal 4

  b. Melakukan penetapan harga.

  c. Agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi konsumen atau produksi dan wilayah.

  d. Adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya.

  Oleh karena itu adanya kompromi diantara anggota kartel misalnya dengan adanya kompensasi dari anggota kartel yang besar kepada mereka yang lebih kecil. 27 Dalam

  Pedoman Pasal 11 memiliki karakteristik kartel. Yaitu;

  a. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha.

  b. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat.

  c. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan mereka.

  d. Melakukan price fixing atau penetapan harga. Agar penetapan harga berjalan efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau alokasi produksi. Biasanya kartel akan menetapkan pengurangan produksi.

  e. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian. Apabila tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan terhadap penyelewengan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada anggota kartel lainnya.

  f. Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel. Bahkan jika memungkinkan dapat menyelenggarakan audit dengan menggunakan data laporan produksi dan penjualan pada periode tertentu.

  g. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan usahanya. 28

  27 Philip Areeda, Antitrust Analysis, Problem, Text, Cases, (Little Brown and Company,1981), hal 346-349.

  Terdapat beberapa Terdapat beberapa persyaratan agar suatu kartel dapat berjalan efektif, diantaranya:

  a. Jumlah pelaku usaha. Semakin banyak pelaku usaha di pasar, semakin sulit untuk terbentuknya suatu kartel. Kartel akan mudah dibentuk dan berjalan lebih efektif apabila jumlah pelaku usaha sedikit atau pasar terkonsentrasi.

  b. Produk di pasar bersifat homogen. Karena produk homogen, maka lebih mudah untuk mencapai kesepakatan mengenai harga.

  c. Elastisitas terhadap permintaan barang. Permintaan akan produk tersebut tidak berfluktuasi. Apabila permintaan sangat fluktuatif, maka akan sulit untuk mencapai kesepakatan baik mengenai jumlah produksi maupun harga.

  d. Pencegahan masuknya pelaku usaha baru ke pasar.

  e. Tindakan-tindakan anggota kartel mudah untuk diamati. Dalam suatu kartel terdapat kecenderungan bagi anggota untuk melakukan kecurangan. Apabila jumlah pelaku usaha tidak terlalu banyak, maka mudah unuk diawasi.

  f. Penyesuaian terhadap perubahan pasar dapat segera dilakukan. Kartel membutuhkan komitmen dari anggota-anggotanya untuk menjalankan kesepakatan kartel sesuai dengan permintaan dan penawaran di pasar. Kartel akan semakin efektif jika dapat dengan cepat merespon kondisi pasar dan membuat kesepakatan kartel baru jika diperlukan.

  28 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

  Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

  g. Investasi yang besar. Apabila suatu industri untuk masuk ke pasarnya membutuhkan investasi yang besar, maka tidak akan banyak pelaku usaha yang akan masuk ke pasar.

  Oleh karena itu, kartel diantara pelaku usaha akan lebih mudah dilakukan. 29

3.3 Indikasi Kartel

  Untuk memenuhi persyaratan bukti awal yang cukup, KPPU dapat memeriksa beberapa indikator awal yang dapat disimpulkan sebagai faktor pendorong terbentuknya kartel. Secara teori, ada beberapa faktor yang dapat mendorong atau memfasilitasi terjadinya kartel baik faktor struktural maupun perilaku.

  Faktor-faktor pendorong terbentuknya kartel yang dimaksudkan ialah;

  1. Faktor structural

  a. Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan Secara prinsip, kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak banyak. Dalam hal ini indikator tingkat konsentrasi pasar seperti misalnya jumlah pangsa pasar empat perusahaan terbesar (CR4) dan Herfindahl-Hirschman Index merupakan indikator yang baik untuk melihat apakah secara struktur, pasar tertentu mendorong eksistensi kartel.

  b. Ukuran perusahaan Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pendiri atau pelopornya adalah beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara. Dengan demikian pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan tersebut tidak berbeda jauh.

  c. Homogenitas Homogenitasproduk

  29 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999. Hal 4-5

  Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi konsumen terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh. Hal ini menjadikan persaingan harga sebagai satu- satunya variabel persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para pengusaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat untuk menghindari perang harga yang menghancurkan tingkat laba mereka.

  d. Kontrak multi-pasar Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga mempunyai sasaran pasar yang luas. Multi-pasar dapat diartikan persaingan di beberapa area pasar atau di beberapa segmen pasar. Kontak yang berkali-kali ini dapat mendorong para pengusaha yang seharusnya bersaing untuk melakukan kolaborasi, misalnya dengan alokasi wilayah atau harga. Selain itu, tidak ada insentif dalam kartel karena adanya kekhawatiran “tindakan balasan” dari anggota kartel di seluruh area atau segmen pasar sasaran.

  e. Persediaan dan kapasitas produksi Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan penawaran (overstock). Begitu pula kapasitas terpasang yang berada di atas permintaan menunjukkan kemampuan pasokan berada di atas tingkat permintaan saat ini. Untuk mencegah persaingan harga yang merugikan, pada kondisi ini para pelaku usaha akan mudah terperangkap dalam perilaku kartel harga, yaitu menyepakati harga tertentu atau harga minimum. Selain itu, kelebihan pasokan yang tersedia cukup banyak untuk “menghukum” mereka yang menyimpang dengan membanjiri pasar sehingga harga akan jatuh dan pengusaha akan kesulitan memasarkan produknya. Data akan persediaan dan kapasitas produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengindikasikan terjadinya kartel.

  f. Keterkaitan kepemilikan

  Keterkaitan kepemilikan baik minoritas terlebih lagi mayoritas mendorong pengusaha untuk mengoptimalkan laba melalui keselarasan perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang ini untuk memperkuat kartel dalam rangka mengoptimalkan keuntungan. Berbagai pengaturan kartel akan berlangsung lebih mudah dengan adanya kepemilikan silang ini.

  g. Kemudahan masuk pasar Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan suatu kartel. Peluang pendatang baru untuk mengisi kekosongan pasar akibat harga kartel yang tinggi agak tertutup. Dengan demikian kartel akan dapat bertahan dari persaingan pendatang baru.

  h. Karakter permintaan, keteraturan, elastisitas dan perubahan Permintaan yang teratur dan inelastis dengan pertumbuhan yang stabil akan memfasilitasi berdirinya kartel. Hal ini terjadi karena adanya kemudahan bagi para peserta kartel untuk memprediksi dan menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan mereka. Sebaliknya jika permintaan sangat fluktuatif, elastis dan tidak teratur akan menyulitkan terbentuknya kartel. Para peserta akan berebut order pada saat permintaan tinggi dan terpaksa bersaing menurunkan harga mengingat sifat permintaan yang elastis.

  i. Kekuatan tawar pembeli (buyerpower) Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan dan akhirnya membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan mudah mencari penjual yang mau memasok dengan harga rendah, yang berarti mendorong penjual untuk tidak mematuhi i. Kekuatan tawar pembeli (buyerpower) Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan dan akhirnya membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan mudah mencari penjual yang mau memasok dengan harga rendah, yang berarti mendorong penjual untuk tidak mematuhi

  Faktor Perilaku

  a. Transparansi dan Pertukaran Informasi Kartel akan mudah terbentuk apabila para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran

  informasi dan tranparansi di antara mereka. Peran asosiasi yang kuat seringkali terlihat sebagai media pertukaran ini. Data produksi dan harga jual yang dikirimkan ke asosiasi secara periodik dapat digunakan sebagai sarana pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Terlebih lagi jika ditemukan terjadinya pertukaran informasi harga dan data produksi tanpa melalui asosiasi, yang mana akan terlihat janggal jika sesama pelaku usaha saling memberikan harga dan data produksi di antara mereka tanpa tujuan tertentu sehingga kecurigaan akan eksistensi kartel akan menguat.

  b. Peraturan Harga dan Kontrak

  Beberapa perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat dugaan adanya kartel di suatu industri. Misalnya kebijakan one price policy dimana kesamaan harga di berbagai daerah akan menjadi alat monitoring yang efektif antar anggota kartel terhadap kesepakatan harga kartel. Begitu pula keharusan memperoleh harga yang sama seperti klausul Most Favored Nations atau meet the competition dalam suatu kontrak akan memudahkan kontrol terhadap anggota kartel yang menyimpang. Oleh karena itu, walaupun bukan merupakan syarat perlu maupun cukup dalam mengidentifikasikan kartel,

  30 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

  Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

  perilaku pengaturan harga dan kontrak patut dicermati oleh lembaga otoritas persaingan usaha sebagai bagian upaya identifikasi eksistensi kartel. 31

3.4 Analisis Kartel

  Dalam menganalisis pelanggaran kartel, terdapat dua cara yaiyu :

  1. Alat Bukti

  Beberapa alat bukti untuk penanganan perkara kartel antara lain;

  a. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.

  b. Dokumen atau rekaman daftar harga (pricelist) yang dikeluarkan oleh pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa tahunan atau persemester).

  c. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan).

  d. Data kapasitas produksi.

  e. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan yang saling berkoordinasi.

  f. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang berlebih excessive profit.

  g. Hasil analisis data concius paralelism terhadap koordinasi harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.

  h. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.

  i. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta perubahannya.

  31 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

  Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

  j. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi danatau pertukaran informasi antar para peserta kartel. k. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel. l. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam

  kartel. 32

  Dokumen, rekaman danatau kesaksian yang memperkuat adanya faktor pendorong kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan yaitu;

  1. Penetapan pendekatan rule of reason Sesuai dengan perumusan pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 yang bersifat Rule of Reason, maka dalam rangka membuktikan apakah telah terjadi kartel yang dilarang perlu dilakukan pemeriksaan secara mendalam mengenai alasan-alasan para pelaku usaha melakukan kartel. Suatu kartel atau kolaborasi dapat diketahui antara lain dari hal-hal berikut:

  a. Apakah terdapat tanda-tanda adanya pengurangan produksi barang dan atau jasa atau ada tidaknya kenaikan harga? Jika tidak ada, maka perbuatan para pelaku usaha tidak bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha.

  b. Apakah perbuatan tersebut naked (semata-mata, langsung bertujuan untuk mengurangi atau mematikan persaingan), atau bersifat ancillary (bukan tujuan dari kolaborasi melainkan hanya akibat ikutan). Apabila kolaborasi bersifat naked, maka akan melawan hukum.

  c. Bahwa kartel mempunyai market power. Apabila kartel mempunyai pangsa pasar

  32 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

  Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

  (market power) yang cukup, maka mereka mempunyai kekuatan untuk menyalahgunakan kekuatan tersebut. Akan tetapi apabila tidak ada market power, maka kemungkinan kecil kartel akan dapat mempengaruhi pasar.

  d. Terdapat bukti yang kuat bahwa kartel menghasilkan efisiensi yang cukup besar, sehingga melebihi kerugian yang diakibatkannya. Apabila tidak membawa efisiensi berarti kartel hanya membawa kerugian.

  e. Adanya reasonable necessity. Artinya tindakan para pelaku kartel tersebut memang secara akal sehat perlu dilakukan. Dengan kata lain untuk mencapai keuntungan- keuntungan yang pro persaingan yang ingin dicapai, maka perbuatan kartel tersebut perlu dilakukan, dan tidak terdapat cara lain atau alternatif lain yang seharusnya terpikirkan oleh para pelaku usaha.

  f. Balancing test. Setelah faktor-faktor lainnya tersebut diatas diperiksa, maka perlu dilakukan pengukuran terhadap keuntungan yang diperoleh melalui kartel, dengan kerugian yang diakibatkannya. Apabila keuntungan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya, maka perbuatan atau tindakan para pelaku usaha tersebut dapat dibenarkan.

B. Analisis Putusan Perkara KPPU No. 82014 dan Putusan Perkara KPPU No. 102015

1. Posisi Kasus Putusan Perkara No. 82014 dalam Industri Otomotif terkait Kartel Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat

  Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia selanjutnya disebut Komisi yang memeriksa Perkara Nomor 08KPPU-I2014 tentang dugaan pelanggaran pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam Industri Otomotif terkait Kartel Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat.

  Adapun Putusan Perkara KPPU ini bermula dari Dugaan Pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang dilakukan oleh :

  1. Terlapor I, PT Bridgestone Tire Indonesia, berkedudukan di The Plaza Office Tower 11th Floor Jalan M.H. Thamrin Kav. 28-30 Jakarta Pusat 10350;

  2. Terlapor II, PT Sumi Rubber Indonesia, berkedudukan di Wisma Indomobil 12th Floor Jalan Letjen. M.T. Haryono Kav. 8, Cawang, Jakarta Timur;

  3. Terlapor III, PT Gajah Tunggal, Tbk., berkedudukan di Wisma Hayam Wuruk 10th Floor Jalan Hayam Wuruk 8 Jakarta Pusat;

  4. Terlapor IV, PT Goodyear Indonesia, Tbk., berkedudukan di Jalan Pemuda Nomor 27 Tanah Sareal Kota Bogor Jawa Barat;

  5. Terlapor V, PT Elang Perdana Tyre Industry, berkedudukan di Jalan Elang Desa Sukahati Citeureup – Kabupaten Bogor Jawa Barat;

  6. Terlapor VI, PT Industri Karet Deli, berkedudukan di Jalan K.L Yos Sudarso Km. 8.3 Medan, Sumatera Utara. 33

  Berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat bukti awal dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam industri otomotif terkait kartel ban kendaraan bermotor roda empat. Laporan tersebut berisi dugaan bahwa produsen ban kendaraan roda empat yang tergabung dalam APBI telah melakukan perjanjian penetapan harga dan kartel antara sesama produsen ban Indonesia.

  33 Putusan Perkara Nomor 08KPPU- I2014, h 1

  Berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut, Komisi menetapkan untuk ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan. Komisi telah melakukan penyelidikan terhadap laporan hasil penelitian, dan memperoleh bukti yang cukup jelas dan kelengkapan dugaan pelanggaran yang dituangkan dalam laporan hasil penyelidikan. Komisi melakukan pemberkasan laporan hasil penyelidikan tersebut dinilai layak untuk dilakukan gelar laporan dan disusun dalam bentuk rancangan laporan dugaan pelanggaran.

  Komisi Nomor

  22KPPUPenIV2014 tanggal 30 April 2014 tentang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 08KPPU-I2014. Bahwa berdasarkan Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan tersebut, Ketua Komisi menetapkan pembentukan Majelis Komisi melalui Keputusan Komisi Nomor 62KPPUKepV2014 tanggal 12 Mei 2014 tentang Penugasan Anggota Komisi sebagai Majelis Komisi pada Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 08KPPU- I2014.

  Hasil pemeriksaan pendahuluan oleh Majelis Komisi dengan mendengarkan keterangan dari para terlapor I-VI, keterangan saksi, dan keterangan para ahli dalam dugaan pelanggaran pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam industri otomotif terkait kartel ban kendaraan bermotor roda empat. Majelis Komisi menemukan adanya bukti awal yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.

  Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisa dan kesimpulan di atas,

  serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 34 . Majelis

  Komisi pada rabu, 7 Januari 2015 memutuskan;

  1. Bahwa menurut Pedoman Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda merupakan usaha untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari tindakan

  34 Pengambilan keputusan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 34 Pengambilan keputusan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999

  2. Bahwa berdasarkan Pasal 36 huruf l jo. Pasal 47 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999;

  3. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g UU No. 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi- tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);

  4. Bahwa berdasarkan Pedoman Pasal 47, Majelis Komisi menentukan besaran denda dengan menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan besaran nilai dasar dan kedua, penyesuaian besaran nilai dasar dengan menambahkan danatau mengurangi besaran nilai dasar tersebut;

  5. Bahwa dalam penentuan rentang besaran denda, Perkom menentukan jumlah akhir dari besaran denda dalam keadaan apapun tidak boleh melebihi 10 dari total turn over tahun berjalan dari pihak Terlapor. Apabila 10 turn over lebih besar dari Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) maka akan dikenakan denda akhir sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), sementara apabila 10 turn over dari pihak Terlapor lebih kecil dari Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) maka akan dikenakan denda akhir sebesar 10 turn over;

  6. Bahwa dalam perkara a quo 35 nilai turn over atau nilai penjualan dari para Terlapor adalah sebagaimana diuraikan pada butir 5 Tentang Hukum, dimana 10 dari nilai turn

  over tersebut jauh melebihi Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);

  35 law-indonesia,” a quo ialah perkara ini”, http:www.law indonesia.org201208istilah-hukum-bagian- kesatu.html dikunjungi pada tanggal 24 juli 2017 pukul 00:54 WIB

  7. Bahwa Perkom mengatur juga mengenai pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagai dasar untuk melakukan penyesuaian besaran nilai dasar denda. Namun, oleh karena nilai 10 turn over jauh melebihi Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sebagai batasan sanksi denda maksimal, maka Majelis Komisi tidak lagi memperhatikan hal-hal dimaksud.

  Dengan demikian, setelah terlapor I sampai dengan terlapor VI melakukan pembayaran denda dan salinan bukti pembayaran denda tersebut dilaporkan dan diserahkan ke KPPU. Demikian putusan ini ditetapkan melalui musyawarah dalam Sidang Majelis Komisi pada hari Rabu, 10 Desember 2014 dan dibacakan di muka persidangan yang

  dinyatakan terbuka untuk umum pada hari Rabu, 7 Januari 2015 oleh Majelis Komisi. 36

2 Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Putusan Perkara KPPU No. 82014 dalam Industri Otomotif terkait Kartel Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24