PELUANG, TANTANGAN DAN ANCAMAN BAGI UMKM INDONESIA DALAM ERA CAFTA DAN ME-ASEAN 2015

PELUANG, TANTANGAN DAN ANCAMAN BAGI UMKM INDONESIA
DALAM ERA CAFTA DAN ME-ASEAN 2015
Tulus T.H. Tambunan
Center for Industry, SME and Business Competition Studies, USAKTI
Kampus A, Gedung S Lt 5 No.22, FE-USAKTI, Jl. Kyai Tapa No.1 Grogol, Jakarta Barat
Email: sjahrir@rad.net.id
Abstrak
Tulisan ini adalah sebuah penelitian singkat yang bertujuan mengkaji seberapa besar
kemungkinan tantangan, peluang dan bahkan ancaman yang dihadapi UMKM Indonesia dalam
era pasar bebas. Khususnya akibat penerapan kesepakatan pasar bebas antara ASEAN dengan
China (CAFTA) dan pemberlakuan masyarakat ekonomi ASEAN (ME-ASEAN) pada tahun
2015 nanti. Penelitian yang bersifat deskriptif ini didasarkan pada analisis data sekunder
khususnya data BPS dan studi literatur kunci mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan
terhadap UMKM. Analisa ini cenderung menyimpulkan bahwa secara umum UMKM di
Indonesia berpotensi “terkalahkan” di dalam persaingan di pasar tunggal ASEAN.
Kata kunci: UMKM, CAFTA, ME-ASEAN. Daya Saing, Ekspor, UB.
1.Pendahuluan
Di Indonesia, sejak awal periode Orde Baru (1966-1998) hingga sekarang ini sudah banyak upaya yang
dilakukan pemerintah untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan usaha UMKM di dalam negeri dalam
berbagai macam program dan kebijakan/peraturan, termasuk menerbitkan undang-undang (UU) UMKM No.20
tahun 2008. Program-program yang telah/masih dilakukan mulai dari berbagai skim kredit bersubsidi mulai

dari KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) pada dekade 1970-an hingga
KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diperkenalkan oleh Presiden SBY.
Namun banyak studi maupun data nasional yang ada menunjukkan bahwa kinerja UMKM di Indonesia
masih relatif buruk bukan saja dibandingkan dengan usaha besar (UB), tetapi juga dibandingkan dengan
UMKM di negara-negara maju (NM).1 Bahkan belakangan ini, muncul perdebatan terutama dikalangan
akademis dan pembuat kebijakan apakah UMKM Indonesia mampu bersaing di pasar ekspor atau paling tidak
bisa bertahan di pasar dalam negeri terhadap persaingan yang semakin ketat dari barang-barang impor.
Perdebatan ini semakin sengit dengan diberlakukannya CAFTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEASEAN) pada tahun 2015 nanti, yang pada intinya adalah tidak ada lagi hambatan terhadap arus barang dan jasa,
manusia dan modal antara negara-negara anggota ASEAN.
Jadi, permasalahan yang sedang dihadapi oleh UMKM Indonesia saat ini, yang menjadi pembahasan utama
dari tulisan ini, adalah menyangkut dua pertanyaan berikut. Pertama, mampukah kelompok usaha tersebut
bersaing atau bahkan bertahan terhadap semakin gencarnya barang-barang impor yang masuk ke pasar domestik?

1

Lihat misalnya Tambunan (2009 a,b,c, 2010).

Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

|


1

Kedua, mampukah UMKM Indonesia memanfaatkan peluang yang muncul dari diberlakukannya CAFTA dan
nanti pada tahun 2015 ME-ASEAN, yakni kesempatan memperluas pasar ekspor?
Dengan latar belakangan dan dua pertanyaan tersebut di atas, dengan menganalisis data sekunder dan
melakukan studi literatur kunci mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap UMKM, penelitian yang
sederhana ini bertujuan mengkaji kinerja ekspor UMKM Indonesia dan membahas tantangan, peluang dan
ancaman yang dihadapi oleh kelompok usaha tersebut dengan diberlakukannya pasar bebas ASEAN.
2.Dampak Pasar Bebas: Pembahasan Teori
Kebijakan perdagangan internasional telah mengalami suatu perubahan fundamental di banyak negara di
Asia, khususnya di Asia Tenggara dan Timur, dalam dua decade terakhir ini. Di Indonesia sendiri, liberalisasi
perdagangan luar negeri telah dimulai bertahap sejak tahun 1986 dan sejak tahun 1994 Indonesia sudah
mengurangi secara signifikan tarif-tarif impornya dari rata-rata tidak tertimbang sekitar 20 persen pada tahun
1994 ke 9,5 persen pada tahun 1998. Pada tahun 1998, tarif-tarif impor yang dikenakan terhadap berbagai
produk makanan juga dikurangi hingga maksimum 5 persen. Selain tarif-tarif impor, pemerintah Indonesia juga
menghilangkan berbagai macam hambatan non-tarif (NTBs) terhadap impor and hambatan-hambatan terhadap
ekspor. Sejak krisis ekonomi tahun 1997-98, Indonesia telah melakukan berbagai deregulasi di dalam
kebijakan perdagangan luar negerinya untuk komoditas-komoditas utama pertanian (terkecuali beras untuk alas
an-alasan sosial dan politik), dan juga sudah menghapus praktek-praktek monopoli dalam produksi dan

perdagangan di industri-industri tertentu terutama yang membuat produk-produk perantara atau bahan baku
bagi sektor-sektor lainnya, termasuk semen, kayu lapis dan rotan dan mengurangi pajak teradap ekspor kayu.
Ada kepercayaan umum bahwa liberalisasi perdagangan antar negara akan menguntungkan ekonomi
dalam negeri maupun dunia secara keseluruhan. Pada tingkat makro, jalur-jalur lewat mana liberalisasi
perdagangan internasional dapat membawakan keuntungan-keuntungan secara luas adalah berikut ini:
perbaikan alokasi sumber-sumber daya produksi (dalam arti sumber-sumber daya produksi yang terbatas akan
tersalurkan ke kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif); akses ke teknologi-teknologi yang lebih baik atau
barang-barang modal dan perantara dengan teknologi maju (jadi negara-negara yang belum mampu
mengembangkan teknologinya sendiri, termasuk Indonesia, tidak akan ketinggalan dalam perkembangan
teknologi karena dengan mudah bisa didapat dari negara-negara yang mampu mengembangkan teknologi
seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Jepang dan lainnya); skala ekonomis dan skop (dengan adanya
perdagangan antar negara maka setiap negara bisa memperluas pasarnya sehingga dalam produksinya skala
ekonomis bisa tercapai dan setiap negara bisa memperluas variasi produk yang dapat diproduksi di dalam
negeri dengan berdasarkan spesialisasi); persaingan di pasar domestik yang lebih besar (dan ini memaksa setiap
perusahaan di dalam negeri untuk meningkatkan daya saingnya lewat peningkatan efisiensi, perbaikan kualitas
produk, dan lainnya); dan adanya pertumbuhan eksternalitas yang menguntungkan seperti peralihan
pengetahuan dan lainnya (Falvey dan Kim, 1992).
Sedangkan pada tingkat mikro, secara teori, liberalisasi perdagangan internasional, atau seperti CAFTA
dan ME-ASEAN 2015 dalam konteks ASEAN, bisa mempengaruhi secara negatif atau positif perusahaanperusahaan lokal (misalnya Indonesia) secara individu lewat empat (4) cara sebagai berikut. Pertama, lewat
peningkatan persaingan di pasar domestik. Tarif impor yang rendah atau nol dan tidak adanya pembatasan

(kuota) dan hambatan-hambatan impor lainnya akan meningkatkan daya saing di pasar domestik, dan hal ini
akan memaksa perusahaan-perusahaan lokal yang tidak efisien/produktif untuk memperbaiki kinerjanya atau
Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

|

2

meningkatkan produktivitasnya dengan cara menghilangkan pemborosan-pemborosan, mengeksploitasikan
skala ekonomis eksternal dan mengembangkan skop, menggunakan teknologi-teknologi baru, dan melakukan
secara terus menerus inovasi, atau menutup usaha. Keterbukaan dari suatu ekonomi terhadap perdagangan
internasional juga dilihat sebagai peningkatan skala usaha/pabrik hingga mencapai efisiensi skala dari
perusahaan-perusahaan lokal dengan cara mengadopsi teknologi-teknologi, manajemen, organisasi dan
metode-metode produksi yang lebih efisien.2Kedua, lewat penurunan biaya produksi. Karena tidak ada lagi
tarif impor dan hambatan-hambatan impor lainnya maka harga-harga dari bahan-bahan baku dan input lainnya
yang diimpor menjadi murah, dan oleh karena itu memperkuat posisi dari perusahaan-perusahaan domestik
dalam persaingan di pasar domestik dengan barang-barang jadi impor atau/dan di pasar ekspor. Ketiga, lewat
peningkatan ekspor. Suatu negara membuka diri terhadap perdagangan dunia tidak hanya membuat
peningkatan efisiensi di perusahaan-perusahaan domestik tetapi juga menstimulasi ekspor mereka.3Keempat,
lewat pengurangan ketersediaan bahan-bahan baku atau input lainnya di pasat dalam negeri. Dengan

menghilangkan hambatan-hambatan terhadap ekspor bahan-bahan baku, maka ekspornya akan meningkat, dan
ini berarti perusahaan-perusahaan di dalam negeri akan mengalami kelangkahan atas bahan-bahan baku
tersebut. Ini merupakan suatu efek negatif dari liberalisasi perdagangan internasional terhadap perusahaanperusahaan domestik.
Jadi, seperti yang diilustrasikan di Gambar 1, kombinasi dari garis-garis (a) (yakni produk-produk
konsumen yang diimpor) dan (b) (yakni produk-produk serupa (substitusi) buatan lokal/dalam negeri) adalah
‗efek-efek persaingan‘ dari liberalisasi perdagangan internasional. Efek-efek persaingan tersebut bisa juga
disebut efek-efek efisiensi, karena tingkat daya saing juga ditentukan oleh tingkat efisiensi. Sementara itu,
kombinasi dari garis-garis (c) (yakni produk-produk yang diimpor untuk kebutuhan produksi dalam negeri
(input)) dan (d) (yakni input serupa buatan lokal) adalah ‗efek-efek penurunan biaya produksi‘ dari liberalisasi
perdagangan internasional. Selanjutnya, garis (e) adalah ‗efek-efek kesempatan ekspor‘ dari perusahaanperusahaan lokal/dalam negeri. Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan peluang
ekspor lebih besar dari liberalisasi perdagangan internasional. Terakhir, kombinasi dari garis-garis (d) dan (f)
(yakni input buatan lokal yang bisa dijual keluar negeri) adalah ‗efek kekurangan input di dalam negeri‘ dari
liberalisasi perdagangan internasional. Efek penurunan biaya produksi dan efek efek kekurangan input di pasar
dalam negeri tersebut dapat digabungkan menjadi ‗efek sisi penawaran total‘, sedangkan kombinasi dari efek
persaingan dan efek peluang ekspor tersebut dapat dianggap sebagai efek sisi permintaan total dari liberalisasi

2

Pandangan ini sejalan dengan teori umum yang mana skala usaha diprediksi mempengaruhi secara positif kinerja ekspor


dari perusahaan-perusahaan. Teori perdagangan internasional yang baru menem The new international trade theory
menghipotesakan suatu dampak positif dari luas pasar dalam pandangan dari skala ekonomis. Teori tersebut menegaskan
bahwa skala ekonomis memberikan keuntungan biaya-biaya dalam kegiatan-kegiatan produksi, R&D, dan pemasaran.
Lihat misalnya, Tybout (1992) dan Bonaccorsi (1992) untuk suatu tinjauan literatur. Di sisi lain, literatur mengenai
pemasaran ekspor memberi kesan bahwa UB mempunyai sumber-sumber daya produjksi yang lebih besar untuk
mendapatkan informasi mengenai pasar-pasar di negara-negara lain dan untuk menanggung ketidakpastian-ketidakpastian
dari suatu pasar luar negeri (lihat misalnya Wakelin, 1997). Oleh karena itu, sebagai suatu hipotesa umum, UB, bukan
UMKM, yang lebih berorientasi ekspor.
3

Pandangan ini lebih didukung secara umum oleh hasil-hasil ekonometri. Lihat, misalnya, Aggarwal (2001) dan Tybout

dkk. (1991).
Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

|

3

perdaganga internasional. Efek sisi penawaran total tersebut bisa negatif apabila efekkdua itu lebih besar

daripada efek pertama tersebut. Sebagai alternatifnya, itu bisa positif apabila yang tejadi sebaliknya, atau jika
satu efek sepenuhnya dikompensasi oleh efek satunya lagi tersebut.
Gambar 1: Empat Cara Utama lewat Mana Liberalisasi Mempengaruhi UMKM di Indonesia: Suatu
Pemikiran Teoretis
Pasar output loka/dalam negeri

(a)

(b)
Impor
(c)

UMKM
(d)

(e)

Pasar Ekspor

(f)


Pasar input lokal/dalam negeri

Sumber: Tambunan (2010)
Jadi, ekspektasi umum adalah bahwa liberalisasi perdagangan internasional yang meningkatkan
persaingan internasional di pasar domestik akan berdampak buruk terhadap UMKM yang tidak efisien atau
yang berdaya rendah, sementara itu akan menguntungkan UMKM yang efisien dan berdaya saing tinggi.
Tentu, efek-efek kekurangan input di pasar lokal tersebut bisa berdampak negatif bagi UMKM lokal, sekalipun
perusahaan bersangkutan sangat efisien atau berdaya saing tinggi. Namun, secara umum,

efek-efek

persaingan/efisiensi lebih besar daripada efek-efek kelangkahan input di pasar lokal tersebut. Efek-efek
efisiensi dari liberalisasi perdagangan dunia bisa diobservasi dalam suatu kenaikan dari skala usaha/pabrik ratarata diantara UMKM dan penurunan biaya produksi rata-rata. Namun demikian, literatur internasional,
walaupun masih relatif terbatas, mengenai efek dari kebijakan perdagangan luar negeri terhadap UMKM
menunjukkan penemuan-penemuan yang berbeda. Misalnya, hasil penelitian dari Tybout (2000) mengenai
efek-efek dinamika mikro dari liberalisasi perdagangan internasional terhadap perusahaan-perusahaan
manufaktur di NSB secara konsisten menunjukkan bahwa peningkatan dalam penetrasi impor maupun
pengurangan proteksi industri dalam negeri terhadap impor berasosiasi erat dengan pengecilan bukan perluasan
skala usaha/pabrik dari perusahaan-perusahaan dalam negeri. Jadi, suatu penemuan penting dari penelitian

tersebut adalah bahwa efek-efek dari liberalisasi perdagangan internasional bisa bekerja melawan efisiensi
skala dari UMKM dalam periode jangka pendek, bukannya meningkatkan segera efisiensi (atau kalau ada
keuntungan-keuntungan dari efisiensi, nilainya sangat kecil).4
Penemuan-penemuan dari Tybout tersebut didukung oleh penelitian dari Tewari (2001) mengenai
pengalaman dari Tamil Nadu di India dalam 15 tahun belakangan ini. Setelah pemerintah India menghilangkan
semua rintangan di sejumlah industri termasuk tekstil, yang memberikan kesempatan bagi semua orang untuk
masuk ke industri-industri tersebut, dan secara bersamaan meliberalisasikan perdagangan luar negeri, banyak
sekali pemain baru yang pada umumnya UMKM di industri-industri tersebut, terutama industri tekstil. Tewari

4

Lihat selanjutnya tinjauan ulang literatur dari Tybout (2000).

Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

|

4

menemukan bahwa hingga pertengahan decade 1990-an, rata-rata luas pabrik per perusahaan di industri tekstil

mengecil secara signifikan, bukannya tambah besar.
Penelitian lainnya di wilayah yang sama adalah yang dilakukan pada tahun 2002 oleh Tewari dan Goebel.
Mereka menemukan dua fakta yang menarik. Pertama, UMKM di sejumlah industri berkinerja lebih baik
dibandingkan rekannya di industri-industri lainnya; persis seperti kinerja dari sejumlah industri lebih baik
dibandingkan industri-industri lainnya. Kedua, UMKM yang terikat ke segmen-segmen pasar paling bawah di
kota-kota besar atau wilayah-wilayah metropolitan adalah yang paling terancam oleh barang-barang impor
yang murah. Ironisnya, UMKM yang melayani segmen-segmen pasar yang sama di perdesaan tidak
menghadapi tekanan-tekanan yang sama dari kehadiran barang-barang impor. Salah satu alasannya, menurut
studi tersebut, adalah bahwa jaringan distribusi antara penjual/produsen dan masyarakat perdesaan (pembeli)
dilandasi oleh hubungan sosial yang sangat kuat yang merupakan suatu sumber kekuatan UMKM perdesaan
dalam menghadapi persaingan dari barang-barang impor, dan pesaing-pesaing non-lokal akan menghadapi
biaya yang besar jika ingin membuat jaringan distribusi yang sama (Tewari dan Goebel, 2002).
Di China, Wang dan Yao (2002) menemukan bahwa liberalisasi perdagangan internasional sejak akhir
dekade 1970an telah membuat sangat dinamisnya UMKM di negara panda itu. Banyak UMKM yang tumbuh
pesat sehingga mereka bisa meningkatkan nilai tambah terhadap ekonomi China dari hasil peningkatan
produktivitas total mereka. Sedangkan dari data perusahaan di Ghana, Steel dan Webster (1992) menemukan
sebaliknya. Akibat liberalisasi perdagangan luar negeri, banyak UMKM di negara itu mengalami penurunan
keuntungan akibat peningkatan biaya input, lemahnya permintaan domestik terhadap produk-produk mereka,
dan masuknya barang-barang impor dengan daya saing yang lebih baik. Sama juga, setelah mengkaji data
perusahaan untuk periode 1993-1996 di Chad dan Gabon, Navaretti, dkk.(2003) menemukan bahwa proses

reformasi perdagangan luar negeri menuju ke suatu system yang lebih terbuka yang berbarengan dengan
devaluasi nilai mata uangnya gagal menciptakan pertumbuhan bagi UMKM lokal. Sebaliknya, banyak dari
kelompok usaha ini ditemukan sedang kesulitan keuangan akibat tingginya biaya bahan baku dan input
painnya.
Studi-studi lainnya termasuk Valodia dan Velia (2004), Kaplinskly, dkk. (2002), Roberts dan Tybout
(1996), dan Roberts (2000). Studi pertama itu meneliti hubungan antara liberalisasi perdagangan luar negeri
pada tingkat makro dan efek-efek penyesuaian pada tingkat mikro atau perusahaan di industri manufaktur di
Afrika Selatan. Penemuan-penemuan mereka memberi kesan bahwa ada suatu relasi yang kuat antara besarnya
perusahaan dan perdagangan internasional. Lebih dari setengah dari perusahaan-perusahaan yang diteliti yang
tidak terlibat dalam perdagangan internasional adalah UMKM. Pada ekstrim lainnya, hampir setengah dari
perusahaan-perusahaan yang diteliti yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan impor dan ekspor adalah UB dengan
mengerjakan lebih dari 200 pekerja. Kelihatannya perusahaan-perusahaan besar lebih berhasil dibandingkan
perusahaan-perusahaan kecil dalam mengintegrasikan kegiatan-kegiatan produksi mereka ke dalam rantai
global dari produksi. Sedangkan studi-studi lainnya itu menyimpulkan bahwa keberhasilan UMKM dalam
liberalisasi perdagangan internasional, khususnya impor, terletak pada kemampuannya untuk bersaing dengan
produk-produk impor, dan kemampuan ini pada gilirannya tergantung pada kemampuannya memperluas
kapasitas produksi, mendapatkan SDM yang baik dan teknologi-teknologi maju, melakukan inovasi, dan
meningkatkan kualitas dari produk-produknya.

Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

|

5

3. Analisis Empiris
3.1 Kinerja Ekspor dan Daya Saing
Selama ini UMKM di Indonesia diharapkan berperan tidak hanya sebagai sumber peningkatan kesempatan
kerja, tetapi juga dapat mendorong perkembangan dan pertumbuhan ekspor Indonesia, khususnya, di sektor
industri manufaktur. Sayangnya hingga saat ini UMKM Indonesia masih belum kuat dalam ekspor, walaupun
berdasarkan data BPS/Menegkop & UKM, nilai ekspor dari kelompok usaha tersebut setiap tahun mengalami
peningkatan. Misalnya, pada tahun 1990, sumbangan UMKM di semua sektor ekonomi terhadap total nilai
ekspor (termasuk minyak dan gas) Indonesia tercatat sekitar 11,1 persen, dan mengalami suatu peningkatan ke
hampir 16 persen pada tahunn 2006. Di dalam kelompok UMKM itu sendiri, usaha menengah (UM) lebih
bagus daripada usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK). Pada tahun 1990, pangsa ekspor dari sub-kelompok
pertama itu tercatat sebesar 8,9 persen dibandingkan 2,2 persen dari usaha mikro dan kecil (UMK), dan pada
tahun 2006 rasionya adalah 11,81 persen terhadap 3,89 persen. Khusus di tiga sektor ekonomi utama, yakni
pertanian, pertambangan dan industri manufaktur, nilainya pada tahun 2000 tercatat mencapai Rp75.448,6 miliar
dan meningkat lebih dari 50 persen ke Rp.122.311 miliar pada tahun 2006, dan bertambah lagi menjadi Rp
142.822 miliar. Jika dibandingkan dengan nilai ekspor setiap tahun dari UB, perbedaannya sangat besar. Pada
tahun 2006, nilai ekspor dari UB tercatat sebanyak hampir Rp 484,8 triliun atau mendekati Rp 570,6 triliun
pada tahun 2007. Sedangkan pada tahun tahun 2008 nilai ekspor UMKM yang dirinci menurut UMI, UK, dan
UM, dan UB tercatat, masing-masing, sekitar 20, 44, 119, dan 915 miliar rupiah.
Sebagian besar dari ekspor UMKM Indonesia berasal dari industri manufaktur, namun kontribusinya jauh
lebih kecil dibandingkan pangsa ekspor UB di dalam total ekspor manufaktur Indonesia. Selain itu, pada
umumnya UMKM industri manufaktur lebih berorientasi padar domestik dibandingkan ke luar. Data terakhir
dari BPS 2010 mengenai UMK di industri manufaktur menunjukkan bahwa di semua kelompok industri
sebagian besar dari UMK menjual produk mereka ke pasar dalam negeri; walaupun derajadnya bervariasi antar
kelompok industry. Sedangkan dari mereka yang ekspor tidak semuanya menjual hanya ke luar negeri; banyak
juga yang lebih mengandalkan pasar dalam negeri (Tabel 1). Misalnya, jumlah UMK yang tercatat melakukan
ekspor sebanyak 8 550 unit, dan dari jumlah ini sebanyak 670 unit mengekspor kurang dari 15 persen dari
jumlah output mereka.

Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

|

6

Tabel 1: Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Wilayah Pemasaran, 2010
Kelompok Industri**

Jumlah unit

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)

929 910
30 395
53 169
234 657
276 548
32 910
639 106
7 268
24 305
19 168
5 043
13 786
215 558
1 553
61 731
434
199
1 540
3 488
4 708
107 166
62 898
7 184

Wilayah pemasaran*
DN
LN
928 857
971
30 395
53 151
18
233 443
940
275 461
733
32 623
6
635 744
2 480
6 988
47
24 304
19 156
4 954
13 720
214 745
268
1 553
61 130
448
434
199
1 540
3 488
4 708
106 142
798
60 020
1 841
7 184
-

2 732 724

Total

2 719 939

DN & LN
82
274
354
281
882
233
1
12
89
66
545
153
226
1 037
-

8 550

4 235

Keterangan: * DN = dalam negeri, LN = luar negeri; ** no industri=lihat Tabel 6
Sumber: BPS (2010)

Masih kecilnya peran UMKM Indonesia di dalam ekspor non-migas mencerminkan dua hal yakni
kapasitas produksi yang rendah. Seperti yang dijelaskan oleh Long (2003), tidak diragukan bahwa kontribusi
UMKM

terhadap

ekspor

terkait

erat

dengan

kemampuan

dari

kelompok

usaha

itu

untuk

internasionalisasi/globalisasi. Ini juga merupakan suatu faktor yang kritis yang mengukur daya saing globalnya.
Daya saing global yang rendah dari UMKM secara umum di NSB dapat menjadi suatu hambatan serius bagi
kelompok usaha tersebut bukan saja untuk bisa menembus pasar global tetapi juga untuk bisa memenangi
persaingan dengan barang-barang impor di pasar domestik. Sayangnya, hingga saat ini belum ada penelitian
atau evaluasi dari pemerintah, dalam hal ini misalnya yang dilakukan oleh Departemen Industri atau
Kementerian Koperasi (Menegkop) & UKM untuk mengkaji sejauh mana tigkat daya saing UMKM Indonesia
di pasar internasional. Hingga saat ini belum ada bukti empiris mengenai daya saing UMKM di ASEAN,
terkecuali satu penelitian untuk wilayah APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), yang dilakukan oleh
Pusat Inovasi UMKM APEC terhadap 13 ekonomi anggota APEC pada tahun 2006 (APEC, 2006), yang
hasilnya diperlihatkan di Gambar 2. Di studi ini, daya saing diukur melalui indeks skor antara 1 (daya saing
terendah) dan 10 (paling kompetitif), dan indeks skor itu dikembangkan berdasarkan sejumlah faktor yang
termasuk tipe teknologi yang digunakan, metode produksi yang diadopsi, dan tipe produk yang dibuat dengan
melihat pada kandungan teknologinya (yakni rendah/tradisional, menengah, tinggi/maju). Hasilnya
menunjukkan bahwa UMKM Indonesia berdaya saing rendah di bawah 4. Selain itu, menurut hasil studi ini,
Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan pendanaan paling rendah untuk pengembangan teknologi, yakni
di bawah 3,5 dalam indeks skala 10. Hasil ini harus ditanggapi serius karena bukan lagi suatu rahasia bahwa
Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

|

7

pengembangan teknologi merupakan suatu faktor determinan yang sangat penting bagi peningkatan daya saing
global.
Gambar 2: Daya Saing UMKM di Sejumlah Negara/Ekonomi APEC
Indonesia
China
Korea Selatan
Filipina
Thailand
Jepang
Malaysia
Singapura
Kanada
Australia
Taiwan, Propinsi China
Amerika Serikat
Hongkong-China
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Sumber: APEC (2006a,b).

3.2 Tantangan, Peluang dan Ancaman
Perubahan sistem perdagangan internasional menuju liberalisasi, seperti ASEAN menuju AFTA dan nanti
menjadi ME-ASEAN 2015, memunculkan banyak peluang dan sekaligus juga tantangan-tantangan dan,
bahkan, ancaman-ancaman bagi setiap perusahaan/pengusaha dari semua skala usaha. Peluang yang dimaksud
adalah peluang pasar yang lebih besar dibandingkan sewaktu perdagangan dunia masih terbelah-belah karena
proteksi yang diterapkan di banyak negara terhadap produk-produk impor. Sedangkan tantangan bisa dalam
berbagai aspek, misalnya, bagaimana bisa menjadi unggul di pasar dalam negeri, yakni mampu mengalahkan
pesaing domestik lainnya maupun pesaing dari luar negeri (impor), bagaimana bisa unggul di pasar ekspor atau
mampu menembus pasar di negara-negara lain; bagaimana usaha bisa berkembang pesat (misalnya skala usaha
tambah besar, membuka cabang-cabang perusahaan), bagaimana penjualan/output bisa tumbuh semakin pesat;
dan lain-lain. Jika tantangan-tantangan tersebut tidak bisa dimanfaatkan atau dihadapi sebaik-baiknya, karena
perusahaan bersangkutan menghadapi banyak kendala (misalnya, keterbatasan modal, teknologi dan SDM
berkualitas tinggi), maka tantangan-tantangan yang ada bisa menjelma menjadi ancaman, yakni perusahaan
terancam tergusur dari pasar, atau ada produksi menurun (Gambar 3).
Faktor-faktor utama yang menentukan besar kecilnya peluang bagi seorang pengusaha/sebuah
perusahaan adalah: (a) akses sepenuhnya ke informasi mengenai aspek-aspek kunci bagi keberhasilan suatu
usaha seperti kondisi pasar yang dilayani dan peluang pasar potensial, teknologi terbaru/terbaik yang ada di
dunia, sumber-sumber modal dan cara pembiayaan yang paling efisien, mitra kerja (misalnya calon pembeli,
pemasok bahan baku, distributor), pesaing (kekuatannya, strateginya, visinya,dll), dan kebijakan atau peraturan
yang berlaku, (b) akses ke teknologi terkini/terbaik; (c) akses ke modal, (d) akses ke tenaga terampil/SDM, (e)
akses ke bahan baku, (f) infrastruktur, (g) kebijakan atau peraturan yang berlaku, baik dari pemerintah sendiri
maupun negara mitra (misalnya kesepakatan bilateral) dan yang terkait dengan WTO, AFTA, APEC, dan lainlain.

Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

|

8

Gambar 3: Peluang, Tantangan dan Ancaman

ME-ASEAN 2015

Peluang
Tantangan
Ancaman

Faktor-faktor determinan
utama:
-akses ke informasi
-akses ke teknologi
-akses ke modal
-akses ke tenaga terampil

Sebenarnya untuk menjawab seberapa besar tantangan dan peluang serta seberapa seriusnya ancaman
yang dihadapi UMKM Indonesia dengan diberlakukannya pasar bebas ASEAN atau ME-ASEAN 2015 nanti,
perlu pendelatan survei lapangan dengan menanyakannya langsung ke pemilik/produsen UMKM. Namun
demikian, ada sejumlah pendekatan yang bisa memberikan jawaban secara tidak langsung. Pertama, dengan
mengkaji karakteristik-karakteristik utama UMKM. Seperti yang dijabarkan di Tabel 2, di dalam kelompok
UMKM itu sendiri terdapat perbedaan karakteristik antara UMI dengan UK dan UM di dalam sejumlah aspek
yang dapat mudah dilihat sehari-hari. Aspek-aspek itu termasuk orientasi pasar, profil dari pemilik usaha, sifat
dari kesempatan kerja di dalam perusahaan, sistem organisasi dan manajemen yang diterapkan di dalam usaha,
derajat mekanisme di dalam proses produksi, sumber-sumber dari bahan-bahan baku dan modal, lokasi tempat
usaha, hubungan-hubungan eksternal, dan derajat dari keterlibatan wanita sebagai pengusaha.
Table 2: Karakteristik-karakteristik Utama dari UMI, UK, dan UM di Indonesia
No
1

Aspek
Formalitas

UMI
beroperasi di sektor informal;
usaha tidak terdaftar; tidak/jarang
bayar pajak

2

Organisasi &
manajemen

3

Sifat dari
kesempatan
kerja
Pola/sifat dari
proses
produksi

dijalankan oleh pemilik; tidak
menerapkan pembagian tenaga
kerja internal (ILD), manajemen &
struktur organisasi formal (MOF),
sistem pembukuan formal (ACS)
kebanyakan menggunakan
anggota-anggota keluarga tidak
dibayar
derajat mekanisasi sangat
rendah/umumnya manual; tingkat
teknologi sangat rendah

4

5

Orientasi pasar

umumnya menjual ke pasar lokal
untuk kelompok berpendapatan
rendah

6

Profil ekonomi
& sosial dari
pemilik usaha

pendidikan rendah & dari rumah
tangga (RT) miskin; motivasi
utama: survival

7

Sumbersumber dari
bahan baku
dan modal
Hubunganhubungan
eksternal

kebanyakan pakai bahan baku
lokal dan uang sendiri

8

kebanyakan tidak punya akses ke
program-program pemerintah dan
tidak punya hubungan-hubungan
bisnis dengan UB

UK
beberapa beroperasi di sektor
formal; beberapa tidak
terdaftar; sedikit yang bayar
pajak
dijalankan oleh pemilik; tidak
ada ILD, MOF, ACS

UM
semua di sektor formal;
terdaftar dan bayar pajak

beberapa memakai tenaga
kerja (TK) yang digaji

-semua memakai TK digaji
-semua memiliki sistem
perekrutan formal
banyak yang punya derajat
mekanisasi yang
tinggi/punya akses terhadap
teknologi tinggi
semua menjual ke pasar
domestik dan banyak yang
ekspor, dan melayani kelas
menengah ke atas
sebagian besar
berpendidikan baik dan dari
RT makmur; motivasi
utama: profit
banyak yang memakai
bahan baku impor dan
punya akses ke kredit
formal
sebagian besar punya akses
ke program-program
pemerintah dan banyak
yang punya hubunganhubungan bisnis dengan UB
(termasuk PMA).

beberapa memakai mesinmesin terbaru

banyak yang menjual ke pasar
domestik dan ekspor, dan
melayani kelas menengah ke
atas
banyak berpendidikan baik &
dari RT non-miskin; banyak
yang bermotivasi bisnis/
mencari profit
beberapa memakai bahan baku
impor dan punya akses ke
kredit formal
banyak yang punya akses ke
program-program pemerintah
dan punya hubunganhubungan bisnis dengan UB
(termasuk penanaman modal
asing/PMA).

Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

banyak yang mengerjakan
manajer profesional dan
menerapkan ILD, MOF,
ACS

|

9

9

Wanita
pengusaha

rasio dari wanita terhadap pria
sebagai pengusaha sangat tinggi

rasio dari wanita terhadap pria
sebagai pengusaha cukup
tinggi

rasio dari wanita terhadap
pria sebagai pengusaha
sangat rendah

Menyangkut kualitas tenaga kerja, data BPS menunjukkan bahwa di UMK jumlah pekerja yang digaji
lebih sedikit dibandingkan di UM, dan di antara UMK, di UMI paling banyak tenaga kerja tidak dibayar
dibandingkan di UK. Jadi, komposisi tenaga kerja tidak dibayar memiliki kecenderungan berbanding terbalik
dengan skala usaha, yang artinya semakin besar skala usaha semakin kecil komposisi tenaga kerja tanpa upah.
Karena pada umumnya tenaga kerja yang digaji atau tingkat gaji (atau nilai) pekerja berkorelasi positif dengan
tingkat keahlian, maka dari fakta tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas sumber daya manusia
(SDM) di UMK, yang berarti juga daya saing UMK, lebih rendah dibandingkan di UM. Secara keseluruhan,
dari Tabel 2 dapat diantisipasi bahwa khususnya UMI akan menghadapi tantangan lebih besar sedangkan UM
akan memiliki peluang lebih besar dengan adanya ME-ASEAN 2015; atau ancaman ―gulung tikar‖ yang
dihadapi oleh UMI jauh lebih besar dibandingkan UM.
Pendekatan kedua adalah menganalisis kendala-kendala utama yang dihadapi oleh UMKM. Teorinya,
semakin banyak kendala yang dihadapi sebuah perusahaan semakin besar tantangan dan semakin kecil
peluangnya bisa bertahan di dalam era pasar bebas. Secara umum, perkembangan UMKM di NSB dihalangi
oleh banyak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut (atau intensitasnya) bisa berbeda di satu daerah dengan di
daerah lain atau antara perdesaan dan perkotaan, atau antar sektor, atau antar sesama perusahaan di sektor yang
sama. Namun demikian, ada sejumlah persoalan yang umum untuk semua UMKM di negara manapun juga,
khususnya di dalam kelompok NSB. Rintangan-rintangan yang umum tersebut termasuk keterbatasan modal kerja
maupun investasi, kesulitan-kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku dan input lainnya,
keterbatasan akses ke informasi mengenai peluang pasar dan lainnya, keterbatasan pekerja dengan keahlian tinggi
(kualitas SDM rendah) dan kemampuan teknologi, biaya transportasi dan enerji yang tinggi; keterbatasan
komunikasi, biaya tinggi akibat prosedur administrasi dan birokrasi yang kompleks khususnya dalam pengurusan
ijin usaha, dan ketidakpastian akibat peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tidak
jelas atau tak menentu arahnya.5
Survei BPS 2003 dan 2005 terhadap UMK di industri manufaktur menunjukkan bahwa permasalahan utama
yang dihadapi oleh sebagian besar dari kelompok usaha ini adalah keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran.
Walaupun banyak skim-skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden terutama yang
berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah mendapatkan kredit dari bank atau lembaga-lembaga keuangan
lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya pada uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dan dari
5

Sayangnya, studi-studi yang memberi bukti empiris mengenai problem-problem yang dihadapi oleh UB, yang dapat

digunakan sebagai suatu perbandingan, sangat terbatas, dan tidak ada data BPS mengenai itu. Walaupun beberapa laporan,
studi-studi yang ada, atau berita-berita/tulisan-tulisan di surat-surat kabar mengenai iklim usaha dan persaingan di
Indonesia bisa memberi suatu gambaran aktual mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi oleh UB seperti suku bunga
pinjaman yang tinggi atau masih kurang lancarnya perbankan menyalurkan dananya ke sektor bisnis, harga input seperti
bahan baku dan enerji yang terus meningkat, permasalahan disekitar ketenagakerjaan seperti Undang-undang Perburuhan
No.13, distorsi-distorsi pasar baik output maupun input, birokrasi, sistem perpajakan yang tidak pro bisnis, kondisi
infrastruktur yang buruk, banyaknya pungutan-pungutan resmi maupun liar (khususnya di daerah-daerah), dan banyak
lagi.
Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

| 10

saudara/kenalan atau dari sumber-sumber informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka. Alasannya bisa
macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari adanya skim-skim khusus tersebut, ada yang
pernah mencoba tetapi ditolak karena usahanya dianggap tidak layak untuk didanai atau mengundurkan diri
karena ruwetnya prosedur administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk penyediaan
jaminan, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari awalnya memang tidak berkeinginan meminjam dari
lembaga-lembaga keuangan formal.
Dalam hal pemasaran, UMKM pada umumnya tidak punya sumber-sumber daya untuk mencari,
mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri. Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada mitra
dagang mereka (misalnya pedagang keliling, pengumpul, atau trading house) untuk memasarkan produkproduk mereka, atau tergantung pada konsumen yang datang langsung ke tempat-tempat produksi mereka atau,
walaupun persentasenya kecil sekali, melalui keterkaitan produksi dengan UB lewat sistem subcontracting.
Data paling akhir dari BPS mengenai UMK di industri manufaktur 2010 menunjukkan sebanyak 78,06
persen dari seluruh UMK (2.732.724 unit usaha) di sektor itu mengalami kesulitan dalam menjalankan
usahanya. Jenis kesulitan utama terbesar yaitu kesulitan dalam permodalan, pemasaran, dan bahan baku
masing-masing sebanyak 806.758 unit usaha, 495.123 unit usaha, dan 483.468 unit usaha. Industri makanan
yang mengalami kesulitan terbesar sebanyak 745.824 unit usaha (34,96 persen) meliputi: kesulitan modal
sebanyak 255.793 unit usaha, bahan baku sebanyak 206.309 unit usaha, dan kesulitan pemasaran sebanyak
146.185 unit usaha (Tabel 3).
Tabel 3: Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Jenis Kesulitan dan Kelompok Industri, 2010
Kelompok
Industri**
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
Total

Jumlah
unit
929910
30395
53169
234657
276548
32910
639106
7268
24305
19168
5043
13786
215558
1553
61731
434
199
1540
3488
4708
107166
62898
7184

Punya
kesulitan
serius
745824
22141
46682
164144
172307
26735
514990
2731
21185
15744
4320
8541
181747
1460
52594
349
113
1148
3269
4394
93175
43722
5818

2732 724

2 133133

Jenis kesulitan utama*
1
2
3

4

5

6

7

8

206309
7074
8434
19320
18584
3764
140664
736
1750
5621
1226
1794
22578
358
9149
25
56
582
1503
23171
10604
166

146185
8206
3094
43718
36119
5833
141798
610
5441
1202
1378
2514
45475
301
13820
107
47
273
2231
708
23239
11252
1572

255793
3883
20978
78722
75038
12908
165355
1127
8087
6019
1587
3793
85238
692
24297
209
20
652
331
1717
40914
16545
2853

21506
185
4334
2131
729
272
2141
86
740
16
23
1627
796
48
45
132
38
-

23346
1061
1328
2081
867
228
4862
25
167
1045
57
13
2484
10
643
48
330
718
258

19732
260
430
8608
12006
917
16589
94
1036
178
30
45
2876
27
919
8
60
2252
1555
540

3849
41
512
770
4558
66
8109
102
57
63
1811
232
73
401
218
22

483468

495123

806758

34759

39571

68162

20884

69104
1431
7572
8794
24406
2747
35472
53
3862
1606
42
296
19658
72
2828
8
46
119
117
240
2736
2792
407
184408

Keterangan: * 1=bahan baku ;2= pemasaran;3= modal;4= BBM/enerji;5= transportasi ;6 =keahlian;7 =upah buruh=;8=
lainnya ;

Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

| 11

** 23 kelompok industri: (1) makanan, (2) minuman, (3) pengolahan tembakau, (4) tekstil, (5) pakaian
jadi, (6) kulit, barang dari kulit dan alas kaki, (7) kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur),
dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya, (8) kertas dan barang dari kertas, (9) percetakan dan
reproduksi media rekaman, (10) bahan kimia dan barang dari bahan kimia, (11) farmasi, produk obat kimia dan
obat tradisional, (12) karet, barang dari karet dan plastic, (13) barang galian bukan logam, (14) logam dasar,
(15) barang logam bukan mesin dan peralatannya, (16) komputer, barang elektronik dan optic, (17) peralatan
listrik, (18) mesin dan perlengkapannya, (19) kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer, (20) alat angkut
lainnya, (21) meubel, (22) pengolahan lainnya, (23) jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan.
Sumber: BPS (2010)
4. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Walaupun sudah cukup banyak program pemerintah sejak era Orde Baru hingga sekarang untuk
mendukung perkembangan UMKM di tanah air, kinerja UMKM dan kondisinya di tanah air secara umum
masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan seperti yang telah ditunjukkan di dalam studi ini, hasil dari sebuah
penelitian APEC menunjukkan bahwa daya saing UMKM Indonesia paling rendah dibandingkan UMKM di
sejumlah ekonomi APEC lainnya yang diteliti. Ini menimbulkan keraguan mengenai kemampuan UMKM
Indonesia, khususnya UMI yang mendominasi jumlah UMKM di tanah air, untuk mampu bersaing di pasar
regional (misalnya ASEAN atau APEC) atau dunia, atau bahkan untuk bisa mempertahankan pangsa pasar
domestik dengan semakin dasyatnya barang-barang impor membanjiri pasar dalam negeri.
Oleh sebab itu, banyak hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah, yang
diantaranya adalah:
(1) Pembangunan infrastruktur baik fisik (seperti jalan raya, listrik dan fasilitas komunikasi, dan pelabuhan)
dan non-fisik (seperti bank/lembaga pendanaan, pusat informasi, lembaga pendidikan/pelatihan,
litbang/lab), mulai di tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga di tingkat provinsi.
(2) Pemberdayaan kembali semua sentra-sentra UMKM yang sempat dikembangkan dengan dukungan
pemerintah pada era Orde Baru, namun terlantarkan sejak mulainya era reformasi. Khususnya Unit
Pelayanan Teknis (UPT) di sentra-sentra yang ada perlu diremajakan dengan antara lain menggantikan
mesin-mesin dan alat-alat pengujian/lab yang sudah usang dengan yang baru.
(3) Walaupun bantuan pendanaan memang penting, namun sudah saatnya penekanan dari kebijakan atau
program-program pemerintah untuk membantu perkembangan UMKM lebih pada peningkatan pendidikan
pengusaha dan pekerja, pengembangan teknologi, dan peningkatan kemampuan inovasi. Selain itu, UMKM
baik yang hanya melayani pasar domestik maupun yang menjual produk-produknya ke pasar luar negeri
perlu dibantu sepenuhnya (misalnya dengan penyediaan lab. untuk pengujian kualitas barag) agar bisa
mendapatkan label Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) untuk meningkatkan kualitas produk dan berarti
juga daya saing UMKM.Untuk maksud ini, perlu adanya intensif agar terjalin kerjasama yang erat antara
UMKM setempat dengan perguruan tinggi, lembaga pendidikan/pelatihan dan litbang setempat sehingga
terjadi peralihan teknologi dan pengetahuan ke UMKM.
(4) Perlu diupayakan peningkatan keterkaitan produksi lewat misalnya subcontracting antara UMKM dan UB,
termasuk PMA. Berdasarkan faka bahwa sulit mendapatkan UMKM lokal yang siap sebagai pemasok bagi
UB/PMA karena keterbatasan teknologi dan pengetahuan, maka untuk mencapai tujuan ini, pemerintah
bersama-sama dengan pihak swasta seperti Kadin, asosiasi bisnis, himpunan pengusaha, dan universitas

Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

| 12

harus sepenuhnya membantu UMKM dalam meningkatkan kemampuan mereka sebagai pemasok yang
kompetitif dan efisien bagi UB/PMA.
(5) Dalam mengembangkan enam koridor ekonomi, pengembangan UMKM lokal di enam wilayah tersebut
untuk menjadi UMKM berdaya saing tinggi, baik sebagai pelaku usaha yang mandiri maupun sebagai
pemasok UB, harus menjadi salah satu komponen penting dari kebijakan pengembangan enam koridor
tersebut.
(6) Perlu diupayakan agar semua UMKM di manapun lokasinya mendapatkan akses sepenuhnya ke informasi
mengenai pasar dan lainnya, teknologi, pendidikan/pelatihan, fasilitas perdagangan, dan perbankan; tentu
dengan tidak menghilangan penilaian obyektif mengenai kelayakan usaha dari UMKM bersangkutan.
Daftar Pustaka
APEC (2006a), ―A Research on the Innovation Promoting Policy for SMEs in APEC‖ Survey and Case
Studies‖, December, APEC SME Innovation Center, Korea Technology and Information Promotion
Agency for SMEs, Seoul.
APEC (2006b), ―Economic Impacts of Innovative SMEs and Effective Promotion Strategies‖, October, Seoul:
APEC SME Innovation Center.
Aggarwal, A (2001), ―Liberalisation, multinational enterprises and export performance: evidence from Indian
manufacturing‖, Working Paper No. 69, Juni, New Delhi: Indian Council for Research on International
Economic Relations.
Bonaccorsi, A. (1992), ―On the Relationship Between Firm Size and Export Intensity‖, Journal of International
Business Study, 23(4).
BPS (2010), Profil Industri Kecil dan Mikro 2010, Desember, Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Berry, Albert dan Brian Levy (1994), ―Indonesia‘s Small and Medium-Size Exporters and Their Support
Systems‖, Policy Research Working Paper 1402, Desember, Policy Research Department, Finance and
Private Sector Development Division, World Bank, Washington, D.C.
Dierman, Peter van, Thee Kian Wie, Mangara Tambunan, dan Tulus Tambunan (1998), ―The IMF Reform
Agreements: Evaluating The Likely Impact on SMEs‖, Study Report, Juni, The Asia Foundation, Jakarta.
Dollar, D. (1992), ‗Outward oriented developing economics really do grow more rapidly: Evidence from 95
LDCs, 1976-1985‘, Economic Development and Cultural Change, 40.
Falvey, A dan C.D. Kim (1992), ―Timing and sequencing issues in trade liberalization‖, The Economic
Journal, 102.
Kaplinsky, R., M. Morris dan J. Readman (2002), ―The globalisation of product markets and immiserising
growth: lessons from the South African furniture industry‘‖, World Development 30(7)
Krueger, A. (1978), Foreign Trade Regimes and Economic Development: Liberalization Attempts and
Consequences, Cambridge, Mass.: Balinger Publishing Co. for National Bureau of Economic
Research.
Kruger, J.J., U. Cantner dan H. Hanusch (2000), ―Total factor productivity, the East Asian miracle, and the
world production frontier‖, Weltwirtschafliches Archiv, 136.
Long, Nguyen Viet (2003), ―Performance and obstacles of SMEs in Viet Nam Policy implications in near
future‖, reseach paper, International IT Policy Program (ITPP) Seoul National University, Seoul.
Navaretti, G. B, R. Faini dan B.Gauthier (2003), "The Impact of Trade Liberalisation on Enterprises in Small
Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

| 13

Backward Economies: The Case of Chad and Gabon" Centro Studi Luca D'Agliano Development
Studies Working Paper No. 176. (http://ssrn.com/abstract=464201)
Nugent, J. B. dan S. Yhee (2002), ―Small and Medium Enterprises in Korea: Achievements, Constraints and
Policy Issues‖, Small Business Economics, 18 (1-3).
Roberts, S. (2000). Understanding the effects of trade policy reform: the case of South Africa, South African
Journal of Economics, 68(4).
Roberts, M.J. dan J. Tybout (1996). Industrial Evolution in the Developing Countries, Oxford: Oxford
University Press.
Steel, Wiliam F. dan Webster, L.M. (1992). "How Small Enterprises in Ghana have responded to Adjustment",
World Bank Economic Review, 6.
Tambunan, Tulus (2009a), Development of Small and Medium Enterprises in ASEAN Countries, New Delhi:
Readworthy Publications, Ltd.
Tambunan, Tulus (2009b), SME in Asian Developing Countries, London: Palgrave Macmillan Publisher.
Tambunan, Tulus (2009c), UMKM di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, Tulus (2010), Trade Liberalization and SMEs in ASEAN, New York: Nova Science Publishers, Inc.
Tewari, Meenu (2001), ―The challenge of reform: How Tamil Nadu‘s textile and apparel industry is facing the
pressures of liberalization‖, makalah, the Center for International Development, Harvard University,
Cambridge, MA (http://www.soc.duke.edu/sloan_2004/ Papers/Tewari%20paper_ Indian% 20
apparel_ 18June2004.pdf).
Tewari, Meenu dan Jeffery Goebel (2002), ―Small Firm Competitiveness in a Trade Liberalized World Lessons
for Tamil Nadu‖, April, Research Paper (http://www.cid.harvard.edu/archive/india/pdfs/ tewari_small
firms_ 042102. pdf).
Tybout, James R. (1992), ‗Linking Trade and Productivity: New Research Directions‘, World Bank Economics
Review, 6.
Tybout, James R (2000), ‗Manufacturing Firms in Developing Countries: How Well do They Do, and Why?‖
Journal of Economic Literature, 38(1), Maret.
Tybout, James R., J. de Melo dan V. Corbo (1991), ―The effects of trade reforms on scale and technical
efficiency: New Evidence from Chile‖, Journal of International Economics, 31.
Valodia, Imraan dan Myriam Velia (2004), ―Macro-Micro Linkages in Trade: How are Firms Adjusting to
Trade Liberalisation, and does Trade Liberalisation lead to improved Productivity in South African
Manufacturing Firms?‖, makalah, the African Development and Poverty Reduction: The Macro-Micro
Linkage Conference, Development Policy Research Unit (DPRU) and Trade and Industrial Policy
Secretariat (TIPS), 13-15 Oktober.
Wakelin, K. (1997), Trade and Innovation: Theory and Evidence, Edgar Publishing Inc.
Wang, Y dan Y. Yao (2002), ―Market reforms, technological capabilities and the performance of small
enterprises in China‖, Small Business Economics,19.

Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen Bisnis, 26 Mei 2012

| 14