[klik di sini untuk DOWNLOAD] Modul Bahan Ajar 2 « Dr. Tjahjanulin Domai, MS

MODEL LEADERSHIP HORISONTAL
DAN DISTRIBUTIF
DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS
PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS






Mata Kuliah
SKS
Jurusan
Tujuan Pembelajaran

1. Pendahuluan

:
:
:
:


Kepemimpinan Sektor Publik
3 SKS
Administrasi Publik
Penguasaan materi dalam modul ini, dirancang
sebagai landasan dasar, untuk dapat memahami,
mengerti serta mampu menjelaskan teori model
leadership horizontal dan distributif.
2. Pendekatan
Leadership
Distributif

MODUL

3. Kesimpulan

PENDAHULUAN
Karena kompleksitas leadership, ada beberapa pendekatan
yang bisa membantu pemahaman. Sebelumnya difokuskan ke
pendekatan

manajemen
awal,
sifat,
transaksional
dan
transformasional. Fenomena leadership bisa dikatakan sangat luas
sehingga pendekatan ini didukung oleh pendekatan lain.
Dalam naskah ini, kita akan membahas leadership distributif
karena fungsi leadership terdistribusi lebih luas dibanding bentuk
hirarkis leadership vertikal dimana peran leader dalam proses
leadership adalah fokusnya. Meski ini adalah perspektif instruktif, ini
tidak
merepresentasikan
proses
leadership
keseluruhan.
Leadership sebagai proses bukan hanya berisi leader, tapi juga
follower yang memainkan banyak peran, dan set kondisi
lingkungan.
Semua pendekatan yang didiskusikan sejauh ini memberikan

pertanyaan: Bagaimana leader formal bisa memaksimalkan
perannya dalam meningkatkan efektivitas di berbagai kondisi?
Pendekatan leadership distributif merubah pertanyaan itu.
Sebaliknya, yang ditanyakan adalah: Dalam kondisi apa leader
formal bisa meminimalkan perannya untuk meningkatkan
efektivitas? Kemudian, pertanyaan diajukan: Bagaimana fungsi
tradisional dari leadership (misal, pembuatan keputusan,
koordinasi, feedback, dukungan, dst) bisa dicapai jika tidak oleh
leader formal?

2.

PENDEKATAN LEADERSHIP DISTRIBUTIF
Leadership distributif menitikberatkan pada pembagian fungsi
leadership dari perspektif berbeda dan lewat berbagai mekanisme.
Leadership distributif ini sangat lambat berkembang menjadi area

[1]

MODEL LEADERSHIP HORISONTAL DAN DISTRIBUTIF


1.

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

studi dengan nomenklatur standar dan set konsep yang diterima luas (Conger dan
Pearce, 2003). Bahkan di jaman sekarang, banyak istilah berbeda digunakan untuk
konsep sama, sehingga terjadi overlap konseptual yang membingungkan, dan koneksi
antara tipe leadership distributif dan leadership tradisional menjadi lemah (Pearce dan
Conger, 2003a; Clarke, 2006). Pendekatan leadership distributif dipecah menjadi tujuh
kerangka teori berbeda, yaitu leadership informal, followership, superleadership, substitusi
untuk leadership, self-leadership, leadership tim, dan leadership network.
Perlu dicatat bahwa ada overlap dalam model dan teori leadership distributif.
Sebuah teori yang menggabungkan beberapa perspektif, yaitu shared leadership.
2.1 Teori Leadership Informal
Ada truisme bahwa semua pihak yang berposisi dalam otoritas – leader formal –
bukanlah leader “sebenarnya”, karena mereka bisa gagal memimpin atau tidak memimpin
sama sekali. Orang yang kurang posisi power formal malah dianggap sebagai leader.

Meski organisasi informal menerima perhatian dari Barnard (1938/1987), paham
hubungan manusia, dan peneliti manajemen (misal, studi klasik dari Davis, 1953),
leadership informal jarang dipelajari (Pielstick, 2000). Leader informal adalah orang yang
kurang posisi formal tapi bisa mempengaruhi pihak lain, apakah mereka mendukung
leader formal atau tidak. Leader formal dan leader informal bisa menggunakan keahlian
dan pengetahuan dalam berbagai tipe dan tentang dinamisme personal (yang disebut
karisma dan power referen). Hanya leader formal yang memiliki posisi substansial atau
power legitimate, yaitu, punya pangkat dan kemampuan untuk mereward dan
menghukum. Bahkan tanpa otoritas formal, leader tertentu bisa naik ke level pengaruh
yang besar, seperti Spartacus di Romawi kuno yang memimpin pemberontakan budak
yang hampir menggulingkan kerajaan, sampai berbagai pemberontakan petani “tanpa
leader”, di Eropa yang ingin mengingatkan majikan aristokratiknya bahwa ada batas untuk
ketamakan (Bass, 2008). Banyak pekerja modern memiliki power legitimate yang
didapatnya dari sistem yang memiliki hak civil service atau union yang kuat. Lingkungan
tersebut bisa mendorong terjadinya leadership informal dengan membatasi perubahan
manajemen dan pembalasan manajerial, dan dengan memberikan hak hukum atau power
solidaritas frontline ke pekerja frontline. Karena itu, lingkungan organisasi cenderung
menciptakan atau menghapus kecenderungan leader informal. Meski begitu, keberadaan
individu yang berkemauan kuat yang memiliki skill yang dibutuhkan juga penting bagi
perkembangan leader informal yang kuat.

Leader informal memiliki kapasitas bertindak sebagai sumber pengaruh yang
terpisah dari leader formal. Mereka bisa bertindak dalam cara yang secara pasif atau aktif
mendukung leader formal, tapi juga bertindak dalam cara melawan leader formal bila
kurangnya dukungan ke oposisi aktif (Wheelan dan Johnston, 1996). Leadership informal
adalah penting khususnya di awal inisiatif baru (Pescosolido, 2001), dalam transisi
leadership, dan dalam waktu krisis, ketika leadership formal adalah lemah atau ditantang
oleh kondisi eksternal. Leader informal bisa meredam efek buruk dari power leader
formal, memberikan ide baru, membantu komunikasi dan memastikan bahwa pegawai
dan perspektif alternatifnya dipertimbangkan dengan benar (Van Vugt, Hogan dan Kaiser,
2008). Karena ada sedikit leader informal, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
mereka dinilai koleganya sebagai yang berbakat lebih tinggi dalam rata-rata dibanding
leader formal (Pielstick, 2000). Sebagai leader formal, leader informal bisa “buruk”.
Leader informal bisa menggunakan power “informal” secara korup untuk meningkatkan
kepentingan self-serving dibanding kepentingan kelompok atau individu rawan, menolak

[2]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012


ide baik karena itu baru, menyimpangkan dan memanipulasi informasi, dan menciptakan
atmosfir permusuhan. Power yang dihubungkan dengan leader informal yang
berpengaruh besar cenderung didapatkan dari skill komunikasi yang baik, termasuk
mendengar, keahlian dan kredibilitas, dan kehormatan dan kepercayaan kolega.
Berdasarkan tujuan kinerja, leader informal cenderung menfokuskan diri ke
kepentingan dan kebutuhan pegawai atau konstituen lebih rendah. Mereka sering
menggunakan power informal untuk melindungi hak pegawai atau klien, kadang dengan
menggunakan dirinya sendiri sebagai kasus tes. Leader informal bisa meningkatkan
produksi dengan menuntut perubahan proses, alat yang lebih baik, atau pemberhentian
manajer yang tidak efektif. Seringkali, leader informal tidak peduli dengan produktivitas
atau efisiensi karena lebih peduli dengan kebutuhan dan hak pegawai. Kadang leader
informal ingin mengurangi produktivitas untuk menghukum manajemen dan meningkatkan
power leader. Karena leadership informal cenderung menjadi lebih penting, baik untuk
kebaikan atau keburukan dalam tatanan power-sharing, maka ini penting bagi tim dengan
banyak determinasi-diri, dan ini adalah topik yang perlu diteliti (sering disebut leadership
emergent). Leadership informal bisa kadang terjadi dalam manajemen, dimana leader
junior bisa memiliki pengaruh karena rekan satu manajerialnya, atau karena
popularitasnya di mata pegawai atau stakeholder eksternal. Meski leader formal
mengabaikan leader informal, mereka harus berhati-hati dalm menjaga keseimbangan

antara rasa hormat yang sehat dan independensi (Barnard, 1938/1987). Ketika leader
formal dan informal yang baik berfungsi secara ideal, ada satu tipe ko-produksi dimana
leader informal membantu memanusiawikan organisasi, memberikan feedback yang
berguna dan lebih awal, dan meningkatkan motivasi pekerja dengan memfasilitasi
penalaran dan hubungan.
2.2 Teori Followership
Teori followership berhubungan dengan teori leadership informal, tapi ini berbeda
secara analitik (Shamir dkk, 2007). Bila leadership informal cenderung memberikan
emphasis ke basis power terpisah yang dimiliki pihak yang minim posisi fromal (apapun
keuntungan atau kerugiannya), followership menitikberatkan ke pentingnya follower dalam
mengevaluasi kinerja leadership formal. Kita akan menjelaskan penelitian Barbara
Kellerman (2007, 2008).
Agar menjadi bagian dari proses perubahan, khususnya dalam menolak dan
merubah leader, follower harus ikut serta. Kellerman mengemukakan lima tipe follower
yang didasarkan pada level hubungan, yaitu isolat, bystander, partisipan, aktivis dan
diehard. Isolat akan diambil dan dipisahkan, dan diasingkan dari organisasi dan rekan.
Bystander memberikan dukungan pasif ke status quo lewat sikap diam dan tipe “free
rider”, tapi tergantung pada self-interest-nya. Partisipan cukup mampu dan mau
memberikan investasi waktunya. Aktivis sangat mapan dan mau mengekspresikan
dukungan atau oposisi terhadap leader formal. Diehard berkomitmen ke posisi ideologi

atau memilih isu yang dipilih, dan mau bertempur dengan semangat untuk sukses dalam
posisinya meski jika membahayakan kerjanya. Pihak yang tidak memiliki atau sedikit
memiliki hubungan – isolate dan bystander – bisa memberikan nilai sedikit bagi proses
leadership, tapi ini diperlunak oleh kemauan melakukan penilaian basis-persetujuan
bukan penilaian basis-penilaian mendadak atau kepentingan selfish. Karena itu, follower
yang baik adalah yang memiliki hubungan mantap dan memiliki informasi. Meski leader
informal jumlahnya sedikit, follower yang baik berjumlah banyak dan relatif kohesif dalam
melakukan perubahan leadership bila dibutuhkan. Seperti leader informal, follower tidak

[3]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

terbatas pada pegawai frontline. Dewan korporat memiliki tipe fungsi institusionalis untuk
membangun kepentingan follower dalam kasus stockholder (Pick, 2009).
2.3 Teori Superleadership
Manz dan Sims adalah proponen dari proses “memimpin orang lain untuk
memimpin dirinya sendiri”, dan ini disebut superleadership (1987, 1989, 1991).

Leadership distributif memberikan keuntungan bagi leader dan follower. Superleadership
memiliki persamaan dengan teori leadership situasional Hersey dan Blanchard (1969,
1972), yang mendukung empat gaya berbeda berdasarkan sub-variabel maturitas
bawahan. Meski begitu, superleadership menghapus gaya direktif, dan memadukan tiga
gaya lain menjadi gaya gabungan, dan ini dikatakan sebagai teori universal, bukan teori
kontingensi.
Gaya gabungan yang direkomendasikan Hersey dan Blanchard memiliki tiga
elemen, yaitu mendukung pihak lain, mempermudah partisipan dalam pembuatan
keputusan, dan mendelegasikan tanggungjawab substansial ke bawahan. Elemen
supportif yang dimaksud menitikberatkan pada perkembangan staff, konsultasi dan
dukungan psikologi. Elemen partisipatif menekankan pada konsultasi, mendengar dan
peningkatan inklusi dalam area tanggungjawab. Elemen delegasi difokuskan ke
penciptaan otonomi pekerja relatif dan self-review oleh bawahan.
Superleadership adalah sebuah teori universal karena ini merekomendasikan satu
gaya. Penganut superleadership berpendapat bahwa teori universal menggunakan
pendekatan jangka panjang karena kebutuhan jangka pendek seperti krisis bisa membuat
gaya lain menjadi lebih efektif (Houghton, Neck dan Manz, 2003). Kualitas penerapan
strategi memoderasi efektivitas. Strategi ini berisi pemberian perintah yang lebih sedikit,
mendukung penyelesaian masalah dan pembuatan keputusan oleh individu dan tim,
memodelkan self-leadership, mendukung self-leadership, menghindari hukuman,

mendengar banyak dan bicara sedikit, menguatkan kreativitas, mendorong pihak lain
belajar dari kesalahan, dan menciptakan independensi dan interdependensi antar pekerja.
Variabel kinerja primer adalah perkembangan dan empowerment bagi follower. Variabel
kinerja sekunder berisi kepuasan follower dan efisiensi produksi..
Superleadership berusaha memberikan basis teori literatur “empowerment” yang
ada di akhir 1980-an. Ini memberikan gambaran lebih jelas tentang aspek empowerment
sebagai sebuah gaya dan sebagai rangkaian strategi konkrit. Lebih jauh, superleadership
mengingatkan kita bahwa shared leadership diawali dengan peran aktif leader formal
dalam mempersiapkan, merekognisi, dan “membiarkan” follower. Jika follower tidak siap
untuk self-leadership and leadership tim, maka ini karena defisiensi dalam leader formal.
Terakhir, dengan pentingnya organisasi yang rata dan bergerak cepat di jaman sekarang,
superleadership menyatakan bahwa fungsi utama dari leader efektif jaman sekarang
adalah perkembangan. Di waktu sama, istilah superleadership adalah jingoistic, dan teori
ini kadang simplistik. Selain itu, teori bukan baru yang sebenarnya, tapi kemasan
kontemporer dari teori lama yang melihat leadership sebagai “perkembangan follower”.
2.4 Substitusi Bagi Teori Leadership
Ada banyak alasan mengapa ada keuntungan yang didapat dari minimnya
leadership yang dilakukan oleh leader formal. Leader formal memiliki waktu terbatas.
Minimnya leadership membuat mereka bisa memberikan fokus yang lebih sempit, dan
karena itu, bisa meningkatkan efektivitas di area kritis. Contoh, jika follower membutuhkan
sedikit leadership, maka leader formal bisa mampu memberikan fokus lebih efektif ke

[4]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

public relation, perencanaan strategis, pengembangan sumberdaya dan sebagainya.
Leader formal bisa dikatakan mahal, sehingga pengurangan jumlah bisa menghemat
uang. Leadership formal cenderung menekankan aspek eksternal dari pengawasan dan
sumber eksternal dari kreativitas. Leadership yang rendah menghasilkan level lebih tinggi
untuk pengawasan dan inovasi self atau kelompok. Leadership formal cenderung
membatasi dan mengontrol ketat aliran informasi. Di banyak situasi bisnis, batasan
tersebut selalu disfungsional karena ide yang baik dan antusiasme bisa terbentuk lewat
networking informal, komunikasi penyelesaian masalah lateral, dan bentuk non-hirarkis
dari difusi inovasi. Terakhir, leadership formal cenderung mengkonsentrasikan power yang
tinggi di rantai komando. Empowerment membutuhkan sebuah model leadership devolusi
dan desentralis. Ketika sukses diimplementasikan, empowerment bisa meningkatkan
akuntabilitas internal, semangat ownership, afiliasi profesional, dan proses buy-in dengan
tujuan kelompok.
Meski sudah dijelaskan dalam teori path-goal, Kerr (1977) dan Kerr dan Jermier
(1978) mengartikulasikan sebuah teori situasi dimana leadership rendah dibutuhkan
karena ini dimudahkan oleh “substitusi” untuk leadership. Mereka juga mengidentifikasi
kapan leadership bisa terbatas atau “netral”. Howell, Dorfman, dan Kerr (1986)
mengemukakan teori dengan moderator leadership lain, yaitu “enhancer” dan
“supplement”. Ini akan menghasilkan banyak dukungan (Hui dkk, 2007).
Ada dua gaya leadership yang dijelaskan teori substitusi. Pertama, sebuah gaya
delegasi dibuat ketika dibutuhkan leadership yang sedikit. Gaya delegasi memberikan
kebebasan relatif ke bawahan dalam pembuatan keputusan, dan memberikan kebebasan
dari pengawasan harian dan review jangka pendek. Meski begitu, perlu dicatat bahwa
dalam teorinya, delegasi leadership bukanlah elemen aktif, tapi sering ini menjadi
fenomena pasif. Contoh, ketika pekerja menjadi lebih berpengalaman dalam kerjanya,
level supervisi bisa jadi berkurang. Leadership formal atau aktif bisa dikurangi bila tidak
perlu.
Substitusi untuk leadership adalah variabel intervensi yang membuat bentuk
leadership non-delegasi menjadi redundan atau tidak terjamin. Variabel yang dimaksud
adalah karakteristik tugas, bawahan dan organisasi. Contoh substitusi yang dihasilkan
oleh tugas adalah kerja memuaskan, aliran kerja terprediksi, dan mekanisme feedback
yang dimasukkan dalam tugas. Contoh dari substitusi organisasi berisi aturan, prosedur
dan protokol formal (birokratisasi dan sentralisasi), kohesivitas kelompok kerja dan selfmanagement, dan budaya organisasi yang kuat. Contoh substitusi yang diberikan oleh
karakteristik bawahan adalah orientasi profesional dan kemampuan bawahan untuk
berfungsi otonom karena pengalaman dan pendidikan yang didapat sebelumnya. Kasus
substitusi untuk leadership yang berfungsi efektif bisa terjadi dalam setting tertentu,
seperti pabrik yang berjalan baik karena menggunakan fungsi spesialisasi, laporan error
individualis, dan protokol kerja yang detail; dan layanan sosial efektif yang dikolaborasi
tim manajemen senior layanan secara efektif beberapa tahun sehingga kepala agensi
mampu menfokuskan diri pada permintaan dana dan hubungan publik eksternal.
Variabel lain – neutralizer, enhancer, dan supplement – berfungsi berbeda dari
substitusi. Neutralizer membatasi kemampuan leader dalam mempengaruhi kinerja
bawahan. Ini adalah variabel moderasi untuk leadership formal. Variabel ini berisi
ketidakfleksibelan organisasi, budaya anti-manajemen, tingginya kebutuhan otonomi
pekerja, ketidakmampuan leader dalam mempengaruhi insentif pekerja seperti kenaikan
atau sangsi, kurangnya konsensus tentang tujuan terbaik yang harus dicapai, situasi
ketika pekerja memiliki sumberdaya alternatif, situasi kapan pekerja memiliki sumberdaya

[5]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

lain, dan kapan bawahan jauh dari leader. Enhancer memiliki efek sebaliknya. Enhancer
meningkatkan kemampuan leader dalam mempengaruhi kinerja bawahan. Ini bisa berupa
pengaruh ke atas dan lateral dari leader, kemampuan sanksi, kohesivitas kelompok kerja
ketika ada kecocokan nilai dengan leader, basis sumberdaya kuat yang bisa dikontrol
leader, budaya pro-manajemen, dan imej positif tentang leadership oleh bawahan.
Suplemen yang ada meningkatkan kemampuan leader dengan secara langsung
menguatkan alat leadership, seperti bantuan analitik, atau kapasitas leadership, seperti
pelatihan dan pendidikan. Karena itu, neutralizer, enhancer, dan suplemen, semuanya
memoderasi efektivitas bentuk leadership non-delegasi.
Ada hasil kinerja yang tidak terhitung besarnya tapi ini tergantung dari variabel
intervensi dan variabel moderasi yang terlibat. Hasil positif dari substitusi, enhancer, dan
suplemen bisa berupa efisiensi produksi, pembebasan waktu leader, motivasi pegawai,
dan peningkat pengaruh dan kapasitas leader. Hasil negatif dari neutralizer berisi
pengurangan pengaruh leader dan pengurangan pencapaian tujuan kelompok
Teori substitusi untuk leadership memiliki banyak kontribusi ke literatur. Pertama,
ada wawasan sentral bahwa leadership lebih banyak tidak selalu lebih baik. Waktu dan
sumberdaya leadership adalah komoditas yang harus dijaga dan digunakan secara
strategis seperti lainnya. Kedua, teori substitusi menciptakan basis intelektual bagi
pemberdayaan, self-management, dan literatur tim dimana leadership formal atau vertikal
akan berkurang. Ketiga, teori substitusi memberikan arah yang jelas bagi perubahan
sistem kerja sehingga waktu dan energi leader bisa dijaga, sedangkan efektivitas pekerja
bisa dipertahankan. Terakhir, teori substitusi memadukan berbagai literatur studi dan
wawasan level mikro tentang kapan dan bagaimana leadership berfungsi. Masalah utama
terkait dengan teori adalah bahwa ini hanyalah kerangka, bukan teori. Mungkin, ini cocok
dilihat sebagai dua teori. Meski substitusi, neutralizer, enhancer, dan suplemen adalah
semuanya variabel situasional, substitusi adalah variabel intervensi, sedangkan
neutralizer, enhancer, dan suplemen adalah variabel moderasi. Karena itu, bukannya
menjelaskan fenomena leadership secara elegan, ini hanya memberikan daftar kelas
situasional yang sifatnya berbeda (Dionne dkk, 2005).
2.5 Teori Self-Leadership
Berdasarkan satu definisi paling umumnya, leadership adalah seni dan praktek dari
pengaruh yang efektif (Bass, 1990). Self-Leadership adalah “proses mempengaruhi diri
sendiri” (Manz, 1992). Wawasan sentral dari teori self-leadership adalah bahwa sikap,
keyakinan, pola perilaku self-designed, dan preferensi motivasi individu, menghasilkan
sebuah perbedaan dalam pencapaian dan kepuasan personal ke pekerjaan, apakah itu
melibatkan eksekutif atau pekerja frontline. Self-Leadership berpendapat bahwa orang
yang cakap dengan praktek self-leadership adalah yang sering sukses dalam mendapat
posisi leadership yang lebih tinggi dan bisa dikatakan lebih efektif dalam posisinya. Sifat
yang mempengaruhi, atau yang dipengaruhi oleh, self-leadership berupa konfidensi diri,
ketegasan, resiliensi, energi, kebutuhan akan prestasi, kemauan memikul tanggungjawab,
fleksibilitas dan maturitas emosional. Skill pembelajaran kontinyu berhubungan langsung
dengan self-leadership.
Meski prinsip kontemporer dari self-leadership adalah relatif baru, ada beberapa
bidang yang bisa memberikan pondasi. Dalam psikologi, teori pembelajaran sosial
menitikberatkan kemampuan individu dalam belajar dan beradaptasi dalam setting
kompleks (Bandura, 1977, 1986). Teori motivasi intrinsik (Deci, 1975) menitikberatkan
kemampuan individu dalam memperkuat antusiasme alami di dalam tugas. Motivasi diri

[6]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

dipopulerkan oleh Norman Vincent Peale di akhir tahun 1940-an dan di tahun 1950-an
(Peale, 1956, 1959). Dalam literatur manajemen, self-leadership diawali oleh selfregulation (Kanfer, 1970), self-control (Mahoney dan Arnkoff, 1978), dan self-management
(Luthans dan Davis, 1979).
Untuk gaya yang direkomendasikan, ternyata hanya satu gaya yang disarankan
dengan sejumlah sub-elemennya, yaitu self-leadership. Gaya ini mudah dibandingkan
dengan teori lain. Meski begitu, pengecualiannya adalah bahwa self-leadership adalah
terfokus pada self. Karena itu, self-leadership berisi self-direction, self-support, selfachievement dan self-inspiration. Bukannya mengandalkan orang lain untuk mencari
panduan, konfidensi, tujuan atau stimulasi, teori self-leadership menyatakan bahwa orang
harus mengandalkan dirinya sendiri, apakah dia seorang manajer, pekerja kantor, atau
eksekutif.
Self-leadership adalah sebuah gaya universal yang tidak difokuskan ke variabel
intervensi. Ini difokuskan secara ekstensif ke strategi spesifik yang menghasilkan selfleadership efektif. Ada tiga tipe strategi yang diidentifikasi, yaitu strategi terfokus-perilaku,
strategi reward alami, dan strategi pola pikir konstruktif. Strategi terfokus-perilaku
membantu kita merubah cara kita berinteraksi dengan dunia. Strategi global berisi
pengingat dan penfokus perhatian, penghapusan petunjuk negatif, dan peningkatan
petunjuk positif. Strategi ini berguna dalam membantu kita menyelesaikan tugas yang
dibutuhkan, tapi tidak diinginkan. Contoh dari strategi perilaku tersebut adalah daftar “apa
yang harus dilakukan”, organizer, identifikasi dan penghapusan gangguan dan pembuang
waktu, dan identifikasi dan penggunaan orang dan artifak yang meningkatkan
produktivitas. Ada juga strategi perilaku spesifik. Self-observation selalu membutuhkan
self-evaluation yang periodik, disiplin dan jujur. Ini dianggap seperti memberikan feedback
yang self-correcting. Self-goal-setting adalah tindakan menentukan tujuan selain tujuan
yang ditetapkan organisasi. Self-Reward adalah tindakan “menyenangkan diri sendiri”
ketika tujuan yang self-defined telah dicapai dan merayakan kesuksesan sendiri. Selfpunishment adalah tindakan mengkoreksi praktek masa lalu yang defektif, tapi tidak
melakukan self-guilt, yang malah disfungsional. Rehearsal adalah tindakan melatih
sesuatu yang membutuhkan perbaikan atau harus dilakukan dengan level kualitas yang
baik, seperti pidato di depan publik.
Individu menganggap tipe kerja berbeda lebih memuaskan dibanding lainnya.
Tepatnya, beberapa tipe kerja memberikan reward alami lebih banyak bagi orang. Hampir
semua kerja bisa memiliki reward intrinsik jika orang memiliki sikap mental yang tepat.
Seorang manajer yang dilatih sebagai akuntan tidak suka “mengelola dengan berjalan”
(managing by walking around), tapi lebih suka mengolah bakat sehingga meningkatkan
motivasi dan mengolah data kualitatif sehingga bisa diamati. Dengan mengatasi
kebencian negatif dan menfokuskan pada aspek positif dari pekerjaan, reward alami bisa
ditingkatkan. Ini berarti ada liabilitas “insentifisasi” ke apapun yang dilakukan pekerja,
karena insentif lebih kuat daripada reward alami – dan motivasi – sebagai driver efektif
dan efisien-biaya dari produktivitas dan kualitas. Terakhir, self-management berarti bahwa
sekuensi, pencampuran, dan lokasi aktivitas menghasilkan perbedaan dalam cara reward
alami aktivitas diberikan, dan juga menghasilkan perbedaan dalam kualitas kerja. Aktivitas
yang kurang diinginkan bisa dijadwalkan lebih awal baik dalam hari atau minggu untuk
memastikan bahwa aktivitas “dijalankan” dengan cara tepat. Aktivitas fisik bisa
dijadwalkan di sore hari untuk memecah monotonitas harian. Produk manajemen besar
seperti laporan, rencana strategis, dan skedul detail perlu diatur dalam lokasi tenang
dimana gangguan bisa diatasi atau dibuat minimum.

[7]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

“Strategi pola pikir konstruktif berusaha menciptakan atau merubah proses pikiran
kognitif. Set strategi ini berisi tiga cara dimana proses pikiran dirubah, yaitu self-analysis
dan perbaikan sistem keyakinan, imej mental dari hasil kinerja sukses, dan self-talk positif
(Houghton, Neck dan Manz, 2003). Pola pikir disfungsional adalah hambatan dari
produktivitas. Pola pikir ini berisi persepsi diri tentang ketidakkompetensian, kesulitan
menyelesaikan tugas, permusuhan oleh pihak lain, atau kegagalan dalam membuat
progress. Self-talk didefinisikan sebagai rehearsal psikologi atau dialog internal yang bisa
kita lakukan secara sadar atau tidak sadar. Mudah bagi orang untuk melakukan self-talk
negatif atau pesimistik tanpa feedback eksternal untuk mengkoreksinya. Self-talk negatif
tentang diri sendiri bisa memunculkan kegagalan, mediokritas, dan/atau mengurangi
efektivitas. Tentu saja, self-talk negatif tidak sama seperti evaluasi diri, yang dilakukan
dalam cara tepat waktu, agar bila sebelum kinerja, bisa memberikan waktu untuk
merubah, atau bila setelah kinerja, bisa menjadi pijakan untuk usaha masa depan. Selftalk negatif ibaratnya mensabotase level energi tinggi dan menghambat kesuksesan.
Terakhir, visualisasi positif adalah alat yang kuat untuk menghasilkan upaya lebih jauh
meski harus letih dan ada kelemahan. Meski bukti empiris terbaik berasal dari atletik, ini
adalah strategi yang bisa membantu pembuatan laporan sulit, yang melawan tujuan
kinerja, atau penyelesaian wacana studi akademis. Contoh, siswa yang tidak yakin
apakah dia mampu menyelesaikan program master karena persaingan komitmen, dan
yang jarang membayangkan apa yang bisa terjadi dengan gelarnya dan potensi karirnya,
adalah yang sulit menikmati program, berbuat baik, atau menyelesaikan programnya. Di
lain pihak, siswa yang suka stimulasi intelektual, menikmati tantangan logistik dan
intelektual, dan yang mimpi bahwa dia bisa mencapai tujuannya, adalah yang cenderung
menyelesaikan program studi dan menunjukkan perbaikan dramatis.
Variabel kinerja berisi peningkatan self-efficacy, standar personal yang lebih tinggi,
determinasi dan fokus lebih besar, dan kepuasan diri dan pemenuhan diri yang lebih
besar. Satu kekuatan dari self-leadership adalah bahwa ini memiliki pendekatan
commonsense. Benjamin Franklin dan Aesop mengatakan bahwa Dewa (atau Tuhan)a
membantu orang yang membantu dirinya sendiri. Self-discipline, self-analysis, self-goalsetting, self-improvement, dan sebagainya, adalah hal dasar bagi kesuksesan dan
kebahagiaan jangka panjang (Fletcher dan Cooke, 2008). Optimisme, antusiasme dan
sikap positif bisa menghasilkan sebuah perbedaan. Kekuatan lain dari self-leadership
adalah bahwa ini adalah proses mature dari nostrum syrupy Peale yang eksesif menjadi
sebuah badan mature yang berisi pikiran dan penelitian tanpa kehilangan emphasis
terapannya. Terakhir, self-leadership adalah teman bagi pendekatan sifat ke leadership.
Ini bukan hanya menjelaskan situasi sebuah sifat seperti konfidensi diri tapi juga strategi
untuk meraihnya. Kelemahannya adalah bahwa self-leadership bukanlah bentuk
sebenarnya dari leadership jika leadership didefinisikan memiliki follower atau
memperluas pengaruhnya ke orang lain. Karena itu, istilah self-leadership, seperti
superleadership, adalah sebuah sedikit rentangan, dan mungkin bukan pilihan istilah
terbaik. Sebuah istilah seperti self-management, mungkin lebih cocok dan jarang mudah
dipengaruhi. Fungsi leadership didelegasikan bukan hanya ke individu yang selfleadership tapi juga ke tim.
2.6 Tim Yang Self-Managed
Seperti bentuk lain dari leadership distributif, tim self-managed sangat lambat dalam
perkembangannya. Penjelasan tentang tim di tahun 1950-an sampai 1970-an dalam
literatur manajemen mainstream sering menyebut nama tim hirarkis – yaitu tim yang

[8]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

melapor ke leader formal. Literatur leadership menfokuskan diri ke kemunculan leadership
di dalam kelompok yang tanpa leader, tapi tujuan utama dari leadership tersebut adalah
mempelajari formasi leadership, bukan fungsi leadership tanpa leader formal. Pertukaran
sosial dan teori peran mengkristalkan beberapa wawasan sosial penting bagi leadership,
tapi ini jarang dianalisa dalam sebuah konteks self-management. Meski begitu, di tahun
1980an, perhatian besar diberikan ke inovasi Jepang dalam hal devolusi, pemberdayaan
pegawai, lingkaran kualitas dan ukuran yang sama. Ini mengawali terjadinya perubahan
dramatis dalam pemeriksaan tim. Dengan cepat, minat untuk mempelajari tim perbaikan
kualitas yang self-managed, tim proyek yang “empowered”, dan berbagai tipe kelompok
user self-managing, mulai menjamur. Teori lama dianalisa lagi dalam konteks fungsi
leadership distributif di dalam setting kelompok kerja atau proyek tradisional, bukan di
saat mengontrol kelompok atau memastikan pengaruh leader (Burke dkk, 2006).
Tim self-managed dan yang dijalankan secara formal ditata di sebuah spektrum.
Perbedaan antara leadership tim formal dan tim self-managed baru terasa di level
ekstrim. Tim yang dikelola formal memiliki leader “kuat” yang memilih anggota atau tugas
kerja, mengawasi progress, mendorong anggota, memberikan feedback bagi deviasi
kerja, menentukan tujuan, mengevaluasi progress, dan mengkomunikasi harapan
organisasi ke anggota sekaligus mengkomunikasikan kinerja tim ke organisasi. Dalam
cara ekstrim, tim self-managed memilih anggotanya, semua anggota mengawasi
progress, pendorongan diberikan oleh kolega, penentuan tujuan dan evaluasi dilakukan
dalam sebuah setting kelompok, masalah kerja (termasuk ekspulsi anggota) ditangani
secara komunal, dan leadership eksternal dirotasi atau ditetapkan oleh kelompok dalam
basis ad hoc.
Teori tim self-managed dikemukakan sebagai pendekatan universalistik bukan
pendekatan kontingensi untuk kenyamanan dan kejelasan. Para pengguna teori tersebut
berpendapat bahwa tim self-managed bisa hanya bergerak dalam kondisi khusus (disebut
variabel moderasi), dan harus dikatakan sebagai sebuah tipe dari sekian tipe leadership
tim, bukan tipe dari leadership tim. Gaya gabungan leadership tim mendistribusi fungsi
standar leadership antar kelompok, atau memudahkan kelompok membagi fungsi
leadership berdasarkan bakat dan ketersediaan anggota. Karena itu, arah, dukungan,
partisipasi, pencapaian, inspriasi, dan keterkaitan eksternal bisa ditentukan dan dijalankan
secara mutual. Praktek ini adalah sebuah bentuk demokrasi kerja, dan ketika berfungsi
ideal, ini bisa meningkatkan identifikasi kerja, seleksi tugas berbasis bakat dan
kepentingan, fleksibilitas dan inovasi. Ini juga mengurangi beban organisasi seperti
bayaran tinggi bagi sejumlah leader. Uang yang ada bisa diinvestasikan dalam profesional
bergaji tinggi yang bisa mengelola dirinya dalam individu dan dalam tim. Meski begitu,
ketika tim self-managed berfungsi dengan buruk, maka ini menyebabkan frustasi,
menimbulkan perselisihan yang tidak berujung, “free rider” (anggota yang tidak peduli
bobot dirinya), kerumitan tujuan, akuntabilitas yang rumit, pertemuan eksesif, dan patologi
manajemen lain.
Katzenbach dan Smith (1993) memberikan contoh baik dalam tipe kondisi yang
harus ada bagi tim self-managed agar berkinerja baik. Ada empat variabel moderasi. Yang
pertama adalah tujuan dan pendekatan umum oleh tim. Teori manajemen mengatakan
bahwa pekerjaan yang dilakukan kelompok harus ditata agar efisien, yang berarti bahwa
fungsi manajemen adalah memecah dan mengkoordinasi kerja (Mintzberg, 1973). Dalam
kondisi tertentu, meski begitu, pembagian dan koordinasi bisa disebar dan organik.
Bayangkan sebuah keluarga besar yang berkumpul dan anggotanya membawa makanan
berbeda. Makan besar keluarga akan diadakan di jam lima, sehingga anggota yang self-

[9]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

select (tanggap dengan sendirinya) menjadi sibuk dengan sendirinya ke apa yang
dianggap perlu. Setelah makan, kelompok lain yang merasa perlu bertugas mulai
melakukan pembersihan, dan menjalankan tugas berbeda dengan menutup kurangnya
leadership dan arah sentral atau formal. Contoh self-organizing ini menggambarkan
beberapa faktor yang menghasilkan tujuan dan pendekatan umum, seperti sejarah
kerjasama dan kerja bersama, proyek dan tujuan bersama, dan kepentingan umum.
Dalam dunia organisasi, pendekatan umum ditingkatkan dengan budaya dan filosofi kuat
yang kemudian mengandalkan latarbelakang pendidikan sama. Contoh, pendidikan kerja
sosial di agensi layanan sosial bisa memperkuat pendekatan umum. Meski begitu, karena
banyak perspektif disiplin multipel yang digunakan di banyak tim, dan karena
kompleksitas fungsi teknis yang harus dijalankan, maka banyak organisasi yang ingin
mencetak tim self-managed perlu menjalankan pelatihan tim ekstensif (Scholtes, 1988).
Pelatihan ini mengajarkan fungsi dasar leadership atau bagaimana mendistribusikan
fungsi leadership.
Prinsip lain dari teori manajemen adalah bahwa tanpa akuntabilitas, produktivitas
bisa lambat dan kualitas bisa beragam menurut levelnya. Jawaban manajemen klasik
harus memberikan level kaskade otoritas leadership dalam sebuah setting hirarkis.
Katzenbach dan Smith adalah orang yang mengatakan bahwa di banyak setting,
akuntabilitas mutual adalah efektif atau lebih efektif dibanding akuntabilitas vertikal. Teori
pertukaran sosial menyatakan bahwa sebagian aksi di setting kerja adalah rasional, dan
didasarkan pada resiprokitas. Di level tangibel, upah diberikan untuk layanan yang
diterima, dan pertimbangan khusus diberikan untuk kerja keras. Tidak ratanya power tidak
perlu menjadi sebuah faktor dalam pertukaran. Tim berkinerja tinggi digambarkan dengan
pertukaran tipe kontribusi berbeda dengan usaha tim dan digambarkan dengan
pertukaran “kesukaan” tanpa syarat. Di level intangibel, pertukaran implisit bisa berisi
loyalitas yang ditukar dengan keamanan, dan patuh ke leader yang ditimbal balik dengan
kehormatan ke kecakapan pekerja. Pengaruh dan rasa hormat bisa sama atau resiprokal.
Agar akuntabilitas mutual bisa terbentuk, maka keuntungan mutual harus ditukarkan
secara bebas dan konsisten, dan hubungan power harus relatif sama. Makna kuat dan
positif dari kebersamaan nasib bisa memotivasi tim. Tim performa tinggi bisa
menggunakan prinsip mutualitas mendalam untuk mengangkat anggota tim ke level
usaha besar saat menghadapi tuntutan, deadline, atau krisis yang tidak biasa.
Prinsip ketiga dari tim self-managed yang berfungsi baik adalah perlunya skill
komplementer. Teori peran memberikan basis untuk tindak lanjut. Peran terbaik selalu
didasarkan pada skill dan kepribadian individu. Kejelasan peran menghasilkan perbedaan
dalam kenyamanan anggota, efisiensi dan pengurangan konfusi. Lebih jauh, perbedaan
peran bisa menjadi lebih penting dengan kompleksitas tugas. Skill komplementer
didasarkan pada bakat alam anggota tim yang dikembangkan agar spesialis dalam
efisiensi dan koordinasi. Meski begitu, sebuah dalil pentingnya adalah bahwa peran
leadership harus didistribusikan. Teori peran menyatakan bahwa pihak dalam peran
leadership diharap bisa kompeten dalam skill sosial dasar, memiliki tindak-tanduk tepat,
dan layak dipercaya. Agar peran leadership bisa dibagi, semua anggota harus kompeten
dalam interpersonal, profesional dan layak dipercaya. Karena itu, meski anggota bisa dan
harus memiliki set skill berbeda untuk menciptakan usaha tim, maka mereka harus
memiliki kompetensi leadership dasar agar model manajemen difusif bisa diterapkan
dengan baik.
Kebutuhan terakhir dari tim self-managed yang sangat produktif adalah bahwa
mereka memiliki banyak anggota tim. Teori peran juga menegaskan bahwa ketika ukuran

[10]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

kelompok bertambah, tekanan memformalkan peran juga meningkat. Formalisasi peran
bisa meningkatkan keseragaman kerja, konsistensi harapan, dan kebutuhan akuntabilitas
kompleks. Meski begitu, formalisasi peran sering mengurangi fleksibilitas, ownership
umum produk kelompok, dan kreativitas dan inovasi. Tim self-managed berusaha
menghindari formalisasi peran agar bisa memberikan keuntungan bagi potensi kearifan.
Katzenbach dan Smith menegaskan bahwa “Semua tim yang kita temui, baca, dengar,
atau dimana kita pernah bergabung, bisa beragam anggotanya dari 2 sampai 25 orang.
Mayoritas mereka beranggotakan kurang dari sepuluh” (1993). Beberapa orang
mendukung agar anggota tim bisa berinteraksi langsung, mengenal satu sama lain,
percaya satu sama lain, dan merasakan ikatan masyarakat yang kuat. Pendekatan umum
adalah yang lebih sering diambil, dan tujuan jarang menjadi terpecah. Penting untuk
diperhatikan bahwa, di beberapa bagian, akuntabilitas mutual bisa diawasi secara
informal.
Variabel kinerja memiliki keragaman tersendiri di literatur tim self-managed, dari
emphasis ke perkembangan individu lewat tim hingga emphasis ke produktivitas tim yang
tinggi. Katzenbach dan Smith (1993) berpendapat bahwa emphasis ke produktivitas tim
bisa ditemukan di dalam “organisasi kinerja tinggi”. Seperti model transformasi Bass, yang
menitikberatkan pada “harapan di luar kinerja”, variabel kinerja juga berisi produksi tinggi,
keselarasan eksternal, dan perubahan organisasi meski berada di level mikro. Ini juga
menghasilkan kepuasan follower, perkembangan mutual dan kualitas keputusan.
Meski ada sindiran ke “semangat tim” yang sering dihubungkan ke tim atlit, ada
beberapa teori konkrit tentang tim non-vertikal sampai sekarang. Teori tim menjelaskan
adanya mode organisasi kuat, dan memberikannya perhatian sentral. Meski kadang
dibesar-besarkan sebagai revolusi manajemen yang bisa merubah dunia organisasi
(Peters, 1992, 1994; Manz dan Sims, 1993), ada sedikit keraguan bahwa tim dengan fitur
self-leadership memiliki dampak besar ke organisasi kontemporer. Kekuatan kedua dari
literatur ini adalah ditegaskan bahwa kelompok self-managed yang berkualitas tinggi tidak
pernah mudah dicapai, dan jarang terjadi di semua situasi. Faktanya, tim self-managed
menggunakan desain yang lebih sosioteknis dibanding yang digunakan tim leadership
vertikal normal. Ini sering diabaikan dalam organisasi tim tahun 1990-an, ketika banyak
organisasi memberdayakan tim yang berstruktur buruk dan kurang terlatih (yang
kinerjanya rendah atau buruk), atau ada salah paham bahwa tim diberdayakan ketika
dalam realitanya hanya mendelegasikan tanggungjawab tambahan (yang menyebabkan
burnout dan sinisme). Dengan perpaduan literatur tim dan peningkatan kepopuleran tim,
koneksi antara realita dan teori tim juga dijembatani. Teori tim masih sangat fragmentatif
dibanding aspek lain dalam literatur leadership. Ada sedikit konsistensi dalam
nomenklatur, konsep atau model teoritis. Sampai sekarang, tidak ada proses koheren
dalam menghubungkan tim self-managed dengan teori leadership (Day, Gronn dan Salas,
2006; Hmieleski dan Pearce, 2006).
2.7 Teori Leadership Network
Tipe leadership distributif difokuskan ke pembagian power dalam organisasi dan
dengan klien atau stakeholder klien. Leadership network difokuskan ke pembagian power
antar organisasi. Leadership network kurang memberikan emphasis ke peran leader dan
follower agar bisa menguatkan emphasis ke kebutuhan network, sistem, lingkungan atau
masyarakat. Ini merekomendasikan sebuah gaya kolaboratif yang melawan gaya nonkolaboratif. Ini sering menjadi bagian diskusi tentang pindah dari pemerintah ke

[11]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

pendekatan governance, dan berbagai tipe bentuk interorganisasi dan cross-sectoral dari
kerjasama (Klijn, Koopenjan, dan Termeer, 1995; Jackson dan Stainsby, 2000).
Hal penting di balik pemahaman leadership network adalah argumen tentang
potensi merit. Teori network dan ideologinya menitikberatkan pada perlunya mendukung
kesehatan masyarakat dan lingkungan untuk kebaikan semua orang. Ini membutuhkan
perspektif jangka panjang dalam meraih banyak hasil. Ini menitikberatkan ke perspektif
win-win yang kooperatif yang bisa didapat hanya dengan menyelesaikan masalah dengan
melihatnya sebagai peluang bila ini diperiksa cukup luas. Ini berarti bahwa semua sistem,
khususnya yang meningkatkan kebaikan umum, memiliki sumberdaya terbatas yang
cenderung membuang uang bila pendekatan sistemik tidak digunakan. Karena itu,
leadership kolaboratif cenderung terjadi dalam masyarakat dan lingkungan profesional
yang sensitif ke kebutuhan dan akuntabilitas komunal, dan dimana leader individu
memiliki kecenderungan kolaboratif.
Leader network cenderung memiliki mentalitas layanan kuat, dan bisa sangat baik
pada konsultasi dan pengamatan lingkungan. Mereka memiliki sense kuat ke masyarakat,
yang bisa masyarakat lokal atau regional, masyarakat lingkungan, komunitas praktek atau
kebutuhan (charity) dan seterusnya. Leader network sukses harus dipersepsikan sebagai
yang memiliki goodwill dan yang jarang memiliki hidden agenda, tapi memiliki waktu untuk
mendalami kepentingan mutual. Idealnya, leader network memiliki sumberdaya yang
tersedia untuk membantu masyarakat lebih besar tanpa khawatir dengan hasil investasi
yang cepat atau konkrit.
Basis penelitian berhubungan erat dengan gaya kolaboratif, dan ini banyak
dipengaruhi oleh perspektif publik dan perspektif non-profit. Teori leadership relasional
(Uhl-Bien, 2006) adalah cabang dari teori sistem yang menekankan pada proses
leadership, bukan orang yang menjalankan leadership (pendekatan entitas lebih dominan
di literatur dan di perspektif teori). Teori leadership hubungan difokuskan ke leadership
sebagia proses konstruksi sosial dengan tatanan sosialnya. Teori network cenderung
memiliki perkembangan normatif kuat seputar perlunya berbagi power untuk alasan etika
dan pragmatis (Agranoff, 2008a; Cortada dkk, 2008), dan untuk bekerjasama guna
menyelesaikan masalah tegas yang mungkin sulit dipecahkan (Chrislip dan Larson, 1994;
Heifetz, 1994).
Leader network dinilai lewat kontribusinya ke pembangunan masyarakat,
pembelajaran dan pembagian mutual, penyelesaian masalah kooperatif, dan
penyelesaian masalah “jahat”. Daripada mendapat “potongan pie yang besar”, maka
network leader berusaha memperluas ukuran pie untuk semua orang.
3.

KESIMPULAN
Tujuh tipe leadership didiskusikan di sini. Leadership informal terjadi dalam
tingkatan besar atau kecil di semua organisasi, baik dengan atau tanpa dukungan
manajemen, karena pegawai bawahan bukannya tanpa power residual dan beberapa
bawahan malah mau menggunakan pengaruhnya terhadap rekan dan atasan. Teori
followership menitikberatkan pada peran bawahan dalam mendukung atau melawan
leader dari perspektif etika dan efektivitas, bukan dari perspektif personalnya. Tepatnya,
follower dalam proses leadership dianggap sebagai basis evaluatif terpisah dari leadernya. Superleadership menjelaskan berbagai tipe pembagian power voluntary
(empowerment) yang terjadi ketika leader formal secara aktif menghasilkan bawahan,
mendukung partisipasi, dan mencari peluang untuk delegasi yang tepat. Ini ditegaskan
dalam teori leadership situasional Hersey dan Blanchard (1969, 1972), tapi teori

[12]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

superleadership Manz dan Sims (1989, 1991) kurang begitu memberikan emphasis ke
leadership direktif dan insentif negatif. Teori Substitusi untuk Leadership menyatakan
bahwa jawaban ke persoalan leadership ternyata tidak selalu banyak, tapi ada sedikit
untuk itu, yaitu proposisi kondisi empiris ketika tidak ada leader yang bisa meningkatkan
proses leadershipnya (Kerr dan Jermier, 1978). Kepada siapa atau apa yang dimaksud
dengan leadership distributif? Ada tiga jawaban – individu, tim dan network. Selfleadership mengamati karakteristik yang bisa dijalankan semua pekerja, dan berusaha
kurang dependen ke leader atau atasan formal, lebih mampu dijalankan dengan baik
dalam situasi leadership distribusi ekstensif, dan siap menerima atau memperluas
leadership formal jika dan kapan peran ini dijalankan. Kadang, leadership bisa terjadi
lewat sekelompok individu yang berbagi fungsi leadership sebagai sebuah tim. Teori tim
kinerja tinggi dari Katzenbach dan Smith (1993) menggambarkan perspektif tim selfmanaged sebagai contoh yang digunakan di sini. Kadang, leadership terjadi dalam
lingkungan yang lebih dispersif, seperti network, yang mana kolaborasi dengan pihak di
luar organisasi adalah sesuatu yang penting. Leadership informal, followership dan
superleadership memberikan emphasis ke perspektif berbeda, yaitu ke hubungan powersharing dalam proses leadership. Teori substitusi, self-leadership, dan leadership tim
difokuskan ke strategi konkrit untuk mengurangi peran leader formal dalam meningkatkan
distribusi tanggungjawab yang lebih baik ke follower. Leadership network mengambil
manfaat power-sharing dari luar organisasi.

TUGAS DAN DISKUSI KELAS
1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas
2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas
3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa

REFERENSI
Burke et al., (2006); Katzenbach dan Smith (1993); Mintzberg (1973); Scholtes (1988); Peters
(1992 – 1994); Manz dan Sims (1993). Model Leadership Horisontal dan Distributif.
Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service
Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London,
England.
Conger dan Pearce (2003); Clarke (2006); Barnard (1938 – 1987); Davis (1953); Pielstick
(2000); Bass (2008); Wheelan dan Johnston (1996). Model Leadership Horisontal
dan Distributif. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in
Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New
York, London, England.
Day, Gronn dan Salas (2006); Hmiekeski dan Pearce (2006); Klijn, Koopenjen dasn Termeer
(1995); Jackson dasn Stainsby (2000). Model Leadership Horisontal dan Distributif.
Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service
Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London,
England.
Kanfer (1970); Mahoney dan Arnkoffi (1978); Luthans dan Davis (1979); Houghton, Neck dna
Manz (2003); Benyamin Frankin dan Aesop, Fletcher dan Cooke (2008). Model

[13]

Kepemimpinan Sektor Publik / Model Leadership Horisontal dan Distributif

2012

Leadership Horisontal dan Distributif. Dalam Montgomery Van Mart (2011).
Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition.
M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Kerr (1977); Kerr dan Jermier (1978); Howell, Dorfman dan Kerr (1986); Hui et al., (2007);
Dionne et al., (2005); Bass (1990); Manz (1992); Deci (1975); Bandura (1977 – 1986);
Norman Vincent Peale (1940, 1950, 1956 – 1959). Model Leadership Horisontal dan
Distributif. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public
Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York,
London, England.
Manz dan Sims (1987 – 1989 – 1991); Hersey dan Blanchard (1969 – 1972); Houghton, Neck
dan Manz (2003). Model Leadership Horisontal dan Distributif. Dalam Montgomery
Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice.
Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and
Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Uhl-Bien (2006); Agranoff (2008a); Cortada et al., (2008) Chrislip dan Larson (1994); Herfertz
(1994). Model Leadership Horisontal dan Distributif. Dalam Montgomery Van Mart
(2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second
Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

[14]