PENGARUH PEMIKIRAN DAN GERAKAN POLITIK SYIAH IRAN DI INDONESIA

PENGARUH PEMIKIRAN DAN GERAKAN
POLITIK SYIAH IRAN DI INDONESIA
Gonda Yumitro
Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
yumitro@gmail.com

Abstract
Based on its ideology and model of developed movement, Iranian Shia has been
intensely extending its ideology to various countries, including to Indonesia. The
export of this ideology aims to create full power for Shia in the international
world. Through literature reviews methodology, it is found that the thought and
movement of Iranian Shia have influenced Indonesia significantly, especially by
the support of Iran. These influences can be seen by the increasing number of
followers, the development of education and publication activities, the
involvement of Iran Shia cadres in Indonesian politics, and the developing of
unfair and unbalance cooperation between Indonesia and the Iranian government.

Keywords: Iran, Indonesia, Movement, Shia, Thought.
Pendahuluan
Kemunculan Syiah sangat erat kaitannya dengan isu politik. Pasca
meninggalnya Rasulullah, mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar

bin Khattab dan Utsman bin Affan. Menurut Syiah, Ali bin Abi Tholib adalah
khalifah resmi yang direbut kekuasaanya oleh pemimpin pendahulu.
Karenanya, mereka menamakan diri sebagai Syiah yang bermakna pengikut

237

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

Ali (Said, 2017). Begitu juga dalam kepemimpinan umat Islam, Syiah
meyakini bahwa hanya keturunan Rasulullah saja yang berhak menjadi
pemimpin (Jacob & Itan, 2003). Dalam perjalanannya, Syiah
berkembang menjadi pemahaman agama yang berbeda dengan Sunni.
Dalam politik, Syiah membangun konsep sendiri yang mengatur
sistem agar senantiasa sesuai dengan kepentingan Syiah. Mereka
memperkenalkan konsep wilayat al faqih yang mencoba menggabungkan
konsep demokrasi dengan fondasi keagamaan sesuai dengan yang mereka
paham. Implementasinya di Iran dikenal dengan bentuk negara Republik
Islam Iran pasca revolusi 1979. Bahkan setelah itu, ideologi Iran semakin
gencar diekspor ke berbagai negara lain, termasuk Indonesia.
Telah terjadi beberapa kali konflik yang berkaitan dengan isu Syi’ah,

misalnya dalam peristiwa Sampang. Bahkan data di lapangan
menunjukkan potensi terjadinya konflik antara kelompok Sunni dan Syiah
sangat kuat. Hal ini disebabkan perbedaan pandangan politik, agama dan
peningkatan jumlah pengikut Syiah di Indonesia. Tulisan ini akan
menganalisa pengaruh pemikiran dan gerakan politik Syiah Iran di
Indonesia. Namun sebelumnya, penulis akan terlebih dahulu
menggambarkan pemikiran dan gerakan politik Syiah Iran secara umum.
Pemikiran dan Strategi Politik Syiah
Syiah merupakan salah satu kelompok yang muncul dalam sejarah Islam
dengan justifikasi sebagai pendukung Ali bin Abi Thalib. Menurut kelompok
ini, yang paling berhak untuk menjadi pemimpin bagi umat Islam pasca
wafatnya Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya, kelompok ini
menilai bahwa sudah terjadi persekongkolan antara Abu Bakar Asshidiq dan
Umar bin Khattab serta Utsman bin Affan untuk merebut kekuasaan. Ali bin
Abi Thalib baru menjadi khalifah setelah Ustman bin Affan wafat. Namun,

238

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)


ternyata kepemimpinan beliau pun masih dipersoalan oleh Aisyah, istri
Rasulullah dan Muawiyyah bin Abi Sufyan, bahkan menyebabkan
terjadinya perang siffin (Amin, 2001)
Isu yang awalnya berasal dari persoalan politik ini pun berkembang
bahkan memunculkan perbedaan dalam memahami Islam. Bagi Syiah, AlQur’an yang dipakai oleh umat Islam sekarang ini sudah dipalsukan oleh
Utsman bin Affan karena mereka menggunakan mushaf Utsmani. Menurut
mereka, Al-Qur’an yang asli dibawa oleh Imam kedua belas yang akan
menjelma menjadi imam Mahdi. Demikian juga, dalam permasalahan syariat,
Syiah memandang bahwa sholat lebih utama jika menghadap batu atau tanah
karbala yang merupakan perlambang dari terbunuhnya Hussein bin Ali pada
tahun 680 M di Karbala (Kelidar, 1983). Selain itu, ada banyak perbedaan
syariat lainnya termasuk masalah nikah mut’ah.

Namun demikian, dalam konteks politik sebagai kelompok yang
merasa selama ini didiskriminasi dan tertekan, Syiah punya misi besar
untuk mensyiahkan dunia Islam. Mereka dengan Bahasa sederhana
mendukung semangat terbentuknya khalifah Syiah. Tentu saja untuk
upaya ini mereka perlu melakukan berbagai strategi untuk menarik
simpati dunia Islam, termasuk upaya menguasai berbagai negara yang ada
di sekitar Saudi Arabia, mengingat Makkah dan Madinah merupakan dua

kota suci yang berperan layaknya sumber mata air bagi ajaran Islam.
Sejauh ini, jumlah Syiah di dunia masih minoritas, mereka mewakili 15%
dari semua umat Islam. Meskipun demikian, di beberapa negara jumlah
mereka sudah menjadi kelompok mayoritas misalnya di Iran, Irak, Libanon
dan Bahrain (Fuller, 2007). Fenomena Iran dan Libanon bahkan sudah menjadi
daya tarik tersendiri dalam isu politik Internasional, disamping ajaran ini
berkembang di berbagai negara lainnya seperti Azerbaijan, Saudi Arabia,
Lebanon, Syria, Kuwait, Afghanistan, Pakistan, India, Qatar, United

239

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

Arab Emirates, Indonesia, dan Yaman (Maleki, 2006). Kekuatan Syiah
secara umum bisa terlihat dalam gambar berikut (Street, NW,
Washington, & Inquiries, 2009):

Salah satu isu penting yang mengangkat persoalan Syiah adalah
ketika terjadi revolusi Iran pada tahun 1979, dan invasi Amerika ke Irak
pada tahun 2003. Pada dua kejadian tersebut, Syiah merupakan aktor

politik penting, terutama dalam menggambarkan permusuhan mereka
kepada Sunni (Zulkifli, 2013). Dua peristiwa ini mempunyai peran
besar dalam memperkuat rasa persatuan di antara sesama kelompok
Syiah untuk meraih kepentingan mereka.
Menurut Syiah, solidaritas di antara mereka perlu dibangun karena
selama ini senantiasa menjadi korban dan diperlakukan secara kejam
oleh Sunni (Nakash, 2003). Mereka menggambarkan bahwa hal ini
sudah terjadi sejak perebutan kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib dan
dalam sejarah kekhalifahan berikutnya, seperti pada masa Abbasiyah
(Al Da’mi, 2013). Padahal dalam realitasnya, merekalah yang senantiasa
berlaku kejam ketika sudah mempunyai kekuatan.

240

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)

Hal ini terlihat dari bagaimana Syiah dengan gencar melakukan berbagai
pemberontakan dan tindakan kekerasan kepada rakyat Turki pada masa Turki
Ottoman. Karena kerasnya sikap Syiah terhadap ahlussunnah Turki,
menyebabkan Nader Shah mengeluarkan beberapa aturan istimewa untuk

Syiah, seperti: 1. Syiah dikenali sebagai mazhab kelima dalam Islam;

Syiah perlu diberikan akomodasi khusus di kota Mekkah; 3. Setiap
tahun perlu ada Amir al Hajj yang berasal dari Iran; 4. Antara Ottoman
dan Persian harus saling tukar menukar duta besar (Al Da’mi, 2013).
Berbagai upaya untuk meraih kepentingan Syiah terus mereka
lakukan sampai sekarang. Para pendukung Syiah terus berusaha
membangun opini publik untuk menggambarkan bahwa Syiah bersih dari
dosa masa lalu. Mereka menampilkan diri sebagai pahlawan bagi umat
Islam di masa ketika negara-negara Islam sudah lemah menghadapi barat
dewasa ini. Iran diperkenalkan sebagai negara yang tegas menghadapi
barat. Hal ini rupanya menarik perhatian umat Islam dan menyebabkan
kesulitan dalam memahami peta politik yang sesungguhnya.

2.

Belum lagi dalam Pemikiran politik, Syiah terkenal sangat rasional dalam
menggunakan konsep Marxisme berkaitan dengan teori dependensi. Bagi
mereka semua bentuk dominasi barat yang berlangsung di dunia Islam
selama ini harus segera diakhiri dengan menampilkan diri sebagai sosok yang

mampu menengahi sikap ekstrim dan moderat dalam beragama. Karenanya
Iran sebagai negara Syiah menampilkan diri dengan konsep wilayat al faqih.
Melalui konsep politik ini, mereka optimis bahwa kepentingan Syiah akan
bisa senantiasa diperjuangkan, meskipun aktor politik berganti1. Ali Syariati,
bapak revolusi Iran juga menawarkan penggabungan metode ideologi dan
saintifik dalam menyelesaikan berbagai persoalan dunia Islam, selain karena
tantangan eksternal. Karenanya ia terkenal dengan ucapannya, “What is
important to us now are Luther’s and Calvin’s works, since they transformed the
Catholic ethics to a moving and creative force” (Sukidi, 2005).

241

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

Ketika masih minoritas, Syiah akan sekuat mungkin berusaha
mempengaruhi kebijakan pemerintah dimana pun mereka berada. Oleh
karena itu, dapat dipahami jika ada kebijakan pemerintah yang tidak
mendukung keberadaan mereka maka Syiah akan protes sebagaimana
yang dilakukan dalam upaya membatalkan fatwa MUI Jatim tentang
kesesatan Syiah pada tanggal 21 Januari 2012. fatwa MUI tersebut juga

didukung oleh Gubernur Jatim dengan mengeluarkan Surat Keputusan
(SK) nomor 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan
dan Pengawasan Aliran sesat di Jatim (Ida & Dyson, 2015).
Adapun jika sudah kuat, mereka tidak segan melakukan tindak
kekerasan. Hal ini bisa terlihat dari perkembangan politik di Iran dan
Suriah dimana kelompok Sunni begitu tertekan. Di Iran, masjid-masjid
Sunni dihancurkan dan para ulama dibunuh. Demikian juga di Suriah,
akses terhadap ekonomi dan politik secara lebih luas diberikan kepada
kelompok Syiah karena rezim politik dikuasai oleh Syiah Alawi. Pada
masa revolusi sekarang ini pun, para ulama, anak-anak, wanita dan
orang tua Sunni menjadi sasaran serangan kelompok Syiah.
Syiah sudah mulai menunjukkan identitas asli mereka setelah lepas dari
kekuasaan Saddam Hussein di Irak. Konflik sektarian pun terus berlangsung,
bahkan dengan jumlah korban yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
masa kekuasaan Saddam Hussein (Dale, 2007). Bahkan ketika masih studi di
India, penulis menemukan kelompok Syiah Irak yang ketika mendengar atau
menyebut nama Saddam Hussein maka mereka mengucapkan la’natullahu
‘alaihi. Dengan kekuasaan Syiah sekarang, kelompok Sunni Irak mengalami
diskriminasi yang menunjukkan semakin kuatnya ancaman Syiah.


Iran Sebagai Kekuatan Politik Syiah
Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa Iran punya posisi sangat
strategis dalam perkembangan Syiah dewasa ini. Iran bahkan diangkap

242

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)

sebagai motor penggerak bagi gerakan Syiah Isna Ashr, dimana sistem
politik Syiah diimplementasikan melalui konsep wilayat al faqih. Oleh
karena itu, posisi Ayatullah sangat strategis dan kuat sebagai penjamin
politik Syiah di Iran termasuk dalam mendirikan lembaga-lembaga
penting negara yang diatur dalam konstitusi Iran sebagaimana yang
dilakukan oleh Ayatollah Khomeini pada tahun 1998 (Schirazi, 1997a).
Dengan pengaruh yang besar tersebut, bukan hanya institusi yang
dijamin, tetapi juga sistem yang bisa memungkinkan para kader Syiah
untuk menjadi pemimpin berpengaruh di negeri ini. Pada tanggal 14 Juni
2013 misalnya, Iran melaksanakan pemilihan presiden dan mampu
mendorong Hassan Rouhani, seorang kader inti Syiah, terpilih sebagai
presiden Iran menggantikan Ahmaddenejad yang sudah memimpin Iran

selama dua periode. Posisinya cukup kuat karena memenangkan
18.613.329 atau 50,71% suara pemilih (News, 2013).
Atas kemenangan ini, banyak kalangan menilai bahwa Rouhani
sebagai tokoh moderat akan membawa perubahan masa depan Iran yang
lebih baik. Apalagi Khatami selaku Ayatollah Iran segera menyampaikan
ucapan selamat kepada Rouhani. Tidak ketinggalan, rakyat Iran yang
mayoritas Syiah pun menyambut gembira kemenangan ini. Jutaan orang
berhamburan ke jalan meluapkan kegembiraan mereka. Sebagian
membawa

poster

Rouhani

dan

lainnya

menangis


haru.

Mereka

berkeyakinan bahwa Rouhani mampu menyelesaikan berbagai persoalan
yang dihadapi Iran selama ini, terutama berkaitan dengan sanksi
Internasional akibat pengembangan reaktor nuklir. Pada dekade terakhir,
Iran memang menghadapi berbagai masalah seperti pengangguran,
kemiskinan, devaluasi mata uang, dan peningkatan inflasi.
Menyikapi berita tersebut, tulisan ini ingin menjelaskan bahwa
terpilihnya Rouhani sebagai presiden Iran hanya akan mereformasi politik

243

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

domistik Iran. Adapun sikap kelompok Syiah dalam berhadapan dengan
kalangan Sunni pada masa Rouhani tidak akan berubah, bahkan bisa lebih
keras lagi. Dalam pandangan penulis, terpilihnya Rouhani bisa dimaknai
sebagai bukti menguatnya konsolidasi Syiah Iran. Pendapat ini didasari
oleh dua hal berkaitan dengan sistem politik Iran yang kental dengan
nuansa Syiah dan sosok Rouhani yang merupakan kader inti Syiah.
Pertama, ketika berbicara tentang politik Iran maka tidak bisa dipisahkan
dari kepentingan kelompok Syiah. Bahkan dalam konstitusi Desember 1979
dan amandemennya tahun 1989, Syiah imamah dinyatakan sebagai agama
resmi di Iran (Ghadimi & Abbasalipour, 2011). Konsekuensinya adalah bahwa
sistem politik, ekonomi dan sosial di Iran harus berdasarkan nilai-nilai teologi
Syiah. Oleh karena itu, untuk menjaga ideologi Syiah dalam kehidupan
masyarakat Iran maka dibentuk sistem yang secara sistematis memberikan
kekuasaan kepada Ayatollah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam
politik dan agama. Ia mampu mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Bahkan Ayatollah merupakan pihak yang berwenang melantik presiden
terpilih dalam pemilu. Ia juga bisa memberhentikan presiden jika melanggar
konsistutusi Iran. Selain itu, Ayatollah mempunyai wewenang mengangkat
beberapa pejabat strategis seperti komandan militer, direktur jaringan radio
dan televisi nasional, para pimpinan agama, imam di masjid, dan anggota
dewan keamanan nasional yang berkaitan dengan urusan pertahanan dan
politik luar negeri Iran. Ia juga berwenang mendeklarasikan perang dan
damai

(Akbarzadeh,

2005).

Hal

ini

menunjukkan

bahwa Ayatollah

mempunyai posisi yang lebih kuat daripada presiden Iran.

Adapun presiden, ia bertanggung jawab mengimplementasikan
konstitusi dan tugas-tugas eksekutif lainnya. Ia memilih para menteri dan
mengkoordinasikan keputusan pemerintahan dan mengambil kebijakan

244

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)

yang sejalan dengan undang-undang. Meskipun demikian, khusus
menteri intelijen dan menteri pertahanan maka pilihan presiden harus
mendapat persetujuan Ayatollah. Hal ini menunjukkan bahwa para
ulama Syiah mempunyai posisi yang begitu kuat dalam eksistensinya
pada politik Iran (Schirazi, 1997).
Dalam kaitannya dengan yudikatif, Ayatollah juga berhak memilih
pimpinan hakim. Para hakim dengan pimpinan yang ditunjuk oleh
Ayatollah inilah yang menjalankan hukum yang berlaku di Iran. Jika ada
hukum yang dibuat oleh parlemen yang tidak sesuai dengan kepentingan
Syiah maka Ayatollah mempunyai hak veto untuk membatalkan hukum
tersebut. Terlihat bahwa posisi parlemen Iran juga lemah di hadapan
Ayatollah. Pencalonan, pembuatan undang-undang, proses ratifikasi
perjanjian internasional dan perencanaan anggaran belanja negara oleh
parlemen harus berdasarkan persetujuan Ayatollah.
Posisi Ayatollah yang begitu kuat dalam politik Iran ini menunjukkan
bahwa siapapun presidennya, ia akan kesulitan untuk menentang sistem
Syiah yang sudah dijadikan sebagai dasar dalam konstitusi bernegara. Sistem
ini

merupakan

implementasi

ideologi

Syiah

yang

meyakini

bahwa

kepemimpinan mereka hanya boleh berada pada garis keturusan Ali bin Abi
Tholib radiyallahu ‘anhu, yang mereka kenal dengan dua belas imam. Selama
imam ke-12 masih menghilang maka kepemimpinan akan diserahkan kepada
Ayatollah. Sejauh ini, posisi tersebut baru ditempati oleh Ayatollah Ruhollah
Khomeini dan tahun 1979 sampai dengan kematiannya tahun 1989 dan
Ayatollah Ali Khameini dari tahun 1989 hingga sekarang (Ganji, 2008).
Kedua, selain karena sistem yang kental dengan kepentingan Syiah,
terpilihnya Hassan Rouhani sebagai presiden Iran menjadi momentum
kelompok Syiah untuk semakin menegaskan kepentingan mereka dalam
politik Internasional dan dalam hubungannya dengan kelompok Sunni. Hal

245

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

ini dikarenakan Rouhani merupakan kader inti Syiah sejak masih muda dan
dikenal sebagai mujtahid Syiah. Karenanya, ia sempat menempati berbagai posisi
strategis dalam politik Iran. Bahkan sejak menyelesaikan pendidikannya dari
Qum dan Glasgow University, Rouhani mulai aktif mengikuti berbagai kegiatan
politik Ayatollah Khomeini. Sejak tahun 1965, Rouhani berkeliling Iran untuk
menyampaikan penentangannya terhadap rezim Shah.

Selain itu, kedekatan Rouhani dengan tokoh sentral Syiah Iran tadi
dapat dilihat dari posisi Rouhani yang merupakan orang pertama yang
menyebut Khomeini sebagai imam pada tahun 1977. Bahkan sejak itu, ia
memperkenalkan Khomeini dan ajarannya kepada para mahasiswa Iran di
luar negeri secara aktif. Demikian juga dalam berbagai kebijakan politik
dan luar negeri Iran, Rouhani mempunyai peran yang sangat besar. Ia
begitu konsisten memperjuangkan kepentingan Syiah. Karena itu pula,
dalam pencalonannya sebagai presiden, Rouhani didukung oleh tokohtokoh sentral Syiah Iran seperti Mohammad Khatami dan Akbar Hashemi
Rafsanjani serta kelompok reformis lainnya.
Berdasarkan dua kondisi di atas, terlihat bahwa Rouhani tetap
mendukung upaya menyebarkan misi untuk mensyiahkan semua umat Islam
di berbagai belahan dunia. Iran juga akan tetap terlibat aktif membantu
kelompok-kelompok Syiah di berbagai negara, seperti dalam kasus Suriah,
Sampang, dll. Dalam lingkup domestik, Iran akan tetap menerapkan politik
diskriminatif, kaum Sunni Iran akan kehilangan kebebasan mereka dalam
melaksanakan ajaran agama. Lebih dari itu, Iran senantiasa akan membangun
opini publik untuk melemahkan posisi negara-negara Sunni, seperti Saudi
Arabia, melalui berbagai media massa yang mereka miliki dan jaringannya.

Sejarah dan Perkembangan Syiah Iran di Indonesia
Menurut penelitian, Syiah berkembang di Indonesia melalui beberapa
jalur, seperti dari jalur keturunan Arab, Alumni Qum, kelompok kampus,

246

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)

dan konversi Sunni menjadi Syiah (Halimatusa’diyah, 2013). Garis keturunan
Hadrami merupakan salah satu jalur penyebaran Syiah di Indonesia dan
berlangsung sudah cukup lama. Karenanya, pengaruh mereka pun sudah
dianggap sebagai bagian dari budaya masyarakat. Di Bengkulu, Pariaman dan
Sigli misalnya, pengaruh mereka luar biasa besar di tengah masyarakat
dimana setiap tahun mereka senantiasa mengadakan ritual Tabot untuk
memperingati kematian Hussein (Kartomi, 2012).

Apalagi pasca revolusi Iran 1979, pengaruh kelompok Syiah semakin
menguat ke berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Ide revolusi
berkaitan dengan pemerintahan otoriter Indonesia pada waktu itu cukup
mudah diterima di kalangan kampus. Pemikiran Ali Syariati cukup
dominan karena banyak ilmuwan yang kagum dengan cara berfikir beliau
dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Termasuk pemikiran
Mullah Sadra Mutahhari yang egaliter dalam mewujudkan keadilan sosial
dan moralitas dalam kehidupan budaya, ekonomi dan politik masyarakat.
Karena itu pula, semakin banyak masyarakat Indonesia yang belajar
ke Iran, dan akhirnya menjadi kader Syiah. Di antara mereka adalah Umar
Shahab dan saudaranya Hussein Shahab yang kini menjadi tokoh Syiah
terkenal di Jakarta. Begitu juga dengan Abdurrahman Bima yang
mempimpin Madina Ilmu College for Islamic Studies, di Depok. Di
Pekalongan, dikenal nama Ahmad Baragbah yang memimpin pesantren
Al-Hadi. Bahkan Jalaluddin Rakhmat dan kelurganya pernah tinggal
selama satu tahun di Qum untuk secara khusus belajar kepada Ayatollah
(Z. Zulkifli, 2009). Perkembangan Syiah yang pesat ini pula yang membuat
MUI mengeluarkan fatwa Syiah sebagai aliran sesat pada tahun 1984.
Menurut MUI, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara Sunni
dan Syiah, di antaranya adalah berkaitan denga penolakan Syiah terhadap
hadits yang tidak diriwayatkan dari jalur ahlul bait. Selain itu, Syiah juga

247

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

mempunyai pandangan bahwa para imam mereka yang dua belas adalah
imam yang ma’sum, padahal dalam pandangan Sunni hanya Rasulullah
yang maksum. Demikian juga, berkenaan dengan pemahaman Syiah yang
menganggap kepemimpinan di bawah imamah merupakan bagian dari
rukun agama sehingga mereka tidak menerima sistem khilafah, terutama
tiga sahabat yang mendahului Ali bin Abi Thalib (Hasyim, 2012).

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia
Berdasarkan uraian berkaitan dengan pemikiran dan gerakan politik
Syiah Iran di atas, Indonesia telah mendapatkan pengaruh signifikan dari
keberadaan aliran ini. Hal ini misalnya terlihat dari beberapa realita berikut:

Peningkatan Jumlah Pengikut
Berbagai berita yang terjadi di dunia Islam lainnya perlu menjadi
pelajaran bagi perkembangan Syiah yang sudah semakin besar di negeri
ini. Data menunjukkan bahwa paling tidak penganut Syiah di Indonesia
sudah mulai mencapai satu juta orang yang tersebar di berbagai wilayah
terutama di Jakarta, Bandung and Makassar (Formichi, 2011). Dalam
penelitian yang lain juga disebutkan peningkatan jumlah Syiah ini muncul
dan berkembang pesat pasca terjadinya revolusi Iran 1979 dan reformasi di
Indonesia. Dengan inspirasi dari revolusi Iran, banyak diantara intelektual
muslim Indonesia yang belajar di Iran sehingga terpengaruh dengan
ajaran Syiah. Adapun pasca reformasi 1998 di Indonesia, semakin terbuka
peluang bagi Syiah untuk mengorganisasi diri terutama dengan berdirinya
organisasi Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Hasyim, 2012).

Pengembangan Kegiatan Pendidikan Dan Publikasi
Setelah mulai mengorganisasi diri, Syiah mulai bergerak aktif
membangun beberapa lembaga mengembangkan yayasan YAPI yang

248

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)

sebelumnya sudah berdiri di Bangil pada tahun 1976. Beberapa lembaga baru
yang berdiri tersebut antara lain Al-Hujjah (1987) di Jember, Muthahharin
(1988) di Bandung, Al-Hadi (1989) di Pekalongan, Al-Jawad (1991) di
Bandung, Al-Muntazar (1992) di Jakarta, Al-Kazim (1994) di Cerebon, IPABI
(1993) di Bogor, Rausyan Fikr (1995) diYogyakarta, Fatimah (1997) di Jakarta,
dan Pusat Budaya Islam Al Huda (2000) di Jakarta. Belum lagi beberapa
lembaga Syiah lainnya yang tersebar di berbagai kota di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya (Zulkifli, 2013).
Mereka juga menyesuaikan dengan budaya masyarakat Indonesia
dengan mendirikan beberapa pesantren, YAPI di Bangil, Al-Hadi di
Pekalongan, Dar al-Taqrib di Bangsri Jepara, Al-Mukarramah di Bandung, and
Nurul Tsaqalain di Leihitu, Maluku Tengah (Zulkifli Zulkifli, 2014). Tidak
hanya itu, penyebaran ide melalui berbagai media tulisan mereka lakukan
dengan mendirikan beberapa penerbitan seperti Pustaka Hidayah, Mizan,
Lentera, and YAPI (Yayasan Penyiaran Islam) Jakarta, Pustaka Zahra and
Cahaya (Endut, 2012) Menurut data BIN, sekarang paling tidak terdapat 29
penerbit dan 65 yayasan Syiah yang tersebar di Wonosobo, Banjarmasin,
Samarinda, dan berbagai daerah Indonesia lainnya. Semua penerbit dan
yayasan tersebut berpotensi menyebabkan konflik di tengah masyarakat.

Keterlibatan Kader Syiah Iran Dalam Politik Praktis
Apalagi ketika reformasi datang, posisi Syiah semakin menguat dan
mulai berani menampilkan diri di depan khalayak. Keran kebebasan dibuka
luas di Indonesia, karenanya IJABI pun didirikan. Organisasi ini banyak
bergerak pada level lokal dan budaya masyarakat, melengkapi logika rasional
yang sudah berkembang di tengah sebagian ilmuwan Indonesia. Mereka
mulai berani melakukan ritual-ritual Syiah secara terbuka seperti peringatan
Ashura pada tahun 2010 di Bandung. Bagi kelompok Syiah, reformasi

249

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

merupakan angin segar bagi perkembangan mereka yang lebih besar,
bahkan mengarah pada kekuasaan politik sebagaimana mulai dijajaki
oleh Jalaludin Rakhmat yang bergabung ke partai politik.
Kondisi menjadi lebih serius lagi, ketika masyarakat mulai
terpengaruh dengan konspirasi Syiah yang menampilkan Iran sebagai
aktor yang sangat berani menentang barat. Banyak yang tidak menyadari
bahwa Syiah merupakan persoalan serius. Dalam kasus yang sekarang
masih hangat di Sampang, kita bisa melihat bagaimana reaksi pemerintah
dan dunia Internasional, yang menilai bahwa telah terjadi pelanggaran
HAM. Namun mereka tidak melihat masalah dari akarnya. Amnesti
Internasional misalnya menyatakan bahwa sikap kelompok Sunni
Indonesia merupakan bukti berkembangnya diskriminasi menentang
kelompok minoritas di Indonesia (Mashuri et al., 2014).
Pengembangan Kerjasama yang Tidak Berimbang
Beberapa kali penulis sempat berdiskusi dengan teman yang menulis di
media sosial tentang Iran. Biasanya, tulisan mereka menceritakan kekaguman
terhadap sikap politik luar negeri Iran yang keras terhadap Amerika. Belum lagi
sosok mantan presiden Iran, Ahmadenejad yang digambarkan sebagai sosok
sempurna. Sampai-sampai ada seorang dokter dan aktifis muslim yang
berkomentar, “Kapan Indonesia bisa mempunyai pemimpin hebat seperti ini?”.
Gambaran kekaguman ini bukan tanpa sebab. Jika diperhatikan selama ini,
memang pemberitaan tentang Iran sangat positif di beberapa media utama
Indonesia. Apalagi berbagai kerjasama pun dikembangkan oleh Iran dengan
cukup “memikat” terhadap pemerintah Indonesia, pada berbagai bidang, seperti
minyak, teknologi, militer, kedokteran dan sosial budaya. Padahal, jika dikaji
lebih mendalam maka terlihat bahwa kepentingan penyebaran Syiah cukup
kentara dalam berbagai kerjasama tersebut. Di pihak lain, jika bicara tentang
hubungan diplomatik antar negara maka hal prinsip yang

250

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)

seharusnya berlaku adalah perlunya kerjasama reciprocical yang saling
menguntungkan dan tidak mengganggu keutuhan negara lain.
Persoalan yang terjadi dalam kerjasama dengan Iran adalah ancaman
Syiah terhadap kehidupan berbangsa di Indonesia belum dipahami
secara umum oleh berbagai kalangan masyarakat.
Pada akhirnya, hal tersebut membuat Iran mengesankan berbagai
nilai lebih yang bisa ditawarkan dalam berbagai bidang seperti
ekonomi, politik, dan teknologi telah membuat kerjasama tersebut
berimbang. Jika diperhatikan, efek dari kerjasama itu adalah perubahan
terhadap budaya dan nilai yang berkembang di tengah masyarakat,
juga memberikan pengaruh lebih besar dibandingkan sekedar
perubahan secara materi. Masalahnya adalah, tidak jarang karena
persoalan materi, orang rela untuk merubah budaya dan nilai yang
dimilikinya. Kondisi inilah yang terjadi dalam hubungan Indonesia
dengan Iran. Karena beberapa kepentingan materi, terutama dalam hal
kebutuhan minyak, dimana dari nilai perdagangan Indonesia dengan
Iran, 88% nya merupakan impor Indonesia terhadap minyak Iran, maka
pemerintah seakan abai dengan efek sosial budaya yang terjadi
(Yumitro, Kusumaningrum, Ramadhoan, & Prasetyo, 2014).
Apalagi dengan baik, Iran juga berharap agar bisa menyimpan stok
minyaknya di Indonesia, dan siap untuk terus membeli Crude Palm Oil (CPO)
dari Indonesia. Dari persfektif ekonomi dimana Indonesia masih belum bisa
mengekplorasi sumber daya minyak dan memenuhi pasokan dalam negeri
secara mandiri, hal ini dinilai menguntungkan Indonesia. Demikian juga
dalam berbagai bidang lainnya, seperti sains dan teknologi, serta militer, Iran
memberikan tawaran yang menarik. Hal ini misalnya terlihat dalam acara
Jakarta International Defense Dialogue (JIDD) di Jakarta, pada 20 – 21 Maret 2013
tahun lalu, dimana Deputi Menteri Pertahanan (Menhan) Iran bidang

251

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

Internasional Brigjen Kalantari menawarkan kerjasama bidang teknologi
militer. Menurutnya, Iran telah mempunyai berbagai teknologi pertahanan
yang modern yang sangat mungkin untuk dibagi dengan Indonesia.
Bukan hanya berbagai bidang kerjasama yang ditawarkan oleh Iran,
melainkan cara yang ditempuh pun sangat cantik. Di antaranya adalah
dengan penggunaan media yang massif dan upaya menggaet aktor-aktor
intelektual, terutama dari berbagai kampus besar di Indonesia. Artinya, dari
upaya untuk membangun opini publik, Iran bermain cantik agar peluang
penolakan dari berbagai kalangan masyarakat bisa diantisipasi. Hal ini
misalnya bisa terlihat dari upaya Kementerian Luar Negeri Iran yang secara
maksimal berusaha menjajaki kerjasama dengan kantor berita nasional dan
berbagai media baik cetak maupun elektronik di Indonesia. Harapannya
adalah agar berbagai informasi dari Iran akan bisa menyebar luas di
Indonesia. Padahal, jika kita memahami struktur politik Iran maka akan
terlihat bahwa kepala Radio dan Televisi Iran ditunjuk oleh Ayatollah.
Artinya, isi berita pun harus sesuai dengan kepentingan ajaran Syiah.
Pengaruh Iran yang mempunyai tradisi filsafat dan keilmuan yang cukup
kental pun menjadi daya tarik bagi para pemuda dan ilmuwan Indonesia.
Pemerintah Iran dengan cerdik mendekati para intelektual yang berasal dari
berbagai kampus di Indonesia. Dengan cara ini, misi penyebaran Syiah pun
terlihat lebih ilmiah dan potensi ditolak pun semakin rendah. Padahal, jika
dilihat secara teliti, terutama berkaitan dengan kepentingan sosial budaya
Iran di Indonesia maka kepentingan Iran yang sesungguhnya semakin
terlihat, setidaknya dari aspek sosial budaya. Tidak seimbangnya kerjasama
ini bisa dipahami dengan beberapa realita berikut:
Pertama, tidak seimbangnya jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di
Iran, dan mahasiswa Iran yang belajar di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari
banyaknya jumlah pelajar Indonesia yang belajar di Iran, bahkan sudah

252

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)

mencapai angka 7000 orang. Artinya, jumlah pelajar Indonesia tersebut
lebih besar dari mereka yang belajar di Mesir. Yang mengkhawatirkan
adalah bahwa kebanyakan dari para pelajar tersebut, berangkat ke Iran
bukan dengan beasiswa yang disepakati dalam kerjasama formal.
Beasiswa tersebut mereka dapatkan dari berbagai yayasan yang
beraliran Syiah. Adapun secara formal, hanya 200 mahasiswa Indonesia
yang mendapatkan beasiswa untuk belajar di kampus Iran.
Pada sisi lain, sebagaimana layaknya kerjasama, pemerintah Indonesia
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga secara rutin, setiap
tahunnya menawarkan beasiswa Darmasiswa kepada pelajar Iran untuk
belajar di Indonesia. Namun dari tahun 2005-2012, hanya 15 orang pelajar
dari Iran yang mengikuti program beasiswa ini. Bahkan tidak ada satu pun
yang pernah berpartisipasi dalam Beasiswa Seni Budaya Indonesia yang
diadakan oleh Kemlu sejak tahun 2003. Dari data di atas, terlihat bahwa
perbandingan yang tidak berimbang ini memungkinkan pengaruh Iran
lebih besar masuk ke Indonesia. Mengingat sebagian besar mendapatkan
beasiswa dari yayasan Syiah maka peluang percepatan penyebaran Syiah
di Indonesia juga semakin besar. Sementara pengenalan budaya Indonesia
ke Iran tidak bisa optimal dilakukan mengingat hanya sedikit warga Iran
yang belajar budaya Indonesia.
Kedua, Iran gesit membuka berbagai sarana yang bisa memperkenalkan
budaya dan nilai masyarakatnya kepada masyarakat Indonesia, tetapi di sisi
lain, kesempatan Indonesia untuk melakukan hal yang sama terkesan dibatasi.
Hal ini terlihat dari banyaknya pusat-pusat kebudayaan dan informasi Iran
yang didirikan di Indonesia. Paling sedikitnya, Iran telah memiliki 6 (enam)
Islamic Cultural Center (ICC), di samping 12 Iran Corner di berbagai perguruan
tinggi di Indonesia seperti UIN Jakarta, UIN Bandung, UIN Riau, Universitas
Muhamadiyah Jakarta, dll.

253

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

Seorang dosen yang pandai berbahasa Parsi pernah berkomentar bahwa
ia bingung dengan alasan berbagai kampus tadi bersedia untuk mendirikan
Iranian Corner di Indonesia. Padahal jika dibaca, berbagai referensi yang
berbahasa inggris memang terkesan umum memberikan informasi tentang
sosial, budaya, politik, dan ekonomi Iran. Namun, jika dibaca referensi yang
berbahasa Parsi maka hampir semua buku yang tersedia berbicara tentang
ajaran Syiah. Terlihat bagaimana Iran begitu cerdik membungkus kerjasama
yang mereka bangun dengan Indonesia selama ini.
Pada sisi lain, jika mau berfikir jernih, sebenarnya akan terlihat
kejanggalan lain dari kerjasama antara Indonesia dengan Iran ini. Jika di atas
dijelaskan bahwa dengan mudah Iran bisa memperkenalkan budaya (Syiah)
nya ke tengah masyarakat Indonesia, kondisi berbeda yang dialami oleh
Indonesia ketika ingin memperkenalkan budaya masyarakat yang sebagian
besar Sunni ini. Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai satu pun
Indonesian Corner di kampus-kampus besar atau terkenal di Iran.
Bahkan

terkesan

pemerintah

Iran

kurang

mendukung

upaya

membangun pusat kajian Indonesia di Iran. Secara ketat pemerintah Iran
mengawasi pergerakan misi kebudayaan Indonesia di Iran. Bahkan beberapa
pentas kebudayaan Indonesia yang akan diadakan di Iran dilarang. Yang
lebih tidak adil adalah ketika pelarangan tersebut seringkali disampaikan
mendekati waktu pementasan, atau bahkan beberapa jam sebelum pentas
dimulai. Dari keadaan ini, terlihat bahwa Iran sangat gesit ingin menyebarkan
ajaran Syiah ke Indonesia, tetapi tidak ingin ada bagian dari ajaran atau
budaya Sunni masuk dan berkembang di negara mereka.
Ketiga, Iran secara aktif berusaha mencari pengakuan agar ajaran Syiah
diterima sebagai bagian dari Islam, sementara secara domistik mereka tidak
menerima keberadaan kelompok Sunni. Hal ini misalnya terlihat dari
beberapa agenda yang intens dikawal oleh Iran, seperti kegiatan pada bulan

254

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)

Januari 2013, dimana mereka mengundang berbagai ormas Islam
seperti MUI, NU, Muhammadiyah, dan UIN untuk terlibat dalam
kegiatan Intra Faith Dialogue and Cooperation Sunni-Shiite.
Pada bulan April 2013, Iran juga mengadakan pertemuan World Assembly
of Islamic Awakening di Taheran. Menurut Iran, upaya ini merupakan langkah
untuk mendorong persatuan umat Islam di dunia. Menurut pemerintah Iran,
hal ini merupakan upaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
terjadi di dunia Islam selama ini. Apalagi dalam hubungannya dengan
Indonesia,

mereka

menyampaikan

bahwa

Indonesia

dan

Iran

telah

mempunyai hubungan dekat sejak lebih dari 1000 tahun yang lalu. Hal ini bisa
dilihat dari situs-situ kerajaan Samudra Pasai dimana di batu nisan ratu Naína
Husam al-Din, terdapat kutipan syair dalam bahasa Parsi dari penyair
terkemuka Persia Syeikh Muslim al-Din Saádi (1193-1292 M).

Penutup
Berdasarkan berbagai data yang disampaikan di atas, nampak
bahwa secara politik bahkan dalam pemahaman agama, Syiah
mempunyai perbedaan pandangan dengan kelompok Sunni yang
mayoritas. Hanya saja, secara intensif mereka mengembangkan
pengaruhnya ke berbagai negara Islam lainnya melalui berbagai cara
sehingga mendapatkan kesan positif di tengah umat Islam, termasuk di
Indonesia. Akibatnya, pelan-pelan Syiah sebagai pemikiran dan
gerakan mulai diterima dibanyak kalangan masyarakat.
Di Indonesia misalnya, pengaruh pemikiran dan gerakan politik Syiah
Iran terlihat dari beberapa hal seperti peningkatan jumlah pengikut,
Pengembangan kegiatan pendidikan dan publikasi, keterlibatan dalam
politik praktis, dan pengembangan kerjasama yang tidak berimbang dan
cenderung merugikan kepentingan nasional Indonesia.

255

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

Daftar Pustaka
Buku
Al Da’mi, M. (2013). The Other Islam: Shi’ism: From Idol-Breaking to
Apocalyptic Mahdism. AuthorHouse.
Jacob, E. S., & Itan, Y. (2003). The New Encyclopaedia Britannica. Chicago.
Encyclopaedia Britannica Inc.
Kartomi, M. (2012). Musical journeys in Sumatra. University of Illinois Press.
Nakash, Y. (2003). The Shi’is of Iraq. Princeton University Press. Zulkifli.
(2013). The Struggle of the Shi’is in Indonesia. ANU E Press. Maleki, A.
(2006). Extremism in Islamic Shiite’s Faith. Roots and Routes of
Democracy and Extremism, Eds, Timo Hellenbury and Kelly Robins,
Helsinki: University of Helsinki Publication, Alexander Institute.

Jurnal
Akbarzadeh, S. (2005). Where Is The Islamic Republic Of Iran Heading?
Australian Journal of International Affairs, 59(1), 25–38.
Endut, M. S. R. (2012). Ali Shari’ati and Morteza Motahhari’s Ideological
Influences on Intellectual Discourse and Activism in Indonesia. E
Work of the 2009/2010 API Fellows, 204.
Fuller, G. E. (2007). The Hizballah-Iran Connection: Model For Sunni Resistance.

The Washington Quarterly, 30(1), 139–150.
Ganji, A. (2008). The Latter-Day Sultan-Power and Politics in Iran. Foreign
Aff., 87, 45.
Ghadimi, T., & Abbasalipour, S. (2011). A Survey On The Origin Of
Safavids’ Religion From Iranian And Non-Iranian Researchers’
Points Of View. The Social Sciences, 6(3), 177–180.
Halimatusa’diyah, I. (2013). Being Shi’ite Women In Indonesia’s SunniPopulated Community: Roles And Relations Among Themselves And
With Others. South East Asia Research, 21(1), 131–150.

256

Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia (Gonda Yumitro)

Hasyim, M. (2012). Shia: Its History and Development in Indonesia.
Analisa, 19(2), 147–158.
Ida, R., & Dyson, L. (2015). Konflik Sunni-Syiah Dan Dampaknya Terhadap
Komunikasi Intra-Religius Pada Komunitas Di Sampang-Madura.
Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 28(1), 33–49.
Kelidar, A. (1983). The Shii Imami Community And Politics In The Arab East.
Middle Eastern Studies, 19(1), 3–16.
Mashuri, A., Supriyono, Y., Khotimah, S. K., Sakdiah, H., Sukmawati, F.,
& Zaduqisti, E. (2014). Examining Predictors Of Tolerance And
Helping For Islamic Religious Minorities In Indonesia. International
Journal Of Research Studies In Psychology, 3(2), 15–28.
Said, M. H. (2017). Doktrin Syi’ah Dalam Masalah Imamah Dan Fikihnya.
Al-Fikra, 8(2), 334–359.
Sukidi. (2005). The Traveling Idea Of Islamic Protestantism: A Study Of Iranian
Luthers. Islam and Christian–Muslim Relations, 16(4), 401–412.
Yumitro, G., Kusumaningrum, D. N., Ramadhoan, R. I., & Prasetyo, D. M.
(2014). Kebijakan Luar Negeri Indonesia Di Kawasan Timur Tengah:
Sebuah Analisa Opini Publik: Laporan Akhir. Centre of Midle East
Studies, Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.
Zulkifli, Z. (2009). The Education of Indonesian Shi ‘i Leaders. Al-Jami’ah:
Journal of Islamic Studies, 47(2), 231–267.
Zulkifli, Z. (2014). Education, Identity, And Recognition: The Shi ‘I Islamic
Education In Indonesia. Studia Islamika, 21(1), 77–108
Internet
Amin, H. A. (2001). The Origins Of The Sunni/Shia Split In Islam. Islam
For Today.

257

Dauliyah, Vol. 2, No. 2, Juli 2017

Retrieved from:
http://cdn.preterhuman.net/texts/religion.occult.new_age/Islam/
The%20Origins%20of%20the%20Sunni-Shia%20split% 20in
%20Islam.pdf
Dale, S. (n.d.). Tradition vs Charisma: The Sunni-Shi’i Divide in the Muslim
World | Origins: Current Events in Historical Perspective. Retrieved
August 20, 2017, from http://origins.osu.edu/article/tradition-vscharisma-sunni-shii-divide-muslim-world
Formichi, C. (n.d.). Lovers of the Ahl al-Bayt. Retrieved August 20, 2017,
from http://www.insideindonesia.org/lovers-of-the-ahl-al-bayt
News, B. (2013, June 15). Hassan Rouhani Wins Iran Presidential Election.
BBC News. Retrieved from http://www.bbc.com/news/worldmiddle-east-22916174
Schirazi, A. (1997a). The Constitution Of Iran: Politics And The State. Retrieved
from

http://www.academia.edu/download/48386675/j.1949-

3606.1999.tb00789.x20160828-28181-9ztqn1.pdf

Schirazi, A. (1997b). The Constitution Of Iran: Politics And The State In The
Islamic Republic. Retrieved from: http://www.academia.edu/
download/48386675/j.1949.3606.1999.tb00789.x20160828-281819ztqn1.pdf
Street, 1615 L., NW, Washington, S. 800, & Inquiries, D. 20036 U. 419
4300 | M. 419 4349 | F. 419 4372 | M. (2009, October 7). Mapping
The Global Muslim Population. Retrieved August 20, 2017, from
http://
www.pewforum.org/2009/10/07/mapping-the-globalmuslim-population/

258