Kata Kunci: Upacara, Etika, Tattwa, Deontologi, Konsekuensialis Pendahuluan - NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM KAKAWIN SIWARATRI KALPA PERSPEKTIF ACARA, SUSILA DAN TATTWA

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM KAKAWIN SIWARATRI KALPA PERSPEKTIF ACARA, SUSILA DAN TATTWA

Oleh:

Ni Wayan Sri Prabawati Kusuma Dewi Abstract

Kakawin Siwaratri Kalpa is one of text used as a reference to the worship of Shiva on the panglong 14 day, Tilem Kapitu. At that time, namely on the night of Shiva (Shiva Ratri) Hindu people fasting, that they are not sleeping through the night and adored by means of leaf Bilwa. Educational values embodied in the text can be seen from the perspective of acara (ceremony), ethics, and tattwa.

In the perspective of the ceremony (acara), it can be seen that the text describes that Siwaratri celebration was preceded by mythology, which is about the story of Lubdaka. Siwaratri is celebrated in various places in the world according to local culture. Ethical perspective describes a dialectical between consequentialist and deontology ethics. Yama is the source consequentialist thinking in an attempt to resolve moral issues. While Shiva became the inspiration to think deontologically. Tattwa perspective view that awareness of the futility of this earthly life gave rise to

a new consciousness, a spiritual scheme which drove toward Samadhi. Keywords: Ceremony, Ethics, Tattwa, Deontology, Consequentialist

Abstrak:

Kakawin Siwaratri Kalpa merupakan salah satu teks yang digunakan sebagai rujukan untuk melakukan pemujaan kepada dewa Siwa pada hari panglong 14, Tilem Kapitu. Pada saat itu, yakni pada malam Siwa (Siwa Ratri) umat Hindu melaksanakan puasa semalam suntuk tidak tidur serta berbhakti dengan sarana daun Bilwa. Nilai-nilai pendidikan yang tertuang di dalam teks tersebut dapat dilihat dari perspektif acara (upacara), susila, dan tattwa.

Dalam perspektif acara dapat dilihat bahwa teks tersebut menggambarkan bahwa perayaan Siwaratri didahului oleh mitologi, yakni tentang cerita Lubdaka. Malam Siwaratri dirayakan di berbagai tempat di dunia sesuai dengan budaya setempat. Nilai pendidikan dari perspektif Susila menguraikan tentang dialektika etika deontologi dan konsekuensialis. Dewa Yama adalah sumber dari logika berpikir konsekuensialis di dalam upaya menyelesaikan masalah moral. Sedangkan Siwa menjadi inspirasi untuk berpikir secara deontologi. Sementara perspektif tattwa memandang bahwa kesadaran akan kesia-siaan kehidupan duniawi ini memunculkan kesadaran baru, yakni spiritual yang mengantar seseorang menuju Samadhi.

Kata Kunci: Upacara, Etika, Tattwa, Deontologi, Konsekuensialis

Pendahuluan

memadai tidak akan memiliki makna demikian Tri Kerangka Dasar Agama Hindu juga sebaliknya. Ketiga bagian ini diandaikan adalah konsep fundamental yang menjadi seperti telur dimana Tattwa adalah kuning telur, pegangan bagaimana praktek agama Hindu Susila adalah putih telur dan Upacara adalah diklasifikasikan. Menurut Sudarsana (2000) Tri kulitnya. Kerangka Dasar Agama Hindu terdiri atas: (1)

Kesempurnaan dari sebuah pelaksanaan Tattwa lebih mengedepankan pada ajaran atau ajaran agama terjadi apabila tidak adanya filsafat Ketuhanan, (2) Susila menguraikan penitikberatan terhadap salah satu dari ketiga tentang tingkah laku yang baik yang sesuai unsur tersebut. Namun pada kenyataannya dengan ajaran kitab suci dan (3) Upacara yakni semaraknya pelaksanaan ritual tidak diimbangi unsur ritual keagamaan yang didasarkan pada dengan perilaku yang susila. Ada indikasi kemurnian hati. Ketiga unsur ini saling ketidakseimbangan antara perkembangan menguatkan antara yang satu dengan yang kesadaran orang untuk melakukan kegiatan lainnya. Tattwa tanpa Susila dan Upacara yang keagamaan dengan kesadaran akan pentingnya

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama 103

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

kebijaksanaan di dalam bertingkah laku di dari pengetahuan akan kebaikan dan kebenaran. masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan Orang yang tidak memiliki ide tentang apa itu menjadi sangat penting di dalam upaya kebenaran tidak akan bisa bertindak atas penyeimbangan tersebut.

kebenaran itu. Sehingga dengan demikian, nilai- Individu yang baik adalah individu yang nilai pendidikan menjadi penting di dalam selalu melakukan tindakan sesuai dengan pencapaian kebahagiaan dari sebuah tindakan tatanan yang berlaku di masyarakat. Kesadaran yang baik dan beretika. untuk mematuhi hukum dan aturan muncul dari

Dalam konteks ini, pencapaian ide dalam diri. Kesadaran ini menjadi kunci menyangkut esensi dari nilai-nilai pendidikan keberhasilan seseorang didalam melakoni dapat diperoleh dengan berbagai alternatif kehidupannya berdasarkan tatanan yang ada. pilihan. Salah satunya adalah melalui berbagai Jalan bagi kesadaran ini adalah pengetahuan diri jenis karya sastra. Terdapat beragam karya (self-knowledge). Untuk menjadi baik, orang sastra yang sarat akan nilai-nilai pendidikan harus memiliki pengetahuan akan kebaikan itu. yang terkandung di dalamnya salah satunya

Menurut Aristoteles (dalam Sahakian, adalah Cerita Lubdhaka. Cerita Lubdhaka 1993: 33-37) mengatakan bahwa manusia dikarang oleh Mpu Tanakung yang tertuang ke memiliki tiga sifat alami, yakni vegetable dalam Kakawin Siwaratrikalpa yang kemudian (fisik), animal (emosi), dan rasional (mental). dikenal menjadi dasar justifikasi pelaksanaan Sifat fisik melalui sikap seperti biasa, emosi hari raya Siwaratri. Hari raya ini dirayakan melalui pemuasan instink, serta mental melalui dengan sangat antusias oleh sebagian besar logika dan perkembangan potensi diri. pemeluk agama Hindu, namun di dalam Menurutnya, pertumbuhan rasional dinyatakan pelaksanaannya cenderung tidak yang paling penting diantara ketiganya, yakni mencerminkan sebuah pelaksanaan keagamaan. sebagai hal yang mendasar untuk kesadaran

Berbagai kegiatan seperti misalnya filosofis dan untuk menyatakan dirinya sebagai berjudi, minum-minuman keras, mengobrol, manusia yang unik.

dan bahkan bagi kalangan anak muda, Siwaratri Orang akan secara alami bertindak baik, dijadikan ajang untuk berpacaran di tempat jika ia tau apa yang benar. Kejahatan atau gelap dengan alasan supaya bisa melakukan keburukan adalah hasil dari kebodohan. Jika Jagra sampai pagi. Asumsi sebagain besar seorang yang bertindak kriminal sungguh sadar mereka adalah apabila telah mampu tidak tidur akan konsekuensi mental dan spiritual semalam suntuk artinya telah berhasil tindakannya, ia tidak mungkin dan bahkan melakukan Jagra dan secara otomatis dosa yang berfikirpun tidak untuk melakukan tindakan itu. dilakukan selama setahun akan ditebus oleh Jadi siapapun yang mengetahui apa yang benar kemurahan Dewa Siwa yang beryoga pada akan secara otomatis melakukan itu (Intyre, malam itu. Seperti Lubdhaka, seorang pemburu 1974: 19-24).

yang penuh dengan ke-papa-an karena setiap Seseorang yang bertindak sesuai dengan hari melakukan himsa karma yang pada sifat alaminya dan merealisasikan potensi akhirnya dapat memasuki alam Siwaloka dirinya secara penuh akan melakukan tindakan setelah tanpa sengaja memuja Dewa Siwa pada yang baik. Ketidakbahagiaan atau frustasi malam itu. diakibatkan dari potensi seseorang yang belum

Hal ini mengindikasikan bahwa persepsi terealisasi. Oleh karena itu, seseorang yang salah atau pengetahuan yang salah akan semestinya bertindak sesuai dengan sifat berakibat pada tindakan yang salah, sehingga alaminya dan mengembangkan talenta yang nilai-nilai pendidikan yang terdapat di laten di dalam diri untuk menjadikannya dalamnya menjadi sangat signifikan. Kajian sempurna. Jadi manusia hendaknya tidak hanya secara proporsional akan memberikan sekedar hidup, tetapi hidup dengan baik yang pengetahuan yang benar tentang korelasi antara diatur oleh nilai-nilai luhur pada sesuatu, orang, cerita Lubdhaka dengan perayaan tersebut. dan waktu yang tepat serta pada alasan yang Dalam karya sastra Cerita Lubdhaka tersirat sesuai (Sahakian, 1993: 33-37).

nilai-nilai pendidikan yang selama ini masih Berdasarkan pandangan tersebut dapat belum banyak dipahami dengan tepat oleh ditarik sebuah asumsi bahwa kebaikan atau masyarakat pemeluk agama Hindu. kebenaran suatu tindakan adalah konsekuensi

104 Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

Nilai-nilai Pendidikan Upacara di dalam

sangat luas dan akan tetap ada dari agama yang

Kakawin Siwaratri Kalpa

sangat terorganisir sampai kelompok spiritual Upacara adalah sebuah perangkat non institusional, seperti misalnya agama besar tindakan yang umumnya dilakukan sarat yang terorganisir sampai pada praktek dengan nilai-nilai simbolik. Kyriakidis (2007) ayahuasca shamanisme oleh masyarakat menyataan bahwa upacara adalah kategori etik Urarina di dataran tinggi Amazon (Dean, 2009). bagi sebuah perangkat tindakan yang jika Upacara sering berhubungan dengan perantara dilihat dari pihak luar tampak sebagai sesuatu atau dalam hal ini adalah para dewa dan ingin yang irasional atau tidak logis. Secara psikologi menyamakan kesadaran mereka atau kata 'upacara' atau 'ritual' menggambarkan transformasi sehingga permohonan- sebuah teknis dari tindakan sistematis repetitif permohonan bisa terpenuhi. Transformasi ini yang digunakan oleh seseorang untuk sering bersifat personal tetapi tetap merupakan menetralisir atau mengatasi ketakutan. Jadi dari event kosmik, mengarah pada sesuatu yang pandangan psikologi, upacara tetentu yang abadi. dilakukan seseorang merupakan gejala obsesif-

Dalam hal praktek keagamaan ataupun kompulsif disorder.

kepercayaan lainnya, mitologi sering dijadikan Menurut Michael Silverstein (2004) sebagai dasar pelaksanaannya dan bahkan yang melihat dari kaca mata antropologi agama dan kepercayaan tersebut menjadi hidup menyatakan bahwa upacara adalah aksi sosial dan bertahan oleh karena kehadirannya. yang bertujuan untuk transformasi yang lebih Mitologi adalah satu rangkaian yang tidak dapat sering diasosiasikan ke dalam terma kosmis. dipisahkan di dalam praktek-praktek ritual Kegiatan ini dilakukan baik atas nama agama suatu masyarakat. Jika dilihat ke belakang, di maupun tradisi dari sebuah komunitas tertentu; belahan Negara Eropa, yang penduduknya Dilakukan baik pada waktu-waktu tertentu atau waktu itu menganut paham politeisme, seperti sesuai dengan keinginan seseorang; Demikian Yunani, Italia, Skandinavia, hampir seluruh juga bisa dilakukan baik perorangan atau aktivitas ritual yang mereka lakukan kelompok dan bahkan oleh keseluruhan berlandaskan pada cerita-cerita mitologi. komunitas di daerah tertentu; Bisa dilakukan

Agama-agama dan budaya semasa pre- dengan mengambil tempat permanen yang industri menurut antropologi agama dikatakan telah ditentukan atau di tempat-tempat tertentu sebagai mitos. Mitologi disini bisa dipakai sesuai kesepakatan.

untuk merujuk pada agama maupun non-agama. Tujuan dilakukannya upacara ritual ada Secara sosiologi kata 'mitologi' diartikan berbagai macam, seperti: tanggung-jawab sebagai suatu cerita yang sangat penting bagi agama, pemuasan kebutuhan spiritual, suatu kelompok apakah cerita tersebut benar penguatan ikatan sosial, pendidikan sosial dan sesuai sejarah maupun tidak. Pada saat ini moral, penghormatan, perjanjian tertentu, banyak dari para pengikutnya mencoba mendapatkan status tertentu, penyucian, dan memberikan makna simbolik atas cerita-cerita hanya untuk sekedar senang melakukannya. tersebut. Namun tidak semua dari pengikutnya Pada masyarakat tertentu, upacara ritual yang menyatakan tentang pentingnya makna dilakukan untuk membawa roh orang yang simbolik dengan alasan bahwa apa yang mati ke tempat yang aman atau lebih tinggi dikatakan di dalam cerita adalah sebuah (Wilce, 2006). Di dalam prosesi upacara ritual keyakinan dan tetap menjadi sebuah kebenaran. tersebut ada berbagai jenis pemujaan, sarana Mitos memiliki beberapa arti: yang dipakai seperti gamelan, tarian, nyanyian,

1. Sebuah cerita tradisional yang dinarasikan demikian juga perafalan mantra-mantra

seperti kejadian sejarah yang bertujuan tertentu, mudra, memakai pakaian tertentu,

untuk menampung pandangan-pandangan memakan-makanan tertentu, dan lain

seseorang tentang dunia, penjelasan tentang sebagainya.

praktek-praktek tertentu, kepercayaan, dan Di dalam agama, upacara dilakukan

fenomena alam.

untuk pemenuhan kultus tertentu sehingga

2. Seseorang atau sesuatu yang hanya bersifat hutang atau kewajiban agama terbayar. Hubungan antara agama dan ritualnya itu

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama 105

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

imajiner atau eksistensi yang tidak bisa Kakawin Siwaratri Kalpa adalah sebuah karya dibuktikan kebenarannya

sastra seperti misalnya tertuang dalam wirama:

3. Sebuah metafora untuk potensi spiritual di dalam diri manusia.

nahan tambayaning kata talinganen de sang widagdeng lango,

Jadi di dalam agama-agama atau sambaddanya hana ng nisada winuwus masyarakat tradisional, mitos dan ritual

kyatya ngaran Lubdhaka, menjadi hal yang sangat signifikan. Mitologi

sthity angher ing pucak nikang hacala tidak dapat berdiri sendiri melainkan selalu

soba atyanta ramya alango, terkait dengan ritual (Segal, 2004: 61). Para

nora ng sangsaya kewala asukha-sukha cendikiawan dewasa ini meyakini bahwa mitos

n liwat swabharya atmaja. dan ritual sama-sama berbagi paradigma

(Wirama 2.1: Sardulawikridita) umum, tetapi tidak berkembang dari yang

lainnya (Meletinsky, 2000: 117). Inilah sebuah cerita patut didengar oleh Beberapa tokoh menurut Meletinsky

para pengarang yang bijaksana; menyatakan hipotesa tentang ritual mengklaim

kisahnya adalah seorang pemburu yang bahwa setiap mitos berasal dari ritual tertentu

sangat terkenal bernama Lubdhaka; dan kualitas dari mitos tersebut bergantung dari

senantiasa bertempat tinggal di pucak suksesi ritual itu juga. Namun, di satu sisi, satu

gunung yang sangat indah dan kemungkinan bisa muncul secara bersamaan,

mempesona; tidak pernah risau, selalu yakni: ritual muncul dari mitologi yang

bersenang-senang bersama istri dan berkembang. Ritual-ritual yang dilakukan oleh

anak-anaknya.

pemeluk Hindu termasuk di dalam kelompok ini. Demikian juga ritual Passover di agama

Yahudi, Natal di dalam Kristen, dan Hajj di Mitologi yang di dalam karya sastra ini dalam Islam, semuanya muncul dari mitologi tidak sekedar cerita, melainkan mengandung yang berkembang.

tujuan makna yang dalam. Pesan tertinggi yang Pendekatan yang menyatakan ritual ingin disampaikan oleh cerita ini adalah

muncul dari mitos, hubungan diantara bagaimana pembacanya mampu mendapatkan keduanya sering digambarkan seperti sebuah pengetahuan simbolik yang pada akhirnya hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan mengantarkan mereka mencapai pembebasan. Teknologi. Edward Barnett Tylor, salah satu Hal ini selaras dengan tujuan agama Hindu eksponen klasik dari pendekatan ini yakni Moksartham Jagadhita. Adapun uraian mengatakan bahwa mitos adalah semacam mengenai hal tersebut seperti di bawah ini: proto-saint. Upacara bersifat secondary, seperti halnya teknologi yang merupakan aplikasi dari

ndan dura n ngwang ateki yan katakana Saint (Ilmu Pengetahuan), demikian juga

aracana wuwus arum pralapita, upacara adalah aplikasi dari Mitos. Mitos

apan deng ati pinging i ngwang apan fungsinya untuk menjelaskan dunia sebagai

katekana sang kinaptya ning mango, akhir di dalam dirinya. Upacara kemudian

nanten pweki kedo tan wurungan digunakan untuk mengontrol dunia ini (Segal,

anemwakena paramahasya ning para, 2004: 63).

nging tunggal pinalar malar wenanga Kakawin Siwa Ratri Kalpa yang sampai

sadana ning umusira nirasraya. saat ini dijadikan rujukan utama di dalam

(Wirama 1.3: Ragakusuma) perayaan Siwaratri adalah serupa dengan

konsep ini. Upacara yang dilakukan oleh Tentu jauh kemungkinannya hamba masyarakat pemeluk Hindu pada saat paroh

dapat menciptakan karya tulis yang gelap keempat belas sekitar bulan Januari yang

indah dan menyenangkan; karena dikenal dengan perayaan Malam Siwa Ratri

hamba sangat dungu, maka mustahillah muncul dari mitologi tentang Lubdaka. Cerita

dapat memenuhi harapan para Mitologi ini tertuang di dalam Kakawin

pengarang; tentu juga tidak urung akan Siwaratri Kalpa. Mitologi yang ada di dalam

mendapat cercaan yang keras dari masyarakat luas; namun tujuan yang

106 Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama 106 Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

Pengarang memaklumkan dirinya kepada pembaca bahwa untuk unsur keindahan mungkin kurang di dalam karya ini, tetapi memiiki tujuan yang luhur. Mpu Tanakung sebagai pengarang berharap bahwa jangan sampai karena kurang indah, pesan yang ingin disampaikan lenyap. Ungkapan ini sesungguhnya uraian mengenai keinginan untuk merendahkan diri dan tidak ingin berada di atas orang lain. Namun meskipun demikian, pengarang menyatakan bahwa signifikasi pesannya lebih penting daripada keindahan kata-kata yang digunakannya. Moksa yang ingin dicapai oleh setiap orang bisa terwujud melalui pesan-pesan di dalamnya.

Mpu Tanakung menyatakan karya sastranya tidak indah, namun mengandung keindahan yang luar biasa. Beliau ingin mengajak setiap pembacanya tidak hanya mampu merasakan keindahan hanya dengan menikmati karya seni saja, melainkan lebih dari itu adalah bagaimana mereka bisa memandang disetiap perjalanannya merupakan keindahan. Ketika segala sesuatunya telah menjadi indah, maka ia dengan sendirinya sebagai pemujaan. Hal ini tampak tersirat di dalam uraian berikut ini:

Lila tut hiring ing wukir lari nira alaleh umulat i ramya ning pasir, kongang matra katungkulan banu nikang jaladi kadi mawor lawan langit, kaywanya ajajar anjelag ri tepining pasisi sinaput ing lamad-lamad, warsa aderes manisih kuwung-kuwung ing ambara kadi manaruh terang ing rawi (Wirama 3.11: Ragakusuma)

Perjalanan mengikuti kaki gunung sambil memandang keindahan samudra; dikejauhan terlihat olehnya samar-samar air samudra bagaikan menyatu dengan langit; pepohonan berjajar tinggi-tinggi tumbuh di tepi pantai diselimuti awan; hujan lebat turun, pelangi di angkasa bagaikan mengalahkan terangnya sinar surya;

Diuraikan dengan sangat baik mengenai keindahan pemandangan yang biasa dilalui oleh Lubdaka menuju ke hutan untuk berburu. Di kaki gunung, samudera tampak terhampar luas. Gunung dan samudera adalah simbol Lingga Yoni yang disucikan oleh umat Hindu. Daerah yang dilalui Lubdaka secara simbolik sungguh merupakan daerah yang memiliki kekuatan spiritual. Nilai estetika yang dimunculkannya juga mampu mengubah suasana hati yang biasanya keruh menjadi bening kembali.

akweh tingkah nikang kongkulan adawa yadin warna n lange nika, tekwan lampah nikang Lubdhaka telas alaris kweh ramya kalalu, sampun prapterikang kanana giri pasaba ning satwa sakala, atyante durgama manusa kaidepan iky angde giri-girin. (Wirama 4.1: Suwadana)

Berbagai hal terlihat dalam perjalanan, panjang kalau diceritakan keindahannya; adapun perjalanan Si Lubdhaka telah semakin jauh melewati tempat-tempat yang asri itu; kini ia telah tiba di hutan dan pegunungan tempat berkumpulnya binatang burung; sungguh sangat sukar dilalui oleh manusia pikirnya sehingga ia merasa was-was.

Melewati suatu wilayah yang indah dan sejuk adalah berkah tersendiri. Ketika pikiran kemudian mampu tune dengan kondisi tersebut dan terjadi penyatuan dengan kindahan itu, maka pemujaan telah terjadi dengan sendirinya. Pikiran yang estetik adalah pikiran yang selalu dekat dengan Tuhan. Satyam Sivam Sundaram yang merupakan sifat-sifat Tuhan telah merasuki badan manusia sehingga transpormasi kesadaran akan dengan sendirinya muncul.

Konteks upacara di dalam Kakawin Siwaratri Kalpa ini terletak tentang pelaksanaan Hari suci malam Siwaratri yang dinyatakan pelaksanaannya, pertama muncul karena mitologi yang mendasarinya. Bahan-bahan pokok yang digunakan untuk upacara tersebut adalah daun bilwa dan lain-lain seperti yang dinyatakan di dalam kakawin. Penulis

Vidya Samhita 107 Jurnal Penelitian Agama

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

menyatakan dengan jelas di dalam alur ceritanya bagaimana Siwa terjadi pembicaraan yang serius antara Dewa Yama tentang nasib roh Lubdaka.

Pada awalnya Dewa Siwa memerintahkan Dewa Yama untuk mencatat dengan detail atas setiap perbuatan manusia dan akan mengganjarnya sesuai dengan perbuatannya. Tidak ada satu orang pun yang luput dari catatan Dewa Yama. Tetapi khusus terhadap roh Lubdaka terdapat pengecualian. Dewa Siwa mempertahankannya agar dibawa ke alam Siwa Loka. Dewa Yama awalnya tidak setuju, sebab itu telah melanggar aturan

kahyangan. Merasa sia-sia Dewa Yama menghadap Dewa Siwa dan ingin meletakkan jabatannya. Pernyataan Dewa Yama adalah sebagai berikut:

apan tuduh ira Hyang Isa pakenangku angengetakena solah ing dadi, ikang gati hala ahajong wihikana ngwang irika pawekas nire nghulun, ikang wwang ahajeng tuwi dharmika ta ya musireng Siwalaya, tuhun yan ahala atidusta datengeng kami pakena nikesya ning kawah. (Wirama 30. 8: Jagatnatha)

Karena Hyang Siwa-lah yang memerintahkan dan menugaskan aku untuk mencatat setiap perilaku manusia; beliau telah memerintahkan kepadaku untuk mengetahui baik atau buruk perbuatan seseorang; hanya roh orang yang berbuat baik dan menghayati "darma" itulah yang patut menuju Alam Siwa (Siwaloka).

Yama merasa tidak berdaya dengan keadaan ini. Beliau kemudian memerintahkan anak buahnya untuk mengecek sekali lagi apakah ada kesalahan di dalam mencatat atau ada keselip salah satu cacatan yang sangat berharga sehingga Siwa memiliki pandangan lain terhadap rohnya Lubdaka. Setelah dibolak- balik ternyata cacatan tersebut telah sempurna dan tidak ada kekeliruan sama sekali. Oleh karena demikian dengan hormat Yama menghadap Siwa. Sembah sujud Yama diterima baik sekali oleh Siwa dan mengetahui maksud kedatangan Yama saat itu. Siwa langsung

menunjuk pada permasalahan tentang roh Lubdaka. Siwa berkata:

nghulun laki mapinta-pinta ri wikangku gati sasak i kahyun i nghulun, ikang makangaran si Lubdhaka hayo pinarikede tekapta hambilen, apan paramadharmika atisaya punya sukreta mamangun bratadika, ya teka karanangku amrih umalap riya pangutus ikang watek Gana (Wirama 34.2: Jagatnatha)

Aku minta kepadamu hanya satu roh ini; yang bernama Si Lubdhaka janganlah engkau bersikeras untuk mengambilnya; karena ia telah melaksanakan "darma" berbudi luhur dan sudah berhasil melaksanakan "brata" utama; karena itu aku memerintahkan prajurit Ganabala untuk mengambilnya dengan paksa.

Yama tidak mengerti mengapa Siwa bersikeras untuk mengambil roh Lubdaka. Tetapi sebelum Yama bertanya Siwa telah terlebih dahulu menjelaskan kepada Yama yang m a n a Ya m a s e n d i r i t i d a k p e r n a h mengetahuinya. Dalam hal ini Siwa telah meminta maaf atas kejadian ini karena Siwa lupa akan satu ajaran yang telah diputuskan oleh diri-Nya sebelumnya yang luput dari pengetahuan Yama. Siwa mengatakan:

Rengen wacanan I nghulun karana ning sabara dadi musi Siwalaya, Ring adiyuga nguni tang wang angajar brata Siwaraja ni prakasita, Turung ta ya analekas lekasaken satawek ika kinarya ni nghulun, Lawasnya malupa yan angajar brata gati niki tan ana angulah. (Wirama: 34.3, Jagatnatha)

Dengarkanlah perkataanku sebab musabab Si Lubdhaka berhasil mencapai "Siwalaya"; pada masa lampau aku pernah mengajarkan "brata Siwarajani" untuk disebar-luaskan; namun sejak Aku menciptakan sama sekali belum ada yang melaksanakannya; karena lamanya Aku lupa dengan "brata" yang kuajarkan itu dan belum ada yang melaksanakannya.

Ada sebuah ajaran yang disebut dengan 108

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

brata Siwarajani yang diberikan oleh Siwa huwus angulahaken warabrata, langsung untuk disebarluaskan bagi seluruh

Matangi rikanang wengi ng Kapitu masyarakat belum pernah dilakukan oleh Krsna makatiti catur dasotama, siapapun. Lubdaka yang oleh karena faktor

Ndatan hyun ika ring bratadika nimita kebetulan melakukan hal yang sesuai dengan nika tan akejep sira katakut, aturan yang ditetapkan di dalam ajaran tersebut.

Tatapi katemu paleria tuhun karana nika Demikian juga mengenai waktu dan keadaan tekeng Siwalaya yang mendukungnya secara tidak sengaja.

(Wirama: 34.5, Jagatnatha) Konsekuensi dari ajaran tersebut adalah sangat

besar. Meskipun hanya sekali dan secara Hanya Si Lubdhaka-lah yang sudah kebetulan, pelaksanaan kegiatan tersebut

melaksanakan "brata" utama itu; tidak berdampak besar. Dan bahkan di dalam butir

tidur semalam suntuk pada saat paroh Kakawin ini dinyatakan Lubdaka adalah

gelap keempat belas sekitar bulan menjadi satu dengan Siwa dan menikmati

Januari; ia sebenarnya tidak bermaksud kenikmatan yang sama dengan Siwa. Hal ini

melaksanakan "brata" itu dan saking tampak pada wirama sebagai berikut:

takutnyalah makanya ia tidak tidur; Tuhun kalewih ing bratemajuraken

namun akhirnya ia mendapatkan pahala mami niyata mapaladika,

yang menyebabkan menuju "Siwalaya". Tuwin milagaken suduskreta teher

masung atisaya boga bagya len, Hari tersebut adalah sekitar bulan Awas tan angusi ya mandapala ning Januari. Di dalam tradisi India perayaan malam

jana gumawayaken ikang brata, Siwaratri disebut dengan Maha Siwaratri. Sapapa nika sirna dening pala ning Festival Hindu di sana ini jatuh pada 14 hari

brata winuwusakenku tan salah. Krishna Paksha bulan Magha atau Palguna (Wirama 34.4: Jagatnatha)

menurut perhitungan kalender Hindu. Masyarakat disana merayakan hari suci ini

Sungguh utama brata yang kuajarkan dengan menghaturkan daun bilwa kehadapan dan pasti akan mendatangkan pahala Dewa Siwa serta puasa dan tidak tidur semalam utama; lagi pula akan menghilangkan suntuk. Sesuai dengan cerita tersebut diyakini segala bentuk kejahatan dan mendapat bahwa siapapun yang mampu melakukan brata kesejahteraan hidup serta kebahagiaan; tersebut akan mendapat limpahan rahmat Siwa setiap orang yang melaksanakan brata (Arjun, 2011). tersebut pasti tidak akan menemukan

Munculnya perayaan ini disamping sengsara; tidak salah lagi segala bentuk cerita mitos Lubdaka di atas juga terdapat versi

penderitaannya akan dilebur oleh brata lain. Diyakini suatu ketika dunia ini mengalami Siwaratri yang kuajarkan itu.

kehancuran (Pralaya) dan Dewi Parwati memuja Suaminya untuk melindungi dan menghindarkan bahaya tersebut. Parwati

Brata yang dilakukan meskipun hanya mendoakan jiwa-jiwa makhluk yang masih semalam mampu menghapus semua dosa yang tersisa di angkasa selama periode gelap pralaya pernah dilakukan. Mungkin ini adalah simbolik tersebut. Oleh karena doa Parwati semua jiwa atau tidak dalam artian harfiah. Keutamaan tersebut terselamatkan. Siwa mengatakan melakukan brata ini kalau disejajarkan dengan kepada mereka bahwa akan hidup kembali dan cara orang mencapai pencerahan, maka hal ini mendapat rahmat-Nya apabila jiwa-jiwa tampak serupa. Pengalaman Samadhi seseorng tersebut memuja-Nya seperti yang dilakukan datangnya secara tiba-tiba tanpa pernah oleh Parwati. Parwati kemudian menyebut disengaja. Usaha mengarah kesana mungkin malam itu sebagai malam pemujaan Siwa atau bisa diusahakan, tetapi pengalaman akan Maha Siwaratri (Wikipedia, 2011). datangnya kondisi tersebut terjadi dengan tiba-

Disamping cerita tersebut, perayaan tiba. Pengalaman Samadhi ini disimbolkan malam Siwaratri juga ada hubungannya dengan

dengan suatu hari tertentu seperti yang cerita di dalam Shanti Parwa. Dikisahkan Raja diuraikan di dalam Kakawin sebagai berikut:

Chitrabhanu dari dinasti Ikshvaku, yang Ikang makangaran si Lubdaka juga ng

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama 109 Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama 109

Maharsi bertanya tentang tujuan Raja melakukan puasa. Kemudian Raja Chitrabhanu menjelaskan bahwa dirinya mendapat rahmat pada kehidupan sebelumnya, dimana pada masa itu ia berprofesi sebagai seorang pemburu di wilayah Varanasi dan namanya pada saat itu adalah Suswara. Sepanjang kehidupannya terdahulu tersebut dihabiskan untuk membunuh dan menjual burung dan binatang. Sehari sebelum bulan baru, ketika ia berkeliling di tengah hutan dalam pemburuan binatang, ia melihat kijang. Anehnya, sebelum anak panahnya melesat menembus badan kijang tersebut, ia diingatkan oleh kijang tersebut akan kesedihan keluarga kijang tersebut jika ia harus mati. Kemudian Suswara membebaskan kijang tersebut. Ia belum mendapatkan binatang buruan satu pun sampai malam tiba. Ia kemudian naik pohon bilwa untuk berlindung. Cabang pohon yang ia naiki meneteskan air. Pada saat itu ia juga lapar dan haus tidak makan seharian. Kejadian ini membuatnya tidak tidur semalam suntuk. Ia juga memikirkan keadaan anak dan istrinya yang juga kelaparan di rumah menunggu kedatangannya. Untuk membunuh waktu semalaman, ia memetik daun bilwa dan menjatuhkannya ke bawah ke tanah. Hari berikutnya ia kembali ke rumah dan membeli beberapa makanan untuk anak dan istrinya serta untuk dirinya.

Ketika kematiannya tiba, ia melihat dua utusan Dewa Siwa, untuk menjembut rohnya dan menemui Dewa Siwa. Kemudian ia menjadi tau kalau apa yang ia peroleh ini adalah oleh karena secara tidak sadar memuja Siwa pada saat malam Siwa. Utusan tersebut menjelaskan bahwa di bawah pohon Bilwa terdapat Linggam. Daun yang ia jatuhkan mengenai Linggam. Air yang menetes tepat di atas di atas Linggam. Ia melakukan puasa sehari penuh. Jadi dengan cara itu ia secara tidak langsung memuja Dewa Siwa. Akhirnya ia menikmati kebahagiaan di alam Siwaloka dalam waktu yang lama sebelum akhirnya lahir kembali menjadi Chitrabhanu (Wikipedia, 2011).

Perayaan malam Siwaratri di berbagai

tempat tampak beragam, namun esensi pemujaan tersebut tetap sama. Seperti misalnya di Kuil Pasupatinath di Nepal. Para muni memuja Siwa hanya dengan air dingin dan daun Bilwa di hadapan patung Lingga. Sedangkan di tempat lain di beberapa tempat di India secara tradisional mempersembahkan disamping sarana berupa daun bilwa, mereka juga mempersembahkan pancamrita (susu, curd, ghee, gula, dan madu). Mereka mempersembahkannya dengan cara menuangkan persembahan tersebut secara bergantian. Mereka juga menaruh kumkum dan beras sebagai simbol kesuburan atau penciptaan. Sehari setelah pemujaan ini, patung Lingga yang dipuja kemudian ditenggelamkan di laut atau di sungai (Arjun, 2011).

Perayaan Maha Siwaratri di wilayah India Selatan seperti di Andhra Pradesh, Tamil Nadu, Kerala, dan Karnataka dilaksanakan hampir di seluruh kuil. Para seniman baik seniman tari maupun tabuh mengadakan pertunjukan semalam suntuk untuk memuja Siwa. Pada malam Maha Siwaratri ini diyakini bahwa susunan planet memiliki kekuatan khusus yang mampu mempengaruhi sistem syaraf manusia sehingga tingkat religius semesta menjadi lebih kental (http://www.ishafoundation.org).

Puja yang sangat special dan langka di India Selatan pada saat Maha Siwaratri adalah Sahasrakalabhisekam yang dilakukan selama

10 hari penuh. Pada saat itu Dewa Siwa dinyatakan sebagai abhishekapriya (pecinta yang penuh rahmat). Diceritakan bahwa Parasurama dan Krostha saat memuja Siwa disini diyakini pernah memandikan patung Lingga dengan sahasrakalasam (seribu pot air suci) sesuai petunjuk Veda. Pendeta pada saat Maha Siwaratri setiap harinya menghaturkan air suci sebanyak 101 buah pot (100 terbuat dari perak dan 1 terbuat dari emas). Setiap bhakta disana meyakini bahwa berpartisipasi di dalam acara sahasrakalasam dan menghaturkan persembahan suci lainnya akan mendapat rahmat Siwa berupa kemakmuran dan kehidupan yang damai. Para bhakta mengikuti pendeta melantunkan mantra 'Om Nama Siwaya', 'Hara Hara Mahadewa', dan 'Sambho Mahadewa'.

Demikian juga ada yang disebut dengan Siwaratri Nrutham yang dilaksanakan di kuil Thrikkuratti. Menurut para ahli disana,

110 Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

dinyatakan pada saat itu sebagai anandatandava maka ia akan berbuat baik. Untuk menjadi orang (tarian kebahagiaan) sebagai symbol dari roda yang 'sesungguhnya', ia mesti merealisasikan penciptaan dan penghancuran, sekaligus potensi yang inheren di dalam dirinya. sebagai symbol lingkaran kelahiran dan

Di dalam era modern, teori-teori etika kematian. Tarian tersebut merupakan gambaran dibagi menjadi dua bagian pokok, yakni alegori dari lima energy abadi manifestasi: konsekuensialis atau utilitarian (dengan tokoh- perlindungan, penciptaan, peleburan, tokohnya seperti Jeremy Bentham dan John keselamatan dan ilusi. Prosesi Siwaratri Stuart Mill) dan Deontologi (utamanya uraian- Thrikuratti adalah salah satu perayaan di Kerela uraian Immanuel Kant). Konsekuensialisme yang paling megah, spektakuler, dan penuh memandang bahwa konsekuensi dari tindakan warna. Saat tiba di kuil, murti Siwa disambut tertentu membentuk basis moral judgment dengan pesta kembang api yang meriah.

tentang tindakan tersebut. Dari stand-point Perayaan Siwaratri di Bali dipusatkan di konsekuensialist, sebuah tindakan yang benar Pura-pura besar seperti Jagatnatha, Sad adalah tindakan yang mampu menghasilkan Kahyangan, Dang Kahyangan dan Pura-pura kebaikan. Konsep ini bisa diekspresikan ke lainnya. Prosesi yang dilakukan adalah secara dalam sebuah aporisme: 'The ends justify the bersama-sama melakukan persembahyangan di means'. Pura dan kemudian dilanjutkan dengan Jagra

Terma 'Konsekuensialist' yang dinyatakan atau tidak tidur semalam suntuk. Pada malam pertama kali oleh G.E.M. Anscombe pada tahun tersebut mereka melakukan Jagra secara 1958 serta konsepnya dibangun oleh Mill dan bersama-sama di Pura. Aktifitas yang dilakukan Sidgwick pada waktu itu digunakan untuk beragam. Ada yang menggelar tarian atau bali- menjelaskan kesalahan-kesalahan pokok dari balian lainnya, ada dengan makekidungan, beberapa teori moral yang ada (Anscombe, diskusi spiritual dan lain-lain. Banyak dari http://www.philosophy.uncc.edu/mleldrid/cmt/ mereka juga melakukan puasa tidak makan mmp.html.). Konsep ini menekankan pada hasil sehari dan mauna (tidak bicara).

akhir untuk menentukan apakah tindakan itu layak dinyatakan benar atau salah (Mackie, 1990).

Nilai-nilai Pendidikan Susila di dalam

Mereka yang mengikuti teori ini ada

Kakawin Siwaratri Kalpa

banyak jenis. Hedonistik Utilitarianisme Susila atau etika atau disebut dengan memandang bahwa sebuah tindakan disebut filsafat moral adalah salah satu cabang filsafat baik apabila mampu menghasilkan semakin

yang mempertanyakan masalah-masalah banyak kesenangan. Tindakan akan disebut moralitas, seperti konsep-konsep tentang baik- paling baik apabila mampu menghasilkan buruk, benar –salah, bijak-jahat, dan lain paling banyak kesenangan. Eudaimonik sebagainya. Menurut Sokrates bahwa setiap Konsekuensialisme menyatakan bahwa orang akan secara alami melakukan apa yang kepenuhan hidup yang mungkin atau tidak dianggap baik jika mereka memiliki seperti menikmati kesenangan adalah tujuan pengetahuan tentang kebaikan. Tindakan buruk dari hidup. Sedangkan Estetik Konsekuensialist atau jahat adalah hasil dari kebodohan. Jika memandang bahwa tujuan akhir dari kehidupan seorang perilaku kriminal menyadari ini adalah untuk menciptakan keindahan. konsekuensi mental dan spiritual dari apa yang

Deontologi yang berarti kewajiban adalah dilakukannya, maka ia tidak akan sebuah pendekatan etika yang menentukan melakukannya atau mencoba berfikir untuk kebaikan dan keburukan dari tindakan yang melakukannya. Jadi seseorang yang telah teruji, bukan dari konsekuensi, atau

mengetahui dengan baik apa itu benar akan penekanannya terletak pada nilai-nilai mulia secara otomatis tidak melakukan tindakan yang telah berlaku. Deontologi melihat aturan diluar itu (Sahakian & Sahakian, 1993: 32-33).

dan tanggung jawab. Seperti contoh: tindakan Aristoteles menyatakan hal yang sedikit bisa dikatakan benar meskipun pada akhirnya

berbeda. Ia menyebut system etika sebagai 'self menciptakan hal yang tidak baik (Olson, 1967: realisation'. Menurutnya, jika seseorang 343). bertindak menurut sifat alaminya dan merealisasikan potensi dirinya secara penuh,

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama 111

Menurut kaum Deontologist, setiap orang memiliki kewajiban untuk bertindak dengan cara tertentu dimana secara inheren baik untuk dilakukan. Menurut pandangan ini, akhir atau konsekuensi dari tindakan tidak penting di dalam atau dari dirinya sendiri dan penekanan dari orang yang melakukan tidak penting di dalam dan untuk dirinya sendiri. Teori etika dari Immanuel Kant dinyatakan sebagai deontologikal dari beberapa argument yang berbeda (Orend, 2000: 19).

Pertama, Kant mengatakan bahwa untuk bertindak yang secara moral benar, seseorang harus memulai tindakannya dari kewajiban (Kant, 1780). Kedua, Kant mengatakan bahwa bukanlah konsekuensi dari tindakan yang membuat mereka benar atau salah, tetapi motif

dari orang tersebutlah yang menghasilkan tindakan. Untuk bertindak benar, seseorang harus bertindak berdasarkan kewajiban. Kebaikan yang tertinggi adalah harus baik di dalam dirinya sendiri dan baik tanpa kualifikasi (Kant, 1785).

Sesuatu adalah 'baik di dalam dirinya' ketika ia secara intrinsik baik, dan 'baik tanpa kualifikasi' ketika runtutan dari hal tersebut tidak membuat suasana secara etik tambah buruk. Segala sesuatu, menurut Kant, yang dianggap baik seperti kesenangan, intelek, dan lain sebagainya gagal menjadi apakah baik di dalam dirinya sendiri atau baik tanpa kualifikasi. Kesenangan contohnya, tampak dipermukaan sebagai tidak baik tanpa kualifikasi, karena ketika seseorang senang melihat orang lain menderita, ini tampak bahwa secara etika menyebabkan situasi menjadi tambah buruk. Kant menyimpulkan bahwa tak ada sesuatu di dunia ini yang dinyatakan 'baik tanpa kualifikasi' kecuali 'kehendak baik' atau 'good will'.

Teori etika paling akhir yang berkembang saat ini adalah seperti apa yang dipaparkan oleh tokoh-tokoh yang menyatakan dirinya sebagai Postmodernist. Posmodernisme memandang bahwa dunia ini adalah relasional, sehingga etika mesti mempelajari situasi kompleks dari tindakan. David Couzens Hoy mengutip Emmanuel Levinas mengatakan bahwa post-kritik etika adalah kewajiban yang menghadirkan diri mereka sendiri sebagai sesuatu yang penting untuk dipenuhi, tetapi tidak dipaksakan pada seseorang dan juga tidak tanpa ditekankan (2004: 103). Kritik tersebut

sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Peter Singer. Ia setuju kalau dalam hal tertentu etika bersifat universal, tetapi jalan yang diberikan oleh utilitarianisme mengandung konsekuensi terbaik (2000: 15).

Melihat alur cerita Lubdaka yang himsa, tetapi oleh karena faktor kebetulan, ia mendapatkan ganjaran yang utama dari Siwa, secara konsep etika kontemporer yang berkembang tampak memiliki makna yang sangat signifikan. Etika yang ditekankan disini bukan terletak pada membunuh atau tidaknya, tetapi lebih pada bagaimana Lubdaka melakukan kewajibannya dengan baik. Lubdaka melakukan pembunuhan kepada binatang buruannya hanya semata-mata sebagai mata pencaharian untuk menghidupi sanak keluarganya. Dalam hal ini pendekatan etika yang digunakan adalah deontologi. Melakukan kewajiban dengan sebaik-baiknya akan mengantarkan pada rahmat Tuhan yang datangnya tidak terduga-duga. Proses kebetulan memuja Siwa pada malam Siwaratri di dalam konteks ini memiliki makna bahwa dengan melakukan kewajiban dengan sebaik-baiknya, pahala yang akan diraih menjadi sangat signifikan. Tidak ada suatu tindakan yang dilakukan tanpa pahala. Demikian juga oleh karena Lubdaka melakukan kewajibannya dengan baik sebagai kelapa rumah tangga untuk menghidupi anak dan keluarganya, maka ia memperoleh kesempatan untuk menikmati hasilnya.

Bagaimana Teks Kekawin Siwaratri Kalpa menyatakan tentang signifikasi dari kewajiban dapat dilihat sebagai berikut:

Sangkan sangkan alit tama nana ng ulah darma riya mudang yasa, Anging lot maburu gawenya mamati ng mong wek gaja mwang warak, Salwirning mrega kapwa sirna rinarahnya n tan bisa pet urip, Yeka tah pangiwenya ring tanaya lawan dara len len kadang.

(Wirama 2.2: Sardulawikridita) Sejak kecil tidak ada, perbuatan

"dharma" dan "yasa" yang dilaksanakannya; namun senantiasa berburu, pekerjaannya membunuh harimau babi gajah dan badak; semua binatang yang diburunya terbunuh tidak

112 Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

dapat menyelamatkan jiwanya; hasil kejahatan lainnya, malahan sangat sayang buruannya itu dipakainya menghidupi dengan sanak keluarganya. anak-anaknya serta keluarganya.

Melakukan kewajiban dengan benar memiliki signifikasi spiritual. Paramahamsa Yogananda di dalam komentarnya tentang sloka

Hal ini dapat diidentikkan dengan kisah Bhagavad-gita di atas menyatakan bahwa yang disebutkan di dalam Mahabharata, pejuang spiritual tidak mesti takut untuk khususnya di dalam teks Bhagavad-gita. Arjuna menerima kewajiban Ilahi untuk memerangi merasa bahwa membunuh adalah dosa besar musuh yang berupa kebodohan dengan jalan apalagi yang dibunuh adalah sanak kebijaksanaan (2007: 244). Dengan cara yang keluarganya. Namun Krishna mengajarkan sama seseorang mesti melakukan kewajibannya bahwa jiwa tidak bisa terbunuh, hanya badan apapun itu dan tidak mencoba untuk beralih yang bisa terbunuh. Badan hanyalah laksana hanya karena pengaruh luar. Kekuatan rohani baju yang setiap saat mesti diganti sedangkan yang merupakan rahmat Siwa adalah jiwa, yang merupakan esensi dari makhluk konsekuensi dari tindakan yang benar atas hidup tidak pernah mati atau terbunuh.oleh kewajiban tersebut. karenanya, melakukan kewajiban sendiri

Kemudian diceritakan di dalam kisah sebagai kesatria di medan pertempuran lebih perjalanan roh Lubdaka yang akhirnya dijemput

mulia dibandingkan tidak melakukannya dan oleh anak buah Dewa Siwa mendapat tantangan melakukan kewajiban orang lain. Teks o l e h p a s u k a n Ya m a . D a l a m u p a y a Bhagavad-gita (II. 31) menyatakan sebagai memperebutkan rohnya itu, mereka akhirnya berikut.

bertempur. Pertempuran kedua pasukan itu jika Svadharmamapi cāveksya na

tetap dikontekskan secara etika, maka hal itu vikampitumarhasi,

merupakan simbol dari perdebatan etika yang Dharmyaddhi

terjadi di masyarakat dan masing-masing yuddhācaccheyo'nyatksatriyasya na

memiliki pendukung yang kuat seperti misalnya vibyate.

dikisahkan pasukan Siwa yang sangat banyak dan juga pasukan Yama dan masing-masing

Dari sudut pandang swadharma, engkau memiliki keunggulan dan kesaktian. Tentang seharusnya tidak mengingkari! Tidak pasukan Siwa dinyatakan sebagai berikut: ada yang lebih tepat bagi seorang

Gana-gana gurniteng gagana tan ksatriya selain ikut di dalam perang

paganita maguneng rananggana, kebajikan ini.

Tahu ginulang-gulang alu tekap Ganapati ginawe suraksaka,

Pada masurak-surak surak ika asru tan Setiap orang ditekankan untuk

asirik i sura ning musuh, melakukan kewajibannya dengan baik. Saat di

Satata nusus musuh sumaput ing samara medan perang, membunuh atau dibunuh adalah

kalip ing musuh dating. sebuah swadharma, demikian juga bagi

(Wirama 13.2: Turidagatim) seorang Lubdhaka, demi menghidupi anak istri,

maka membunuh binatang buruan adalah Prajurit Ganabala yang tak terhitung sebuah swadharma. Disini uraian mengenai

banyaknya telah memahami ilmu kisah Arjuna yang menolak perang ditengah

peperangan; sudah berpengalaman dan medan Kuruksetra sesaat sebelum perang

sering diadu ke medan perang oleh dimulai dan akhirnya sepakat untuk

Hyang Siwa sebagai pasukan pengawal; melanjutkannya adalah identik dengan kisah

mereka bersorak-sorak dengan kerasnya ini. Arjuna tidak kehilangan martabat dan rasa

dan tidak takut menghadapi musuh yang welas asihnya ketika dia membunuh di medan

gagah berani; mereka selalu berhasil perang. Arjuna membunuh hanya ketika di

membinasakan musuhnya dan mengitari medan pertempuran dan tidak pernah menyakiti

arena perang sehingga pihak lawan takut siapapun di luar itu. Demikian juga Lubdaka

menyerang.

dikisahkan hanya membunuh binatang buruan ketika berburu dan tidak pernah melakukan

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama 113

Nilai-Nilai Pendidikan...(Ni Wayan Sri Praba Kusuma Dewi hal 103-121)

Dikisahkan bahwa pasukan Ganabala Jadi cara memutuskan sesuatu apakah itu yang merupakan prajurit pilihan Siwa dikatakan benar atau tidak melalui hasil atau jumlahnya tidak terhitung. Ini menandakan konsekuensi dari tindakan itu adalah bahwa secara etika mendukung atas apa yang konsekuensialis. Jika konsekuensi tindakan dilakukan oleh Lubdaka. Konsep Deontologi mampu menghasilkan kebaikan sebanyak- yang diusung dalam hal ini oleh Siwa didukung banyaknya, maka tindakan itu disebut benar, oleh pengikutnya yang tak terkira jumlahnya. dan jika sebaliknya maka dikatakan salah. Mereka juga memiliki pemahaman atas ideologi Menurut Yama Lubdaka mesti harus disalahkan tersebut. Mereka tidak takut untuk karena terbukti apa yang dilakukannya tidak merealisasikan ideologi tersebut tanpa mendatangkan kebagikan yang maksimal memandang apakah ada ideologi yang lebih terutama terhadap binatang-binatang yang telah baik dari itu. Bagi pendukungnya, ideologi yang menjadi korban. dianutnya adalah yang terbaik dan merupakan

Pertempuran yang terjadi pada akhirnya jalan untuk meraih pembebasan atau adalah simbol dari paradigma yang berkembang keselamatan. Dipihak lain dikisahkan mengenai di masyarakat. Di satu sisi, masyarakat tertentu pasukan Yama, adalah sebagai berikut:

menerima dan melaksanakan dengan baik ide Yangkatnya n metu sangka ring graham Deontologi sedangkan yang lainnya sangat pareng matta anguhuh katara,

terikat dengan konsep Konsekuensialis. krura-kara mangunda tomara lipung Argumentasi-argumentasi yang dilontarkan gadanya tiksna alungit,

masing-masing sangat akurat dan memiliki sahya abusana abisana angamah-amah kebenarannya. Kedua belah pihak sama-sama waktranya singopama,

memiliki signifikasi. Keduanya bisa dangstranya mesi lot agasa diaplikasikan di masyarakat. Hal inilah yang patikisnyaka amijil pawaka.

digunakan untuk men-justifikasi apakah (Wirama 15.1: Sardulawikridita)

tindakan seseorang bisa dinyatakan benar atau salah.

Prajurit Kingkara keluar dari balai dan Lubdaka mempertanyakan bagaimana bergerak maju bersorak-sorak sangat hal ini bisa terjadi. Pasukan Yama menyatakan mengerikan karena galaknya; gagah karena kejahatan yang dilakukannya sehingga perkasa dengan membawa senjata dirinya harus disiksa. Pasukan Yama jika dilihat tomara lipung dan keris yang sangat dari sudut pandang etika Konsekuensialis tidak tajam; busana mereka serba lengkap dan salah dan tindakan itu mesti demikian. Jadi ketika bersorak-sorai tampak wajahnya masing-masing etik memiliki signifikasi dan mengerikan bagaikan singa; taringnya tetap bertahan di dalam dirinya seperti contoh yang kuat selalu bergesek dan dari petikan di bawah: gesekannya keluar api.

Ngka teki mangucap Mahodara ri sakweh ning watek Kingkara,

Secara etika bisa dikatakan bahwa Adi Sang Kingkara-sanggya yeki pasukan Yama adalah pendukung dari konsep

rengonen takwanku ring saksana, Konsekuensialis. Hal ini dapat dilihat dari

ndyanung dosa nikang nisada sinikepta alasan mengapa Yama memutuskan roh

awas nitalyan huwus, Lubdaka agar disiksa dan dimasukkan ke dalam

manggeh tan tuhu yukti denta tumiba ng neraka. Menurut catatan Yama, Lubdaka tidak

dande rikang Lubdaka. pernah melakukan amal kebaikan, tidak pernah

(Wirama 19. 2: Sardulawikridita) bersedekah, memuja Tuhan hampir tidak pernah