MEMBACA PELUANG PENGEMBANGAN DAN PEMBERD
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
Volume VIII Nomor 23
September – Desember 2014
MEMBACA PELUANG PENGEMBANGAN DAN
PEMBERDAYAAN WIDYAISWARA DI KEMENTERIAN AGAMA
Firman Nugraha
Widyasiwara Madya
Balai Diklat Keagamaan Bandung
email: [email protected]
abstrak
Menghadapi tantangan diklat dan pengembangan diri widyaiswara
ke depan memerlukan perubahan paradigm dalam memosisikan
widyaiswara itu sendiri dalam peranannya di lingkungan diklat.
Spesialisasi widyaiswara menjadi identitas diri yang penting
sebagai landasan pengembangan dan pemberdayaan widyaiswara
tersebut. Secara sederhana, langkah ini dimulai dari membuka
cakrawala wawasan baik oleh widyaiswara maupun Pembina
kewidyaiswaraan
untuk
bersama-sama
meruntuhkan
sekat
dikotomis.
Pembinaan
dan
pengembangan
widyaiswara
dikembalikan kepada spsesialisasi widyaiswara.
Kata kunci: Dikotomi, Spesialisasi widyaiswara.
A. PENDAHULUAN
Hadirnya Peraturan Menteri Agama Nomor 49 Tahun 2014
telah memberikan riak tersendiri dalam dunia pendidikan dan
pelatihan (diklat) terutama bagi widyaiswara. Membaca pasal 10
ayat 4 dalam PMA dimaksud melahirkan beragam pendapat. Disatu
sisi apakah sebagai bentuk sikap dan perlakuan khusus (istimewa)
atau dikriminatif.
Terlepas dari besaran pertanyaan di atas, sesungguhnya sikap
positif yang harus diambil adalah pasal tersebut menjadi tantangan
tersendiri bagi insan kediklatan baik para pimpinan sebagai
pemegang otoritas keputusan dan kebijakan, maupun widyaiswara
sendiri sebagai objeknya. Bagaimanapun sebuah amar dalam
produk hukum tetaplah berlaku dan harus berlaku. Apalagi jika ada
produk hukum lain yang terkait dan turut menguatkan amar
pertama.
Lain dari itu, semangat yang diusung dari sebuah keputusan
adalah perubahan. Semangat perubahan juga harus mewarnai
paradigma insan kediklatan. Dalam kepentingan tersebut, artikel
sederhana ini mencoba menyoal dan mencari solusi yang lebih
mungkin untuk dilaksanakan secara bersama-sama dengan keluar
357
Volume VIII Nomor 23
September – Desember
2014
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
dari lingkaran persoalan dan menjadikannya tantangan sekaligus
peluang untuk kebaikan bersama.
B. PERUBAHAN PARADIGMA: Menembus sekat dikotomi
Salahsatu ciri khas widyaiswara sebagai jabatan fungsional
adalah memiliki spesialisasi. Spesialisasi Widyaiaswara merupakan
identitas khas mengenai keahlian atau bidang keahlian seorang
widyaiswara. Maka tidak berlebihan dalam Permenpan Nomor 14
tahun 2009 (meskipun sudah ada aturan lebih baru, namun belum
diterima), dalam penghitungan Angka Kredit widyaiswara hanya
akan dihitung jika sesuai dengan spesialisasi yang diampunya.
Spesialisasi inipun yang membedakan kewenangan mengajar
seorang widyaiswara dalam suatu diklat dengan widyaiswara
lainnya.
Perjalanan impelementasi spesialiasasi widyaiswara dalam
pengembangan karirnya maupun pembinaan karirnya tidak selalu
mulus. Widyaiswara harus berhadapan dengan beberapa rintangan
antara lain perubahan kurikulum yang dinamis, serta (kasus di
Kementerian
Agama)
dikotomi
ruang
pembinaan
dan
pengembangan karir widyaiswara.
Kondisi kurikulum diklat yang dinamis adalah tuntutan yang
wajar dalam dunia pelatihan. Namun demikian, ia bisa menjadi
problem ketika tidak disertai dengan kesigapan Pembina
widyaiswara dalam menyediakan pintu keluar agar setiap
widyaiswara memiliki payung hukum atas spesialisasi yang diambil
dengan pelaksanaan diklat, yang pada gilirannya diajukan sebagai
bukti kinerja untuk memperoleh Angka Kredit (Kusriyah, 2013
[online]).
Dewasa
ini,
spesialisasi
widyaiswara
di
lingkungan
Kementerian Agama adalah spesialisasi yang pertama kali diajukan
(oleh masing-masing widyaiswara) dan ditetapkan oleh Kepala
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Kondisinya tentu
sudah jauh berbeda dengan keadaan saat ini, ketika kurikulum
diklat telah mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini, pada
ahirnya
akan
menghambat
pembinaan
karir
widyaiswara
bersangkutan. Ia akan diperhadapkan pada persoalan lain, yakni
berkas ajuan DUPAK angka kredit harus yang sesuai dengan
spesialisasi.
Problem berikutnya adalah adanya sekat dikotomis dalam
penetapan spesialisasi widyaiswara. Sekat dikotomis ini bermuara
pada pembidangan kewenangan melakukan dikjartih. Sekalipun
dalam beberapa mata diklat terdapat mata diklat yang mirip.
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
Volume VIII Nomor 23
September – Desember 2014
Namun karena berada dalam ruang yang berbeda, widyaiswara di
kamar tertentu dianggap tidak memiliki kewenangan untuk
mengampunya. Artikel ini berupaya menjawab atas problem
tersebut.
Spesialisasi memang tidak selalu tunggal. Kompetensi
seorang widyaiswara sebagai akumulasi dari kemampuan akademis
maupun ditunjang oleh pengalaman lapangan akan turut
berpengaruh. Kebijakan menetapkan sesialisasi widyasiwara
sebelumnya
pernah
memberikan
lima
peluang
sebagai
spesialisasasi. Dengan komposisi 3 utama dan 2 penujang.
Kemudian kebijakan ini berubah dengan tiga spesialisasi, dengan
komposisi dua utama dan satu penunjang.
Kebijakan ini sesungguhnya bagus untuk memberikan
kesempatan bagi widyaiswara dalam mengembangkan karirnya.
Baik ia ditetapkan lima spesialisasi maupun tiga spesialisasi.
Bahkan terakhir ada upaya untuk mengembalikan penetapan
spesialisasi ini pada tiga utama dan dua penunjang.
Namun demikian langkah solusi ini perlu disertai dengan
perluasan pemahaman yang berujung pada kebijakan yang lebih
terbuka pula. Yaitu diruntuhkannya sekat dikotomis (widyaiswara
teknis dan widyaiswara administrasi) atau bahkan trikotomis
(widyaiswara
administrasi,
widyaiswara
pendidikan
dan
widyaiswara keagamaan). Bagaimanapun, solusi yang ditawarkan
tanpa disertai terbukanya wawasan dan tindakan riil untuk lebih
mengembalikan setiap kegiatan widyaiswara pada (murni)
spesialisasinya akan terhambat oleh paradigma dikotomis atau
trikotomi tersebut.
Bangunan
dikotomis
ini
dalam pengamatan penulis
sesungguhnya dinding psikologis yang tidak memiliki landasan
kokoh dalam ranah hukum. Artinya tidak ada sandaran peraturan
maupun produk hukum lainnya yang membenarkan adanya
dikotomi. Jikapun diasosiasikan dengan bidang tugas yang ada di
lingkungan Pusdiklat maupun Balai Diklat jelas sekali justru
menunjukkan pengaruh psikologis saja, bukan berdasarkan norma
hukum.
Produk hukum justru berkiblat pada spesialisasi dan
kelompok diklat yang seharusnya diselenggarakan. Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 14 Tahun 2009
tentang jabatan fungsional widyaiswara dan angka kreditnya
359
Volume VIII Nomor 23
September – Desember
2014
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
misalnya membagi diklat ke dalam kelompok struktural, fungsional
dan teknis.
Pemaknaan Teknis dalam perkalan tersebut jelas berbeda
dengan kondisi riil adanya Pusdiklat Tenaga Teknis maupun
Pusdiklat Administrasi, adanya Kasi Diklat Teknis dan Kasi Diklat
Administasi di Balai Diklat. Teknis dalam Perkalan No 13, 14 dan 15
tahun 2011 menunjukan karakter diklat yang lebih cenderung untuk
meningkatkan kompetensi pegawai dalam hal dukungan teknis
terhadap penyelesaian tugasnya terutama berkenaan dengan
jabatannya. Hal ini juga seseungguhnya diakomodir dalam
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 tahun 2012 tentang Diklat
Teknis di Lingkungan Kementerian Agama. Namun demikian,
tampaknya persoalan “tafsir” kembali menjadi sumber pembacaan
yang keliru (Nugraha, 2014).
Gambaran tersebut sesungguhnya dapat disadari ketika dalam
diklat kelompok diklat administrasi sesungguhnya ada yang
dikategorikan teknis maupun fungsional, di luar kelompok diklat
struktural (Subkhan, 2014 [online]). Demikian pula halnya dalam
kelompok diklat teknis di balai diklat, di dalamnya ada diklat teknis,
maupun diklat fungsional bagi guru, pengawas, penyuluh maupun
penghulu.
Dengan demikian, upaya dari pihak Pembina sesungguhnya
masih perlu dilengkapi dengan perubahan pradigma berfikir atau
mind-set baik oleh widyaiswara itu sendiri maupun pembina
internal
di
lingkungan
Kementerian
Agama.
Spesialisasi
widyaiswara yang merupakan gambaran kompetensi bersangkutan
harus didudukan dalam tempat yang lebih utama. Artinya suatu
tuntutan kompetensi bagi peserta diklat yang diwakili oleh mata
diklat dan secara bersamaan menjadi kompetensi widyaiswara di
kamar manapun adanya baik dalam definisi administrasi,
pendidikan, maupun keagamaan.
Namun demikian, tentu kompetensi tersebut harus dilindungi
oleh pengakuan kualifikasi, apakah berupa pendidikan formal,
maupun berasal dari pelatihan yang pernah diikutinya. Maka, untuk
kegiatan pelatihan dan kompetensi yang bersifat terbuka dan baru
(di luar spesialisasi widyaiswara yang sudah ada), maka semua
widyaiswara seyogianya disertakan dalam pelatihan pembekalan
kompetensi tersebut, agar setiap widyaiswara secara bersama-sama
memiliki peluang untuk pengembangan dirinya serta pemenuhan
tuntutan kinerja mereka sesuai peraturan berlaku.
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
Volume VIII Nomor 23
September – Desember 2014
Perubahan paradigma ini penting. Kedepan, tantangan diklat
tentu semakin kompleks. Menghadapi kondisi demikian tentu
lembaga diklat harus menyiapkan amunisi yang paripurna,
diantaranya widyasiwara yang kredibel.
C. PENUTUP
Perubahan paradigma akan mendasari perubahan perlakuan
dalam
pengembangan
widyaiswara.
Memantapkan
kembali
spesialisasi widyaiswara menjadi prioritas, terlebih menghadapi
perubahan-perubahan lingkungan messo dan mikro di Kementerian
Agama. Perubahan paradigma ini bukan hanya ada di lingkungan
Pembina, tetapi juga mind-set widyaiswara-pun harus berubah.
Sekat (psikologis) dikotomis ataupun trikotomis sudah tidak relevan
dengan era baru dunia pelatihan. Untuk kompetensi terbuka dan
baru, semua widyaiswara harus diberikan kesempatan yang sama
untuk bersama sama terlibat dalam pelatihan.
DAFTAR PUSTAKA
Kusriyah, Siti (2013) Strategi Pemberdayaan Widyaiswara di
Kementerian
Agama,
[online]
dalam
http://pta.kemenag.go.id/index.php/frontend/news/index/146.
Nugraha, Firman (2014) Konsepsi dan Miskonsepsi Diklat Teknis
[online] dalam http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/211konsepsi-dan-miskonsepsi.
Peraturan Menteri Agama Nomor 49 Tahun 2014 tentang
Pemberian, Penambahan dan Pengurangan Tunjangan Kinerja
Pegawai negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Agama.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 14
Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan
Angka Kreditnya.
Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BKN Nomor 1 Tahun
2010 dan Nomor 2 tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya.
Peraturan Kepala LAN Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Petunjuk
Teknis Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya.
Subkhan, Achmad (2014) Strategi Pemberdayaan Widyaiswar
Spesialisasi
Tenaga
Administrasi
[online]
dalam
http://bdksemarang.kemenag.go.id/strategi-pemberdayaanwidyaiswara-spesialisasi-diklat-tenaga-administrasi/
361
Volume VIII Nomor 23
September – Desember
2014
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
Volume VIII Nomor 23
September – Desember 2014
MEMBACA PELUANG PENGEMBANGAN DAN
PEMBERDAYAAN WIDYAISWARA DI KEMENTERIAN AGAMA
Firman Nugraha
Widyasiwara Madya
Balai Diklat Keagamaan Bandung
email: [email protected]
abstrak
Menghadapi tantangan diklat dan pengembangan diri widyaiswara
ke depan memerlukan perubahan paradigm dalam memosisikan
widyaiswara itu sendiri dalam peranannya di lingkungan diklat.
Spesialisasi widyaiswara menjadi identitas diri yang penting
sebagai landasan pengembangan dan pemberdayaan widyaiswara
tersebut. Secara sederhana, langkah ini dimulai dari membuka
cakrawala wawasan baik oleh widyaiswara maupun Pembina
kewidyaiswaraan
untuk
bersama-sama
meruntuhkan
sekat
dikotomis.
Pembinaan
dan
pengembangan
widyaiswara
dikembalikan kepada spsesialisasi widyaiswara.
Kata kunci: Dikotomi, Spesialisasi widyaiswara.
A. PENDAHULUAN
Hadirnya Peraturan Menteri Agama Nomor 49 Tahun 2014
telah memberikan riak tersendiri dalam dunia pendidikan dan
pelatihan (diklat) terutama bagi widyaiswara. Membaca pasal 10
ayat 4 dalam PMA dimaksud melahirkan beragam pendapat. Disatu
sisi apakah sebagai bentuk sikap dan perlakuan khusus (istimewa)
atau dikriminatif.
Terlepas dari besaran pertanyaan di atas, sesungguhnya sikap
positif yang harus diambil adalah pasal tersebut menjadi tantangan
tersendiri bagi insan kediklatan baik para pimpinan sebagai
pemegang otoritas keputusan dan kebijakan, maupun widyaiswara
sendiri sebagai objeknya. Bagaimanapun sebuah amar dalam
produk hukum tetaplah berlaku dan harus berlaku. Apalagi jika ada
produk hukum lain yang terkait dan turut menguatkan amar
pertama.
Lain dari itu, semangat yang diusung dari sebuah keputusan
adalah perubahan. Semangat perubahan juga harus mewarnai
paradigma insan kediklatan. Dalam kepentingan tersebut, artikel
sederhana ini mencoba menyoal dan mencari solusi yang lebih
mungkin untuk dilaksanakan secara bersama-sama dengan keluar
357
Volume VIII Nomor 23
September – Desember
2014
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
dari lingkaran persoalan dan menjadikannya tantangan sekaligus
peluang untuk kebaikan bersama.
B. PERUBAHAN PARADIGMA: Menembus sekat dikotomi
Salahsatu ciri khas widyaiswara sebagai jabatan fungsional
adalah memiliki spesialisasi. Spesialisasi Widyaiaswara merupakan
identitas khas mengenai keahlian atau bidang keahlian seorang
widyaiswara. Maka tidak berlebihan dalam Permenpan Nomor 14
tahun 2009 (meskipun sudah ada aturan lebih baru, namun belum
diterima), dalam penghitungan Angka Kredit widyaiswara hanya
akan dihitung jika sesuai dengan spesialisasi yang diampunya.
Spesialisasi inipun yang membedakan kewenangan mengajar
seorang widyaiswara dalam suatu diklat dengan widyaiswara
lainnya.
Perjalanan impelementasi spesialiasasi widyaiswara dalam
pengembangan karirnya maupun pembinaan karirnya tidak selalu
mulus. Widyaiswara harus berhadapan dengan beberapa rintangan
antara lain perubahan kurikulum yang dinamis, serta (kasus di
Kementerian
Agama)
dikotomi
ruang
pembinaan
dan
pengembangan karir widyaiswara.
Kondisi kurikulum diklat yang dinamis adalah tuntutan yang
wajar dalam dunia pelatihan. Namun demikian, ia bisa menjadi
problem ketika tidak disertai dengan kesigapan Pembina
widyaiswara dalam menyediakan pintu keluar agar setiap
widyaiswara memiliki payung hukum atas spesialisasi yang diambil
dengan pelaksanaan diklat, yang pada gilirannya diajukan sebagai
bukti kinerja untuk memperoleh Angka Kredit (Kusriyah, 2013
[online]).
Dewasa
ini,
spesialisasi
widyaiswara
di
lingkungan
Kementerian Agama adalah spesialisasi yang pertama kali diajukan
(oleh masing-masing widyaiswara) dan ditetapkan oleh Kepala
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Kondisinya tentu
sudah jauh berbeda dengan keadaan saat ini, ketika kurikulum
diklat telah mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini, pada
ahirnya
akan
menghambat
pembinaan
karir
widyaiswara
bersangkutan. Ia akan diperhadapkan pada persoalan lain, yakni
berkas ajuan DUPAK angka kredit harus yang sesuai dengan
spesialisasi.
Problem berikutnya adalah adanya sekat dikotomis dalam
penetapan spesialisasi widyaiswara. Sekat dikotomis ini bermuara
pada pembidangan kewenangan melakukan dikjartih. Sekalipun
dalam beberapa mata diklat terdapat mata diklat yang mirip.
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
Volume VIII Nomor 23
September – Desember 2014
Namun karena berada dalam ruang yang berbeda, widyaiswara di
kamar tertentu dianggap tidak memiliki kewenangan untuk
mengampunya. Artikel ini berupaya menjawab atas problem
tersebut.
Spesialisasi memang tidak selalu tunggal. Kompetensi
seorang widyaiswara sebagai akumulasi dari kemampuan akademis
maupun ditunjang oleh pengalaman lapangan akan turut
berpengaruh. Kebijakan menetapkan sesialisasi widyasiwara
sebelumnya
pernah
memberikan
lima
peluang
sebagai
spesialisasasi. Dengan komposisi 3 utama dan 2 penujang.
Kemudian kebijakan ini berubah dengan tiga spesialisasi, dengan
komposisi dua utama dan satu penunjang.
Kebijakan ini sesungguhnya bagus untuk memberikan
kesempatan bagi widyaiswara dalam mengembangkan karirnya.
Baik ia ditetapkan lima spesialisasi maupun tiga spesialisasi.
Bahkan terakhir ada upaya untuk mengembalikan penetapan
spesialisasi ini pada tiga utama dan dua penunjang.
Namun demikian langkah solusi ini perlu disertai dengan
perluasan pemahaman yang berujung pada kebijakan yang lebih
terbuka pula. Yaitu diruntuhkannya sekat dikotomis (widyaiswara
teknis dan widyaiswara administrasi) atau bahkan trikotomis
(widyaiswara
administrasi,
widyaiswara
pendidikan
dan
widyaiswara keagamaan). Bagaimanapun, solusi yang ditawarkan
tanpa disertai terbukanya wawasan dan tindakan riil untuk lebih
mengembalikan setiap kegiatan widyaiswara pada (murni)
spesialisasinya akan terhambat oleh paradigma dikotomis atau
trikotomi tersebut.
Bangunan
dikotomis
ini
dalam pengamatan penulis
sesungguhnya dinding psikologis yang tidak memiliki landasan
kokoh dalam ranah hukum. Artinya tidak ada sandaran peraturan
maupun produk hukum lainnya yang membenarkan adanya
dikotomi. Jikapun diasosiasikan dengan bidang tugas yang ada di
lingkungan Pusdiklat maupun Balai Diklat jelas sekali justru
menunjukkan pengaruh psikologis saja, bukan berdasarkan norma
hukum.
Produk hukum justru berkiblat pada spesialisasi dan
kelompok diklat yang seharusnya diselenggarakan. Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 14 Tahun 2009
tentang jabatan fungsional widyaiswara dan angka kreditnya
359
Volume VIII Nomor 23
September – Desember
2014
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
misalnya membagi diklat ke dalam kelompok struktural, fungsional
dan teknis.
Pemaknaan Teknis dalam perkalan tersebut jelas berbeda
dengan kondisi riil adanya Pusdiklat Tenaga Teknis maupun
Pusdiklat Administrasi, adanya Kasi Diklat Teknis dan Kasi Diklat
Administasi di Balai Diklat. Teknis dalam Perkalan No 13, 14 dan 15
tahun 2011 menunjukan karakter diklat yang lebih cenderung untuk
meningkatkan kompetensi pegawai dalam hal dukungan teknis
terhadap penyelesaian tugasnya terutama berkenaan dengan
jabatannya. Hal ini juga seseungguhnya diakomodir dalam
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 tahun 2012 tentang Diklat
Teknis di Lingkungan Kementerian Agama. Namun demikian,
tampaknya persoalan “tafsir” kembali menjadi sumber pembacaan
yang keliru (Nugraha, 2014).
Gambaran tersebut sesungguhnya dapat disadari ketika dalam
diklat kelompok diklat administrasi sesungguhnya ada yang
dikategorikan teknis maupun fungsional, di luar kelompok diklat
struktural (Subkhan, 2014 [online]). Demikian pula halnya dalam
kelompok diklat teknis di balai diklat, di dalamnya ada diklat teknis,
maupun diklat fungsional bagi guru, pengawas, penyuluh maupun
penghulu.
Dengan demikian, upaya dari pihak Pembina sesungguhnya
masih perlu dilengkapi dengan perubahan pradigma berfikir atau
mind-set baik oleh widyaiswara itu sendiri maupun pembina
internal
di
lingkungan
Kementerian
Agama.
Spesialisasi
widyaiswara yang merupakan gambaran kompetensi bersangkutan
harus didudukan dalam tempat yang lebih utama. Artinya suatu
tuntutan kompetensi bagi peserta diklat yang diwakili oleh mata
diklat dan secara bersamaan menjadi kompetensi widyaiswara di
kamar manapun adanya baik dalam definisi administrasi,
pendidikan, maupun keagamaan.
Namun demikian, tentu kompetensi tersebut harus dilindungi
oleh pengakuan kualifikasi, apakah berupa pendidikan formal,
maupun berasal dari pelatihan yang pernah diikutinya. Maka, untuk
kegiatan pelatihan dan kompetensi yang bersifat terbuka dan baru
(di luar spesialisasi widyaiswara yang sudah ada), maka semua
widyaiswara seyogianya disertakan dalam pelatihan pembekalan
kompetensi tersebut, agar setiap widyaiswara secara bersama-sama
memiliki peluang untuk pengembangan dirinya serta pemenuhan
tuntutan kinerja mereka sesuai peraturan berlaku.
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung
Volume VIII Nomor 23
September – Desember 2014
Perubahan paradigma ini penting. Kedepan, tantangan diklat
tentu semakin kompleks. Menghadapi kondisi demikian tentu
lembaga diklat harus menyiapkan amunisi yang paripurna,
diantaranya widyasiwara yang kredibel.
C. PENUTUP
Perubahan paradigma akan mendasari perubahan perlakuan
dalam
pengembangan
widyaiswara.
Memantapkan
kembali
spesialisasi widyaiswara menjadi prioritas, terlebih menghadapi
perubahan-perubahan lingkungan messo dan mikro di Kementerian
Agama. Perubahan paradigma ini bukan hanya ada di lingkungan
Pembina, tetapi juga mind-set widyaiswara-pun harus berubah.
Sekat (psikologis) dikotomis ataupun trikotomis sudah tidak relevan
dengan era baru dunia pelatihan. Untuk kompetensi terbuka dan
baru, semua widyaiswara harus diberikan kesempatan yang sama
untuk bersama sama terlibat dalam pelatihan.
DAFTAR PUSTAKA
Kusriyah, Siti (2013) Strategi Pemberdayaan Widyaiswara di
Kementerian
Agama,
[online]
dalam
http://pta.kemenag.go.id/index.php/frontend/news/index/146.
Nugraha, Firman (2014) Konsepsi dan Miskonsepsi Diklat Teknis
[online] dalam http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/211konsepsi-dan-miskonsepsi.
Peraturan Menteri Agama Nomor 49 Tahun 2014 tentang
Pemberian, Penambahan dan Pengurangan Tunjangan Kinerja
Pegawai negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Agama.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 14
Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan
Angka Kreditnya.
Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BKN Nomor 1 Tahun
2010 dan Nomor 2 tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya.
Peraturan Kepala LAN Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Petunjuk
Teknis Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya.
Subkhan, Achmad (2014) Strategi Pemberdayaan Widyaiswar
Spesialisasi
Tenaga
Administrasi
[online]
dalam
http://bdksemarang.kemenag.go.id/strategi-pemberdayaanwidyaiswara-spesialisasi-diklat-tenaga-administrasi/
361
Volume VIII Nomor 23
September – Desember
2014
Tatar Pasundan
Jurnal Balai Diklat Keagamaan
Bandung