Paradigma Dalam Ilmu Sosial doc
Paradigma Dalam Ilmu Sosial*
Paradigma dan Perannya Dalam Membentuk Teori Sosial
Tidak ada suatu pandangan atau teori sosial apapun yang bersifat netral,
melainkan salah satunya bergantung pada paradigma yang dipergunakan.
Paradigma secara sederhana diartikan sebagai kacamata atau alat
pandang
Thomas Khun mengartikan paradigma sebagai satu kerangka referensi
atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu
teori.
Berkembangnya paradigma sangat erat kaitannya dengan seberapa jauh
suatu paradigma mampu mendapat dukungan dai berbagai usaha
penelitian dan penerapannya.
Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat realitas.
Paradigma yang akan mempengaruhi pandangan seseorang tentang apa
yang “adil dan yang tidak adil”, bahka paradigma mempengaruhi
pendangan seseorang ataupun teori tentang baik buruknya suatu program
kegiatan.
Misal: Hubungan lelaki perempuan dalam masyarkaat (gender), hubungan
antara majikan dan buruh, dll.
Dalam hal perbedaan paradigma, tidak relevan membicarakan siapa yang
salah dan siapa yang benar, karena masing-masing menggunakan alasan,
nilai, semangat dan visi yang berbeda tentang fenomena tersebut.
Ritzer (1975) mengatakan bahwa kemenangan satu paradigma atas
paradigma yang lain lebih disebabkan karena pada pendukung paradigma
yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari
pengikut paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena
paradgima yang menang tersebut lebih benar atau lebih baik dari yang
dikalahkan.
Persoalan pilihan terhadap paradigma dan teori perubahan sosial pada
dasarnya bukanlah karena alasan benar dan salahnya teori tersebut.
Pilihan lebih karena dikaitkan dengan persoalan mana teori yang akan
berakibat pada penciptakan hubungan dan struktur yang secara mendasar
lebih baik dan adil.
Paradigma Positivisme
- Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari
pandangan, metode dan teknik ilmu alam dalam memahami relitas sosial
masyarakat.
- Cirinya: universalisme atau generalisasi, determinasi, fixed law.
- Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tuggal bersifat universal, artinya
cocok atau appropriate untuk semua, kapan saja, dimana saja suatu
fenomena sosial.
- Kaum positivisme percaya bahwa riset sosial harus didekati dengan
metode ilmiah, yakni obyektifitas, netral, dan bebas nilai. Pengetahuan
selalu menganut hukum ilmiah yagn bersifat universal, prosedur harus
dikuantifikasi dan diverifikasi dengan metode scientific/ilmiah. Dengan kata
lain positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai (values) dalam
rangka menuju pemahaman objektif atas realitas sosial.
- Kaum positivisme berkeyakinan ilmu sosial tidak boleh subjektif, melainkan
harus objektif, rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati.
Paradigma Interpretatif
-
Lahir dari tradisi fenomenologi, etnometodologi dan teori aksi.
Pengetahuan ilmu sosial dalam paradigma ini “hanya” dimaksud untuk
memahami secara sungguh-sungguh realitas sosial.
Paradigma Kritik
- Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami sebagai katalisasi untuk
membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan.
- Paradimga ini menganjurkan ilmu sosial tidak boleh/mungkin bersifat
netral.
- Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan secara holistik, serta
menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik.
- Positivisme percara bahwa rakyat tidak mampu memecahkan masalah
mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli, perencana
bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat dalam hal
ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yagn berhak
memecahkannya.
- Sebaliknya, pandangan paradigma kritis justru menempatkan rakyat
sebagai subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai
pusat proses perubahan dan penciptaan maupun dalam mengontrol
pengetahuan mereka.
Burnel dan Morgan (1979) membagi 4 paradigma sosiologi yakni: fungsionalis,
Interpretatif, humanis radikal dan strukturalis radikal.
Paradigma Fungsionalis
- Ilmuwan: Talcot Parson, Aguste Comte, Emile Duekheim.
- Pendekatannya: Objektivisme
- Paradigma ini merupakan paradigma yang paling banyak dianut di dunia
- Paradigma ini berakar kuat dari tradisi positivisme
- Pemikiran fungsionalis: kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial,
kesepakatan, keterpaduan sosial, dll.
- Paradigma ini berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan
pengetahuan dyang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan
masalah yang berupa langkah-langkah praktir untuk memecahkan
masalah praktis.
- Paradigma ini mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial sebagai dasar
bagi usaha perubahan sosial.
Paradigma Interpretatif
- Ilmuwan: Immanuel Kant, Max Weber,
- Pendekatannya: Subjektivisme
- Paradigma interpretatif sesungguhnya menganur pendirian sosiologi
keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan
pendekatan subjektivisme dalam analisis sosialnya.
- Sesungguhpun demikian, anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan
pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu, kemapanan,
kesepakatan. Pertentangan, penguasaan sama sekali tidak menjadi agenda
kerja mereka.
Paradigma Humanis Radikal
Ilmuwan: Karl Marx Muda, Paulo Freire
Penganut humanis radikal pada dasarnya berpijak pada kesadaran
manusia.
-
-
Pendekatannyaa: Nominalis, antipositivis, volunteris, dan ideografis
Padangan dasarnya, kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu
oleh suprastruktur ideologis yang ada diluar dirinya yang menciptakan
pemisah antara dirinya dengan kesadaranny yang murni (alienasi), atau
membuatnya dalam kesadaran palsu yagn menghalangi mencapai
pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati.
Agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam
membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang
menghambat perkembagan dirinya sebagai manusia.
Meskipun demikian, masalah pertentangan struktural belum enjadi
perhatian mereka.
Paradima Strukturalis Radikal
- Ilmuwan: Karl Marx Tua, Max Weber
- Penganut paradigma ini seperti kaum humanis radikal memperjuangkan
perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme.
Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan
dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling
berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentukbentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan.
- Pendekatannya: realis, positivis, derteminis dan nomotetis
Perubahan Sosial Dalam Perspektif Keempat Paradigma
- Penganut paradigma interpretatif atau sosiologi fenomenologis karena
dasar filsafatnya adalah mencoba memahami dan mendengar kehendak
masyarakat, maka perubahan sosial lebih diutamakan ke arah yagn
dikehendaki
oleh
masyarakat
tersebut.
Berbagai
metodologi
dikembangkan seperti “etnografi” ataupun “riset observasi”, untuk
menangkap dan memahami kehendak rakyat.
- Penganut fungsionalisme yang bersandar pada pada paradigma
positivisme, mereka merasa berhak untuk melakukan “rekayasa sosial”
sehingga akan berpengaruh ketika mereka berhadapan dengan
masyarakat. Masyarakat dalam proses perubahan sosial ditempatkan
sebagai “objek” perubahan. Oleh karenanya, mereka diarahkan, dikontrol,
direncanakan, serta di konstruksi oleh kalangan ilmuwan, birokrat dan
bahkan LSM yang menganut paham positivisme
- Penganut paradimga transformatif, perubahan sosial dimaksudnya sebagai
proses yang melibatkan korban untuk perubahan tranformasi sistem dan
struktur menuju ke sistem yang lebih adil. Dengan demikian proses
perubahan sosial berwatak subjektif, memihak, tidak netral, dan untuk
terciptanya keadilan sosial dan oleh karenanya berwatak populis.
* dirangkum dalam berbagai sumber
Paradigma dan Perannya Dalam Membentuk Teori Sosial
Tidak ada suatu pandangan atau teori sosial apapun yang bersifat netral,
melainkan salah satunya bergantung pada paradigma yang dipergunakan.
Paradigma secara sederhana diartikan sebagai kacamata atau alat
pandang
Thomas Khun mengartikan paradigma sebagai satu kerangka referensi
atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu
teori.
Berkembangnya paradigma sangat erat kaitannya dengan seberapa jauh
suatu paradigma mampu mendapat dukungan dai berbagai usaha
penelitian dan penerapannya.
Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat realitas.
Paradigma yang akan mempengaruhi pandangan seseorang tentang apa
yang “adil dan yang tidak adil”, bahka paradigma mempengaruhi
pendangan seseorang ataupun teori tentang baik buruknya suatu program
kegiatan.
Misal: Hubungan lelaki perempuan dalam masyarkaat (gender), hubungan
antara majikan dan buruh, dll.
Dalam hal perbedaan paradigma, tidak relevan membicarakan siapa yang
salah dan siapa yang benar, karena masing-masing menggunakan alasan,
nilai, semangat dan visi yang berbeda tentang fenomena tersebut.
Ritzer (1975) mengatakan bahwa kemenangan satu paradigma atas
paradigma yang lain lebih disebabkan karena pada pendukung paradigma
yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari
pengikut paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena
paradgima yang menang tersebut lebih benar atau lebih baik dari yang
dikalahkan.
Persoalan pilihan terhadap paradigma dan teori perubahan sosial pada
dasarnya bukanlah karena alasan benar dan salahnya teori tersebut.
Pilihan lebih karena dikaitkan dengan persoalan mana teori yang akan
berakibat pada penciptakan hubungan dan struktur yang secara mendasar
lebih baik dan adil.
Paradigma Positivisme
- Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari
pandangan, metode dan teknik ilmu alam dalam memahami relitas sosial
masyarakat.
- Cirinya: universalisme atau generalisasi, determinasi, fixed law.
- Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tuggal bersifat universal, artinya
cocok atau appropriate untuk semua, kapan saja, dimana saja suatu
fenomena sosial.
- Kaum positivisme percaya bahwa riset sosial harus didekati dengan
metode ilmiah, yakni obyektifitas, netral, dan bebas nilai. Pengetahuan
selalu menganut hukum ilmiah yagn bersifat universal, prosedur harus
dikuantifikasi dan diverifikasi dengan metode scientific/ilmiah. Dengan kata
lain positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai (values) dalam
rangka menuju pemahaman objektif atas realitas sosial.
- Kaum positivisme berkeyakinan ilmu sosial tidak boleh subjektif, melainkan
harus objektif, rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati.
Paradigma Interpretatif
-
Lahir dari tradisi fenomenologi, etnometodologi dan teori aksi.
Pengetahuan ilmu sosial dalam paradigma ini “hanya” dimaksud untuk
memahami secara sungguh-sungguh realitas sosial.
Paradigma Kritik
- Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami sebagai katalisasi untuk
membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan.
- Paradimga ini menganjurkan ilmu sosial tidak boleh/mungkin bersifat
netral.
- Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan secara holistik, serta
menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik.
- Positivisme percara bahwa rakyat tidak mampu memecahkan masalah
mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli, perencana
bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat dalam hal
ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yagn berhak
memecahkannya.
- Sebaliknya, pandangan paradigma kritis justru menempatkan rakyat
sebagai subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai
pusat proses perubahan dan penciptaan maupun dalam mengontrol
pengetahuan mereka.
Burnel dan Morgan (1979) membagi 4 paradigma sosiologi yakni: fungsionalis,
Interpretatif, humanis radikal dan strukturalis radikal.
Paradigma Fungsionalis
- Ilmuwan: Talcot Parson, Aguste Comte, Emile Duekheim.
- Pendekatannya: Objektivisme
- Paradigma ini merupakan paradigma yang paling banyak dianut di dunia
- Paradigma ini berakar kuat dari tradisi positivisme
- Pemikiran fungsionalis: kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial,
kesepakatan, keterpaduan sosial, dll.
- Paradigma ini berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan
pengetahuan dyang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan
masalah yang berupa langkah-langkah praktir untuk memecahkan
masalah praktis.
- Paradigma ini mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial sebagai dasar
bagi usaha perubahan sosial.
Paradigma Interpretatif
- Ilmuwan: Immanuel Kant, Max Weber,
- Pendekatannya: Subjektivisme
- Paradigma interpretatif sesungguhnya menganur pendirian sosiologi
keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan
pendekatan subjektivisme dalam analisis sosialnya.
- Sesungguhpun demikian, anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan
pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu, kemapanan,
kesepakatan. Pertentangan, penguasaan sama sekali tidak menjadi agenda
kerja mereka.
Paradigma Humanis Radikal
Ilmuwan: Karl Marx Muda, Paulo Freire
Penganut humanis radikal pada dasarnya berpijak pada kesadaran
manusia.
-
-
Pendekatannyaa: Nominalis, antipositivis, volunteris, dan ideografis
Padangan dasarnya, kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu
oleh suprastruktur ideologis yang ada diluar dirinya yang menciptakan
pemisah antara dirinya dengan kesadaranny yang murni (alienasi), atau
membuatnya dalam kesadaran palsu yagn menghalangi mencapai
pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati.
Agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam
membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang
menghambat perkembagan dirinya sebagai manusia.
Meskipun demikian, masalah pertentangan struktural belum enjadi
perhatian mereka.
Paradima Strukturalis Radikal
- Ilmuwan: Karl Marx Tua, Max Weber
- Penganut paradigma ini seperti kaum humanis radikal memperjuangkan
perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme.
Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan
dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling
berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentukbentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan.
- Pendekatannya: realis, positivis, derteminis dan nomotetis
Perubahan Sosial Dalam Perspektif Keempat Paradigma
- Penganut paradigma interpretatif atau sosiologi fenomenologis karena
dasar filsafatnya adalah mencoba memahami dan mendengar kehendak
masyarakat, maka perubahan sosial lebih diutamakan ke arah yagn
dikehendaki
oleh
masyarakat
tersebut.
Berbagai
metodologi
dikembangkan seperti “etnografi” ataupun “riset observasi”, untuk
menangkap dan memahami kehendak rakyat.
- Penganut fungsionalisme yang bersandar pada pada paradigma
positivisme, mereka merasa berhak untuk melakukan “rekayasa sosial”
sehingga akan berpengaruh ketika mereka berhadapan dengan
masyarakat. Masyarakat dalam proses perubahan sosial ditempatkan
sebagai “objek” perubahan. Oleh karenanya, mereka diarahkan, dikontrol,
direncanakan, serta di konstruksi oleh kalangan ilmuwan, birokrat dan
bahkan LSM yang menganut paham positivisme
- Penganut paradimga transformatif, perubahan sosial dimaksudnya sebagai
proses yang melibatkan korban untuk perubahan tranformasi sistem dan
struktur menuju ke sistem yang lebih adil. Dengan demikian proses
perubahan sosial berwatak subjektif, memihak, tidak netral, dan untuk
terciptanya keadilan sosial dan oleh karenanya berwatak populis.
* dirangkum dalam berbagai sumber