Kedudukan Urf Dalam Hukum Islam
Kedudukan ‘Urf Dalam Hukum Islam
Oleh : H.M.Yusril Fuad
A. Pendahuluan
Bangsa Arab sebelum dan sesudah kedatangan Islam cenderung
memegang teguh praktek-praktek hidup, tradisi atau adat. Bagi
mereka, hukum yang sudah berlaku dan diakui oleh masyarakat
merupakan hukum yang sah dan harus diikuti. Konsep adat yang
menjadi hukum ini sebenarnya hanyalah pada masalah politik saja,
tapi tampaknya setelah meninggalnya Rasulullah SAW konsep adat
atau tradisi ini berubah atau meluas pada hukum.1
Maka tak heran, jikalau mereka sungguh kental dalam
memegang kebiasaan yang sudah berlaku sejak zaman sebelum
mereka. Orang Arab mempunyai kesetiaan kepada pemimpinnya lebih
daripada kesetian orang-orang non-Arab kepada pemimpin mereka,
selain itu orang Arab juga mempunyai suatu adat atau kebiasaan yang
sungguh komplek dan berpengaruh satu sama lainnya.
Adat, kebiasaan di sini adalah berarti sama dengan sunnah
sebelum Imam Syafi’i merumuskan Ushul Fikihnya. Imam Syafi’ilah
yang kemudian memberi konotasi sunnah dengan praktek Nabi.
Sunnah yang sudah mendapat konotasi baru inilah yang kemudian
menjadi salah satu dasar peletakan Hukum Islam. Sedangkan sunnah
penduduk Madinah, Penduduk Kufah dan Bashrah, yang pada masa
sebelum Syafi’i sangat berperan besar bahkan menjadi salah satu
dasar hukum, kemudian ditolak kecuali mempunyai dasar dari Alquran
al-Karim ataupun Sunnah Nabi.
1
Joseph Sacht, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971) hal. 9. lihat juga
Ira, M. Lapidus, A History Of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge Universty Press, 1993) hal. 11.
1
Jika menilik sejarah, ‘urf ini menjadi sangat berperan dalam
pembentukan Hukum Islam. Hal ini tampaknya berangkat dari
anggapan bahwa sunnah mereka adalah sunnah yang terpelihara dan
paling dekat dengan Sunnah Nabi. Selain itu ternyata ada beberapa
persoalan-persoalan hukum yang tidak dengan rinci diatur dalam
Alquran al-Karim ataupun sudah ada dalam praktek atau keputusan
Nabi Muhammad SAW.
Dalam menemukan hukum dan menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapi masyarakat, maka Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi perlu
dijelaskan dan diambil intisarinya hingga dapat dipahami apakah
suatu kebiasaan dalam masyarakat bisa menjadi hukum apabila tidak
bertentangan dengan Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi.
Salah satu kajian ushul fiqh yang fokus terhadapa permasalahan
tersebut adalah masalah ‘urf. Makalah ini akan menjelaskan defenisi
‘urf, macam-macamnya dan kehujjahannya sebagai dalil hukum.
B. Defenisi ‘Urf
‘Urf berasal dari kata bahasa Arab. Kata ini dibentuk atas huruf
ain, ro dan fa. Dalam al-Munjid kita akan menemukan tiga arti pokok
yang berbeda untuk kata ini. Yang pertama, Louis Ma’luf memberi arti
mengaku, megetahui, apa yang diyakini karena telah disaksikan oleh
akal dan secara alami orang menganggap itu benar. Yang kedua
adalah kebaikan, rambut leher keledai, ombak dan daging merah di
atas kepala ayam, tampaknya apa yang menjadi prinsip di arti yang
kedua ini adalah sesuatu yang menonjol dari sesuatu yang lain. Yang
ketiga adalah mengenal dan kebaikan.2 Sedangkan Ahmad Warson
mengartikan ‘urf dengan kebajikan, puncak dan adat yang dipelihara.3
2
Louis Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lughah Wa Al-A’lam (Daar Masyriq: Beirut, 1982) hal. 500.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Yogyakarta : Pustaka Progressif,
1984) hal. 911
3
2
Sedangkan ‘urf dalam istilah Ushul Fikih, meskipun mempunyai
banyak defenisi menurut beberapa ulama, tapi tampaknya semuanya
berpulang kepada satu ide, yakni kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat.
Harun Nasrun, yang mengutip definisi yang dituliskan oleh
Ahmad Fahmi Abu Sunnah dalam buku al-‘‘urf Wal ‘Adah Fi Ra’yil
Fuqaha, megajukan defenisi ‘urf sebagai berikut:4
المر المتكرر من غير علقاة عقلية
Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional.
Sedangkan Zakiyuddin Sa’ban memberikan definisi ‘urf sebagai
berikut:
ما اعتاده الناس و ألفوه من فعل شائع بينهم أو ألفاظ تعرافوا إطلقاه على معنى خاص
5
بحيث ل يتبادر عند سماعه غيره
Apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka setujui baik
itu dalam perbuatan yang sudah tersebar luas di kalangan mereka
ataupun perkataan yang apabila diucapkan mereka mengetahui
artinya dengan khusus yang tidak akan ada arti lain yang terpikirkan
bagi mereka ketika mendengar kata tersebut.
Abdul Wahab Khallaf memberikan defenisi sebagai berikut:
6
ما تعارفه الناس و ساروا عليه من قاول أو فعل أو ترك و يسمى العادة
Sesuatu yang telah dikenal dan dilakukan oleh banyak orang, baik
berupa perkataan, pebuatan ataupun kebiasaan untuk meninggalkan
sesuatu. Hal ini juga disebut dengan adat.
Meskipun dengan redaksi yang berbeda hampir semua ulama
memberikan konsep ‘urf dengan hal, tradisi, kebiasaan mayoritas
4
Harun Nashroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hal. 138.
Zakiyuddin Sa’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968) hal. 192.
6
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Daar Ilmi, 1978) hal. 89.
5
3
orang baik dalam praktek ataupun dalam perkataan.7 Namun ada
beberapa ulama yang memberikan definisi ‘urf secara khusus, yakni
‘urf tidak dalam arti umum, tapi ‘urf yang boleh menjadi
pertimbangan dalam penetapan hukum. Seperti Muhammad Zakariya
al-Bardisiy:8
العرف ما اعتاده الناس و ألفوا و ساروا عليه فى أمورهم فعل كان أو قاول دون أن
يعارض كتابا أو سنة
‘urf adalah apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka
menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktek
ataupun perkataan yang tidak bertentang dengan Alquran al-Karim
ataupun Sunnah Nabi.
Dari beberapa defenisi diatas juga dapat difahami bahwa
kebanyakan ulama tidak membedakan adat, sunnah sebelum
mendapat konotasi praktek Nabi dengan ‘urf. akan tetapi banyak dari
mereka yang mengatakan bahwa hanya ‘urf dalam prakteklah yang
disebut dengan adat.
Dari beberapa definisi di atas juga dapat difahami, bahwa ‘urf
itu mencakup hal-hal yang begitu luas, baik dalam kebiasaan pribadi
individual seseorang dalam kehidupan sehari-hari ataupun kebiasaan
ornag dalam berfikir. Selain itu ‘urf atau juga adat bisa muncul dari
sebab yang alami seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di
daerah tropis, dan lain sebagainya.
Bila kita sependapat bahwa ‘urf ini sama dengan sunnah atau
tradisi, maka memang kita akan menemukan peran ‘urf yang sungguh
7
Anda bisa melihat beberapa literatur seperti Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo:
Daar Ilmi, 1978) hal. 89. lihat juga buku beliau, Mashadiru at-Tasyri’ al-Islamiy fima La Nushusha Fihi
(Saudi: tp, 1945) hal. 123. lihat juga Zakiyuddin, Ushul, dan Badrul Mutawalli al-Birr al-Wasith, Taisir
Ushul al-Fiqh (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, tth) hal. 342. lihat juga Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul
Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal. 128. dan Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Saudi: Daar
Fikri al-Arabiy, 1958) hal. 273.
8
Muhammad Zakariya al-Bardisiy, Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktab an-Nahdhoh al-Mishriyah,
1959) hal, 183.
4
signifikan dalam pembentukan hukum Islam. Baik itu sunnah orangorang Arab sebelum Islam ataupun sesudahnya.
C. Macam-Macam ‘Urf
Mayoritas ulama, biasanya membagi ‘urf ini berdasarkan
kebolehannya menjadi bahan pertimbangan dasar hukum. Selain itu,
‘urf juga dibagi berdasarkan keumuman berlakunya di sebuah
masyarakat dan berdasarkan bentuknya apakah berupa praktek
ataukah perkataan.
1. Dari segi bentuknya atau objeknya ‘urf ini biasanya dibagi oleh
para ulama menjadi dua macam yaitu:
a. ‘Urf lafzhi ( )عرف لفطىyakni kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal/ungkapan tertentu, sehingga ada
makna khusus yang terlintas dalam pikiran mereka,
meskipun sebenarnya dalam kaidah bahasa ungkapan itu
bisa mempunyai arti lain. Beberapa contoh klasik yang
akan kita temui dalam banyak literatur Ushul Fikih untuk
‘urf dalam bentuk ini adalah kata walad, yang arti
sebenarnya bisa berupa putra atau putri seperti dalam
firman Allah SWT:
(11 : يوصىكم الله فى أولدكم للذكر مثل حظ النأثيين )النساء
Akan tetapi kebiasaan orang-orang Arab memahami kata
walad dengan arti anak laki-laki. Selain itu kata dâbbah
yang sebenarnya berarti binatang melata, oleh penduduk
Iraq difahami sebagai keledai. Contoh yang berkenaan
dengan hukum adalah kata thalâq dalam bahasa Arab,
yang sebenarnya berarti lepas atau melepaskan, tapi
kemudian difahami dengan konotasi putusnya ikatan
perkawinan. Maka seseorang suami yang mengatakan
5
kepada istrinya: “thalaqtuki”, maka terjadi talak dalam
pernikahan mereka.
b. ‘Urf ‘amali ( )العرف العملىadalah kebiasaan masyarakat
yang berkaitan dengan perbuatan atau mua’malah.
Seperti jual-beli tanpa ijab dan qabul, yang itu sudah
menjadi kebiasaan masyarakat. Atau garansi dalam
membeli sesuatu, spserti garansi jam bahwa jam itu bagus
untuk waktu tertentu. Atau jual beli dengan antaran
barang tanpa tambahan biaya. Atau memberikan mahar
dalam pernikahan di kalangan masyarakat Arab sebelum
datangnya Islam. Dan lain sebagainya.
2. Dari segi cakupannya, ataupun keberlakuannya di kalangan
masyarakat maka ‘urf ini dibagi menjadi dua bagian juga, yakni
‘urf yang umum dan yang khusus
a. ‘Urf yang umum ( )العرف العامadalah adalah tradisi atau
kebiasaan yang berlaku secara luas di dalam masyarakat
dan di seluruh daerah. Akan tetapi kami tidak
mendapatkan batasan yang jelas tentang batasan dan
cakupan ‘urf yang umum ini. Apakah hanya dengan
berlakunya sebuah kebiasaan di kalangan mayoritas
masyarakat ‘urf itu bisa disebut dengan ‘urf ‘âmm atau
tidak. Ataukah ‘urf yang hanyak berlaku di Sumatera Utara
saja bisa dikatakan ‘urf yang umum atau tidak.
b. ‘Urf yang khusus ( )العرف الخاصadalah kebiasaan yang
berlaku pada masyarakat tertentu dan di daerah tertentu
atau dikalangan tertentu. Meskipun para ulama Ushul Fikih
tidak mensyaratkan zaman tertentu dalam
mengkategorikan ‘urf yang khusus ini, tapi dari beberapa
contoh yang sering mereka ajukan terlihat bahwa waktu
6
juga termasuk kondisi yang bisa membedakan sesuatu
apakah ia termasuk dari ‘urf yang umum atau yang
khusus.
3. ‘Urf ditinjau dari keabsahannya menurut syari’at, maka ‘urf ini
dibagi menjadi dua bagian yaitu ‘urf yang baik () العرف الصحيح
dan ‘urf yang jelek () العرف الفاسد, konsepnya adalah apakah ia
sesuai dan sejalan dengan syari’ah atau tidak. Pembagian ‘urf
dalam bentuk inilah yang menjadi pusat kajian para ulama Ushul
dalam kajian ‘urf. Maka tidak mengherankan bila beberapa
kajian sekilas tentang ‘urf hanya akan mengemukakan
pembagian ‘urf dari segi kesesuaiannya dari syari’ah ataukah
tidak.
a. ‘Urf shahih ( ) العرف الصحيحadalah kebiasaan yang berlaku
di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan
dengan Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi, tidak
menghilangkan kemashlahatan mereka dan tidak pula
membawa mudharat bagi mereka. Misalnya bercadar bagi
wanita yang merupakan kebiasaan wanita-wanita Arab
sebelum datangnya Islam atau seperti menetapkan
konsep haram oleh masyarakat Arab untuk beribadah dan
berdamai. Ada banyak contoh-contoh yang bisa kita
dapatkan dalam kajian sejarah dimana kemudian Alquran
al-Karim ataupun Sunnah menetapkan sebuah kebiasaan
menjadi salah satu bagian dari hukum Islam, meskipun
setelah diberi aturan tambahan. Selain cadar dan konsep
haram, kita juga bisa melihat mahar, sunnah atau tradisi,
denda, polygami dan lain sebagainya.
b. Urf fâsid ( ) العرف الفاسدadalah kebiasaan yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara’. Seperti praktek
7
riba’ yang sudah mewabah dalam kalangan bangsa Arab
sebelum datangnya Islam, atau juga meminum minuman
keras. Setelah datangnya Islam maka ‘urf-’urf yang seperti
ini ditentang dan dikikis baik secara perlahan-lahan
maupun langsung. Kalau untuk masa sekarang, mungkin
kita mengenal kebiasaan yang berlaku luas dikalangan
masyarakat Indonesia, yaitu marpangir, yakni berpergian
kesuatu tempat tanpa ada batasan yang jelas antara
wanita dan laki-laki dan mandi bersama-sama, kebiasaan
ini dilakukan untuk menyambut bulan puasa.
D. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa suatu ‘urf baru dapat
dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’
apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:9
1. ‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek,
perkataan, umum dan khusus.
2. ‘Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.
3. ‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara
jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu
transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan
membayar uang kirim barang, sementara ‘urf yang berlaku
adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim, maka
dalam kasus seperti ‘urf tidak berlaku.
4. ‘Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan
hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf
9
Harun, Ushul, hal. 144.
8
seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan
‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang
mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
G. Pertentangan ‘Urf Dengan Dalil Syara’
Apabila ada urf yang berlaku dalam masyarakat bertentangan
dengan nash baik Alquran al-Karim maupun Hadits, maka para ulama
Ushul merincinya sebagai berikut:10
1. Apabila bertetantangan dengan nash yang khusus yang
menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung dalam
nash tersebut, maka dalam kasus ini tentu saja ‘urf tidak dapat
dipakai dan dijadikan sebagai dalil. Seperti menceraikan wanita
dan mengawininya kembali tanpa sesuka hati oleh laki-laki. ‘Urf
seperti ini berlaku dikalangan bangsa Arab sebelum datangnya
Islam. Maka kemudian setelah datangnya Islam, syari’at
menetapkan iddah.
2. Apabila bertentangan dengan nash yang bersifat umum, maka
ada perbedaan pendapat didalamnya. Menurut Mushtafa Ahmad
az-Zarqa’, apabila ‘urf itu telah ada ketika datangnya nash yang
bersifat umum tersebut, maka perlu dibedakan antara ‘urf
‘amali dan ‘urf lafzhi. ‘Urf lafzhi bisa diterima. Maka nash
dengan suatu redaksi harus difahami sesuai ‘urf lafzhi yang
berlaku saat itu kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa
maksud dari redaksi nash itu tidaklah seperti arti yang difahami
dalam ‘urf, seperti kata walad yang biasanya difahami dengan
arti anak laki-laki, tapi kemudian dalam surah an-Nisa ayat 11,
disitu diberikan indikator lain bahwa walad disini adalah anak
laki-laki maupun perempuan.
10
Ibid. hal. 145.
9
Sedangkan dalam ‘urf amali terjadi perbedaan pendapat
didalamnya. Menurut mazhab Hanafiyah, apabila ‘urf yang ada
adalah ‘urf umum, maka itu bisa mengkhususkan nash yang
umum tersebut. Karena pengkhususan tersebut tidak membuat
hukum yang dikandung nash tersebut tidak dapat diamalkan.
Misalnya Rasul yang membolehkan jual-beli salaam :
(نأهى عن بيع ما ليس للنأسان و رخص فى السلم )رواه البخارى و أبو داود
Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh
manusia dan beliau memberi keringanan dalam jual-beli
pesanan (HR al-Bukhori dan Abu Daud)
Akad seperti ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
Madinah sebelum Rasul datang kesana.
3. Jika ‘urf yang terbentuk belakangan setelah datangnya nash
yang bersifat umum, maka segala bentuk dan macam-maca ‘urf
itu tidak bisa dijadikan dalil. Untuk hal ini, ulama Fikih sepakat
menolak kehujjahan urf tersebut. Akan tetapi apabila illat suatu
nash adalah ‘urf ‘amali, maka ketika illat itu hilang maka
hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu
Yusuf. Seperti Hadits Nabi yang berarti: “diamnya seorang
wanita adalah persetujuannya”, ini berdasarkan ‘urf pada masa
itu, yang mana mayoritas ketika ia ditanya apakah ia mau
menikah dengan si Fulan, ia diam saja dan itu menunjukkan
persetujuannya. Akan tetapi bila keadaanya sudah berubah
seperti sekarang ini, maka diamnya wanita tidak bisa dipatok
sebagai perserujuannya, karena ‘urf sudah berubah. Akan tetapi
jumhur ulama tidak sependapat dengan Abu Yusuf.
4. Apabila terjadi pertentangan ‘urf dengan al-maslahah almursalah, maka menurut ulama Malikiyyah, ‘urf lebih
didahulukan, begitu juga dengan mazhab Syafi’i dan Hanbali.
10
5. Adapun dalam pertentang ‘urf dengan istihsân, karena ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak menerima istihsan, maka
otomatis mereka menggunakan ‘urf.
6. Apabila terjadi pertentangan antara ‘urf dengan qiyas, ulama
dari kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah lebih mendahulukan
‘urf, karena ‘urf dalam masalah yang tidak ada nashnya
menempati posisi ijma’. Menurut Ahmad az-Zarqa’ bahwa baik
Syafi’iyyah dan Hanabilah secara prinsipil lebih mendahulukan
‘urf dari pada qiyas.
E. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama Ushul sepakat bahwa ‘urf yang tidak bertentangan
dengan dalil-dalil Syara’ haruslah dijaga dan dipertimbangkan dalam
menetapkan hukum. Nashrun Haroen mengatakan bahwa ‘urf yang
tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’ini bisa dijadikan sebagai
hujjah.11Memang harus kita ingat bahwa dalam kajian ‘urf ini berada
dibawah judul as-istidlâl. Sedangkan as-istidlâl sendiri berarti:12
ما ليس بنص و ل إجماع و ل قاياس
(mengmbil dalil dalam) perkara yang tidak ada dalam nash maupun
ijma’ atau qiyas.
Dalam beberapa literatur yang telah kami baca, tidak ada ulama
yang secara jelas mengatakan bahwa ‘urf bisa dijadikan sebagai dasar
penetapan hukum dan sebagai sumber hukum.
Akan tetapi akan banyak kita temukan pernyataan-pernyataan
yang mengindikasikan bahwa ‘urf yang shahih ini bisa dijadikan
11
12
Harun, Ushul, hal. 142.
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan (Ponorogo: Darussalam Press, 1999) hal. 33.
11
sebagai sumber hukum. Seperti pernyataan الثابت بالعرف كالثابت بالنص
Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash.
‘ العرف شريعة محكمةurf adalah hukum. العادة محكمةAdat itu sebagai
hukum
Dalam kajian Harun Nashrun, beliau mengatakan bahwa Imam
Syathibi (w 790) dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (w 751) menerima
dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum
apabila tidak ada nash yang menjelaskan tentang masalah tersebut.13
Memang dalam beberapa keputusan para ulama baik pada
masa klasik ataupun modern tentu tidak akan terlepas sepenuhnya
dari ‘urf ini. Banyak keputusan-keputusan yang mereka ambil dengan
mempertimbangkan ‘urf ini. Seperti Imam syafi’i yang mempunyai
Qaul Jadid dan Qaul Qadim, yang lama di Baghdad dan setelahnya di
Mesir. Menurut sebagian para pengkaji, tidak diragukan lagi hal itu
merupakan pengaruh dari ‘urf yang berbeda yang berlaku pada kedua
penduduk kota tersebut.14 Atau seperti ulama-ulama mazhab
Hanafiyah yang memperbolehkan guru Alquran, imam sholat,
mua’dzzin untuk mengambil upah dari pekerjaan mereka meskipun
ulama terdahulu dari mazhab mereka tidak memperbolehkan hal
tersebut.
Tapi tentu saja semua sepakat bahwa ‘urf ini berlaku sebagai
dalil hukum, hanya dalam masalah yang tidak ada aturannya dalam
Alquran al-Karim maupun Sunnah. Selain itu ‘urf yang dipakai juga
tentu ‘urf yang tidak bertentang dengan keduanya.
Ada suatu pendapat yang perlu kita perhatikan, yakni pendapat
Syihabuddin al-Qorofi:15
13
Ibid.
Abdul Wahab, Mashadir, hal. 127,
15
Abdul Wahab, Mashadir, hal. 130.
14
12
Dengan mempelajari dengan seksama dalam maslah ‘urf, contohcontohnya, apa yang dikatakan oleh para ahli Ushul Fikih dan Fikih,
akan menjadi jelas bahwa dalam suatu perkara, ‘urf itu bukanlah dalil
yang berdiri sendiri dari syari’at, hukumnya tidaklah berdasarkan ‘urf
itu sendiri akan tetapi hanya dalil yang akan mengantarkan kita untuk
bisa memahami maksud yang diingini oleh redaksi-redaksi nash dan
maksud dari perkataan orang-orang yang terlibat di dalamnya, juga
menjadi pengkusus bagi dalil yang umum dan pengikat bagi dalil yang
mutlaq.
Alasan mereka yang menerima ‘urf bisa dikatakan sebagai
berikut:
1. Dari Alquran al-Karim, mereka mengambil ayat:
( 78 و ما جعل عليكم فى الدين من حرج )الحج
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu
kesempitan dalam agama (al-Hajj: 78).
Maka menurut mereka yang menerima ‘urf sebagai dalil,
suatu penetepan hukum tanpa melihat ‘urf atau dengan
kata lain dengan melawan dan tidak sesuai ‘urf yang
shahih adalah suatu kesempitan dalam agama, dan itu
bertentangan dengan ayat diatas.
2. Sedangkan dari Hadits Nabi:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa yang dilihat baik oleh kaum muslim maka itu juga
baik bagi Allah SWT.
3. Kemudian merekak berpendapat ada praktek Nabi yang
menerima ‘urf Madinah, seperti ketika menetapkan jual beli
aroya dan salam karena melihat itu sudah menjadi ‘urf
penduduk Madinah. Padahal sebelumnya beliau sudah
bersabda:
نأهى عن بيع المعدوم
Dilarang untuk menjual yang tidak ada
13
4. Tidak diragukan lagi bahwa banyak hukum yang ditetapkan
oleh Alquran al-Karim merupakan penetapan dan penjagaan
‘urf orang-orang Arab, seperti banyak contoh yang telah kita
sebutkan diatas.
Abdul Wahab Khallaf pernah berkata:
الجمود على المنقولتا أيا كانأت أضلل فى الدين و جهل بمقاصد المسلمين و
السلف الماضين
16
Statis dalam ayat-ayat atau hadits bagaimanapun adalah kesesatan
dalam agama dan merupakan kebodohan dan ketidaktahuan atas
tujuan-tujuan kaum muslim yang sekarang dan yang lampau.
Kami memang tidak bisa menemukan beberapa ulama yang
secara jelas-jelas menolak ‘urf sebagai dalil syar’i kecuali hanya
sedikit. Seperti Badrul Mutawalli, yang berpendapat bahwa penetapan
‘urf itu dalilnya bukan ‘urf itu sendiri tapi ada dalil yang lain.17 Artinya
dia menolak ‘urf sebagai dalil penetapan hukum. Atau juga seperti
perkataan Syihabuddin al-Qorofi yang telah kita nukilkan dari buku
Abdul Wahab Khalla
Merekapun yang menolak ‘urf sebagai dalil,
tetap saja tidak menolak bahwa ‘urf itu juga berpengaruh dalam
penetapan, tapi bukan sebagai dalil dan sumber akan tetapi sebagai
bahan pertimbangan.
H. Penutup
Dalam memberikan definisi Para ulama Ushul tidak berbeda
secara mencolok. Mereka hampir sepakat, walau dengan redaksi yang
berbeda, bahwa konsep ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh
masyarakat dan sudah berlaku di kalangan mereka.
16
17
Abdul Wahab, Mashadir, hal. 691.
Badrul, Taysir, hal. 342.
14
Selain itu kebanyakan mereka juga tidak membedakan antara
‘urf dengan adat, yang dahulunya lebih dikenal dengan sunnah. Hanya
ada beberapa pengkaji yang berpendapat bahwa hanya ‘urf ‘amalilah
yang sama pengertiannya dengan adat.
Dalam masalah kehujjahan sebagai dalil hukum, terdapat
perbedaan pendapat diantara ulama ushul fiqh diantara golongan
yang menerima dan menolaknya. Sementara dalam kekuatannya,
juga terdapat perbedaan pendapat jikalau ‘urf bertentangan dengan
dalil syara’ lainnya. Apabila ‘urf itu bertentangan dengan dalil nash
yang rinci, tampaknya para ulama sepakat bahwa ‘urf tidak bisa
dijadikan sebagai dalil. Akan tetapi dalam nash yang umum, ada yang
berpendapat bahwa ‘urf ini bisa mengkhususkan nash itu, meskipun
ada juga yang menolak pendapat tersebut.
15
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Fadhil Abdul Wahid, al-Anmudzaj Fi Ushul al-Fiqh.
Baghdad: Ma’arif, 1969.
Bardisiy, al-, Muhammad Zakariya, Ushul al-Fiqh. Kairo: Maktab anNahdhoh al-Mishriyah, 1959.
Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyah. Jakarta: Sa’diyah Putra, tth.
_________________, Al-Bayan. Ponorogo: Darusslam Press, 1999.
Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, jil. I. Chicago: Chichago
University Press, 1974.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Daar Ilmi, 1978.
__________________, Mashadiru at-Tasyri’ al-Islamiy fima La Nushusha
Fihi . Saudi: tp, 1945.
Lapidus, Ira, M, A History Of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge
Universty Press, 1993.
Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam. Daar Masyriq: Beirut,
1982.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-munawwir. Yogyakarta : Pustaka
Progressif, 1984.
Nashroen, Harun, Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Sa’ban, Zakiyuddin, Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Kairo: Daar Nahdhoh
Arabiyah, 1968.
Sacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law. Inggris: Oxford Press,
1971.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Wasith, Badrul Mutawalli al-Birr, Taisir Ushul al-Fiqh. Kairo: Daar
Nahdhoh Arabiyah, tth.
16
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh. Saudi: Daar Fikri al-Arabiy,
1958.
17
Oleh : H.M.Yusril Fuad
A. Pendahuluan
Bangsa Arab sebelum dan sesudah kedatangan Islam cenderung
memegang teguh praktek-praktek hidup, tradisi atau adat. Bagi
mereka, hukum yang sudah berlaku dan diakui oleh masyarakat
merupakan hukum yang sah dan harus diikuti. Konsep adat yang
menjadi hukum ini sebenarnya hanyalah pada masalah politik saja,
tapi tampaknya setelah meninggalnya Rasulullah SAW konsep adat
atau tradisi ini berubah atau meluas pada hukum.1
Maka tak heran, jikalau mereka sungguh kental dalam
memegang kebiasaan yang sudah berlaku sejak zaman sebelum
mereka. Orang Arab mempunyai kesetiaan kepada pemimpinnya lebih
daripada kesetian orang-orang non-Arab kepada pemimpin mereka,
selain itu orang Arab juga mempunyai suatu adat atau kebiasaan yang
sungguh komplek dan berpengaruh satu sama lainnya.
Adat, kebiasaan di sini adalah berarti sama dengan sunnah
sebelum Imam Syafi’i merumuskan Ushul Fikihnya. Imam Syafi’ilah
yang kemudian memberi konotasi sunnah dengan praktek Nabi.
Sunnah yang sudah mendapat konotasi baru inilah yang kemudian
menjadi salah satu dasar peletakan Hukum Islam. Sedangkan sunnah
penduduk Madinah, Penduduk Kufah dan Bashrah, yang pada masa
sebelum Syafi’i sangat berperan besar bahkan menjadi salah satu
dasar hukum, kemudian ditolak kecuali mempunyai dasar dari Alquran
al-Karim ataupun Sunnah Nabi.
1
Joseph Sacht, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971) hal. 9. lihat juga
Ira, M. Lapidus, A History Of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge Universty Press, 1993) hal. 11.
1
Jika menilik sejarah, ‘urf ini menjadi sangat berperan dalam
pembentukan Hukum Islam. Hal ini tampaknya berangkat dari
anggapan bahwa sunnah mereka adalah sunnah yang terpelihara dan
paling dekat dengan Sunnah Nabi. Selain itu ternyata ada beberapa
persoalan-persoalan hukum yang tidak dengan rinci diatur dalam
Alquran al-Karim ataupun sudah ada dalam praktek atau keputusan
Nabi Muhammad SAW.
Dalam menemukan hukum dan menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapi masyarakat, maka Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi perlu
dijelaskan dan diambil intisarinya hingga dapat dipahami apakah
suatu kebiasaan dalam masyarakat bisa menjadi hukum apabila tidak
bertentangan dengan Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi.
Salah satu kajian ushul fiqh yang fokus terhadapa permasalahan
tersebut adalah masalah ‘urf. Makalah ini akan menjelaskan defenisi
‘urf, macam-macamnya dan kehujjahannya sebagai dalil hukum.
B. Defenisi ‘Urf
‘Urf berasal dari kata bahasa Arab. Kata ini dibentuk atas huruf
ain, ro dan fa. Dalam al-Munjid kita akan menemukan tiga arti pokok
yang berbeda untuk kata ini. Yang pertama, Louis Ma’luf memberi arti
mengaku, megetahui, apa yang diyakini karena telah disaksikan oleh
akal dan secara alami orang menganggap itu benar. Yang kedua
adalah kebaikan, rambut leher keledai, ombak dan daging merah di
atas kepala ayam, tampaknya apa yang menjadi prinsip di arti yang
kedua ini adalah sesuatu yang menonjol dari sesuatu yang lain. Yang
ketiga adalah mengenal dan kebaikan.2 Sedangkan Ahmad Warson
mengartikan ‘urf dengan kebajikan, puncak dan adat yang dipelihara.3
2
Louis Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lughah Wa Al-A’lam (Daar Masyriq: Beirut, 1982) hal. 500.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Yogyakarta : Pustaka Progressif,
1984) hal. 911
3
2
Sedangkan ‘urf dalam istilah Ushul Fikih, meskipun mempunyai
banyak defenisi menurut beberapa ulama, tapi tampaknya semuanya
berpulang kepada satu ide, yakni kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat.
Harun Nasrun, yang mengutip definisi yang dituliskan oleh
Ahmad Fahmi Abu Sunnah dalam buku al-‘‘urf Wal ‘Adah Fi Ra’yil
Fuqaha, megajukan defenisi ‘urf sebagai berikut:4
المر المتكرر من غير علقاة عقلية
Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional.
Sedangkan Zakiyuddin Sa’ban memberikan definisi ‘urf sebagai
berikut:
ما اعتاده الناس و ألفوه من فعل شائع بينهم أو ألفاظ تعرافوا إطلقاه على معنى خاص
5
بحيث ل يتبادر عند سماعه غيره
Apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka setujui baik
itu dalam perbuatan yang sudah tersebar luas di kalangan mereka
ataupun perkataan yang apabila diucapkan mereka mengetahui
artinya dengan khusus yang tidak akan ada arti lain yang terpikirkan
bagi mereka ketika mendengar kata tersebut.
Abdul Wahab Khallaf memberikan defenisi sebagai berikut:
6
ما تعارفه الناس و ساروا عليه من قاول أو فعل أو ترك و يسمى العادة
Sesuatu yang telah dikenal dan dilakukan oleh banyak orang, baik
berupa perkataan, pebuatan ataupun kebiasaan untuk meninggalkan
sesuatu. Hal ini juga disebut dengan adat.
Meskipun dengan redaksi yang berbeda hampir semua ulama
memberikan konsep ‘urf dengan hal, tradisi, kebiasaan mayoritas
4
Harun Nashroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hal. 138.
Zakiyuddin Sa’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968) hal. 192.
6
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Daar Ilmi, 1978) hal. 89.
5
3
orang baik dalam praktek ataupun dalam perkataan.7 Namun ada
beberapa ulama yang memberikan definisi ‘urf secara khusus, yakni
‘urf tidak dalam arti umum, tapi ‘urf yang boleh menjadi
pertimbangan dalam penetapan hukum. Seperti Muhammad Zakariya
al-Bardisiy:8
العرف ما اعتاده الناس و ألفوا و ساروا عليه فى أمورهم فعل كان أو قاول دون أن
يعارض كتابا أو سنة
‘urf adalah apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka
menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktek
ataupun perkataan yang tidak bertentang dengan Alquran al-Karim
ataupun Sunnah Nabi.
Dari beberapa defenisi diatas juga dapat difahami bahwa
kebanyakan ulama tidak membedakan adat, sunnah sebelum
mendapat konotasi praktek Nabi dengan ‘urf. akan tetapi banyak dari
mereka yang mengatakan bahwa hanya ‘urf dalam prakteklah yang
disebut dengan adat.
Dari beberapa definisi di atas juga dapat difahami, bahwa ‘urf
itu mencakup hal-hal yang begitu luas, baik dalam kebiasaan pribadi
individual seseorang dalam kehidupan sehari-hari ataupun kebiasaan
ornag dalam berfikir. Selain itu ‘urf atau juga adat bisa muncul dari
sebab yang alami seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di
daerah tropis, dan lain sebagainya.
Bila kita sependapat bahwa ‘urf ini sama dengan sunnah atau
tradisi, maka memang kita akan menemukan peran ‘urf yang sungguh
7
Anda bisa melihat beberapa literatur seperti Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo:
Daar Ilmi, 1978) hal. 89. lihat juga buku beliau, Mashadiru at-Tasyri’ al-Islamiy fima La Nushusha Fihi
(Saudi: tp, 1945) hal. 123. lihat juga Zakiyuddin, Ushul, dan Badrul Mutawalli al-Birr al-Wasith, Taisir
Ushul al-Fiqh (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, tth) hal. 342. lihat juga Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul
Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal. 128. dan Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Saudi: Daar
Fikri al-Arabiy, 1958) hal. 273.
8
Muhammad Zakariya al-Bardisiy, Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktab an-Nahdhoh al-Mishriyah,
1959) hal, 183.
4
signifikan dalam pembentukan hukum Islam. Baik itu sunnah orangorang Arab sebelum Islam ataupun sesudahnya.
C. Macam-Macam ‘Urf
Mayoritas ulama, biasanya membagi ‘urf ini berdasarkan
kebolehannya menjadi bahan pertimbangan dasar hukum. Selain itu,
‘urf juga dibagi berdasarkan keumuman berlakunya di sebuah
masyarakat dan berdasarkan bentuknya apakah berupa praktek
ataukah perkataan.
1. Dari segi bentuknya atau objeknya ‘urf ini biasanya dibagi oleh
para ulama menjadi dua macam yaitu:
a. ‘Urf lafzhi ( )عرف لفطىyakni kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal/ungkapan tertentu, sehingga ada
makna khusus yang terlintas dalam pikiran mereka,
meskipun sebenarnya dalam kaidah bahasa ungkapan itu
bisa mempunyai arti lain. Beberapa contoh klasik yang
akan kita temui dalam banyak literatur Ushul Fikih untuk
‘urf dalam bentuk ini adalah kata walad, yang arti
sebenarnya bisa berupa putra atau putri seperti dalam
firman Allah SWT:
(11 : يوصىكم الله فى أولدكم للذكر مثل حظ النأثيين )النساء
Akan tetapi kebiasaan orang-orang Arab memahami kata
walad dengan arti anak laki-laki. Selain itu kata dâbbah
yang sebenarnya berarti binatang melata, oleh penduduk
Iraq difahami sebagai keledai. Contoh yang berkenaan
dengan hukum adalah kata thalâq dalam bahasa Arab,
yang sebenarnya berarti lepas atau melepaskan, tapi
kemudian difahami dengan konotasi putusnya ikatan
perkawinan. Maka seseorang suami yang mengatakan
5
kepada istrinya: “thalaqtuki”, maka terjadi talak dalam
pernikahan mereka.
b. ‘Urf ‘amali ( )العرف العملىadalah kebiasaan masyarakat
yang berkaitan dengan perbuatan atau mua’malah.
Seperti jual-beli tanpa ijab dan qabul, yang itu sudah
menjadi kebiasaan masyarakat. Atau garansi dalam
membeli sesuatu, spserti garansi jam bahwa jam itu bagus
untuk waktu tertentu. Atau jual beli dengan antaran
barang tanpa tambahan biaya. Atau memberikan mahar
dalam pernikahan di kalangan masyarakat Arab sebelum
datangnya Islam. Dan lain sebagainya.
2. Dari segi cakupannya, ataupun keberlakuannya di kalangan
masyarakat maka ‘urf ini dibagi menjadi dua bagian juga, yakni
‘urf yang umum dan yang khusus
a. ‘Urf yang umum ( )العرف العامadalah adalah tradisi atau
kebiasaan yang berlaku secara luas di dalam masyarakat
dan di seluruh daerah. Akan tetapi kami tidak
mendapatkan batasan yang jelas tentang batasan dan
cakupan ‘urf yang umum ini. Apakah hanya dengan
berlakunya sebuah kebiasaan di kalangan mayoritas
masyarakat ‘urf itu bisa disebut dengan ‘urf ‘âmm atau
tidak. Ataukah ‘urf yang hanyak berlaku di Sumatera Utara
saja bisa dikatakan ‘urf yang umum atau tidak.
b. ‘Urf yang khusus ( )العرف الخاصadalah kebiasaan yang
berlaku pada masyarakat tertentu dan di daerah tertentu
atau dikalangan tertentu. Meskipun para ulama Ushul Fikih
tidak mensyaratkan zaman tertentu dalam
mengkategorikan ‘urf yang khusus ini, tapi dari beberapa
contoh yang sering mereka ajukan terlihat bahwa waktu
6
juga termasuk kondisi yang bisa membedakan sesuatu
apakah ia termasuk dari ‘urf yang umum atau yang
khusus.
3. ‘Urf ditinjau dari keabsahannya menurut syari’at, maka ‘urf ini
dibagi menjadi dua bagian yaitu ‘urf yang baik () العرف الصحيح
dan ‘urf yang jelek () العرف الفاسد, konsepnya adalah apakah ia
sesuai dan sejalan dengan syari’ah atau tidak. Pembagian ‘urf
dalam bentuk inilah yang menjadi pusat kajian para ulama Ushul
dalam kajian ‘urf. Maka tidak mengherankan bila beberapa
kajian sekilas tentang ‘urf hanya akan mengemukakan
pembagian ‘urf dari segi kesesuaiannya dari syari’ah ataukah
tidak.
a. ‘Urf shahih ( ) العرف الصحيحadalah kebiasaan yang berlaku
di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan
dengan Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi, tidak
menghilangkan kemashlahatan mereka dan tidak pula
membawa mudharat bagi mereka. Misalnya bercadar bagi
wanita yang merupakan kebiasaan wanita-wanita Arab
sebelum datangnya Islam atau seperti menetapkan
konsep haram oleh masyarakat Arab untuk beribadah dan
berdamai. Ada banyak contoh-contoh yang bisa kita
dapatkan dalam kajian sejarah dimana kemudian Alquran
al-Karim ataupun Sunnah menetapkan sebuah kebiasaan
menjadi salah satu bagian dari hukum Islam, meskipun
setelah diberi aturan tambahan. Selain cadar dan konsep
haram, kita juga bisa melihat mahar, sunnah atau tradisi,
denda, polygami dan lain sebagainya.
b. Urf fâsid ( ) العرف الفاسدadalah kebiasaan yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara’. Seperti praktek
7
riba’ yang sudah mewabah dalam kalangan bangsa Arab
sebelum datangnya Islam, atau juga meminum minuman
keras. Setelah datangnya Islam maka ‘urf-’urf yang seperti
ini ditentang dan dikikis baik secara perlahan-lahan
maupun langsung. Kalau untuk masa sekarang, mungkin
kita mengenal kebiasaan yang berlaku luas dikalangan
masyarakat Indonesia, yaitu marpangir, yakni berpergian
kesuatu tempat tanpa ada batasan yang jelas antara
wanita dan laki-laki dan mandi bersama-sama, kebiasaan
ini dilakukan untuk menyambut bulan puasa.
D. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa suatu ‘urf baru dapat
dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’
apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:9
1. ‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek,
perkataan, umum dan khusus.
2. ‘Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.
3. ‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara
jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu
transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan
membayar uang kirim barang, sementara ‘urf yang berlaku
adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim, maka
dalam kasus seperti ‘urf tidak berlaku.
4. ‘Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan
hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf
9
Harun, Ushul, hal. 144.
8
seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan
‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang
mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
G. Pertentangan ‘Urf Dengan Dalil Syara’
Apabila ada urf yang berlaku dalam masyarakat bertentangan
dengan nash baik Alquran al-Karim maupun Hadits, maka para ulama
Ushul merincinya sebagai berikut:10
1. Apabila bertetantangan dengan nash yang khusus yang
menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung dalam
nash tersebut, maka dalam kasus ini tentu saja ‘urf tidak dapat
dipakai dan dijadikan sebagai dalil. Seperti menceraikan wanita
dan mengawininya kembali tanpa sesuka hati oleh laki-laki. ‘Urf
seperti ini berlaku dikalangan bangsa Arab sebelum datangnya
Islam. Maka kemudian setelah datangnya Islam, syari’at
menetapkan iddah.
2. Apabila bertentangan dengan nash yang bersifat umum, maka
ada perbedaan pendapat didalamnya. Menurut Mushtafa Ahmad
az-Zarqa’, apabila ‘urf itu telah ada ketika datangnya nash yang
bersifat umum tersebut, maka perlu dibedakan antara ‘urf
‘amali dan ‘urf lafzhi. ‘Urf lafzhi bisa diterima. Maka nash
dengan suatu redaksi harus difahami sesuai ‘urf lafzhi yang
berlaku saat itu kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa
maksud dari redaksi nash itu tidaklah seperti arti yang difahami
dalam ‘urf, seperti kata walad yang biasanya difahami dengan
arti anak laki-laki, tapi kemudian dalam surah an-Nisa ayat 11,
disitu diberikan indikator lain bahwa walad disini adalah anak
laki-laki maupun perempuan.
10
Ibid. hal. 145.
9
Sedangkan dalam ‘urf amali terjadi perbedaan pendapat
didalamnya. Menurut mazhab Hanafiyah, apabila ‘urf yang ada
adalah ‘urf umum, maka itu bisa mengkhususkan nash yang
umum tersebut. Karena pengkhususan tersebut tidak membuat
hukum yang dikandung nash tersebut tidak dapat diamalkan.
Misalnya Rasul yang membolehkan jual-beli salaam :
(نأهى عن بيع ما ليس للنأسان و رخص فى السلم )رواه البخارى و أبو داود
Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh
manusia dan beliau memberi keringanan dalam jual-beli
pesanan (HR al-Bukhori dan Abu Daud)
Akad seperti ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
Madinah sebelum Rasul datang kesana.
3. Jika ‘urf yang terbentuk belakangan setelah datangnya nash
yang bersifat umum, maka segala bentuk dan macam-maca ‘urf
itu tidak bisa dijadikan dalil. Untuk hal ini, ulama Fikih sepakat
menolak kehujjahan urf tersebut. Akan tetapi apabila illat suatu
nash adalah ‘urf ‘amali, maka ketika illat itu hilang maka
hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu
Yusuf. Seperti Hadits Nabi yang berarti: “diamnya seorang
wanita adalah persetujuannya”, ini berdasarkan ‘urf pada masa
itu, yang mana mayoritas ketika ia ditanya apakah ia mau
menikah dengan si Fulan, ia diam saja dan itu menunjukkan
persetujuannya. Akan tetapi bila keadaanya sudah berubah
seperti sekarang ini, maka diamnya wanita tidak bisa dipatok
sebagai perserujuannya, karena ‘urf sudah berubah. Akan tetapi
jumhur ulama tidak sependapat dengan Abu Yusuf.
4. Apabila terjadi pertentangan ‘urf dengan al-maslahah almursalah, maka menurut ulama Malikiyyah, ‘urf lebih
didahulukan, begitu juga dengan mazhab Syafi’i dan Hanbali.
10
5. Adapun dalam pertentang ‘urf dengan istihsân, karena ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak menerima istihsan, maka
otomatis mereka menggunakan ‘urf.
6. Apabila terjadi pertentangan antara ‘urf dengan qiyas, ulama
dari kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah lebih mendahulukan
‘urf, karena ‘urf dalam masalah yang tidak ada nashnya
menempati posisi ijma’. Menurut Ahmad az-Zarqa’ bahwa baik
Syafi’iyyah dan Hanabilah secara prinsipil lebih mendahulukan
‘urf dari pada qiyas.
E. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama Ushul sepakat bahwa ‘urf yang tidak bertentangan
dengan dalil-dalil Syara’ haruslah dijaga dan dipertimbangkan dalam
menetapkan hukum. Nashrun Haroen mengatakan bahwa ‘urf yang
tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’ini bisa dijadikan sebagai
hujjah.11Memang harus kita ingat bahwa dalam kajian ‘urf ini berada
dibawah judul as-istidlâl. Sedangkan as-istidlâl sendiri berarti:12
ما ليس بنص و ل إجماع و ل قاياس
(mengmbil dalil dalam) perkara yang tidak ada dalam nash maupun
ijma’ atau qiyas.
Dalam beberapa literatur yang telah kami baca, tidak ada ulama
yang secara jelas mengatakan bahwa ‘urf bisa dijadikan sebagai dasar
penetapan hukum dan sebagai sumber hukum.
Akan tetapi akan banyak kita temukan pernyataan-pernyataan
yang mengindikasikan bahwa ‘urf yang shahih ini bisa dijadikan
11
12
Harun, Ushul, hal. 142.
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan (Ponorogo: Darussalam Press, 1999) hal. 33.
11
sebagai sumber hukum. Seperti pernyataan الثابت بالعرف كالثابت بالنص
Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash.
‘ العرف شريعة محكمةurf adalah hukum. العادة محكمةAdat itu sebagai
hukum
Dalam kajian Harun Nashrun, beliau mengatakan bahwa Imam
Syathibi (w 790) dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (w 751) menerima
dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum
apabila tidak ada nash yang menjelaskan tentang masalah tersebut.13
Memang dalam beberapa keputusan para ulama baik pada
masa klasik ataupun modern tentu tidak akan terlepas sepenuhnya
dari ‘urf ini. Banyak keputusan-keputusan yang mereka ambil dengan
mempertimbangkan ‘urf ini. Seperti Imam syafi’i yang mempunyai
Qaul Jadid dan Qaul Qadim, yang lama di Baghdad dan setelahnya di
Mesir. Menurut sebagian para pengkaji, tidak diragukan lagi hal itu
merupakan pengaruh dari ‘urf yang berbeda yang berlaku pada kedua
penduduk kota tersebut.14 Atau seperti ulama-ulama mazhab
Hanafiyah yang memperbolehkan guru Alquran, imam sholat,
mua’dzzin untuk mengambil upah dari pekerjaan mereka meskipun
ulama terdahulu dari mazhab mereka tidak memperbolehkan hal
tersebut.
Tapi tentu saja semua sepakat bahwa ‘urf ini berlaku sebagai
dalil hukum, hanya dalam masalah yang tidak ada aturannya dalam
Alquran al-Karim maupun Sunnah. Selain itu ‘urf yang dipakai juga
tentu ‘urf yang tidak bertentang dengan keduanya.
Ada suatu pendapat yang perlu kita perhatikan, yakni pendapat
Syihabuddin al-Qorofi:15
13
Ibid.
Abdul Wahab, Mashadir, hal. 127,
15
Abdul Wahab, Mashadir, hal. 130.
14
12
Dengan mempelajari dengan seksama dalam maslah ‘urf, contohcontohnya, apa yang dikatakan oleh para ahli Ushul Fikih dan Fikih,
akan menjadi jelas bahwa dalam suatu perkara, ‘urf itu bukanlah dalil
yang berdiri sendiri dari syari’at, hukumnya tidaklah berdasarkan ‘urf
itu sendiri akan tetapi hanya dalil yang akan mengantarkan kita untuk
bisa memahami maksud yang diingini oleh redaksi-redaksi nash dan
maksud dari perkataan orang-orang yang terlibat di dalamnya, juga
menjadi pengkusus bagi dalil yang umum dan pengikat bagi dalil yang
mutlaq.
Alasan mereka yang menerima ‘urf bisa dikatakan sebagai
berikut:
1. Dari Alquran al-Karim, mereka mengambil ayat:
( 78 و ما جعل عليكم فى الدين من حرج )الحج
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu
kesempitan dalam agama (al-Hajj: 78).
Maka menurut mereka yang menerima ‘urf sebagai dalil,
suatu penetepan hukum tanpa melihat ‘urf atau dengan
kata lain dengan melawan dan tidak sesuai ‘urf yang
shahih adalah suatu kesempitan dalam agama, dan itu
bertentangan dengan ayat diatas.
2. Sedangkan dari Hadits Nabi:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa yang dilihat baik oleh kaum muslim maka itu juga
baik bagi Allah SWT.
3. Kemudian merekak berpendapat ada praktek Nabi yang
menerima ‘urf Madinah, seperti ketika menetapkan jual beli
aroya dan salam karena melihat itu sudah menjadi ‘urf
penduduk Madinah. Padahal sebelumnya beliau sudah
bersabda:
نأهى عن بيع المعدوم
Dilarang untuk menjual yang tidak ada
13
4. Tidak diragukan lagi bahwa banyak hukum yang ditetapkan
oleh Alquran al-Karim merupakan penetapan dan penjagaan
‘urf orang-orang Arab, seperti banyak contoh yang telah kita
sebutkan diatas.
Abdul Wahab Khallaf pernah berkata:
الجمود على المنقولتا أيا كانأت أضلل فى الدين و جهل بمقاصد المسلمين و
السلف الماضين
16
Statis dalam ayat-ayat atau hadits bagaimanapun adalah kesesatan
dalam agama dan merupakan kebodohan dan ketidaktahuan atas
tujuan-tujuan kaum muslim yang sekarang dan yang lampau.
Kami memang tidak bisa menemukan beberapa ulama yang
secara jelas-jelas menolak ‘urf sebagai dalil syar’i kecuali hanya
sedikit. Seperti Badrul Mutawalli, yang berpendapat bahwa penetapan
‘urf itu dalilnya bukan ‘urf itu sendiri tapi ada dalil yang lain.17 Artinya
dia menolak ‘urf sebagai dalil penetapan hukum. Atau juga seperti
perkataan Syihabuddin al-Qorofi yang telah kita nukilkan dari buku
Abdul Wahab Khalla
Merekapun yang menolak ‘urf sebagai dalil,
tetap saja tidak menolak bahwa ‘urf itu juga berpengaruh dalam
penetapan, tapi bukan sebagai dalil dan sumber akan tetapi sebagai
bahan pertimbangan.
H. Penutup
Dalam memberikan definisi Para ulama Ushul tidak berbeda
secara mencolok. Mereka hampir sepakat, walau dengan redaksi yang
berbeda, bahwa konsep ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh
masyarakat dan sudah berlaku di kalangan mereka.
16
17
Abdul Wahab, Mashadir, hal. 691.
Badrul, Taysir, hal. 342.
14
Selain itu kebanyakan mereka juga tidak membedakan antara
‘urf dengan adat, yang dahulunya lebih dikenal dengan sunnah. Hanya
ada beberapa pengkaji yang berpendapat bahwa hanya ‘urf ‘amalilah
yang sama pengertiannya dengan adat.
Dalam masalah kehujjahan sebagai dalil hukum, terdapat
perbedaan pendapat diantara ulama ushul fiqh diantara golongan
yang menerima dan menolaknya. Sementara dalam kekuatannya,
juga terdapat perbedaan pendapat jikalau ‘urf bertentangan dengan
dalil syara’ lainnya. Apabila ‘urf itu bertentangan dengan dalil nash
yang rinci, tampaknya para ulama sepakat bahwa ‘urf tidak bisa
dijadikan sebagai dalil. Akan tetapi dalam nash yang umum, ada yang
berpendapat bahwa ‘urf ini bisa mengkhususkan nash itu, meskipun
ada juga yang menolak pendapat tersebut.
15
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Fadhil Abdul Wahid, al-Anmudzaj Fi Ushul al-Fiqh.
Baghdad: Ma’arif, 1969.
Bardisiy, al-, Muhammad Zakariya, Ushul al-Fiqh. Kairo: Maktab anNahdhoh al-Mishriyah, 1959.
Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyah. Jakarta: Sa’diyah Putra, tth.
_________________, Al-Bayan. Ponorogo: Darusslam Press, 1999.
Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, jil. I. Chicago: Chichago
University Press, 1974.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Daar Ilmi, 1978.
__________________, Mashadiru at-Tasyri’ al-Islamiy fima La Nushusha
Fihi . Saudi: tp, 1945.
Lapidus, Ira, M, A History Of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge
Universty Press, 1993.
Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam. Daar Masyriq: Beirut,
1982.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-munawwir. Yogyakarta : Pustaka
Progressif, 1984.
Nashroen, Harun, Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Sa’ban, Zakiyuddin, Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Kairo: Daar Nahdhoh
Arabiyah, 1968.
Sacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law. Inggris: Oxford Press,
1971.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Wasith, Badrul Mutawalli al-Birr, Taisir Ushul al-Fiqh. Kairo: Daar
Nahdhoh Arabiyah, tth.
16
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh. Saudi: Daar Fikri al-Arabiy,
1958.
17