PERAN MEDIA DALAM PROSES PEMBAGUNAN BANG

1
PERAN MEDIA DALAM PROSES PEMBAGUNAN BANGSA DAN
KARAKTER BANGSA

Dini Safitri

ABSTRACT
The subjects of this study is the role of media in the process of nation building and
national character. The data obtained from focus group research and literature study.
The results showed that the public realize that the media has a vital role in shaping
the development of the nation and national character, because they expect the role of
the media who represented the institution of the press should have the mission of
enlightenment to the community through informative presentation that includes
aspects of the community needs and contain the applicative value of education to
support nation building and national character.
Key word: media, media effect, nation building, national character.

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan dianugerahi kekayaan maritim yang
melimpah ruah. Bila Indonesia dikelola secara bijaksana, maka ia akan menjadi
Gudang Pangan, Gudang Protein Dunia (dari laut), Pusat Pariwisata Dunia, Paru-paru

Dunia, Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu Kebumian dan Hayati, Kelautan dan Pusat
Rekayasa Wilayah pesisir.
Kenyataan hari ini menunjukan kenyataan sebaliknya. Jumlah penduduk miskin
(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di
Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen). (Newsletter BPS No.
45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010).
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk
miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan
keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk
miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat
kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Untuk mengurangi angka kemiskinan,
maka diperlukan media yang memberikan pencerahan kepada masyarakat agar
masyarakat memiliki kemampuan untuk mandiri secara ekonomi, dapat mengatur diri
sendiri, dan disuguhi berita atau tayangan yang inspiratif.

2
Media yang hadir kini, justru dinilai tidak lagi sesuai dengan istilah jurnalisme yang
mengilhami lahirnya beragam media di dunia khususnya Indonesia. Menurut Kovach
dan Rosenstiel (2003:11), Jurnalisme hadir


untuk membangun kewargaan

(citizenship). Jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga negara. Jurnalisme ada
untuk demokrasi. Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang
dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri.
Praktisi media yang juga Direktur Utama Trans TV, Ishadi SK, mengatakan bahwa isi
berita di semua saluran televisi, radio, surat kabar, dan majalah adalah ‘ bad news’.
“Media cetak, radio dan televisi di isi dengan berita kecelakaan, perkelahian, bentrok
fisik, demo dengan kekerasan, pemogokan, gempa, bencana alam, gagal panen, bunuh
diri, perampokan, pembunuhan, keracunan, wabah flu burung dan lain sebagainya”

Padahal pengaruh negatif dari ‘bad news’ bisa menghancurkan bangsa dan karakter
bangsa. Dalam ‘bad news’ yang dipermainkan adalah hasrat dan nafsu yang
mengelora setelah khalayak mendapatkan informasi, sehingga menimbulkan ekses
yang negatif. Penonjolan ‘bad news’, oleh media, menurut Ishadi terjadi karena
informasi saat ini telah menjadi komoditas yang bisa diperjual belikan seperti
komoditas yang lainnya, yang dipertegas dengan credo jurnalis di seluruh dunia ‘bad
news is good news’.
“ Dunia penyiaran adalah dunia bisnis yang mengandalkan tiga hal. Pertama adalah
marketing rules the show. Kedua adalah mengandalkan rating dan audience share dan

ketiga adalah pendekatan kepuasan penonton”

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis melihat bahwa terjadi pertentangan antara
idealisme dan bisnis dalam institusi pers baik itu media massa cetak maupun
elektronik. Pertentangan tersebut mengakibatkan beberapa ekses negatif. Salah
satunya adalah kecenderungan media untuk memborbadir masyarakat dengan ‘bad
news’ yang berselera instrisik rendah. Besar kemungkinan bila ekses negatif ini tidak

segera di tanggulangi, maka akan terjadi proses penghancuran dalam pembangunan
bangsa dan karakter bangsa, salah satunya adalah hilangnya ‘a sign of hope’ yang
bisa didapat bila media lebih menonjolkan ‘good news’.

TEORI
Dulu, sebelum mesin cetak ditemukan, mungkin orang tidak akan mengenal media
seperti sekarang ini. Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg adalah sebuah penemuan
yang mencerdaskan masyarakat. Melalui penemuan selanjutnya, media komunikasi

3
masyarakat tidak hanya lewat mesin cetak yang kemudian melahirkan istilah pers,
namun berkembang menjadi media radio dan televisi. Perkembangan teknologi

komunikasi menjadikan istilah komunikasi bermedia berkembang. Diantara
perkembangan tersebut kemudian munculah istilah komunikasi massa.
Effendy (2000:1) mengungkap komunikasi massa adalah sebagai berikut:
“Komunikasi melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar yang
mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada
umum. Massa adalah kumpulan orang yang sangat heterogen, yang meliputi
penduduk yang bertempat tinggal dalam kondisi yang sangat berbeda, dengan
kebudayaan yang beragam, berasal dari beragam lapisan masyarakat, mempunyai
pekerjaan berjenis-jenis dan berbagai kepentingan berbeda pula”

Secara singkat, Effendy (2000: 32) menjelaskan ciri-ciri Komunikasi Massa sebagai
berikut:
a. Komunikasi massa berlangsung satu arah
b. Komunikator pada komunikasi massa melembaga
c. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum
d. Media massa menimbulkan keserempakan
e. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen
Berdasarkan ciri-ciri diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa komunikan dari
komunikasi massa adalah masyarakat. Menurut Iver dan Page yang dimaksud dengan
masyarakat adalah:

“Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan
kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan dari pengawasan tingkah
laku, serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita
namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Dan
masyarakat selalu berubah” (Soekanto, 1990:26)

Menurut Soekanto (1990: 23) masyarakat terdiri atas unsur-unsur berikut:
a. Manusia yang hidup bersama
b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama
c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan
d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan
bersama ini, kemudian menimbulkan kebudayaan.
Unsur-unsur masyarakat ini kemudian membentuk komunikasi bermedianya sendiri
berdasarkan kebudayaan yang mereka bentuk secara kolektif. Dalm komunikasi
bermedia ini, masyarakat memegang peranan penting.

4
McQuail (1994:53) menjelaskan bahwa ada hubungan antara komunikasi bermedia
dengan


masyarakat.

Hubungan

tersebut

terletak

dari

peran

media

yang

merepresentasikan keadaan masyarakat sesunguhnya. Secara lebih jelas, McQuail
mengungkapkan bahwa ada tujuh peran media yang mengambarkan keadaan
masyarakat, yaitu:
a.


Jendela pengalaman yang meluaskan pandangan dan memungkinkan
kita untuk memahami apa yang terjadi di sekitar kita, tanpa campur
tangan pihak lain atau sikap memihak

b.

Juru bahasa yang menjelaskan dan memberi makna terhadap
peristiwa atau hal yang terpisahkan dan kurang jelas

c.

Pembawa atau pengatur informasi atau pendapat

d.

Jaringan interaktif yang menghubungkan pengirim dengan penerima
melalui berbagai macam umpan balik. Papan penunjuk jalan yang
secara aktif menunjukan arah, memberikan bimbingan atau instruksi


e.

Penyaring yang memilih bagian pengalaman yang perlu diberi
perhatian khusus dan menyisakan aspek pengalaman lainnnya, baik
secara sadar dan sistematis maupun tidak

f.

Cermin yang memantulkan citra masyarakat terhadap masyrakat itu
sendiri, biasanya pantulan citra itu mengalami perubahan atau
distorsi karena ada penonjolan terhadap segi yang ingin dilihat para
anggota masyarakat atau seringkali pula segi yang ingin mereka
hakimi atau cela

g.

Tirai atau penutup yang menutupi kebenaran demi pencapaian tujuan
propaganda atau penilain dari suatu kenyataan (escapism)

Berdasarkan peran media diatas, maka sudah selayaknya media berhati-hati dan

bersikap bijak dalam membuat suatu berita. Sebuah berita yang disebarluaskan
kepada khalayak seyogyanya haruslah diramu dengan matang, melalui tahapan dan
kegiatan jurnalistik yang sesuai dengan etika profesi seorang jurnalis.
Secara umum, seorang jurnalis atau wartawan akan meliput berita yang mempunyai
nilai berita. Nilai berita atau news value adalah suatu batasan dan pertimbangan agar
suatu berita memiliki bobot yang menarik untuk disimak. Antara redaktur media cetak
yang satu dengan yang lain mempunyai pertimbagan yang berbeda-beda. Hal ini
disesuaikan dengan latar belakang keperluan dan pengertian dari masing-masing
redaktur. Meskipun demikian, para praktisi media massa di seluruh dunia memiliki

5
patokan unsur-unsur terhadap nilai berita yang disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat. Lalu yang kemudian menjadi masalah adalah kebutuhan masyarakat yang
amat beragam. Oleh karena itu media yang ada juga beragam, sehingga media
berperan aktif memberikan sajian yang disesuaikan dengan selera masyarakat.
Secara umum, media mempunyai empat fungsi utama. Effendy (2000:9) membagi
fungsi pers menjadi empat bagian. Fungsi-fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Fungsi menyiarkan informasi. Menyiarkan informasi adalah fungsi yang
pertama dan utama.

2. Fungsi mendidik. Sebagai sarana pendidikan massa (mass education), media
memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak
bertambah pengetahuannya.
3. Fungsi menghibur. Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat untuk
mengimbangi berita-berita (hard news) yang berbobot.
4. Fungsi mempengaruhi. Fungsi ini menyebabkan media memegang peranan
penting dalam kehidupan masyarakat.
Sementara itu, Pers nasional mempunyai empat fungsi, yaitu fungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial dan lembaga ekonomi. Sayangnya
dewasa ini fungsi lembaga ekonomi lebih dominan sehingga media hanya
menyuguhkan berita yang cenderung menuhankan rating dan share. Dan ironinya,
berita yang mendapat rating dan share tinggi, dinilai banyak pengamat, terutama
akademisi, merupakan berita yang memiliki nilai instrisik yang rendah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif

(Creswell, 2002: 1) merupakan suatu proses penyelidikan untuk memahami masalah

sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap
yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informasi secara terperinci,
dan disusun dalam sebuah latar alamiah.
Penelitian kualitatif dari segi epistomologis menempatkan diri sebagai insider,
memiliki empati (atau kemampuan memproyeksikan diri ke dalam peran dan persepsi
objek yang diteliti), dari segi ontologis berasumsi realitas sosial selalu berubah
merupakan hasil konstruksi sosial dan bersifat ideographic. Metode yang digunakan
adalah FGD (Focus Group Discusion).

6

PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan hasil FGD dari enam orang informan mahasiwa jurnalistik
fikom Unpad: GT, UC, PP, ND, DS, UL. Menurut UL, hubungan antara komunikasi
massa dengan khalayak merupakan hubungan yang timbal balik, walaupun kadangkadang seolah-olah hubungan tersebut hanya sepihak.
“Isi pesan media massa juga terkait dengan karakteristik media yang ternyata juga
mempunyai khalayak atau massa yang karakteristiknya sama seperti isi media”.

UL menambahkan, dia sempat membaca sebuah penelitian yang menemukan bahwa
penduduk Indonesia menonton televisi 50 jam per minggu, anak-anak Indonesia
menonton televisi selama 20 jam per minggu.
“ Jadi, ga salah kalau tayangan televisi sangat berpengaruh pada pemikiran dan
mentalitas masyarakat Indonesia. Padahal tayangan televisi Indonesia saat ini bisa
dibilang hampir 70 % hanya berupa drama, termasuk reality show, itu juga drama dan
bukan tayangan yang mendidik”

Mengenai tayangan drama di televisi, UC juga punya pendapatnya sendiri,
“Yang ditampilkan televisi saat ini kebanyakan melulu pada tema kekerasan,
kejahatan, mistik dan pelecehan (seksual maupun profesi). Jika tayangan televisi
Indonesia terus minim kualitas pendidikan seperti saat ini, akal dan mental bangsa
pun ikut minim. Oleh karena itu, media perlu pagar atau frame yang mengatur
kebebasan media yang seringkali kebablasan”

Menurut GT, frame media yang kurang mendidik dikarenakan fungsi bisnis media
saat ini mendapat porsi yang lebih besar daripada yang lain,
“media massa hidup dari iklan, baik itu sponsor produk atau kegiatan promosi
lainnya, sehingga media selalu mencari isi yang menarik pengiklan”.

Sementara itu, PP mengomentari fungsi ekonomi media sebagai suatu usaha media
massa yang telah menjadi kekuatan ekonomi tersendiri yang berpengaruh dan punya
serangkaian usaha di berbagai bidang,
“Dengan menjamurnya perusahaan media yang memiliki beberapa usaha group
media, maka peran media hari ini, mengalami pergeseran fungsi yang semuanya
mengerucut kepada sebuah tujuan yaitu profit oriented. Media berorientasi profit.
Sehingga terjadi proses eliminasi idealisme media massa”.

ND, mengomentari pergeseran fungsi informasi dan pendidikan media,
“ fungsi informasi bergeser menjadi informasi yang mengedepankan ‘informasi’ yang
sifatnya hanya membuat keuntungan terhadap media, tanpa memperhatikan hak dan
kebutuhan masyarakat. Begitu juga dengan Fungsi Mendidik bergeser menjadi

7
pendidikan yang dangkal dan tidak mendasar sehingga tujuan untuk mencerdaskan
bangsa tidak tercapai”.
UC mengatakan bahwa slogan media, “Bad news is good news” merupakan masalah
tersendiri yang harus dapat diatasi .
“ Siaran TV yang menampilkan keberingasan masyarakat, lewat tayangan kriminal,
hanyalah the screaming minority, sedangkan the silent majority, masyarakat Indonesia
yang baik, berbudi, ramah dan jujur itu banyak. Jadi “Bad news is good news” itu
hanya realitas di tayangan kriminal. Sayangnya tayangan itu kini menjamur dan
digemari”.

DS berharap bahwa suatu saat media akan menyebarluaskan paket-paket yang bersifat
edukatif. Ada tiga usulan paket pengetahuan yang ia diproduksi media, “mmm, yang
aku sempat terpikir, diantaranya paket mengenai karakter bangsa, seperti acara
tayangan anak seribu pulau, yang dulu banget sempat ada di tv. Sayangnya sekarang
jarang ya. Bahkan nyaris hilang. Kedua, tayangan mengenai keunikan Benua Maritim
Indonesia (BMI), sebetulnya tayangan jenis ini sudah banyak yang produksi, namun
belum seluruh saluran punya, hanya televisi tertentu yang memang punya paket acara
seperti itu. Ketiga, tayangan yang penuh dengan semangat Nasionalisme Indonesia di
abad ke-21. Ini yang kayaknya jarang banget, kalo saya liat-liat, baru tayangan seperti
eagle award yang bikin, tapi itu kan buat lomba ya?”

Pendapat enam informan diatas, senada dengan Oetama. Menurut Oetama dalam
sebuah makalah seminar mengenai peran media (2006), mengatakan bahwa
subyektivitas yang merupakan jabaran dari visi, sikap dan media policykebijaksanaan atau “politik” media itu justru ikut memberikan peran penting.
“Misalnya mempengaruhi perumusan dan aktualisasi pilihan tema. Pilihan prioritas
liputan serta proses dan cara meramu dan menyajikan liputan. Persoalan apa yang
mendesak bagi bangsa kita; masuk ke dalam ke dalam frame serta policy media itu
yaitu terlihat dari penjabaran dalam memilih liputan dan cara menyajikannya.
Hadirnya pendidikan ditengah masyarakat seharusnya menjadi sentral agar bermuara
pada kemajuan dan kesejahteraan warga dan bangsa selain pendidikan, kita juga perlu
mereformasi ekonomi pasar menjadi pasar negara kesejahteraan serta memberi
tempat, peran serta kepercayaan kepada para pelaku bisnis”.

Selain hal di atas, menurut Jakob untuk membangun karakter bangsa, ada sejumlah
nilai yang harus dimiliki oleh seluruh warga masyarakat, tak terkecuali para praktisi
media. Jakob menyebutkan setidaknya harus ada sebelas peran nilai, sikap dan budaya
dalam kemajuan suatu bangsa, yaitu:
a. Orientasi ke masa depan

8
b. Menghargai waktu
c. Disiplin
d. Pendidikan sentral
e. Hemat
f. Seksama
g. Pandai mengelola uang
h. Bersih saling percaya (trust, social trust)
i. Menghargai prestasi
j. Taat Hukum
k. Kerja keras

Oetama juga mengaku sering mengugat diri bahwa mengapa terhadap banyak hal
media cenderung bersikap kritis negatif, bukan kritis konstruktif. Hal ini juga diamien-kan oleh Ishadi S.K yang berbicara dalam seminar yang sama (2006),
menurutnya rasanya aneh kalau media tidak memberitakan hal yang kritis terhadap
yang dilakukan pemerintah.
“ Kritik kerap kali personal, menuduh tanpa didukung oleh fakta dan bukti yang kuat
atau menampilkan judul yang kerap kali diluar kerangka etika. Sudah tidak ada lagi
pre assumption of innocent. Kalimat sinis dan tuduhan tajam sudah menjadi hal yang
lumrah-biasa. Tajam dan inusiatif sudah menjadi kalimat yang halal bahkna kepada
seorang kepala Negara sekalipun. Seperti “ Mega lebih Kejam dari Sumanto”.

Menurut Ishadi, walaupun kondisi media hari ini seperti yang ia ungkapkan di atas,
namu nia tetap melihat ada peluang-peluang untuk membangun sebuah habitat baru
kecil-kecilan untuk mendapat harapan baru sedikit-sedikit.
“Sudah waktunya kita memproklamirkan media lebih banyak menyiarkan berita baik good news untuk menunjukan bahwa masih ada setitik harapan di tengah
keterpurukan. Lebih selektif dalam mengutip pernyataan-pernyataan elit politik atau
pihak-pihak yang selalu ingin mengembangkan dan menyampaikan pernyataanpernyataan yang tidak berbobot dan sekadar mementingkan sekelompok kecil bahkan
personal interestnya sendiri”.

Berdasarkan pemaparan diatas, credo jurnalistik bad news is good news, diharapkan
dikemudian hari akan semakin tereliminasi. Karena bagaimanapun, bangsa kita tidak
ingin selalu berada di tengah keterpurukan. Harus ada sebuah harapan yang
ditampilkan media guna memberikan harapan kepada pembangunan bangsa dan

9
karakter bangsa. Salah satunya adalah dengan menampilkan berita dengan Jurnalisme
Presisi.
Menurut Meyer (1973:505-506) kegiatan jurnalistik seharusnya juga tidak
menyampingkan penggunaan metode ilmu pengetahuan sosial, seperti prosedur
pemilihan sampel dan penganalisaannya, sebagai alat untuk memvaliditaskan
akumulasi fakta agar mendekati ketetapan dan keakuratan objektivitas pemberitaan.
Menurut Meyer jurnalisme seperti ini dinamakan jurnalisme presisi. Jurnalisme
seperti ini penting, karena merupakan sebuah ilmu sosial yang selalu dipenuhi oleh
perubahan dan perkembangan.
Menurut Fedler (1978: 401-407) jurnalisme presisi merupakan kegiatan jurnalistik
yang menekankan ketepatan memaknai informasi sebagai sebuah pola kerja pencarian
data yang tertuju pada target membentuk ukuran ketetapan informasi empirik. Pola
kegiatan jurnalisme yang memakai nilai kredibilitas akademis ketika hendak
diinterpretasi wartawan dalam menilai sebuah peristiwa kemasyarakatan.
Jadi, jurnalisme presisi mengunakan rancangan penelitian sistematis dan terencana.
Rancangan sistematikanya antara lain yaitu mengunakan metode penelitian seperti
perumusan masalah, penetapan tujuan, identifikasi hipotesis, pengumpulan dan
pengolahan serta penginterpretasian data; walau tidak sekonsisten riset kaum
akademisi. Dengan menerapkan konsep yang seperti ini, kerja jurnalisme akan
memakai patokan nilai prinsip keilmuan dan menghindar dari bias hasil kerja liputan
yang terlalu tinggi, sehingga data dan fakta yang tersajikan merupakan hasil analisis
dan intrepetasi dari sebuah wacana pesan jurnalistik.
Menurut Strentz (1993:151) dengan jurnalisme presisi, pelbagai dimensi peristiwa
kemanusiaan menjadi terkalkulasi ke dalam hitungan kuantitatif sosial. Dramaturgi
peristiwa berita kecelakaan dapat didekati melalui pendekatan matematik, yaitu
menghitung angka kelalaian pengemudi kendaraan. Konsistensi pemakaian teknik
riset ilmu sosial ini mengakibatkan sampaian pesan jurnalisme mengedepankan
reabilitas dan validitas.
Menurut Santana (2003: 199-20), kegiatan Jurnalisme presisi melaksanakan dua
tahapan. Tahap pertama yaitu tahapan pelaksaan kegiatan riset. Dalam proses ini,
dikerjakan upaya-upaya penelitian seperti pendefinisian isu, pencarian acuan literature
teori, pengerakan rancangan liputan, serta penelusuran, pencarian, pengolahan dan
pembahasan akumulasi fakta.

10
Pendefinisian isu menyangkut kegiatan penganalisisan aktualitas persoalan dalam
agenda setting masyarakat. Hal ini berkaitan dengan tugas pers sebagai penyampai
pemberitaan kejadian masyarakat yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya lingkungan hidup, peristiwa internasional dan sebagainya.
Pencarian acuan literatur teori seperti mencari kerangka rujukan teori dan kepustakaan
dilakukan dengan tujuan untuk menghitung kontuinitas, relevansi dan aktualitas.
Pergerakan rancangan liputan yaitu berupa pencarian dan pengumpulan fakta primer
dan sekunder. Fakta primer yaitu fakta yang dicari dan dibutuhkan serta berkaitan
langsung dengan topik liputan. Fakta sekunder yaitu fakta pendukung seperti
publikasi pers internasional, jurnal ilmiah, lembaga statistika, instansi pemerintah atau
swasta dan berbagai infromasi dari internet.
Pengolaha dan pembahasan fakta meliputi kegiatan penganalisisan kumpulan fakta
yaitu

dimulai

dari

proses

pengeditan,

pengodingan,

pentranskripan,

dan

pemerifikasian. Semua kegiatan ini ditujukan untuk menjelaskan realitas yang tengah
menjadi fenomena. Penggunaan metode kualitatif dilaksanakan untuk mendapatkan
reabilitas penganalisisan katagorisasi fakta. Pengintrepretasian ditujukan untuk
pencapaian temuan dasar pandangan aktual atau kesimpulan umum yang menguatkan
pemikiran khusus sebelumnya.
Tahap kedua merupakan tahapan kerja penulisan. Berbagai informasi hasil liputan
sebelumnya di format ke dalam wacana pelaporan. Pelaporan jurnalistik merupakan
kerja yang memaki kaidah penulisan berita yaitu berupa pemerian kelengkapan atribut
narasumber, keseimbagan melaporkan pihak yang berkonflik, keobjektifan faktaberita dan kejelasa,keringkasan serta kesederhanaan penyajian berita. Dalam
pelaksanaannya, teknik penulisan berita feature sering dipakai.
Jadi, melalui kegiatan jurnalisme presisi, seorang jurnalis tidak lagi berada di
spektrum fakta-fakta, melainkan telah mempunyai kemampuan dalam meganalisis,
memprespektif dan menyimpulkan realitas sosial yang dicermatinya. Komplesitas
permasalahan masyarakat modern dijadikan dasar pikiran sebagai pedoman institusi
pers dalam mengikuti dimanika masyarakat.
Dengan demikian jurnalisme presisi ada untuk tujuan memberikan pencerahan kepada
masyakarat sehingga masyarakat dapat tumbuh menjadi insan-insan intelektual yang
membangun bangsa dan karakter bangsa Indonesia menuju abad Kecerahan Bangsa
Indonesia.

11
KESIMPULAN
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan dianugerahi kekayaan maritim yang
melimpah ruah. Akan tetapi kenyataan hari ini menunjukan sebaliknya, penduduk
Indonesia saat ini seperti sedang menghadapi sebuah layar kaca yang lebar, dimana
mereka hanya dapat menyaksikan dan mendapati negerinya sebagai kepulaun yang
papa (Islands of Poverty).
Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar
mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri. Namun kenyataan hari ini
suguhan karya jurnalistik membuat warga tidak dapat hidup merdeka dan mengatur
dirinya sendiri. Salah satunya karena penerapan credo jurnalistik ‘bad news is good
news’ yang diterjemahkan secara hitam putih. Padahal credo ini seharusnya ditentang

oleh media karena kuncinya adalah bagaimana media bisa menyeimbangkan antara
idealisme dan bisnis.
Penulis menilai bahwa idealisme dan bisnis adalah dua momok yang belum bisa
diseimbangkan oleh para praktisi media saat ini.

Ketidakseimbangan ini

mengakibatkan beberapa ekses negatif. Salah satunya adalah kecenderungan media
untuk memborbadir masyarakat dengan ‘bad news’ yang berselera instrisik rendah.

Sementara itu, Pers nasional mempunyai empat fungsi, yaitu fungsi sebagai media
informasi, fungsi sebagai pendidikan, fungsi sebagai hiburan, fungsi sebagai kontrol
sosial dan fungsi sebagai lembaga ekonomi. Sayangnya dewasa ini fungsi lembaga
ekonomi lebih dominan sehingga media hanya menyuguhkan berita yang cenderung
menuhankan rating dan share. Praktisi media di Indoensia seakan lupa bahwa mereka
mempunyai sembilan elemen jurnalis yang diakui oleh praktisi pers internasional
sebagai sebuah panduan normatif dalam mengaplikasikan kegiatan jurnalistik di
lapangan.
Melvin DeFluer mengungkapkan bahwa hubungan antara komunikasi massa dengan
khalayak merupakan hubungan yang timbal balik, walaupun kadang-kadang seolaholah hubungan tersebut hanya sepihak. Isi pesan media massa pada dasarnya juga
berkaitan dengan karakteristik dari suatu media yang ternyata juga mempunyai
khalayak atau massa yang karakteristiknya sesuai dengan isi media. Untuk itu perlu
dilakukan sebuah usaha nyata agar menyinkronkan antara fungsi media sebagai
pendidikan dan ekonomi. Salah satunya dengan cara mengedapkan jurnalisme presisi.
Melalui kegiatan jurnalisme presisi, seorang jurnalis tidak lagi berada di spektrum
fakta-fakta,

melainkan

telah

mempunyai

kemampuan

dalam

meganalisis,

12
memprespektif dan menyimpulkan realitas sosial yang dicermatinya. Dengan
demikian jurnalisme presisi ada untuk tujuan memberikan pencerahan kepada
masyakarat sehingga masyarakat dapat tumbuh menjadi insan-insan intelektual yang
membangun bangsa dan karakter bangsa Indonesia menuju abad Kecerahan Bangsa
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Effendy, Onong Uchjana. (2000). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya;
Bandung.
Fedler, Fred. (1978). An Introduction to The Mass Media. New York: Hoarcout
Brace Javonich.
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. (2003). The Elements of Journalism: What
Newspeople Should Know and the Public Should Expect. USA: Crown
McQuail, Denis. (1994).Mass Communication Theory by Denis McQuail. USA:
Sage Pubns
Meyer, Philip. (1973). Precision Journalism: A Reporter’s Introduction to Social
Scinece Methods.New York: McGrawHill.
Santana, Septiawan. (2003): Jurnalisme Investigasi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Strentz, Herbert. (1993). Reporter dan Sumber Berita: persekongkolan dan mengemas
dan menyesatkan berita. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Makalah Seminar
K, Ishadi.S. (2006). Memproklamirkan A Sign of Hope ditengah keterpurukan
Indonesia. ITB: Seminar sehari Peran Media dalam Proses Pembangunan Bangsa
dan Karakter Bangsa.
Oetama, Jakob. (2006). Membangun Karakter Bangsa; Peran Media. ITB: Seminar
sehari Peran Media dalam Proses Pembangunan Bangsa dan Karakter Bangsa.
Newsletter
Newsletter BPS No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010
Data Penulis
Penulis lahir di Pariaman, 6 Febuari 1984. Lulus S1 dari Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjajaran, jurusan Jurnalisitik, pada Mei 2006. Lulus S2 dari Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, jurusan Ilmu Komunikasi pada Juli
2009. Kini berprofesi sebagai dosen tetap DIII Hubungan Masyarakat FIS UNJ.
Memiliki alamat email: mynameisdinisafitri@yahoo.com dan pin BB: 2806F512.
Bisa dihubungi di nomor ponsel 081931355066.