PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI YANG BERK

PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI YANG BERKEMBANG DI DALAM
IBUKOTA

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Madani adalah suatu masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradapan sebagai
ciri utama, karena itu dalam sejarah pemikiran filsafat yunani sampai masa filsafat islam dikenal
istilah Madinah atau Polis yang berarti kota. Maksudnya dari Madinah atau polis adalah
masyarakat yang maju dan berperradaban.
Kita juga harus meneladani sikap kaum muslim awal yang tidak mendikotomikan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggaalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak
meninggalakan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar
kebahagian dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu
diteladani umat islam saat ini, maka kebangkitan Islam menunggu waktu saja.
Konsep masyarakat madinah adalah sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat
beradab yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip interaksi sosial yang konduktif bagi penciptaan tatanan demokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

B. Rumusan Masalah
Masyarakat madani merupakan konsep yang memiliki banyak arti atau sering diartikan

dengan makna yang berbeda-beda. Bila merujuk kepada Baahasa Inggris, ia bersal dari kata civil
society aatau masyarakat sipil, sebuah kontroposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley
dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “lingkup kegiatan
sukarela yang terjadi di luar pemerintah dan pasar”

C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini didedikasikan sebagai upaya dalam mewujudkan masyarakat madani, baik
yang berjangka pendek maupun berjangaka panjang. Yaitu dengan memberitauhkan pengertian
dari masyaarakat madani itu sendiri agar generasi muda dapat berwawasan mengenai pengertian
masyarakat madani itu sendiri dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan.

II. PEMBAHASAN
MASYARAKAT MADANI
A. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradapan
sebagai ciri utama, karena itu dalam sejarah pemikiran filsafat sejak filsafat yunani sampai masa
filsafat islam di kenal dengan istilah Madinah atau Polis yang berarti kota.(Abdurrahman,2007)
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil
society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan di
kembangkan di indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat

madani merunjuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madaniah yang dibangun Nabi
Muhammad. Masyarakat Madaniah dianggap sebagai legitimasi. Historis ketidak bersalahan
pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Di dalam al-quran, Allah SWT memberikan ilustrasi masyarakat ideal, sebagai gambaran
dari masyarakat madani dengan firman-Nya lewat surat As-Saba ayat 15
Artinya: sesungguhnya bagi kaum saba’ ada tanda (kekuasaan tuhan di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri (kepada mereka dikatakan) “makanlah
olehmu dari rezeki yang (dianugrahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (negerimu) adalah negara yang baik dan ( Tuhan-mu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun.
Konsep masyarakat madani secara harfiah berasal dari civil society terjemahan dari
istilah latin yaitu civilis societas, yang dikemukakan awal sekali oleh CICERO (106-43 SM)
seorang orator dan pejuang roma, yang pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan
dan masyarakat. Masyarakat sipil disebut sebuah masyarakat politik (political society) yang
memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup adanya hukum yang mengatur pergaulan
antara individu menandai keberadaban (Ahmad Fathan Aniq, 2008)
Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikiran Montesque, JJ. Rousseau, John
Locke, dan Hubbes, ketiga pakar filsafat barat ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil
yang mampu mencairkan otoritaritas kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja
(Diamond, 2003:278).
Keberadaban masyarakat tersebut di atas, merupakan masyarakat yang hidup di kota,
dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk


hukum sivil (civil law) sebagai dasar dan mengatur kehidupan bersama, bahkan dapat pula
dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk
masyarakat kota yang beperadaban.
Peradaban antara masyarakat madani dengan civil society demikian jelas yaitu civil
society merupakan buah dari modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan
reinaisance yaitu gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan tuhan, sehingga civil society
memiliki moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan tuhan, sedangkan masyarakat
madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Allah swt. Dari alasan tersebut Ma’arif
mengartikan mayarakat madani adalah sebuah masyarakat yang terbuka, egaliter dan toleran atas
landasan nilai-nilai etika, moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah swt. Dari
sumber wahyu Allah inilah dikembangkan untuk menata masyarakat.
Selanjutnya Abdul Munir Mulkhan (1999) berpendapat bahwa istilah masyarakat madani
mempunyai 3 (tiga) arti yaitu:
1)

Masyarakat madani adalah masyarakat merdeka terhadap bentuk intervensi negara yang
menguasai seluruh wacana publik dalam wujud konstitusi dan hegemonia elite penguasa dan
negara cenderung diperlukan sebagai yang selalu benar di bawah perlindungan elite yang
“disakralkan”


2) Masyarakat madani adalah dekonstruksi peran negara, lembaga moderen dan syariah. Hal ini
disebabkan kegagalan fiqih dalam melakukan peran publik sebagaimana tuntutan masyarakat
kontemporel.
3) Masyarakat madani adalah kritik atas bikratisme religiositas seperti politik dan ekonomi. Selain
memberikan makna masyarakat madani tersebut, Mulkhan juga memberiakn definisi “
masyarakat madani” Dalam arti tata kehidupan masyarakat yang benar-benar terbuka secara
idologis maupun teologi karena publikah yang paling berhak merumuskan ideologi hingga citacita masyarakat melalui prosrs indeuksi berkelanjutan. Lebih lanjut Mulkhan menjelaskan bahwa
masyarakat madani ideal bukanlah masyarakat ketika kebenaran dan Kebaikan menjadi
hegemoni elite.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat madani adalah
masyarakat yang berperadaban diikat oleh masyarakat beradab dibingkai dengan hukum islam,
tanpa pelaksanaan hukum islam sulit untuk mewujudkan masyarakat madani. Peranan hukum
islam telah diperhatikan oleh Rasullulah Saw ketika berada di madinah yang menjadikan al-

quran sebagai konstitusi dan memberikan kebebasan bagi penduduk madinah untuk memeluk
serta beeribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani.
Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil,
mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu.

Sementara itu untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat
berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut dalam
konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi secara
berimbang. Maka dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar komponen bangsa,
terutama pelaku praktis politik, merupakan bagian yang terpenting dalam menuju
masyarakat yang dicita-citakan tersebut.
Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk
terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana
tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah
masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural maupun struktural
kehidupan

bangsa.

Dan

menempatkan

cara-cara


manipulatif

dan

represif

sebagai

instrumentasi sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang
berarti untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang untuk
mengekpresikan

partisipasinya

dalam

proses

perubahan.


Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah, menjadi simbol-simbol yang dihadapi
secara

permanen

gerakan

masyarakat

sipil.

Mereka

senantiasa

berusaha

keras

mempertahankan status quo tanpa memperdulikan rasa keadilan yang berkembang dalam

masyarakat. Pada masa orde baru cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak dipakai
ketimbang partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di
hampir seluruh proses pembangunan yang terjadi. Namun kemudian terbukti pemasungan
partisipasi

secara akumulatif berakibat fatal terhadap keseimbangan sosial

politik,

masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, dan berakhir dengan protes-protes sosial
serta pada gilirannya menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sistem yang berlaku.
Dengan demikian jelaslah terbukti bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus
ada dalam masyarakat madani. Demokrasi tanpa adanya partisipasi akan menyebabkan
berlangsungnya demokrasi pura-pura atau pseudo democratic sebagaimana demokrasi yang
dijalankan rezim orde baru.
penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. AlQur’an menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati
taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus diposisikan secara netral,
dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas
hukum. Ini bisa terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen bangsa


untuk iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati bersama.
Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah
pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok
lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan
hukum

akan

membentuk

masyarakat

tanpa

kendali

(laissez

faire).


Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas
dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan
pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum
stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul
pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang menjadikan nilai peradaban
sebagai ciri utama, dan masyarakat merdeka terhadap bentuk intervensi negara yang menguasai
seluruh wacana publik, dan jga lembaga moderen dan syariah
Dalam konsep masyarakat madani memberikan ilustrasi masyarakt ideal, sebagai
gambaran dari masyarakat madani berdasarkan firman-Nya lewat surah As-Saba ayat 15.
Keberadaban masyarakat madani merupakan masyarakat yang hidup di kota, dalam
kehidupan kata penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum
sivil sebagai dasar dan mengatur kehidupan bersama.
B. Saran
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka
kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang segnifikan. Selain
itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat

sekarang ini. Agar di kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa
saran bahwa dalam mewujudkan masyarakat madani dan sejahterah umat haruslah berpacu pada
Al-Quran dan As-Sunnah yang di amatkan oleh Nabi Muhammad kepada kita sebagai umat akhir
zaman.
Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani
itu sendiri. Maka dapat diharapkan kita dapat mewujudkan masyarakat madani di negara kita
yang tercinta ini yaitu Indonesia.

Kepustakaan:
Bob S.Hadiwinata, “Masyarakat Sipil Indonesia: Sejarah, Kelangsungan, dan Transformasinya”,
dalam Wacana (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif). Edisi 1.Vo.1,1999.
Craig Calhoun, “Social Theory of the Politics of Identity”, Blackwell Publihers, USA,1994.
Nezar Patria, dan Andi Arief, “Antonio Gramci: Negara dan Hegemoni”, Pustaka Pelajar 1999.
Neera Chandoke, “State and Civil Society: Exploration in Political Theory”. New Delhi dan
London: Sage Publication,1955.
Nico Schulte Nordholt, “Menyokong Civil Society dalam era Kegelisahan”, dalam Mengenang
Y.B. Mangunwijaya, Sindhunata (eds.).Kanisius, 1999.
Nurcholis Madjid, “ Cita-cita Politik Islam Era Reformasi”, Paramadina, 1999. ?