A. ANATOMI DAN FISIOLOGI OTAK

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI OTAK
Susunan Saraf pusat
1.

Medula Spinalis
a.

Otak besar

b.

Otak kecil

2.

Otak

3.

Batang otak


Susunan saraf perifer
1.

Susunan saraf somatic
Susunan

saraf

yang

mempunyai peranan spesifik untuk
mengatur aktivitas otot sadar atau serat
lintang.
2.

Susunan saraf otonom
Susunan saraf yang mempunyai peranan penting memengaruhi pekerjaan otot

involunter (otot polos) seperti jantung, hati, pancreas, jalan pencernaan, kelenjar dan
lain-lain.

a.

Susunan saraf simpatis

b.

Susunan saraf parasimpatis

Otak
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang dari sebuah tabung
yang mulanya memperhatikan tiga gejala pembesaran otak awal.
a. Otak depan menjadi hemisfer serebri, korpus striatum, thalamus, serta hipotalamus.
b. Otak tengah, tegmentum, krus serebrium, korpus kuadrigeminus.
c. Otak belakang, menjadi pons varoli, medulla oblongata, dan serebelum.
Serebrum
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu:
1. Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan sulkus sentralis.

2. Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakang oleh korakooksipitalis.
3. Lobus temporalis, terdapat dibawah

lateral dari fisura serebralis dan di
depan lobus oksipitalis.
4.

Oksipitalis yang mengisi bagian

belakang dari serebrum.
Korteks serebri selain dibagi dalam lobus
dapat juga dibagi menurut fungsi dan
banyaknya area. Campbel membagi bentuk
korteks serebri menjadi 20 area. Secara umum korteks serebri dibagi menjadi empat
bagian:
1. Korteks sensoris. Pusat sensasi umum primer suatu hemisfer serebri yang mengurus
bagian badan, luas daerah korteks yang menangani suatu alat atau bagian tubuh
bergantung pada fungsi alat yang bersangkutan. Di samping itu juga korteks sensoris
bagian fisura lateralis menangani bagian tubuh bilateral lebih dominan.
2. Korteks asosiasi. Tiap indra manusia, korteks asosiasi sendiri merupakan kemampuan
otak manusia dalam bidang intelektual, ingatan, berpikir, rangsangan yang diterima
diolah dan disimpan serta dihubungkan dengan daya yang lain. Bagian anterior lobus
temporalis mempunyai hubungan dengan fungsi luhur dan disebut psikokorteks.

3. Korteks motoris menerima impuls dari korteks sensoris, fungsi utamanya adalah
kontribusi pada traktur piramidalis yang mengatur bagian tubuh kontralateral.
Korteks pre-frontal terletak pada lobus frontalis berhubungan dengan sikap mental
dan kepribadian.
Fungsi serebrum
1. Mengingat pengalaman yang lalu.
2. Pusat persarafan yang menangani, aktivitas mental, akal, intelegensi, keinginan,
dan memori.
3. Pusat menangis, buang air besar, dan buang air kecil.

Batang otak
Batang otak terdiri dari:
1. Diensefalon, ialah bagian otak
yang paling rostral, dan tertanam
di antara ke-dua belahan otak
besar (haemispherium cerebri).
Diantara

diensefalon


mesencephalon,

batang

dan
otak

membengkok hampir sembilah
puluh derajat kearah ventral.
Kumpulan dari sel saraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping. Fungsi dari diensefalon:
a.

Vasokonstriktor, mengecilkan pembuluh darah

b.

Respiratori, membantu proses persarafan.

c.


Mengontrol kegiatan refleks.

d.

Membantu kerja jantung.

2. Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke
atas. Dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua di sebelah
bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Serat saraf okulomotorius berjalan ke
ventral di bagian medial. Serat nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang
garis tengah ke sisi lain. Fungsinya:
a.

Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata.

b.

Memutar mata dan pusat pergerakan mata.


3. Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli
dengan serebelum, terletak di depan serebelum di antara otak tengah dan medula
oblongata. Disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernapasan dan
refleks. Fungsinya:
a. Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata
dengan serebelum atau otak besar.
b. Pusat saraf nervus trigeminus.
4. Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata
merupakan persambungan medula spinalis ke atas, bagian atas medula oblongata yang

melebar disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula oblongata.
Fungsi medula oblongata:
a.

Mengontrol kerja jantung.

b.

Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstriktor).


c.

Pusat pernapasan.

d.

Mengontrol kegiatan refleks

Serebelum
Serebelum (otak kecil) terletak pada
bagian bawah dan belakang tengkorak
dipisahkan dengan serebrum oleh fisura
transversalis dibelakangi oleh pons
varoli dan di atas medula oblongata.
Organ ini banyak menerima serabut
aferen

sensoris,


merupakan

pusat

koordinasi dan integrasi.
Bentuknya oval, bagian yang
mengecil pada sentral disebut vermis
dan bagian yang melebar pada lateral disebut hemisfer. Serebelum berhubungan dengan
batang otak melalui pendunkulus serebri inferior (korpus retiformi) permukaan luar
serebelum berlipat-lipat menyerupai serebelum tetapi lipatannya lebih kecil dan lebih
teratur. Permukaan serebelum ini mengandung zat kelabu.
Korteks serebelum dibentuk oleh subtansia grisea, terdiri dari tiga lapisan yaitu
granular luar, lapisan purkinye, lapisan granular dalam. Serabut saraf yang masuk dan
yang keluar dari serebrum harus melewati serebelum
Fungsi serebelum
1. Arkhioserebelum (vestibuloserebelum), serabut aferen berasal dari telinga dalam yang
diteruskan oleh nervus VIII (auditorius) untuk keseimbangan dan rangsangan pendengaran
ke otak.
2. Paleaserebelum (spinoserebelum. Sebagai pusat penerima impuls dari reseptor sensasi
umum medula spinalis dan nervus vagus (N. trigeminus) kelopak mata, rahang atas, dan

bawah serta otot pengunyah.
3. Neoserebelum (pontoserebelum). Korteks serebelum menerima informasi tentang

gerakan yang sedang dan yang akan dikerjakan dan mengaturgerakan sisi badan.

Saraf otak
Urutan saraf

Nama Saraf

I
II
III

Nervus olfaktorius
Nervus optikus
Nervus

IV


okulomotoris
Nervus troklearis

Sifat Saraf

Memberikan saraf untuk

Sensorik
Sensorik
Motorik

dan fungsi
Hidung, sebagai alat penciuman
Bola mata, untuk penglihatan
Penggerak bola mata dan

Motorik

mengangkat kelopak mata
Mata, memutar mata dan
penggerak bola mata

V

Nervus trigeminus

Motorik dan sensorik

N. Oftalmikus

Motorik dan sensorik

Kulit kepala dan kelopak mata
atas

N. Maksilaris

Sensorik

Rahang atas, palatum dan
hidung

N. Mandibularis
Nervus abdusen
Nervus fasialis

VI
VII
VIII

Nervus auditorius

Motorik dan sensorik
Motorik
Motorik dan Sensorik

Rahang bawah dan lidah
Mata, penggoyang sisi mata
Otot lidah, menggerakkan lidah

Sensorik

dan selaput lendir rongga mulut
Telinga, rangsangan

IX

Nervus vagus

Sensorik dan motorik

pendengaran
Faring, tonsil, dan lidah,

X

Nervus vagus

Sensorik dan motorik

rangsangan citarasa
Faring, laring, paru-paru dan

XI
XII

Nervus asesorius
Nervus hipoglosus

Motorik
Motorik

esophagus
Leher, otot leher
Lidah, citarasa, dan otot lidah

Saraf otonom
Saraf Simpatis
Saraf ini terletak di depan kolumna vertebra dan berhubungan dengan sumsum
tulang belakang melalui serabut – serabut saraf. Sistem simpatis terdiri dari 3 bagian,
yaitu :

1. Kornu anterior segmen torakalis ke – 1 sampai ke-12 dan segmen lumbalis 1-3
terdapat nucleus vegetative yang berisi kumpulan – kumpulan sel saraf simpatis. Sel
saraf simpatis ini mempunyai serabut – serabut preganglion yang keluar dari kornu
anterior bersama- sama dengan radiks anterior dan nucleus spinalis. Setelah keluar
dari foramen intervertebralis, serabut – serabut preganglion ini segera memusnahkan
diri dari nucleus spinalis dan masuk ke trunkus simpatikus serabut. Serabut
preganglion ini membentuk sinap terhadap sel – sel simpatis yang ada dalam trunkus
simpatikus. Tetapi ada pula serabut – serabut preganglion setelah berada di dalam
trunkus simpatikus terus keluar lagi dengan terlebih dahulu membentuk sinaps
menuju ganglion – ganglion / pleksus simpatikus.

2. Trunkus simpatikus beserta cabang – cabangnya. Di sebelah kiri dan kanan vertebra
terdapat barisan ganglion saraf simpatikus yang membujur di sepanjang vertebra.
Barisan ganglion – ganglion saraf simpatikus ini disebut trunkus simpatikus. Ganglion
– ganglion ini berisi sel saraf simpatis. Antara ganglion satu dengan ganglion lainnya,
atas, bawah, kiri, kanan, dihubungkan oleh saraf simpatis yang keluar masuk ke dalam
ganglion – ganglion itu. Hali ini menyebabkan sepasang trunkus simpatikus juga
menerima serabut – serabut saraf yang datang dari kornu anterior. Trunkus simpatikus
di bagi menjadi 4 bagian yaitu :

a. Trunkus simpatikus servikalis.
Terdiri dari 3 pasang ganglion. Dari ganglion – ganglion ini keluar cabang –
cabang saraf simpatis yang menuju ke jantung dari arteri karotis. Disekitar arteri
karotis membentuk pleksus. Dari pleksus ini keluar cabang – cabang yang menuju
ke atas cabang lain mempersarafi pembuluh darah serta organ – organ yang
terletak di kepala. Misalnya faring, kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, otot – otot
dilatators, pupil mata, dan sebagainya.
b. Trunkus simpatikus torakalis.
Terdiri dari 10-11 ganglion, dari ganglion ini keluar cabang – cabang simpatis
seperti cabang yang mensarafi organ – organ di dalam toraks ( mis, orta, paru –
paru, bronkus, esophagus, dsb ) dan cabang – cabang yang menembus diafragma

dan masuk

ke dalam abdomen, Cabang ini dalam rongga abdomen mensarafi

organ – organ di dalamnya.
c. Trunkus simpatikus lumbalis.
Bercabang – cabang menuju ke dalam abdomen, juga ikut membentuk pleksus
solare yang bercabang – cabang ke dalam pelvis untuk turut membentuk pleksus
pelvini.
d. Trunkus simpatikus pelvis. Bercabang cabang ke dalam pelvis untuk membentuk
pleksus pelvini.
3. Pleksus simpatikus beserta cabang cabangnya. Di dalam abdomen, pelvis, toraks,
serta di dekat organ – organ yang dipersarafi oleh saraf simpatis ( otonom ).
Umumnya terdapat pleksus – pleksus yang dibentuk oleh saraf simpatis / ganglion
yaitu pleksus/ganglion simpatikus.
Ganglion lainnya ( simpatis ) berhubungan dengan rangkaian dua ganglion besar,
ini bersama serabutnya membentuk pleksus – pleksus simpatis :
1. Pleksus kardio, terletak dekat dasar jantung serta mengarahkan cabangnya ke
daerah tersebut dan paru – paru
2. Pleksus seliaka, terletak di sebelah belakang lambung dan mempersarafi organ –
organ dalam rongga abdomen
3. Pleksus mesentrikus ( pleksus higratrikus ), terletak depan sacrum dan mencapai
organ – organ pelvis
Tabel 10-2 Organ tubuh dan system pengendalian ganda
Organ

Rangsangan simpatis

Rangsangan

Jantung
Arteri koronari
Pembuluh darah perifer
Tekanan darah
Bronkus
Kelenjar ludah
Kelenjar lakrimalis
Pupil mata
Sistem pencernaan

Denyut dipercepat
Dilatasi
Vasokonstriksi
Naik
Dilatasi
Sekresi berkurang
Sekresi berkurang
Dilatasi
Peristaltik berkurang

parasimpatis
Denyut dipercepat
Konstriksi
Vasodilatasi
Turun
Konstriksi
Sekresi bertambah
Sekresi bertambah
Konstriksi
Peristaltik bertambah

makanan (SPM)
Kelenjar – kelenjar SPM

Sekresi berkurang

Sekresi bertambah

Kelenjar keringat
Ekskresi bertambah
Fungsi serabut saraf simpatis

Ekskresi berkurang

1. Mensarafi otot jantung
2. Mensarafi pembuluh darah dan otot tak sadar
3. Mempersarafi semua alat dalam seperti lambung, pancreas dan usus
4. Melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat
5. Serabut motorik pada otot tak sadar dalam kulit
6. Mempertahankan tonus semua otot sadar.
Sistem Parasimpatis
Saraf cranial otonom adalah saraf cranial 3, 7, 9, dan 10. Saraf ini merupakan
penghubung, melalui serabut – serabut parasimpatis dalam perjalanan keluar dari otak
menuju organ – organ sebagian dikendalikan oleh serabut – serabut menuju iris. Dan
dengan demikian merangsang gerakan – gerakan saraf ke -3 yaitu saraf okulomotorik.
Saraf simpatis sacral keluar dari sumsum tulang belakang melalui daerah sacral.
Saraf – saraf ini membentuk urat saraf pada alat – alat dalam pelvis dan bersama saraf –
saraf simpatis membentuk pleksus yang mempersarafi kolon rectum dan kandung kemih.
Refleks miksi juga menghilang bila saraf sensorik kandung kemih mengalami
gangguan. System pengendalian ganda ( simpatis dan parasimpatis ). Sebagian kecil
organ dan kelenjar memiliki satu sumber persarafan yaitu simpatis atau parasimpatis.
Sebagian besar organ memiliki persarafan ganda yaitu : menerima beberapa serabut dari
saraf otonom sacral atau cranial. Kelenjar organ dirangsang oleh sekelompok urat saraf
( masing – masing bekerja berlawanan ).
Dengan demikian penyesuaian antara aktivitas dan tempat istirahat tetap
dipertahankan. Demikian pula jantung menerima serabut – serabut ekselevator dari saraf
simpatis dan serabut inhibitor dari nervus vagus. Saluran pencernaan memiliki urat saraf
ekselevator dan inhibitor yang mempercepaT dan memperlambat peristaltic berturut –
turut.
Fungsi serabut parasimpatis :

1. Merangsang sekresi kelenjar air mata, kelenjar sublingualis, submandibularis, dan
kelenjar – kelenjar dalam mukosa rongga hidung.
2. Mmepersarafi kelenjar air mata dan mukosa rongga hidung, berpusat di nuclei
lakrimalis, saraf – sarafnya keluar bersama nervus fasialis.
3. Mempersarafi kelenjar ludah ( sublingualis dan submandibularis ), berpusat di nucleus
salivatorius superior, saraf – saraf ini mengikuti nervus VII
4. Mempersarafi parotis yang berpusat di nucleus salivatoris inferior di dalam medulla
oblongata, saraf ini mengikuti nervus IX
5. Mempersarafi sebagian besar alat tubuh yaitu jantung, paru – paru, gastrointestinum,
ginjal, pancreas, limfa, hepar, dan kelenjar suprarenalis yang berpusat pada nucleus
dorsalis nervus X
6. Mempersarafi kolon desendens, sigmoid, rectum, vesika urinaria dan alat kelamin,
berpusat di sacral II, III, IV.
7. Miksi dan defekasi pada dasarnya adalah suatu reflex yang berpusat di kornu lateralis
medulla spinalis bagian sacral. Bila kandung kemih dan rectum tegang miksi dan
defekasi secara reflex. Pada orang dewasa reflex ini dapat dikendalikan oleh
kehendak. Saraf yang berpengaruh menghambat ini berasal dari korteks di daerah
lotus parasentralis yang berjalan dalam traktus piramidalis.
B. DEFINISI STROKE
Stroke merupakan penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor
dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan
semakin penting, dengan dua pertiga stroke terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang (Feigin, 2006). Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000
penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan
sisanya cacat ringan maupun berat.
Jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya
menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan
produktif hal ini akibat gaya dan pola hidup masyarakat yang tidak sehat, seperti
malas bergerak, makanan berlemak dan kolesterol tinggi, sehingga banyak diantara
mereka mengidap penyakit yang menjadi pemicu timbulnya serangan stroke. Saat ini
serangan stroke lebih banyak dipicu oleh adanya hipertensi yang disebut sebagai
silent killer, diabetes melittus, obesitas dan berbagai gangguan kesehatan yang terkait

dengan penyakit degeneratif. Secara ekonomi, dampak dari insiden ini prevalensi dan
akibat kecacatan karena stroke akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya
produktivitas dan kemampuan ekonomi masyarakat dan bangsa (Yastroki, 2009).
Gangguan peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro
Vaskuar Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan
aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak ( dalam beberapa detik)
atau secara cepat ( dalam beberapa jam ) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan
daerah yang terganggu.(Harsono,1996, hal 67)
Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah disfungsi neurologi
akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak
sesuai dengan tanda dan gejala daerah lokal pada otak yang terganggu.
Sindrom neurologi akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang
timbul secara hemiparesis sekunder semacam gangguan aliran darah. Stroke atau
cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh
berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit
serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
Penyakit ini merupakan peringkat ketiga penyebab kematian di United State.
Akibat stroke pada setiap tingkat umur tapi yang paling sering pada usia antara 75 –
85 tahun. (Long. C, Barbara;1996, hal 176).
C. KLASIFIKASI STROKE
Klasifikasi stroke terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
a.

Stroke

hemoragik:

salah

satu

pembuluh

darah

di

otak

(aneurisma,

mikroaneurisma, kelainan pembuluh darah kongenital) pecah atau robek
b.

Stroke non hemoragik/ iskemik stroke: Terjadi akibat obstruksi atau bekuan di
satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum

STROKE HEMORAGIK
Pecahnya pembuluh darah serebral diotak dan terjadinya pendarahan diotak disaat
seseorang sedang melakukan aktifitas. Stoke hemoragik dapat dibagi 2 :
1. Perdarahan intra serebral (PIS)
Pendarahan intra serebral mempunyai gejala prodromal,kecuali nyeri kepala
pada hipertensi. Serangan sering kali pada siang hari.mual dan muntah sering terdapat
pada serangan permulaan serangan hemiparesis/hemiplegi terjadi pada sejak
kesadaran menurun dan cepat coma (65% terjadi kurang dari setengah jam dan 12%
terjadi setelah 2 jam sampai 19 hari.

2. Perdarahan serebral anachroid (PSA)
Gejala nyeri kepala hebat dan akut kesadaran sering terganggu dan sangat
bervariasi.ada gejala, tanda rangsangan meningeal. edema pupil bila ada pendarahan
subhilaloid karena pecahnya aneurisma.
STROKE NON-HEMORAGIK (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)
EPIDEMIOLOGI
Stroke Non Hemoragik adalah masalah neurologik primer di AS dan di dunia.
Meskipun upaya pencegahan telah menimbulkan penurunan pada insiden beberapa
tahun terakhir,stroke adalah peringkat ketiga penyebab kematian, dengan laju
mortalitas 18 % sampai 37% untuk stroke pertama dan sebesr 62 % untuk stroke
selanjutnya. Terdapat kira-kira 2 juta orang bertahan hidup dari stroke yang
mempunyai beberapa kecacatan; dari angka ini,40% memerlukan bantuan dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari.( Smeltzer C. Suzanne,2002, hal 2131).Penyakit ini
merupakan peringkat ketiga penyebab kematian di United State. Akibat stroke pada
setiap tingkat umur tapi yang paling sering pada usia antara 75 ± 85 tahun.(Long. C,
Barbara;1996, hal 176)
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di
dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin
penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang.( Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan
Pemulihan Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.)
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa
di dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah
meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5
juta kasus stroke di dunia.( Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get
It!. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007. Hal: 1-13) Di Amerika Serikat,
stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang menyebabkan kematian.
Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di negeri Paman Sam ini,
setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya
kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa stroke berulang.

Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.
(Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. 2007. Hal: 1-13) Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga
setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia.
Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang
dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.
ETIOLOGI
Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke antara lain :
1. Thrombosis Cerebral
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi
sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan oedema dan
kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang
tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis
dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral.Tanda dan
gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam sete;ah thrombosis.
Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak :
-

Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah

mengerasnya

pembuluh

darah

serta

berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi
klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui
mekanisme berikut :
 Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
 Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
 Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan kepingan
thrombus (embolus)
 Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan
terjadi perdarahan.

-

Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental , peningkatan viskositas /hematokrit
meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral.

-

Arteritis ( radang pada arteri )

2. Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di
jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut
berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan
dibawah ini dapat menimbulkan emboli :
a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.(RHD)
b. Myokard infark
c. Fibrilasi, Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
Klasifikasi Stroke Iskemik/non hemoragik
Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke non-hemoragik dikelompokkan
menjadi 4, yaitu (Junaidi,2004) :
1. Transient Ischemic Attack (TIA) membaik dalam 24 jam tidak menyebabkan
infak jaringan.
2. Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RIND); Variasi TIA dengan tanda
neurologis lebih dari 24 jam
3. Progressing Stroke atau Stroke in evolution
4. Completed Stroke atau stroke komplit

PERBEDAAN STROKE HEMORAGIK DAN STROKE NON-HEMORAGIK
Gejala Klinis

Stroke Hemoragik

Stroke

PIS

PSA

Hemoragik

Non

1.

Gejala defisit lokal

Berat

Ringan

Berat/ringan

2.

SIS sebelumnya

Amat jarang

-

+/ biasa

3.

Permulaan (onset)

Menit/jam

1-2 menit

Pelan (jam/hari)

4.

Nyeri kepala

Hebat

Sangat hebat

Ringan/ tak ada

5.

Muntah

Sering

Sering

Tidak, kecuali lesi

pada

awalnya

di batang otak

6.

Hipertensi

Hampir selalu

Biasanya tidak

Sering kali

7.

Kesadaran

Bisa hilang

Bisa

Dapat hilang

hilang

sebentar
8.

Kaku kuduk

Jarang

Bisa

ada

pada

Tidak ada

permulaan
9.

Hemiparesis

Sering sejak awal

Tidak ada

Sering dari awal

10. Deviasi mata

Bisa ada

Tidak ada

mungkin ada

11. Gangguan bicara

Sering

Jarang

Sering

12. Likuor

Sering berdarah

Selalu berdarah

Jernih

13. Perdarahan Subhialoid

Tak ada

Bisa ada

Tak ada

14. Paresis/gangguan N III

-

Mungkin (+)

-

Stillwell, susan. 2011. pedoman keperawatan kritis. Jakarta : EGC

PATOFISIOLOGI
terlampir

MANIFESTASI KLINIS
Oklusi yang disebabkan oleh trombus atau emboli mempunyai perbedaan. Pada
trombus gejala lebih bertahap. Biasanya terdapat gejala prodormal yang minor. Stroke
akibat trombus biasanya terjadi pada saat tidur, baik pada malam hari maupun pagi hari.
Gejala baru dirasakan saat bangun dari tidur dan penderita yang langsung terjatuh karena
belum menyadari kelainan yang terjadi. Sementara stroke akibat emboli dapat terjadi
kapan saja, bangun dari tidur untuk ke kamar mandi adalah saat-saat yang berbahaya.
Trombosis pada arteri jarang sekali menyebabkan sakit kepala. Namun bila sakit
kepala timbul biasanya sesuai dengan lokasi trombus, pada oklusi arteri karotis, sakit
kepala terjadi sesuai pada sisi yang tersumbat. Penurunan kesadaran yang terjadi akibat
trombus disebabkan oleh paralisis fungsi secara keseluruhan. Penurunan kesadaran juga
dapat disebabkan oleh kejang yang terjadi akibat edema sekunder dan ancaman herniasi
batang otak.
Bila arteri karotis komunis tersumbat, maka pada palpasi di leher tidak teraba
denyut nadi. Pada oklusi arteri karotis interna, denyut arteri karotis komunis biasanya
teraba di daerah arteri karotis interna di leher. Adanya bruit dapat menunjukkan adanya
sumbatan di arteri karotis interna. Namun bila sumbatan sangat besar sehingga tidak ada
aliran darah, maka bruit tidak akan terdengar. Bila bruit juga terdengar pada mata
ipsilateral maka dapat dipastikan sumbatan berada di arteri tersebut.
Oklusi trungkus yang melibatkan hemisfer dominan menyebabkan afasia global.
Sementara bila melibatkan hemisfer yang tidak dominan akan menyebabkan gangguan
persepsi (anosognia) dan fungsi bahasa yang berkurang secara kualitatif. Oklusi yang
mengenai cabang superior akan menyebabkan defisit kontralateral yang melibatkan
ekstremitas atas dan wajah dan sebagian kontralateral tungkai dan kaki. Dan oklusi yang
mengenai cabang inferior hemisfer dominan akan mengakibatkan afasia Wernicke.
Infark pada hemisfer yang tidak dominan akan menyebabkan quadrantanopsia superior
atau hemiaopsia homonim. Oklusi pada cabang inferior kanan juga dapat menyebabkan
neglect visual kiri. Dan kerusakan lobus temporal pada akhirnya akan menyebabkan
agitasi dan confusional state
Hemisfer kiri merupakan hemisfer yang dominan untuk bicara dan bahasa pada
hampir 95% individu yang kinan. Infark yang terjadi pada hemisfer ini akan
menyebabkan terjadinya gangguan bahasa dan praksi, tergantung dimana lesi iskemi
terjadi. Sementara oklusi pada hemisfer kanan akan menyebabkan defisit motorik dan

perilaku abnormal. Dan pada akhirnya mempengaruhi afek atensi yang menyebabkan
terjadinya impersistence dan neglect.
Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang
tersumbat.
1. Arteri serebri media (MCA)
Gejala-gejalanya

antara

lain

hemiparese

kontralateral,

hipestesi

kontralateral, hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia, Deviasi kedua
mata ke arah lesi. Karena MCA memperdarahi motorik ekstremitas atas maka
kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih berat daripada tungkai bawah.
2. Arteri serebri anterior
Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan
bicara, timbulnya refleks primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan
tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat dari pada
tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan inkontinensia uri.
3. Arteri serebri posterior
Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous kontralateral,
kebutaan kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese
kontralateral, gangguan memori.
4. Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)
Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis,
serebellar, batang otak yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo,
nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda Babynski
bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada wajah. Tanda
khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling berseberangan (defisit
nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral).
5. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)

Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering
adalah bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan
eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri oftalmika
(manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa disebut amaurosis
fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media
sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul.
6. Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di
daerah subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala
yang timbul adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke
jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil
seperti diabetes dan hipertensi.
KOMPLIKASI
Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998):
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1. Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya menimbulkan
kematian.
2. Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1. Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
2. Infark miokard
3. Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali pada saat
penderita mulai mobilisasi.
4. Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.

c. Komplikasi Jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskular lain: penyakit vaskular perifer.
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke yaitu:
1. Hipoksia serebral
Diminimalakan dengan memberikan oksigenasi darah adekuat ke otak.
Fungsi otak tergantung pada ketersediaan O2 yang dikirimkan ke jaringan.
Pemberian O2 suplemen dan mempertahankan hemoglobin dan hematokrit pada
tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan hemoglobin dan
hematrokit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan
oksigenasi jaringan adekuat.
2. Aliran darah serebral
Bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan intregitas pembuluh
darah serebral. Hidrasi adekuat ( cairan intravena) harus menjamin penurunan
vikosis darah dan memperbaiki aliran darah serebral dan potensi meluasnya area
cedera.
3. Embolisme serebral
Dapat terjadi setelah infark miokard / fibrilasi atrium / dapat berasal dari
katup jantung protestik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan
selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibtakan
curah jantung tidak konsisten dan penghentian trombul lokal. Selain itu disritmia
dapat menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.

FAKTOR RESIKO

Menurut Smaelzier 2001 faktor resiko yang sering teridentifikasi, yaitu ;
1. Hipertensi
Hipertensi merupakan factor resiko terjadinya stroke baik non perdarahan
atau perdarahan, dan juga menjadi factor terjadinya gangguan jantung yang
menjadi penyebab munculnya emboli otak.
Hipertensi sangat berpengaruh pada peredaran darah otak, karena
menyebabkan terjadinya penebalan dan remodeling pembuluh darah hingga
memperkecil diameternya. Perubahan ini menaikkan tahanan vaskuler dan memicu
terjadinya artherosclerosis, hipertensi juga merubah kemampuan sel2 endotel untuk
melepas zat vasoaktif dan menimbulkan kenaikkan tonus otot dan menyebabkan
mudah terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah, selain itu hipertensi juga
mengganggu mekanisme autoregulasi pembuluh darah otak, yang mengatur
kestabilan cerebral blood flow, yakni jika terjadi perubahan tekanan perfusion ke
otak yaitu diantara 70-150 mm Hg. Hipertensi yang menahun merubah rentang
autoregulasi hingga tekanan perfussi menurun hingga otak lebih mudah terkena
gangguan aliran darah/ischaemi.
Hipertensi juga menyebabkan terjadinya atherosclerosis, karena merupakan
proinflammatory dan bersama radikal bebas otot halus pembuluh darah
berproliferasi dan mengoksidasi low density lipoprotein, mengaktifkan makrofag
dan monosit bermigrasi keluar. Disamping angiotensin II meningkat pada pasien
hipertensi dan diduga berperanan langsung dalam terjadinya artherosclerosis,
melalui proses pertumbuhan/penebalan otot halus, dan aktivitas

lipoksigenase

hingga menghasilkan suatu reaksi radang dan oksidasi low density lipoprotein. Hal
ini memicu terjadinya artherosclerosis.
http://www.strokebethesda.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=95
2. Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat
yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver
tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
3. Kelainan jantung / penyakit jantung

Antara 3‐4% penderita infark miokardial di kemudian hari mengalami strok
embolik. Risiko terbesar berada dalam satu bulan setelah terjadi infark miokardial.
Aterosklerosis mendasari terjadinya infark miokardial maupun strok iskemik.
Infark miokardial akan menimbulkan kerusakan pada dinding jantung ataupun
fibrilasi atrium yang menetap; keduanya memudahkan terjadinya trombus yang
pada suatu saat dapat terlepas atau pecah dan berubah menjadi emboli untuk
kemudian masuk ke dalam aliran darah otak
4. Diabetes mellitus (DM)
Diabetes mellitus meningkatkan risiko strok sebanyak 1‐3 kali lipat
dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami diabetes mellitus. Diabetes
mellitus meningkatkan risiko strok melalui beberapa mekanisme yang saling
berkaitan, yang bermuara pada terbentuknya plaque aterosklerotik. Plaque pada
diabetes mellitus banyak dijumpai di cabang‐cabang arteri serebral yang kecil.
Plaque tersebut akan menyempitkan diameter pembuluh darah kecil yang
kemudian dapat menimbulkan strok. Pada penderita diabetes mellitus, terjadi
hiperviskositas darah, kerusakan kronik aliran darah otak dan autoregulasi,
deformabilitas sel darah merah dan putih yang menurun, disfungsi sel endotel,
hiperkoagulabilitas,

terganggunya

sintesa

prostasiklin

yang

menyebabkan

meningkatnya agregasi trombosit dan kemungkinan disfungsi otot polos arterioler
kortikal dan endotelium yang penting untuk kolatera
5. Usia lanjut
Kemunduran

sistem

pembuluh

darah

meningkat

seiring

dengan

bertambahnya usia hingga makin bertambah usia makin tinggi kemungkinan
mendapat strok. Dalam statistik faktor ini menjadi 2 x lipat setelah usia 55 tahun.
Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa semakin tua usia, semakin besar pula
risiko terkena strok. Hal ini berkaitan dengan adanya proses degenerasi (penuan)
yang terjadi secara alamiah dan pada umumnya pada orang lanjut usia, pembuluh
darahnya lebih kaku oleh sebab adanya plak (atherosklerosis)
6. Policitemia

Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat
sehingga perfusi otak menurun.
7. Peningkatan kolesterol (lipid total)
Kolesterol merupakan faktor risiko stroke yang secara konsisten dilaporkan
dari berbagai hasil penelitian. Kolesterol LDL yang tinggi, kolesterol HDL yang
rendah, dan rasio kolesterol LDL dan HDL yang tinggi dihubungkan dengan
peningkatan risiko terkena stroke. Hal ini akan diperkuat bila ada faktor risiko
stroke yang lain (misalnya: hipertensi, merokok, obesitas).
Hubungan antara kolesterol dan stroke tergambarkan pula dalam berbagai
penelitian terapi kolesterol. Keberhasilan terapi penurunan kadar kolesterol darah
akan menurunkan risiko stroke dan penyakit jantung sebesar 60%. Penurunan
kadar koleserol darah akan menghambat proses atherosclerosis (pengerasan
diniding pembuluh darah arteri). Perkembangan atherosclerosis dapat dihambat
pada sebagian besar pasien yang menjalani terapi selama 2 tahun.
Kadar kolesterol darah yang tidak terkendali akan meningkatkan risiko
stroke. Pasien berusia 40 tahun-an yang memiliki kadar kolesterol LDL tinggi akan
memiliki risiko sebesar 52% untuk mengalami serangan jantung dan stroke pada
usia diatas 50 tahun (Lang, 2005).
8. Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol
sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya
pembuluh drah otak.
9. Perokok
Studi terbaru menunjukkan hubungan yang signifikan antara merokok dan stroke.
Perokok memiliki risiko terkena stroke akibat gumpalan darah lepas (stroke
iskemik) 2 kali lipat lebih besar, sedangkan risiko stroke akibat pembuluh darah
pecah (hemorrhagic stroke) risikonya meningkat 4 kali lipat. Dr Pipe menuturkan
risiko ini karena rokok menyebabkan penumpukan kotoran pada bagian dalam
pembuluh darah (aterosklerosis), kondisi ini memberikan kemungkinan yang lebih
besar terhadap pembentukan bekuan atau gumpalan. Perokok punya kesempatan

lebih besar mengalami komplikasi dan stroke berulang. Pasien yang mengalami
stroke ringan 10 kali lebih mungkin mengalami stroke besar terutama jika mereka
terus merokok.
PEMERIKSAAN STROKE NON HEMORAGIK
a. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak
terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non
hemoragik meskipun gejalah seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat
kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum yang
terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau qudriparese, hilangnya
penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau
penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri
namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala
tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik.
Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejala atau onset stroke seperti:


Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan
hingga pasien bangun (wake up stroke).



Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari
pertolongan.



Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.



Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,
infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan
hiponatremia.

b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan
menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus
mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan
iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke

membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung
(ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan
femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk
menjaga jalan napasnya sendiri.
c. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan
menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen
penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan
tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi
serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus
diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot
wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s
palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau
mengerutkan dahinya.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan
mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,
trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan
kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang
memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula
menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada
pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan
antikoagulan.
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke
dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya
hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.
e. Pemeriksaan Radiologi
-

CT scan kepala non kontras

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik
memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan
ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan
mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip
dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus
dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional
yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai
waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah
adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus,
dan hilangnya perberdaan gray-white matter.
-

CT perfussion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk
mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan
pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur.
Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.

-

CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT
angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian
arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab
stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena
daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.

-

MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi
lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan
MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan
yang agak panjang.
Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR
T1

dan

T2

standar

dapat

dikombinasikan

dengan

protokol

lain

seperti diffusion-weighted

imaging (DWI)

dan perfussion-weighted

imaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke
non hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT
scan dan MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah
kecil. PWI dapat mengukur langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang
serupa dengan CT perfusion. Kontras dimasukkan dan beberapa gambar
dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.
-

USG, ECG, EKG, Chest X-Ray
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai
stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks
karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi
vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis
intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi)
dilakukan pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai
mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk
mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat
untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga
berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.

PENATALAKSANAAN STROKE NON HEMORAGIK
Stroke merupakan kondisi emergensi yang membutuhkan penanganan segera. Begitu
stroke menyerang, maka akan terjadi kerusakan mayor dalam 3 jam pertama. Oleh
karena itu, sebagian besar obat-obatan yang efektif tidak bisa bermanfaat bahkan tidak
diberikan sama sekali setelah 3 jam.
Dalam kondisi normal, aliran darah otak orang dewasa adalah 50-60 ml/100gram
otak/menit. Pada otak yang mengalami iskemik, terdapat area infark yang terdiri
dari ischemic core (inti iskemik) dan penumbra atau area yang mengelilingi ischemic
core. Pada area ischemic core, aliran darah amat rendah (0-20 ml/100g/menit).
Sedangkan di daerah sekelilingnya, atau penumbra, aliran darah berkurang di bawah
normal (20-50 ml/100 g/menit). Konsep tentang area penumbra merupakan dasar dalam
penatalaksanaan stroke iskemik. Terdapat periode yang dikenal sebagai "window
therapy" (jendela terapi), yaitu 6 jam setelah awitan. Bila ditangani dengan baik dan

tepat, maka daerah penumbra akan dapat diselamatkan sehingga infark tidak bertambah
luas.
1. Penatalaksanaan Umum

a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten
memerlukan intubasi (memasukkan pipa jalan nafas buatan kedalam trachea melalui
mulut.). Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka
pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus
dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka target pCO 2 arteri adalah
32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena untuk mengurangi edema
serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau
pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi
yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non hemoragik adalah adanya
obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.
b. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik membutuhkan terapi intravena dan
pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia
jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat
menyebabkan terjadinya stroke.
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan
prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien
dengan normoglokemik tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung

glukosa dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan memicu
iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat
dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl.
Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien pulang untuk
mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.
d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal
jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan
pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala
ditinggikan sekitar 30-45 derajat.
e. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan
TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya
bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk
mempertahankan aliran darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan
tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin
memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa pemberian terapi anti hipertensi
diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang ekstrim (sistole lebih dari 220
mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau pasien direncanakan untuk
mendapatkan terapi trombolitik.
AHA/ASA merekomendasikan pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke
non hemoragik adalah sebagai berikut:


Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik


Tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah
diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan organ enddiastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi)
dan gejala stroke (terapi simptomatik) serta komplikasinya harus
ditangani.



Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik
antara 120-140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20

mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat
ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis
maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5
mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang
diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga
mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir (TD diastolik >
140) dapat diberikan nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe
pump. Target pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah
berkurang 10-15 persen.


Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik


TD sistolik lebih 185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka
dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah
selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak terjadi komplikasi
perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah
labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali).
Alternatif obat yang dapat digunakan adalah nicardipine infuse 5
mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.

Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus
diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam
berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah tekanan darah
berkurang 10-15 persen dari nilai awal.
Untuk mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat
diberikan.


TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat diberikan
labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-20 menit
hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8 mg/menit.



TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat diberikan
labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam hingga dosis
maksimal 15mg/jam.



Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat
menyebabk