Komunikasi Interpersonal oleh Anak Dewas

Komunikasi Interpersonal oleh Anak Dewasa dalam Menciptakan Kohesivitas
pada Keluarga Perceraian
Ratis Dhuril Rekso, S.I.Kom, Akh. Muwafik Saleh, S.Sos.,M.Si, dan Diyah Ayu Amalia A, SE., M.Si
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Penelitian ini tentang komunikasi interpersonal yang diciptakan anak kepada orang tuanya sebagai reaksi atas
persepsinya terhadap kondisi kohesivitas di keluarga perceraian. Permasalahan penelitian merujuk pada seberapa besar
pengaruh komunikasi interpersonal anak terhadap kohesivitas keluarga pasca perceraian. Oleh karena itu permasalahan
dalam penelitian ini adalah: bagaimana peran anak dewasa dalam menciptakan kohesivitas pada keluarga broken home
melalui komunikasi interpersonal.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Objek penelitian adalah lima orang anak dari keluarga
perceraian yang dipilih secara purposive. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga tahap. Sebelum melakukan penelitian,
peneliti melakukan preliminary research dengan melakukan teknik wawancara terbuka atau tidak terstruktur. Setelah data
umum terkumpulkan, peneliti melakukan wawancara semi terstruktur dengan dua tahap, yaitu mengumpulkan data profil
informan kemudian mereduksi data sebagai bahan wawancara semiterstruktur yang kedua untuk pengembangan data lebih
dalam. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan teknik miles dan huberman, yang meliputi data reduction, data
display, dan conclusion drawing atau verification.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal yang dilakukan anak sebagai reaksi atas
kondisi kohesivitas keluarganya mampu mempengaruhi kohesivitas itu sendiri dengan memberikan perubahan yang positif.
Kesimpulannya komunikasi interpersonal dan kohesivitas keluarga yang tercakup dalam komunikasi keluarga merupakan
suatu bentuk metakomunikasi, yaitu hubungan simbiosis antara komunikasi dengan perkembangan relasional. Komunikasi

mempengaruhi perkembangan relasional, dan pada gilirannya, perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi
antara pihak-pihak yang terlibat.
Kata kunci: Komunikasi interpersonal, kohesivitas keluarga, persepsi interpersonal, komunikasi keluarga, keluarga broken
home.

ABSTRACT
This research is about interpersonal communication which created by grown children to their parents as reaction
for cohesive condition caused by divorced parents. The research exposed how grown children interpersonal communication
affects family cohesiveness after divorce. So the main problem is how grown children role can create cohesiveness in
“broken home” family by interpersonal communication.
This research is using descriptive qualitative method. The object is five grown children from broken home family
which purposively chosen. Data collect including three steps. Before research, preliminary research by doing some open or
unstructured interview should be done. After general data collected, researcher doing semi-structured interview including
two steps, first collect source profile data, then reduce data as material for second semi-structural interview for deeper data
development. In data analysis, Miles and Huberman technique is used, including data reduction, data display, and
conclusion drawing or verification.
This research results shows that grown children interpersonal communication as reaction for the family
cohesiveness can affect that cohesiveness itself. The conclusion is, interpersonal communication and family cohesiveness
which covered in family communication is a form of meta-communication, which is symbiosis between communication and
relational development. Communication affects relational development, and in turns, relational development affects the

nature of communication among involved people.
Keywords: Interpersonal communication, family cohesiveness, interpersonal communication, family communication, broken
home family

1. PENDAHULUAN
Keluarga merupakan suatu sistem yang
menekankan hubungan-hubungan secara keseluruhan
daripada secara individual. Hubungan-hubungan dapat
terjadi sebagai bentuk komunikasi di dalam keluarga inti,
dimana di dalam sebuah keluarga terdapat ikatan darah
antara satu dengan yang lain pada keluarga inti tersebut,
seperti yang diungkapkan Galvin dan Brommel dalam
Stewart dan Sylvia (2001:215) yang mengungkapkan
bahwa keluarga adalah jaringan orang-orang yang
berbagai kehidupan dalam jangka waktu lama, yang
terikat oleh perkawinan, darah, atau komitmen, legal atau
tidak, yang menganggap diri mereka sebagai keluarga,
dan yang berbagi pengharapan-pengharapan masa depan
mengenai hubungan yang berkaitan. Pemahaman tersebut
dilihat lebih pada keseluruhan daripada sebagai jumlah

anggota perseorangan.
Di dalam keluarga terdapat suatu bentuk sistem
dimana para anggota keluarga saling berhubungan satu
sama lain dan bersifat saling mempengaruhi satu sama
lainnya dalam jangka waktu yang lama. Namun,
seringkali terdapat keluarga yang di dalam
perkembangannya menemui banyak permasalahan dalam
menjaga hubungan di antara para anggotanya. Baik
antara suami istri, orang tua ke anak, antar anak, hingga
antara keluarga inti dengan keluarga besar. Dalam
penelitian ini, fokus akan diletakkan pada kondisi
keluarga yang mengalami perceraian hidup. Perceraian
merupakan salah satu bentuk permasalahan hubungan
individu di dalam keluarga, khususnya antara suami dan
istri.
Menurut Erna Perceraian adalah cerai hidup
antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan
mereka menjalankan obligasi peran masing-masing.
Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu
ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri

kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh
hukum yang berlaku
(http://belajarpsikologi.com/pengertianperceraian/,2/4/13; 08:04 PM).
Perceraian menjadi awal terjadinya perubahan-perubahan
terhadap sistem di keluarga serta fungsi dan peran
masing-masing anggotanya. Beberapa di antaranya
adalah terciptanya peran ganda bagi orang tua yang
menerima hak asuh anak, perubahan psikis pada masingmasing anggota keluarga saat mengikuti dinamika
perubahan yang ada sebagai tindakan adaptasi, dampak
sosial ekonomi, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan,
perceraian telah menyangkut, dipengaruhi dan
mempengaruhi banyak aspek sosial.
Pasca perceraian, anak akan memiliki dua
“kubu” keluarga orientasi yaitu orientasi keluarga ibu

dan orientasi keluarga Ayah. Constance Ahrons dalam
Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (2004:158)
mengemukakan bahwa Ikatan yang terjadi antara anak
dengan ayah-ibunya yang tidak serumah lagi membentuk
suatu sistem keluarga yang disebut “a binuclear family

system”. Sistem keluarga ini terdiri dari dua keluarga
batih yang merupakan keluarga orientasi dari si anak dan
tetap berhubungan satu sama lain. Keluarga yang akan
menjadi orientasi sang anak bergantung pada
kesepakatan yang dibentuk oleh para orang tua mereka
yang bercerai. Ada yang menentukan keluarga Ibu
menjadi orientasi utama dan sebaliknya, atau sama-sama
memiliki orientasi yang sama.
Merujuk pada masalah sistem dan orientasi keluarga
pasca perceraian yang telah disinggung di atas, akan
muncul suatu pertanyaan mengenai bagaimana tingkat
dimensi hubungan yang disebut dengan kohesivitas di
antara mereka. Hal ini dikarenakan, di antara banyak
variabel yang digunakan para ahli teori untuk
menjelaskan keluarga, dua variabel yang penting adalah
kohesi dan adaptasi. Stewart dan Sylvia (2001:217)
menjelaskan bahwa “Kohesivitas merujuk pada seberapa
dekat keterikatan anggota-anggota keluarga”. Hal ini
sangatlah menarik, karena di dalam keluarga yang tidak
mengalami perceraian sekalipun, masih sering ditemukan

keluarga yang mengalami krisis hubungan yang ditandai
dengan menurunnya tingkat kohesivitas di dalamnya.
Misalnya adalah adanya permasalahan keluarga yang
diakibatkan kurangnya perhatian orang tua terhadap
anaknya karena kesibukan bekerja, sehingga antara orang
tua dan anak memiliki “jarak” walaupun tinggal dalam
satu atap.

2. Metode Pengumpulan Data
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah
kualitatif deskriptif. Bogdan dan Taylor (Zuriah,2006:92)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. Sedangkan menurut Sumanto
(1990:47), pendekatan deskriptif kualitatif adalah
penelitian
yang
berusaha
mendeskripsi

dan
menginterpretasi kondisi atau hubungan yang ada,
pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang
berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau
kecenderungan yang tengah berkembang.
Fokus penelitian memuat rincian pernyataan tentang
cakupan atau topik-topik pokok yang akan
diungkap/digali dalam penelitian ini. Fokus penelitian
sangat
membantu
penelitian
kualitatif membuat
keputusan untuk membuang atau menyimpan informasi
yang diperolehnya. Moleong (2006:94) menyebutkan
bahwa melalui fokus penelitian dapat diketahui secara

Sebelum
Perceraian

Pasca Perceraian

Orang tua serumah

1.

May

Orang tua tidak serumah

Indulgent

Ibu

Neglectful

Ayah

Neglectful

Indulgent


Ibu

Authoritarian+Authori
tative

Ayah

Authoritative

Indulgent+Auth
oritative

Ibu

Authoritative+Neglect
ful

Ayah

Authoritarian+Neglec

tful

Authoritative

Aya
h

Authoritative

Ibu

Authoritative

Authoritarian

Ibu

Authoritarian

Ayah


Neglectful

a
2.

Ima

3.

Sand
a

4.

Nand
a

5.

Eva

pasti data mana dan data mengenai apa yang perlu
dikumpulkan serta data mana pula yang walaupun
menarik karena tidak relevan, tidak perlu dimasukkan ke
dalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan.
Fokus dari penelitian iniantara lain:
1. Komunikasi dan kohesivitas pada keluarga
pasca perceraian.
2. Bentuk dan dampak komunikasi interpersonal
oleh anak dewasa terhadap kohesivitas keluarga.
Ada metode pengumpulan data yang bisa
dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data-data
sebagai berikut:
1. Wawancara terbuka
Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih
dahulu melakukan preliminary research. Preliminary
research atau penelitian pendahuluan adalah aktivitas
atau kegiatan persiapan yang dilakukan oleh seorang
peneliti, dengan tujuan untuk menentukan objek dan
subjek penelitian yang tepat, yang sesuai dengan tema
penelitian yang menjadi fokus kajian peneliti.
Penelitian pendahuluan dilakukan dengan cara
wawancara terbuka atau tidak terstruktur.
Wawancara terbuka atau tidak berstrukur yang dilakukan
oleh peneliti adalah dengan metode sederhana yaitu
dengan bertanya langsung pada informan. Tujuan adalah
untuk mendapatkan gambaran umum dan pendapat awal
mengenai perceraian, dampak perceraian terhadap fungsi
keluarga, dan kohesivitas keluarga pasca perceraian.
Hasil dari penelitian pendahuluan tersebut akan dijadikan
sebagai latar belakang dan ringkasan hasil datanya akan
tersajikan.
Teknik pemilihan informan dipilih secara purposive
sampel.Menurut Sugiyono (2009:54) purposive sampel
merupakan teknik pengambilan sampel sumber data
dengan pertimbangan tertentu.Informan akan dipilih
sesuai dengan keperluan penelitian karena yang digali
merupakan kedalaman informasi bukan kuantitas
informan. Menurut Bunguin (2008:76) subyek penelitian

atau yang disebut juga informan penelitian adalah subyek
yang memahami informasi obyek penelitian sebagai
pelaku maupun orang lain yang memahami obyek
penelitian.
Berikut ini adalah beberapa kriteria yang ditetapkan oleh
peneliti dalam menentukan informan, antara lain:
1. Anak dewasa dari keluarga perceraian. Masa
dewasa yang dipilih oleh peneliti adalah masa
dewasa awal yaitu awal umur 20 tahun hingga 30
tahun.
2. Tinggal atau dibesarkan oleh orang tua kandung.
3. Bersedia untuk sepenuhnya terbuka karena data
yang diingin peneliti merupakan informasi
kehidupan pribadi informan.
4. Memiliki orang-orang dekat yang bisa dijadikan
informan tambahan untuk menunjang akuratisasi
jawaban
informan
utama
serta
validitas
hasil penelitian.
Pada penelitian ini, dikarenakan tempat tinggal atau
domisili para informan tersebar di beberapa kota yang
berbeda dan jauh, maka penelitian dilakukan dengan
menggunaan media internet seperti skype, email, dan
voice mail. Serta media komunikasi seperti telepon.
Sedangkan untuk informan yang berdomisili di Malang,
dilakukan wawancara langsung. Karena informan di
Malang lebih mudah untuk dilakukan penelitian, maka
pelaksanaannya didahulukan dan hasil dari wawancara
dijadikan sebagai acuan dalam triangulasi jawaban pada
keseluruhan informan

Hasil dan Pembahasan
3.1. Komunikasi Keluarga
Di dalam kasus-kasus perceraian, anak sering kali
menjadi korban. Tetapi yang paling menjadi sorotan
adalah perubahan pola asuh yang diterapkan terhadap
anaknya. Perubahan pola asuh yang dilakukan oleh dua
kubu (ayah dan ibu) dapat terjadi melalui hasil penelitian
terhadap empat informan yang mengalami perubahan
dalam berkomunikasi dari lima informan.
Keterangan:
 Authoritarian (otoriter / over protective)
 Authorative (otoritatf / mengasuh dan mendukung)
 Neglectful (mengabaikan / kurang mengatur)
 Indulgent (Memanjakan)
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa
hanya informan Nanda yang mengalami pola asuh tetap
atau tidak mengalami perubahan sebelum atau sesudah
perceraian terjadi. Hal tersebut dikarenakan sikap orang
tua yang kooperatif dalam mengasuh anak. Pola asuh
yang berkembang juga bukan hanya atas dasar keinginan
orang tua, tapi juga berdasarkan keinginan Nanda.

Terbukanya kesempatan untuk berdiskusi dan
berpendapat membuat fungsi-fungsi keluarga berjalan
sepenuhnya tanpa kurang. Hal-hal yang dipertanyakan
oleh Nanda selalu dijawab oleh orang tuanya dengan
jujur tanpa saling menjatuhkan.
Berbeda dengan Nanda, empat informan lainnya
mengalami perubahan yang tidak lebih baik. Dari
berbagai hasil wawancara yang didapat, peneliti
menyimpulkan beberapa sebab mengapa hal tersebut bisa
terjadi, yaitu antara lain:
 Penyebab perceraian yang mengakibatkan sakit hati
pada salah satu atau kedua belah pihak orang tua,
sehingga mempengaruhi hubungan emosional dan
kerja sama keduanya dalam pengasuhan, sehingga
berpengaruh pada cara berinteraksi dengan anaknya.
 Ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan
peran masing-masing orang tua pasca perceraian.
 Beban fungsi ganda bagi single parents, seperti harus
bekerja dan mengurus rumah tangga.
 Adanya jarak bagi orang tua yang tidak serumah
dengan anaknya. Sehingga waktu untuk bersama
sangatlah sedikit.
 Adanya keluarga baru dari orang tua yang menikah
lagi, sehingga terdapat pihak ketiga yang belum
tentu memiliki pola asuh yang sama dengan orang
tua informan.
Pola asuh perlu untuk dibahas karena bagaimana
cara orang tua membimbing anaknya berhubungan erat
dengan bagaimana cara mereka mengkomunikasikan
banyak hal dalam menjalankan fungsi keluarga. Hal ini
juga berkaitan tentang bagaimana pola yang membentuk
suatu sistem, apakah terbuka atau tertutup, dan sistem
tersebut akan melahirkan suatu budaya komunikasi di
dalamnya. Bentuk sistem akan mempengaruhi
bagaimana orang-orang di dalamnya dalam menghadapi
situasi-situasi di dalam keluarga.

3.2. Kohesivitas
Berbicara mengenai komunikasi yang membentuk
dan terbentuk karena pola asuh, dan dampaknya pada
terciptanya konflik-konflik yang ada, akan membawa
pada ranah bagaimana tingkat keterikatan atau
kohesivitas antara anggota-anggota keluarga. Keberadaan
dua kubu orang tua telah menjadi indicator adanya
ketidakmaksimalan, contoh sederhananya adalah pada
masalah kontak fisik. Kohesivitas bertalian erat terhadap
pemenuhan kebutuhan emosional para anggota keluarga.
Pola asuh, kinerja fungsi keluarga, dan komunikasi
keluarga di dalamnya, berpengaruh pada bagaimana
kinerja manajemen kebutuhan emosional para
anggotanya.
Sebelum perceraian terjadi, rata-rata kohesivitas
yang dimiliki oleh keluarga informan memiliki nilai

negatif yang dominan terletak pada indikator coalition
(kerja sama), space (privasi), dan decision making
(pembuatan keputusan). Tiga hal tersebut berhubungan
mengenai seberapa besar orang tua melibatkan anak
dalam menyelesaikan masalah (coalition dan decision
making).
Peneliti melihat hal ini masih dalam suatu batas
kewajaran atau normal. Hal ini didasarkan pada umur
para informan saat itu yang rata-rata adalah di bawah 12
tahun. Artinya, memang sudah seharusnya orang tua
menciptakan batasan keterbukaan mengenai hal-hal
tertentu dan tidak terlalu melibatkan anak dalam seluruh
permasalahan keluarga karena anak saat itu belum
dewasa dan belum memiliki kematangan berfikir
rasional.
Saat perceraian terjadi, kedudukan orang tua kini
sudah tidak dalam satu kesatuan dan menjadi dua kubu.
Untuk mengetahui hal apa saja yang berubah mengenai
kondisi kohesivitas keluarga informan pasca perceraian,
perlu adanya melihatnya dari dua sisi yaitu kohesivitas
anak dengan orang tua serumah dan dengan yang tidak
serumah. Berikut ini merupakan hasil penelitian dari dua
sisi tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

NAMA INFORMAN
KOHESIVI
TAS

MAYA

1. Emotional Bonding

IMA

SANDA

NANDA

EVA

ADA (+)

ADA (+)

ADA (+)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

2.

Boundaries

Tidak ada batasan. Terbuka (+)

Ada batasan, Tertutup (-)

Tidak ada batasan, terbuka (+)

Ada batasan, terbuka (+)

Ada batasan, tertutup (-)

3.

Coalitions

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

4.

Time

ADA (+)

ADA (+)

ADA (+)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

5.

Space

ADA (-)

ADA (-)

ADA (-)

TIDAK ADA (+)

ADA (-)

6.

Friends

ADA (+)

ADA (+)

ADA (+)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

7.

Decision Making

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

8.

Interest and
Recreation

ADA (+)

ADA (+)

ADA (+)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

Kohesivitas
Tinggi

3.3.

Kohesivitas
Normal

Dengan orang tua serumah
Hasil yang didapat mengenai hubungan informan
dengan orang tuanya yang serumah adalah bahwa
walaupun mereka tinggal dan tumbuh dalam satu atap
tidaklah menjamin kesehatan komunikasi dan kohesivtas
di antara mereka. bentuk-bentuk permasalahan kedekatan
hubungan atau kohesivitas antara anak dan orang tua
serumahnya, yaitu antara lain:
a. Emotional bonding
Cenderung saling tidak bergantung satu sama lain.
Masing-masing pihak lebih independent dalam
menangani masalah.
b. Boundaries
Tidak memiliki batasan aturan, namun komunikasi
antara anak dan orang tua serumah cenderung
tertutup. Tidak adanya batasan terjadi karena
minimnya interaksi di antara mereka.
c. Coalition
Permasalahan yang justru datangnya dari hubungan
mereka, menandakan lemahnya koalisi dalam
menyelesaikan
masalah.
Cenderung
saling
menyalahkan dan tanpa ada penyelesaian masalah
karena cenderung menghindari diskusi.
d. Space

Kohesivitas
Tinggi

Kohesivitas
Tinggi

8 (-)

0 (+)

1 (-)

7 (+)

3 (-)

5 (+)

4 (-)

4 (+)

3 (-)

5 (+)

HASIL

Tidak Ada
Kohesivitas

Karakter komunikasi yang tertutup cenderung
menciptakan sebuah privasi yang kuat pada masingmasing pihak. Mereka cenderung kurang saling
mengetahui dan ingin tahu satu sama lain.
e. Friends
Pengetahuan orang tua pada lingkungan luar rumah
yang dimiliki anak sangatlah kurang. Hal ini
mendorong anak untuk lebih bebas dalam melakukan
banyak hal diluar kendali orang tua. Namun saat anak
mendapat masalah di luar rumah, orang tua akan
agresif dalam menyalahkan. Di sisi lain, anak juga
kurang mengetahui banyak tentang lingkuan luar
rumah yang dimiliki oleh orang tua serumah mereka.
Hal ini yang pada akhirnya menimbulkan persepsi
yang belum tentu benar, menimbulkan kecurigaan,
dan berujung pada protes yang berakhir dengan
konflik perbedaan pendapat.
f. Decision making
Orang tua jarang dan hampir tidak pernah mengajak
anak untuk berdiskusi dan menentukan suatu
keputusan untuk kepentingan bersama. Anak
memiliki sedikit dan hampir tidak memiliki
kebebasan berpendapat. Hal ini cenderung membuat
masing-masing pihak lebih sering berbuat dengan
kehendak sendiri, atas keputusan sendiri tanpa ada
pertimbangan bersama terlebih dahulu. Keadaan
seperti ini juga yang sering menimbulkan konflik di
antara mereka.

sebenarnya menghendaki anak membuat keputusannya
sendiri, namun justru ini menjadi sebab keterikatan orang
tua dan anak menjadi jauh. Kebebasan berkeputusan,
tidak diimbangi dengan kebebasan berpendapat dan
diskusi. Artinya, saat anak salah dalam memilih
keputusan, orang tua cenderung menyalahkan dan terjadi
perdebatan. Pola ini juga mengakibatkan anak cenderung
tidak mau untuk diatur orang tua. Mereka kurang
menghargai orang. Memiliki sikap tidak membutuhkan
orang tua karena merasa bisa menciptakan keputusan
sendiri. Dari sinilah, jarak atau kerenggangan hubungan
antara anak dengan orang tua serumahnya. Hal di atas
dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

g. Interest and recreation
Kurangnya waktu bersama, membuat mereka jarang
dan hampir tidak pernah melakukan aktivitas
bersama.
Kohesivitas antara anak dan orang tua serumahnya
cenderung rendah dikarenakan oleh banyak hal,
antara lain:
Fakor psikis
a. Perubahan peran orang tua menjadi seorang single
parent. Sehingga konsentrasi terbagi antara tanggung
jawab rumah tangga, pekerjaan, dan lain sebagainya.
b. Kurangnya waktu bersama-sama karena orang tua
sibuk bekerja.
c. Kebutuhan psikologis anak digantikan dengan materi
atau uang.
d. Tidak terpenuhinya kebutuhan emosional anak
e. Sistem komunikasi yang cenderung tertutup sehingga
mempengaruhi persepsi, sikap, dan tindakan masingmasing pihak.
Jika dihubungkan dengan pola asuh, hasil menunjukkan
bahwa pola asuh authoritarian dan neglectful cenderung
mengakibatkan kohesivitas yang rendah. Hal ini
dikarenakan kesamaan karakteristik dari kedua pola asuh
tersebut adalah orang tua kurang menghendaki diskusi
bersama dengan anaknya. Pada pola asuh otoriter segala
keputusan ada di tangan orang tua, tidak ada diskusi,
artinya pola ini cenderung tidak memiliki interaksi
komunikasi timbal balik.
Sedangkan neglectful atau mengabaikan / kurang
mengatur, orang tua juga jarang mengehendaki adanya
diskusi dengan anaknya. Pada dasarnya, pola ini

NAMA INFORMAN

KOHESIVITAS

MAYA

IMA

1. Emotional Bonding

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

2.

Boundaries

Tidak ada batasan. Tertutup (-)

3.

Coalitions

4.

NANDA

EVA

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

Ada batasan, Tertutup (-)

Ada batasan, Tertutup (-)

Ada batasan, terbuka (+)

Ada batasan, tertutup (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

ADA (+)

Time

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

5.

Space*

ADA (-)

ADA (-)

ADA (-)

TIDAK ADA (+)

ADA (-)

6.

Friends

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

7.

Decision Making

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

8.

Interest and
Recreation

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

HASIL

0 (+)

8 (-)

Tidak Ada
Kohesivitas

3 (+)

SANDA

5 (-)

Kohesivit
as Rendah

0 (+)

8 (-)

Tidak Ada
Kohesivitas

8 (+)

0 (-)

Kohesivi
tas
Sangat
Tinggi

1 (+)

7
()

Kohesivitas
Rendah

bisnis. Sanda menikmati hal tersebut sebagai kedekatan,
karena Ia sangat menyukai dunia bisnis, walaupun waktu
yang ia terima sangat singkat, hanya setengah hari dan
jarang sekali terdapat diskusi lebih intensif dengan
Ayahnya.

3.4.

Dengan orang tua tidak serumah
Kohesivitas anak dengan orang tua tidak serumah
tidak jauh berbeda dengan orang tua serumah. Namun
yang menarik adalah dari hasil penelitian menunjukkan
walaupun sama-sama memiliki tingkat kohesivitas yang
rendah, namun tingkat kerendahannya tidak serendah
dengan orang tua serumah. Hasil penelitian mengenai
kohesivitas anak dengan orang tua tidak serumah dapat
dilihat pada tabel 5.5.
Dari hasil yang tertera di tabel dapat dilihat bahwa
kondisi tersebut memang tidak baik, namun tidak lebih
buruk dengan hasil kohesivitas anak dengan orang tua
yang serumah. Pada Maya dan Sanda, terdapat satu
tambahan nilai positif pada indikator, yaitu interest and
recreation, dan ini tidak terdapat pada kohesivitas
dengan orang tua serumah. Interest and recreatioan
adalah indikator yang menunjukkan adanya aktivitas
yang dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga
dan pada kepentingan yang sama.
Hal ini cukup menarik, karena justru dengan orang
yang serumah mereka tidak bisa melakukannya.
Terlaksananya hal tersebut dikarenakan pertemuan
mereka yang jarang sekali terjadi. Adanya permasalahan
jarak membuat mereka berusaha untuk menciptakan
suatu momen pertemuan yang baik. Maya mempunyai
kesamaan dengan Ayahnya, yaitu travelling, wisata
kuliner, dan minat bisnis. Saat bertemu ayahnya, hal-hal
tersebutlah menjadi acuan dalam merencanakan
pertemuan.
Begitu juga Sanda, Ia mempunyai interest yang
sama di dunia bisnis seperti Ayahnya. Biasanya, Sanda
ikut dengan Ayahnya dalam melakukan perjalanan

NAMA INFORMAN

KOHESIVITAS

MAYA

IMA

SANDA

NANDA

EVA

1. Emotional Bonding

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

2.

Boundaries

Tidak ada batasan. Tertutup (-)

Ada batasan, Tertutup (-)

Ada batasan, Tertutup (-)

Ada batasan, terbuka (+)

Ada batasan, tertutup (-)

3.

Coalitions

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

ADA (+)

4.

Time

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (+)

5.

Space*

ADA (-)

ADA (-)

ADA (-)

TIDAK ADA (+)

ADA (-)

6.

Friends

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

7.

Decision Making

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

8.

Interest and Recreation

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

ADA (+)

ADA (+)

TIDAK ADA (-)

HASIL

1 (+)

Kohesivitas Rendah

7 (-)

2 (+)

6 (-)

Kohesivitas Rendah

1 (+)

7 (-)

Kohesivitas Rendah

8 (+)

0 (-)

Kohesivitas Sangat Tinggi

2 (+)

6 (-)

Kohesivitas Rendah

Keterangan:

infor

: Kohesivitas negatif yang mendominasi seluruh
man
: Kohesivitas sangat tinggi (Seluruh indikator po
sitif)
: Kohesivitas rendah (Indikator negatif lebih
banyak)

Kembali pada hasil keseluruhan, pada tabel dapat
dilihat bentuk-bentuk permasalahan kedekatan hubungan
atau kohesivitas antara anak dan orang tua tidak
serumahnya, antara lain:
a. Emotional Bonding
Sejak perceraian anak tumbuh dan berkembang tanpa
ada sosok salah satu orang tuanya yang tidak
mengasuhnya. Banyak hal yang terlewati tanpa
adanya kebersamaan mereka. Hal tersebutlah
membuat masing-masing pihak kurang bisa
menumbuhkan keterikatan secara emosional.
b. Boundaries
Rata-rata, pola komunikasi di antara mereka adalah
tertutup. Orang tua tidak serumah rata-rata
memberikan batasan-batasan dalam berinteraksi. Hal
inilah yang membuat kedekatan di antara mereka sulit
berkembang. Di sisi lain, kurangnya intensitas
mereka dalam bertatap muka membuat ada sikap
canggung dan kaku di antara mereka.
c. Coalitions
Orang tua tidak serumah cenderung tidak mengajak
anak dalam memecahkan masalah. Terkadang juga
sering adanya sikap yang saling menyalahkan dan
menyangkutpautkan pihak lain jika terdapat masalah.
d. Time
Tempat tinggal yang berbeda, dan terdapat jarak
yang jauh, membuat mereka tidak memiliki quality
time yang baik.
e. Space
Komunikasi yang tertutup dan jarangnya memiliki
ruang bersama, menciptakan suatu ruang-ruang
privasi yang sulit untuk diketahui masing-masing
pihak.
f. Friends
Tidak tinggal dan tumbuh bersama membuat
mereka tidak saling mengetahui orang-orang terdekat
masing-masing pihak di luar rumah. Di sisi lain, saat
bertemu mereka cenderung untuk meniadakan adanya
orang lain untuk ikut bersama sebagai usaha untuk
tercipta kebersamaan.
g. Decision Making
Jika tidak terdapat coalitions pada suatu hubungan,
dapat dipastikan bahwa juga tidak akan terdapat
decision making. Karena pengambilan keputusan

bersama bisa terlaksana apabila terdapat kerja sama di
dalam penyelesaian masalah.
Dari hasil wawancara dengan seluruh informan,
dapat disimpulkan
bahwa kohesivitas antara anak
dengan orang tua tidak serumahnya sangatlah rendah.
Beberapa hal yang mempengaruhi keadaan tersebut
antara lain:
a. Kurangnya kesadaran orang tua tentang pentingnya
menjaga fungsinya sebagai orang tua.
b. Kurang atau tidak adanya hubungan baik atau kerja
sama pengasuhan dengan orang tua yang mengasuh
anak.
c. Kurangnya kesempatan untuk berdiskusi secara saling
terbuka dan minimnya intensitas bertemu, sehingga
timbul perasaan curiga, canggung, dan sebagainya.
Jarak tempat tinggal yang jauh dan atau tidak
serumah lagi, sehingga sulit mengetahui hal-hal apa
yang terjadi pada keseharian masing-masing pihak.
Sehingga rasa saling memahami sulit ditumbuhkan.
d. Adanya pihak ketiga, yaitu keluarga baru dari orang
tua yang menikah lagi yang tidak kooperatif dalam
mendukung peran orang tua.
e. Kesibukan dalam bekerja
Dari sebeb-sebab tersebut di atas, telah memberikan
dampak pada pola asuh antara anak dengan orang tua
tidak serumahnya menjadi cenderung authoritative /
otoriter dan neglectful. Dapat diartikan bahwa orang
tua cenderung mengatur anak dengan keras namun
tidak diimbangi dengan bentuk perhatian yang baik
dan cenderung mengabaikan sehingga anak
cenderung sulit untuk mengikuti keinginan orang tua.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi berupa pola
asuh antara anak dan orang tua tidak serumahnya
terdapat
ketidaktepatan
dan
mempengaruhi
kohesivitas di antara mereka sehingga mengalami
tingkat indikator negatif yang tinggi.
Di sisi lain, pada hubungan anak dan orang tua tidak
serumahnya memiliki indikator positif pada interest and
recreation. Hal ini dapat memberikan sedikit celah untuk
bisa memperbaiki kedekatan di antara mereka.
“Saat aku dan Papa bertemu, biasanya
ya lebih pada kegiatan yang
menyenangkan. Jalan-jalan atau
belanja. Ya,walaupun sebentar dan
jarang, tapi lumayan untuk menjaga
hubungan kami yang sangat jauh”
(Ima)
Pada saat indikator ini bekerja, mereka bisa
melakukan suatu komunikasi yang sedikit terbuka.
Namun saat mereka tidak melakukan kegiatan bersama,
hubungan mereka cenderung kembali jauh dan sering
menimbulkan sikap curiga, kaku dan tertutup. Inilah
yang mendoronga kohesivitas menjadi rendah. Sehingga

permasalahan utamanya adalah, bagaimana komunikasi
yang tepat saat mereka tidak saling bertemu. Hal ini
dikarenakan untuk melaksanakan kegiatan bersama
dengan intensitas yang cukup sangatlah sulit.
Dari kelima informan yang diteliti, terdapat satu
informan yang justru mengalami perbaikan kohesivitas
dengan orang tuanya pasca perceraian, yaitu Nanda. Pada
keluarga Nanda, tingkat kohesivitasnya sangatlah
sempurna. Dari hasil wawancara dengan Nanda, peneliti
menarik beberapa sebab mengapa keadaan positif
tersebut bisa diciptakan, yaitu antara lain:
a. Orang tua berusaha menciptakan sistem
komunikasi yang terbuka
b.
Anak dilibatkan dalam menciptakan
keputusan sehingga merasa dihargai.
c.Anak diberikan kebebasan berpendapat
d.
Orang tua tetap memenuhi kebutuhan fisik
dan kebutuhan emosional dengan cukup.
e.Orang tua meluangkan waktu untuk anak agar
terjaga fungsinya sebagai orang tua.

4.1. Kesimpulan
Perceraian yang mengakibatkan terdapatnya dua kubu
dalam keluarga, yaitu orang tua yang berpisah,
berpengaruh besar terhadap perubahan pola asuh. Hal ini
dikarenakan salah satu orang tua tidak tinggal dengan
anak. Di sisi lain terdapat dampak psikologis yang
diterima orang tua karena tekanan situasi, serta
perubahan peran orang tua pasca perceraian, membuat
orang tua memiliki pola asuh yang berbeda dengan saat
sebelum perceraian terjadi. Apabila terdapat pola asuh
pasca perceraian cenderung tidak koopertaif di antara
kedua orang tua, akan menimbulkan berubahnya sistem
dan pola komunikasi, yaitu merujuk tentang bagaimana
aliran informasi bekerja. Ketidakkooperatifan dalam
mengasuh anak ini bisa mengakibatkan adanya
ketidakmaksimalan dalam pelaksanaan fungsi keluarga.
Fungsi keluarga yang berubah pasca perceraian yang
diakibatkan oleh perubahan pola asuh, akan berdampak
pada perubahan kohesivitas di keluarga tersebut.
Kohesivitas keluarga merupakan keterikatan antara
anggota keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang cenderung mengarah pada aspek psikologis, yaitu
pemenuhan kebutuhan emosional. Anak yang berada di
dalam dua kubu orang tua yang telah bercerai dihadapkan
pada dua situasi kohesivitas, yaitu dengan orang tua
serumah dan dengan orang tua yang tidak serumah.
Saat anak mulai memasuki masa dewasa, anak
cenderung mulai memiliki kemampuan berpersepsi
realistis. Dalam melihat situasi keluarga yang mereka
alami, akan berbeda saat mereka masih anak-anak atau
remaja. Pada penelitian ini terlihat bahwa anak mulai

bergerak melakukan perubahan reaksi atas keadaan
kohesivitas keluarganya. Perubahan reaksi dipengaruhi
oleh persepsi dan faktor situasional.
Jika dianalisis kembali, persepsi anak terhadap
orangtuanya tergantung pola asuh yang dilakukan orang
tua. Pola asuh orang tua cenderung mempengaruhi sifat
komunikasi yang tertanam di diri anak. Misalnya adalah
pada pola asuh yang cenderung otoriter menciptakan
budaya takut untuk berpendapat pada anak karena anak
menghindari perdebatan atau konflik. Bayangkan jika
orang tua adalah orang yang tertutup, begitu juga
anaknya, seberapa besar tingkat ketidakcermataan
persepsi dan kegagalan komunikasi di dalamnya.
Pada penelitian ini tergambarkan bahwa, apabila anak
dewasa mampu dengan cermat mempersepsikan orang
tua mereka, serta kondisi kohesivitas di dalamnya, reaksi
komunikasi interpersonal yang dipilih anak akan menuju
pada ketepatan pelaksanaan. Artinya, anak harus mampu
mencari sebab akibat segala permasalahan dengan
menghindari sikap subjektif. Anak dewasa harus mampu
mengendalikan proyeksinya terhadap orang tuanya.
Sehingga anak harus lebih mau untuk mencari dan
menerima peran barunya sebagai orang yang sudah
dewasa. Anak dewasa sudah mampu untuk menciptakan
kondisi yang Ia kehendaki.
Kegagalan komunikasi pasti akan selalu terjadi jika
persepsi yang diciptakan tidak mengalami evaluasi dalam
perkembangannya. Anak dewasa harus mampu peka
terhadap indikasi-indikasi kurang cermatnya Ia
berpersepsi dan pemilihan cara dalam berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang tuanya. Teknik dan bentuk
pendekatan anak dewasa terhadap orang tuanya melalui
komunikasi interpersonal jika mampu dilaksanakan
dengan seksama dan terus menerus, akan mampu
merubah pola asuh yang negative menjadi positif. Secara
tidak langsung, secara perlahan kohesivitas pada
beberapa aspek akan terbangun dengan sendirinya di
antara mereka dan berpengaruh kembali pada kesehatan
komunikasi keluarga.
Kesimpulannya adalah seorang anak dewasa
mampu menciptakan, memperbaiki, atau menjaga
kohesivitas di dalam keluarganya melalui komunikasi
interpersonal yang tepat dalam pelaksanaannya. Intinya,
kohesivitas komunikasi interpersonal dan kohesivitas
keluarga yang tercakup dalam komunikasi keluarga
merupakan suatu bentuk metakomunikasi, yaitu
hubungan simbiosis antara komunikasi dengan
perkembangan relasional. Komunikasi mempengaruhi
perkembangan relasional, dan pada gilirannya,
perkembangan
relasional
mempengaruhi
sifat
komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat.

Daftar Pustaka
Tubbs, Stewart L & Moss Sylvia. 2001. Human
Communication: Prinsip-prinsip Dasar. Bandung:
Rosda.
Nurul Zuriah, 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan
Pendidikan. Jakarta: BumiAksara.
Sumanto. 1990. Metodologi penelitian Sosial dan
Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. PT.
Remaja Rosdakarya:
Bandung.
Sugiyono, Prof. Dr. 2009. Memahami Penelitian
Kualitatif. Alfabet: Bandung
http://belajarpsikologi.com/pengertian-perceraian/
,2/4/13. 08:04 PM