CONTOH PROPOSAL EKSPERIMEN Pendidikan Pe

CONTOH PROPOSAL EKSPERIMEN (Pendidikan) Pengaruh
Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar
Matematika

CONTOH PROPOSAL EKSPERIMEN (Pendidikan)
Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi
Belajar Matematika

A.

JUDUL PENELITIAN
Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar
Matematika

B.

LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta seni dan budaya. Sementara itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini
tidak lepas dari peran pendidikan, dan pendidikan merupakan bagian hakiki dari kehidupan

masyarakat. Oleh karena itu, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masalah pendidikan seringkali menjadi topik
perbincangan yang menarik dan hangat, di kalangan masyarakat luas, dan lebih-lebih lagi
pakar pendidikan. Hal ini merupakan hal yang wajar karena semua orang berkepentingan dan
ikut terlibat dalam proses pendidikan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat
memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah melalui berbagai sumber dan
tempat di dunia ini. Dengan demikian, siswa perlu memiliki kemampuan memperoleh,
memilih dan mengolah informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah dan
penuh dengan persaingan. Kemampuan untuk memperoleh, memilih dan mengolah informasi
membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif dan kemauan bekerja sama yang
efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan dengan belajar matematika, karena
matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga
memungkinkan siswa terampil berpikir rasional (Depdiknas, 2005). Selain itu, Indonesia
sebagai negara berkembang sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang mampu

memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan
termasuk kesenian.
Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur dan
menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui

materi pengukuran dan geometri, serta aljabar dan trigonometri. Matematika juga berfungsi
mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa yang dapat
berupa model matematika, kalimat matematika, diagram, grafik atau tabel (Depdiknas, 2005).
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan
pada semua jenjang pendidikan, baik sekolah dasar, sekolah menengah mupun perguruan
tinggi. Cornelius mengatakan bahwa ada banyak alasan tentang perlunya siswa belajar
matematika, yaitu: 1) merupakan sarana berpikir yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan
masalah kehidupan sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi
pengalaman; 4) sarana mengembangkan kreativitas; dan 5) sarana untuk meningkatkan
kesadaran terhadap perkembangan budaya (dalam Abdurrahman, 1999).
Begitu pentingnya peranan matematika seperti yang diuraikan di atas, seharusnya
membuat matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang menyenangkan dan digemari
oleh siswa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mata pelajaran matematika
masih merupakan pelajaran yang dianggap sulit, membosankan dan sering menimbulkan
masalah dalam belajar. Kondisi ini mengakibatkan mata pelajaran matematika tidak
disenangi, tidak diperdulikan dan bahkan diabaikan. Hal ini tentunya menimbulkan
kesenjangan yang cukup besar antara apa yang diharapkan dari belajar matematika dengan
kenyataan yang terjadi di lapangan. Di satu sisi matematika mempunyai peranan penting
dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan daya nalar, berpikir logis, sistematis dan kreatif.
Di sisi lain banyak siswa yang tidak menyenangi mata pelajaran matematika.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka membangun pemahaman
siswa yang nantinya diharapkan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, khususnya
pendidikan matematika. Upaya-upaya yang dimaksud di antaranya penyempurnaan
kurikulum, pengadaan buku ajar atau bahan ajar atau buku referensi lainnya, melaksanakan
program academic staff deployment (ASD) yaitu menerjunkan dosen ke sekolah sebagai guru,
peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan lainnya baik melalui pelatihan, seminar dan
kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), serta peningkatan kualifikasi
pendidikan mereka. Namun demikian, semua usaha tersebut nampaknya belum membuahkan
hasil yang optimal. Berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan, terlebih lagi
pendidikan matematika yang secara otomatis menyentuh prestasi belajar matematika siswa

mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah sampai kepada perguruan tinggi masih belum
meningkat secara signifikan.
Upaya meningkatkan prestasi belajar matematika rupanya harus dilakukan dengan
kerja keras serta harus menghadapi berbagai hambatan, antara lain: 1) pelajaran matematika
masih menjadi mata pelajaran yang “menakutkan” bagi siswa, sehingga siswa atau
masyarakat umum beranggapan bahwa mata pelajaran matematika itu adalah mata pelajaran
yang hanya berkutat pada angka-angka saja; 2) sering terdengar nada-nada miring yang
tersebar di masyarakat terkait dengan diberikannya pelajaran matematika di sekolah, di mana
mereka beranggapan bahwa mata pelajaran matematika tidak ada manfaatnya bagi kehidupan

sehari-hari. Selain itu, seperti termuat pada harian Kompas edisi 28 Maret 2002 dapat
diperoleh gambaran sikap siswa terhadap mata pelajaran ini. Disebutkan bahwa mata
pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang tidak menarik bagi para siswa SD
sampai SMA serta bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Sikap antipati ini disebabkan karena
siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit dan hanya merupakan ilmu
murni yang kerjanya bergulat dengan angka-angka saja.
Salah satu patokan yang sering digunakan untuk menggambarkan kurang berhasilnya
pendidikan matematika di semua jenjang pendidikan adalah nilai hasil ujian akhir nasional
(NUAN), karena NUAN merupakan indikator yang mudah dilihat oleh masyarakat luas untuk
digunakan sebagai acuan tentang keberhasilan pendidikan, khususnya pendidikan
matematika. Kenyataan menunjukkan bahwa secara nasional rata-rata NUAN matematika
siswa SMP pada lima tahun terakhir ini berkisar antara 4,00 sampai 5,50 (Sumadi dkk,
2004). Sementara itu, khusus di SMP DHARMA LAKSANA, rata-rata NUAM untuk mata
pelajaran matematika masih sulit beranjak dari urutan terbawah dan bahkan diklasifikasikan
C. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1 Rata-rata NUAM Siswa SMP DHARMA LAKSANA Dua Tahun Terakhir
Tahun
Pelajaran
2003/2004

Kalsifikasi
2004/2005
Klasifikasi

PPKn
7,55
A
-

B. Indo
6,05
C
7,17
B

Mata Pelajaran
B. Ing
Mat.
6,04
5,70

C
C
6,16
5,62
B
C

IPA
6,49
C
-

IPS
6,19
C
-

(Sumber Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMP DHARMA LAKSANA)

Hasil observasi di SMP DHARMA LAKSANA menunjukkan bahwa dalam

pembelajaran matematika di kelas proses belajar-mengajar masih didominasi oleh guru, di
mana guru sebagai sumber utama pengetahuan. Hal ini dilakukan oleh guru karena guru
mengejar target kurikulum untuk menghabiskan materi pembelajaran atau bahan ajar dalam
kurun waktu tertentu. Guru juga lebih menekankan pada siswa untuk menghapal konsepkonsep, terutama rumus-rumus praktis, yang nantinya bisa digunakan oleh siswa dalam
menjawab soal ulangan harian, ulangan umum atau pun UAN tanpa melihat secara nyata
manfaat materi yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan
semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka,
abstrak dan sulit dipahami. Akibatnya siswa selalu memandang matematika sebagai pelajaran
yang “menakutkan” bahkan yang lebih ekstrim lagi siswa mengangap matematika itu sebagai
“musuh”. Semua itu pada akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang
diperoleh siswa dalam pelajaran matematika.
Dalam proses pembelajaran matematika selama ini, guru menerapkan strategi klasikal
dengan metode ceramah menjadi pilihan utama sebagai metode pembelajaran. Pola
pembelajaran atau urutan sajian materi dalam pembelajaran matematika yang biasa dilakukan
selama ini adalah (1) pembelajaran diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa
diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, (2) pemberian contoh soal dan (3)
diakhiri dengan latihan soal. Dalam latihan soal, siswa selalu diarahkan untuk menjawab
“benar” untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan
tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir
divergen (Ichrom, 1988). Pola pembelajaran konvensional seperti di atas dilakukan secara

monoton dari waktu ke waktu. Dalam pembelajaran ini konsep yang diterima siswa hampir
semuanya berasal dari “apa kata guru”. Konsekwensinya, bila siswa diberikan soal yang
berbeda dengan soal latihan, maka siswa cenderung membuat kesalahan. Pengetahuan yang
dimiliki siswa hanya bersifat prosedural yaitu siswa cenderung menghafal contoh-contoh
yang diberikan oleh guru tanpa terjadi pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur
kognitif siswa. Siswa akan menemui hambatan jika diberikan soal yang tidak bisa
diselesaikan dengan rumus secara langsung, tetapi melalui penerapan beberapa rumus atau
konsep. Boleh dibilang siswa memiliki “senjata canggih” tetapi tidak mengetahui cara
menggunakannya. Keadaan seperti ini membuat siswa mengalami kesulitan memahami
konsep matematika sehingga sangat mudah terjadi miskonsepsi yang nantinya akan
menyebabkan siswa mengalami kesulitan memahami konsep lebih lanjut.

Dominasi metode ceramah dalam pembelajaran matematika cenderung berorientasi
pada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks, serta jarang mengaitkan materi
yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada
saat guru menjelaskan materi, siswa cenderung diam serta mendengarkan apa yang dijelaskan
oleh guru, siswa tidak bisa berargumentasi jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan terkait
dengan materi yang ada di buku.
Sebagai salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan,
kegiatan belajar mengajar (KBM) perlu diubah atau direvisi agar mampu meningkatkan

prestasi belajar matematika siswa, apalagi pemerintah dalam hal ini Depdiknas merencanakan
menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada tahun ajaran 2004/2005 secara
nasional. Prambudi (2004) menyebutkan bahwa salah satu alasan diberlakukannya kurikulum
terbaru (kurikulum berbasis kompetensi) adalah karena rendahnya kualitas pembelajaran,
termasuk kualitas pembelajaran matematika. Dalam rangka menyongsong KBK, maka guru
perlu merancang suatu pembelajaran yang menunjang rencana tersebut. Guru harus mampu
mengupayakan membuat penyajian materi pelajaran matematika yang menarik dan
menyenangkan.
Landasan berpikir KBK adalah konstruktivis yang esensinya adalah siswa harus
menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan di benak mereka sendiri dan memberi
makna melalui pengalaman nyata. Pelajaran akan bermakna bila dikaitkan dengan konteks
kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang dapat mengaitkan
konten kurikulum yang dipelajari siswa dengan konteks kehidupan nyata. Dengan demikian
pembelajaran yang sesuai dengan nafas KBK adalah pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang berupaya mengaitkan
materi yang dipelajari dengan pengalaman siswa. Pembelajaran kontekstual tidak
mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa mengkontruksi
pengetahuan di benak siswa sendiri (Depdiknas, 2002). Dalam pembelajaran ini siswa
didorong membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran

kontekstual berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami,
bukan trasfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontekstual menekankan pada
tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif).
Penerapan pembelajaran kontekstual diduga dapat memberikan sumbangan alternatif
pemecahan masalah pembelajaran matematika, khususnya dalam meningkatkan prestasi
belajar matematika siswa. Di SMP, penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran

matematika dimungkinkan karena topik-topik matematika yang diajarkan di SMP umumnya
sebagian besar masih dapat dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut
Piaget walaupun siswa SMP sudah berada pada tahap operasional formal, namun perubahan
dari tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal tidak berlangsung secara
mendadak tetapi secara bertahap, sehingga siswa SMP yaitu pada usia 12-16 tahun proses
berpikirnya belum sepenuhnya bersifat abstrak, sehingga masih membutuhkan benda-benda
nyata dalam pembelajarannya (Depdiknas, 2005).
Gaya berpikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu
permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang
diberikan. Klasifikasi gaya berpikir siswa dibagi menjadi dua, yaitu gaya berpikir konvergen
dan gaya berpikir divergen. Gaya berpikir divergen adalah respon individu yang tunggal dan
konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan,
sedangkan gaya berpikir divergen adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang

merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau
informasi yang diberikan.
Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual memberikan kebebasan
kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya, perolehan informasi dan merespon
permasalahan yang diberikan. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang
menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif) (Depdiknas,
2005). Sedangkan pembelajaran matematika yang menggunakan pembelajaran konvensional
cenderung mengarahkan siswa untuk memberi respon yang tunggal terhadap permasalahan
yang diberikan. Siswa diharuskan menjawab “benar” untuk setiap jawaban benar,
kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mencoba menerapkan pembelajaran
kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan melaksanakan penelitian berjudul
“Pengaruh Pendekatan Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar
Matematika”.
C.

IDENTIFIKASI MASALAH
Berpijak pada latar belakang yang diuraikan di atas, maka terkait dengan prestasi
belajar matematika siswa dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut. 1)
bagaimana prestasi belajara matematika siswa SMP DHARMA LAKSANA?; 2) faktor-faktor
apakah yang mempengaruhi prestasi belajara matematika siswa?; 3) pendekatan
pembelajaran yang bagaimana dapat membantu meningkatkan prestasi belajar matematika?;

4) apakah pendekatan kontekstual mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa?;
5) manakah yang lebih baik dalam pembelajaran matematika apakah pendekatan kontekstual
atau pendekatan konvensional?; 6) bagaimanakah gaya berfikir siswa SMP DHARMA
LAKSANA?; 7) bagaimanakah prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya
berfikir konvergen?; 8) bagaimanakah prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya
berfikir divergen? 9) apakah pendekatan pembelajaran dalam matematika sebaiknya
mempertimbangkan gaya berfikir siswa?
D.

PEMBATASAN MASALAH
Idealnya semua masalah yang diidentifikasi harus dikaji agar diperoleh peningkatan
prestasi belajar matematika yang optimal. Mengingat kompleknya permasalahan seperti yang
telah diungkapkan pada identifikasi masalah di atas serta terbatasnya dana, waktu, alat, dan
kemampuan maka pengkajian pada penelitian ini hanya terbatas pada prestasi belajar
matematika, sebagai akibat dari pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam
pembelajaran matematika dan gaya berfikir yang dimiliki siswa.

E.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah tersebut di
atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.

1.

Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan
pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran
konvensional?

2. Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, apakah prestasi belajar matematika siswa
yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada prestasi belajar
matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional?
3.

Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, apakah prestasi belajar matematika
siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional lebih baik daripada prestasi
belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual?

4. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam
pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.
F.

TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian
terdahulu yang akan dicari solusinya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.

Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan
pendekatan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

2.

Pada siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, untuk mengetahui perbedaan prestasi
belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual
dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

3.

Pada siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, untuk mengetahui perbedaan prestasi
belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual
dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

4.

Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya
berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.

G.

MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi guru
Penelitian ini akan memberikan pengalaman yang bermanfaat dalam merancang
pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi pembelajaran. Dari pengalaman tersebut
diharapkan guru dapat mengembangkan model pembelajaran, LKS dan sumber belajar
sejenis pada pokok bahasan yang lain dan dapat mengimplementasikannya dalam kelas.
2. Bagi siswa
Penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara tidak langsung mereka terbantu
dalam diajar konsep-konsep matematika yang sangat memberi peluang bagi siswa untuk
meningkatkan prestasi belajar mereka secara optimal. Hal ini disebabkan karena
pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan
teman-temanya dan materi yang dipelajari dirancang terkait dengan kehidupan sehari-hari
sehingga siswa menjadi lebih tertarik belajar matematika.
3. Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi pembelajaran yang
mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari (konteks). Hasil penelitian ini akan
memberikan informasi yang rinci tentang keunggulan dan kelemahan pendekatan
pembelajaran kontekstual yang teruji secara eksperimen.
H.

KAJIAN TEORI

1.

Hakikat Pembelajaran Matematika

1.1

Pembelajaran Matematika

Beberapa definisi atau ungkapan pengertian matematika hanya dikemukakan terutama
berfokus pada tinjauan pembuat definisi itu. Misalnya ada ahli matematika yang sangat
tertarik dengan perilaku bilangan, ia akan melihat matematika itu dari sudut pandang
bilangan. Tokoh lain lebih mencurahkan pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari
sudut pandang struktur-struktur itu. Seperti kata Abraham S Lunchins dan Edith N Luchins
(dalam Suherman, 1993) apakah matematika itu, dapat dijawab secara berbeda-beda
tergantung pada kapan pertanyaan itu dijawab, di mana dijawab, dan siapa yang
menjawabnya. Jadi tidak terdapat suatu definisi tentang matematika yang tunggal dan
disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika.
Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh,
bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit dengan melakukan
proses abstraksi dari benda-benda nyata. Pada awalnya matematika terbentuk dari
pengalaman manusia dalam dunia nyata, kemudian pengalaman itu diolah dan diproses dalam
struktur kognitif sehingga sampai pada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika.
Agar konsep matematika yang terbentuk dapat dipahami orang lain, maka digunakan notasi
dan istilah yang cermat dan disepakati secara universal yang dikenal dengan bahasa
matematika. Oleh karena matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari maka dari itu
proses pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak matematika
dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah dipikirkan siswa.
De Lange (dalam Sugiarti, 2004) menyatakan bahwa mathematics is human being
artinya matematika sebagai pengetahuan merupakan aktivitas manusia. Hudoyo (2003)
mengatakan bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan strukturstruktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubunganhubungan antar konsep-konsep dan struktur-struktur matematika tersebut. Matematika tidak
menerima generalisasi berdasarkan pengamatan, tetapi menggunakan penalaran deduktif.
Untuk dapat memahami struktur-struktur dan hubungan-hubungan tersebut diperlukan
pemahaman tentang konsep-konsep yang terdapat dalam matematika itu sendiri. James dan
James (dalam Suherman, 1993) mengatakan bahwa belajar matematika adalah belajar tentang
logika mengenai bentuk, suasana, besaran, dan konsep-konsep berhubungan lainnya dengan
jumlah yang banyak yang terbagi menjadi tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.
Sementara itu, Johson dan Myklebust (dalam Abdurrahman, 2003) mengatakan bahwa belajar
matematika adalah belajar tentang bahasa simbolik yang fungsi praktisnya untuk
mengekpresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya
adalah untuk memudahkan berfikir.

Ausebel (dalam Winata Putra dan Suherman, 1993) menyatakan bahwa, dalam belajar
matematika siswa tidak hanya menerima dan menghafalkannya tetapi harus belajar secara
bermakna. Belajar bermakna adalah proses belajar yang menghubungkan informasi atau
pengetahuan baru dengan informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Dengan
demikian dalam suatu pembelajaran akan terjadi proses belajar yang bermakna bagi siswa,
apabila konsep yang dipelajari siswa disajikan dalam bentuk masalah yang kontekstual
(Depdiknas, 2005). Masalah kontekstual adalah masalah yang terkait dengan dunia nyata
siswa atau paling tidak mendekati kondisi dunia nyata. Lebih jauh Ausebel (dalam Winata
Putra dan Suherman, 1993) menyatakan bahwa belajar akan bermakna bagi siswa jika dalam
belajar materinya dihubungkan dengan hal-hal yang telah diketahui siswa, telah dialami siswa
dan kegunaanya di kemudian hari. Jadi dalam belajar bermakna konsep-konsep atau sifatsifat matematika tidak disajikan dalam bentuk jadi tetapi harus ditemukan sendiri oleh siswa
secara induktif, kemudian dibuktikan secara deduktif sehingga siswa betul-betul mengerti
akan konsep tersebut.
Membawa situasi-situasi dunia nyata ke dalam matematika sekolah adalah perlu
meskipun belum cukup, untuk menumbuhkembangkan sikap positif terhadap matematika,
yang diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk memahami dan menginterprestasi realitas dan
sebagai aktivitas berpikir yang menarik. Tujuan matematika yang seperti itu dapat dicapai
bila guru berhasil membawa siswa menggunakan matematika ke dalam situasi yang pernah
dialami siswa atau kehidupan sehari-hari.
Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah yang sejalan dengan konsep
belajar bermakna adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika
dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan, sehubungan dengan itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi
kehidupan praktis dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu agar
siswa mampu memahami bidang studi lain, berpikir logis, kritis (berpikir konvergen), praktis
serta bersikap positif dan kreatif (berpikir divergen). Oleh karena itu, matematika akan lebih
menarik bagi siswa jika dalam pembelajaran matematika guru mengaitkan materi yang
dipelajari siswa dengan kehidupan mereka sehari-hari, sehingga siswa akan menjadi tahu
tujuan mereka belajar dan belajar menjadi lebih bermakna. Menurut Suherman (2003)
penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah mampu
mengoptimalisasikan interaksi seluruh unsur pembelajaran. Demi peningkatan optimalisasi
interaksi dalam pembelajaran matematika, untuk pokok bahasan atau sub pokok bahasan
tertentu mungkin dapat dicapai dengan pembelajaran kontekstual.

Masih banyak lagi definisi-definisi tentang belajar matematika, tetapi tidak satu pun
perumusan yang tepat diterima oleh umum, atau sekurang-kurangnya dapat diterima dari
berbagi sudut pandang. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pembelajaran
matematika adalah teori yang dungkapkan oleh Hudoyo (2003), yaitu belajar tentang konsepkonsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta
mencari hubungan-hubungan antar konsep-konsep dan struktur-struktur matematika tersebut.
1.2

Prestasi Belajar Matematika
Sebagai seorang guru yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses belajar
mengajar, salah satu tugas pokoknya adalah mengevaluasi taraf keberhasilan rencana dan
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Untuk melihat sejauh mana taraf keberhasilan
mengajar guru dan belajar siswa secara tepat dan dapat dipercaya diperlukan informasi yang
didukung oleh data yang objektif dan memadai tentang indikator-indikator perubahan tingkah
laku siswa. Salah satu data yang sering dijadikan acuan untuk menentukan taraf keberhasilan
rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar adalah prestasi belajar siswa.
Prestasi belajar merupakan suatu indikator yang dapat menunjukkan tingkat
kemampuan dan pemahaman siswa dalam belajar. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai
hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu
tertentu. Menurut Nasution (2001) prestasi belajar adalah penguasaan seseorang terhadap
pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata pelajaran, yang lasimnya diperoleh
dari nilai tes atau angka yang diberikan guru. Berdasarkan pendapat Nasution perstasi belajar
dapat dilihat dari nilai transkrip yaitu nilai raport, karena nilai raport merupakan perumusan
terakhir dari upaya yang dilakukan pendidik (guru) dalam pemberian penilaian belajar
terhadap peserta didik selama satu semester. Nilai raport mempunyai arti dan manfaat yang
sangat penting bagi siswa, guru, sekolah dan orang tua siswa, karena nilai ini merupakan
terjemahan dari prestasi belajar siswa yang nantinya bisa berguna dalam mengambil
keputusan terhadap siswa bersangkutan atau sekolah.
Lebih jauh menurut Woodworth dan Marquis mengemukakan bahwa prestasi belajar
merupakan kemampuan aktual yang dapat diukur secara langsung dengan tes. Sedangkan
Bloom (1971) mengungkapkan, prestasi belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku
yang meliputi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Prestasi belajar bisa juga
disebut sebagai abilitas atau kecakapan (Azwar, 1998). Abilitas ini dapat dibagi menjadi dua,
yaitu: 1) abilitas aktual (actual ability) yaitu abilitas yang telah diterjemahkan dalam bentuk
performansi nyata. Abilitas ini diperoleh siswa setelah mengalami proses belajar mengajar; 2)
abilitas potensial (pontensial ability) yaitu suatu kemampuan dasar yang berupa disposisi
yang dimiliki oleh individu untuk mencapai prestasi. Abilitas potensial merupakan atribut
yang diasumsikan laten (bawaan) yang belum tampak pada performasi. Atribut bawaan ini ini
terdapat dalam setiap individu dalam kadar yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan
tidak semua orang memilki potensi dan kesempatan yang sama untuk mencapai perfomansi
yang sama. Kecakapan aktual dan kecakapan potensial ini dapat dimasukkan ke dalam suatu
istilah yang lebih umum yaitu kemampuan (ability).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut dalam
banyak hal saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Sudjana (2000), Muhibbin
(2004), dan Purwanto (2000) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar siswa adalah faktor luar (eksternal) dan faktor dalam (internal). Faktor luar

terdiri atas lingkungan, meliputi: lingkungan alami dan lingkungan sosial, dan instrumental
meliputi: kurikulum, program, sarana dan prasarana, serta guru. Faktor dalam terdiri atas
faktor fisiologis, meliputi: kondisi fisik secara umum dan kondisi pancaindera, dan faktor
psikologis, meliputi: minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan gaya berpikir.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, yang dimaksud dengan prestasi belajar
matematika dalam penelitian ini adalah tingkat penguasaan kognitif siswa terhadap materi
pelajaran matematika setelah mengalami proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu,
berupa nilai yang dituangkan dalam bentuk angka yang diperoleh dari hasil menjawab tes
prestasi belajar matematika yang diberikan pada akhir penelitian. Prestasi yang dimaksud
dalam hal ini adalah kecakapan nyata yang diperoleh siswa setelah belajar, bukan kecakapan
potensial, sebab prestasi belajar ini dapat dilihat secara nyata yang berupa nilai setelah
mengerjakan suatu tes. Tes yang digunakan untuk menentukan prestasi belajar sering
diistilahkan dengan tes prestasi belajar. Sesuai dengan pendapat Bloom seperti yang
diungkapakan di atas, maka idealnya pengungkapan prestasi belajar siswa meliputi ketiga
ranah tersebut yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Tes prestasi
belajar secara luas tentu mencakup ketiga ranah tersebut. Tetapi pada penelitian ini akan
dibatasi hanya mengungkap prestasi belajar siswa pada ranah konitif saja dengan penekanan
pada tes bentuk tertulis.
2.

Hakikat Pembelajaran Kontekstual

2.1 Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik (siswa)
dengan lingkungnnya, sehingga terjadi perubahan prilaku (Mulyasa, 2005). Fontana (dalam,
Winataputra, 1993) menyebutkan bahwa pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan
(fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya
proses belajar. Sedangkan belajar menurut Fontana adalah proses perubahan tingkah laku
yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Jadi, bila dilihat dari individu yang belajar
proses pembelajaran bersifat eksternal (datang dari luar) yang sengaja dirancang atau
didesain sehingga bersifat rekayasa, sedangkan proses belajar bersifat internal. Oleh karena
pembelajaran bersifat rekayasa yaitu rekayasa prilaku maka pembelajaran selalu terikat
tujuan. Atas dasar itu maka terjadinya proses belajar adalah kreteria dasar dari pembelajaran
(Winataputra, 1993). Dengan kata lain pembelajaran dinilai berhasil bila siswa (pebelajar)
dapat belajar sesuai dengan tujuan yang dirancang. Sementara itu, Marhaeni (2006)
mengatakan bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang terprogram dalam desain FEE

(facilitating, empowering, enabling ), untuk membuat siswa belajar secara aktif. Pengertian di
atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran terjadi interaksi antara peserta didik yang
belajar dan pendidik yang membantu proses belajar tersebut.
Menurut konsep sosiologi pembelajaran adalah rekayasa sosio-psikologi untuk
memelihara kegiatan belajar sehingga tiap individu yang belajar akan belajar secara optimal
dalam mencapai tingkat kedewasaan (Suherman, 1994). Dalam arti sempit pembelajaran
adalah proses pendidikan dalam lingkup persekolahan, sehingga pembelajaran adalah proses
sosialisasi individu dengan lingkungan sekolah seperti: guru, teman sesama siswa, sumber
belajar serta sarana dan prasarana. Sedangkan pembelajaran menurut konsep komunikasi
adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru serta siswa dengan siswa,
dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir (Suherman, 1994). Dalam pembelajaran guru
berperan sebagai komunikator, siswa sebagai komunikan, dan materi yang dikomunikasikan
berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak arah dalam pembelajaran
peran-peran tersebut bisa berubah.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran yang telah
diungkapkan di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah upaya penataan
lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang bersifat eksternal (datang dari luar
pebelajar) serta sengaja dirancang atau didesain (terprogram) sehingga memberikan suasana
tumbuh dan berkembangnya proses belajar.
2.2 Landaan Pembelajaran Kontekstual
Akhir-akhir ini pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang banyak
dibicarakan orang. Ada yang berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual merupakan salah
satu pembelajaran yang dapat diandalkan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berikut ini akan dijelaskan tentang landasan filisofi,
landasan psikologis dan definisi pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai
digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Piaget (dalam Sanjaya,
2005). Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistimologis Giambatista
Vico. Menurut Vico mengetahui adalah mengetahui bagaimana membuat sesuatu (dalam
Suparno, 1997). Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat menjelaskan
unsur-unsur apa yang membangun sesuatu tersebut. Filsafat konstruktivisme ini kemudian
mempengaruhi tentang konsep belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal

pengetahuan

tetapi

proses

pengonstruksian

pengetahuan

berdasarkan

pengalaman.

Pengetahuan bukan hasil “transfer” dari satu orang ke orang lain, tetapi pengetahuan
merupakan hasil dari proses pengonstruksian yang dilakukan secara individu. Pengetahuan
yang bermakna merupakan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengkonstruksian bukan
dari transfer atau pemberian dari orang lain.
Pandangan Piaget tentang bagiamana pengetahuan terbentuk dalam struktur kognitif
anak, sangat mempengaruhi pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual
pengetahuan akan bermakna apabila dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang
diperoleh dari pemberian orang lain tidak akan bermakna serta akan mudah dilupakan dan
tidak fungsional.
Berdasarkan fisafat konstruktivisme yang mendasarinya, bahwa pengetahuan
terbentuk karena peran aktif individu, maka dipandang dari sudut psikologis, pembelajaran
kontekstual berpijak pada aliran psikologi kognitif. Aliran ini mengatakan bahwa proses
belajar terjadi karena pemahaman individu terhadap lingkungannya. Belajar bukanlah
peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon (S-R). Belajar melibatkan proses
mental seperti emosi, minat, motivasi, gaya berpikir, kemampuan dan pemahaman.
Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) pertama kali
diajukan pada awal abad 20 di USA oleh tokoh pendidikan John Dewey. Kata Contextual
berasal dari kata Contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana atau keadaan”. Dengan
demikian Contextual diartikan “yang berhubungan dengan suasana”, sehingga CTL dapat
diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana atau konteks
tertentu.
Dalam pembelajaran matematika, konteks yang dimaksud adalah materi pelajaran
atau soal matematika yang dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata siswa yang dekat dengan
keseharian siswa. Contoh soal yang dekat dengan keseharian siswa adalah: Ani membeli 10
buah buku tulis di Pasar Marga dengan harga 11.500 rupiah, berapakah harga dua buah
buku tulis?. Contoh di atas akan mampu dikerjakan oleh siswa, serta situasinya mudah
dibayangkan karena dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Di satu sisi ada soal yang
mampu dikerjakan oleh siswa tetapi situasinya sulit dibayangkan. Contoh soal yang
situasinya sulit dibayangkan oleh siswa adalah: Sebuah satelit terbang dari bumi menuju
bulan dengan kecepatan 700 km/jam. Jika jarak bumi dan bulan adalah 21.000 km,
berapakah waktu yang diperlukan oleh satelit itu untuk sampai di bulan?
Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran di mana guru menghadirkan
dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari,
serta lebih menekankan pada belajar bermakna (Depdiknas, 2002). Guru menghadirkan dunia
nyata ke dalam pembelajaran dengan cara, seperi: 1) guru berusaha membawa benda-benda
riil yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari, kemudian siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan benda-benda riil tersebut sehingga
siswa diharapkan menemukan sendiri konsep-konsep matematika yang sedang dipelajarinya,
atau sebaliknya 2) guru bercerita tentang sesuatu yang relevan dengan materi yang dipelajari,
dari cerita tersebut siswa diharapkan menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari.
Menurut Johnson (dalam Nurhadi dan Senduk, 2003), sistem CTL merupakan suatu
proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran
yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan kehidupan mereka sehari-hari,
yaitu dengan lingkungan pribadinya, sosialnya dan budayanya. Lebih Selanjut Nurhadi dan
Senduk menyatakan bahwa pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan
siswa memperkuat, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan akademisnya
dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang
ada dalam dunia nyata. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual terjadi
ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalahmasalah riil (nyata) yang berasosiasi dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai
anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa dan selaku pekerja.
Pembelajaran kontekstual mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa
memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal
sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Pembelajaran kontekstual menekankan
pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen dalam pengumpulan data,
pemahaman terhadap isu-isu atau pemecahan masalah. Pemaduan materi pelajaran dengan
konteks kehidupan sehari-hari siswa dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan
dasar-dasar pengetahuan yang mendalam sehingga siswa kaya akan pemahaman masalah dan
cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pembelajaran kontekstual menekankan pada
bagaimana belajar di sekolah dikaitkan ke dalam situasi nyata, sehingga hasil belajar dapat
lebih diterima dan berguna bagi siswa bilamana mereka meninggalkan sekolah.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran
kontekstual dalam penelitian ini adalah suatu konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep seperti itu,

maka proses pembelajaran akan berlangsung secara bermakna. Proses pembelajaran akan
berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan mengalami, bukan “transfer“
pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil
pembelajaran. Dalam konteks ini, siswa harus sadar tentang makna belajar, apa manfaatnya,
dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Siswa sadar bahwa apa yang mereka
pelajari akan berguna dalam kehidupannya.
2.3 Komponen Pembelajaran Kontekstual
Dalam penerapannya di kelas, pembelajaran kontekstual tetap memperhatikan tujuh
komponen pokok pembelajaran yang efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism),
menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modeling), penilaian autentik (authentic assessment) dan refleksi (reflection)
(Depdiknas, 2002). Berikut ini dijelaskan masing-masing komponen pokok pembelajaran
kontekstual, seperti diungkapkan di atas.
a. Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual.
Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur
kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Depdiknas, 2002). Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia
harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dalam pandangan ini cara memperoleh pengetahuan lebih diutamakan dari pada hasil
pengetahuan yang diperoleh oleh siswa. Oleh karena itu tugas guru adalah memfasilitasi
siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dan bukan mentransfer pengetahuan dari guru
kepada siswa.
Pembelajaran kontekstual pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Sebab pengetahuan hanya akan
berfungsi apabila dibangun oleh individu itu sendiri. Pengetahuan yang hanya diberikan oleh
orang lain tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Atas dasar asumsi itulah, maka
penerapan asas konstruktivisme dalam pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk
mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pengalaman nyata.
b. Menemukan (inquiry)
Asas kedua dalam pembelajaran kontekstual adalah penemuan. Artinya, proses
pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara
sistematis. Menemukan merupakan kegiatan inti dalam pembelajaran kontekstual

(Depdiknas, 2002). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa bukan hasil dari
mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Untuk itu dalam pembelajaran
kontekstual peran guru adalah merancang kegiatan yang dapat memfasilitasi siswa untuk
menemukan konsep, prinsip atau ketrampilan yang diinginkan.
Belajar dengan penemuan guru tidak secara langsung memberikan generalisasi,
prinsip atau kaidah yang dipelajari siswa, tetapi guru melibatkan siswa dalam proses induktif
untuk mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa
belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat kesimpulan.
c.

Bertanya (questioning)
Bertanya merupakan strategi dalam pembelajaran kontekstual. Pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan kegiatan guru
untuk menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, memfokuskan perhatian siswa.
Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru atau guru dengan
siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja,
akan tetapi memancing agar siswa menemukan sendiri. Oleh karena itu, peran bertanya
sangat penting, sebab melalui pertanyan-pertanyaan guru dapat membimbing dan
mengarahkan siswa untuk menemukan konsep-konsep atau kaidah-kaidah yang terdapat
dalam materi yang dipelajari (Sanjaya, 2005).

d. Masyarakat Belajar (learning community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar pengetahuan atau hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan teman sejawat atau kerjasama dengan teman yang lebih
dewasa. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar
(kooperatif) secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil
belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok dan antar siswa yang tahu ke
siswa yang belum tahu.
Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan
dengan menerapkan pembelajaran kooperatif (Depdiknas, 2002; Sanjaya, 2005). Siswa dibagi
menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang yang anggotanya bersifat
heterogen, baik dari segi kemampuan, gaya berpikir, jenis kelamin, motivasi, ras maupun
bakat dan minatnya.
e.

Pemodelan (modeling)
Asas pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai
contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Sanjaya, 2005). Dalam pembelajaran kontekstual

model keterampilan atau pengetahuan sangat diperlukan. Model yang dimaksud bisa berupa
model proses belajar-mengajar maupun model hasil belajar, seperti misalnya cara
mengoprasikan sesuatu, cara mengerjakan sesuatu dan sebagainya. Perlu disadari bahwa
dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model. Model bisa berasal dari
siswa ahli, bisa juga ahli yang didatangkan dari luar. Pada pembelajaran kontekstual guru
harus pandai-pandai menjadi model (Depdiknas, 2002).
f.

Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke
belakang tentang apa yang telah dilakukan di masa lalu dan apa yang perlu dilakukan
berikutnya. Menurut Sanjaya (2005) refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang
telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian
pembelajaran yang telah dilalui siswa. Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut mampu
memfasilitasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dalam pembelajaran kontekstual, setiap berakhirnya
proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali
apa yang telah dipelajari. Siswa diberikan kebebasan menafsirkan pengalamannya sendiri,
sehingga mereka dapat menyimpulkan pengalaman belajarnya.

g. Penilaian Autentik (authentic assessment)
Penilaian autentik menitik beratkan pada penilaian proses dengan tanpa
mengesampingkan penilaian hasil. Hal ini didasarkan bahwa sebenarnya pembelajaran
seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari materi, tetapi
bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir satuan
pembelajaran. Ini berarti informasi dikumpulkan oleh siswa selama pembelajaran maupun
setelah pembelajaran. Pengumpulan informasi tersebut tidak saja dari guru, tetapi bisa dari
teman sejawat atau orang lain yang terlibat dalam pembelajaran.
Dalam penelitian ini penilaian yang dilakukan adalah menggunakan tes esai. Tes esai
yang autentik adalah tes esai jawaban terbuka di mana siswa mendemonstrasikan
kemampuannya untuk; 1) menyebutkan pengetahuan faktual; 2) menilai pengetahuan
faktualnya; 3) menyusun ide-idenya; dan 4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren
(Marhaeni 2006). Lebih jauh dikatakan bahwa tes esai yang terbuka merupakan asasmen
yang baik dan relevan dengan pembelajaran kontekstual karena memiliki potensi untuk
mengukur hasil belajar pada tingkat yang lebih tinggi atau kompleks dan mampu mengukur
kinerja.

Sebuah kelas dikatakan menerapkan pembelajaran kontekstual jika menerapkan ke
tujuh komponen tersebut di atas dalam pembelajarannya, yaitu konstruktivis filosofinya,
menemukan kegiatan belajarnya, bertanya sebagai strategi, masyarakat belajar dengan
pembelajaran kooperatif, model yang bisa ditiru, pengaitan antara pengetahuan sebelumnya
dengan dengan pengetahuan yang baru dengan proses refleksi dan penilaian yang sebenarnya
dalam kegiatan pembelajaran. Tetapi tidak mutlak setiap kali pertemuan ketujuh komponen
tersebut harus diterapkan, mengingat keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki oleh guru.
Secara garis besar langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual di kelas adalah
sebagai berikut (Sumadi dkk, 2004; Parwati, 2003).
1.

Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan
barunya.

2. Laksanakan sebanyak mungkin kegiatan menemukan (inkuri) untuk semua topik.
3. Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya.
4. Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok)
5. Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran.
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Pembelajaran matematika yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah seperti
yang disebutkan di atas, akan membantu siswa belajar secara bermakna. Konsep-konsep
materi yang dipelajari akan lebih tahan lama ada di benak siswa, karena mereka belajar
melalui bekerja dan menemukan sendiri. Dalam pembelajaran kontekstual guru tidak secara
langsung memberikan generalisasi suatu konsep atau prinsip yang dipelajari siswa, tetapi
guru melibatkan siswa dalam proses mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar
sedemikian rupa sehingga siswa belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat
kesimpulan. Proses pembelajaran kontekstual mengikuti sintaks pembelajaran seperti yang
disajikan pada Tabel 1.2 sintaks pembelajaran yang disajikan berikut ini dimodifikasi dari
Depdiknas 2005.
Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Kontekstual
Aktivitas Guru
Aktivitas Siswa
1. Orientasi Siswa Pada Masalah
a.
Memotivasi siswa (memfokuskan Siswa menjawab pertanyaan guru
perhatian siswa) dengan cara tanya

jawab berkaitan dengan materi dalam
kehidupan sehari-hari atau cerita yang
relevan
b. Menyampaikan tujuan pembelajaran Siswa mempersiapkan logistik yang
dan logistik yang diperlukan
diperlukan
2.
a.

b.
c.
d.

Mengorganisasikan Siswa untuk
Belajar
Guru membagi siswa dalam kelompok
yang beranggotakan 4-5 orang yang
bersifat heterogen (jenis kelamin,
kemampuan, gaya berpikir)
Guru Membagikan Lembar Kerja
Siswa
Guru membimbing siswa dan
memfasilitasi
siswa
dalam
menyelesaikan masalah
Guru
senantiasa
mengajukan
pertanyaan untuk menggali apa yang
dipikirkan siswa

Siswa menuju kelompoknya masingmasing

Siswa bekerja dalam kelompok
Siswa menjawab pertanyaan guru

3.

Mengembangkan dan Menyajikan
Hasil Karya
a. Guru membantu siswa menyiapkan Siswa mepresentasikan hasil kerja
bahan persentasi di depan kelas
kelompoknya