Makalah SUMBER DAN KARAKTERISTIK AJARAN

SUMBER DAN KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metodelogi Studi Islam
Dosen Pengampu :
Husnul Khotimah, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Faiz

932212016

Supriyanto

932212916

Siti Vernalias

932212716

Anggia Intan Y.


932210816

Risma Wira Darma

932212516

Erma Tsalasa Fitriani

932210616

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2016

1

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya

makalah ini yang berjudul “SUMBER DAN KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Orang tua kami yang telah memberikan fasilitasi untuk mengerjakan makalah
ini.
2. selaku dosen pengampu yang telah memberikan tema dan revisi pada
makalah ini.
3. Petugas perpustakaan yang telah menyediakan dan mengizinkan kami untuk
mencari materi untuk makalah ini.
4. Teman-teman yang telah membantu memberi ide atau saran kepada kami
selaku penyusun.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman

bagi

pembaca.

Karena


keterbatasan

pengetahuan

maupun

pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Kediri, November 2016
Penyusun

i

2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR IS.............................…………………………………………………………...iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3 Tujuan.....................................................................................................................4
BAB II
ISI
A.Sumber Ajaran Islam................................................................................................5
B.Sifat Dasar Ajaran Islam...........................................................................................8
C.Normativitas dan Historisitas dalam Studi Islam.....................................................10
D.Moralitas Islam.........................................................................................................16
E.Islam dan Wacana Pembaharuan Hukum Islam.......................................................18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................25

i
i


3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam lahir sebagai Agama yang menyempurnakan agama-agama
terdahulu yang sudah banyak dikotori oleh campur tangan pemeluknya
sendiri. Islam mempunyai sumber ajaran utama yaitu al-Qur’an yang mutlak
benarnya karena bersumber langsung dari Allah SWT, yang kedua yaitu
Hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Di dalam Islam juga dikenal
adanya Ra’yu atau akal pikiran (ijtihad) yang digunakan sebagai sumber
pendukung untuk mendapatkan hukum bila di dalam al-Qur’an dan Hadits
tidak ditemui. Islam juga mempunyai berbagai karakteristik yang sangat
luwes dan toleran, sehingga Islam menjadi sangat menarik bagi pemeluknya.
Islam juga memiliki moralitas yang tangguh dan kuat yang di dalamnya
mencakup aspek-aspek dalam berbagai segi kehidupan. Di dalam Islam juga
dikenal pembaharuan atau modernisitas yang semuanya itu adalah untuk
mencapai kekuatan dan kemajuan Islam.
1.2 Rumusan Masalah

A. Darimana asal sumber ajaran Islam?
B. Apa saja sifat dasar ajaran Islam?
C. Bagaimana normativitas dan historisitas dalam studi Islam?
D. Bagaimana moralitas Islam dalam ajaran Islam?
E. Bagaimana Islam dan wacana pembaharuan hukum Islam?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui sumber ajaran Islam.
b. Memahami dasar-dasar ajaran Islam.
c. Memahami karakteristik ajaran Islan.

4

BAB II
ISI
A. Sumber Ajaran Islam
Menurut Harun Nasution Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW.1
Secara Istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang
datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari
Nabi Muhammad SAW.2 Kemudian kalangan ulama’ sepakat bahwa sumber

ajaran Islam yang utama adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sedangkan penalaran
atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal
dari Allah SWT.
1. Sumber Ajaran Islam Primer.
a. Al-Qur’an Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan
oleh Subni Shalih, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan
(mashdar) dari kata qara’a (fi’il madhi) dengan arti ism al-maf’ul, yaitu
maqru’ yang dibaca (alqur’an terjemahannya, 1990: 15). Pegertian ini
merujuk pada sifat Al-Qur’an yang difirmankan-Nya dalam Al-qur’an (Q.S.
Alqiyamah [75]:7-18), dalam ayat tersebut Allah berfirman. Kemudian secara
istilah secara lengkap dikemukakan oleh Abd. Al-Wahhab Al-Khallaf.
Menurutnya Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati
Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan
bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadikan hujjah bagi Rasul,
bahwa ia benar-benar Rosulullah, menjadi undang-undang bagi manusia,
memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan
pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun
dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat Al-


1

Harun Nasution,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1979), hlm.
24.

2

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.,Metodologi Studi Islam,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998), hlm. 65.

5

Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi baik
secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan penggantian.3
b. Al-Hadis
Al-Hadis berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Al-qur’an. Selain didasarkan pada keterangan-keterangan ayat-ayat
Alqur’an dan Hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para
sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib
mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah

beliau wafat.
Dalam literatur hadis dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan
penyebutan al-hadits, seperti al-sunnah,
al-khabar, dan al-atsar. Dalam
arti terminologi, ketiga istilah tersebut kebanyakan ulama’ hadis adalah
sama dengan terminologi al-hadits meskipun ulama’ lain ada yang
membedakannya.
2. Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam Sekunder
a) Pengertian Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh
variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit
dilaksanakan atau yang tidak disenangi.4
Menurut Abu Zahra, secara istilah, arti ijtihad ialah:5
‫ﺒﺬﻝ ﺍﻟﻔﻗﻴﻪ ﻮﺴﻌﻪ ﻔﻰ ﺍﺴﺘﻨﺑﺎﻂ ﺍﻻﺤﻜﺎﻡ ﺍﻟﻌﻤﻟﻴﺔ ﻤﻦ ﺍﺩ ﻟﺘﻬﺎ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻟﻴﺔ‬
Upaya seorang ahli fiqh dengan kemampuannya dalam mewujudkan
hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci. Sebagian
lagi menggunakan metode ma’quli (berdasarkan ra’yi dan akal).6 Secara
harfiah ra’yi berarti pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang arab
telah mempergunakannya bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan
dengan baik dalam menangani urusan yang dihadapi.7

b) Dasar-dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Diantara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
‫ك ا‬
ّ ‫َﺎب ﺑِ ْﺎﻟ َﺤ‬
‫ﺼﻴ ًﻤﺎ‬
َ ‫ﺎس ﺑِ َﻤﺎ أَ َرﺍ‬
َ ‫ناﺎ أَ ْن َز ْﻟﻨَﺎ إِﻟَ ْﻴ‬
َ ‫ك ْﺍﻟ ِﻜﺘ‬
ِ َ‫اُ ۚ َو َﻻ تَ ُﻜ ْﻦ ﻟِ ْلخَﺎئِﻨِﻴﻦَ خ‬
ِ ‫ق ﻟِﺘَﺤْ ُﻜ َم ﺑَ ْﻴﻦَ ﺍﻟﻨا‬
3

Abd. Al-Wahab al-Khallaf,Ilmu Ushul al-Fiqh(Jakarta: Al-Majelis al-‘Ala al-Indonesia li alDa’wah al-Islamiyah,1972), cet. IX, hlm. 23.
4
Drs. Atang Abd Hakim, M. A dan Dr. Jaih Mubarok,Op. Cit,hlm. 95
5
Ibid,hlm. 97
6
Ibid,hlm. 98

7
Hasan Ahmad,Pintu Ijtihad Sebelum Tutup,(Bandung: Pustaka Bandung, 1984), hlm. 104

6

“sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat. (Q. S. al-Nisa : 105).
‫ك‬
َ ِ‫ق ﻟَ ُﻜ ْم ِم ْﻦ أَ ْنﻔُ ِﺴ ُﻜ ْم أَ ْز َوﺍجًﺎ ﻟِﺘَ ْﺴ ُﻜﻨُﻮﺍ إِﻟَ ْﻴﻬَﺎ َو َج َﻌ َل ﺑَ ْﻴﻨَ ُﻜ ْم َم َﻮ اﺩةً َو َرحْ َﻤﺔً ۚ إِ ان فِي ٰ َذﻟ‬
َ َ‫َو ِم ْﻦ آيَﺎتِ ِﻪ أَ ْن َخل‬
‫ا‬
َ‫ت ﻟِقَﻮْ ٍﻡ يَﺘَﻔَﻜرُون‬
ٍ ‫َليَﺎ‬
…sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. al-Rum : 21)
c) Syarat-syarat Mujtahid :
1) Mukalaf, karena hanya mukalaf yang mungkin dapat melakukan
penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya
3) Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama
terjadinya perintah atau larangan.
4) Mengetahui keadaan lafad apakah memiliki qarinah atau tidak.
d) Macam-macam Mujtahid :
1) Mujtahid Mutlak yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung
secara keseluruhan dari al-Qur’an dan hadits, dan seringkali mendirikan
mazhab sendiri seperti halnya para sahabat dan para imam yang empat.
2) Mujtahid Mazhab yaitu para mujtahid yang mengikuti salah satu mazhab
dan tidak membentuk suatu mazhab tersendiri akan tetapi dalam
beberapa hal mereka berijtihad mungkin berbeda pendapat dengan
imamnya.
3) Mujtahid fil Masa’il yaitu orang-orang yang berijtihad hanyapada
beberapa masalah saja, jadi tidak dalamarti keseluruhan, namun mereka
tidak mengikuti satu mazhab.
4) Mujtahid Mugaiyyad yaitu orang-orang yang berijtihad mengikatkan diri
dan mengikuti pendapat ulama salaf, dengan kesanggupan untuk
menentukan mana yang lebih utama dan pendapat-pendapat yang
berbeda beserta riwayat yang lebih kuat di antara riwayat itu,begitu pun
mereka memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para mujtahid
yang diikuti.

7

e) Hukum Ijtihad :
1) Bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa
itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri
mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum
ijtihad menjadi wajib ’ain.
2) Bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan
peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka
hukum ijtihad menjadi wajib kifayah.
3) Hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoalan-persoalan
yang tidak atau belum terjadi.
4) Hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang
sudah jelas hukumnya secara qathi’, baik dalam Al-Qur’an maupun AlSunnah atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan
secaraijmak. (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 498-9 dan Muhaimin, dkk.,
1994: 189)
B. Sifat Dasar Ajaran Islam
Ali Anwar Yusuf menyebutkan bahwa karakteristik ajaran Islam tersebut
adalah sebagai berikut.8
1. Komprehensif
Walaupun umat Islam itu berbeda-beda bangsa dan berlainan suku,
dalam menghadapi asas-asas yang umum, umat Islam bersatu padu untuk
mengamalkan asas-asas tersebut.
2. Moderat
Islam memenuhi jalan tengah, jalan yang imbang, tidak berat ke kanan
untuk mementingkan kejiwaan (rohani) dan tidak berat ke kiri untuk
mementingkan kebendaan (jasmani). Inilah yang diistilahkan dengan teori
wasathaniyah, menyelaraskan antara kenyataan dan fakta dengan ideal dan
cita-cita.
8

Rosihun Anwar, Pengantar Studi Islam, hal. 145.

8

3. Dinamis
Ajaran Islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang,
mempunyai

daya

hidup,

dapat

membentuk

diri

sesuai

dengan

perkembangan dan kemajuan ajaran Islam terpencar dari sumber yang luar
dan dalam, yaitu Islam yang memberikan sejumlah hukum positif yang
dapat dipergunakan untuk segenap masa dan tempat.
4. Universal
Ajaran Islam tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau suatu bangsa
tertentu, melainkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, sesuai dengan misi yang
diemban oleh Rasulullah SAW. Ajaran Islam diturunkan untuk dijadikan
pedoman hidup seluruh manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Dengan demikian, hukum Islam bersifat universal , untuk seluruh
umat manusia di muka bumi dan dapat diberlakukan di setiap bangsa dan
negara.
5. Elastis dan Fleksibel
Ajaran Islam berisi disiplin-disiplin yang dibebankan kepada setiap
individu. Disiplin tersebut wajib ditunaikan dan orang yang melanggarnya
akan berdosa. Meskipun jalurnya sudah jelas membentang, dalam keadaan
tertentu

terdapat

kelonggaran

(rukhsah).

Kelonggaran-kelonggaran

tersebut menunjukkan bahwa ajaran Islam bersifat elastis, luwes, dan
manusiawi. Demikian pula, adanya qiyas, ijtihad, istihsan, dan mashlahih
mursalah, merupakan salah satu jalan keluar dari kesempitan.
6. Tidak Memberatkan
Ajaran Islam tidak pernah membebani seseorang sampai melampaui
kadar kemampuannya karena Islam mempunyai misi sebagai rahmat bagi
manusia. Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala sesuatu
yang memberatkannya.
7. Graduasi (berangsur-angsur)
Ajaran-ajaran Islam yang diberikan kepada manusia secara psikologis
sesuai dengan fitrahnya sendiri. Apabila ajaran-ajaran tersebut diturunkan
sekaligus, sangat sulit bagi manusia untuk menjalankannya. Oleh karena

9

itu, Allah menurunkan ajaran Islam secara berangsur-angsur, agar manusia
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
8. Sesuai dengan fitrah manusia
Ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia, dalam arti sesuai dengan
watak hakiki dan asli yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian,
ajaran Islam yangs sesuai dengan fitrah manusia memberikan keterangan
yang pasti tentang kepercayaan asli dan hakiki yang ada dalam manusia.
Artinya, kondisi awal ciptaan manusia memiliki potensi untuk selalu
mengetahui dan cenderung pada kebenaran, yang dalam Al-Qur’an disebut
dengan hanif.
9. Argumentatif filosofis
Ajaran Islam merupakan ajaran yang argumentatif; tidak cukup dalam
menetapkan persoalan-persoalan dengan mengandalkan doktrin lugas dan
intruksi keras. Demikian pula, tidak cukup sekedar berdialog dengan hati
dan perasaan serta mengandalkannya untuk menjadi dasar pedoman. Akan
tetapi, harus dapat mengikuti dan menguasai segala persoalan dengan
disertai alasan yang kuat dan argumentasi yang akurat.
C. Normativitas dan Historisitas dalam Studi Islam
a. Pengertian Normativitas
Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma ajaran,
acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan.9 Pada aspek normativitas, studi Islam agaknya
masih banyak terbebeni oleh misi keagamaan yang bersifat memihak sehingga
kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris terutama dalam
menelaah teks-teks atau naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang
begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan peneliti tertentu yang masih
sangat terbatas.

b. Pengertian Historisitas
9

W.J.S Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta ; Balai Pustaka, 1991), cet.
XII hlm.887.

10

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadaminta mengatakan
sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa
lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi.10 Definisi tersebut
terlihat menekankan kepada materi peristiwanya tanpa mengaitka dengan aspek
lainnya. Sedangkan dalam pengartian yang lebih komprehensif suatu peristiwa
sejarah perlu juga di lihat siapa yang melakukan peristiwa tersebut, dimana,
kapan, dan mengapa peristiwa tersebut terjadi.
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan sejarah Islam adalah peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh
terjadi yang sluruhnya berkaitan dengan ajaran Islam diantara cakupannya itu
ada yang berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan
penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran
agama Islam tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran yang di capai umat
Islam dalam berbagai bidang,seperti dalam bidang pengetauan agama dan
umum, kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan, pendidikan,
ekonomi dan lain sebagainya.
c. Ruang lingkup sejarah Islam
Dari segi periodesasinya dibagi menjadi periode klasik, periode pertengahan
dan periode modern. Periode klasik (650-1250 M) dibagi lagi menjadi masa
kemajuan Islam I (650-100 M) dan masa disintegrasi (1000-1250 M).11
Selanjutnya periode pertengahan yang berlangsung dari tahun 1250-1800 M
dibagi menjadi dua masa, masa kemunduran I dan masa III kerajaan besar.
masa kemunduran I sejak 1250-1500 M.Mas III kerajaan besar berlangsung
Sejak 1500-1800 M.
Sains Islam dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad Islam kedua,
yang keadaannya sudah tentu merupakan salahsatu pencapaian besar dalam
peradaban Islam.
Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua hingga kesembilan
masehi, paradaban Islam merupakan peradaban yang paling produktif di
bandingkan dengan peradaban manapun di wilayah sains dan sains Islam
10

Harun Nasution,Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1979), hlm
56-75.
11
Lihat khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, cet. Ke 1 (Yogyakarta : ACADEMIA +
TAZZAFA, 2009), Hlm.15.

11

berada pada garda depan dalam berbagai kegiatan, mulai dari kedokteran,
astronomi, matematika, fisika dan sebagainya yang di bangun atas arahan nilainilai Islami.
d. Pengelompokkan Islam Normatif dan Islam Historis
Ketika melakukan studi atau penelitian Islam, perlu lebih dahulu ada
kejelasan islam mana yang diteliti; Islam pada level mana. Maka penyebutan
Islam normati dan islam Historis adalah salahsatu dari penyebutan level
tersebut. Istilah yang hamper sama dengan islam Normatif dan Islam Historis
adalah Islam sebagai wahyu dan Islam sebagai produk sejarah. 12 Sebagai
wahyu, Islam didefinisikan sebagaimana ditulis sebelumnya di atas, yakni:
Artinya:
Wahyu ilahi yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Untuk
kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.
Sedangkan Islam Historis atau Islam sebagai produk sejarah adalah Islam
yang dipahami dan islam yang dipraktekkan kaum muslim di seluruh penjuru
dunia, mulai dari masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.
Pengelompokkan Islam normatif dan Islam historis menurut Nasr Hamid
Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah (domain).13
1) Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-qur’an dan sunnah
nabi Muhammad yang otentik.
2) Pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (Alqur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW). Dapat pula disebut hasil ijtihad
terhadap teks asli Islam,seperti tafsir dan fikih. Secara rasional ijtihad
dibenarkan, sebab ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
itu tidak semua terinci, bahkan sebagian masih bersifat global yang
membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Di samping permasalahan kehidupan
selalu berkembang terus, sedangkan secara tegas permasalahan yang timbul itu
belum/tidak disinggung. Karena itulah diperbolehkan berijtihad, meski masih
12

Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, cet. Ke-5 ( Semarang : CV. Bima Sejati, 2006), Hlm.
34.
13
Nasr Abu Zaid, “the textuality of the koran”, Islam and Europe in Past and present, by W. R.
Hugenkoltz and K. Van Vliet-leigh (eds.), (Wassenaar : NIAS, 1997), Hlm.43.

12

harus tetap bersandar kepada kedua sumber utamanya dan sejauh dapat
memenuhi persyaratan.14 Dalam kelompok ini dapat di temukan empat pokok
cabang : (1) hukum/fikih,(2) teologi,(3) filsafat, (4) tasawuf. Hasil ijtihad
dalam bidang hukum muncul dalam bentuk : (1) fikih, (2) fatwa, (3)
yurisprudensi (kumpulan putusan hakim), (4) kodikfikkasi/unifikasi, yang
muncul dalam bentuk Undang-Undang dan komplikasi.
3) Praktek yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam berbagai
macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). 15 Contohnya :
praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada.
Contohnya lainnya praktek duduk miring ketika tahiyat akhir bagi muslim
Indonesia, sementara muslim di tempat/ negara lain tidak melakukannya.
Sementara Abdullah Saeed menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan formulasi
yang berbeda sebagai berikut :
 Tingkatan pertama, adalah nilai pokok/dasar/asas, kepercayaan, ideal dan
institusi-institusi.
 Tingkatan kedua adalah penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilainilai dasar tersebut dapat dilaksanakan/dipraktekkan.
 Tingkatan ketiga manifestasi atau pratek berdasarkan pada nilai-nilai dasar
tersebut yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara
satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan tejadi karena perbedaan
penafsiran dan perbedaan konteks dan budaya.
Pada level teks, sebagaimana telah ditulis sebelumnya, Islam didefinisikan
sebagai wahyu. Pada dataran ini, Islam identik dengan nash wahyu atau teks
yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad. Pada masa
pewahyuannya memakan waktu kurang lebih 23 tahun.
Pada teks ini Islam adalah nash yang menurut hemat penulis, sesuai dengan
pendapat sejumlah ilmuwan(ulama) dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
1) Nash prinsip atau normatif-universal, dan
2) Nash praktis-temporal
14

Qodri Azizi, Elektisisme Hukum Nasional : Kompetensi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum (Yogyakarta : Gama Media Offset, 2002), hlm. 56-57.
15
Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Islam Studies di Pergurut sudah ditiuan Tinggi (Yogyakarta:
Pustaka Belajar), 2010.

13

Nash kelompok pertama, nash prinsip atau normatif-universal, merupakan
prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah diformatkan dalam
bentuk nash praktis di masa pewahyuan ketika nabi masih hidup.
Adapun nash praktis-temporal, sebagian ilmuwan menyebutnya nash
konstektual, adalah nash yang turun (diwahyukan) untuk menjawab secara
langsung (respon) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat
muslim Arab ketika pewahyuan. Pada kelompok ini pula Islam dapat menjadi
fenomena sosial atau Islam aplikatif atau Islam praktis.
Dengan penjelasan di atas tadi dapat ditegaskan, syari’ah sebagai the
original text mempunyai karakter mutlak dan absolut, tidak berubah-ubah.
Sementara fiqh sebagai hasil pemahaman terhadap the original text mempunyai
sifat nisbi/relatif/zanni, dapat berubah sesuai dengan perubahan konteks;
konteks zaman; konteks sosial; konteks tempat dan konteks lain-lain.
Sementara dengan menggunakan teori Islam pada level teori dan Islam pada
level praktek dapat dijelaskan demikian. Untuk menjelaskan posisi syari’at
pada level praktek perlu dianalogkan dengan posisi nash, baik al-Qur’an
maupun sunnah nabi Muhammad SAW. Dapat disebutkan bahwa pada
prinsipnya nash tersebut merupakan respon terhadap masalah yang dihadapi
masyarakat arab di masa pewahyuan. Kira-kira demikianlah posisi Islam yang
kita formatkan sekarang untuk merespon persoalan yang kita hadapi kini dan di
sini. Perbedaan antara nash dan format yang kita rumuskan adalah, bahwa nash
diwahyukan pada nabi Muhammad, sementara format yang kita rumuskan
sekarang adalah format yang dilandaskan pada nash tersebut. Hal ini harus kita
lakukan, sebab persoalan selalu berkembang dan berjalan maju, sementara
wahyu sudah berhenti dengan meninggalnya nabi Muhammad SAW.
e. Keterkaitan normativitas dan historisitas dalam studi keIslaman.
Dari perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu, baik itu ilmu alam, humaniora,
social, agama atau ilmu-ilmu keIslaman, harus diformulasikan dan dibangun di
atas teori-teori yang berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas.Teoriteori yang sudah ada terlebih dahulu tidak dapat dijadikan garansi kebenaran.
Anomali-anomali dan pemikiran-pemikiran yang tidak, kenyataannya ilmu
pengetahuan tidak tumbuh dalam kevakuman, akan tetapi selalu dipengaruhi

14

dan tidak dapat terlepas dari pengaruh cita rasa sejarah social dan politik.
Pemikiran ini muncul dari adanya kesadaran bahwa teori-teori ilmu
pengetahuan hanyalah merupakan produk, hasil karya manusia.
Dalam pengertian ini, penerapan filsafat ilmu pada diskusi akademik ilmuilmu keIslaman harus dilakukan, karna filsafat ilmu saling berkaitan dengan
sosiologi ilmu pengetahuan. Dua cabang ilmu pengetahuan ini jarang
didiskusikan dan tidak pernah dimasukan dalam tradisi ilmu keIslaman yang
ada. Padahal keduanya merupakan prasyarat dan wacana awal yang harus
dimengerti bagi para ilmuan muslim yang ingin terhindar dari tuduhan pembela
tipe studi Islam yang hanya bersifat pengulang-ngulangan, statis, disakralkan
dan dogmatik.
Ketika

pada

akhirnya

menghadapi

masalah-masalah

historisitas

pengetahuan, patut disayangkan bila sarjana-sarjana muslim dan non muslim
yang hendak mengembangkan wacana mereka dalam ilmu-ilmu keIslaman
secara psikologi merasa terintimidasi dengan problem reduksionisme dan non
reduksionisme. Dalam hal-hal tertentu, ada beban psikologis dan institusional
yang terlibat dalam memperbesar dan memperluas domain, scope dan
metodologi ilmu-ilmu keIslaman karena persoalan itu. Sejak awal mula Fazlur
Rahman sendiri telah menempatkan Islam normative dalam kerangka kerjanya
atau sebagai hard core dalam kerangka kerja Lakatos, yang harus dilindungi
dengan sifat-sifatnya yang mendorong pada penemuan-penemuan dan
penyelidikan-penyelidikan baru (positive heuristic). Hard core atau Islam
normative sama dengan apa yang telah ditetapkan sebagai objek studi agama
yang tepat dengan menggunakan pendekatan fenomenologis.
Bangunan

baru

ilmu-ilmu

keIslaman,

setelah

diperkenalkan

dan

dihubungkan dengan wacana filsafat ilmu dan sosiologi ilmu penegetahuan,
lebih lanjut harus mempertimbangkan penggunaan sebuah pendekatan dengan
tiga dimensi untuk melihat fenomena agama Islam, yakni pendekatan yang
berunsur linguistic- historis, teologis-filosofis, dan sosiologis-antropologis
pada saat yang sama. Tentang apa dan bagaimana pendekatan tersebut sudah
banyak ditulis oleh para ahlinya.

15

Dengan demikian, ilmu-ilmu keIslaman yang kritis, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun beserta kolega-kolega
mereka yang memiliki keprihatinan yang sama, hanya dapat dibangun secara
sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara
sirkuler,

dimana

berinterkomunikasi

masing-masing
satu

dengan

dimensi

lainnya.

dapat

berinteraksi,

Masing-masing

pendekatan

berinteraksi dan dihubungkan dengan yang lainnya. Tidak ada satu pendekatan
maupun disiplin yang dapat berdiri sendiri. Gerakan dinamis ini pada esensinya
adalah hermeneutic.
D. Moralitas Islam
Moral, diambil dari bahasa Latin mos (jamak, mores) yang berarti
kebiasaan, adat. Sementara moralitas secara lughowi juga berasal dari kata mos
bahasa Latin (jamak, mores) yang berarti kebiasaan, adat istiadat. Kata ’bermoral’
mengacu pada bagaimana suatu masyarakat yang berbudaya berperilaku. Dan kata
moralitas juga merupakan sifat latin moralis, mempunyai arti sama dengan moral
hanya ada nada lebih abstrak. Kata moral dan moralitas memiliki arti yang sama,
maka dalam pengertiannya lebih ditekankan pada penggunaan moralitas, karena
sifatnya yang abstrak. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk.16 Senada dengan pengertian tersebut, W.
Poespoprodjo mendefinisikan moralitas sebagai ”kualitas dalam perbuatan
manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau
buruk. Moralitas mencakup tentang baik buruknya perbuatan manusia.
Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai
nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga
akhir zaman. Pengertian Islam secara harfiyah artinya damai, selamat, tunduk,
dan bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim)
yang bermakna dasar “selamat” (Salama)
Moralitas islam ditinjau dari berbagai bidang :
1. Dalam Bidang Ibadah

16

Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, cet.1, (Rajawali Press, Jakarta, 1992), hlm. 8.

16

Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT, karena
didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.17 Ibadah adalah sebagai upaya
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mentaati segala perintahNya dan
menjauhi semua laranganNya. Ibadah ada yang umum ada yang khusus. Yang
umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah SWT, sedangkan yang
khusus adalah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT akan perincianperinciannya, tingkat, dan cara-caranya yang tertentu.18
Ibadah yang akan kita bahas saat ini ialah ibadah yang khusus. Dalam Islam
diterangkan bahwa dalam beribadah dilarang yang namanya "kreatifitas", sebab
mengkreasi atau membentuk suatu ibadah dalam agama Islam dinilai sebagai
bid'ah yang dikutuk Nabi sebagai kesesatan. Bilangan shalat lima waktu
beserta tata cara mengerjakannya atau pun ketentuan ibadah haji dan tata cara
mengerjakannya misalkan adalah ibadah yang sudah ditetapkan oleh Allah
ketentuan-ketentuan dan segalanya, maka sebagai manusia atau penganutnya
tidak boleh ikut campur bahkan mengubahnya. Ketentuan ajaran Islam yang
begitulah yang membuat akal tidak boleh ikut campur tangan, bahkan hak dan
otoritas Tuhan sepenuhnya. Hal yang demikianlah yang membuat atau
membentuk manusia atau penganut berserah diri, patuh dan tunduk guna
mendapatkan kedamaian dan keselamatan. Dan itulah yang membawa seorang
hamba menjadi hamba yang sholeh, mempunyai jiwa yang tenang, rendah hati,
menyandarkan diri kepada amal sholeh dan ibadah, dan tidak kepada nasab
keturunan, semuanya itu adalah gejala kedamaian dan keamanan sebagai
pengalaman dari ibadah.19 Sedangkan ibadah yang berarti umum akan dibahas di
selanjutnya, karena lebih mengarah kemu'amalah sebagai sesama makhluk
hidup.
2. Dalam Bidang Pendidikan
Sejalan dengan bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, Islam juga
memiliki ajaran yang khas dalam pendidikan. Islam memandang bahwa
pendidikan adalah hak bagi setiap orang, laki-laki maupun perempuan, dan
berlangsung sepanjang hayat. Seperti yang terkutip di hadist Rasul. "Menuntut
17

QS. Adz-Dzariyat:56

18

NasruddinRazak, Dienul Islam, (Bandung: al-ma'arif, 1977) cet. II hlm 44 dan 47.

19

Ahmad Amin, Fajar Islam, (Cirebon: 1967), hlm. 94

17

ilmu itu adalah wajib bagi orang Islam laki-laki dan perempuan. Tuntutlah ilmu
mulai dari buaian hingga keliang lahat".
Di dalam Islam banyak diketahui metode-metode pembelajaran seperti:
ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, penugasan, teladan, pembiasaan,
kary awisata, cerita, hukuman, nasihat, dan sebagainya.
3. Dalam Bidang Sosial
Ajaran Islam dalam bidang social adalah yang paling menonnjol karena
seluruh bidang ajaran Islam adalah untuk kesejahteraan manusia. Islam
menjunjung tinggi tolong menolong, saling menasehati tentang hak dan
kesabaran, kesetiakawanan, kerukunan antar tetangga, tenggang rasa dan
kebersamaan. Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam
ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada
urusan ibadah.20 Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial
dari aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh
bumi ini masjid, tempat mengabdi pada Allah SWT. Muamalah jauh lebih luas
dari pada ibadah (dalam arti khusus).
Dalam

hadistnya,

Rasulullah

SAW

mengingatkan

imam

supaya

memperpendek shalatnya bila di tengah jamaah ada yang sakit, orang lemah,
orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan. Istri Rasulullah SAW Siti
Aisyah, mengisahkan: Rasulullah SAW shalat di rumah dan pintu terkunci.
Lalu aku datang (dalam riwayat lain aku minta dibukakan pintu), maka
Rasulullah SAW berjalan membuka pintu, kemudian kembali ke tempat
shalatnya. Hadist ini diriwayatkan oleh lima orang perawi, kecuali Ibnu Majah.
Lalu Islam sangat menilai bahwa ibadah berjamaah atau bersama-bersama
dengan orang lain lebih tinggi dari pada yang dilakukan secara perorangan,
dengan perbandingan 27 derajat. Dari sini kita mengetahui betapa Islam dan
ajarannya menjunjung tinggi nilai-nilai sosial.
E. Islam dan wacana pembaharuan hukum Islam
Pembaharuan hukum Islam terdiri dari dua kata, yaitu: “pembaharuan” yang
berarti modernisasi, atau suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan atau
menciptakan suatu yang baru, dan “hukum Islam”, yakni kumpulan atau koleksi
20

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam, (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2004), hal 89.

18

daya upaya para fukaha dalam bentuk hasil pemikiran untuk menerapkan syariat
berdasarkan kebutuhan masyarakat, dalam hal ini hukum Islam sama dengan fiqh,
bukan syariat.
Pembaharuan yang dimaksud disini adalah pembaharuan yang kata
padanannya dalam bahasa Arab ialah tajdid, bukan bid’ah, ibda’ atau ibtida’.
Sebab, meskipun kata-kata ini juga mengandung makna kebaruan, pembaharuan
ataupun pembuatan hal baru, konotasinya negatif karena secara semantik
mengandung arti pembuatan hal baru dalam agama. Secara kebahasaan sebetulnya
kata-kata bid’ah dan tasyrifnya mempunyai arti kreativitas atau daya cipta. Maka
dalam al Quran pun Tuhan disebutkan sebagai al-Badi’, Maha Kreatif atau Maha
berdaya cipta (QS. 2:59 dan 6:101). Dan jika Nabi SAW bersabda agar kita
berbudi dengan mencontoh budi Tuhan, maka kreativitas atau daya cipta adalah
hal yang sangat terpuji. Namun sudah dikatakan, tentu saja yang terpuji itu
bukanlah kreativitas atau daya cipta dalam hal agama itu sendiri, seperti
kreativitas dan daya cipta dalam masalah ibadah murni. Maka sama sekali tidak
dapat dibenarkan, misalnya, menambah jumlah rakaat dalam shalat atau
memasukkan sesuatu yang sebenarnya hanya budaya belaka menjadi bagian dari
agama murni. Maka kreativitas atau daya cipta dalam hal keagamaan murni
(bukan dalam hal budaya keagamaan) sama dengan tindakan mengambil
wewenang Allah SWT dan Rasul-Nya, yang menurut sabda Nabi SAW adalah
sesat.
Hukum Islam itu hidup dan berkembang dalam pergumulan sejarah dan
sosial secara responsif, adaptif dan dinamis. Karakteristik ini memungkinkannya
melakukan reformasi atau pembaharuan. Jika pembaruan itu dibawa ke dalam
konteks hukum Islam, maka yang dimaksud “pembaruan hukum Islam” adalah
“upaya untuk memberikan jawaban-jawaban ajaran Islam di bidang hukum
terhadap kemajuan modern”. Berikut cara kita melakukan pembaharuan hukum
Islam:
a. Pemahaman baru terhadap Kitabullah
Untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam ini ,kita dapat
melakukannya dengan cara merekonstruksi atau mengartikan al-qur’an

19

dalam konteks dan jiwanya.pemahaman melalui konteks berarti mengetahui
asbab

an-nusul.

Sedangkan

pemahaman

melalui

jiwanya

berarti

memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut.
b. Pemahaman baru terhadap Sunnah
Dilakukan dengan cara mengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakkan
Rasulullah dalam rangka Tasyri’ Al-Ahkam (penetapan hukum) dan mana
pula yang dilakukannya selaku manusia biasa sebagai sifat basyariyyah
(kemanusiaan). Sunnah baru dapat dijadikan pegangan wajib apabila
dilakukan dalam rangkaTasyri’ Al- Ahkam. Sedangkan yang dilakukannya
sebagai manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaaan Rosulullah
SAW kepada makanan yang manis, pakaian yang berwarna hijau dan
sebagainnya. Disamping itu sebagaimana aal-Qur’an, Sunnah juga harus
dipahami dari segi jiwa dan semangat atau substansi yang terkandung
didalamnya.
c. Pendekatan ta’aqquli (rasional)
Ulama’ terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan Taabbudi
yaitu menerima apa adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas illat hukum
dan tinjauan filosofisnya banyakk tidak terungkap. Oleh karena itu
pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam rangka pembaharuan hukum
Islam (ta’abadi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum
hikmahat-tashih dapat dicerna umat Islam terutama dalam masalah
kemasyarakatan.
d. Penekanan zawajir dan jawabir dalam pidana
Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir
berarti dengan hukum itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni
oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana harus
dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum dengan potong
tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru muhsan didera.
Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera
pelaku pidana sehingga tidak mengulanginya lagi. Dalam pembaharuan
hukum Islam mengenai pidana, yang harus ditekakankan adalah zawajir

20

dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam
nash.
e. Masalah ijma”
Pemahaman yang terlalu luas atas ijmak dan keterikatan kepada ijamak
harus dirubah dengan menerima ijmak sarih,yang terjadi dikalangan sahabat
(ijmak

sahabat)

saja,sebagai

mana

yang

dikemukakan

oleh

asy-

syafi’i.kemungkinan terjadinya ijmak sahabat sangat sulit,sedangkanijmak
sukuti (ijmak diam) masih diperselisihkan. Disamping itu,ijmak yang
dipedomi haruslah mempunyai sandaran qat’i yang pada hakikatnya
kekuatan hukumnya bukan kepada ijmak itu sendiri,tetapi pada dali yang
menjadi sandaranya. Sedangkan ijmak yang mempunyai sandaran dalil
zanni sangat sulit terjadi.
f. Masalik al-‘illat (cara penetapan ilat)
Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi ilat hukum yang
biasanya dibicarakan dalam kaitan dengan kias. Dalam kaidah pokok dikatakan
bahwa “hukum beredar sesuai dengan ilatnya”. Ini fitempuh dengan
merumuskan kaidah dan mencari serta menguji alit yang benar-benar baru.
g. Masalih mursalah
Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah ungkapan
popular dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih mursalah dijadikan dalil
hukum dan berdasarkan ini,dapat ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru
yang tidak disinggung oleh al-qur’an dan sunah.
h. Sadd az-zari’ah
Sadd az-zari’ah berarti sarana yang membawa ke hal yang haram. Pada
dasarnya sarana itu hukumnya mubah,akan tetapi karena dapat membawa
kepada yang maksiat atau haram,maka sarana itu diharamkan. Dalam rangka
pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan.
i. Irtijab akhalf ad-dararain
Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangant tepat dan efektif
untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya perang di bulan muharram
hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh menyerang,maka boleh dibalas

21

dengan berdasarkan kaidah tersebut,karena serangan musuh dapat
menggangu eksistensi agama Islam.
j. Keputusan waliyy al-amr
Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau penguasa,mulai
dari tingkat yang rendah sampai yang paling tinggi. Segala peraturan
Undang-Undangan wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan agama.
Hukum yang tidak dilarang dan tidak diperintahakn hukumnya mubah.
Contohnya,pemerintah atas dasar masalih mursalah menetapkan bahwa
penjualan hasil pertanian harus melalui koperasi dengan tujuan agar petani
terhindar dari tipu muslihat lintah darat.
k. Memfiqhkan hukum qat’i
Kebenaran

qat’i

bersifat

absolut.

Sedangkan

kebenaran

fiqh

relative.menurut para fukaha, tidak ada ijtihad terhadap nas qat’i (nas yang
tidak dapat diganggu gugat). Tetapi kalau demikian halnya,maka hukum
Islam menjadi kaku. Sedangkan kita perpegang pada moto: al-Islam salih li
kulli zaman wa makan dan tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa alzaman.untk menghadapi masalah ini qat’i diklasifikasikan menjadi:Qat’I fi
jami’ al-ahwal dan Qot’i fi ba’d al-ahwal. Pada qot’I fi al-ahwal tidak
berlaku ijtihad,sedangkan pada qot’I fi ba’d al-ahwal ijtihad dapat
diberlakukan.tidak semua hukum qat’I dari segi penerapanya (tatbiq)
berlaku pada semua zaman21.

BAB III
21

Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia,
(Jakarta:PT. Raja Grafindo persada, 2004), hlm.: 31-34

22

PENUTUP
Kesimpulan
Sumber ajaran Islam yang utama berasal dari Al-Quran dan Al-Sunnah.
Sumber ajaran Islam primer berupa Al-Quran dan hadist. Al-Quran adalah firman
Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui
jibril dengan menggunakan bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia
menjadikan hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rosulullah, menjadi undangundang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana
untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya.
Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam sekunder.
Ali Anwar Yusuf menyebutkan bahwa karakteristik ajaran Islam meliputi :
komprehensif, moderat, dinamis, universal, elastis dan fleksibel, tidak
memberatkan, graduasi (berangsur-angsur), sesuai dengan fitrah manusia, dan
argumentatif filosofis.
Sejarah Islam adalah peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh terjadi
yang sluruhnya berkaitan dengan ajaran Islam diantara cakupannya itu ada yang
berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya,
tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam
tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran yang di capai umat Islam dalam
berbagai bidang,seperti dalam bidang pengetauan agama dan umum, kebudayaan,
arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi dan lain
sebagainya.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
dengan baik dan buruk. Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup
seluruh manusia hingga akhir zaman. Moralitas islam ditinjau dari berbagai
bidang, meliputi :
a. Dalam bidang ibadah, ibadah yang sudah ditetapkan oleh Allah ketentuanketentuan dan segalanya, maka sebagai manusia atau penganutnya tidak boleh
ikut campur bahkan mengubahnya.
b. Dalam bidang pendidikan, Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi
setiap orang, laki-laki maupun perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat.

23

c. Dalam bidang sosial, Islam menjunjung tinggi tolong menolong, saling
menasehati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, kerukunan antar tetangga,
tenggang rasa dan kebersamaan.
Jika pembaruan itu dibawa ke dalam konteks hukum Islam, maka yang
dimaksud “pembaruan hukum Islam” adalah “upaya untuk memberikan jawabanjawaban ajaran Islam di bidang hukum terhadap kemajuan modern”. Cara kita
melakukan pembaharuan hukum Islam : pemahaman baru terhadap Kitabullah,
pemahaman baru terhadap sunnah, pendekatan ta’aqquli (rasional), pemahaman
baru terhadap sunnah, masalah ijma”, masalik al-‘illat, masalih mursalah, sadd azzari’ah, irtijab akhalf ad-dararain, keputusan waliyy al-amr, dan memfiqhkan
hukum qat’i.

DAFTAR PUSTAKA

24

al-Khallaf, Abd. Al-Wahab. 1972. Ilmu Ushul al-Fiqh. Jakarta: Al-Majelis al-‘Ala alIndonesia li al-Da’wah al-Islamiyah.
Ahmad, Hasan. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tutup. Bandung: Pustaka.
Nasution,Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid 1
Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ibid.
Syukur, Amin. 2006. Pengantar Studi Islam. Semarang : CV. Bima Sejati.
Anwar, Rosihun. Pengantar Studi Islam.
As, Asmaran. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta : Rajawali Press.
QS. Adz-Dzariyat:56
Hakim, Atang Abd. dan Mubarok, Jaih. Op. Cit
Razak, Nasruddin. 1977. Dienul Islam. Bandung: al-ma'arif.
Zaid, Nasr Abu. 1997. Islam and Europe in Past and present. eds. Wassenaar :
NIAS.
Ali, Mohammad Daud. 2004. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo persada.
Poerwadaminta. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. cet. XII. Jakarta ; Balai
Pustaka.
Nasution, khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Isla., cet. Ke 1. Yogyakarta :
ACADEMIA + TAZZAFA.
Azizi, Qodri. 2002. Elektisisme Hukum Nasional : Kompetensi antara Hukum
Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta : Gama Media Offset.
Abdullah, M. Amin. 2010. Islam Studies di Pergurut sudah ditiuan Tinggi.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Amin, Ahmad. 1967. Fajar Islam. Cirebon.
Nata, Abuddin. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo.

25