HUKUM DAN MANUSIA KEPRIBADIAN ID

HUKUM DAN MANUSIA

Disampaikan pada Mata Kuliah
Filsafat Hukum Islam

Dosen Pembimbing :
PROF. DR. MUHAMMAD YASIR NASUTION
DR. MUSTHAFA KAMAL ROKAN

DISUSUN OLEH
ARMAYA AZMI
NIM 92215023526

Semester II
PROGRAM STUDI
HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN 2016


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang "Hukum dan Manusia" ini. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa
ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi
seluruh alam semesta.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas perkuliahan Filsafat Hukum
Islam pada program studi Hukum Islam Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara, terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
dosen pembimbing, Bapak Prof. DR, H. M. Yasir Nasution dan Bapak DR.
Mustafa Kamal Rokan, MA yang telah memberikan begitu banyak kontribusi
keilmuan, motivasi, pencerahan dan wawasan beliau kepada penulis dalam
mengembangkan keilmuan untuk menjadi insan ulul albab.
Walaupun dengan penuh semangat dan perjuangan yang tidak mudah
dalam penulisan makalah ini untuk menjadikannya sebaik mungkin, tapi penulis
menyadari makalah ini tentu jauh dari sempurna. Besar harapan kami, semoga
makalah ini bisa bermanfaat dan setiap kritik dan saran terhadap makalah ini
sangat kami hargai untuk dapat dievaluasi dan diperbaiki.


Binjai, Mei 2016
Penulis

Armaya Azmi

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................... 3
A.

Latar Belakang Masalah ........................................................................... 3

B.


Perumusan Masalah .................................................................................. 4

BAB II ..................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5
A. Definisi Hukum .............................................................................................. 5
B. Hakikat Manusia ............................................................................................. 9
C. Manusia Sebagai Subjek Hukum .................................................................. 13
C. Manusia Dalam Hukum Barat ...................................................................... 15
D. Pandangan Hukum Islam tentang Manusia dan Kemanusiaan .................... 17
BAB III.................................................................................................................. 21
PENUTUP ............................................................................................................. 21
KESIMPULAN ................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

ii

3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ubi Societas ibi ius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Kaidah
ini menegaskan bahwa hukum dan manusia adalah dua entitas yang tidak bisa
dipisahkan. Manusia tanpa hukum akan menyebabkan ketidakteraturan dalam
kehidupannya, sedangkan hukum tanpa manusia maka juga tidak akan pernah ada.
fungsi hukum adalah membuat ketertiban dan keteraturan, kenyamanan dan
ketentraman dalam interaksi manusia dengan manusia lainnya.
Manusia dalam subjeknya memiliki kebebasan untuk berbuat dan
bertindak, namun dalam hubungannya dengan manusia lainnya maka dia memiliki
keterbatasan untuk menjaga kebebasan orang lain untuk berbuat. Sehingga
manusia bebas dalam keterikatan dan terikat dalam kebebasannya. Seandainya
semua manusia bebas melakukan apa saja menurut keinginannya maka dapat
dipastikan akan terjadi chaos, karena akan terjadi benturan-benturan kepentingan
yang berbeda dan kesemuanya merasa lebih berhak untuk diutamakan.
Sebagai contoh di persimpangan jalan di buat traffic light untuk
menghindari terjadi kecelakaan, seandainya semua kendaraan tidak mematuhinya
dan berbuat sebebas keinginannya maka dapat dipastikan perjalanan tidak akan
kondusif, karena semua hendak cepat justru akhirnya menjadi lambat karena tidak
ada yang saling mengalah, bahkan akan terjadi tabrakan dan kecelakaan lalu
lintas.

Maka manusia membuat kesepakatan-kesepakatan untuk mengatur seluruh
kepentingan, kesepakatan ini mengikat manusia yang kemudian berbentuk
menjadi sebuah aturan-aturan baik tertulis maupun tidak tertulis. Namun, aturanaturan yang dibuat manusia seringkali bersifat subjektif dan tidak mewakili
kepentingan seluruh umat manusia, maka di sisi lain ada hukum yang tidak
memihak kepentingan manapun dan siapapun, hukum yang dibuat untuk
kepentingan seluruh manusia, hukum yang bersumber dari Tuhan.
Dari sini penulis ingin menganalisis hubungan manusia dan hukum,
dengan menekankan pada pendekatan dan perspektif hukum Islam.

B. Perumusan Masalah
Bagaimana hubungan hukum dan manusia, serta bagaimana kedudukan
manusia dalam hukum?

5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum
Hukum memiliki berbagai macam definisi yang diberikan para ahli, jika
ada seribu ahli mendenifinisikan hukum, maka akan ada seribu denifisi yang

berbeda tentang arti hukum, menurut lawrence M. Friedman seperti yang dikutip
Achmad Ali, “Hukum adalah sebuah kata dengan banyak arti, selicin kaca, segesit
gelembung sabun. Hukum adalah konsep, abstraksi, konstruk sosial, bukan objek
nyata di dunia sekitar kita.”1 Selaras dengan Friedman, D.M.M. Scott juga
mengatakan “it is not difficult to recognize law when we encounter it, but to define
„law‟ exactly is a task that is so hard as to be almost impossible..”.2
Perbedaan dalam mendefinisikan hukum akan terlihat dari sudut pandang
dan aliran mazhab yang dianutnya, Achmad Ali dalam buku menguak teori hukum
mengutip setidaknya delapan puluh definisi hukum yang berbeda. Menurut
Aristoteles, “hukum adalah sesuatu yang berbeda ketimbang sekadar mengatur
dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi, hukum berfungsi untuk mengatur
tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan
hukuman terhadap pelanggar.”3
Thomas Aquinas mengatakan “hukum adalah satu aturan atau tindakantindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak (sesuai aturan atau
ukuran itu).” Kant mendefinisikan hukum adalah “keseluruhan kondisi-kondisi,
dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan
keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum umum tentang
kemerdekaan.”4
Hans Kelsen melihat hukum sebagai perintah memaksa terhadap perilaku
manusia. Hukum adalah norma primer yang menetapkan sanksi-sanksi. Donal

Black memandang hukum adalah government sosial control.. dengan kata lain,
hukum adalah kehidupan normatif dari suatu negara dan warga negaranya, seperti
1

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory & Teori Peradilan (Judicial
Prdence), termasuk interpretasi Undang-Undang (Legisprudences) Volume 1 Pemahaman Awal,
(Jakarta: Kencana, 2009) h. 28
2
Ibid., h. 36
3
I bid., h. 419
4
bid., h. 420

6

legislasi, litigasi dan adjudikasi. Karl Marx melihat hukum adalah suatu
pencerminan hubungan umum ekonomis dalam masyarakat, pada suatu tahap
perkembangan tertentu. 5
Demikian tidak terbatasnya definisi hukum, sehingga Lawrence M.

Friedman menuliskan bahwa “there is, of course, no „true definition of law.
Definitions flow from the aim or function of the definer.6
Istilah hukum dalam literatur hukum, utamanya yang berbahasa Inggris,
disebut law, laws, a law, the law, dan legal. Beberapa bahasa kontinental
menggunakan kata-kata berbeda, seperti jus, lex, recht, gesete, droit, loi, diritto,
legge.7
Perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia
berasal dari kata hukm dalam bahasa Arab, artinya, norma atau kaidah yaitu
ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah
laku atau perbuatan manusia dan benda.8
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia hukum berarti (1) peraturan atau
adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau
pemerintah (2) Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat, (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa
(alam dan sebagainya) yang tertentu.9
Dalam Al-Qur‟an Allah menggunakan begitu banyak kata hukum dengan
berbagai variannya, Pertama, dalam bentuk kata kerja Al-Qur‟an menggunakan
kata hakama dengan berbagai bentuk dan dhomirnya seperti hakama, hakamta,
hakamtum, ahkumu, tahkumu, tahkumun, yahkumu, yahkumani, yahkumun, lalu
dalam bentuk kata kerja lain seperti hakkama, tahakama, ahkama. Kedua, dalam

bentuk ism atau mashdar, Al-Qur‟an menggunakan kata hukm, hikmah,
muhkamat, ketiga dalam bentuk fa‟il seperti hakim, hukkam, hakimin dan
hakam.10

5

Ibid., h. 430
Ibid., h. 439
7
Ibid,. 26
8
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. 18, 2013), h. 44
9
KBBI versi daring
10
Muhammad Fuad Abdul Baqy, Al-Mu‟jam Al-Mufahras li Alfazhi Al-Qur‟ani AlKarim, (Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, 1364 H), h. 213
6

7


Menurut Raghib Isfahani dalam Mufradat fi Gharibi Al-Qur‟an, arti dasar
kata Hukum adalah mana‟a man‟an li ishlah, mencegah atau melarang sesuatu
demi kebaikan, dan hukum juga berarti memutuskan/menetapkan sesuatu, Hakim
atau Hukkam bermakna orang yang memberikan putusan atau ketetapan antara
manusia, dalam bentuk Ism dari kata hukm, muncul istilah Hikmah yang
bermakna mendapatkan kebenaran melalui ilmu dan akal, hikmah dari Allah
adalah mengetahui berbagai hal dan mencari maksud dan tujuan hukum.
Perbedaannya adalah Hukum lebih umum dari hikmah, semua hikmah adalah
hukum dan tidak semua hukum adalah hikmah.11
Selain Kata hukum, dalam literatur keislaman yang sering digunakan untuk
menyebut Hukum Islam digunakan Istilah Syariat Islam (Islamic Law) dan Fiqih
Islam (Islamic Jurisprudence).12
Syariah secara etimologi bermakna sumber air, makna lain darinya adalah
jalan yang lurus13, Al-Qur‟an menggunakan istilah Syir‟ah dan Syariah, Syariah
dimaksudkan adalah Tauhid sebagaimana Q.S. Asy Syura ayat 13 Allah berfirman
:

              


....           

“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama.
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya..”
Dari ayat di atas difahami bahwa Allah menurunkan syariat yaitu Tauhid,
dan memerintahkan para Nabi dan orang-orang yang beriman untuk bersatu dan
jangan berpecah belah tentangnya.14

11

Ar-Raghib Al-Ishfahani, Al-Mufradat fi Gharibi Al-Qur‟an, (Damaskus, Darul Qalam,
1412 H), h. 249
12
Ibid., h. 49
13
Abid Muhammad As-Sufyani, Ats-Tsabat wa Asy-Syumul fi Asy Syariah Al-Islamiyah,
(Makkah: Al-Manarah, 1988) h. 57
14
Ibid. h. 58

8

Istilah kedua Al-Quran menggunakan kata Syir‟ah yang berarti furu‟ atau
cabang-cabang hukum lain selain Tauhid seperti Firman Allah dalam Q.S. AlMaidah ayat 48 :

            

             
   

“...untuk

tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan Syir‟ah (aturan) dan Minhaj

(jalan yang terang). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu,
Istilah Syariah juga mengandung makna keseluruhan hukum yang Allah
syariatkan kepada manusia. Seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Jatsiyah 18:

             
“kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Kalimat Syariah di ayat ini mencakup tauhid dan keseluruhan hukumhukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Istilah ketiga ini yang sering
digunakan para ulama untuk menegaskan bahwa Syariat adalah hukum yang
bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah. Seperti yang diungkapkan Ibnu Taimiyah
“sesungguhnya syariat itu tidak lain adalah Al-Qur‟an dan Sunnah”15
Dalam Mendefinisikan Hukum Islam, Selain istilah Syariah juga
digunakan Al-Fiqhu Al-Islamy atau sering disebut Fiqh, secara bahasa bermakna
al fahmu li al-syai‟i wa al-„ilmu bihi pemahaman dan pengetahuan tentang
sesuatu.16 Dalam Q.S. At-Taubah 122 Allah berfirman :
15
16

Ibid., h. 53
Ibid., h. 57

9

            

          

“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).

mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka -bertafaqquh- tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Arti liyatafaqqahu adalah untuk menjadi ulama (dalam ilmunya), ini
menunjukkan bahwa fiqh mutlak harus berilmu. Secara istilah fiqh bermakna Ilmu
tentang hukum-hukum Syariah yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci.17
Perbedaan antara syariat dan fiqh antara lain adalah : Syariat dimaksudkan
adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul Nya. Sedang
Fiqih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariah dan hasil
pemahaman itu. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang
lebih luas karena kedalamannya, sedangkan fiqih bersifat instrumental, ruang
lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang
biasanya disebut perbuatan hukum. Syariat hanya satu, sedangkan fiqih lebih dari
satu, syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fiqih menunjukkan
keragamannya.18
B. Hakikat Manusia
Pertanyaan sentral tentang “apakah manusia itu” sangat penting untuk
dijawab karena apabila manusia tidak dimengerti dan didefinisikan secara
meyakinkan maka konsep-konsep tentang hukum, bagaimanapun modernnya
tidak akan menghasilkan kesuksesan dan manfaat yang sesungguhnya. Berbagai
konsep tentang manusia telah dipaparkan demi untuk menemukan jati diri
manusia yang sesungguhnya.

17
18

Ibid
Daud Ali, Hukum Islam., h. 51

10

Mengutip pandangan Sartre tentang manusia, ia berpendapat bahwa
eksistensi manusia mendahului esensinya19. Hal ini tentu berbeda dengan mahluk
lain yang esensinya mendahului eksistensi. Sebuah benda jika akan dibuat maka
telah ditentukan dahulu fungsinya (esensi), baru kemudian benda itu bereksistensi
jika ia sudah ada dalam bentuk konkrit. Tetapi manusia bereksistensi (ada) dahulu,
kemudian ia melakukan pencarian esensinya. Dari pendapat Sartre ini dapatlah
dimengerti mengapa manusia tidak pernah berhenti bertanya dan mencari tentang
dirinya sendiri.
Dalam bukunya, Man the Unknown, Dr. A. Carrel menjelaskan tentang
kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan
bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia
khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang
ilmu pengetahuan lainnya.20
Menurutnya, hal ini disebabkan, pertama, pembahasan manusia terlambat
dilakukan, karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada
penyelidikan tentang alam materi, kedua, ciri khas manusia lebih cenderung
memikirkan hal yang tidak kompleks, ketiga, multikompleksnya masalah
manusia.21
Maka satu-satunya jalan untuk mengetahui hakikat manusia adalah
merujuk kepada wahyu Ilahi. Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur‟an untuk
menunjuk kepada manusia. Pertama, menggunakan kata alif nun dan sin,
semacam insan, ins, nas, atau unas. Kedua, menggunakan kata basyar, dan ketiga
menggunakan kata Bani Adam atau Dzurriyyat Adam.22
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti
penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata
basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas,
dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.Al-Quran menggunakan kata ini
sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual)
untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan

19

Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Jogjakarta: Kanisius, 2006), h. 93
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an-Tafsir Maudhu‟I Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung; Mizan,, 1996), h. 274
21
Ibid., h. 275
22
Ibid
20

11

manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk
menyampaikan bahwa, “Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi
wahyu” (QS Al-Kahf [18]: 110).23

Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan
tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al-Quran lebih tepat dari
yang berpendapat bahwa ia terambil dan kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu
(berguncang). Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia
dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara
seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.24
Istilah insan dalam al-Qur‟an, menunjuk pada potensi yang membentuk
struktur kerohanian manusia dan berfungsi sebagai modal dasar kehidupannya di
dunia. Potensi itu berupa kapasitas nafsu, akal, dan rasa.
1. Nafsu merupakan potensi kreatifitas yang cenderung pada arah nilai
positif dan nilai negatif , tercantum dalam Q.S. Al-Syams (91): 7-8.
2. Akal sebagai potensi intelegensi yang dapat mengenal, memahami,
memilah,

meneliti,

dan

memperoleh

pengetahuan,

tercantum

dalam Q.S Al-Rahman(55) : 2, Q.S Al-„Alaq (96): 5, Q.S. Al-Hajj (22)
: 46, Q.S.Al-Nahl (16) : 12, dan Q.S. „Abasa (80) : 24.
3. Rasa merupakan potensi yang mengarah pada nilai-nilai etika, estetika,
dan agama tercantum dalam Q. S. Al-Syura (42) : 48, Al-Zumar (39) :
8, dan Al-Ma‟arij (70) : 19-20).25
Selain itu, istilah insan mengarah pada sifat-sifat manusia, seperti mulia, ingkar,
melampaui batas, dan optimis seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Tin (95) : 4,Al„Adiyat (100) : 6, Al-„Alaq (96) : 6, dan Al Fushshilat (41) : 4926. Jadi, dalam
konteks itu, manusia adalah sebagai makhluk psikologis atau insani.
Istilah al-Nas dalam

al-Qur‟an mengandung

beberapa

makna

yaitu: pertama, obyek pembicaraannya mengenai manusia bukan secara
individual, tetapi manusia secara kelompok. Hal ini dapat dilihat pada ungkapanungkapan Qur‟ani, “aktsar al-nas”[kebanyakan manusia, Q.S. Al-Rum (30) :
30], “wa min al-nas” [dan di antara manusia, Q.S. Luqman (31) : 20], dan “al23

Ibid., h. 276
Ibid., h. 277
25
Samsul Arifin, Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2014), h. 44
26
Ibid
24

12

nas ajma‟in” [Manusia seluruhnya, Q.S. Ali-„Imran (3) : 87]. Selain itu, bentuk
kalimat perintah yang berkaitan dengan al-nas ditujukan kepada semua orang,
seperti dalam ungkapan “ya ayyuha al-nas u‟budu rabba kum” [hai manusia,
sembahlah Tuhanmu sekalian, Q.S. Al-Baqarah (2) : 21] “ya ayyuha al-nas
uzkuru” [hai manusia, ingatlah kalian semuanya, Q.S. Al-Fathir (35) : 3], dan “ya
ayyuha al-nas ittaqu” [hai manusia, bertakwalah kamu sekalian, Q.S. Luqman
(31) : 33].27
Kedua,
diperuntukkan

istilah al-nas berkaitan
pada

manusia

secara

dengan

petunjuk

komunal,

sebagai

al-Qur‟an

yang

terlihat

dalam

ungkapan “ya ayyuha al-nas qad jaa kum al-rasul” [hai manusia, sesungguhnya
telah datang rasul kepada kalian, Q.S. Al-Nisa (4) : 170], “wa anjalna ilaika alzikra li tubayyina li al-nas” [dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‟an sebagai
penjelasan bagi umat manusia, Q.S. Al-Zumar (39) : 41].28
Ketiga, istilah al-nas dikaitkan dengan penjelasan mengenai berbagai tipe,
perilaku, atau karakter kelompok manusia. Menurut al-Qur‟an, manusia itu
munafiq [Q.S. Al-Baqarah (2) : 8-13], fasiq [Q.S. Al-Maidah (5) : 49], zalim [Q.S.
Yunus (10) : 44], lalai[Q.S. Yunus (10): 92], kafir [Q.S. Al-Isra‟ (17) : 89],
destruktif (Q.S. Al-Syu‟ara‟ (26) : 183], musyrik [Q.S. Yusuf (12) : 103, 106],
tidak bersyukur (Q.S. Yusuf (12) : 28], beriman [Q.S. Al-Ankabut (29) : 10],
materialisme [Q.S. Al-Baqarah(2) : 204], dan berpaling [Q.S. Al-Anbiya‟ (21):
1].29

Jika dilihat dari konteksnya, istilah al-nas dalam al-Qur‟an mengacu pada

manusia sebagai makhluk sosial yang saling bersekutu dan berinteraksi. Selain itu,
naluri manusia cenderung bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dalam budaya
yang berbeda, dan cenderung pula untuk saling berhubungan, membutuhkan,
tolong menolong, dan memahami [Q.S. Al-Hujurat (49) : 13, al-Nisa‟: 1].
Istilah bani Adam dalam al-Qur‟an, menunjukkan bahwa manusia bukan
merupakan hasil evolusi dari kera, melainkan berasal dari Adam.30 Menurut alQur‟an, manusia diciptakan Tuhan dari tanah dan ruh, hal itu diungkapkan
dalam Q.S Al-Hijr (15): 28, “fa iza sawwaituhu wa nafakhtu fi hi min
27

Ibid. h. 45
Ibid
29
Ibid. h. 46
30
Ibid, h. 47
28

13

ruhi” (maka ketika Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan aku meniupkan
ke dalam tubuhnya ruh ciptaan-Ku). Jadi, manusia dalam konteks bani
Adam adalah sebagai makhluk theoformis yang tersusun dari jasad dan ruh. Jasad
berasal dari tanah, sedang ruh berasal dari Tuhan sebagai meta-energi yang
menyebabkan

daya basyari (biologis), daya insani (psikologis),

dan daya al-

nasi (hidup sosial). Daya-daya itu akan kembali tidak berfungsi setelah ruh
diambil oleh Tuhan, itulah yang disebut kematian [Q.S. Al-Jumu‟ah (62) : 8].
C. Manusia Sebagai Subjek Hukum
Subjek Hukum atau person dalam bahasa Inggris merupakan suatu
bentukan hukum artinya keberadaannya karena diciptakan oleh hukum. Salmond
menyatakan : ”so far as legal theory is concerned, a person is being whom the law
regards as capable of rights and duties. Any being thet is so capable is a person,
whether a ahuman being or not, and no being that is not so capble is a person,
even though he be a man.31
Dari apa yang dikemukan oleh Salmond tersebut jelas bahwa baik manusia
maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum atau istilah
Salmond, person kalau dimungkinkan oleh hukum. Manusia sekalipun pada masa
perbudakan oleh hukum tidak dipandang sebagai subjek hukum atau person.
Sebaliknya, bukan manusia tetapi oleh hukum dipandang sebagai cakap untuk
memegang hak dan kewajiban merupakan subjek hukum atau person.
Menurut Peter M. Marzuki32 Pada masa sekarang semua manusia
merupakan subjek hukum. Manusia merupakan subjek hukum selama ia masih
hidup yaitu sejak saat dilahirkan sapak meninggal dunia. Bahkan dalam sistem
civil law dikenal ungkapan ”nasciturus pro iam nato babetur” yang artinya anak
yang belum dilahirkan yang masih dalam kandungan dianggap telah dilahirkan
apabila kepentinngannya memerlukan. Maxim demikian tertuang di dalam pasal 2
BW yang menetapkan bahwa ”anak dalam kandungan seorang wanita dianggap
telah lahir setiap kali kepentigannnya menghendakinya, bila telah mati waktu
dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada.

31
32

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Kencana, 2008), h. 242
Ibid

14

Dalam hukum Islam, Manusia sebagai mahkum alaih yang diberikan
beban hukum (taklif) mesti memiliki dua syarat33 :
1. bahwa ia harus mampu memahami dalil pentaklifan, sebagaimana ia
mampu

untuk

memahami

berbagai

nash

perundang-undangan.

Kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklif hanyalah dapat
dibuktikan dengan akal dan keberadaan nash yang ditaklifkan pada
orang-orang yang berakal pada jangkauan akal mereka untuk
memahaminya. Maka orang yang tidak sempurna akalnya sebagai
potensi dalam kapasitasnya sebagai insan tidak bisa menjadi subjek
hukum atau tidak bisa dibebankan padanya taklif. Sesuai sabda Rasul
”pena diangkat dari tiga jenis manusia, orang yang tidur sampai
bangun, anak kecil sampai ia dewasa, dan orang gila sampai ia sadar”
2. kelayakan (ahliyyah) dikenakan taklif. Kelayakan sebagai subjek
hukum juga terbagi menjadi dua (1) ahliyah al-wujub, yaitu kelayakan
seorang manusia untuk ditetapkan padanya hak dan kewajiban.
Ahliyyah wujub ini tetap pada setiap orang dalam sifatnya sebagai
manusia, baik ia laki-laki atau perempuan, baik ia masih janin, anak
kecil atau mumayyiz atau telah baligh, atau dewasa, atau bodoh, berakal
ataupun gila, sehat atau sakit. Karena ahliyyah wujub ini didasarkan
pada kekhususan yang lamiah pada manusia. Detiap manusia yang
manapun orangnya. Ia mempunyai ahliyyah wujub, tidak seorang
manusia pun ditemukan sebagai orang yang tidak mempunyai ahliyyah
wujub, karena ahliyyah wujubnya merupakan kemanusiaannya. (2)
ahliyyah ada‟. Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul
ada‟ mempunyai tiga keadaan, pertama, tidak memiliki ahliyatul ada‟
seperti anak kecil dan orang gila.kedua, kurang ahliyyah ada‟, orang
yang telah pintar tapi belum baligh. Ketiga, sempurna ahliyyah
ada‟nya, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal.

33

Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Mohd. Zuhri dan Ahmad Qarib,
(Semarang: Dina Utama, 1994) h.198

15

D. Manusia Dalam Perspektif dan Historis Hukum Barat
Hukum sesungguhnya dibuat untuk kepentingan manusia, mengatur
tingkah laku, perbuatan, kebebasannya agar tidak terjadi kekacauan, manusia
menurut Thomas Hobbes memiliki kecendrungan untuk memangsa manusia
lainnya (homo homini lupus) yang disimbolkan dengan serigala atau lupus, oleh
karena itu manusia terpaksa mengadakan kontrak sosial, untuk melindungi
keselamatan masing-masing. Namun menurut Driyarkara Teori ini mengandung
banyak kelemahan. Menurutnya justru manusia adalah teman bagi sesamanya,
homo homini socius.34
Kontrak sosial ini kemudian menjadi hukum yang mengikat masyarakat
dan dikembangkan sesuai dengan kondisi masyarakatnya, pemikiran-pemikiran
atau filsafat tentang hukum terus berkembang agar bagaimana hukum dapat
dijalankan untuk memberikan keamanan, ketertiban dan keteraturan dalam
masyarakat. Muncullah Teori-teori tentang hukum yang digagas para filosof dan
pakar hukum.
Pada masa klasik, muncul aliran hukum alam, natural law, menurut
Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari
keadilan yang absolut. Hukum alam disini dilihat sebagai hukum yang berlaku
universal dan abadi.35
Aliran hukum alam ini kemudian terbagi menjadi dua, pertama, aliran
hukum alam Irrasional yang didukung oleh Thomas Aquinas, Jhon Salisbury,
Dante, Puere Dubos, Marsilisu Padua dan Jhon Wycliffe, aliran hukum irrasional
berpandangan bahwa segala bentuk hukum yang bersifat universal dan abadi dan
bersumber dari Tuhan secara langsung. kedua, aliran hukum alam rasional yang
didukung oleh Hugo de Groot, Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel
von Pufendorf, aliran ini berpandangan bahwa sumber dari hukum yang universal
dan

abadi

itu

adalah

rasio

manusia.

Gagasan

kedua

pandangan

ini

menggambarkan bagaimana hukum alam diwujudkan sebagai bagian organik dan
esensial dalam hierarki nilai-nilai hukum.36

A. Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara – Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat
Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta : Gramedia Pustaka utama, 2006), h. 591
35
Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum - Teori dan Praktek, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2013), h. 95
36
Ibid. h. 106
34

16

Pada periode selanjutnya, paradigma tentang hukum bergeser dari natural
law kepada term positivisme hukum, hukum dipisahkan dengan moral secara
tegas, das sein dan das sollen. Hukum adalah perintah penguasa, law is a
command of the lawgivers, hukum identik dengan undang undang. Aliran ini
dikembangkan antara lain oleh Jhon Austin, Reine Rechslehre, dan Hans Kelsen.37
Pada abad ke 18, muncul teori Utilitarianisme yang melihat hukum harus
bertujuan untuk memberikan kebahagiaan buat manusia, The Greatest Happines
For The Great Numbers. Pandangan ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham,
Jhon Stuart Mill, Rudolf von Jhering.38
Pemikiran tentang hukum, bergerak dari fokus terhadap manusia sebagai
individu mengarah kepada bangsa yang dikembangkan oleh Mazhab sejarah
(Historische Rechtschule) dengan tokohnya Friedrich Karl von Savigny, Puchta,
Henry Summer. Mazhab Sejarah ini menganggap hukum itu tidak dibuat,
melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.39
Sebagai sintesis dan dialektika dari positivisme hukum dan mazhab
sejarah, muncul aliran Sosiological Jurisprudence yang didukung oleh Eugen
Ehrlic dan Roscoe Pound, yang menganggap sama pentingnya positivisme hukum
sebagai command of lawgivers dan mazhab sejarah yang menyatakan hukum
timbul dan berkembang dengan masyarakat, Sosiological Jurisprudence melihat
hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.40
Pada masa modern, pemikiran tentang hukum dan manusia terus
dikembangkan, muncul teori Realisme Hukum, Amerika dan Skandinavia,
Sosiologi hukum, antropologi hukum Critical Legal Studies dsb. yang
kesemuanya melihat hubungan antara hukum dan manusia, dan bagaimana
keduanya – hukum dan manusia- saling mempengaruhi satu sama lain.

37

Ibid. h. 106-107
Ibid. h. 111-117
39
Ibid. h. 117-122
40
Ibid. h.123-128
38

17

D. Pandangan Hukum Islam tentang Manusia dan Kemanusiaan
Dalam perspektif hukum Islam, hukum meskipun juga mengalami
perkembangan sesuai dengan kondisi manusia dan sosialnya, namun tetap harus
dilandaskan kepada sumber utamanya, yaitu syariat, sehingga hubungan atau
pengaruh hukum dan manusia tidak mengalami banyak perbedaan sepanjang
masa. Karena patron dalam melihat hukum sudah secara tegas dan tidak akan lari
dari konsep hukum yang ada dalam Al-Qur‟an maupun Sunnah, hanya
pengembangan hukum melalui ijtihad terhadap hal-hal yang tidak tertulis jelas
dalam Syariat terus dilakukan dengan tetap berpegang pada dua sumber hukum
utama tsb
Al-Qur‟an sebagai sumber hukum dalam Islam memberikan penghargaan
yang tinggi terhadap manusia. Al-Qur‟an sebagi sumber hukum pertama bagi
umat Islam telah meletakan dasar dasar kemanusiaan serta kebenaran dan
keadilan, jauh sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat
dunia. Hal ini dapat dilihat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam alQur‟an,antara lain :
1.

Dalam al-Quran terdapat 80 ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup
dan penyediaan sarana kehidupan, misalnya dalam surat al-Maidah
ayat 32 :

2.

” Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah
membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang
kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keteranganketerangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka
bumi”.
Al-Qur‟an juga menjelaskan 150 ayat tentang ciptaan dan makhlukmakhluk serta tentang persamaan dalam penciptaan, misalnya dalam
surat al-Hujarat ayat 13.

3.

Al-Qur‟an telah mengetengahkan sikap menentang kezaliman dan
orang-orang yang berbuat zalim dalam sekitar 320 ayat dan

18

memerintahkan berbuat adil dalam 50 ayat yang diungkapkan
dengan kata : adl, qisth dan qishsh.
4.

Dalam al-Qur‟an terdapat sekitar 10 ayat yang berbicara mengenai
larangan

memaksa

berkeyakinan

dan

untuk

menjamin

mengutarakan

kebebasan

aspirasi,

berfikir,

misalnya

yang

dikemukakan dalam surat al-Kahfi ayat 29 .
Beberapa ayat lain yang menunjukkan penghormatan akan hak-hak
manusia dalam ajaran Islam antara lain, Hak Persamaan dan Kebebasan (QS. AlIsra : 70, An Nisa : 58, 105, 107, 135 dan Al-Mumahanah : 8). Hak Hidup (QS.
Al-Maidah : 45 dan Al - Isra : 33). Hak Perlindungan Diri (QS. al-Balad : 12 - 17,
At-Taubah : 6). Hak Kehormatan Pribadi (QS. At-Taubah : 6). Hak Keluarga (QS.
Al-Baqarah : 221, Al-Rum : 21, An-Nisa 1, At-Tahrim :6). Hak Keseteraan
Wanita dan Pria (QS. Al-Baqarah : 228 dan Al-Hujrat : 13). Hak Anak dari
Orangtua (QS. Al-Baqarah : 233 dan surah Al-Isra : 23 - 24). Hak Mendapatkan
Pendidikan (QS. At-Taubah : 122, Al-Alaq : 1 - 5). Hak Kebebasan Beragama
(QS. Al-kafirun : 1 - 6, Al-Baqarah : 136 dan Al Kahti : 29). Hak Kebebasan
Mencari Suaka (QS. An-Nisa : 97, Al Mumtaharoh : 9). Hak Memperoleh
Pekerjaan (QS. At-Taubah : 105, Al-Baqarah : 286, Al-Mulk : 15). Hak
Memperoleh Perlakuan yang Sama (QS. Al-Baqarah 275 - 278, An-Nisa 161, AlImran : 130). Hak Kepemilikan (QS. Al-Baqarah : 29, An-Nisa : 29). Dan Hak
Tahanan (QS. Al-Mumtahanah : 8).
Izzuddin Abdus Salam41 berpendapat bahwa hukum Allah yang diturunkan
kepada Rasulnya adalah bertujuan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan manusia
dan mencegah hal-hal yang dapat mendatangkan kerusakan. Dalam Q.S. Annahl
90, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan kebaikan (Al-Adl dan
Al-Ihsan), Ihsan bukan hanya antara manusia kepada Tuhannya, namun juga
kepada semua Makhluk, baik manusia, binatang dan tumbuhan. Termasuk juga
Ihsan kepada dirinya sendiri

41

Izzuddin bin Abdis Salam, Al-Fawaid fi Iktishari al-Maqashid au Al-Qawaid AlSughra, (Lebanon, Darul Fikri, 1996) h. 33

19

Al-Syathiby menjelaskan bahwa hukum yang disyariatkan Allah memiliki
tujuan memberikan perlindungan kepada makhluknya. Tujuan atau maksud
hukum (maqashid syariah) tersebut dibagi menjadi tiga, dharuriyyah (primer)
hajjiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier).42
Tujuan yang Dharuriyyah adalah hukum wajib memberikan pemeliharaan
dan proteksi kepada lima hal, (1) hifzhu al-din, hukum dibuat untuk melindungi
manusia dalam menjaga agamanya, (2) Hifzhu al-nafs, memberikan proteksi dan
pemeliharaan terhadap jiwa, (3) Hifzhu Al-Nasl, pemeliharaan terhadap anak dan
keturunan (4) Hifzhu Al-Mal, perlindungan terhadap harta benda, dan (5) Hifzhu
Al-Aql, memelihara akal, fikiran dan nalar.43
Hasbi Ash-Shiddiqy mengatakan bahwa Hukum Islam sesungguhnya
sangat berkarakter Insaniyyah (kemanusiaan), hukum Islam memberikan perhatian
penuh kepada manusia, memelihara segala yang berpautan dengan manusia, baik
mengenai diri, ruh, akal, aqidah, fikrah, usaha, pahala, dan siksa, baik selaku
perorangan maupun selaku anggota masyarakat, baik mengenai anak istrinya,
harta kekayaannya keutamaan dan kekejiannya dsb.44
Tidak ada agama baik yang diwahyukan atau tidak, baik dalam kitab-kitab
ketuhanan, kitab-kitab buatan manusia, baik dalam mazhab falsafah lama maupun
baru, yang menjadikan manusia asas dan sumber kemudian menjadikannya
washilah (cara) dan ghayah (tujuan) serta menjadikannya objek pembahasan
sebagai yang diperbuat Al-Qur‟an.45
Hukum

Islam

memberikan

kemuliaan

kepada

manusia

karena

kemanusiaannya, Islam tidak mendahulukan sesuatu pun atas manusia,
manusialah yang menjadi substansi dan asas. Ada negara atau syariat yang
menempatkan negara di atas segala-galanya. Karena negara melarang manusia
berbicara bebas, negara membatasi gerak-gerik rakyatnya dan mengharuskan
mereka tunduk setunduk-tunduknya kepada negara, dan mengorbankan dirinya
demi untuk kejayaan negara.46

42

Abu Ishaq Al-Syathiby, Al-Muwafaqat, (Arab Saudi: Dar Ibn Affan, 1997) h. 17
Ibid., h.. 20
44
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (t.t.p: Pustaka Rizki
Putra, t.t), h. 100
45
Ibid.
46
Ibid.
43

20

Ada pula negara yang berpendapat bahwa masalah ekonomi dan
perbaikannya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karenanya
negara meletakkan seluruh masyarakat tunduk di bawah hukum ekonomi. Maka
jika masalah ekonomi dan kemajuannya tidak dapat berjalan dengan baik
terkecuali dengan mengorbankan manusia, maka dengan tidak segan-segan
manusia itu dikorbankan demi untuk kepentingan-kepentingan ekonomi.47
Islam tidak membenarkan seseorang melecehkan kemuliaan manusia dan
mengancamnya atau menumpahkan darahnya, jalan yang ditempuh Islam baik
dalam menghadapi orang-orang yang bertindak jahat haruslah menurut cara-cara
yang telah ditetapkan syara‟ tidak boleh dilampaui. Hukuman-hukuman yang
ditetapkan atas dasar memelihara kemuliaan manusia. Oleh karena ini yang
menjadi asas hukum Islam, maka Islam tidak mendasarkan perintah kepada
pemaksaan, tidak menghilangkan kemerdekaan manusia dan membatasi gerak
dirinya.48
Sehingga bisa dilihat bahwa manusia dalam perspektif hukum Islam
diberikan tempat dan porsi yang besar sebagai subjek sekaligus objek hukum,
menjadi asas maupun tujuan hukum, dengan pedoman yang berasal dari hukum
asli yang berasal dari zat yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun kecuali
untuk kepentingan dan kemashlahatan hambanya. Kepatuhan manusia terhadap
hukum Tuhan ini bukan hanya disebabkan pemaksaan atau sanksi yang diberikan,
ataupun reward yang didapatkan. namun ada daya dorong yang sangat besar yang
datang dari dalam hati. Hukum dan akhlak adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan.

47
48

Ibid., h, 101
Ibid.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum memiliki sejuta definisi, setiap orang akan berbeda dalam
mendefinisikan hukum, dalam Islam hukum dikenal dengan nama Syariah yang
bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah, dan Fiqh hasil pemahaman manusia
terhadap Syariah.
Manusia dalam Al-Qur‟an disebut dalam tiga bentuk, pertama disebut
basyar, menunjukkan manusia dalam arti biologisnya, kedua disebut Al-Ins
dengan berbagai derivasinya seperti Insan, Unas dan An-Nas, digunakan Al-Quran
untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.
Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik,
mental, dan kecerdasan. Ketiga, Bani Adam atau Dzurriyat Adam, menunjukkan
manusia berasal dari satu ayah nafsin wahidah yaitu Adam dan berasal dari rahim
yang satu yaitu Hawa. Kemudian berkembang menjadi makhluk sosial yang saling
berhubungan satu sama lain.
Hukum dan Manusia adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan,
dimana ada manusia dan masyarakat disitu ada hukum. Hukum berkembang
seiring dengan perkembangan manusia, dalam konteks hukum yang berkembang
di Barat, perkembangan hukum sangat relatif dan tergantung kondisi sosial dan
pemikiran filosofis yang berkembang pada zamannya, karena tidak memiliki satu
dasar yang kokoh dalam mendefinisikan hukum, akan berbeda dengan
perkembangan hukum Islam, memiliki dasar yang fundamental yang tidak akan
berubah sepanjang zaman, perkembangan hukum tetap mengacu kepada syariat,
dan prinsip-prinsipnya disesuaikan dengan perkembangan manusia.
Manusia diberikan tempat yang istimewa dalam hukum, baik dalam
hukum Barat terlebih lagi dalam pandangan hukum Islam, hukum bertujuan
memelihara eksistensi manusia, keteraturan, ketertiban, keadilan, keseimbangan
hak dan kewajiban.
Manusia dalam kapasitasnya sebagai Insan dan Nas menjadi subjek hukum
dibebankan taklif kepadanya, karena potensi yang Allah berikan kepadanya

21

berupa akal yang bisa memilih baik dan buruk. Ketika potensi itu hilang maka
sebagai beban taklif hukum itu pun tidak berlaku lagi untuknya.
Hukum Islam sesungguhnya sangat berkarakter Insaniyyah (kemanusiaan),
hukum Islam memberikan perhatian penuh kepada manusia, memelihara segala
yang berpautan dengan manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, aqidah, fikrah,
usaha, pahala, dan siksa, baik selaku perorangan maupun selaku anggota
masyarakat, baik mengenai anak istrinya, harta kekayaannya keutamaan dan
kekejiannya dsb.
Hukum Islam bertujuan memberikan kemashlahatan yang sebesar-besarnya
kepada manusia, dan memberikan perlindungan menyeluruh terhadap manusia
baik agamanya, jiwanya, keturunannya, hartanya dan akalnya.
.

22

DAFTAR PUSTAKA
A. Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara – Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang
Terlibat Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta : Gramedia Pustaka
utama, 2006
Abdul Baqy. Muhammad Fuad, Al-Mu‟jam Al-Mufahras li Alfazhi Al-Qur‟ani AlKarim, Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, 1364 H
Ali. Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory & Teori Peradilan (Judicial
Prudence), termasuk interpretasi Undang-Undang (Legisprudences)
Volume 1 Pemahaman Awal, Jakarta: Kencana, 2009
Ali. Mohammad Daud, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. 18, 2013
Al-Ishfahani. Ar-Raghib, Al-Mufradat fi Gharibi Al-Qur‟an, Damaskus, Darul
Qalam, 1412 H
Al-Syathiby. Abu Ishaq, Al-Muwafaqat, Arab Saudi: Dar Ibn Affan, 1997
Ash-Shiddiqy. Teungku Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, t.t.p: Pustaka
Rizki Putra, t.t
As-Sufyani. Abid Muhammad, Ats-Tsabat wa Asy-Syumul fi Asy Syariah AlIslamiyah, Makkah: Al-Manarah, 1988
Izzuddin bin Abdis Salam, Al-Fawaid fi Iktishari al-Maqashid au Al-Qawaid AlSughra, (Lebanon, Darul Fikri, 1996)
Khalaf. Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Mohd. Zuhri dan Ahmad Qarib,
Semarang: Dina Utama, 1994
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008
Shihab. M. Quraish, Wawasan Al-Qur‟an-Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung; Mizan, 1996),
Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum - Teori dan Praktek, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2013

23