DINAMIKA KEHIDUPAN DI TANAH BANJAR PADA

DINAMIKA KEHIDUPAN DI TANAH BANJAR
PADA PAROH KEDUA ABAD XIX
Bambang Subiyakto

Pengantar
Orang Banjar sering terutama dipandang sebagai pedagang 1 untuk
beberapa hal kedudukan itu penting. Akan tetapi, banyak gerak mereka,
bersama Orang Dayak, ditentukan pula oleh situasi geografis dan kontak dengan
pihak luar. Oleh karena itu, dalam masalah memahami motivasi dan dinamika
kehidupan penduduk Kalimantan Selatan, adalah penting mempelajari aktivitas
ekonomi dan situasi geografis setempat, di samping karena faktor lain seperti
politik dan epidemic misalnya.
Tulisan

berikut

merupakan

upaya

memberikan


gambaran

umum

mengenai apa yang berlangsung di kalangan penduduk di Tanah Banjar pada
sekitar Abad ke-19. Atau, merupakan bahasan secara sejarah terhadap
pertanyaan bagaimana dan mengapa pergerakan penduduk, yang atas dasar
konteks waktunya, berlangsung di wilayah apa yang disebut dengan Borneo
Tenggara.
Mencari Jalan Ke Luar
Lesley Potter memilah-milah Urang Banjar atas dasar penguasaan
pekerjaan-pekerjaan spesifik oleh daerah-daerah tertentu di Kalimantan Selatan.
Pekerjaan di bidang pertanian misalnya oleh Urang Banjar dari daerah Barabai,
sedangkan industri, kerajinan tangan dan nelayan dari daerah Negara. Adapun
bidang perdagangan oleh Urang Banjar dari daerah Amuntai dan Alabio, serta
pekerjaan mendulang intan dan pengajaran Agama Islam dari daerah
Martapura2.

1


Lesley Potter. “Banjarese in and Beyond Hulu Sungai, South Kalimantan: A Study of Cultural
Independence, Economic Opportunity an Mobility” dalam J. Thomas Lindblad (ed.), New Challenges in
the Modern Economic History of Indonesia, (Leiden: Programme of Indonesia Studies, 1993), hal. 264.
2
Ibid., hal. 265

1

Meskipun demikian, identitas sebagai pedaganglah yang menjadi
pandangan umum banyak penulis dan peneliti mengenai Urang Banjar sampai
pada Abad Ke-19. Masyarakat yang oleh Lesley Potter kemudian juga dinilai
memiliki mobilitas sosial tinggi. Oleh karenanya, menurut Lesley Potter lagi,
bahwa pada suatu ketika Urang Banjar pernah “eksodus” ke tempat-tempat yang
jauh dari tempat asal mereka lalu menetap seperti di daerah Riau dan Jambi di
Sumatera, di Malaysia, di Pantai Utara Jawa Bagian Timur, dan sebagian lagi di
Tanah Arab terutama di Makkah. Di sisi lain, pada masa dahulu dinamika
kehidupan di wilayah Kalimantan Selatan (baca: Borneo Tenggara) lebih dikuasai
oleh kegiatan Orang Banjar, karenanya seringkali pula mereka dipandang
sebagai penduduk asli pemegang supremasi di wilayah itu, di Tanah Banjar.

Motovasi-motivasi yang mengawali perpindahan terutama terkait dengan
menghindari kekuasaan langsung Belanda, khususnya terjadi pada saat dan
seusai Perang Banjar. Kondisi politik itu yang mendorong pada awalnya Urang
Banjar berpindah ke kasultanan-kasultanan lain di Kalimantan yang dianggap
belum atau kurang menerima pengaruh (intervensi) langsung kekuasaan
Belanda. Selanjutnya menyusul berpindah ke tempat-tempat lebih jauh, seperti
ke daerah-daerah di Sumatera dan Semenanjung Melayu. Meskipun secara
garis besar perpindahan berkelompok-kelompok, dan tidak saling sendiri-sendiri,
mereka bersama membentuk satu kesatuan Masyarakat Banjar, dan itu suatu
pembauran kembali masyarakat secara utuh yang tengah berdaya upaya di
daerah-daerah baru seperti di Krian, Riau dan Batu Pahat. 3
Pertengahan tahun 1870, mulailah berdatangan Urang Banjar asal
Amuntai ke daerah Kasulatanan Kutai. Perpindahan tertuju ke sana karena
sebelumnya Sultan Kutai pernah menjanjikan kepada penduduk Amuntai untuk
tinggal di daerahnya dan mereka ini akan dibebaskan atas pungutan biaya atau
pajak dalam berusaha menggali hasil hutan. Pada saat kekuasaan Belanda
semakin intensif masuk ke daerah mereka di Hulu Sungai pasca Perang Banjar,
kehidupan dirasakan semakin tidak nyaman menyebabkan mereka mengambil
keputusan bermigrasi ke daerah Kutai. Migrasi mereka lakukan secara
3


Ibid.

2

berangsur-angsur.

Kelompok-kelompok

Urang

Banjar

dari

Amuntai

ini

berdatangan ke daerah Kutai dan setahap demi setahap menempati daerah di

sepanjang sungai Mahakam, antara Muara Muntai dan Kota Bangun, suatu
daerah yang kondisinya mirip dengan tempat asal mereka 4.
Antara tahun 1885 dan 1888 serangkaian musim kering yang dahsyat dan
banjir besar menghancurkan lahan rawa tanaman ekspor di daerah Hulu Sungai.
Peristiwa masa itu merupakan tekanan berat bagi sektor pertanian (cultivation).
Akibatnya, Urang Banjar dari daerah Hulu Sungai ini melakukan perpindahan
dengan di mulai ke Semenanjung Melayu. Perpindahan populasi Urang Banjar
terbanyak ketika itu ke distrik Pantai Perak, Pulau Pinang, dan di bagian Utara
Selangor. Di lain pihak, seperti ditulis oleh Masthof, bahwa irigasi yang kurang
memadai dan kemungkinan menanam padi tahap kedua yang pupus di distrik
Kelua (Amuntai Utara) pada tahun 1888, menyebabkan pula Urang Banjar dari
daerah ini berimigrasi ke lain-lain daerah agar dapat mengusahakan produksi
padi5.
Pada mulanya secara sendiri-sendiri Urang Banjar asal Hulu Sungai
berpindah sebagai “buruh kuli”, suatu bidang kerja yang sebenarnya kurang
mereka sukai, seperti ke Sumatera Timur dalam tahun 1880-an. Perpindahan
berikutnya terjadi tidak lagi individual melainkan secara komunal, berdasar
kepada kelompok sanak famili, atau bubuhan6. Mereka melakukan perpindahan
ke tampat yang jauh dari tempat asal mereka. Pengalaman Urang Banjar yang
terbiasa melayari sungai dan perairan daratan pada umumnya, barangkali

menjadi salah satu pendorong untuk tanpa rasa khawatir melayari laut menuju
tempat-tempat yang baru ke luar Kalimantan.
Kelompok lain yang juga melakukan perpindahan ke daerah Kutai adalah
kelompok Orang Bakumpai, yaitu kelompok Orang Dayak yang umumnya telah
Muslim tetapi tidak menyebut diri Urang Banjar, meskipun seringkali oleh pihak
lain dikatagorikan dan disebut Urang Banjar juga. Di bawah pimpinan Bang Juk,
4

Ibid., hal. 270. Periksa pula A.W. Nieuwenhuis, Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari
Pontianak ke Samarinda, (Jakarta: Gramedia, 1994), hal. 252-254.
5
Lesley Potter, loc cit.
6
Ibid., Periksa juga “De Oprichting van Volkscredietbanken op de Buitenbezittingen”, (TBG Bag.
Ke-48), op cit., hal. 86.

3

Orang Bakumpai itu berlayar ke wilayah Mahakam, di muara Sungai Rata. Di sini
kemudian mereka membangun permukiman dan melakukan perdagangan

dengan orang-orang Bahau, serta mengeksploitasi hutan milik kepala-kepala
suku setempat. Dalam hal itu, mereka juga bersaing dengan pedagangpedagang Bugis dan sejak itu menjadi pesaing utama mereka. Dalam
perekembangannya Orang Bakumpai ternyata berhasil lebih berpengaruh dan
tersebar di situ dalam jumlah yang semakin besar 7.
Di daerah yang disebut Uju Tepu di Sungai Mahakam terdapat dua
kelompok permukiman. Di bagian daerah tepi kanan merupakan permukiman
Orang Bugis, sedangkan di tepi kiri merupakan permukiman Orang Bahau di
samping terdapat kelompok rumah terapung (lanting) Orang Bakumpai.
Selebihnya, bermukim pula bersama orang Bahau dan Bakumpai itu pedagangpedagang Banjar8.
Klaim bahwa Belanda telah berkuasa sepenuhnya atas seluruh wilayah
Kalimantan Selatan pada masanya seringkali dikritik beberapa sejarawan
seperti Graham Irwin, Anthony Reid dan J.T. Lindblad. Klaim itu menurut mereka
tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sampai Abad Ke-19 berakhir,
kekuasaan yang dimaksud kenyataannya belum sepenuhnya menjangkau
daerah-daerah perdalaman. Pengalaman Nieuwenhuis dalam melakukan
ekspedisi spektakulernya di penghujung Abad Ke-19 membuktikan kenyataan
itu.
Akan tetapi, para sejarawan asing itu melanjutkan asumsinya dengan
pernyataan yang justeru menampakan pandangan “Eropa Sentris”. Mereka ini
berpendapat bahwa kehidupan penduduk di daerah perdalaman mendapat

tekanan dari para penguasa pribumi dan sering terjadi kekacauan justeru karena
kekuasaan pemerintahan Belanda belum menyentuh daerah-daerah itu. Di sini
mereka ingin menggambarkan bahwa kalau saja kekuasaan Belanda secara
penuh dapat dilaksanakan sampai di daerah-daerah perdalaman tentu keadaan
penduduknya akan lebih nyaman dan aman. Adapun yang dimaksud dengan

7

A.W. Neiuwenhuis, op cit., hal. 253.
Ibid., hal. 256-258.

8

4

penguasa pribumi tentulah terutama adalah Kesultanan Banjar dan kepalakepala setempat yang berada di bawah pengaruh atau kendalinya.
Suasana Chaos di Perdalaman
Pendapat para hali itu muncul atas dasar pengetahuan tentang keadaan
di perdalaman Kalimantan pada Abad Ke-19, seperti digambarkan oleh
Nieuwenhuis. Ketika itu, sebagaimana dikutip Nieuwenhuis dari Sellato,

mengemukakan bahwa kehidupan suku-suku Dayak di daerah Mahakam Hulu
terjepit di antara kekuasaan Kesultanan Kutai dan Suku Iban di Sarawak. Sultan
Kutai ketika itu tengah berupaya agar suku-suku itu mengakui kekuasaannya
dan memaksa mereka berdagang dengan pihaknya. Sementara itu, Kwing Irang
kepala suku paling berpengaruh di daerah Mahakam Hulu, berjuang keras agar
wilayahnya

tetap

bebas

dari

Kutai,

kesultanan

yang

dianggap


telah

menyebabkan suku-suku di wilayah Mahakam Hilir banyak menderita. Di Pihak
lain, Belare kepala suku berpengaruh saingannya telah berpihak kepada Sultan
Kutai, sedangkan Paron kepala suku lainnya lagi (dari daerah Mahakam sebelah
Barat) telah bersumpah setia kepada Sultan Banjarmasin.
Suku Iban (dari Batang Lupar, Sarawak) merupakan cabang Suku Dayak
yang pada tahun 1885 bergerak ke selatan melakukan menyerbuan besarbesaran terhadap Suku-suku Dayak pimpinan Kwing Irang, Belare, Paron dan
Tingang Kohi di Kalimantan Tenggara. Mereka membakar desa-desa Suku
Dayak di sana, membunuh sebagian penghuninya dan sebagian lagi menjadi
tawanan, serta menjarah harta benda. Sarawak berada di wilayah Borneo bagian
utaramerupakan wilayah di bawah kekuasaan Inggris. Sedangkan wilayah
Borneo bagian selatan merupakan wilayah di bawah kekuasan Belanda terbagi
atas dua bagian, yaitu barat dan tenggara. Wilayah Borneo Tenggara ini pada
masanya dianggap sebagai wilayah di bawah pengaruh kekuasaan Kasultanan
Banjar.
Penyerbuan utama Suku Iban sebenarnya ditujukan ke pihak Paron dan
Tingang Kohi. Sekitar dua per tiga pengikut dua kepala suku ini tewas di tangan
Suku Iban. Tempat tinggalnya dibakar dan harta bendanya dirampas. Adapun


5

Belare dan pengikutnya menerima imbas dari peristiwa penyerangan Suku Iban
itu dan menjadi pihak dengan korban terbesar. Di samping tempat tinggalnya
dibakar dan harta bendanya dirampas, 234 orang warga sukunya tewas, dan
Belare sendiri menderita luka akibat tertombak. Imbas penyerbuan itu juga
dialami pihak Kwing Irang. Meski hanya kehilangan tempat tinggal dan harta
benda saja, namun hal ini menyebabkan terjadinya permusuhan antara dirinya
dengan pihak Belare.
Peristiwa penyerbuan Suku Iban itu merupakan ancaman yang selalu
membayang dan tidak jarang menciptakan perselisihan antar kelompok Orang
Dayak di daerah selatan. Dalam kelompoknya masing-masing sejak tahun 1885
itu seringkali terjadi perpindahan tempat tinggal guna menghindari keadaan yang
kurang menguntungkan. Dalam kaitan itu mereka juga berupaya mengikatkan
diri dengan kekuatan-kekuatan di luar mereka seperti kepada kekuasaan Gusti
Mat Seman (putera Pangeran Antasari dari Kesultanan Banjar) dan Kesultanan
Kutai9.
A.W. Nieuwenhuis, E.B. Kielstra, dan H.T. Colenbrander misalnya
mengemukakan,

bahwa

pasca

Perang

Banjar

sikap

bermusuhan

dan

perlawanan terhadap Belanda masih terus dilakukan oleh tunas turunan raja-raja
Banjar yang menyingkir dan menguasai daerah-daerah perdalaman. Mereka
membentuk pemerintahan sendiri sebagai kelanjutan dari Kasultanan Banjar dan
mendaulat Gusti Mat Seman sebagai sultan. Kekuasaan ini mendapat dukungan
luas dari kelompok-kelompok Orang Dayak di perdalaman 10. Di samping dari
Urang Banjar pengikut Gusti Mat Seman, dari kelompok-kelompok Orang Dayak
itulah kekuasaan Gusti Mat Seman ditegakan.
Belare merupakan kepala suku utama Orang Bahau, tinggal di daerah
Muara Sungai Kaso di Mahakam, bersama pengikutnya dikenal karena
kekerasannya. Penampilannya mencerminkan keberanian, ketekadan dan
kejantanan dengan bentuk tubuh yang kekar. Ia suka melakukan perjalananperjalanan jauh dan berburu, sehingga Belare amat terkenal di seluruh wilayah
9

Ibid., hal. xvii dan 154.
Ibid., hal. xiii-xviii, 151, 188 dan 216-221. E.B. Kielstra, “De Bandjermasinsche Sultanspartij”,
hal. 782-788. H.T. Colenbrander, Koloniale Geschiedenis, (‘sGravenhage: Martines Nijhoff, 1926), hal.
199-204.
10

6

Kapuas, Mahakam, bahkan hingga Rejang daerah utama Suku Iban di Sarawak.
Bersama sisa pengikutnya, akibat penyerbuan Suku Iban, Belare mengungsi ke
arah timur di Sungai Danum Pare, dan baru kira-kira tahun 1892 ia kembali
membangun tempat tinggalnya di Muara Sungai Kaso, Mahakam Hulu. Belare
bersama pengikutnya mendiami rumah yang sangat besar dan kokoh.
Rumahnya menampung sekitar 400 orang. Ini sebanding dengan rumah kepala
suku lainnya, yaitu Akam Igau di Mendalam. Belare maupun Akam Igau
merupakan kepala Suku Dayak yang berpihak dan setia kepada Kesultanan
Kutai11.
Di daerah perdalaman lainnya, kepala Suku Dayak Siang Murung
mempunyai kebiasaan berpakaian yang berbeda dari kepala-kepala Suku Dayak
umumnya, yaitu berpakaian Melayu. Nama Suku Siang itu merupakan nama
untuk semua suku yang mendiami daerah sepanjang Sungai Murung (anak
Sungai Barito) serta anak sungai lainnya. Daerahnya dikuasai keturunan terakhir
dinasti Kesultanan Banjar, Gusti Mat Seman. Putera Pangeran Antasari ini
masuk ke perdalaman karena terdesak

pada saat Perang Banjar. Mereka

menguasai daerah Barito dan dengan sikap keras menolak tunduk kepada
Belanda. Sikap bermusuhan tunas keturunan raja Banjar itu menyebabkan
wilayah itu tertutup bagi orang asing terutama Belanda, apalagi kerena Sukusuku Dayak di situ berpihak dan memberikan dukungan kepadanya 12.
Dinamika Yang Terpaksa
Di samping faktor politik dan bencana alam, faktor ekonomi merupakan
pula pendorong mobilitas dan berlangsungnya migrasi. Selain sebagaimana
secara umum telah disinggung, masyarakat Banjar asal Negara mempunyai jiwa
berdagang yang unggul sehihgga tingkat mobilitas mereka berada di atas
masyarakat

Banjar

lainnya

maupun

Dayak.

Dalam

kaitan

itu,

Potter

menungkapkan bahwa meskipun mereka menerima hak istimewa dari Sultan
Banjar, namun menentang campur tangan terhadap industri manufaktur dan
aktivitas perdagangan mereka.
11

Nieuwenhuis, Ibid., hal. 150 dan 152.
Ibid., hal. 146.

12

7

Negara

merupakan

daerah

asal

para

pedagang

Banjar

yang

menyebarkan sendiri produknya ke seluruh Nusantara. Mereka membangun
kapal-kapal dari kayu ulin dan menggunakannya sebagai pedagang keliling
dengan jumlah komoditas yang besar dan menempuh perjalanan-perjalanan
yang jauh. Mereka memperdagangkan barang-barang produk mereka sendiri
dan hasil alam dengan perahu-perahu mereka sendiri pula menyeberang laut.
Dalam hal kepiawaian berdagang, mereka hanya dapat disaingi Urang Banjar
asal Alabiu13. Sesungguhnya dari aktivitas ekonomi Urang Banjar asal Negara
dan Alabiu itulah banyak pihak (peneliti dan penulis) sampai pada kesimpulan
Urang Banjar adalah pedagang. Dari kedua daerah itulah saudagar-saudagar
Banjar berasal dan terkemuka pada masa dahulu.
Di daerah pantai, seperti Tanah Laut, penduduknya melakukan hubungan
dengan Kota Banjarmasin melalui sungai Batutungku, Tabonio, dan Maluka.
Mereka yang berasal dari daerah agak ke dalam menggunakan sungai-sungai itu
menuju muara kemudian menyusuri pantai untuk mencapai Banjarmasin.
Penduduk dari daerah inipun pada dasarnya memiliki kemampuan berdagang.
Posisi daerah Tanah Laut yang strategis dan terbuka memungkinkan mereka
berinteraksi dengan berbagai suku dari luar Kalimantan. Wilayahnya memiliki
pantai yang panjang dan melalui perairannya mereka berhubungan dengan
Banjarmasin pada masa dahulu. Komoditas mereka biasanya rotan dan hasil
hutan lainnya serta hasil laut.
Di luar hal itu, J.J. Meijer mengemukakan bahwa pada awal Abad Ke-19
penduduk Tanah Laut yang hanya sedikit jumlahnya terserang epidemi yang
disebut masyarakat setempat “penyakit kuning”. Sebagian besar penduduknya
tewas dan yang tersisa beberapa waktu kemudian berhubungan dengan
penduduk Martapura, disusul kemudian dengan penduduk dari daerah Hulu
Sungai. Penduduk Tanah Laut Semakin bertambah dengan makin banyaknya
pendatang yang menetap, terutama dari Martapura dan Amuntai (Hulu Sungai).
Sekitar tahun 1845, penduduk Tanah Laut diperkirakan Meijer telah mencapai
6.000 jiwa.
13

Lesley Potter, op cit., hal. 267-268. Periksa pula TBB Ke-48, op cit., hal. 90.

8

Sebelum etnis lain dan Urang Banjar dari Hulu Sungai berdatangan, telah
menetap terlebih dahulu Orang Cina di Kampung Parit, Tanah Laut. Sementara
itu menurut Meijer di Maluka dan Tabonio telah terbentuk permukiman Cina yang
pertama di daerah Tanah Laut, yaitu mulai terjadi tahun 1790-an. Atas
permintaan Sultan Panembahan Batu, orang-orang Cina itu mula-mula
didatangkan sebanyak 13 orang, kemudian ditambah lagi dengan 70 orang,
langsung dari Negeri Cina. Kemudian, atas bantuan Alexander Hare (kuasa
usaha pemerintah Inggris di Banjarnasin) didatangkan lagi sekitar 70 orang ke
daerah itu pada dasa warsa kedua Abad Ke-19. Pada saat jumlah mereka
mencapai lebih dari 150 orang, diangkatlah seorang kapten Cina di sana
berdasarkan keputusan residen yang berkedudukan di Banjarmasin 14.
Di samping mendatangkan Orang Cina, didatangkan pula oleh Alexander
Hare sekitar 4.000 pekerja dari Jawa. Mereka terutama ditempatkan di Maluka
dan Pulausari Tanah Laut untuk mengerjakan usahanya di bidang perkebunan
dan yang bersedia bekerja sebagai kuli. Permintaan Alexander Hare kepada
Sultan Sulaiman sebelumnya ternyata hanya mampu menyediakan sangat
sedikit pekerja Banjar sehingga atas persetujuan Sultan pula dia mendatangkan
pekerja asal Jawa itu. Selain sedikitnya jumlah penduduk, pada umumnya Urang
Banjar asal Banjarmasin dan Martapura enggan menerima pekerjaan sebagai
kuli. Ini karena umumnya Urang Banjar ketika itu telah memiliki perkerjaannya
masing-masing15.
Pada tahun 1853 untuk kesekian kalinya sejak tahun 1802, daerah pantai
Tanah Laut yaitu Tabonio mendapat serbuan besar-besaran dari kawanan
perompak. Berdasarkan alasan bahwa Tabonio tidak aman, pemerintah Belanda
memindahkan sebagian besar penduduknya ke Pengaron, Martapura. Meskipun
demikian, alasan pemindahan penduduk itu sebenarnya lebih disebabkan
semakin meningkatnya suhu politik menjelang Perang Banjar meletus. Sebagian
besar penduduk Pengaron dan Martapura ketika itu tidak lagi bersedia
menambang batubara untuk kepentingan Belanda. Pertambangan batubara
14

J.J. Meijer, op cit. hal. 381-383 dan 388-389.
“De Namdjermasinsche Afschuwelijkheid”, BKI Bag. III, (Batavia: G. Kolf & Co., 1860), hal. 9-

15

11.

9

Oranje Nassau di Pengaron akibatnya kekurangan pekerja sehingga perlu
mendatangkannya dari Tabonio16.
Di luar alasan-alasan yang mendorong pergerakan (mobilitas) dan
pembentukan permukiman-permukiman baru di wilayah Borneo Tenggara adalah
mudahnya hal itu dilakukan. Kemudahan ini disebabkan tersedianya jalur-jalur air
untuk menuju ke tempat-tempat yang diinginkan. Proses perpindahan bisa terjadi
tidak secara serempak, melainkan berangsur-angsur. Perpindahan dimulai dari
satu atau dua

keluarga, kemudian disusul oleh keluarga-keluarga lainnya.

Perpindahan itupun tidak selalu dalam jarak-jarak yang sangat jauh seperti ke
luar Kalimantan atau Indonesia. Perkampungan pantai Kuala Tambangan
misalnya, kira-kira antara tahun 1890 dan 1900 telah bergeser dari tempat
semula ke tempat yang baru dalam jarak tidak lebih dari dua kilometer dan
hanya dipisahkan oleh sungai Batutungku.
Penutup
Melalui pengetahuan historis mengenai dinamika kehidupan yang
berlangsung di Tanah Banjar sebagaimana dipaparkan di atas kita dapat belajar
bagaimana Urang Banjar khususnya dan penduduk di Borneo Tenggara pada
umumnya telah mempunyai cara-caranya sendiri dalam mengatasi dan mencari
jalan memperbaiki jalan kehidupannya. Berbagai kendala namun juga sekaligus
sebagai pemacu bagi berlangsungnya pergerakan kehidupan di Tanah Banjar
menjadi pelajaran generasi kini bagaimana seharusnya mengelola kehidupan
masa depan.
Urang Banjar dahulu demi ketentraman dan kenyamanan biasa
bermigrasi ke daerah-daerah di nusantara maupun ke mancanegara. Mobilitas
kehidupan mereka cukup tinggi. Mereka terbiasa bergerak dari satu tempat ke
tempat yang lain, baik secara sementara maupun untuk menetap. Urang Banjar
memiliki istilah dan prkatik ‘madam’, suatu konsep pergerakan (mobilitas)
mereka dalam upaya memperbaiki kehidupan. Selanjutnya terserah pembaca

16

Periksa J.J. Meijere, op cit., hal. 390.

10

Kandil yang budiman, apakah ‘madam’ dilakukan guna menggapai ilmu setinggitingginya atau mencapai kesejahteraan yang lebih baik.
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, semoga tidak mengganggu
pembaca, merupakan penghargaan dan penghormatan penulis yang tinggi
kepada almarhum Prof. Dr. Noer’id H Radam. Istilah ‘madam’ penulis ajukan
hampir dua puluh tahun yang lalu (1990) di hadapan teman sejawat dan
beberapa orang guru besar dalam suatu diskusi rancangan penelitian kawasan
Kalimantan. Tahun 1991, Prof. Dr. Noer’id H Radam, salah seorang guru besar
pada diskusi itu, saat bertemu penulis menyampaikan secara lisan permintaan
“izin” akan menulis makalah yang berkenaan dengan ‘madam’. Sayang penulis
lupa judul tepatnya makalah yang dibuat dan disampaikan pada Seminar
Pembangunan Kalimantan 12-14 Mei 1991 itu.
Penulis yang saat itu hanya seorang dosen “ingusan” merasa sangat tidak
pantas dimintai “izin” semacam itu, namun begitulah Prof. Noer’id. Begitulah
sikap kejujuran intelektual yang diperlihatkannya dan juga seorang intelektual
Banjar yang rendah hati.

11