Laporan Pendahuluan Kabupaten Murung Ray

PT BITA BINA SEMESTA

PLANNING AND ENVIRONMENTAL CONSULTANT

Certificate No.: QSC 00220

KAJIAN ASPEK SOSIAL DAN KESEHATAN MASYARAKAT PADA BLOK PENAMBANGAN BATUBARA “THREE CORNERS”

Di Desa Tumbang Olong Kecamatan U’ut Murung, Kabupaten Murung Raya

1.0. PENDAHULUAN

Kajian aspek sosial dan kesehatan masyarakat dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kondisi sosial dan kesehatan masyarakat secara umum. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat secara menyeluruh di wilayah rencana kegiatan.yang dapat digunakan sebagai informasi awal, sehingga dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan dalam melaksanakan kegiatan, terutama mengenai keterbatasan aspek sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Laporan ini menguraikan hasil kajian sosial dan kesehatan masyarakat secara umum berkaitan dengan rencana kegiatan eksplorasi penambangan batubara di tiga wilayah penambangan yang disebut Three Corners yang mencakup Blok Bumbun yang akan dikelola oleh PT. Juloi Coal, Blok Dahlia yang akan dikelola oleh PT. Sumber Barito, dan Blok Luon yang akan dikelola oleh PT. Kalteng Coal (Gambar 1). Ketiga blok penambangan ini berada di wilayah Kabupaten Murung Raya, Propinsi Kalimantan Tengah.

Kajian aspek sosial dan kesehatan masyarakat dilakukan dalam waktu sangat singkat (rapid assessment/kajian cepat) pada tanggal 13-14 April 2007. Berdasarkan pada pertimbangan kedekatan lokasi permukiman penduduk dengan lokasi rencana kegiatan eksplorasi dan waktu yang tersedia untuk melakukan kajian (2 hari kerja efektif di lapangan), kajian cepat mengenai aspek sosial dan kesehatan masyarakat ini difokuskan di Desa Tumbang Olong, Kecamatan U’ut Murung.

2.0. METODE Penelitian

2.1 Data yang dikumpulkan

Data sosial dan kesehatan yang dikaji dalam studi ini mencakup tiga aspek yaitu:

a. Aspek demografi yang mencakup: •

jumlah penduduk

kepadatan penduduk

pendidikan.

b. Aspek sosial ekonomi dan sistem nilai masyarakat yang mencakup: •

sistem mata pencaharian,

sistem ”pemilikan”/penguasaan lahan,

sistem pemanfaatan sumber daya alam,

Kesempatan kerja dan berusaha,

warisan budaya,

persepsi tokoh masyarakat terhadap rencana kegiatan.

c. Aspek kesehatan masyarakat mencakup: •

Sistem pengobatan medis dan tradisional

Sarana pelayanan kesehatan

Perumahan dan sistem layanan air bersih

2.2 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tiga metode/teknik, yaitu: •

Wawancara mendalam (depth Interview), dengan sejumlah informan yang dipilih secara purposif. Wawancara dilakukan dengan informan secara individual atau secara kelompok (group interview). Dalam proses wawancara digunakan Pedoman Wawancara.

Observasi lapangan, untuk mengkonfirmasi informasi yang diperoleh, atau mengumpulkan informasi yang tidak dapat diperoleh, melalui wawancara.

Pengumpulan data sekunder, terutama yang berkaitan dengan aspek kependudukan dan kesehatan masyarakat. Selain ini, juga dipelajari literatur hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan wilayah studi.

2.3 Analisis Data

Pada dasarnya, kajian sosial dan kesehatan masyarakat ini menerapkan pendekatan/metode kualitatif yang bertujuan menggambarkan sistem-sistem dan atau pola-pola hubungan sosial serta kecenderungan-kecenderungan yang ada dan tengah berlangsung di dalam masyarakat. Karena itu, analisis data dilakukan secara kualitatif; data yang terkumpul direduksi dan ditampilkan dalam bentuk narasi dan gambar serta secara simultan diinterpretasikan pada saat pengumpulan data berlangsung.

3.0. HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS

3.1 Sejarah Perkembangan Desa Tumbang Olong

Sebagaimana telah disitir di bagian sebelumnya, Desa Tumbang Olong mengalami perkembangan signifikan pada tahun 2007 dengan pemekaran menjadi dua desa dan terpilih menjadi ibu kota kecamatan. Namun demikian, berdasarkan penuturan tokoh masyarakat yang berhasil ditemui, diceritakan bahwa pada awalnya Desa Tumbang Olong ini berada di tepi Sungai Olong dengan nama Desa Olong.

Desa Tumbang Olong, pada awalnya terletak di tepi Sungai Olong dan bernama Desa Olong. Tidak ada catatan atau informasi yang bisa diperoleh berkenaan dengan awal pendirian Desa Olong. Pada tahun 60an Desa Olong dipindahkan lokasinya ke lokasi desa yang sekarang, namun demikian tidak diketahui pula sejak kapan nama desa berubah menjadi Desa Tumbang Olong. Berdasarkan informasi dari informan, salah satu alasan utama pemindahan lokasi desa adalah karena di alur Sungai Murung di bagian hilir Desa Olong terdapat riam yang cukup curam yang menghambat transportasi penduduk dan seringkali menyebabkan kecelakaan yang

menimbulkan korban jiwa 1 . Pada saat kepindahan tersebut penduduk Olong terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama menuju ke lokasi Desa Tumbang Olong yang

sekarang dan kelompok yang kedua dalam jumlah yang lebih sedikit menuju ke sekitar muara Sungai Laas.

Pada saat pindah ke lokasi desa yang sekarang, kondisi sosial ekonomi masyarakat dianggap dalam keadaan kurang. Rumah-rumah dibuat dari kulit kayu dan penduduknya hanya betul mengandalkan akitivitas berladang berpindah dan berburu sebagai sumber pangan dan penghasilan mereka. Kebutuhan sehari-hari seperti garam atau barang pokok lainnya diperoleh dari tempat lain dan untuk itu mereka harus melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu ke arah hilir.

Pada masa-masa itu, hubungan antara penduduk Desa Tumbang Olong dengan penduduk desa-desa lain yang relatif berdekatan seperti desa-desa Kalasin, Tujang atau Topus sudah terjalin. Beberapa penduduk melakukan perkawinan dengan penduduk dari desa-desa tersebut. Dengan demikian sebagian penduduk Desa Tumbang Olong memiliki hubungan kekerabatan/genealogis dengan penduduk desa lain.

Perkembangan desa secara signifikan mulai terjadi pada masa tahun 1980an ketika perusahaan kayu (PT Sarang Sapta Putra) memulai aktivitasnya di kawasan hutan sekitar Desa Tumbang Olong. Pada tahun 1986, didirikan Sekolah Dasar di Desa Tumbang Olong. Pembukaan jalan logging oleh perusahaan membuka dan mempermudah aksesibilitas

1 Dengan memperhatikan prosedur pemindahan desa yang tidak sederhanan, Gerrerio dan Sellato, 1984, dan Jessup,1981 (dikutip oleh Soedjito (1999) mengemukakan bahwa proses kepindahan kampung yang dilakukan komunitas Dayak

biasanya berkaitan dengan hal-hal yang dianggap luar biasa.

penduduk Desa Tumbang Olong ke daerah lain walaupun hingga tahun 1998, jalan tersebut masih tertutup dan belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum sementara kendaraan operasional perusahaan tidak diperbolehkan membawa penduduk setempat yang hendak menumpang. Dengan kondisi demikian penduduk setempat masih tetap mengandalkan sarana perahu dan aliran sungai.

Walaupun kegiatan PT. Sarang Sapta Siaga (SSP) sudah mulai berjalan sejak tahun 1990-an dan banyak terdapat pekerja baik yang berasal dari penduduk setempat maupun yang berasal dari luar wilayah Desa Tumbang Olong, kebijakan PT SSP masih tertutup demikian pula penduduk Desa Tumbang Ulong yang masih “tertutup” terhadap orang luar. Beberapa pekerja senior PT. SSP yang berasal dari luar daerah menyebutkan bahwa pada masa itu mereka sangat segan masuk ke Desa Tumbang Olong karena banyak sekali yang terkena jipen (denda) karena dianggap melanggar aturan adat setempat.

Kondisi tersebut perlahan berubah dengan dilakukannya pendekatan oleh PT. SSP dengan cara memberikan bantuan-bantuan pembangunan kepada warga Desa Tumbang Olong pada sekitar tahun 1992-1993, penyerapan tenaga kerja penduduk Desa Tumbang Olong di PT. SSP, hingga yang terakhir yang paling banyak mempengaruhi perubahan adalah dibukanya akses jalan logging untuk penduduk setempat dan diperbolehkannyan kendaraan antar jemput karyawan untuk ditumpangi secara gratis oleh penduduk lokal pada tahun 1999-2000. Kondisi ini dengan segera mengubah orientasi transportasi penduduk dari transportasi air menjadi transportasi darat.

Pada perkembangan selanjutnya, selain PT. SSP, di Desa Tumbang Olong juga beroperasi perusahan lain yaitu PT. Jayanti Group dan PT. Borneo. Kehadiran PT. BHP Billiton yang akan melakukan kegiatan penambangan di Blok Bumbun, lokasi yang berdekatan dengan Desa Tumbang Olong, diharapkan oleh masyarakat akan semakin mengembangkan atau mengganti peran perusahaan lain yang telah habis masa operasinya. Keberadaan perusahaan- perusahaan tersebut dan berbagai keuntungan ikutan yang menyertainya telah menyebabkan Desa Tumbang Olong menjadi lebih terbuka. Kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut juga sekaligus telah mengubah orientasi kerja kalangan generasi muda dengan keinginan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut.

Hingga awal tahun 2007, Desa Tumbang Olong merupakan bagian dari Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya. Sejak tanggal 15 Januari 2007, Kecamatan Sumber Barito dibagi 3 (tiga) 2 dan setelah pemecahan kecamatan itu Desa Tumbang Olong menjadi bagian

dari Kecamatan U’ut Murung. Sebelumnya, sebagai syarat untuk dan dalam rangka pembentukan kecamatan baru yaitu Kecamatan U’ut Murung., yang mengharuskan suatu kecamatan memiliki minimal lima buah desa, Desa Tumbang Olong di bagi dua menjadi Desa

2 Sesuai Perda Kabupaten Murung Raya No. 4 Tahun 2007, tanggal 15 Januari 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Barito Tuhup Rya, Tanah Siang Selatan, Sungai Babuat, Seribu Riam dan U’ut Murung, maka Kecamatan Sumber

Barito di mekarkan menjadi 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Sumber Barito dengan ibukota di Tumbang Kunyi sebagai kecamatan induk serta Kecamatan Seribu Riam dengan ibukota di Muara Joloi dan U’ut Murung dengan ibukota di Tumbang Olong sebagai kecamatan baru.

Tumbang Olong 1 dan Desa Tumbang Olong 2. Dengan demikian, desa-desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan U’ut Murung adalah desa Tumbang Olong 1 (sebagai ibukota Kecamatan), Tumbang Olong 2, Kalasin (Karamu), Tumbang Tujang dan desa Tumbang Topus.

Gambar 2 Kantor Kecamatan Uut Murung

3.2 Demografi

Aspek Kependudukan yang dikaji dalam uraian berikut meliputi kajian demografi secara umum berdasarkan rujukan data sekunder untuk memperlihatkan gambaran di tingkat kewilayahan. Uraian meliputi jumlah dan kepadatan penduduk, serta pendidikan.

3.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk dan Wilayah Administrasi Desa

Secara administratif Desa Tumbang Olong termasuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan U’ut Murung yang secara resmi pembentukannya ditetapkan pada tanggal 15 Januari 2007. Sebelumnya, Desa Tumbang Olong merupakan bagian dari Kecamatan Sumber

Barito, Kabupaten Murung Raya yang memiliki wilayah seluas 17.083 Km 2 . Dengan jumlah penduduk 15.659 jiwa, kepadatan penduduk di Kecamatan Sumber Barito merupakan yang

terendah di Kabupaten Murung Raya, yaitu 1 jiwa/km 2 (Bappeda Kabupaten Murung Raya dan BPS Kabupaten Barito Utara, 2005). Selain tingkat kepadatan penduduk yang rendah,

Kecamatan Sumber Barito juga memiliki angka tingkat pertambahan penduduk yang paling kecil (0,25 %) dibanding kecamatan lain di Kabupaten Murung Raya (Tabel 1).

Pada tahun 2005, Desa Tumbang Olong memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.463 jiwa; dengan jumlah keluarga sebanyak 456 KK.

Tabel 1

Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten

Murung Raya Menurut Kecamatan, tahun 2005

Rasio Jenis

Kecamatan 2 Wilayah Penduduk Penduduk/km 2004-5 (%)

Permata Intan a 1227

Laung Tuhup b 3111

6 0.31 tad

Tanah Siang c 1549 13893

Sumber Barito d 17083

1 0.25 115 Total 23700 87492 2 0.48 110

Sumber: Bappeda Kabupaten Murung Raya dan BPS Kabupaten Barito Utara, 2005 a Pada tahun 2007, dibagi 2 (dua) menjadi Kecamatan Permata Intan dan Kecamatan Sungai Babuat

c Pada tahun 2007, dibagi 2 (dua) menjadi Kecamatan Laung Tuhup dan Kecamatan Barito Tuhup Raya d Pada tahun 2007, dibagi 2 (dua) menjadi Kecamatan Tanah Siang dan Kecamatan Tanah Siang Selatan Pada tahun 2007, dibagi 3 (tiga) menjadi Kecamatan Sumber Barito, Kecamatan Seribu Riam dan Kecamatan U’ut Murung

LPP = Laju Pertumbuhan Penduduk tad = tidak ada data

Dengan statistik kependudukan seperti itu, rata-rata jumlah anggota keluarga penduduk Desa Tumbang Olong adalah 3,2 jiwa per keluarga. Dibandingkan dengan desa-desa lain di wilayah kecamatan yang baru, yaitu Kecamatan U’ut Murung, rata-rata anggota keluarga di Desa Tumbang Olong merupakan yang terendah (Tabel 2).

Tabel 2

Jumlah Rumah Tangga, Penduduk, dan Rata-Rata Anggota Keluarga

Penduduk Kecamatan Uut Murung*, 2005

Desa

Jumlah Rumah

Penduduk (jiwa)

Anggota Keluarga

Tumbang Olong (1 dan 2)

Kalasin 130 612 4.7 Tumbang Tujang

Takajung 36 186 5.2 Total 730 2764 3.8

Sumber: diolah dari Bappeda Kabupaten Murung Raya dan BPS Kabupaten Barito Utara, 2005 * Kecamatan U’ut Murung sebelumnya merupakan bagian Kecamatan Sumber Barito, menjadi kecamatan tersendiri sejak tahun 2007.

Sebagaimana dikemukakan di atas, Desa Tumbang Olong dibagi dua menjadi Desa Tumbang Olong 1 dan 2. Proses pemecahan desa ini yang baru berlangsung kurang dari 1 bulan pada saat penelitian dilakukan mengakibatkan berbagai data kependudukan tidak tersedia karena masih diolah oleh Aparat Desa. Namun demikian, berdasarkan keterangan lisan dari Kepala Desa Tumbang Olong 1, pada bulan April 2007, terdapat sekitar 205 KK yang termasuk Sebagaimana dikemukakan di atas, Desa Tumbang Olong dibagi dua menjadi Desa Tumbang Olong 1 dan 2. Proses pemecahan desa ini yang baru berlangsung kurang dari 1 bulan pada saat penelitian dilakukan mengakibatkan berbagai data kependudukan tidak tersedia karena masih diolah oleh Aparat Desa. Namun demikian, berdasarkan keterangan lisan dari Kepala Desa Tumbang Olong 1, pada bulan April 2007, terdapat sekitar 205 KK yang termasuk

Sebelum dilakukan pemekaran wilayah desa, secara administratif Desa Tumbang Olong terdiri atas 6 wilayah RT yaitu :

RT 01 dengan Ketua RT bernama Nagi, lokasinya berada di wilayah Tepian Sungai Murung. Wilayah RT 01 juga merupakan pusat desa.

RT 02 dengan Ketua RT bernama Udun lokasinya berada di wilayah jalan antara Tepian Sungai Murung dengan Simpang Empat (berjarak sekitar 3 km)

RT 03 dengan Ketua RT bernama Darmiadi lokasinya berada di wilayah perusahaan PT. Sarang Sapta Putra

RT 04 dengan Ketua RT bernama Sulaeman lokasinya berada di sekitar Sungai Laas dan Simpang Tiga (Jalan Masuk Ke PT. Sarang Sapta Putra dari arah Selatan dan merupakan Akses ke PT.Barito Cipta)

RT 05 dengan Ketua RT bernama Iman berada di wilayah perusahaan PT. Jayanti Montom (dekat Base Camp Bumbun)

RT 06 dengan Ketua RT bernama Korek berada di wilayah Simpang Empat (jalan masuk ke Desa Tumbang Olong berhadapan dengan PT. Sarang Sapta Putra)

Berdasarkan Keterangan Kepala Desa Tumbang Olong I, wilayah Desa Tumbang Olong 1 mencakup RT 01 sampai dengan RT 05, sementara Desa Tumbang Olong 2 mencakup wilayah RT 06. Berkaitan dengan pemecahan wilayah ini, kebanyakan masyarakat belum mengetahui dengan pasti tentang pembagian yang dilakukan, baik mengenai batas maupun pembagian RT yang baru.

3.2.2 Latar belakang etnik dan religi

Berdasarkan kelompok etnik, Desa Tumbang Olong dihuni oleh penduduk dengan latar belakang etnik suku Dayak Ot Danum 3 sebagai penduduk terbanyak. Selain Dayak Ot

Danum, dalam jumlah kecil terdapat juga penduduk berlatar belakang etnik Dayak Siang, Dayak Punan dan Dayak Bakumpai. Kelompok Dayak Siang banyak terdapat di daerah hilir yaitu di sekitar Puruk Cahu, sementara Dayak Punan sebagian besar berada di daerah yang lebih hulu seperti di Desa Kalasin,Tujang dan Topus.

Selain etnik Dayak, dengan adanya perusahaan-perusahaan seperti PT. SSP, atau Jayanti Group dan PT. Borneo, juga terdapat penduduk lain dengan latar belakang etnik non-Dayak

3 Berkenaan dengan kelompok-kelompok etnik Dayak di Kalimantan, Sellato (1989, dikutip oleh Soedjito, 1999) mengemukakan bahwa secara umum terdapat 11 kelompok besar etnik Dayak. Berdasarkan pengelompokkan ini, suku

Dayak yang tinggal di wilayah Desa Tumbang Olong dan sekitarnya termasuk ke dalam kelompok Dayak Barito.

yang berasal dari pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi bahkan ditemukan pula keluarga pekerja yang berasal dari Flores (NTT). Namun demikian, pada umumnya, karyawan yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut tinggal di dalam camp dan tidak bergabung dengan warga masyarakat.

Aturan-aturan adat dan kepercayaan yang dianut masyarakat masih dijalankan oleh masyarakat Tumbang Olong. Walaupun penduduk desa terbagi ke dalam dua kelompok penganut agama mayoritas yaitu Hindu Kaharingan dan Kristen Evangelis, aturan-aturan adat masih dipegang dan dihormati oleh penduduk setempat. Beberapa upacara, seperti upacara panen, upacara perkawinan, upacara kelahiran (palas bidan), upacara mengobati penyakit atau upacara pindah rumah dan keselamatan (ngahit) masih dilakukan oleh penduduk. Dalam upaca-upacara tersebut terlihat penggabungan antara sistem dan nilai adat dengan nilai agama. Dalam setiap upacara tersebut selalu terdapat peran tokoh Adat, Dukun, tokoh agama dan tokoh formal seperti Kepala Desa.

3.2.3 Pendidikan

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah informan, secara umum dapat diperkirakan bahwa tingkat pendidikan penduduk di Desa Tumbang Olong tergolong rendah. Indikasi tentang rendahnya tingkat pendidikan penduduk ditunjukkan oleh rendahnya tingkat pendidikan formal yang dimiliki oleh para informan yang diwawancara (Tamat SD, Tidak Tamat SD atau bahkan Tidak Sekolah). Jumlah penduduk yang mampu menamatkan sekolah hingga SMP sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya sarana pendidikan setingkat SMP pada saat para informan ini memasuki usia sekolah setingkat SMP. Hingga tahun 1998, SMP yang menjadi rujukan adalah SMP yang terdapat di Puruk Cahu (sekarang menjadi Ibukota Kabupaten) yang berjarak sekitar 100 km dari Desa Tumbang Olong. Jarak yang jauh dan biaya yang mahal menyebabkan banyak di antara penduduk Desa Tumbang Olong yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di Desa Tumbang Olong adalah Sekolah Dasar yang dibangun pada pertengahan tahun 1980-an yang hingga saat ini masih berfungsi cukup baik karena dirawat oleh masyarakat dengan bantuan perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar Desa Tumbang Olong (Gambar 3).

Berdasarkan wawancara dengan salah seorang pengajar di Sekolah Dasar Tumbang Olong, diketahui bahwa jumlah murid di SD Tumbang Olong adalah 166 murid. Pada saat ini keseluruhan tenaga pengajar di SD Tumbang Olong berjumlah 9 orang termasuk Kepala Sekolah dan 1 orang Penjaga Sekolah.

Pada tahun ajaran 1999-2000, berdiri Sekolah Menengah Pertama yang dalam proses belajar- mengajarnya masih menggunakan gedung milik SD Tumbang Olong hingga sekarang.

Mallinckrodt (1924, dikutip oleh Hanson, 1999) menyebutkan bahwa suku dayak Ot Danum di wilayah tersebut dapat digolongkan ke dalam kelompok Barito Barat Daya (Northwest Barito Group).

Walaupun sudah berdiri sendiri, menjelang saat ujian (sekitar 2 atau 3 bulan menjelang ujian akhir SMP), murid kelas tiga biasanya dikirim ke SMP Puruk Cahu untuk belajar lebih efektif hingga mengikuti dan menyelesaikan ujian.

Gambar 3 Sekolah Dasar di Desa Tumbang Olong

Secara umum, berdasarkan wawancara dengan guru pengajar SD Tumbang Olong, terindikasi bahwa kesadaran penduduk untuk menyekolahkan anak mereka mulai berkembang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Keberadaan perusahaan kayu PT. Sarang Sapta Putra yang berada di Desa Tumbang Olong dianggap telah mempengaruhi cara pandang masyarakat mengenai pendidikan. Informan juga menyampaikan bahwa, pada saat sekarang, sebagian besar murid Sekolah Dasar yang rajin mengikuti pelajaran dengan baik adalah anak-anak dari penduduk yang bekerja sebagai karyawan PT. Sarang Sapta Putra.

Pada awalnya, warga Desa Tumbang Olong tidak begitu menganggap penting pendidikan. Banyak anak-anak sekolah yang membolos karena anak-anak tersebut diajak berladang oleh orang tua mereka. Seringkali guru-guru harus mengalah terhadap pola kegiatan berladang dan membiarkan murid tidak mengikuti proses belajar-mengajar dengan cara meliburkan kegiatan sekolah atau anak-anak yang bekerja membantu orang tua di ladang.

Sikap penduduk terhadap pendidikan mulai berubah ketika para pekerja di PT. Sarang Sapta Putra yang terlihat ”mapan” dengan upah bulanan menarik perhatian penduduk Desa Tumbang Olong untuk terlibat di dalamnya. Untuk tujuan seperti itu penduduk mulai memperhatikan pendidikan agar anak-anak mereka mendapatkan ijasah sebagai persyaratan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan seperti PT. Sarang Sapta Putra.

3.3 Sosial Ekonomi dan Budaya

3.3.1 Sumber Mata Pencaharian Penduduk dan Sistem Pemanfaatan Sumberdaya

Sebagaimana halnya penduduk di wilayah perdalaman Kalimantan Tengah lainnya, ketergantungan mayoritas penduduk Desa Tumbang Olong terhadap sumberdaya alam di sekitar tempat tinggal mereka cukup besar. Secara tradisi warga masyarakat mengembangkan sistem mata pencaharian yang berkaitan dengan sumber daya alam yang ada. Sistem mata pencaharian penduduk mengalami perkembangan sejalan dengan hadirnya perusahaan- perusahaan yang bergerak khususnya di sektor kehutanan/perkayuan dan terbukanya akses mereka ke wilayah-wilayah yang menjadi sentra kegiatan ekonomi dan sosial seperti kota kabupaten Puruk Cahu. Uraian berikut menyajikan gambaran tentang sistem mata pencaharian penduduk dan sistem pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di sekitar tempat tinggal mereka. Berkaitan dengan sistem pemanfaatan sumber daya alam, Gambar 4 menunjukkan lokasi-lokasi tempat pengambilan sumberdaya alam di sekitar Desa Tumbang Olong.

Gambar 4

Sketsa lokasi pemanfaatan sumberdaya alam oleh penduduk

Desa Tumbang Olong Desa Tumbang Olong

Aktivitas pertanian berladang berpindah (shifting/swidden cultivation) merupakan aktivitas mata pencaharian yang umum dilakukan penduduk Desa Tumbang Olong untuk memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Bagi sebagian besar penduduk,

berladang masih dianggap sebagai pekerjaan yang harus diutamakan 4 . Kegiatan berladang biasanya dimulai dengan melakukan penebasan pada sekitar bulan

Juli dan pembakaran ranting-ranting pohon pada bulan Agustus. Kedua kegiatan tersebut merupakan kegiatan penyiapan lahan. Biasanya kegiatan seperti ini selain dilakukan dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga 5 juga dilakukan secara bergotong

royong dengan keluarga-keluarga lainnya untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja. Keluarga yang telah membantu keluarga lain dalam penyiapan lahan, berhak untuk meminta bantuan dari keluarga lain tersebut, ketika tiba gilirannya untuk menyiapkan lahan perladangannya. Penanaman padi 6 dilakukan sekitar bulan September-Oktober ketika mulai musim hujan

dan panen dilakukan sekitar bulan Maret dan April. Setelah panen, dengan tersedianya lahan hutan yang masih luas, biasanya lahan yang telah dibuka itu tidak ditanami lagi. Kegiatan perladangan berikutnya dilakukan dengan membuka lahan hutan lainnya dan seterusnya. Lahan ladang yang telah dipanen ditinggalkan untuk menghutan kembali hingga suatu saat keluarga yang membuka lahan tersebut kembali lagi ke lahan tersebut untuk berladang. Siklus perladangan berpindah berkisar antara 8 hingga 10 tahun. Seorang informan mengemukakan bahwa biasanya penduduk membuka lahan hutan yang pohon-pohonnya telah berdiameter antara 10-15 cm (diperkirakan telah berumur 8 tahunan). Pada hutan seperti ini dianggap kesuburan lahannya telah kembali sementara pohon-pohonnya tidak terlalu besar dan tidak akan menyulitkan ketika dilakukan penebangan dan pembersihan lahan. Pola perladangan seperti ini, sangat umum dilakukan oleh komunitas Dayak di berbagai tempat di Kalimantan seperti yang dituliskan dalam banyak literatur (lihat misalnya Gunawan dan Abdoellah, 1995).

Pada saat setelah padi ditanam dan menjelang musim panen, relatif sedikit tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menjaga ladang. Pada saat-saat seperti ini, wkatu yang luang dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa untuk mencari sumber penghidupan lainnya seperti mencari emas atau membuat papan kayu. Untuk memenuhi kebutuhan subsisten

4 Dalam konteks perspektif kebudayaan sebagai sistem adaptasi terhadap lingkungan, berladang bukan semata-mata hanya merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan subsistensi (ekonomi) masyarakat, melainkan sebagai basis

(infrastruktur) yang menentukan kebudayaan masyarakat secara keseluruhan (lihat misalnya Harris, 1980). Dalam perspektif kebudayaan seperti ini, perubahan pada sistem mata pencaharian, selain karena terjadinya perubahan pada aspek kependudukan, dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek lain dari kebudayaan seperti sistem sosial dan sistem nilai/kepercayaan masyarakat. Bila ini terjadi, maka kebudayaan suatu masyarakat mengalami perubahan; perubahan kebudayaan adalah hasil adaptasi terhadap lingkungan. 5 Sebagaimana diungkapkan di muka, pada saat dibutuhkan tenaga kerja yang banyak, anak-anak sekolah seringkali

dilibatkan oleh orang tua mereka untuk ikut menyiapkan lahan untuk perladangan. Dalam kondisi seperti ini, kegiatan belajar-mengajar sering diliburkan oleh Kepala Sekolah/Guru. 6 Bersamaan dengan penanaman padi, peladang biasanya menanam palawija dan atau pohon buah-buahan di sekitar

lading atau di kebun yang jaraknya dekat dari kampung.

lainnya, sebagian penduduk juga melakukan kegiatan mencari ikan, mencari kayu Gaharu atau berburu binatang di hutan. Kegiatan seperti ini, misalnya banyak dilakukan pada bulan Mei dan Juni setelah panen dilakukan.

Sejalan dengan perkembangan sistem perekonomian masyarakat, yang di antaranya dipicu oleh kehadiran perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan maupun pendulangan emas di sungai, sistem kerja sama dalam pengolahan lahan perladangan juga mengalami perkembangan/perubahan. Pola berburuh/sistem upah di bidang pertanian telah dikenal di Desa Tumbang Olong; penduduk laki-laki maupun perempuan yang bekerja sebagai buruh tani mendapatkan upah sebesar Rp. 20000/hari dan makan. Namun, dalam praktiknya, tenaga kerja buruh tani ini sulit didapat karena pada saat yang bersamaan masing-masing keluarga memiliki lahan ladang yang harus digarap.

Dalam penanaman padi ladang, untuk menanami lahan dengan luas sekitar 1 hektar, dibutuhkan bibit padi sejumlah kurang lebih 3,5 blek (wadah dari kaleng yang berukuran sekitar 20 liter). Dengan bibit padi yang ditanam sebanyak ini, seorang informan mengemukakan bahwa pada panen yang terakhir yang bersangkutan memperoleh padi sebanyak 20 karung yang diperkirakan akan menghasilkan beras sebanyak 800 kg (40 kg beras/karung). Jumlah beras tersebut cukup untuk dikonsumsi oleh keluarganya yang berjumlah 7 orang (termasuk kerabat yang tinggal serumah) selama setahun.

Dengan hadirnya perusahaan kayu beserta karyawan-karyawannya yang sebagian berasal dari luar desa dan berkembangnya Koperasi Karyawan PT. Sarang Sapta Putra, beras menjadi komoditas yang biasa diperjual-belikan. Pada saat penelitian dilakukan, sekarung beras dengan berat 25 kg harganya adalah Rp.180000,- Namun demikian, masih banyak warga desa yang menggunakan beras hasil panen untuk kepentingan konsumsi keluarga daripada dijual. Beberapa informan juga menyatakan bahwa mereka cenderung membayar ongkos penggilingan padi sebesar Rp.600/kg daripada menukarnya dengan beras.

Gambar 5

Padi hasil panen perladangan berpindah dan Penjualan sayur mayur hasil kebun

Dalam melakukan perladangan berpindah, penggunaan lahan untuk ladang biasanya diatur oleh dan atau atas sepengetahuan Kepala Desa dan Kepala Adat 7 . Secara adat,

informan-informan yang diwawancarai menyatakan bahwa wilayah perladangan mereka mencakup kawasan hutan yang berada di wilayah Desa Tumbang Olong 8 (claim adat)

walaupun dalam praktiknya wilayah perladangan penduduk yang terjauh terletak tidak lebih dari sekitar 5 hingga 10 km dari perkampungan 9 . Dengan dibukanya jalan-jalan

untuk kepentingan kegiatan pembalakan kayu (logging) oleh perusahaan-perusahaan kayu, terdapat kecenderungan di kalangan penduduk untuk membuka lahan perladangan di tepi atau sekitar jalan logging tersebut. Pengamatan lapangan memperlihatkan bahwa beberapa daerah yang berdekatan dengan jalan tersebut sudah dijadikan ladang oleh penduduk Desa Tumbang Olong (Gambar 6). Kemudahan mengakses lahan di tepi jalan logging tersebut menjadi pertimbangan penduduk untuk membuka ladang.

7 Wawancara dengan informan mengindikasikan bahwa Kepala Desa lebih berperan dalam penentuan lahan untuk perladangan.

8 Wawancara dan observasi lapangan tidak memperoleh informasi mengenai batas wilayah desa secara jelas, kecuali beberapa batas alam seperti sungai yang dijadikan sebagai batas wilayah desa.

9 Dalam kaitannya dengan lokasi rencana kawasan penambangan Blok Bumbun, berdasarkan wawancara dan pengamatan selintas, tidak diperoleh keterangan yang menunjukkan bahwa penduduk Desa Tumbang Olong melakukan

kegiatan perladangan di dalam lokasi yang direncanakan tersebut. Namun demikian, identifikasi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan hal ini. Identifikasi ini juga diperlukan karena wilayah penambangan Blok Bumbun juga belum begitu jelas batas-batasnya di lapangan. Kasus ganti rugi yang akan diberikan kepada pemilik tanaman karet di lokasi Quarry Blok Bumbun menunjukkan bahwa ada kemungkinan penduduk melakukan kegiatan perladangan di lokasi rencana kegiatan.

Gambar 6 Lahan bekas ladang di tepi jalan logging

Dalam membuka lahan untuk perladangan, penduduk asli (Dayak Ot Danum) dapat membuka ladang secara bebas selama lahan tersebut berada di dalam wilayah desa. Lahan yang dibuka cenderung menjadi “milik/dikuasai” oleh yang membuka lahan dan dalam kondisi tertentu dapat dialihkan kepada orang lain dengan ganti rugi/”dijual”, namun harus dengan sepengetahuan Kepala Desa. Orang luar, misalnya orang Dayak Bakumpai atau lainnya seperti orang Flores yang bermukim di Desa Tumbang Olong, dimungkinkan pula melakukan perladangan di wilayah Desa Tumbang Olong dengan seijin Kepala Desa dan atau dengan cara “membeli” lahan dari penggarap sebelumnya.

Sistem penguasaan lahan seperti ini menampakkan kemiripan dengan sistem penguasaan lahan di desa-desa lain atau di wilayah kecamatan lain, misalnya di desa-desa di wilayah kecamatan Laung Tuhup dan Kecamatan Barito Tuhup Raya. Laporan yang dibuat oleh PT. Bita Bina Semesta (dalam persiapan) mengenai social economic baseline study, khususnya untuk kegiatan pertambangan yang akan dikelola oleh PT. Maruwai Coal, menunjukkan bahwa lahan-lahan ladang yang telah dibuka dan kemudian banyak di antaranya yang ditanami dengan tanaman karet “dikuasai/dimiliki” secara individual oleh penduduk. Lahan-lahan “milik” penduduk yang terkena kegiatan proyek penambangan dikompensasi dengan sejumlah uang yang diberikan kepada “pemilik” atau yang “menguasainya”, sementara untuk lahan yang dinyatakan sebagai lahan adat dikompensasi dengan pemberian uang “tali asih” (goodwill payment).

Selain menanam padi di ladang, penduduk Desa Tumbang Olong juga mengumpulkan tanaman hutan untuk memenuhi kebutuhan sayur mayur dan buah-buahan, sebagian penduduk yang lainnya dengan sengaja menanam sayur-mayur/palawija dan buah- buahan di lahan kebun di sekitar kampung atau di lahan ladang bersamaan dengan atau setelah penanaman padi. Sayur mayur/palawija yang dihasilkan pada umumnya untuk konsumsi keluarga, namun sebagian ada juga yang sengaja menanam atau mengumpulkannya dari hutan untuk dijual di antaranya kepada karyawan perusahaan atau warga desa lainnya.

Berbeda dengan penduduk di desa-desa di Kecamatan laung Tuhup dan Kecamatan Barito Tuhup Raya 10 , penanaman karet di bekas ladang atau lahan lainnya tampak tidak

menonjol di Desa Tumbang Olong. Beberapa tahun yang lalu, penduduk Tumbang Olong pernah menanam Pohon Karet 11 . Namun karena harga karet dinilai rendah, usaha

karet tidak berkembang lebih lanjut. Sebagaimana dikemukakan di atas, sistem perladangan berpindah merupakan sistem

mata pencaharian yang utama bagi sebagian besar penduduk. Namun demikian, seiring dengan berkembangnya sistem perekonomian masyarakat/desa yang di antaranya dipicu oleh kehadiran perusahaan perkayuan, terdapat kecenderungan perubahan orientasi dalam sistem mata pencaharian, khususnya di kalangan generasi muda yang lebih berorientasi pada jenis pekerjaan di perusahaan dengan sistem upah. Pada sebagian penduduk, dengan bekerja di perusahaan, mereka tidak sempat lagi untuk melakukan kegiatan berladang. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok (beras) mereka melakukannya dengan cara membeli. Beberapa penduduk yang bekerja di perusahaan, dapat membeli kebutuhan pokok tersebut di koperasi karyawan perusahaan yang menyediakan berbagai kebutuhan bagi karyawan dan juga penduduk Desa Tumbang Olong pada umumnya.

Gambar 7

Koperasi PT. Sarang Sapta Putra menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi karyawan, sebagian di antaranya adalah penduduk Desa Tumbang Olong

10 PT. BBS (dalam persiapan) melaporkan bahwa tanaman karet telah diperkenalkan kepada penduduk di Desa Muara Maruwai dan Batu Bua (sekarang menjadi bagian dari Kecamatan Laung Tuhup), sejak tahun 1914. Usaha budidaya

tanaman karet berkembang terutama sejak 1970an dengan diperkenalkannya bibit karet unggulan di Desa Tumbang Baloi dan sekitarnya (sekarang menjadi bagian dari Kecamatan Barito Tuhup Raya). Di desa-desa di kedua kecamatan ini, hampir setengah penduduknya bergantung pada tanaman karet sebagai sumber cash income. 11 PT. SSP dalam program kemasyarakatannya juga pernah melakukan pembinaan berbentuk kegiatan penanaman karet.

Kegiatan ini tampaknya juga tidak memberikan hasil yang diharapkan.

b. Pendulangan Emas.

Sistem pertanian berladang berpindah sebagai salah satu sumber mata pencaharian utama penduduk dilakukan setahun sekali dan sangat bergantung pada hujan. Pada musim kemarau, kegiatan usaha sebagian penduduk beralih ke kegiatan pendulangan emas secara tradisional di Sungai Murung.

Pada masa-masa permukaan air sungai turun ketika musim kemarau, Desa Tumbang Olong menjadi desa yang ramai dengan kedatangan para pencari emas. Biasanya hal itu berlangsung selama 2 bulan pada saat puncak kemarau atau sekitar bulan Juli dan Agustus. Berbagai kebutuhan pokok mengalami peningkatan harga, bahan bakar solar misalnya meningkat dari yang biasanya Rp. 10.000/liter menjadi Rp. 15.000/liter.

Dari kegiatan penambangan emas dengan menggunakan alat penyedot yang ditempatkan di atas rakit/perahu (katok), dalam satu hari bisa didapatkan rata-rata sekitar 10 gram emas murni dengan harga jual mencapai Rp. 140.000/gram. Walaupun demikian beberapa informan mengemukakan bahwa faktor nasib juga menentukan dalam pekerjaan mencari emas ini. Satu unit perahu katok yang dimiliki oleh seseorang biasanya diawaki oleh 5 hingga 6 orang yang berbagi tugas dalam pencarian emas. Hasil penjualan emas yang diperoleh akan dibagi dua antara pemilik perahu katok dan awak perahu katok setelah dipotong dengan semua biaya operasi pencarian emas. Setengah dari hasil bersih tersebut kemudian dibagi secara merata di antara awak perahu katok.

Beberapa orang informan menceritakan bahwa apabila kegiatan mendulang emas ini sudah dimulai, bagi orang-orang yang beruntung penghasilan sekitar 5 juta hingga 10 juta bisa didapatkan dalam waktu satu bulan bekerja. Sebagian dari penghasilan ini seringkali digunakan untuk merayakan keberhasilan pekerjaan dengan dengan berfoya- foya minum tuak yang menjadi kebiasaan mereka.

Gambar 8

Katok, unit pendulangan emas tradisional di Sungai Murung Katok, unit pendulangan emas tradisional di Sungai Murung

Selain pencarian emas, sejumlah kecil penduduk terbiasa melakukan pekerjaan mencari kayu Gaharu (aquilaria beccariana) yang bernilai ekonomi tinggi. Beberapa informan mengemukakan bahwa kayu tersebut sudah sangat sulit dicari, sehingga seringkali memerlukan waktu berminggu-minggu untuk mendapatkan kayu ini dengan jarak jelajah yang jauh. Pada saat penelitian dilakukan diperoleh informasi bahwa ada satu keluarga yang berhasil mendapatkan kayu langka tersebut. Pada saat itu diperkirakan Gaharu yang diperoleh bernilai Rp. 10.000.000/kg.

d. Pencarian Kayu Ulin.

Produk hutan lain yang biasa dijadikan sumber pencaharian penduduk adalah Kayu Ulin. Pencarian kayu ini biasanya dilakukan secara berkelompok, namun berbeda dengan kayu Gaharu, Kayu Ulin relatif masih banyak terdapat di hutan-hutan sekitar Desa Tumbang Olong. Pada saat penelitian, didapati tiga orang informan yang akan menebang kayu Ulin dengan jarak lokasi pohon tersebut relatif tidak jauh karena bisa ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam dari Desa Tumbang Olong. Kayu ulin yang sudah dipotong menjadi papan dan dijual di Desa Tumbang Olong dengan harga

Rp.1.250.000/m 3 , sementara yang berbentuk batang Rp. 1,500.000/m .

e. Penangkapan Burung.

Jenis sumber daya alam lainnya yang biasa diperjualbelikan adalah burung. Jenis-jenis yang biasa ditangkap adalah Tinjau Gunung atau Murai Batu dengan harga bisa mencapai Rp. 5 juta/ekor. Selain itu juga diperjualbelikan burung-burung lainnya, misalnya burung caling (betet) yang dijual dengan harga Rp. 50.000/ekor. Burung- burung tersebut masih mudah didapati di hutan-hutan sekitar Desa Tumbang Olong. Biasanya setelah ditangkap burung-burung tersebut dilatih terlebih dahulu oleh penangkapnya sebelum dijual.

f. Sarang Burung Walet.

Walaupun dalam jumlah yang terbatas, ditemukan pula sumber mata pencaharian penduduk yang berasal dari penjualan sarang Burung Walet. Lokasi sarang burung walet yang menjadi milik penduduk Tumbang Olong (Dayak Ot Danum) adalah di daerah yang dikenal dengan sebutan Gunung Bahio.

Berdasarkan pengalaman salah seorang informan yang berasal dari etnis Dayak Bakumpai, yang pernah menyewa lubang (gua) walet. Dua buah lubang disewa selama

2 tahun dengan harga sewa Rp.25.000.000,- Selama dua tahun tersebut informan melakukan panen sebanyak 16 kali. Setiap kali panen biaya yang harus dikeluarkan untuk upah penjaga (1 lubang 2 orang penjaga) adalah Rp. 1.500.000/orang. Hasil sarang walet yang dikumpulkan bervariasi, kadang-kadang bisa mencapai 10 kg/panen. Sarang walet yang dihasilkan dijual dengan harga Rp. 20.000.000/kg. Keuntungan 2 tahun dengan harga sewa Rp.25.000.000,- Selama dua tahun tersebut informan melakukan panen sebanyak 16 kali. Setiap kali panen biaya yang harus dikeluarkan untuk upah penjaga (1 lubang 2 orang penjaga) adalah Rp. 1.500.000/orang. Hasil sarang walet yang dikumpulkan bervariasi, kadang-kadang bisa mencapai 10 kg/panen. Sarang walet yang dihasilkan dijual dengan harga Rp. 20.000.000/kg. Keuntungan

Jumlah penduduk Desa Tumbang Olong yang melakukan kegiatan pengumpulan sarang burung walet tidak banyak. Selain karena jumlah guanya hanya sedikit dan lokasinya jauh, biaya operasi yang diperlukan juga relatif tinggi.

g. Penangkapan Ikan.

Kegiatan menangkap ikan di Sungai memberikan sumber protein selain binatang buruan hutan. Penangkapan ikan biasanya dilakukan pada saat permukaan air sungai tidak dalam keadaan tinggi. Selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, hasil ikan yang diperoleh juga biasa dijual terutama kepada pekerja-pekerja perusahaan yang berada di camp-camp di sekitar Desa Tumbang Olong.

Jenis ikan yang ditangkap di antaranya adalah ikan Tapah atau ikan Patin. Ikan-ikan tersebut laku dijual dengan harga antara Rp. 20.000 hingga Rp. 25.000/kg. Lokasi penangkapan ikan ini biasanya di Sungai Murung arah ke hulu dan hilir Desa Tumbang Olong (Gambar 4).

Gambar 9

Penduduk Desa Tumbang Olong sedang memperbaiki jaring untuk menangkap ikan

h. Buruh/Karyawan Perusahaan/Pabrik.

Dengan beroperasinya perusahaan kayu PT. SSP, jayanti Group dan PT. Borneo lainnya di sekitar Desa Tumbang Olong, terbuka kesempatan kerja bagi penduduk desa di perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagaimana disebutkan di atas, kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut cenderung mengubah orientasi kerja, terutama di kalangan generasi muda.

Pada saat penelitian dilakukan, kegiatan PT. SSP sudah mulai menurun dan program pengurangan tenaga kerja telah mulai dilakukan. Pada bulan April 2007 sekitar 200 pekerja telah diberhentikan, sehingga jumlah yang masih bekerja tinggal sekitar 600 karyawan. Wawancara dengan karyawan PT SSP mengungkapkan bahwa sejak tahun 2005 PT. SSP tidak lagi menerima pegawai tetap (permanen). Sistem yang berlaku adalah sistem borongan, dalam hal ini upah dihitung berdasarkan banyaknya pekerjaan penyusunan kayu yang bisa dilakukan oleh karyawan selama jam kerja (1 shift).

Dengan sistem demikian, rata-rata pekerja di PT. SSP bisa mendapat upah sebesar Rp.700.000 hingga Rp. 1.000.000 per-bulan, termasuk biaya lembur yang dihitung sebesar Rp. 4.500/jam.

Selain berasal dari penduduk Desa Tumbang Olong atau desa-desa lain di Kecamatan U’ut Murung, Kecamatan Seribu Riam dan Kecamatan Sumber Barito, pegawai PT. SSP ada juga yang berasal dari desa-desa lain, misalnya, di Kecamatan Laung Tuhup. Sensus yang dilakukan di 21 desa di sekitar kegiatan pertambangan batu bara PT. Maruwai (PT. BHPB 2007) mengidentifikasi 17 orang pegawai PT. SSP yang berasal dari Desa Muara Laung I (6 orang), Muara Tuhup (7 orang), Tawai Haui (2 orang), dan Muara Maruwai I serta Makunjung, masing-masing 1 orang.

3.3.2 Warisan Budaya (Arkeologi)

Studi lapangan yang dilakukan tidak berhasil mengidentifikasi informasi tentang warisan budaya masyarakat di Desa Tumbang Olong dan sekitarnya. Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sejarah perkembangan desa, kawasan perkampungan Desa Tumbang Olong yang dihuni sekarang baru mulai dihuni sejak tahun 1960an, sebelumnya penduduk tinggal di sekitar Sungai Olong. Berkaitan dengan warisan budaya, Undang-Undang No. 9 tahun 1992 tentang arkeologi menyatakan bahwa objek yang memiliki nilai ilmiah, sejarah, dan arkeologis adalah benda-benda yang berumur di atas 50 tahun atau yang mengandung nilai- nilai budaya tertentu.

Merujuk kepada Undang-undang ini, kemungkinan besar di wilayah Desa Tumbang Olong yang sekarang tidak akan ditemukan benda-benda yang dikategorikan sebagai warisan budaya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa warisan budaya, khususnya yang

berbentuk atau berbahan kayu (wooden archaelogical remains) 12 terdapat di sekitar desa, yang dibawa ke Desa Tumbang Olong dari permukiman lama di sekitar Sungai Olong (Desa

Olong).

12 PT. Bita Bina Semesta (dalam persiapan) melaporkan bahwa di desa-desa di Kecamatan Laung Tuhup dan Barito Tuhup Raya ditemukan benda-benda yang terbuat dari kayu seperti Patugur, Sandung, atau Keliring sebagai bagian

dari kebudayaan masyarakat.

3.4 Kesehatan Masyarakat

3.4.1 Sarana Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Sarana kesehatan di Desa Tumbang Olong, pada awalnya hanya berupa Puskesmas Pembantu (Pustu) dengan satu orang tenaga Mantri Kesehatan yang didirikan sekitar tahun 1995 bersamaan dengan dimulainya kegiatan Klinik Karyawan di PT. Sarang Sapta Putra. Selama ini Pustu dan Klinik inilah yang bekerja memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Mulai tahun 2002, Pustu ini mendapat penambahan tenaga medis 1 orang Dokter walaupun saat itu masih menginduk ke Puskesmas di Kecamatan Sumber Barito.

Sejalan dengan rencana pemekaran kecamatan, sejak Januari 2007 status Puskesmas Pembantu Tumbang Olong ditingkatkan menjadi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan wilayah kerjanya mencakup Desa Kalasin dan Desa Tujang. Walaupun termasuk wilayah yang harus dilayani, dalam praktiknya desa-desa tersebut jarang dikunjungi karena terkendala oleh biaya transportasi yang mahal untuk mencapai desa-desa tersebut.

Upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat dilakukan pula dengan membentuk dua buah Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), masing-masing di Desa Tumbang Olong 1 dan di Kompleks Perumahan Karyawan PT. SSP (Desa Tumbang Olong 2). Sejauh ini, kegiatan pelayanan kesehatan di kedua Pos Yandu tersebut belum berjalan dengan baik.

Gambar 10

Pusat Kesehatan Masyarakat di Desa Tumbang Olong

3.4.2 Penyakit, Pengobatan Medis dan Pengobatan Tradisional

Salah satu persoalan yang menonjol berkaitan dengan aspek kesehatan, khususnya di Desa Tumbang Olong, adalah sulitnya mengubah kebiasaan-kebiasaan tidak sehat dalam perilaku masyarakat sehari-hari. Salah satu kebiasaan tidak sehat yang sulit diubah tersebut adalah Salah satu persoalan yang menonjol berkaitan dengan aspek kesehatan, khususnya di Desa Tumbang Olong, adalah sulitnya mengubah kebiasaan-kebiasaan tidak sehat dalam perilaku masyarakat sehari-hari. Salah satu kebiasaan tidak sehat yang sulit diubah tersebut adalah

Wawancara dengan Dokter Kepala dan staf Puskesmas lainnya mengungkapkan bahwa kebiasaan seperti itu tampaknya berkorelasi dengan tingginya prevalensi penyakit Diare yang diderita penduduk. Jenis penyakit lain yang tinggi prevalensinya adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Malaria.

Berkenaan dengan jenis-jenis penyakit yang banyak diderita oleh penduduk, kegiatan pengumpulan data di lapangan tidak mendapatkan data mengenai ini. Puskesmas Tumbang Olong yang baru dibentuk (sebelumnya adalah Puskesmas Pembantu) belum memiliki catatan yang tertata dengan baik. Terlepas dari ini, jenis-jenis penyakit yang banyak diderita oleh penduduk Tumbang Olong seperti di atas menunjukkan kemiripan dengan jenis-jenis penyakit yang umum diderita oleh penduduk di tingkat Kabupaten Murung Raya (Tabel 3, Tabel 4).

Kondisi kesehatan masyarakat yang kurang baik, menurut Kepala Puskesmas dan staff lainnya, diperburuk oleh tingkat kepercayaan dan pemahaman penduduk terhadap pengobatan medis yang relatif rendah. Praktik pengobatan tradisional masih merupakan cara yang dianggap paling sesuai oleh penduduk. Seringkali pasien dibawa berobat ke Puskesmas dalam keadaan yang sudah mengkhawatirkan karena lebih dahulu ditangani dengan cara pengobatan tradisional. Demikian pula dalam perawatan ibu hamil dan praktek persalinan, peran bidan kampung (dukun beranak) masih dominan.

Keyakinan penduduk terhadap penyebab penyakit dan praktik pengobatan tradisional sangat terkait erat dengan sistem kepercayaan kepada hantuan (mahluk halus penyebab penyakit)

dan dukun 14 . Salah satu jenis penyakit yang masih diyakini berasal dari hantuan ini adalah sugak. Keluhan yang dirasakan oleh penderita sugak adalah rasa nyeri di daerah ulu hati dan

biasanya terasa secara mendadak. Penduduk setempat sangat percaya bahwa penyakit ini tidak boleh diobati dengan cara disuntik karena bisa berakibat kematian. Hal ini berkaitan erat pula dengan persepsi bahwa sugak merupakan akibat dari kapuhunan yaitu perilaku menangguhkan/membatalkan atau tidak menyelesaikan sesuatu hal yang sudah diniatkan. Selain sugak, penduduk setempat juga meyakini masih banyak berkembang penyakit yang disebabkan oleh teluh.

13 Berdasarkan penelitian di wilayah Kecamatan Laung Tuhup, Hanson (1999) melaporkan bahwa air dipercaya oleh masyarakat sebagai bukan pembawa penyakit, karena itu seringkali mereka tidak menganggap perlu untuk

memasak air terlebih dahulu untuk keprluan minum.”… “Penyakit dianggap sebagai sesuatu (miasma) yang melayang di udara yang dapat “jatuh” menimpa “jiwa” seseorang. 14 Boulan-Smit (dalam persiapan) melaporkan bahwa bagi orang Dayak (termasuk sebagian Bakumpai), mahluk halus

dapat menyebabkan sakit pada orang. Karena itu, untuk menjaga kesehatan, adalah penting untuk memelihara hubungan yang harmonis dengan mahluk-mahluk halus itu dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan melakukan upacara-upacara ritual keagamaan sesuai adapt istiadat masyarakat. Pengobatan atas penyakit yang disebabkan oleh mahluk halus dipercaya dapat dilakukan oleh Dukun.

Table Sos-3

10 Jenis Penyakit yang Banyak diderita Pasien di Rumah Sakit Puruk Cahu, 2005 No.

Jenis Penyakit

Jumlah Kasus

6 Pulmonary TB

7 Asthma Bronchial

Sumber: Center for Health Research University of Indonesia and PT. Billiton Indonesia, 2006

Table 4.

10 Jenis Penyakit yang Banyak diderita Pasien di Rumah Sakit Muara Teweh, 2005 No.

Diseases

No. of Cases

4 Gingivitis and Peri apical

Sumber: Center for Health Research University of Indonesia and PT. Billiton Indonesia, 2006

Untuk pengobatan penyakit-penyakit seperti itu, yang dianggap berperan penting adalah dukun. Prosedur pengobatan oleh dukun ini biasanya diawali dengan sengeang (diagnosa magis). Dukun yang dianggap mampu akan melakukan sengeang hingga didapatkan “informasi permintaan sesajen” dari hantuan yang mengganggu pasien. Permintaan macam dan jenis sesajen dari mahluk halus (hantuan) ini harus dipenuhi agar mahluk halus tersebut pergi dan penyakitnya hilang. Jika tidak dipenuhi dengan lengkap, mahluk halusnya akan kembali lagi untuk menagih kekurangan dan penyakit pasien akan kambuh.

Namun demikian terdapat juga pembagian jenis sumber hantuan dengan masing-masing dukunnya. Penduduk setempat percaya bahwa ada yang disebut hantuan langit (berasal dari langit, atau terbang di daerah daratan atau hutan) dan hantuan air (berasal dari air atau juga dalam tanah dan bisa menyelam). Dukun yang biasa menangani pengobatan akibat hantuan langit tidak akan bisa menangani hantuan air, begitu juga sebaliknya. Demikian pula dukun teluh yang menjadi spesialiasi keahlian tersendiri. Dengan pandangan-pandangan tersebut, wajar jika berdasarkan data yang dikumpulkan dari beberapa informan, didapat keterangan Namun demikian terdapat juga pembagian jenis sumber hantuan dengan masing-masing dukunnya. Penduduk setempat percaya bahwa ada yang disebut hantuan langit (berasal dari langit, atau terbang di daerah daratan atau hutan) dan hantuan air (berasal dari air atau juga dalam tanah dan bisa menyelam). Dukun yang biasa menangani pengobatan akibat hantuan langit tidak akan bisa menangani hantuan air, begitu juga sebaliknya. Demikian pula dukun teluh yang menjadi spesialiasi keahlian tersendiri. Dengan pandangan-pandangan tersebut, wajar jika berdasarkan data yang dikumpulkan dari beberapa informan, didapat keterangan

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121