ARSITEKTUR TRADISIONAL BADUY DALAM DAN L

ARSITEKTUR TRADISIONAL
BADUY DALAM DAN LUAR

OLEH :
Galuh Fajar Puspasari

1211662022

Nugroho Wisnu Broto

1211665022

PROGRAM STUDI S-1 KRIYA SENI
JURUSAN KRIYA FAKULTAS SENI RUPA
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2014

memang
jika

dibilang


Banten

tak punya

‘gaya’

dalam

seni

bangunan. Setidaknya begitulah kira-kira harapan orang, ada sesuatu yang bisa menjadi
‘pembeda’ dari daerah lain. Beberapa bangunan modern di Serang, ibukota Provinsi Banten,
kelihatannya juga sedang mencari ujud yang khas. Upaya keras para arsitek membangun
jatidiri melalui rancang bangun fisik perlu mendapat penghargaan, kendati masih mengacu
pada tipe bangunan yang lebih menonjolkan atap tumpang limasan dimana arsitektur Masjid
Agung di Banten Lama sebagai referensi. Oleh karenanya, apapun denah suatu bangunan,
elemen atap hampir selalu seperti itu; prototype dunia Melayu, khususnya Jawa dan Bali.
Lantas adakah sesuatu ‘yang lain dari biasanya’ yang dapat memberi kita ide referensial dan
generatif untuk memberi sekedar ‘papan nama’ pada identitas budaya Banten? Adakah karya

arsitektur khas Banten sebagai acuan bagi konstruksi bangunan modern yang dapat memberi
tanda khusus di Provinsi Banten?
Agak sulit juga mencarinya jika kita tak mengenal budaya lokal. Beberapa struktur memang
masih bisa ditemukan di pedesaan dan perkampungan Banten, dari pesisir utara sampai
selatan atau dari dataran tinggi sebelah timur sampai ke dataran rendah di sebelah barat
Banten. Entah itu berada pada ruang budaya penutur bahasa Jawa ataupun masyarakat yang
berbahasa Sunda, hampir tidak

pernah ditemukan

suatu

bangunan yang dapat

merepresentasikan sebuah rancang bangun suatu peradaban besar. Kebanyakan dari bangunan
itu bersifat semi permanen: rumah tinggal, tempat ibadah, balai pertemuan, lumbung padi
serta saung huma, apriori, lebih bersifat rural. Lantas bagaimana kita dapat mengadopsi
semua tipe bangunan bernuansa etnik itu ke dalam struktur besar dan masif, seperti untuk

bangunan kantor atau lainnya? Bagaimana pula kita dapat meredisainnya menjadi karya

arsitektur modern tetapi berkarakter lokal?
Agaknya tidak terlalu sulit juga jika kita memang berkehendak ke arah itu. Maka ketika
referensi arsitektural berada dalam kelangkaan, ketika warisan budaya yang ada hanya
menyisakan fragmen yang sulit direkonstruksi, apa yang ada dan terwarisi oleh masyarakat
Banten, sesederhana apapun ujudnya, adalah sebuah tresor yang patut mendapat perhatian
para arsitek. Maka Sula Nyanda mestinya bisa menjadi salah satu tresor itu.
Agaknya kita perlu berkunjung kembali ke Desa Kanekes, perkampungan warga Baduy yang
selalu menarik minat pengunjung, tetapi luput memberi perhatian khusus kepada type budaya
rumah tinggal mereka, yang biasa disebut Sula Nyanda. Karena fungsinya hanya rumah orang
biasa, atau barangkali karena anggapan tak mewakili ‘great tradition’ dari suatu peradaban
urban, tak sadar kita kehilangan kepekaan untuk mengadopsinya menjadi sesuatu yang unik
dan khas bagi ‘bangun’ arsitektur Banten.
Agaknya perlu juga kita mulai berhitung sekarang. Jika benar istilah ‘Sula Nyanda’ dapat
dimaknai sebagai “merunduk untuk menaungi”, bukankah itu juga dapat dijadikan dasar
filosofis untuk sebuah rancang bangun struktur masif di pusat-pusat kota. Berdenah segi
empat panjang dengan teras yang lebar, dinaungi oleh atap segi tiga yang diperhalus dengan
kanopi menjorok ke bagian depan, Sula Nyanda dapat beralih fungsi, dari rumah tinggal biasa
menjadi ‘mega beton’ dengan berbagai asesori yang memenuhi selera estetik dan tentu saja,
simbolik.
Agaknya ada alasan, jika Taman Nasional Ujung Kulon telah mengadopsi Sula Nyanda

menjadi sebuah Pusat Informasi Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah di Pulau Peucang
dalam ukuran besar. Lantas apa yang sudah kita tampilkan kemarin dan sekarang, selain type
bangunan beratap tumpang? Kemana lagi mencari referensi?
Agaknya, mungkin sudah seharusnya, kita memperhitungkan Sula Nyanda sebagai model
seni bangunan khas daerah juga; modern atau super modern sekalipun, namun akarnya lahir
dan tumbuh di bumi kita, Banten.

Rumah bagi masyarakat Baduy dalam (kejeroan), di Kabupaten Lebak, Banten. Tidak
sekedar tempat tinggal. Ada nilai Filosofi yang di yakini sebagai kepercayaan nenek moyang
mereka.Itu

sebabnya

membangun

rumah

tidak

boleh


sembarangan.

Kawasan Baduy Dalam seperti daerah Kenekes, diyakini sebagai pusat alam semesta. Karena
itu, tanah di sana pantang di olah dengan cangkul. Malah, jika tanah yang digunakan untuk
membangun rumah tidak rata, mereka tidak mau meratakannya. Rumah tetap didirikan disitu.
Caranya tiang-tiang rumah disesuiakan dengan kondosi tanah. Hasilnya tentu tiang- tiang
yang

tidak

sama

tinggi.

Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung yang hampir secara
keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy ini sendiri terkenal
dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan
perlindungan


dan

kenyamanan.

Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi rendahnya/
kontur permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan
disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali, berfungsi
sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor. Berikut ini adalah
beberapa ciri daripada rumah-rumah adat suku Baduy yang terletak di pedalaman Kabupaten
Lebak Propinsi Banten :
Motif Atap Rumah Suku Baduy Dalam
Atap rumah terbagi pada dua sisi kanan dan sisi kiri. Atap sebelah kiri di bangun lebih
panjang di bandingkan atap sebelah kanan. Ini di maksudkan supaya satu sisi yang lebih
panjang memberikan kehangatan yang lebih. Selain itu, juga untuk menambah ruangan yang
bisa di pakai. Karena pasti anggota keluarga akan terus bertambah. Kemudian, bagian paling
atas atau pucuk, pertemuan antara sisi kiri dan sisi kanan di buat cabik. Fungsinya untuk
menahan air hujan yang turun. Selain untuk fungsi tadi, cabik ini juga merupakan lambang
lingkaran

hidup


mereka.

Ciri khas berikutnya ialah, atap yang di pakai bukan seperti kebanyakan yang sering kita
temui. Mereka tidak memakai genting. Rata-rata yang di pakai sebagai atap terbuat dari
bahan yang sangat sederhana, biasanya dari ijuk atau daun kelapa yang di keringkan. Ini

adalah bagian adat yang harus di patuhi. Bagian dari kepercayaan yang sangat mereka yakini.
Hal ini berhubungan karena genting itu berbahan dari tanah. Artinya, kalau memakai atap
dari genting, sama saja mengubur diri sendiri. Sedangkan tanah hanya di peruntukan untuk
orang mati saja. Seperti peribahasa mereka “terletak antara dunia bawah – yaitu tanah - dan
dunia atas – yaitu langit -. Karena rumah memiliki pangkat yang lebih tinggi, yaitu dunia
atas, maka di larang di letakan lebih rendah dari tanah.

Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap
bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang. Salahsatu sulah
nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian
bawah rangka atap.
Tanpa Jendela
Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal jendela. Bagi mereka jendela itu hany sebagai

berfungsi untuk melihat sesuau yang ada diluar. Karenanya, jika memang ada yang ingin
dilihat dari dalam cukup melobangi dinding yang terbuat dari bambu. Itu sebabna rumah
dikawasan Baduy Dalam hamper tidak berjendela, kecuali rumah- rumah masyarakat Luar.
Bagi orang luar Baduy, jendela merupakn ventilasi untuk menikmati udara segar. Namun
untuk orang Baduy Dalam cukup diperoleh dari lobang lantai yang terbuat dari bambu
(palupuh). Lubang dari palupuh ini memungkinkan masuknya udara dari kolong rumah.
Bagian Rumah Suku Baduy Dalam

Bagian rumah itu didasarkan kepada kepercayaan, rumah identik dengan bumi ( alam
semesta). Yang terdiri dari 3 bagian atas, tengah, bawah. Dapur pada rumah masyarakat
Baduy berlantaikan bambu. Untuk membuat tungku, biasanya bagian lantai dapur itu
ditimbunin tanah besekat kayu. Diatas tanah itu dibuat tungku. Cara ini dimaksudkan agar api
tidak menjilat lantai bambu tersebut. Pada dapur ini, ada sebuah tempat yang disebut goa.
Fungsinya untuk menyimpan padi atau beras.
Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal.
Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya dengan
berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan
memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk
ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak

sekaligus ruang makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu yang disebut
sosoro. Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah
Baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
Rumah yang sangat sederhana adalah ciri khas masyarakat baduy. Menurut yang mereka
yakini, tempat tinggal memiliki kekuatan netral. Dalam istilahnya “terletak antara dunia
bawah dan dunia atas”. Kalau di perhatikan, rumah baduy pasti memiliki kolong dan tidak
langsung menyentuh tanah. Semua rumah pasti di bangun memakai alas batu (umpak).
Mereka pun percaya sepenuhnya, dengan membangunnya seperti itu, rumah mereka akan
jauh lebih awet dan tahan lama.
Perkampungan dikawasan Baduy Dalam ditanadai dengan lapangan luas. Letak lapangan itu,
ditengah deretan rumah penduduk. Sementara di daerah Baduy Luar, lapangan itu sudah agak
kabur karena digunakan untuk jalan orang- orang yang mau masuk kampung.
Diujung sebelah barat lapangan, terletak bagunan yang disebut bale(balai). Disebelah kiri
balai ini, berdiri tempat orang- orang menumbuk padi ( saung lisung). Sementara disebelah
kanan balai ada sekelompok lumbung padi yang disebut leuit. Rumah puun (tokoh tertinggi
orang Baduy Dalam), terletak disebelah timur lapangan.

Demikian ulasan mengenai ciri-ciri rumah dari masyarakat Baduy di Lebak, Banten.
Tentunya sobat penasaran jika tidak melihat seperti apa sebenarnya bentuk rumah-rumah adat
ini. Namun setidaknya dari ulasan diatas ada sedikit gambaran mengenai bentuk rumah adat

tersebut.
UR BADUY DALAM
Oleh Henry H Loupias
Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman mengandalkan naluri,
termasuk dalam upaya menyesuaikan serta menyelaraskan diri dengan lingkungan alam
sekitarnya. Banyak teknik atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi cukup
“tinggi” dan mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.
Kecenderungan tersebut diperlihatkan secara jelas pada arsitektur vernakular suku Baduy
Dalam di Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana,
dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari
gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan eksterior
dan interiornya.

Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-selatan dan saling
berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan adat. Di
samping itu, ada hal yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara
mereka memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau
mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk
kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya.
Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi

lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-bangunan
tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti
kontur atau kemiringan tanahnya.

Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk jenis bangunan knock down dan siap pakai, yang
terdiri dari beberapa rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit
atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara dipaseuk.
Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang,
panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang
digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan
lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.
Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya
sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan
rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya
bersifat fleksibel dan elastis. Rumah panggung

Bangunan rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya
mengikuti kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian
berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya relatif rendah.
Adapun pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut
bertumpu pada batu kali agar kedudukannya stabil.
Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku
Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan sebagi
penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau
dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat berguna
terutama jika musim hujan tiba.
Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap bersandar
wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke
belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak. Jika
jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua sisinya, atap jenis

sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan. Salah satu atap pada
sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.

Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan panto,
yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu
jari dan dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy
tidak mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak
pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar
pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur
selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika
ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk mengunci pintu
dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar bangunan.
Ruangan Inti
Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro
dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar
rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang
digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak
terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku.
Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah
karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur
(pawon), imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.

Mereka tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut
digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara
tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling
ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata
ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan
tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman,
maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan
kepala keluarga.
Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat
menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120
meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh
komponennya.
Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal dengan 100 kepala keluarga. Saat pelaksanaan
program, seluruh warga turun bergotong royong, bahu-membahu membantu tanpa pamrih.
Mereka menyumbangkan bahan bangunan, komponen rumah, atau tenaganya.