LAPORAN FIELDTRIP SURVEI TANAH DAN EVALU

BATU MALANG

Kelompok 1

Asiseten: Aditya Nugraha Putra, S.P PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015

DAFTAR KELOMPOK Kelompok 1 :

Dwi Genius Samporna 135040118113004 Mukti Rahaayuningtyas

135040118113006 Vidia Oktaviasari

135040118113007 Monik Selvi Yuniari

135040118133003 Nur’Aisyah

135040118133002 Dotik Sukesmi

135040118133004 Thalia Eka Vatikasari

135040118133005 Rizki Nurmalasari

135040118133007 Saifudin Fidra Alim

135040118133008 Lilis Setioningsih

135040118133010 Reni Dwi Astutik

135040118133011 Mohammad Denny S.

125040118113017 M. Irfan Rizqiawan .P

125040118113023 Alda Risky Madewa

125040118113013

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN Gambar 1. Peta administrasi lokasi survei .................................................... 4

NO.

NAMA GAMBAR

Gambar 2 Peta Geologi Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji) ......................... 23 Gambar 3 Peta Bentuk Lahan Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji) ................ 25 Gambar 4. Peta Kelerengan Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji) ................... 28

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Survei tanah adalah metode atau cara mengumpulkan data dengan turun langsung kelapangan. Data yang diperoleh berupa data fisik, kimia, biologi, lingkungan, dan iklim. Kegiatan survei terdiri dari kegiatan dilapangan, analisis di laboratorium, mengklasifikasikan tanah kedalam sistem taksonomi atau sistem klasifikasi tanah, melakukan pemetaan tanah atau interpretasi atau penafsiran dari survei tanah dan ahli teknologi pertanian (Abdullah, 1996). Sementara Sitorus (1998) menyatakan bahwa evaluasi lahan pada hakekatnya merupakan proses pendugaan potensi sumber daya lahan untuk berbagai kegunaan dengan cara membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan dengan sifat sumber daya yang ada pada lahan tersebut.

Dari dua pengertian tersebut maka survei tanah dan evaluasi lahan merupakan metode atau cara mengumpulkan data dengan turun langsung ke lapangan yang merupakan proses pendugaan potensi sumber daya lahan pada suatu daerah tertentu. Kegiatan survei tanah dan evaluasi lahan pada praktikum ini adalah di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Lahan pada daerah ini memiliki tingkat kemiringan sekitar 10%, dimana tingkat kemiringan tersebut masuk kemampuan lahan kelas S2.

Tujuan survei tanah dan evaluasi lahan tersebut adalah untuk mengetahui kondisi fisiografi dan morfologi dari lahan yang ada di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Kota Batu, sehingga dapat diketahui kemampuan lahan, kesesuaian lahan, potensial dan kelayakan usahatani pada lahan Tulungrejo tersebut.

1.2 Tujuan

1. Untuk memahami dan menjelaskan pengertian dan membedakan satuan peta dan satuan taksonomi.

2. Untuk memberi nama satuan peta tanah pada berbagai kategori dan berbagai skala peta.

3. Untuk menjelaskan cara-cara membuat peta tanah di lapangan.

II. METODE

2.1 Waktu dan Tempat

Waktu

: Dilaksanakan Hari Sabtu, 17 Oktober 2015

Tempat : Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Berikut merupakan jadwal kegiatan yang dilaksanakan pada hari tersebut:

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Praktikum Stela No Waktu

Durasi( Kegiatan

Pemberangkatan asisten dan praktikan

2 09.00-09.45

Materi Pendahuluan :

1. Penggunaaan GPS menuju titik pengamatan yang telah ditetapkan

2. Teknik membaca peta (google eart dan kontur, lereng, geologi, dan administrasi) 3.Pengamatan kondisi fisiografi

3 09.45-10.30

Pembuatan minipit dan profil tanah

4 10.30-11.15

Identifikasi tanah

5 11.15-11.30

Pindah ke titik selanjutnya

6 11.30-12.00

Identifikasi tanah

7 12.00-12.15

Pindah ke titik selanjutnya

8 12.15-12.45

Identifikasi tanah

Klasifikasi tanah

11 14.15-14.45

Kemampuan lahan

12 14.45-16.00

75’

Kesesuaian lahan aktual dan potensial

Gambar 1. Tempat: Pengamatan fieldtrip survei tanah dan Evaluasi Lahan di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.

Gambar 1. Peta administrasi lokasi survei

2.2 Alat dan Bahan

Alat bahan yang digunakan pada praktikum ini merupakan alat yang digunakan pada saat kegiatan pra survei dan pelaksanaan. Jenis dan fungsi dari alat dan bahan disajikan pada table 1:

Tabel 2. Alat dan Bahan

No. Tahapan

Alat/Bahan

Fungsi

1. Pra Survei

1. Alat tulis

Menggambar bayangan

berupa titik yang dihasilkan oleh

stereoskop cermin

untuk mengetahui tingkat kefokusan

mata praktikan

pada laboratorium.

2. Stereoskop cermin Untuk melihat dan mengidentifikasi land

use dan landform yang ada di daerah Kediri

3. Foto Udara

Sebagai bahan yang akan dilihat pada stereoskop cermin

4. Mika bening

Untuk menggambar hasil

delineai landform dan land use dari foto udara

5. Selotip

Untuk menempelkan mika dan foto udara Untuk menempelkan mika dan foto udara

nya pada stereoskop cermin

6. Spidol OHP

Untuk penulisan dan deliniasi batas-batas landform pada mika bening

7. Mistar 50 cm

Untuk menggaris bayangan

yang didapatkan

dari stereoskop cermin

8. Aplikasi ArcGIS

Aplikasi software untuk

mengubah peta yang belum memilki koordinat menjadi peta yang memiliki koordinat dan skala

9. Komputer

Untuk menjalankan aplikasi ArcGIS

2. Pelaksanaan

1. Modul

Untuk memberikan panduan

tentang cara

praktikum fieldtrip di lapang

2. Alat tulis

Untuk mencatat hasil fieldtrip di lapang

3. Form

Untuk mengetahui Untuk mengetahui

kemampuan lahan di

lahan

daerah fieldtrip

4. Form

Untuk mengetahui

kesesuaian

tingkat kesesuaian

Untuk mengetahui

drainase, tingkat erosi,

keadaan permukaan

lahan, vegetasi

dan penggunaan lahan

6. Morfologi

Mengetahui ketebalan

horizo, batas

horizon, warna,

tekstur, struktur, konsistensi, pori, karatan, gejala non redoksi morfik dan perakaran pada masing-masing horizon

7. Peta

Untuk mengetahui

administrasi

lokasi fileldtrip berdasarkan

peta administrasi

8. Peta Geologi

Untuk mengetahui jenis tanah pada tempat fieldtrip

9. Peta lereng

Untuk mengetahui Untuk mengetahui

10. Cangkul

Untuk membuat minipit tanah

11. Bor

Mengebor tanah untuk

mengetahui horizon tanah dan sifat-sifat tanah pada lahan yang diamati.

12. Skop

Untuk membuat minipit pada lahan

13. Pisau

Untuk membatasi lapisan horizon pada minipit

14. Munsel Colour Untuk mengetahui Chart

sifat tanah berupa warna tanah

15. Plastik

Untuk membungkus tanah

sebagai sampel

16. Klinometer

Untuk mengetahui kelerengan

pada tempat fieldtrip

17. GPS

Untuk menentukan titik

pengamatan pada saat fieldtrip

18. Botol air+air

Untuk mengetahui tekstur tanah

19. Sabuk profil

Untuk Untuk

20. Meteran (roll Untuk mengetahui meter) 2 meter kedalaman minipit

saat fieldtrip

21. PH meter

Untuk mngethaui pH

tanah yang dgunakan

sebagai sampel

22. Kamera

Untuk dokumentasi saat

praktikum lapang.

2.3 Alur Kerja

2.3.1 Tahap Pra Survei

a. Laboratotium SIG Pemberangkatan dari UB kampu IV ke UB kampus

Malang

Persiapan alat dan bahan di laboratorium

Pengamatan peta menggunakan stereoskop cermin untuk mengetahui gambaran dari land use dan landform pada

peta udara

Menginterpretasikan hasil landform dan land use yang

sudah di delineasi

Dokumentasi Dokumentasi

Menyalakan komputer dan membuka aplikasi ArcGIS

Mengambil data yang ada pada folder UB kampus IV

Merubah peta yang belum memiliki koordinat dan skala menjadi peta yang memilki koordinat dan skala pada

aplikasi ArcGIS

Mendelineasi peta yang sudah memiliki koordinat dan skala

Interpretasi dari delineasi yang sudah dilakukan

2.3.2 Tahap Pelaksanaan di Lapang

Berangkat dari UB kampus IV menuju ke lahan fieldtrip Bumiaji Identifikasi peta penggunaan lahan, kesesuaian lahan, geologi, dan

administrasi Pembuatan minipit

Pengamatan morfologi tanah

Pengamatan fisiologi tanah

Dokumentasi

Pengolahan data dan interpretasi

2.4 Persiapan Peta Kerja

Peta kerja yang digunakan dalam survei lapang di Bumiaji ada empat macam yakni:

1. Peta Geologi

2. Peta Jenis Tanah

3. Peta Administrasi

4. Peta Penggunaan lahan Keempat peta tersebut diperoleh dari tim asisten survei tanah dan evaluasi lahan 2015. Peta-peta tersebut sangat berfungsi untuk membantu memperlancar kegiatan fieltrip. Peta tersebut diperoleh dalam bentuh soft copy lalu kemudian diprint dalam kertas foto dan dibawa kelapang untuk membentu memperlancar kegiatan fieltrip.

2.5 Metode Penentuan Titik Pengamatan

Dalam mentukan titik pengamatan harus di tempat yang representative sesuai dengan tujuan kajian yang dilakukan. Beberapa hal yang penting dalam penentuan lokasi pembuatan minipit tersebut adalah :

1. Berada jauh dari lokasi penimbunan sampah, tanah galian atau bekas bangunan, kuburan atau bahan-bahan lainnya.

2. Berjarak > 50m dari pemukiman, pekarangan, jalan, saluran air dan bangunan lainnya.

3. Pada daerah berlereng, profil dibuat searah lereng.

2.6 Perizinan

Untuk perizinan dilakukan oleh asisten dosen dan asisten praktikum dari UB Malang, sehingga praktikan langsung ke lokasi fieldtrip untuk melakukan fieldtrip lapang.

2.7 Pengamatan Morfologi Tanah di Lapangan

Sifat yang diamati dalam morfologi tanah mencakup komposisi, bentuk, struktur dan susunan tanah, sifat dari tanah dasar, persebaran akar tumbuhan dan pori-pori tanah, translokasi ion dan Sifat yang diamati dalam morfologi tanah mencakup komposisi, bentuk, struktur dan susunan tanah, sifat dari tanah dasar, persebaran akar tumbuhan dan pori-pori tanah, translokasi ion dan

Adapun langkah-langkah pengamatan morfologi tanah pada lahan adalah:

Siapkan alat dan bahan

Buat lubang minipit pada lahan yang akan diteliti

Buat batas berdasarkan kenampakan perbedaan-perbedaan yang terlihat jelas di tanah

Tusuk-tusuk bidang profil tanah menggunakan pisau untuk mengetahui

konsistensi atau kepadatan keseluruhan profil.

Tentukan warna tanah, kepadatan dan tekstur tanah ,apabila sama

maka perbedaan konsistensi, struktur, kenampakan redoksimorfik dapat digunakan sebagai dasar penarikan batas horizon.

Setelah horizon ditentukan , letakkan meteran tegak lurus bidang profil

tanah

Pasang sabuk profil, untuk menentukan jarak antar horizon tanah

Kemudian foto bidang profil yang diamati.

Tentukan tebal penampang horizon menggunakan meteran

Tentukan karakteristik tanah

Amati, catat hasil dan dokumentasi hasil

2.8 Pengukuran pH Tanah

Tanah merupakan media tumbuh alami yang menyediakan makanan (unsur hara) bagi kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan (tanaman). Agar tanaman mampu berproduksi optimal berkesinambungan, kualitas tanah harus tetap dipertahankan. Kesalahan-kesalahan dalam pengolahan tanah dapat mengakibatkan kerusakan pada tanah, berakibat menurunkan produktifitas tanaman. Produktifitas tanah dalam menghasilkan produk pertanian sangat tergantung pada kemampuan suatu tanah dalam menyediakan unsur hara yang berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Reaksi tanah secara umum dinyatakan dengan pH tanah. Kemasaman tanah

bersumber dari asam organik dan anorganik serta H 3+ dan Al dapat tukar pada misel tanah. Sedangkan tanah alkalis dapat bersumber dari

hasil hidroksil dari ion dapat tukar atau garam-garam alkalis seperti : Belerang dan sebagainya.

Nilai pH tanah merupakan ciri kimia tanah yang sangat penting dalam menentukan kesuburan tanah karena ketersediaan unsur hara bagi tanaman sangat berkitan dengan nilai pH tanah. Semakin tinggi nilai pH tanah berarti semakin basa tanah tersebut. Populasi dan kegiatan mikroorganisme di dalam tanah juga sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pengukuran pH tanah dapat dengan berbagai cara, yaitu menggunakan kertas lakmus, pH meter dan pH tester. Selain itu PH tanah juga digunakan untuk mengukur tingkat kesuburan dari tanah tersebut.

Pada praktikum yang dilakukan dengan menggunakan pH meter untuk mengukur PH tanah dengan terlebih dahulu mencampurkan tanah yang akan diukur dengan Aquades. Komposisi aquades dan tanah mengikuti aturan yang berlaku yaitu dengan perbandingan 1:1. Diaduk sampai jenuh (kapasitas lapang). Menancapkan pH meter, menunggu beberapa saat dan akan muncul Pada praktikum yang dilakukan dengan menggunakan pH meter untuk mengukur PH tanah dengan terlebih dahulu mencampurkan tanah yang akan diukur dengan Aquades. Komposisi aquades dan tanah mengikuti aturan yang berlaku yaitu dengan perbandingan 1:1. Diaduk sampai jenuh (kapasitas lapang). Menancapkan pH meter, menunggu beberapa saat dan akan muncul

2.9 Evaluasi Lahan

2.9.1 Kemampuan Lahan

Kemampuan lahan adalah penilaian lahan secara sistematik dan pengelompkannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat- sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaanya secara lestari. Data hasil pengamatan data kemampuan lahan dimasukkan dalam table kelas kemampuan lahan survei (Tabel. 2.9.1) dengan beberapa kriteria tertentu.

Tabel 3. Kelas Kemampuan Lahan Survei Tabel 3 kelas kemapua lahan

No Faktor Pembatas

Kelas Tekstur

Hasil Pengamatan

1 a. Tekstur Atas

b. Tekstur Bawah

2 Lereng

3 Drainase

4 Kedalaman Efektif

5 Tingkat Erosi

6 Batuan/Kerikil

7 Bahaya banjir

Kelas Kemampuan Lahan

Sub Kelas Kemampuan

Lahan

Ada tiga kategori dalam klasifikasi KPL, yaitu : Klas, Sub Klas dan Unit. Pengelompokan Klas didasarkan pada intensitas faktor penghambat, sedangkan Sub Klas menunjukkan jenis faktor Ada tiga kategori dalam klasifikasi KPL, yaitu : Klas, Sub Klas dan Unit. Pengelompokan Klas didasarkan pada intensitas faktor penghambat, sedangkan Sub Klas menunjukkan jenis faktor

Secara umum sistem ini menggunakan delapan Klas. Apabila makin besar faktor penghambatnya dan makin tinggi Klasnya maka akan semakin terbatas pula penggunaannya. Pembagian Klas-klas tersebut adalah sebagai berikut :

 Klas I – IV dapat digunakan untuk sawah, tegalan atau tumpangsari  Klas V untuk tegalan atau tumpangsari dengan tindakan konservasi tanah  Klas VI untuk hutan produksi  Klas VII untuk hutan produksi terbatas

 Klas VIII untuk hutan lindung Adapun penghambat yang digunakan adalah e (erosi), w

(drainase), s (tanah), c (iklim) dan g (kelerengan). Pada klasifikasi ini dikenal prioritas penanganan penghambat berdasarkan tingkat kemudahan penanganannya. Pada kelas yang sama, bilamana mempunyai beberapa penghambat maka akan dipilih prioritas penghambat yang paling besar. Urutan prioritas penghambat tersebut adalah (dari yang paling mudah diatasi) e – w – – s – c – g. Jadi apabila hasil klasifikasi dalam satu unit lahan menunjukkan Klas IVe, IVw dan IVs, maka akan ditetapkan sebagai Klas IVs karena mempunyai jenis penghambat yang paling sulit ditangani.

Deskripsi tiap Klas, Sub Klas dan Unit dalam sistem klasifikasi KPL mengikuti standar yang ada. Deskripsi tersebut dapat dinyatakan dalam satu tabel kriteria atau disebut juga tabel matching. Kriteria ini kemudian digunakan untuk melakukan sortasi data karakteristik lahan di setiap unit lahan. Contoh kriteria untuk Klas I antara lain adalah adanya teknik konservasi tanah yang baik, tidak ada erosi, kedalaman Deskripsi tiap Klas, Sub Klas dan Unit dalam sistem klasifikasi KPL mengikuti standar yang ada. Deskripsi tersebut dapat dinyatakan dalam satu tabel kriteria atau disebut juga tabel matching. Kriteria ini kemudian digunakan untuk melakukan sortasi data karakteristik lahan di setiap unit lahan. Contoh kriteria untuk Klas I antara lain adalah adanya teknik konservasi tanah yang baik, tidak ada erosi, kedalaman

2.9.2 Kesesuaian Lahan

Berbeda dengan klasifikasi ‘Kemampuan Lahan’ yang merupakan klasifikasi tentang potensi lahan untuk penggunaan secara

umum, ‘Kesesuaian Lahan’ lebih menekankan pada kesesuaian lahan untuk jenis tanaman tertentu. Dengan demikian klasifikasi

kemampuan dan kesesuaian lahan akan saling melengkapi dan memberikan informasi yang menyeluruh tentang potensi lahan.

Pada prinsipnya klasifikasi kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara memadukan antara kebutuhan tanaman atau persyaratan tumbuh tanaman dengan karakteristik lahan. Oleh karena itu klasifikasi ini sering juga disebut species matching. Klas kesesuaian lahan terbagi menjadi empat tingkat, yaitu : sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). Sub Klas pada klasifikasi kesesuaian lahan ini juga mencerminkan jenis penghambat. Ada tujuh jenis penghambat yang dikenal, yaitu e (erosi), w (drainase), s (tanah), a (keasaman), g (kelerengan) sd (kedalaman tanah) dan c (iklim). Pada klasifikasi kesesuaian lahan tidak dikenal prioritas penghambat. Dengan demikian seluruh hambatan yang ada pada suatu unit lahan akan disebutkan semuanya. Akan tetapi dapat dimengerti bahwa dari hambatan yang disebutkan ada jenis hambatan yang mudah (seperti a, w, e, g dan sd) atau sebaliknya hambatan yang sulit untuk ditangani (c dan s).

Dengan demikian maka hasil akhir dari klasifikasi ditetapkan berdasarkan Klas terjelek dengan memberikan seluruh hambatan yang ada. Perubahan klasifikasi menjadi setingkat lebih baik dimungkinkan terjadi apabila seluruh hambatan yang ada pada unit lahan tersebut dapat diperbaiki. Untuk itu maka unit lahan yang Dengan demikian maka hasil akhir dari klasifikasi ditetapkan berdasarkan Klas terjelek dengan memberikan seluruh hambatan yang ada. Perubahan klasifikasi menjadi setingkat lebih baik dimungkinkan terjadi apabila seluruh hambatan yang ada pada unit lahan tersebut dapat diperbaiki. Untuk itu maka unit lahan yang

Prinsip klasifikasi kesesuaian lahan hampir sama dengan kemampuan lahan, yaitu: 1. Katagori Kelas diputuskan sesuai dengan Kelas kesesuaian terendah. 2. Pada kelas yang sama tetapi ada beberapa sub Kelas yang berbeda, semua sub kelas yang ada perlu disebut dan tidak ada prioritas.

Berukut adal tabel kriteria lahan berupa tanaman padi pada titik ke satu. Padi merupakan tanman yang paling dominan dari daerah lokasi survei.

Tabel 4. Kelas Kesuaian Lahan untuk Padi Gogo

Persyaratan Kelas kesesuaian lahan penggunaan

/ S1

N karakteristik

S2

S3

lahan Temperatur (tc)

18 – 22 < 18 (°C)

Temperatur rerata 24 – 29

Ketersediaan air (wa) Curah

hujan 50 – 400 400 – 550 550 - 650 > 650; < 50 tahunan (mm)

Kelembaban (%) 33 – 90

< 30 > 90 Media perakaran

(rc) Drainase

baik,

terhambat, Cepat sedang,

sangat sangat

Tekstur halus,

agak kasar Kasar agak halus, sedang

Bahan kasar (%) < 15

35 – 55 > 55 Kedalaman tanah > 50

25 – 40 < 25 (cm) Gambut:

140 - 200 > 200 Ketebalan (cm), < 140

Ketebalan (cm) < 60

140 – 200 200 - 400 > 400 jika ada sisipan bahan mineral/ Pengkayaan Kematangan

saprik+

saprik,

hemik, Fibrik

fibrik+ Retensi hara (nr) KTK liat (cmol)

Kejenuhan basa > 35

0,8 - 1,5 Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m)

0,8 - 1,5

Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP

30 – 40 > 40 (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman

50 – 30 < 30 sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%)

16 – 50 > 50 Bahaya erosi

sangat berat rendah

Bahaya banjir (fh) Genangan

F12 - F13 > F13 Penyiapan lahan (lp) Batuan

F11

15 – 40 > 40 permukaan (%) Singkapan batuan <5

Berdasarkan kriteria tersebut maka lahan ! dan lahan s2 yang telah diamati termasuk dalam kesesuaian lahan kelas s2, dimana kesesuaian lahan kelas s2 masih dapat digunakan untuk lahan pertanian, tetapi hasilnya tidak sebesar pada lahan kelas s1

2.10 Analisis Kelayakan Usahatani

Analisis kelayakan usaha tani merupakan penilaian terhadap suatu komponen yang digunakan dalam usaha tani, apakah layak atau Analisis kelayakan usaha tani merupakan penilaian terhadap suatu komponen yang digunakan dalam usaha tani, apakah layak atau

A. Biaya Tetap

Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap, dan secara tetap dikeluarkan meskipun jumlah produksi banyak atau sedikit. Sehingga besarnya biaya tidak terpengaruh oleh besar kecilnya produksi yang dijalankan.

B. Biaya Variabel

Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Biaya variabel per unit konstan (tetap) dengan adanya perubahan volume produksi.

C. Break Even Point

Menurut Soekartawi (2002) analisis BEP atau nilai impas adalah suatu teknis analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variable, keuntungan, volume penjualan BEP dalam penelitian merupakan pengukuran dimana kapasitas riil pengolahan bahan baku menjadi output menghasilkan total penerimaan yang sama dengan pengeluaran BEP dalam unit dan dalam Rupiah yang dirumuskan sebagai berikut:

1. BEP Rp/unit

Keterangan TC = total biaya Q = Total produksi

2. BEP Unit

BEP Unit =

Keterangan TC = total biaya (Rp) P = harga jual (Rp)

D. R/C Ratio

Menurut Kardiman (2006) R/C rasio merupakan metode analisis untuk mengukur kelayakan usaha dengan menggunakan rasio penerimaan (revenue) dan biaya (cost). Analisis kelayakan usaha digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian usaha dalam menerapkan suatu teknologi. Dengan kriteria hasil: R/C > 1 berarti usaha sudah dijalankan secara efisien. R/C = 1 berarti usaha yang dijalankan dalam kondisi titik impas/Break Event Point (BEP). R/C ratio < 1 usaha tidak menguntungkan dan tidak layak

Menurut Soetriono (2003) menyatakan bahwa secara sederhana dapat ditulis rumus perhitungan R/C rasio : Penerimaan = P Q .Q Total Biaya = TFC + TVC R/C ratio = {( P Q . Q) / (TFC + TVC)} Keterangan : P Q = Harga output Q = Output TFC = Total Biaya Tetap (fixed cost) TVC = Total Biaya Variabel (variable cost)

E. B/C Ratio

Metode Benefit Cost Ratio (BC Ratio) merupakan perbandingan antara nilai sekarang dari penerimaan atau pendapatan yang diperoleh dari investasi dengan nilai sekarang dari pengeluaran (biaya) selama investasi tersebut berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Kriteria kelayakan apabila nilai BC Ratio > 1 dan dirumuskan dengan :

BCR = (∑ Nilai Sekarang Pendapatan) : (∑ Nilai Sekarang Pengeluaran)

III. Hasil dan Pembahasan Survei

3.1 Kondisi Umum Wilayah

3.1.1 Bahan Induk Tanah PLOT2 PLOT1

Gambar 2 Peta Geologi Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji)

Bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Melalui proses pelapukan, batuan Bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Melalui proses pelapukan, batuan

Berdasarkan peta geologi yang telah tersedia, diketahui tempat yang digunakansurveitanahpada plot 1 (Lintang 667990, Bujur 9139436) ialah minipit tanah pada kode N2 yakni dengan kode formasi geologi “Qpat” yang artinya formasi geologinya berasal dari batuan

gunungapi Anjasmara tua. Sedangkan pada plot 2 (Lintang 667792, Bujur 9138183) ialah pada daerah formasi geologi “Qpva” yang

artinya berasal dari batuan gunungapi Anjasmara muda. Hal ini sesuai dengan Peta Geologi Lembar Malang, bahwa formasi geologi yang dijumpai di kawasan Kecamatan Bumiaji ada tiga, berturut-turut dari yang paling luas yaitu: 1). Qvaw (Batuan Gunungapi Arjuna Welirang), 2). Qpat (Batuan Gunungapi Anjasmara Tua),dan 3). Qpva (Batuan Gunungapi Anjasmara Muda) (Santosa et.al., 2005).

3.1.2 Bentuk Lahan

Gambar 3 Peta Bentuk Lahan Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji)

Menurut Strahler (1983), bentuk lahan adalah konfigurasi permukaan lahan yang dihasilkan oleh proses alam. Lebih lanjut Whitton (1984) menyatakan bahwa bentuklahan merupakan morfologi dan karakteristik permukaan lahan sebagai hasil interaksi antara proses fisik dan gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi. Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Menurut Strahler (1983), bentuk lahan adalah konfigurasi permukaan lahan yang dihasilkan oleh proses alam. Lebih lanjut Whitton (1984) menyatakan bahwa bentuklahan merupakan morfologi dan karakteristik permukaan lahan sebagai hasil interaksi antara proses fisik dan gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi. Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa

Kondisi geologi dan proses pembentukan lahan menghasilkan bentuk lahan yang dipengaruhi oleh proses vulkanisme. Berdasarkan reliefnya, bentuk lahan di Kota Batu dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu: (1) jalur pelembahan sempit (Ac) dan jalur aliran lahar (Al), (2) dataran (P), (3) perbukitan (H), dan (4) pegunungan (M), dimana, berdasarkan posisinya pada suatu lereng dan kemiringan lerengnya, masih dapat dibagi lagi menjadi berbagai macam bentuk lahan. Sebaran masing-masing bentuk lahan disajikan pada Gambar 7.

Jalur perlembahan tersebar di seluruh lokasi merupakan hasil proses denudasional/ pengikisan dari bentuk lahan asalnya. Pada beberapa jalur, ditumpuki oleh sedimentasi lahar tua atau debris. Kedalaman, lebar dan bentuknya tergantung lokasi jalur ini. Di bagian lereng atas pegunungan umumnya cukup lebar dan dalam dengan lemah bentuk V. Di bagian dataran, tidak terlalu lebar, tidak terlalu dalam dan berbentuk U.

Sistem dataran dijumpai di bagian tengah, merupakan dataran vulkanik antar pegunungan yang terbentuk oleh berbagai bahan hasil letusan dan atau sedimentasi hasil erosi dan atau longsor dari kawasan perbukitan/ pegunungan di atasnya. Berdasarkan atas posisi dan proses pegikisan yang dapat dibagi lagi ke beberapa subsistem, yaitu: dataran bagian bawah (Pl), bagian tengah (Pm), bagian atas (Pu), dataran yang tertoreh (Pd) dan bagian dataran yang mengalami erosi berlebihan (Ps).

Sistem perbukitan dijumpai di bagian lereng tengah atau kaki kompleks pegunungan yang ada di sekitarnya. Relief perbukitan Sistem perbukitan dijumpai di bagian lereng tengah atau kaki kompleks pegunungan yang ada di sekitarnya. Relief perbukitan

Sistem Pegunungan berapi di bagian lereng atas kompleks pegunungan yang ada, yaitu Gunung Arjuna-Welirang, Anjasmara dan Kawi-Butak. Berdasarkan atas konfigurasi permukaannya, grup ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: Plato, spurs dan punggung gunung (Mp), kerucut gunung vulkanik pada bagian lereng atas (Mu), lereng-lereng gunung curam (Ms), bahan tertimbun akibat longsoran di gunung (Mc ), gunung tertoreh dengan punggung tajam sejajar (Md), Kerucut gunung vulkanik terisolir, curam sampai sangat curam (Mi), dan bekas longsoran tanah di gunung (Ml).

Bentuk lahan di Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji dipengaruhi oleh proses vulkanisme dari gunungapi Arjuna dan Anjasmara di sebelah utara dan Gunungapi Panderman di sebelah Selatan. Bentuk lahan sesuai lapisan tanah yang berasal dari batuan vulkanik yang disebut sebagai tanah Andisol. Diketahui bahwa pada plot 1 dan plot 2 jenis tanahnya ialah tanah Andisol. Hal ini sesuai dengan pernyataan vulkanisme adalah berbagai fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma yang bergerak naik ke permukaan bumi. Akibat dari proses ini terjadi berbagai bentuk lahan yang secara umum disebut bentuk lahan gunungapi atau vulkanik (Suhendra, 2009).

3.1.3 Kemiringan Lahan

Gambar 4. Peta Kelerengan Tempat Penelitian (Kec.

Bumiaji)

Berdasarkan pada daerah penelitian yakni plot 1 yang merupakan dataran yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah plot

2 namun merupakan satu daerah yang memiliki kelerengan yang searah. Kemiringan lereng di daerah penelitian sangat bervariasi dari datar sampai sangat curam. Lereng datar dijumpai pada dataran antar gunung api di bagian tengah, termasuk dataran sempit antara Gunung

Arjuna dan Anjasmara. Lereng terjal umumnya dijumpai pada tebing lereng hampir di semua lokasi.

Lereng datar sampai agak datar (<8%) sekitar 19.18% luas areal berada pada dataran vulkanik antar pegunungan. Lereng landai (8-15%) sekitar 16.8% luas wilayah pada dataran berombak di kaki perbukitan yang dimanfaatkan untuk lahan budidaya (tanaman pangan di Kecamatan Bumiaji dan Batu), dan sayuran dan atau buah-buahan di Kecamatan Bumiaji. Lereng agak curam (15-25%) sekitar 15.45% luas wilayah pada dataran berombak-bergelombang di kaki perbukitan yang budidaya tanaman pangan dan kebun campuran (Kecamatan Junrejo dan Batu) dan kebun apel dan atau sayuran di Kecamatan Bumiaji. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji

tempat pelaksanaan praktikumsurveitanah dan evaluasi lahan ini berada pada kelerengan landai yakni berkisar 8-15% dan kelerengan agak curam yakni berkisar 15-25%, dan masing-masing penggunaan lahan disesuaikan dengan kelerengan lahannya. Pada lahan dengan kelerengan landai pada dataran yang berombak di kaki perbukitan penggunaan lahannya sebagai budidaya tanaman pangan, sayuran dan buah-buahan. Sedangkan untuk lahan dengan kelerengan agak curam pada dataran berombak-bergelombang di kaki perbukitan digunakan untuk budidaya tanaman pangan, kebun campuran, sayuran dan budidaya tanaman apel.

Sedangkan berdasarkan data kemiringan lereng yang didapat dari penggunaan alat klinometer pada kedua plot yakni plot 1 dan 2 diketahui kemiringan lahan di tempatsurveiDesa Tulungrejo

Kecamatan Bumiaji adalah 10% 5 0 . Berdasarkan kedua data yang berasal dari peta dan data

penelitian diketahui terdapat perbedaan hasil. Hal ini dikarenakan pada peta pengukuran dilakukan secara meluas atau pada luasan daerah se-

Kecamatan, sedangkan pada hasil penelitian atausurveidilakukan pada satu titik atau melalui satu plot atau dua plot yang lebih fokus. Pada datasurveidiperoleh 10% hasil kemiringan lahan yang masih termasuk dalam hasil data dari peta yang terdapat dua hasil yakni pada lereng landai <8% dan lereng agak curam 15-25%.

3.1.4 Penggunaan Lahan dan Vegetasi

Menurut Purwowidodo (1983) lahan mempunyai pengertian, “suatu lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan”. Penggunaan lahan itu sendiri

merupakan bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Arsyad, 1989:207). Sedangkan Luthfi Rayes (2007:162) menyatakan bahwa penggunaan lahan adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, perkebunan atau daerah rekreasi.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang, pada titik sampel plot pertama yaitu titik 1 N2, dilihat dari satuan peta lahan merupakan minipit tanah yang bertempat di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang terihat pada peta citra termasuk daerah lereng gunung Anjasmara. Hal ini sesuai dengan acuan kode formasi peta Geologi dimana titik1 N2 termasuk dalam daerah QPAT yaitu daerah batuan gunung api Anjasmara tua. Mengacu pada peta penggunaan lahan, titik 1 N2 (minipit) termasuk dalam penggunaan lahan agroforestri. Data ini sesuai dengan keadaan lapangan di titik 1 N2 daerah lereng gunung Anjasmara Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang. Sedangkan, pada titik sampel plot ke-2 dilihat dari satuan peta lahan Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang, pada titik sampel plot pertama yaitu titik 1 N2, dilihat dari satuan peta lahan merupakan minipit tanah yang bertempat di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang terihat pada peta citra termasuk daerah lereng gunung Anjasmara. Hal ini sesuai dengan acuan kode formasi peta Geologi dimana titik1 N2 termasuk dalam daerah QPAT yaitu daerah batuan gunung api Anjasmara tua. Mengacu pada peta penggunaan lahan, titik 1 N2 (minipit) termasuk dalam penggunaan lahan agroforestri. Data ini sesuai dengan keadaan lapangan di titik 1 N2 daerah lereng gunung Anjasmara Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang. Sedangkan, pada titik sampel plot ke-2 dilihat dari satuan peta lahan

Vegetasi sebagai mosaik komunitas tumbuhan dalam lansekap dan vegetasi alami diartikan sebagai vegetasi yang terdapat dalam lansekep yang belum dipengaruhi oleh manusia. Vegetasi merupakan sekumpulan dari berbagai jenis tumbuhan yang mendiami suatu kawasan dan di antara individu - individu penyusunnya terdapat hubungan interaksi yang erat, baik antara tumbuhan itu sendiri maupun dengan hewan yang hidup dalam vegetasi itu, dengan demikian vegetasi bukan hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan saja melainkan membentuk suatu kesatuan yang saling bergantung satu sama lain yang disebut sebagai suatu komunitas tumbuh - tumbuhan (Marsono, 1997).

Pada titik ke- 1 N2 (minipit) ini masih termasuk pada vegetasi alami yakni hutan dengan kondisi iklim submontana altitude 1000- 2000 m. Sedangkan untuk jenis vegetasi alami yang terdapat di sekitar daerah titik 1 N2 meliputi rumput, ilalang, ecaliptus (tanaman minyak kayu putih), pohon paitan, semak dan pohon juwek. Untuk lahan pertanian di daerah titik 1 N2 digunakan sebagai kebun campuran. Jenis tanaman yang ditanam disana adalah tanaman jambu dan kersen.

Melihat keadaan lapangan yang sebenarnya pada plot titik ke-2 vegetasi alaminya termasuk belukar dengan kondisi iklim submontana altitude 1000-2000 m. Untuk jenis vegetasi alami yang terdapat di sekitar kelerengan daerah titik ke-2 meliputi belukar, pohon jabon, semak, dan pohon sono. Sedangkan untuk lahan pertanian di daerah titik ke-2 adalah pertanian lahan kering. Dimana pada saat pengamatan Melihat keadaan lapangan yang sebenarnya pada plot titik ke-2 vegetasi alaminya termasuk belukar dengan kondisi iklim submontana altitude 1000-2000 m. Untuk jenis vegetasi alami yang terdapat di sekitar kelerengan daerah titik ke-2 meliputi belukar, pohon jabon, semak, dan pohon sono. Sedangkan untuk lahan pertanian di daerah titik ke-2 adalah pertanian lahan kering. Dimana pada saat pengamatan

Dari hasil pengamatan vegetasi tersebut, terlihat jelas bahwa ada perbedaan jenis vegetasi yang tumbuh di kedua sampel titik plot yang berbeda. Hal ini tentu terlihat jelas karena adanya perbedaan kelerengan di kedua daerah titik tersebut dimana pada plot titik ke-1 kelerengannya lebih tinggi dan lebih curam dibandingkan pada plot titik ke-2. Sehingga dengan mengacu pada perbedaan kelerengan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kelerengan juga mempengaruhi macam vegetasi yang terdapat pada suatu wilayah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (1993) yang menyatakan bahwa perbedaan lereng juga menyebabkan perbedaan banyaknya air tersedia bagi tumbuh-tumbuhan, sehingga mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut. Lahan yang mempunyai kemiringan dapat lebih mudah terganggu atau rusak,lebih-lebih bila derajat kemiringannya besar. Tanah yang mempunyai kemiringan >15% dengan curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan longsor tanah (Kartasapoetra,1990 dalam Andrian, 2014).

3.1.5 a) Drainase, b) Kedalaman Efektif, c) Batuan Permukaan, d) Bahan Kasar, e) Erosi, f) Bahaya Banjir

a) Drainase

Pada hasil pengamatan daerah survei di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang, pada titik survei ke-1 N2, memiliki kelas drainase tanah yang baik, permeabilitas yang cepat yaitu > 6.0 cm/jam, dan memiliki kemampuan runoff yang cepat pula. Untuk pengelolaan air di daerah survei titik ke-1, berdasarkan pengamatan kami tidak ada.

Sedangkan untuk daerah survei titik ke-2, juga memiliki kelas drainase yang baik, namun untuk permeabilitasnya sedang yaitu 0.6-

6.0 cm/jam, dan kemampuan runoff yang cepat serta terdapat pengelolaan air atau drainase buatan berupa embung yang diletakkan disamping lahan pertanian. Adanya embung, membuktikan bahwa di daerah survei titik ke-2 sudah menerapkan adanya teknik konservasi air.

b) Kedalaman Efektif

Kedalaman tanah efektif berpengaruh terhadap kepekaan tanah pada erosi. Menurut Hardjowigeno (2007:57), “Kedalaman efektif

adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh akar tanaman”. Kedalaman tanah sampai lapisan kedap air menetukan

banyaknya air yang dapat diserap tanah, dengan demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Menurut Arsyad (1989:226) kedalaman tanah efektif diklasifikasikan sebagai berikut:

No. Kedalaman tanah (cm) Kelas

4. < 25 Sangat Dangkal Sumber: Arsyad, (1989:226)

Dari hasil pengamatan survei di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang, pada titik survei ke-1 N2 kedalaman efektifnya adalah 1 m. Jadi, menurut Arsyad (1989:226) pada titik survei ke-1 ini termasuk klasifikasi kelas dalam, dikarenakan kedalaman efektifnya lebh dari 90 cm (>90 cm). Sedangkan, pada plot titik survei ke-2 diperoleh kedalaman efektif sebesar 30 cm. Jadi, mengacu pada klasifikasi kedalaman tanah efektif menurut Arsyad (1989:226) pada titik survei ke-2 ini termasuk dalam kelas dangkal.

c) Batuan Permukaan

Berdasarkan pengamatan pada survei titik ke-1 dan pada survei titik ke-2, tidak ditemukan batuan permukaan seperti kerikil, dikarenakan telah melapuk dan pada kenyataan kondisi lahan survei pada titik ke-1 telah digunakan sebagai agroforestri dan pada titik ke-2 telah digunakan sebagai lahan perkebunan dan lahan pertanian.

d) Bahan Kasar

Pada data pengamatan survei titik ke-1 dan titik ke-2 juga tidak ditemukan batuan kasar yang berupa kerikil.

e) Erosi

Menurut Sarief (1985:109), “Erosi adalah proses pengikisan lapisan tanah dipermukaan sebagai akibat dari tumbukan butir hujan

dan aliran air permukaan”. Tanah di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada di bagian atas lereng karena semakin ke

bawah, air terkumpul semakin banyak dan kecepatan aliran juga meningkat, sehingga daya erosinya besar (Utomo, 1989:36). Lereng yang semakin curam dan semakin panjang akan meningkatkan kecepatan aliran permukaan dan volume air permukaan semakin besar, sehingga benda yang bisa diangkut akan lebih banyak (Martono, 2004 dalam Andrian, 2014). Salah satu upaya untuk mengurangi tingkat bahaya erosi pada kemiringan lahan dengan cara pembuatan teras (Kartasapoetra, dkk, 1987 dalam Andrian, 2014).

Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh, di daerah survei titik ke-1 mengalami erosi alur dengan derajat yang ringan. Sedangkan untuk daerah survei titik ke-2 juga mengalami erosi alur namun dengan derajat sedang. Erosi alur terjadi ketika runoff masuk kedalam cekungan permukaan tanah, sehingga terjadilah pengangkutan sedimen.

f) Bahaya Banjir

Berdasarkan hasil dari survei tanah dan evaluasi lahan di daerah ini merupakan dataran tinggi yang berlereng. Sehingga pada plot titik ke-1dan titik ke-2 tidak ada bahaya terjadinya banjir yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi.

3.2 Morfologi Tanah Tabel.

5 ringkasmorfologitanahdansimbol horizon

besertapenjelasan.

Plot 1 Tabel 5morfologi tanah dan simbol horizon

No Hasil Survei Tanah Titik N2 (Minipit)

1 Jumlah/Nomor Horison 1

2 Simbol Horison A1 A2 A3

3 Kedalaman Horison 0-32,33 cm 0-41,33 cm 0-52 cm

4 Perakaran

Jumlah Sd Bi Ba Sd BiBa

Sd Bi Ba Ukuran HaSd Ha Ha Sd Ka

Ha Sd Ka

5 Pori Halus Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sedang Sd Bi Ba Sd Bi Ba

Sd Bi Ba Kasar Sd Bi Ba Sd Bi Ba

Sd Bi Ba

6 Warna 10YR 6/2 10YR 5/6 10YR 3/3

7 Karatan

Tidak

Tidak ditemukan Tidak

ditemukan

ditemukan

8 Gejala Redoksi Morfik Tidak Tidak ditemukan Tidak

ditemukan

ditemukan

9 Gejala Non Redoksi Tidak Tidak ditemukan Tidak Marfik

ditemukan

ditemukan

10 Struktur Tipe

Butir

Remah

Remah

Ukuran

5-10 mm 1-2 mm Tingkat Kuat

Lempung liat Lempung liat berdebu berdebu

berdebu

12 Konsistensi Lembab Sangat

Basah Tidak lekat Agak lekat Agak lekat

13 Plastisitas Tidak Plastis Tidak Plastis Sangat Plastis

14 Horison Penciri

Epipedon

Epipedon Okrik Endopedon

Okrik

Kambik

Tabel. 6 Hasil Pemboran Tanah Minipit (4x pemboran) Tabel 6 hasil pemboran tanah

No Pemboran 1

1 Warna 10YR 4/4

10YR 4/6

10YR 6/6 10YR 5/8

3 Tekstur Lempung berdebu

PLOT 2 Tabel 7 hasil survei tanah

No Hasil Survei Tanah Titik N2 (Minipit)

1 Jumlah/Nomor

1 2 3 4 Horison

2 Simbol Horison A1 A2 A3 A4

3 Kedalaman Horison 9,67 cm

4 Perakara Jumlah Sd Bi Ba SdBiBa Sd Bi Ba Sd Bi Ba n

Ukuran HaSd Ka Ha Sd Ka Ha Sd Ka Ha Sd Ka

5 Pori Halus Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sedang Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Kasar

Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba

6 Warna 10YR 7/6 10YR 5/6 10YR 5/4

Tidak ditemukan ditemukan ditemukan ditemukan

Tidak

Tidak

8 Gejala Redoksi Tidak

Tidak Morfik

Tidak

Tidak

ditemukan ditemukan ditemukan ditemukan

9 Gejala Non Tidak

Tidak Redoksi Marfik

Tidak

Tidak

ditemukan ditemukan ditemukan ditemukan

10 Struktur Tipe

halus Ukuran >10 mm

5-10 mm 10-20 mm 5-10 Tingkat cukup

Liat berdebu Liat berdebu

berdebu

12 Konsisten Lembab lepas

Gembur Teguh si

Lepas

Basah Tidak lekat Agak lekat Lekat Lekat

Agag Plastis Sangat

14 Horison Penciri Epipedon Epipedon Endopedon Endopedon Okrik

Okrik

Kambik Kambik

Tabel 8 Hasil Pemboran Tanah Minipit (3x pemboran)

No Pemboran

Liat berdebu Liat berdebu

Liat berdebu

Pejelasan dari morfologi tanah dan symbol horizon, pada titik pertama atau plot satu terletak di bumiaji terdapat tiga horizon dan empat kali pengeboran. Horizon pertama memiiki kedalaman 32,33 cm. kedalaman di dapat dari hasil rata – rata tiga sisi minipit yaitu tepi kiri, tengah dan tepi kanan. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak dengan ukuran sedang. Pori yang ada kasar dan banyak. Warna pada horizon ini coklat cerah dan memiliki struktur butir >10mm serta kuat. Untuk konsistensi lembab sangat gembur dan konsistensi basah tidak lekat. Konsistensi basah di dapat dengan penambahan sedikit air untuk mengetahuinya. Sementara plastisitasnya tidak plastis dengan horizon penciri epipedon okrik.

Horizon kedua, symbol horizon nya A2 memiliki kedalaman 41,33 cm. Jumlah perakarannya biasa (Bi) dengan ukuran halus. Pori horizon kedua memiliki pori sedang dan banyak. Warna yang tidak beda jauh dari horizon pertama namun sedikit gelap. Sementara untuk strukturnya memiliki tipe remah, ukuran 5-10 mm dan tingkat Horizon kedua, symbol horizon nya A2 memiliki kedalaman 41,33 cm. Jumlah perakarannya biasa (Bi) dengan ukuran halus. Pori horizon kedua memiliki pori sedang dan banyak. Warna yang tidak beda jauh dari horizon pertama namun sedikit gelap. Sementara untuk strukturnya memiliki tipe remah, ukuran 5-10 mm dan tingkat

Yang terakhir pada minipit ini yaitu horizon ke tiga. Dengan symbol A3, memiliki kedalaman horizon 52 cm. jumlah perakarannya adalah sedang dan memiliki serabut yang halus. Pori yang terdapat di horizon ini halus dan banyak/besar(Ba). Warna mulai agag gelap dan strukturnya remah dengan ukuran 1-2 mm dan kekuatan lemah. Sementara teksturnya lempung berdebu dan konsistensi lembab nya lepas. Untuk konsistensi basahnya agag lekat. Sementara plastisitasnya dan horizon pencirinya adalah sangat plastis dan endopedon kambik.

Titik kedua, juga terletak di bumiaji namun terletak sedikit bawah dari lokasi kedua. Memiliki empat horizon dan tiga pengeboran. Horizon pertama, kedalaman horizon pada horizon pertama 9,67. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak berukuran besar. Pori yang ada halus dan sedang. Warna pada horizon ini coklat kekuningan dan memiliki tipe remah halus dan ukuranya >10mm dan tingkat struktur pada horizon ini termasuk cukup untuk konsistensi lembab lepas dan konsistensi basah tidak lekat. Plastisitas pada horizon ini tidak plastis dengan horizon penciri epipedon okrik.

Horizon kedua, kedalaman horizon ini 27cm. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak berukuran sedang dan pori yang ada halus serta cukup. Warna pada horizon ini coklat kehitaman dan memiliki tipe sudut dan ukuranya 5-10mm dan tingkat stuktur pada horizon ini termasuk kuat untuk tekstur liat berdebu untuk konsistensi lembab Horizon kedua, kedalaman horizon ini 27cm. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak berukuran sedang dan pori yang ada halus serta cukup. Warna pada horizon ini coklat kehitaman dan memiliki tipe sudut dan ukuranya 5-10mm dan tingkat stuktur pada horizon ini termasuk kuat untuk tekstur liat berdebu untuk konsistensi lembab

Horizon ketiga, kedalaman horizon ini 51,67cm. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak berukuran sedang dan pori yang ada halus serta cukup. Warna pada horizon ini coklat kehitaman dan memiliki tipe sudut dan ukuranya 10-20mm dan tingkat stuktur pada horizon ini termasuk kuat untuk tekstur liat berdebu untuk konsistensi lembab gembur dan untuk konsistensi basah lekat. Plastisitas pada horizon ini agak plastisitas dengan horizon penciri epideon kambik

Horizon keempat, kedalaman horizon ini 80cm. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak berukuran sedang dan pori yang ada halus dan cukup. Warna pada horizon ini coklat kehitaman dan memiliki tipe sudut dan ukuranya 5-10mm dan tingkat stuktur pada horizon ini termasuk kuat untuk tekstur liat berdebu untuk konsistensi lembab teguh dan untuk konsistensi basah lekat. Plastisitas pada horizon ini sangat plastisitas dengan horizon penciri epideon kambik. Morfologi yang ada seperti karatan, gejala redoksi morfik, dan gejala non redoksi morfik tidak ditemukan pada kedua plot tersebut.

Setiap plot yang telah di identifikasi horizon mempunyai warna tanah, tekstur, struktur dan konsistensi yang berbeda. Warna tanah yang di temukan kedua plot tersebut adalah coklat terang dan coklat kekuningan dan semakin gelap. Menurut Hardjowigeno (1992) bahwa warna tanah berfungsi sebagai penunjuk dari sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya dipengaruhi oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap.

Selain itu, Hanafiah (2005) mengungkapkan bahwa warna tanah merupakan: (1) sebagai indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, (2) indikator kondisi iklim untuk tanah yang Selain itu, Hanafiah (2005) mengungkapkan bahwa warna tanah merupakan: (1) sebagai indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, (2) indikator kondisi iklim untuk tanah yang

Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dari fraksi tanah halus. Berdasarkan atas perbandingan banyaknya butir-butir pasir, debu, dan liat maka tanah dikelompokkan ke dalam beberapa macam kelas tekstur. Kelas kasar terdiri dari pasir dan pasir berlempung. Kelas agak kasar terdiri dari lempung berpasir dan lempung berpasir halus(Hakim, dkk. 1986).Kelas sedang terdiri dari lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, dan debu. Kelas agak halus terdiri dari lempung liat, lempung liat berpasir, dan lempung liat berdebu. Dan yang terakhir, kelas halus terdiri dari liat berpasir, liat berdebu, dan liat (Hardjowigeno, 2003).

3.3 Klasifikasi Tanah

SatuanPeta Tanah(1 angkatan) + penjelasan singkat Gambarp enampang tanah yang diamati dan table klasifikasi beserta uraian. Dari data yang didapat dari praktikum yang dilakukan pada plot 1 dan plot

2, diperoleh hasil berupa pada plot 1 diperoleh data berupa jenis tanah dengan tekstur lempung liat berdebu, struktur butir – butir dengan konsistensi kuat dan lekat plastis dengan warna 10 YR 4/4 ; pada

horizon 2 diperoleh data berupa jenis tanah dengan tekstur lempung liat berdebu, struktur remah dengan konsistensi agak lekat dan plastis dengan warna 10 YR 4/6 ; pada horizon 3 diperoleh data berupa jenis

tanah dengan tekstur lempung berdebu, struktur remah dengan konsistensi lepas dan plastis dengan warna 10 YR 6/6 .

Selanjutnya dari data yang didapat dari plot 2 didapati hasil pada horizon 1 diperoleh data berupa jenis tanah dengan tekstur debu , struktur remah halus dengan konsistensi lepas tidak lekat dan tidak