MAKALAH DAN KPLN INDO FIX

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh realitas politik
domestik Indonesia. Di lain sisi situasi politik domestik Indonesia juga tidak dapat terlepas dari
konstelasi politik global. Politik luar negeri indonesia bebas aktif pada era demokrasi liberal
tentulah menjadi situasi politik yang menarik untuk dicermati. Pada masa era itu dimana
Indonesia masih berupa bayi yang baru terlahir setelah sekian lama dikandung dalam situasi
kolonialisme (penjajahan), harus menentukan sikap politik luar negerinya.
Dalam situasi ini tuntutan terhadap sebuah Negara yang baru merdeka seperti Indonesia
untuk menentukan sikap dan posisinya dalam kancah politik Global. Sistem pemerintahan di
Indonesia yang saat itu dapat kita katakan sebagai masa percobaan demokrasi, yang mana
semenjak revolusi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, di tandai dengan polarisasi maupun
fragmentasi politik di Indonesia yang di tandai dengan menjamurnya partai politik saat itu yang
di bentuk oleh elit politik sebagai sarana pengejahwantahan kepantingan politik masing-masing.
Bukti yang cukup kuat untk menegaskan situasi ini adalah situasi politik domestik yang tidak
stabil dan sering bergantinya pimpinan pemerintah dalam hal ini perdana menteri beserta
kabinetnya yang setiap masa kepemimpinannya selalu mengutamakan kepentingan atas ideologi
maupun partainya. Silih bergantinya kabinet ternyata berdampak pada pola kebijakan luar negeri
Indonesia. Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif pun tetap bertendensi sesuai
kepentingan pemimpin pemerintahan saat itu. Hal ini dapat dilihat pada kedekatan cabinet

tertentu dengan salah satu blok baik itu barat maupun timur.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengangkat judul Kebijakan Politik Luar Negeri
Indonesia. Judul tersebut diangkat untuk lebih memahami pengertian politik luar negeri,
memahami sejarah politik luar negeri di Indonesia mulai dari awal sejarah merdeka sampai
dengan sekarang, dan lebih memahami alasan Indonesia mengambil politik luar negeri bebas
aktif,. Dengan demikian diharapkan pembaca bisa lebih memahami tentang Kebijakan Politik
Luar Negeri Indonesia.

1

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Politik Luar Negeri ?
2. Bagaimana Sejarah Politik Luar Negeri di Indonesia ?
3. Mengapa Indonesia mengambil Politik Luar Negeri Bebas Aktif ?

1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Pengertian Politik Luar Negeri
2. Untuk mengetahui Sejarah Politik Luar Negeri di Indonesia

3. Untuk mengetahui mengapa Indonesia mengambil Politik Luar Negeri Bebas Aktif

BAB 2
PEMBAHASAN

2

2.1 Pengertian Politik Luar Negeri
2.1.1 Politik Luar Negeri
Secara sederhana politik luar negeri diartikan sebagai skema atau pola dari cara dan tujuan
secara terbuka dan tersembunyi dalam aksi negera tertentu berhadapan dengan Negara lain atau
sekelompok Negara lain. Politik luar negeri merupakan perpaduan dari tujuan atau kepentingan
nasional dengan power dan kapabilitas (kemampuan). Dalam arti luas, politik luar negeri adalah
pola perilaku yang digunakan oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan Negara-negara lain.
Politik luar negeri berhubungan dengan proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan
jalan tertentu.
Menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (19841988), politik luar negeri diartikan sebagai “suatu kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah
dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha untuk mencapai tujuan
nasional”. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke
dalam masyarakat antar bangsa”. Hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara

lain, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik luar negeri suatu negara termasuk
Indonesia, berikut definisi atau pengertian dari politik luar negeri :
1. Politik luar negeri adalah strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam
berhubungan dengan negara lain.
2. Politik luar negeri merupakan kumpulan kebijaksanaan atau setiap yang ditetapkan oleh
suatu negara untuk mengatur hubungan dengan negara lain untuk yang ditujukan untuk
kepentingan nasional.
3. Politik luar negeri merupakan penjabaran dari politik nasional, sedangkan politik nasional
merupakan penjabaran untuk dari kepentingan nasional atau tujuan negara yang
bersangkutan.
Jadi, pada dasarnya politik luar negeri merupakan strategi untuk melaksanakan kepentingan
nasional atau tujuan negara yang ada kaitannya dengan negara lain.

2.1.2 Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Politik Luar Negeri yang bebas aktif mengandung dua unsur pokok. Pertama, "bebas"
biasanya diartikan tidak terlibat dalam aliansi militer atau pakta pertahanan dengan kekuatankekuatan luar yang merupakan ciri Perang Dingin. Dalam arti lebih luas Politik Luar Negeri
3

yang bebas menunjukkan tingkat nasionalisme yang tinggi, yang menolak keterlibatan atau
ketergantungan terhadap pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia. Kedua, kata

"aktif" menunjukkan bahwa Politik Luar Negeri Indonesia tidaklah pasif dan hanya mengambil
sikap netral dalam menghadapi permasalahan-permasalahan international. Muqadimah UUD 45
secara jelas menuntut Indonesia untuk menentang segala bentuk penjajahan dan ikut memajukan
perdamaian dunia.
Dalam bulan september 1948 sebagai wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan
Menteri Pertahanan,bung Hatta memberi keterangan kepada Badan Pekerja KNIP tentang
kedudukan dan politik Negara Republik Indonesia dewasa itu. RI menghadapi berbagai kesulitan
yang tidak sedikit. Sejak keterangan bung Hatta itu politik luar negeri Republik Indonesia di
sebut ‘politik bebas aktif’. Bebas, artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak
manapun juga, Aktif, artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan seluruh bangsa.
Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif, Sudah merupakan suatu
konsensus nasional bahwa dasar politik luar negeri kita adalah pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 dan GBHN dengan tujuan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sedangkan watak dan sifatnya adalah anti
kolonialisme. Secara eksplisit, istilah politik luar negeri bebas aktif tersebut tidak terdapat dalam
UUD ataupun peraturan-peraturan lainnya. Namun istilah ini mulai banyak dipergunakan oleh
para politisi dan negarawan kita semasa memuncaknya perang Korea (1950 – 1953). Kabinet RI
ke-12 di bawah Perdana Menteri Dr. Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952) yang untuk
pertama kalinya mencantumkan istilah ini dalam Program Kabinet yang antara lain menyatakan,
menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif menuju perdamaian“.

Isitilah ini dipertegas lagi oleh Presiden Soekarno pada HUT RI tgl. 17 Agustus 1952 bahwa
„politik bebas dan aktif menuju perdamaian dunia“. Sejak itulah, istilah politik luar negeri bebas
dan aktif merupakan suatu istilah melekat dan istilah pelengkap pada watak dan sifat haluan
politik luar negeri yang berjiwa anti kolonialisme dan pro-perdamaian dan tidak mengikatkan
diri kepada salah satu blok kekuatan militer serta dapat bekerjasama atas dasar hidup
berdampingan secara damai. Kebijakan politik luar negeri bebas aktif ini bukan merupakan suatu
dogma yang mati, melainkan hanya sebagai suatu pedoman dalam bertindak di antara kedua
kekuatan blok dunia pada saat itu yaitu Amerika Serikat dan sekutunya vs Uni Soviet dan
4

sekutunya, demi kepentingan nasional dan perdamaian internasional. Dalam suasana perang
dingin yang tidak menentu, Gerakan Non Blok tahun 1961 muncul sebagai suatu gerakan moral
dari negara-negara dunia ketiga yang berupaya untuk menjembati perang dingin dua kekuatan
raksasa tersebut guna mencegah jangan sampai terjadi konfrontnasi terbuka apalagi perang nuklir
yang dapat memusnahkan peradaban manusia. Pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan
aktif itu sebenarnya dapat bersifat kenyal artinya dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi
pada saat itu walaupun prinsipnya tetap tetapi nuansanya dapat berubah.
Pedoman pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif Indonesia dewasa ini adalah Ketetapan
MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang antara lain
menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dan berorientasi pada

kepentingan nasional dengan menitik-beratkan pada solidaritas antara negara berkembang,
mendukung kemerdekaan bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk serta meningkatkan
kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.
Di samping itu, dengan telah disyahkannya Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri tanggal 14 September 1999 maka Pemerintah Indonesia dalam
melaksanakan politik luar negeri selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang tersebut.

2.1.3 Tujuan Politik Luar Negeri
Tujuan politik luar negeri setiap negara adalah mengabdi kepada tujuan nasional negara itu
sendiri. Tujuan nasional bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea
keempat yang menyatakan ”… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Menurut Drs. Moh. Hatta, mengatakan, bahwa tujuan politik luar negeri Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan Negara
b. Memperoleh barang-barang dari luar untuk memperbesar kemakmuran rakyat,
apabila barang-barang itu tidak atau belum dapat dihasilkan sendiri

5


c. Meningkatkan perdamaian internasional, karena hanya dalam keadaan damai
Indonesia dapat membangun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperbesar
kemakmuran rakyat
d. Meningkatkan persaudaraan segala bangsa sebagai cita-cita yang tersimpul dalam
Pancasila, dasar dan falsafah negara Indonesia.

2.1.4 Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri
Dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, bangsa Indonseia menjalankan
prinsip-prinsip berikut:
a. Negara Indonesia menjalankan politik damai, dalam arti bangsa Indonesia bersama-sama
dengan masyarakat bangsa-bangsa lain di dunia ingin menegakkan perdamaian dunia;
b. Negara Indonesia ingin bersahabat dengan negara-negara lain atas dasar saling
menghargai dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Indonesia
menjalankan politik bertetangga baik dengan semua negara di dunia.
c. Negara Indonesia menjunjung tinggi sendi-sendi hukum internasional.
d. Indonesia membantu pelaksanaan keadilan sosial internasional dengan berpedoman
kepada Piagam PBB.

2.1.5 Landasan Hukum Politik Luar Negeri Indonesia

Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif memilki landasan yang kuat dan
kokoh. Landasan tersebut tercantum pada alinea pertama dan keempat Pembukaan UUD Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 serta pasal 11 UUD 1945. Dalam alinea pertama
disebutkan, " penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan." Sedangkan dalam alinea keempat dinyatakan, " ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial " Pasal 11 ayat 1
UUD 1945 berbunyi, "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain." Selain landasan tersebut,
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia bebas aktif juga berdasar pada Keterangan Pemerintah
di depan sidang BP-KNIP tanggal 2 September 1948. Politik luar negeri Indonesia yang bebas
dan aktif tetap diabdikan untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional bangsa Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
6

2.2 Sejarah Kebijakan Luar Negeri di Indonesia
2.2.1 Kebijakan Luar Negeri Era Soekarno
Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Soekarno
17 Agustus 1945 merupakan peristiwa monumental bagi Indonesia karena sejak itu Indonesia
resmi memproklamirkan dirinya sebagai negara merdeka. PowerIndonesia sebagai sebuah negara
masih lemah karena belum adanya pondasi yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Politik luar negeri merupakan pondasi dasar yang menentukan sikap Indonesia dalam kancah
internasional. Pada awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia difokuskan pada bagaimana
memperoleh pengakuan dari negara lain atas kemerdekaannnya. Untuk mencapai kedaulatan
penuh Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara lain. Indonesia bisa berperan dalam dunia
internasional jika keberadaannya telah diakui oleh negara lain. Kemerdekaan yang telah
diproklamirkan tidak lantas membuat Belanda melepaskan Indonesia, serangkaian intervensi
masih dilakukan Belanda. Stigma bahwa kemerdekaan Indonesia diberikan oleh Belanda ingin
dihapuskan. Oleh karena itu, dukungan dari negara lain sangat diperlukan untuk membantu
Indonesia melawan intervensi Belanda.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahkan. Pembukaan UUD
1945 alinea ke empat berbunyi “....melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dari sini tersirat bahwa arah politik luar negeri Indonesia
menentang adanya kolonialisme. Di tengah usahanya untuk mendapat pengakuan dari negara
lain, Indonesia diterpa dampak Perang Dingin. Pasca Perang Dunia II muncul kekuatan bipolar
di dunia, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Masing-masing blok berusaha untuk
menggalang dukungan dari negara lain. Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka
kemudian dihadapkan pada permasalahan memihak pada pihak mana. Hingga akhirnya pidato
Muhammad Hatta pada tanggal 2 September 1948 di depan Komite Nasional Indonesia Pusat
menjadi penentu sikap Indonesia. Berikut adalah kutipan dari pernyataan Hatta “Pemerintah
berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek

dalam pertarungan internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak
menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu merdeka
seluruhnya”. Inilah yang kemudian mencetuskan politik bebas aktif. Bebas yang berarti bahwa
7

Indonesia bebas untuk bertindak menurut dirinya sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pihak
manapun dan aktif dimana Indonesia aktif menjaga perdamaian dunia.Dengan demikian
Indonesia memilih jalan tengah untuk menyikapi adanya dua blok dalam Perang Dingin.
Di tahun 1960-an, kendali politik luar negeri Indonesia berada di bawah Pemerintahan
Demokrasi Terpimpin yang dipimpin Soekarno. Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno
telah mencapai prestasi yang berarti yakni menyerukan negara- negara di dunia terutama Asia
Afrika untuk tidak berpihak pada salah satu blok yang sedang berseteru pada Perang Dingin saat
itu yakni Blok Barat dan Blok Timur serta mendukung adanya kemerdekaan bagi negara-negara
di Asia Afrika melalui Konferensi Asia Afrika maupun Gerakan Non Blok yang diinisiasi dari
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada tahun 1955. Banyaknya inisiatif
yang muncul dari kebijakan luar negeri Indonesia pada masa itu menunjukkan bahwa Soekarno
secara serius mengagendakan pengakuan eksistensi Indonesia di mata internasional dan
pembentukan aliansi anti kolonialisme serta imperialisme Barat dalam setiap kebijakan luar
negeri Indonesia.
Pemerintahan Demokrasi Terpimpin Soekarno ini bersifat konfrontatif. Politik luar negeri

Indonesia juga menjadi lebih militan, dikarenakan saat itu Indonesia menentang keras adanya
nekolim, yakni imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme (Bunnell, 1966:37). Dalam
masa pemerintahannya, Soekarno sebagai sosok yang kharismatik memiliki peran yang sangat
signifikan terhadap kebijakan terkait politik luar negeri Indonesia. Kebijakan Soekarno dalam
politik luar negeri yang cenderung konfrontatif ini didasarkan pada dua faktor utama, yakni
ideologi dan psikologi. Dari segi ideologi, Soekarno menganut paham neo-Marxis Leninis yang
melihat pada sejarah kontemporer yang berisikan pertentangan antara negara kapitalis lama
(Barat) dengan negara-negara yang baru muncul serta negara-negara sosialis baru (Bunnell,
1966:38). Sedangkan dalam segi psikologi, trauma akibat praktek imperialism dan kolonialisme
oleh negara-negara Barat yang begitu lama membuat Soekarno perlu untuk mencantumkan
politik konfrontasi sebagai arah kebijakan politik luar negerinya.
Politik luar negeri Indonesia pada masa ini juga bersifat revolusioner. Soekarno dalam era ini
berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan
revolusi nasionalnya yakni nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dimana elemen-elemen ini
diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan nekolim (Bunnell, 1966:39). Dari sini dapat
8

dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri indonesia yakni condong ke komunis, baik
secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara
Indonesia dengan China dan bagaimana Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai Komunis
Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah
agar para komunis mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap
sebagai kelompok luar (Bunnell, 1966:41). Selain itu, tujuan Soekarno dengan kemurahan
hatinya terhadap PKI adalah untuk mengurangi kekuatan tentara / TNI yang dianggapnya
menjadi batu sandungan terhadap implementasi nasakom.
Ketidaksukaan Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari responnya terhadap
keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil alih kembali Irian
Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan
Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik
konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia
pro terhadap imperialisme Barat.
Irian Barat, sebagai salah satu wilayah Indonesia yang seharusnya telah merdeka dari penjajahan
Belanda tidak dapat merasakan kemerdekaan dari penjajahan tersebut. hal ini disebabkan oleh
Belanda yang masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda menduduki wilayah
Irian Barat sebagai bentuk penolakan kemerdekaan Indonesia tersebut. Demi kembalinya Irian
Barat ke pangkuan Indonesia, pemerintah melakukan berbagai cara untuk melemahkan kekuatan
Belanda di Indonesia. Soekarno sebagai Presiden Indonesia saat itu menerapkan berbagai
kebijakan demi lepasnya Irian Barat dari Belanda. Perjuangan pembebasan Irian Barat tersebut,
dilakukan diantaranya melalui jalan perundingan. Puncak dari berbagai perundingan yang
dilakukan Indonesia dengan Belanda adalah Konferensi Meja Bundar. Konferensi Meja Bundar
tersebut diadakan di Den Haag, Belanda pada tahun 1949. Hingga akhirnya Belanda melanggar
hasil Konferensi Meja Bundar tersebut, yakni ketika Belanda enggan menyerahkan Irian Barat
pada Indonesia bahkan setelah satu tahun disepakatinya hasil perundingan tersebut. Sedangkan
dalam perundingan tersebut dituliskan bahwa Belanda harus menyerahkan Irian Barat Kepada
Indonesia setahun setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar. Sehingga akhirnya Soekarno
menempuh jalan keras. Dalam rapat raksasa di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 19
9

Desember 1961, Soekarno mengeluarkan perintah yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat
atau Trikora. Trikora tersebut berisi :
1. Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
tanah air dan bangsa (crayonpedia.org).
Selain itu, Soekarno juga melakukan jalan lain yakni melalui cara aksi massa, pengerahan
sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat. Dalam pengerahan sukarelawan dan
penerjunan darurat di wilayah Irian Barat tersebut, Indonesia dibantu oleh Uni Soviet yang saat
itu terlibat Perang Dingin dengan Amerika Serikat sekaligus sebagai taktik dalam menarik
perhatian Amerika Serikat. Tindakan tersebut dilatar belakangi oleh penolakan Amerika Serikat
terhadap pemberian bantuan bersenjata ke Indonesia. Menghadapi hal tersebut, Amerika Serikat
mendesak Belanda yang saat itu sebagai sekutunya agar segera berunding dengan Indonesia
dengan syarat – syarat perundingan yang diajukan Amerika Serikat terhadap Belanda sangat
menguntungkan Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat juga khawatir akan terjadinya konflik
bersenjata di tanah Irian Barat. Sehingga 15 Agustus 1962 menjadi hari yang bersejarah bagi
Indonesia. Dimana ditandanginya Perjanjian New York antara Indonesia dengan Belanda yang
bertempat di Markas Besar PBB di New York. Isi perjanjian New York tersebut adalah :
Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana Sementara
PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962.
Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan
dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada tanggal 31 Desember untuk
digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi bendera PBB.
Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya diserahkan
kepada pihak Indonesia.
Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda harus sudah selesai pada tanggal 1 Mei 1963.

10

Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tetap
dalam wilayah RI atau memisahkan diri dari RI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
(crayonpedia.org).
Demikian juga ketika Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Dalam PEPERA yang
diadakan di akhir tahun 1969 tersebut, rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia.
Sehingga Belanda harus secepatnya keluar dari bumi Irian Barat, mengingat kedua belah pihak
baik Indonesia maupun Belanda telah berjanji untuk menghormati hasil PEPERA tersebut.
kemudian, hasil dari PEPERA tersebut dilaporkan ke New York melalui utusan Sekjen PBB
Ortisz Sanz untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke 24 pada November 1969
(crayonpedia.org).
Disamping permasalahan pembebasan Irian Barat, Indonesia juga mengalami konfrontasi
dengan Malaysia. Konfrontasi tersebut terjadi pada tahun 1963 hingga 1966. Hal tersebut dilatar
belakangi oleh pernyataan Tengku Abdul Rachman, Perdana Menteri Malaya yang
mengemukakan gagasan pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura,
Serawak, dan Sabah. Sehingga muncullah bentuk penolakan Indonesia atas pembentukan negara
federasi tersebut dengan melahirkan konsep “Ganyang Malaysia”. Konsep tersebut merupakan
bukti bahwa Indonesia menolak dan melawan adanya neokolonialisme yang terjadi di Malaysia.
Soekarno beranggapan bahwa dengan adanya Negara Federasi Malaysia akan membuka jalan
kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara. Disamping itu, konsep Negara Federasi
Malaysia sangat bertolak belakang dengan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia.
Selain itu, Indonesia beranggapan bahwa Negara Federasi Malaysia merupakan gagasan Inggris,
bukan gagasan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Selain itu, jika Negara Federasi
Malaysia tersebut terbentuk Indonesia khawatir akan dikepung di sebelah utara oleh Inggris yang
berujung pada proyek neokolonialisme yang membahayakan revolusi Indonesia. Tidak hanya
Indonesia, Filipina juga menentang pembentukan Negar Federasi Malaysia. Hal ini didasari oleh
keinginan Filipina untuk memiliki wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina beranggapan
bahwa secara historis wilayah Sabah merupakan milik Sultan Sulu (klikbelajar.com).
Pada bulan April 1963 dilakukan beberapa pertemuan para menteri luar negeri Indonesia –
Malaysia – Filipina sebagai upaya meredakan ketegangan antara ketiga tersebut sehingga
tercapai kesepakatan bersamadengan dihadiri tiga kepala negara maupun kepala pemerintahan
11

yakni PM Malaya Tengku Abdul Rachman, Presiden Indonesia Ir. Soekarno, dan Presiden
Filipina Diosdado Macapagal diadakanlah KTT Maphilindo (Malaya, Philipina, dan Indonesia)
di Manila (Filipina) pada 31 Juli – 5 Agustus 1963 (klikbelajar.com). Deklarasi Manila,
Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama merupakan hasil KTT Maphilindo yang berisi
Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia seandainya rakyat
Kalimantan Utara mendukungnya (klikbelajar.com). Sehingga PBB membentuk suatu tim
penyelidik dengan ditunjuknya delapan orang sekretariat di bawah pimpinan Lawrence
Michelmore yang mulai bertugas pada 14 September 1963. Namun, sebelum tugas penyelidikan
PBB tersebut selesai, Malaysia telah memproklamirkan berdirinya Negara Federasi Malaysia
pada 16 September 1963. Tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan tersebut mengejutkan Indonesia
dan Filipina. Sehingga Indonesia beranggapan bahwa Malaysia telah menodai martabat PBB dan
menyulut permusuhan dengan Indonesia. Sebagai bentuk penolakan, dicetuskanlah Dwi
Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964 di Jakarta yang berisi :
1. Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.
2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei
untuk menggagalkan negara boneka Malaysia (klikbelajar.com).
Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan
Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September
1965 Indonesia mundur dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada blok
barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan
modernisasidi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.
Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi
penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi
dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old EstablishedForces) dan “Nefos” (New Emerging Forces).
Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari
pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru
bangkit atau negara-negara progresif (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme
merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat. Dalam
upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politk Mercusuar bahwa
Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia.
12

Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari
pembentukan poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negaranegara sosialis dan komunis seperti China. Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama,
karena konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan
logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus
mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya
adalah China. Kedua, Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam
masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Namun
sayangnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan- kebijakan luar negeri yang
diinisiasi Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik
Politik luar negeri pasa era Orde Lama juga ditandai dengan usaha keras Soekarno membuat
Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi internasional yang
diadakan maupun diikuti Indonesia (Bunnell, 1966:42). Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia
adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan
Irian Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status dan prestige menjadi faktor-faktor
pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik luar negeri ini. Efek
samping dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah
domestik seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada
fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting. Beliau beranggapan
bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun
budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi
domestik (Bunnell, 1966:43). Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif
namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya
morat- marit akibat inflasi yang terjadi secara terus- menerus, penghasilan negara merosot
sedangkan pengeluaran untuk proyek- proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of
The New Emerging Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus
membengkak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab kebobrokan dan krisis
Indonesia pada masa Orde Lama.

13

2.2.2 Kebijakan Luar Negeri Era Soeharto
Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Soeharto
Berakhirnya pemerintahan Soekarno yang diwarnai hal-hal kontroversial seperti Supersemar
(Surat Perintah Sebelas Maret) pada akhirnya tetap membawa Soeharto ke kursi pemimpin
tertinggi pemerintahan dan negara Indonesia. Pergantian kepemimpinan ini turut pula
memberikan dinamika baru pada struktur dan sistem politik maupun proses pengambilan
keputusan pada masa itu. Perbedaan keyakinan, interpretasi dan gaya kepemimpinan seorang
pemimpin akan berpengaruh pada arah dan tujuan politik suatu negara, baik itu dalam negeri
maupun luar negeri. Soeharto tidak dapat dipungkiri telah menjadi tokoh dan aktor politik yang
sepak terjangnya dalam pemerintahan telah memberikan sejarah bagi tumbuh dan kembangnya
Indonesia.
Sebagai tokoh atau aktor utama pada era Orde Baru yang menghadirkan perubahan dan
perbedaan pada jalannya pemerintahan, latar belakang Soeharto merupakan hal yang perlu
diketahui. Soeharto yang merupakan anak dari pegawai rendahan di Jawa tengah dan beristrikan
seorang wanita yang merupakan anak dari seorang pejabat Mangkunegaraan membuat Soeharto
hidup dengan jenis budaya abanganatau priyayi (Suryadinata, 1998: 46). Dapat dipahami bahwa
pola pikir Soeharto dalam mengambil keputusan lebih dominan bersumber dari adat-istiadat
klasik Jawa dan bahkan kebatinan Jawa dibandingkan dengan sumber-sumber Islam.
Kepercayaannya adalah suatu persenyawaan antara ide-ide pra-Islam dan Islam, namun unsur
pra-Islam lebih dominan (Suryadinata, 1998: 48). Latar belakang Jawanisme yang kuat ini
berpengaruh pada sikapnya pada politik luar negeri Indonesia. Banyak hal yang menunjukkan
bahwa kebudayaan Jawa tercermin dalam gaya kepemimpinan Soeharto. Selain keputusan dan
kebijakan yang tidak terlalu didasari oleh pertimbangan-pertimbangan Islami, Jawanisme
Soeharto membawanya pada suatu nasionalisme Jawa atau nasionalisme pribumi dimana Jawa
dan Indonesia merupakan pusat dunia dan dapat berperan dominan dalam dunia internasional.
Atas dasar Jawanisme itu pula akhirnya pemerintahan Soeharto tidak terlalu membuka celah

14

yang lebar bagi rakyat yang berada di bawahnya untuk menyuarakan pendapat (Koentjaraningrat
dalam Suryadinata, 1998: 48).
Pada awal kepemimpinannya, Soeharto bersikap pasif terhadap masalah politik luar negeri
Indonesia. Soeharto mempunyai dewan penasihatnya sendiri untuk membantunya dalam
pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak terlibat secara penuh pada
perumusan kebijakan terutama berkaitan dengan politik luar negeri Indonesia. Menurut Roeder
(dalam Suryadinata, 1998: 48), alasan keterlibatan Soeharto yang tidak penuh dalam perumusan
politik luar negeri adalah karena Soeharto tidak memiliki banyak pengalaman terkait dengan
masalah-masalah internasional sehingga Soeharto tidak terlalu tertarik pada politik luar negeri.
Pada awal Orde Baru ini terdapat sedikitnya dua pembantu perumus politik luar negeri Indonesia
yakni militer (Departemen Pertahanan dan Keamanan, Lembaga Pertahanan Nasional dan Badan
Koordinasi Intelijen Negara) dan Departemen Luar Negeri. Dalam pemerintahan Soeharto ini
terdapat pembagian kerja yakni Deplu menangani politik luar negeri pada bidang politik, militer
berurusan dengan politik luar negeri kaitannya dengan masalah keamanan dan Bappenas
berhubungan dengan masalah ekonomi (Suryadinata, 1998: 55). Walaupun pada kenyataannya,
militer, apalagi setelah kudeta 1965, lebih sering mengintervensi urusan politik luar negeri ini di
berbagai bidang.
Perbedaan arah politik luar negeri Indonesia dari orde Lama ke Orde Baru dapat dilihat dari
orientasi kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak lagi berdikari atau berorientasi ke dalam dan
menutup diri dari bantuan asing, namun juga berorientasi ke luar yakni berusaha membangun
hubungan persahabatan dengan pihak asing terutama negara-negara Barat. Orientasi ke dalam
berupa pembangunan didukung oleh adanya hubungan dengan pihak asing bertujuan untuk
melancarkan pembangunan itu sendiri. Kebijakan yang digunakan pun kebijakan pintu terbuka,
dengan meningkatkan investasi asing dan mencari bantuan dana untuk merehabilitasi ekonomi
Indonesia (Suryadinata, 1998: 44). Soeharto mengupayakan agar Indonesia mampu berperan
dominan dalam permasalahan baik regional maupun internasional. Konfrontasi yang ada pun
dikesampingkan terlebih dahulu dan mengedepankan perdamaian, karena menurutnya stabilitas
regional diperlukan untuk menjamin keberhasilan rencana pembangunan (Suryadinata, 1998:
45). Fokus dan perhatian Indonesia pada faktor stabilitas keamanan ini menunjukkan bahwa
Soeharto mulai tertarik dengan politik luar negeri. Hal ini diimplementasikan dalam Deklarasi
15

Bangkok dimana Indonesia meminta pangkalan militer asing di kawasan Asia Tenggara harus
bersifat sementara dan juga masalah intervensi Indonesia di Timor Timur. Pemerintahan Orde
Baru ini juga menunjukkan penyimpangan dari arah politik luar negeri Indonesia yang bebas
aktif. Pada era ini terlihat bahwa Indonesia memiliki kecenderungan untuk mendekati negaranegara Barat dan menjauhi negara-negara komunis (Suryadinata, 1998: 46). Sikap ini dapat
dilihat dari hubungan beku antara Indonesia dengan RRC.
Presiden Soeharto mulai menampakkan ketertarikannya pada urusan politik luar negeri pada
tahun 1980-an, khususnya setelah pemilu tahun 1982. Soeharto menjadi lebih aktif dalam
perumusan politik luar negeri Indonesia dengan menjalankan politik luar negeri tingkat tinggi
bagi Indonesia (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto menjadi semakin percaya diri dengan
kemenangan mutlak yang diraihnya dan partainya dalam pemilu 1982. Politik luar negeri
Indonesia pun semakin berorientasi keluar. Indonesia semakin berkeinginan untuk memainkan
peran dominan dalam masalah regional maupun ekstra-regional (Suryadinata, 1998: 46). Hal ini
dapat dilihat dengan upayanya memunculkan citra Non-Blok dan menjadi pemimpin Gerakan
Non-Blok.
Meningkatnya peran aktif Soeharto dalam politik dalam maupun luar negeri dapat dilihat dari
masalah Timor Timur. Pada tahun 1980-an, Timor Timur telah berada di bawah kendali
Indonesia dan Soeharto merasa bahwa saat itu adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk
berperan aktif dalam masalah-masalah internasional (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto mulai
mengemukakan inisiatif-inisiatifnya berkaitan dengan masalah internasional dan politik luar
negeri Indonesia diantaranya tanggapannya terhadap peristiwa Dili dimana ia berada dalam
kendali penuh, proses normalisasi hubungan dengan RRC walaupun ditentang oleh pihak militer
dan masalah pengambilalihan Timor Timur. Indonesia mulai aktif menunjukkan peran
kepemimpinannya kepada kawasan regional maupun dunia internasional. Indonesia mulai
antusias mendukung APEC, terlibat sebagai Ketua Gerakan Non Blok, menjadi penengah antara
Singapura dan Malaysia dan berupaya membantu memecahkan masalah Kamboja dimana hal ini
dinilai oleh banyak pengamat sebagai cara Indonesia menunjukkan kepemimpinan regional
(Suryadinata, 1998: 65-66).
Seperti yang disebutkan sebelumnya, kasus Timor Timur juga menjadi isu paling penting
dalam politik luar negeri Soeharto yang pada saat itu menaruh perhatian pada isu keamanan.
16

Salah satu alasan yang dianggap mempengaruhi kebijakan utnuk mengintegrasikan Timor Timur
dengan Indonesia adalah adanya keyakinan bahwa masyarakat Timor Timur adalah saudara
bangsa Indonesia. Walaupun terdapat kritik atas tindakan Indonesia yang dianggap berambisi
kewilayahan, namun hal ini dianggap sebagai hal yang sangat nasionalistik. Isu Timor Timur ini
penting karena isu ini memunculkan dinamika baru politik dan hubungan luar negeri Indonesia
diantaranya merasakan rasanya dikecam dunia internasional atas tindakan intervensinya di Timor
Timur hingga berujung pada ditariknya bantuan dari negara-negara Barat. Selain itu, faktor
penting berkaitan dengan isu Timor Timur, khususnya dalam Tragedi Dili, adalah peran aktif
yang dimainkan Presiden Soeharto dimana ia dapat melakukan inisiatif untuk menentramkan
kritik internasional dan memperlihatkan kepiawaian luar biasa dalam menangani masalah politik
dalam negeri maupun luar negeri (Suryadinata, 1998: 82). Soeharto memang menjadi figur
utama dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga setiap kebijakan
yang penting membutuhkan persetujuannya (Suryadinata, 1998: 58).
Dalam masa kepemimpinan Soeharto, sangat terlihat dengan jelas bahwa pengaruh militer
sangat besar dalam pengambilan keputusannya. Hal tersebut tercermin melalui ABRI atau
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang anggotanya memegang posisi-posisi penting
dalam pemerintahan. Dimana anggota-anggota ABRI tersebut berasal dari Angkatan Darat (AD),
Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) (Namira 2009). Bahkan, pada saat itu Jenderal
A.H. Nasution mengungkapkan bahwa militer tidak akan mengambil alih pemerinthan, namun
juga tidak akan nonaktif secara politik. Ungkapan A.H. Nasution tersebut tercermin melalui
jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dikuasai oleh militer, seperti yang telah dijelaskan
di atas.
Pada masa Soeharto, pengaruh militer dalam keputusan politik luar negeri dibagi menjadi
dua periode. Pertama adalah Departemen Pertahanan dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan
BAKIN yang merupakan beberapa kelompok perumus kebijakan luar negeri Indonesia. Pengaruh
Departemen Pertahanan dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN tersebut terjadi pada awal
Orde Baru. Kedua, yakni Departemen Luar Negeri (Deplu) dan Bappenas (Suryadinata 1998).
Namun sayangnya, Adam Malik, yang merupakan tokoh penting dalam Departemen Luar Negeri
secara perlahan disingkirkan oleh kelompok militer. Sehingga peran Departemen Luar Negeri
semakin berkurang dalam perumusan politik luar negeri Indonesia pada zaman Soeharto.
17

BAPPENASpun mengalami hal yang sama dengan Departemen Luar Negeri. Dalam perumusan
kebijakan, ABRI selalu melangkahi BAPPENAS. Tidak hanya melangkahi BAPPENAS, ABRI
juga sering mengintervensi BAPPENAS. Intervensi ABRI pada BAPPENAS tersebut tercermin
ketika BAPPENAS mengluarkan UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 yang dibuat
sebagai upaya penarikan dana asing ke dalam negeri. Namun, UU Penanaman Modal Asing
tersebut ditolak oleh beberapa kelompok ABRI seperti Ali Murtopo dan Ibnu Sutowo.
Latar belakang dari adanya intervensi ABRI pada posisi – posisi penting negara adalah
kurangnya pengalaman Soeharto akan isu – isu internasional (Suryadinata 1998: 48). Namun,
sebagai Presiden Indonesia, Soeharto harus terlibat dalam perumusan politik luar negeri
Indonesia. Sehingga terdapat dua kelompok yang merumuskan politik luar negeri Indonesia di
awal orde baru yakni Departemen Pertahanan dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN serta
Departemen Luar Negeri (Deplu) dan BAPPENAS. Dimana Departemen Pertahanan dan
Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN mengurusi masalah keamanan serta Departemen Luar
Negeri (Deplu) dan BAPPENAS yang menangani masalah politik. Namun, pemisahan urusan
tersebut dirasa tidak dapat dilaksanakan. Sehingga sering ditemui jalan buntu dalam menangani
permasalahan tersebut. Oleh sebab itu, militer sering melakukan intervensi dan menjadi sangat
dominan dalam seluruh aspek pemerintahan. Namun, intervensi ABRI tehadap perumusan
kebijakan luar negeri Soeharto tidak selalu mulus. Contohnya pada kasus perbaikan hubungan
diplomatik antara Jakarta dan Beijing (Suryadinata 1998b: 66). Pada Februari 1989 Soeharto
membuat pernyataan mengejutkan yang menyebutkan bahwa Indonesia akan memulai proses
normalisasi hubungan dengan RRC. Militer terkesan tidak antusias terhadap normalisasi dini
tersebut (Suryadinata 1998b: 66)
Orde Lama meninggalkan permasalahan ekonomi yang serius terhadap pemerintahan Orde
Baru. Orde Lama mewariskan kebrobrokan ekonomi yang serius bagi pemerintah Orde Baru
yang ditandai oleh pinjaman negara sebesar 785,6 juta dolar AS, pendapatan negara yang hanya
sekitar 485 juta dolar AS, dan inflasi yang mencapai 65% (Pudjiastuti, 2008:143). Keboborokan
ekonomi yang luar biasa ini kemudian mengharuskan Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru
untuk melakukan tindakan perbaikan. Sektor ekonomi merupakan pondasi suatu negara dalam
menjalankan pemerintahannya, tanpa adanya kondisi ekonomi yang stabil maka pemerintahan
juga akan tersendat. Hal ini disadari betul oleh Soeharto. Sebelumnya dalam Orde Lama
18

Soekarno bersikap sangat agresif dan kurang memberi perhatian pada kondisi domestik.
Sementara itu, Soeharto lebih lunak karena pemerintahannya lebih tertarik dalam membangun
ekonomi Indonesia (Suryadinata,1998:67). Rehabiltasi ekonomi kemudian menjadi tujuan utama
Soeharto pada waktu itu.
Pembangunan suatu negara melibatkan berbagai sektor dan setiap sektor saling berkaitan satu
sama lain. Pembanguan sektor ekonomi tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan
dari sektor keamanan dan sektor politik. Langkah utama Soeharto dalam melakukan rehabilitasi
ekonomi adalah dengan menjalin hubungan baik dengan negara lain, baik dalam lingkup regional
maupun internasional. Interaksi Indonesia dengan negara lain semakin intens dan hubungan yang
sudah terjalin dibina dengan baik. Hubungan baik yang dijalin dengan negara lain berimplikasi
besar pada batuan yang diterima Indonesia. Terdapat beberapa tindakan nyata yang dilakukan
Soeharto untuk menjalin hubungan baik dengan negara lain.
Pertama, normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Ganyang Malaysia merupakan salah
satu peninggalan Soekarno yang kemudian berujung pada konfrontasi antar dua negara. Menurut
pandangan Soeharto konfrontasi semacam ini tidak diperlukan karena Malaysia adalah negara
yang sangat dekat dengan Indonesia dan oleh karena itu justru perlu digalakkan hubungan baik
antar dua negara. Soeharto melihat amat penting jika konfrontasi dihilangkan agar Indonesia
dapat berhasil dalam negosiasi bantuan finansial dengan negara-negara barat (Elson, 2001).
Kedua, kembalinya Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 28
September 1966 setelah sebelumnya pada 31 Desember 1964 Soekarno menyatakan RI keluar
dari PBB (www.beritasore.com,diakses pada 22 Oktober 2013). Keikutsetaaan Indonesia dalam
PBB sangat penting karena PBB merupakan wadah poternsial untuk menjalin kerja sama dengan
banyak negara dan sebagai media bagi Indonesia untuk memperkenalkan diri dalam dunia
internasional.
Ketiga, langkah Indonesia menuju pentas politik internasional diawali dengan pembentukan
asosiasi negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN yang mulai dirintis pada awal 1967
(www.beritasore.com,diakses pada 22 Oktober 2013). Berikut ini adalah salah satu kutipan dari
pernyataan Soeharto mengenai ASEAN, “Salah satu bentuk yang paling bermakna dari tugastugas yang kita emban dalam kesejahteraan dunia adalah lahirnya ASEAN yang kita bangun
bersama-sama dengan negara anggota lainnya, itu mencerminkan tekad bangsa yang menjadi
19

anggotanya untuk menciptakan kemajuan bersama bagi warga di kawasan itu”. Hubungan baik
antar anggota ASEAN mampu menciptakan kondisi stabilitas regional yang pada akhirnya
berimplikasi terhadap stabilitas keamanan Indonesia dan pertumbuhan ekonomi.
Keempat, Indonesia mulai memperbaiki hubungan dengan negara-negara barat. Berbeda
dengan Soekarno yang lebih condong ke negara komunis, Soeharto justru lebih dekat dengan
Barat karena hanya pihak Barat yang bisa memenuhi ekonomi Indonesia pada saat itu
(Pudjiastuti, 2008: 118).

2.2.3 Kebijakan Luar Negeri Era Bacharuddin Jusuf Habibie

Era pemerintahan B J Habibie dimulai dengan tuntutan rakyat Indonesia akan adanya
reformasi pemerintahan dari sistem otokrasi ke sistem demokrasi. Semangat demokratisasi pun
digalakkan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap pemerintahannya. Namun, rakyat
Indonesia pada masa itu hanya melihat era pemerintahan Habibie sebagai era transisioal
pemerintahan Orde Baru dengan era reformasi yang dianggap masih membawa carut marut Orde
Baru. Di sisi lain, Habibie menghadapi sisa kebobrokan Orde Baru yang meninggalkan krisis
moneter di Indonesia. Fokus politik luar negeri Indonesia kemudian ditata untuk membangun
kembali ekonomi Indonesia dan memperbaiki stabilitas keamanan di Indonesia. Instrumen yang
digunakan Hbibie untuk dapat memenuhi kepentingan nasional Indonesia dalam masa transisi
antara lain pengelolaan investasi swasta, diplomasi terhadap bantuan asing, perdagangan bebas,
kekuatan militer dan sistem politik yang demokratis (Widhiasih, 2013).
Sementara itu, Indonesia juga harus menyelesaikan berbegai persoalan yang menjadi warisan
Orde Baru yang menyebabkan munculnya krisis legitimasi yang cukup parah. Untuk mengatasi
hal tersebut, Habibie mencoba melakukan berbagai aksi untuk mendapatkan dukungan
internasional (Mashad, 2008:185). Diwarnai dengan isu penegakkan Hak Asasi Manusia,
Habibie merealisasikan kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat dalam perundangundangan. Cara yang ditempuh oleh Habibie adalah mendorong ratifikasi empat konvensi
internasional dalam masalah hak pekerja dan pembentukan Komisi Nasional (Komnas)
Perempuan. Pada dasarnya, tindakan Habibie telah menuai keberhasilan mengingat adanya
ketertarikan internasional yang diperlihatkan dengan terjalinnya hubungan Habibie dengan IMF
dab Bank Dunia yang bersedia mencairkan bantuannya untuk mengatasi krisis ekonomi. Namun,
20

tak semulus aksinya mendapat dukungan internasional, tindakan Habibie dalam menghadapi
persoalan Timor Timur ternyata mengantarkan Indonesia pada mimpi buruk. Pasalnya, sebagai
reslolusi konflik, Habibie menawarkan dua opsi kepada masayarakat Timor Timur untuk
mendapat otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri, yang pada akhirnya berujung pada
lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1998 seiring dengan
hasil jejak pendapat yang lebih tinggi untuk menentukan nasib sendiri. Mashad (2008:187)
menyebutkan bahwa akibat kebijakan tersebut, Habibie harus rela kehilangan legitimasi di mata
domestik maupun internasional. Hal ini dikarenakan tindakan Habibie telah berkebalikan dengan
upaya Indonesia yang berusaha mati-matian untuk mempertahankan Timor Timur sebagai bagian
dari wilayah Indonesia pada era Soeharto yang menunjukkan inkonsistensi Indonesia terhadap
kasus Timor Timur. Walaupun kebijaksanaan Habibie untuk memberikan opsi kepada
masyarakat Timor Timur telah berbuah dukungan internasional, implikasi aksi TNI pasca
referendum sebagai bentuk aksi pro-integrasi yang berdampak pada terjadinya pelanggaran Hak
Asasi Manusia di Timor Timur dan lepasnya Timor Timur ternyata telah membawa Habibie ke
akhir masa pemerintahannya.

2.2.4 Kebijakan Luar Negeri Era Abdurrahman Wahid
Abdurrahmad Wahid (1999-2000)
Dinamika domestik yang dihadapi Presiden Abdurrahman Wahid, atau acap kali disapa Gus
Dur, juga merupakan kelanjutan dari era Habibie. Realitas implikasi Timor Timur mengantarkan
tugas pertama Gus Dur untuk mereformasi TNI yang telah dianggap mencoreng HAM
sebelumnya. Langkah yang diambil Gus Dur pada saat itu adalah keputusan pemberhentian
Wiranto (Mashad, 2008:188). Di sisi lain, fokus demokratisasi Indonesia dan pemulihan
ekonomi masih diutamakan. Reposisi angkatan militer untuk kembali kepada tugasnya sendiri
menjadi kunci penting untuk merealisasikan demokrasi di Indonesia. Dalam tatanan
internasional, penggalangan dukungan internasional untuk mengembalikan kredibilitas Indonesia
juga terus dilakukan oleh Gus Dur. Hal itu ditunjukkan dengan intensitas kunjungan luar negeri
Gus Dur yang tinggi selama dua puluh bulan ia menjabat, yang juga dianggap sebagai aksi
pemborosan, walaupun langkah tersebut dilakukan untuk membuka pintu investasi asing di
Indonesia (Widhiasih, 2013). Diplomasi yang demikian disebut sebagai ‘diplomasi persatuan’
yang juga ditujukan untuk mendapatkan dukungan internasional terhadap permasalahan
21

disintegrasi bangsa yang dihadapi Indonesia yang menjadi isu yang diprioritaskan, hal itu
berdasarkan gerakan separatisme yang muncul di Aceh, Papua, dan lain-lain yang membuahkan
hasil dukungan dari Australia dan Selandia Baru. Namun, kunjungan luar negeri Gus Dur ke
setidaknya 80 negara tidak diikuti dengan kebijakan yang komprehensif untuk memajukan
Indonesia. Di sisi lain, Gus Dur kurang memperlihatkan sensitivitas domestik, hal ini
diperlihatkannya dengan mengambil kebijakan yang dinilai kontroversial seperti idenya untuk
membuka hubungan kerjasama perdagangan dengan Israel yang kemudian dibatalkan karena
menuai kecaman dalam negeri.
Pada dasarnya, tujuan politik luar negeri Indonesia pada era Gus Dur masih terfokus pada
usaha stabilitas ekonomi dan keamanan melalui diplomasi yang direalisasikan melalui investasi
swasta, diplomasi bantuan luar negeri, perdagangan bebas, otonomi regional, dan sistem politik
demokratis (Widhiasih, 2013). Keberhasilan Gus Dur di era pemerintahannya yang singkat
ditunjukkan dengan meningkatnya kredibilitas Indonesia di mata internasional yang
diperlihatkan dengan mengali