A. PERILAKU CYBERLOAFING 1. Definisi Perilaku Cyberloafing - Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Karyawan PT Telekomunikasi Indonesia TBK Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

  permasalahan. Pada bab ini akan memuat landasan teori tentang definisi, jenis dan faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing serta pengertian dan dimensi dari iklim organisasi. Tujuan dari bab ini adalah membahas teori-teori dan penelitian yang terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian.

A. PERILAKU CYBERLOAFING

1. Definisi Perilaku Cyberloafing

  Cyberloafing masih merupakan topik baru dalam literatur ilmiah. Berbagai

  definisi digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Selain cyberloafing, terdapat beberapa terminologi yang memiliki pengertian teoritikal yang sama seperti

  cyberdeviance, cyberslacking, dan cyberslouching.

  Block (2001) berpendapat bahwa cyberloafing merupakan karyawan yang melaksanakan aktifitas internet non-business di jam kantor menggunakan sumber daya perusahaan. Menurut Lim (2002) cyberloafing adalah tindakan karyawan secara sengaja menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di saat jam kerja. Lim mengungkapkan bahwa

  

cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan kerja. Aktifitas

non-work yang dimaksud oleh Lim adalah aktifitas mengecek e-mail personal

  ataupun mengunjungi situs internet yang tidak berhubungan dengan kerja. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa cyberslacking adalah kesempatan menggunakan internet dan email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di kantor yang seharusnya ditujukan untuk tujuan bekerja (Phillips & Reddie, 2007).

  Sementara menurut Blanchard & Henle (2008) cyberloafing adalah penggunaan email dan internet kantor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja. Blanchard dan Henle (2008) membagi

  

cyberloafing menjadi dua level yaitu cyberloafing minor dan serius. Cyberloafing

  minor terdiri dari mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shopping online. Cyberloafing serius terdiri dari mengunjungi situs internet dewasa, memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui chat rooms, blog, dan iklan personal, bermain permainan online dan mengunduh musik.

  Bock dan Ho (2009) menjelaskan pengunaan internet selama bekerja untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Non-Work Related Computing (NWRC). NWRC merupakan istilah kolektif dan berisi Junk Computing dan

  

Cyberloafing . Junk Computing adalah penggunaan internet servis organisasi yang

  dilakukan oleh karyawan untuk kepentingan pribadi dan tidak berhubungan dengan dengan tujuan organisasi (Bock & Ho, 2009). Baik Junk Computing maupun Cyberloafing merupakan penggunaan sumber daya organisasi untuk kepentingan pribadi, namun cyberloafing bertujuan untuk pengunaan internet pribadi sedangkan junk computing merupakan penggunaan pribadi offline melalui sumber daya organisasi dan tidak relevan dengan penelitian ini.

  Berdasarkan penjelasan definisi perilaku cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan menggunakan akses internet kantor untuk keperluan pribadi dan diluar pekerjaan seperti mengecek dan membalas email personal, membuka jejaring sosial seperti facebook, twitter, youtube, blog, tumblr, bermain game

  

online, berbelanja online, mencari berita atau entertainment dan mengunduh data

yang tidak berhubungan dengan kerja.

2. Jenis-Jenis Perilaku Cyberloafing

  Li dan Chung (2006) membagi perilaku cyberloafing menjadi empat, yaitu: a. Aktifitas sosial yaitu penggunaan internet untuk berkomunikasi dengan teman. Aktifitas sosial yang melibatkan pengekspresian diri (facebook, twitter, dll) atau berbagi informasi via blog (blogger).

  b. Aktifitas informasi yaitu menggunakan internet untuk mendapatkan informasi. Aktifitas informasional yang terdiri dari pencarian informasi seperti site berita (CNN).

  c. Aktifitas kenikmatan yaitu internet untuk menghibur. Aktifitas kesenangan yang terdiri dari aktifitas bermain permainan online atau mengunduh musik (youtube) atau software (Torrent-site) untuk tujuan kesenangan.

  d. Aktifitas emosi virtual yaitu sisa dari aktifitas online internet lainnya seperti berjudi atau berkencan. Aktifitas emosi virtual mendeskripsikan aktifitas online yang tidak dapat dikategorisasikan dengan aktifitas lainnya seperti berbelanja online atau mencari pacar online.

  Lim dan Teo (2005) mengelompokkan perilaku cyberloafing menjadi dua kategori utama yaitu aktifitas browsing dan emailing. Aktifitas browsing adalah aktifitas menggunakan internet perusahaan untuk melihat hal-hal yang tidak berhubungan dengan kerja di situs internet saat bekerja. Aktifitas emailing merupakan aktifitas mengirim, menerima, dan memeriksa email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saat bekerja.

  Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membedakan cyberloafing menjadi dua level, yaitu cyberloafing minor dan serius.

  a. Cyberloafing minor terdiri dari perilaku mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shopping online.

  b. Cyberloafing serius terdiri dari perilaku mengunjungi situs internet dewasa, memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui

  

chat rooms, blog, iklan personal, bermain permainan online, hacking, menyebar

virus dan mengunduh musik atau file pribadi.

  Beberapa peneliti menggunakan istilah cyberloafing mengarah kepada perilaku serius seperti menyebar virus dan hacking namun perilaku yang akan diteliti adalah perilaku cyberloafing berupa aktifitas email (mengirim dan menerima email pribadi) dan aktifitas browsing (jejaring sosial, mengunduh file atau musik, dan mencari berita diluar pekerjaan). Jenis cyberloafing yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah jenis cyberloafing yang dikemukakan oleh Lim dan Teo (2005) yaitu aktifitas browsing dan emailing.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberloafing

  Perilaku cyberloafing dapat muncul pada saat bekerja karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Derya Ergun Ozler dkk. (2012) ada tiga faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing, yaitu:

  a. Faktor individual Faktor individu terdiri dari persepsi dan sikap, personal trait, kebiasaan dan kecanduan internet, serta demografi.

  1. Persepsi dan sikap Individu dengan sikap komputer yang positif lebih mungkin menggunakan komputer dalam bekerja untuk kepentingan pribadi. Karyawan yang terlibat

  

cyberloafing minor tidak percaya bahwa mereka terlibat dalam perilaku tidak

  pantas atau menyimpang mengingat karyawan yang terlibat dalam cyberloafing yang seriuslah yang menyimpang dan tidak dapat dimaafkan.

  2. Personal trait

  Personal trait seperti pemalu, penyendiri, terisolasi, self control, self

esteem , dan locus of control mempengaruhi bentuk penggunaann internet.

  Individu dengan self-esteem rendah dilaporkan dapat mengurangi self control dalam penggunaan internet. Individu dengan orientasi eksternal kurang dapat mengontrol penggunaan internet mereka.

  3. Kebiasaan dan kecanduan internet Kebiasaan mengacu pada urutan situasi-perilaku yang sedang atau telah menjadi otomatis dan terjadi tanpa self-instruction, kognisi dan musyawarah dalam menanggapi isyarat tertentu dalam lingkungan (Woon dan Pee, 2004).

  Telah diperkirakan bahwa lebih dari setengah perilaku media adalah kebiasaan (LaRose, 2010). Derajat kecanduan internet yang tinggi lebih memungkinkan untuk melakukan penyalahgunaan internet.

  4. Demografis Tingkat pendapatan, pendidikan, dan gender merupakan prediktor

  

cyberloafing . Individu dengan pendidikan yang tinggi menggunakan internet

  untuk mencari informasi, sedangkan individu dengan pendidikan yang rendah cenderung menggunakan internet untuk bermain permainan online. Pria lebih sering melakukan cyberloafing dan melakukannya lebih lama apabila dibandingkan dengan wanita. Pria lebih sering menggunakan internet untuk permainan online sedangkan wanita lebih tertarik untuk melakukan komunikasi online .

  b. Faktor situasi Perilaku kecenderungan cyberloafing biasanya berhubungan dengan individu ketika adanya akses internet saat bekerja dan hal tersebut menjadi situasi yang menstimulus, atau efek konteks yang memediasi perilaku dan akibat. Situasi yang dimaksud adalah adanya akses internet, kehadiran atasan secara fisik, serta kebijakan formal dan sanksi organisasi bagi siapa saja yang terlibat perilaku cyberloafing .

  c. Faktor organisasi Ergun dkk. (2012) menyatakan ada beberapa faktor organisasi yang dapat mempengaruhi kecenderungan karyawan untuk melakukan cyberloafing. Faktor organisasi terdiri dari pembatasan penggunaan internet, merasakan akibat,

  

managerial support , norma perilaku cyberloafing rekan kerja, sikap kerja

karyawan, ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan.

  1. Pembatasan penggunaan internet Dengan membatasi karyawan dalam penggunaan komputer di saat bekerja melalui peraturan, atau melalui pembatasan teknologi, atau keduanya, dapat mengurangi penggunaan akses internet pada karyawan.

  2. Merasakan akibat Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung akan lebih sedikit untuk terlibat dalam kegiatan cyberloafing ketika mereka menganggap memiliki konsekuensi negatif yang serius bagi organisasi mereka dan menyakiti kepentingan pribadi mereka(e.g. Lim and Teo 2005, Blanchard and Henle 2008; Lim and Chen, 2012; Vitak et al, 2011; Woon and Pee, 2004).

  3. Managerial support

  Managerial support dalam penggunaan internet saat bekerja tanpa

  spesifikasi yang khusus bagaimana menggunakan internet dapat meningkatkan bentuk penggunaan internet pada karyawan antara untuk bisnis dan pribadi.

  Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai dukungan semua jenis penggunaan internet, termasuk perilaku cyberloafing (Garrett and Danziger, 2008; Vitak et al., 2011; Liberman et al, 2011).

  4. Persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja (Perceived coworker

  cyberloafing norms) Cyberloafing lebih mungkin ketika kontrol undernormative. Karyawan

  melihat rekan kerja lainnya yang berpotensial sebagai model dalam organisasi dan

  

cyberloafing dipelajari melalui meniru perilaku yang mereka lihat dari individu

lain dalam lingkungan organisasi mereka.

  5. Sikap kerja karyawan Tindakan penyimpangan ditempat kerja seperti cyberloafing telah terbukti menjadi respon emosional terhadap frustasi pada pekerjaan, oleh karena itu telah disepakati bahwa sikap pekerjaan mungkin mempengaruhi cyberloafing (Lieberman et al, 2011). Karyawan lebih mungkin melakukan cyberloafing atau perilaku yang tidak pantas ketika karyawan ketika mereka memegang sikap kerja yang tidak baik (Garrett and Danziger, 2008).

  6. Ketidakadilan Pada tingkat organisasi, keadilan organisasi telah ditemukan untuk menjadi kecenderungan munculnya perilaku cyberloafing oleh beberapa peneliti dimana keadilan organisasional yang lebih rendah memiliki dampak yang signifikan terhadap cyberloafing (Lim, 2002; Lim dan Teo, 2005). Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan merasakan beberapa bentuk ketidakadilan dalam pekerjaan mereka, salah satu cara untuk berusaha untuk mengembalikan keseimbangan adalah melalui cyberloafing.

  7. Komitmen pekerjaan Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi tempat mereka bekerja akan menemukan kurang sesuai penggunaan internet dengan rutinitas pekerjaan daripada mereka yang tidak (Garrett dan Danziger, 2008). Individu yang berkomitmen terhadap pekerjaan mereka kurang mungkin untuk terlibat dalam aktivitas internet pribadi selama bekerja (Garrett dan Danziger, 2008).

  8. Kepuasan kerja Karyawan dengan kepuasan kerja yang tinggi mempengaruhi secara positif terhadap penyalahgunaan internet. Pelaku penyalahgunaan internet lebih mungkin adalah karyawan dengan kepuasan yang tinggi. Dalam studi lebih lanjut, beberapa responden mengungkapkan bahwa mereka melihat penggunaan internet diluar pekerjaan terkait dengan tujuan sebagai bentuk manfaat sampingan yang dapat membantu meringankan stres kerja (Woon dan Pee, 2004). Menurut Vitak et al.

  (2011), kepuasan yang mmenurun, kemungkinan terlibat dalam kegiatan

  

cyberloafing meningkat. Stanton (2002) menemukan bahwa pelaku

  penyalahgunaan internet lebih mungkin pada karyawan yang memiliki kepuasan yang tinggi (Ugrin et al, 2008). Dalam beberapa penelitian, kepuasan pekerjaan gagal menghasilkan korelasi yang signifikan dengan dimensi personal web use. Garrett dan Danziger (2007) tidak menemukan hubungan antara kepuasan pekerjaan dan cyberloafing. Hasilnya bisa berarti bahwa karyawan yang terlibat dalam penggunaan web pribadi belum tentu orang-orang yang kurang puas dengan pekerjaan mereka (Mahatanankon et al, 2004)

  9. Karakteristik pekerjaan Ketika karyawan menghabiskan waktu singkat pada tugas-tugas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dapat terbebas dari kebosanan, kelelahan atau stres, kepuasan kerja yang lebih besar atau kreativitas, meningkatkan dalam kesejahteraan, rekreasi dan pemulihan, dan karyawan lebih bahagia secara keseluruhan. Karakteristik pekerjaan spesifik dapat mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing untuk meningkatkan kreatifitas atau membuang kebosanan.

  Di sisi lain, pekerjaan yang kreatif yang lebih memiliki banyak tuntutan dan lebih sedikit membosankan lebih kurang mungkin termotivasi untuk melakukan cyberslacking (Vitak et al., 2011).

  Managerial support , persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja,

  ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan merupakan faktor organisasi. Beberapa faktor organisasi yang disebutkan di atas merupakan bagian dari iklim organisasi. Selanjutnya akan lebih dijelaskan mengenai definisi dan dimensi iklim organisasi.

B. IKLIM ORGANISASI

1. Definisi Iklim Organisasi Ada beberapa pandangan beberapa para ahli mengenai iklim organisasi.

  Steers (1989) memandang iklim organisasi sebagai suatu kepribadian organisasi seperti apa yang dilihat para anggotanya. Lunenburg dan Ornstein (1991) mengemukakan iklim organisasi sebagai kualitas lingkungan total dalam sebuah organisasi. Iklim organisasi dapat dinyatakan dengan kata sifat seperti terbuka, ramai, santai, informal, dingin, impersonal, bermusuhan, kaku, dan tertutup. Davis dan Newstrom (1994) mendefinisikan iklim organisasi sebagai lingkungan dimana para karyawan suatu organisasi melakukan pekerjaan mereka. Iklim mengitari dan mempengaruhi segala hal yang bekerja dalam organisasi sehingga iklim dikatakan sebagai suatu konsep yang dinamis.

  Menurut Higgins (1982) iklim organisasi adalah kumpulan dari persepsi karyawan termasuk mengenai pengaturan karyawan, keinginan dari pekerjaan dalam organisasi, dan lingkungan sosial dalam organisasi. Jadi iklim organisasi merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu terhadap organisasi. Mas’ud (2004) menyatakan iklim kerja adalah kesan, harapan dan perasaan yang dimiliki oleh anggota suatu unit kerja, yang berpengaruh terhadap hubungan antara bawahan dan atasan dan hubungan antara karyawan dengan rekan sekerjanya maupun hubungan dengan orang-orang di unit kerja lain.

  Sedangkan Robbins dan Timothy A (2011) mendefinisikan Iklim organisasi sebagai persepsi bersama yang dimiliki anggota organisasi tentang organisasi dan lingkungannya. Pemahaman tentang aturan tertulis, kebiasaan dalam melakukan kerja dan birokrasi dalam menjalankan tugas, lingkungan kerja dan batas wewenang dalam bekerja adalah lingkup dalam iklim organisasi.

  Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iklim organisasi adalah persepsi, harapan, kesan, perasaan dan keinginan karyawan perusahaan mengenai organisasi dan lingkungan perusahaan yang mempengaruhi hubungan sesama karyawan baik atasan maupun bawahan dan perilaku karyawan itu sendiri dimana iklim organisasi bersifat dinamis dan unik sesuai dengan atmosfir organisasi.

2. Dimensi Iklim Organisasi

  Stringer (Wirawan, 2007) menyebutkan bahwa karakteristik atau dimensi iklim organisasi dapat mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk berperilaku tertentu. Ia juga mengatakan enam dimensi yang membentuk iklim organisasi, yaitu: a. Struktur (structure). Struktur organisasi merefleksikan perasaan bahwa karyawan telah diorganisasikan dengan baik dan mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas dalam lingkungan organisasi. Struktur tinggi apabila anggota organisasi merasa pekerjaan mereka didefinisikan secara baik dan jelas. Struktur rendah ketika anggota organisasi merasa tidak ada kejelasan mengenai siapa yang melakukan tugas dan tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Struktur organisasi meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.

  b. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja serta derajat kebanggaan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Standar-standar tinggi ketika anggota organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerjanya. Standar-standar rendah apabila anggota karyawan merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja.

  Standar-standar meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan.

  c. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi "pimpinan diri sendiri" dan tidak memerlukan pendapat mengenai keputusannya untuk dilegitimasi oleh anggota organisasi lainnya. Persepsi tanggung jawab tinggi ketika anggota organisasi merasa didorong untuk memecahkan problemnya sendiri. Tanggung jawab rendah menunjukkan bahwa pengambilan risiko dan percobaan terhadap pendekatan baru tidak diharapkan. Tanggung jawab meliputi kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaan.

  d. Penghargaan (recognition). Pengakuan atau penghargaan menggambarkan bahwa anggota organisasi merasa dihargai dan mendapatkan imbalan yang layak jika mereka dapat menyelesaikan tugas secara baik serta. Ukuran penghargaan dihadapkan dengan kritik dan hukuman atas penyelesaian pekerjaan. Iklim organisasi yang menghargai kinerja dikarakteristikan dengan adanya keseimbangan antara imbalan dan kritik atas penyelesaian pekerjaan. Penghargaan rendah apabila penyelesaian pekerjaan dengan baik diberi imbalan secara tidak konsisten. Penghargaan meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan.

  e. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung yang terus berlangsung diantara anggota kelompok kerja. Dukungan tinggi apabila anggota organisasi merasa bahwa mereka bagian tim yang berfungsi dengan baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya jika mengalami kesulitan dalan menjalankan tugas. Dukungan rendah ditunjukkan ketika anggota organisasi merasa terisolasi atau tersisih sendiri. Dukungan meliputi hubungan dengan rekan kerja yang lain.

  f. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota organisasi terhadap organisasinya dan derajat keloyalan atau komitmen terhadap pencapaian tujuan organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level rendah komitmen ketika karyawan merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya. Komitmen meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.

C. PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING Internet telah memberikan banyak dampak bagi kehidupan manusia.

  Internet dapat memudahkan penggunanya untuk mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan. Internet bisa diakses dimana saja dan siapa saja. Hampir setiap orang mengenal internet. Berbagai kalangan menggunakan internet seperti masyarakat umum, pemerintah, pelajar, ibu rumah tangga, dan termasuk karyawan perusahaan.

  Perusahaan yang menyediakan akses internet dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja. Salah satu fenomena yang muncul karena adanya penyediaan akses internet di perusahaan adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing adalah tindakan karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan mereka selama jam kerja yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

  Beberapa penelitian mengenai perilaku cyberloafing lebih menekankan pada dampak negatif yang ditimbulkannya. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh SurfWatch (Lim, 2002) menunjukkan bahwa 84% karyawan berkirim email untuk kepentingan pribadi dan 90% karyawan mengakses internet hanya untuk rekreasi dan kesenangan pribadi. Hal ini mengakibatkan penurunan produktifitas hingga sebesar 30 hingga 40 persen.

  Walaupun perusahaan khawatir karyawan akan kehilangan produktifitas yang diakibatkan perilaku cyberloafing, para peneliti menyebutkan bahwa perilaku cyberloafing dapat berfungsi sebagai sarana strategi coping melawan perasaan negatif di tempat bekerja seperti stress (Stanton 2002, Oravec 2002, 2004, Anadarajan dan Simmers 2002). Hal ini penting untuk karyawan agar dapat bekerja dengan waktu yang lebih lama dan dapat bertahan dari efek negatif stress dan burnout (Maslach dan Leiter, 1997). Selain itu perilaku cyberloafing dapat meningkatkan kesejahteraan (well-being) karyawan karena dapat menjadi sarana refreshing dan relaksasi ketika bekerja. Lim dan Chen (2012) menemukan melakukan cyberloafing tidak hanya membuat karyawan lebih fresh, tetapi juga membuat mereka lebih produktif daripada mereka menghabiskan waktu untuk berbicara kepada rekan kerja lainnya. Jadi peneliti menekankan bahwa perilaku

  

cyberloafing dapat memberikan banyak manfaat apabila penggunaannya tepat

  yaitu hanya sebagai sarana relaksasi dan mencari inspirasi serta tidak fokus pada perilaku cyberloafing.

  Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah organisasi (Ozler dan Polat, 2012). Lingkungan kerja masing-masing perusahaan memiliki sifat ataupun ciri-ciri yang berbeda sehingga hal inilah yang membedakan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Litwin dan Stringer (1968) menyebutnya dengan istilah iklim organisasi. Iklim organisasi merupakan persepsi anggota organisasi tentang norma yang berkaitan dengan aktivitas kerja organisasi (Armansyah, 1997).

  Iklim organisasi mempengaruhi efektifitas organisasi (P. E. Mudrack, 1989) dan motivasi dan perilaku individu (E.T. Moran, 1992). Iklim organisasi selalu mempengaruhi seluruh kondisi dasar dan perilaku individu dalam perusahaan. Hal ini terjadi karena orang cenderung untuk menerima dan menginternalisasi iklim organisasi dimana mereka bekerja, dan persepsi mereka mengenai iklim organisasi mempengaruhi perilaku mereka (Vardi, 2001).Iklim organisasi mempengaruhi bagaimana anggotanya berperilaku termasuk perilaku

  

cyberloafing . Iklim organisasi merupakan salah satu faktor organisasi yang

  mempengaruhi perilaku cyberloafing karyawan. Berdasarkan hasil penelitian

  Ahmad dkk (2013), lingkungan kerja yang baik dapat memunculkan perilaku kerja yang positif dan mengurangi respon kerja negatif seperti cyberloafing.

  Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat diduga bahwa iklim organisasi dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing.

D. HIPOTESA PENELITIAN

  Berdasarkan uraian dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa penelitian ini adalah: Ada pengaruh negatif antara iklim organisasi terhadap perilaku

  

cyberloafing dimana semakin baik iklim organisasi, maka akan berkontribusi

  terhadap penurunan perilaku cyberloafing. Demikian sebaliknya, semakin buruk iklim organisasi, maka akan berkontribusi terhadap peningkatan perilaku

  cyberloafing.