Pengaruh Role Ambiguity dan Role Conflict Terhadap Perilaku Cyberloafing pada Karyawan

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

ELIENZ VIDELLA TARIGAN 101301028

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

bahwa skripsi saya yang berjudul :

PENGARUH ROLE AMBIGUITY DAN ROLE CONFLICT TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA KARYAWAN

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 10 Juni 2015

Elienz Vidella Tarigan NIM. 101301028


(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh role ambiguity dan role conflict terhadap perilaku cyberloafing karyawan di perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan subjek sebanyak 138 orang karyawan yang bekerja menggunakan fasilitas internet dari perusahaan dan atau milik pribadi di perusahaan swasta di kota Medan. Penelitian ini menggunakan tiga buah skala Likert sebagai alat ukur, yaitu Skala cyberloafing yang diadaptasi berdasarkan teori Lim & Chen (2009), Skala role ambiguity dan Skala role conflict yang diadaptasi berdasarkan teori Rizzo, House, & Lirtzman (1970). Skala cyberloafing terdiri atas 12 aitem dengan nilai reliabilitas sebesar 0,873. Skala Role Ambiguity terdiri dari 12 aitem dengan nilai reliabilitas sebesar 0,869. Skala Role Conflict terdiri dari 13 aitem dengan nilai reliabilitas sebesar 0,860. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil analisa data menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara role ambiguity dan role conflict terhadap cyberloafing. Role ambiguity berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Role conflict berpengaruh positif terhadap perilaku cyberloafing dengan nilai p= 0,000 (p < 0,05). Koefisien determinan (R-square/ ) sebesar 0.208 (20.8%).


(5)

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada program Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara. Penulis tetap mempercayakan setiap tahap dalam penelitian ini di dalam nama Tuhan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi., psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi USU. 2. Kakak Siti Zahreni, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan, bimbingan, nasehat, dan dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama dalam proses menyelesaikan skripsi ini sehingga penulis lebih bersemangat dan pantang menyerah.

3. Bapak Ferry Novliadi, M.Si dan Abang Fahmi Ananda, M.Psi, Psikolog selaku dosen penguji yang telah memberikan waktunya untuk menguji penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih selaku dosen pembimbing akademis yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.


(6)

Abang penulis yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis 6. Joseph Dede Hartanta Ginting yang selalu menemani penulis dan selalu

memberikan dukungan serta masukan kepada penulis dan Bibi Anni Lona yang selalu mendoakan, mendukung, dan memotivasi penulis.

7. Teman-teman seperjuangan penulis Melina Siallagan, Efrianty Shaila, dan Naomi terimakasih untuk kebersamaan dan diskusinya.

8. Sahabat terbaik penulis Vanesia Hutabarat, Laura Blessa Tarigan, Olga Maria Simanjuntak, Charissa Henly Phankova, Gracia Simanjuntak, Yoseva Okta Naibaho, Yulian Astri, Eva Violesia Bangun, Olga Septania Simatupang, Karin Natalia Ambarita, Sri Saputri, Ronal Panjaitan, Calvin Panjaitan, Wira Panjaitan, dan Felix Sinaga terima kasih atas kebersamaan, kasih sayang, bantuan, pengertian, tawa, tangis, diskusi, dan dukungannya selama ini. 9. Segenap staf pengajar di Fakultas Psikologi USU yang sangat berjasa dalam

mengajarkan saya seluruh konsep dan pemahaman yang mendalam dari ilmu psikologi. Tanpa jasa dari Bapak dan Ibu Dosen saya tidak dapat menyelesaikan studi dan proses penulisan skripsi ini.

10. Staf administrasi dan pendidikan khususnya Pak Aswan yang sangat ramah, bersahabat, dan selalu membantu saya dalam pengaturan administrasi selama


(7)

13. Bapak Hendra Kusuma HR PT Asian Agri yang telah mengizinkan penulis untuk mengambil data di perusahaan Asian Agri dan seluruh karyawan yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi subjek dalam penelitian ini.

14. Semua pihak yang telah membantu baik ketika menjalani masa perkuliahan maupun ketika menjalani proses penulisan skripsi. Dengan banyaknya bantuan yang diterima, penulis meminta maaf sedalam-dalamnya karena tidak dapat menyebutkan satu per satu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, Juli 2015 Penulis


(8)

ABSTRAK……… ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GRAFIK ... ix

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN………... ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Cyberloafing...……. ... 12

1. Definisi Cyberloafing ... 12

2. Aktivitas Perilaku Cyberloafing ... 14

3. Faktor- Faktor Penyebab Perilaku Cyberloafing ... 15


(9)

BAB III. METODE PENELITIAN ... 27

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 27

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 27

1. Role Ambiguity …… ... 27

2. Role Conflict..……... ... 28

3. Cyberloafing …..…….. ... 28

C. Subjek Penelitian..………. 29

D. Metode Pengumpulan Data …. ... 30

1. Skala Perilaku Cyberloafing ... 31

2. Skala Role Ambiguity dan Role Conflict ... 31

E. Uji Instrumen Penelitian ……….…….... ... 33

1. Validitas Alat Ukur ... 34

2. Uji Daya Beda Item ... 35

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 36

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 36

1. Hasil Uji Coba Skala Perilaku Cyberloafing ... 36

2. Hasil Uji Coba Skala Role Ambiguity ... 37

3. Hasil Uji Coba Skala Role Conflict ... 38


(10)

H. Metode Analisis Data ... 42

1. Uji Normalitas... ... 43

2. Uji Linearitas... ... 43

3. Uji Autokorelasi… ... 43

4. Uji Multikolinearitas ... 44

5. Uji heteroskedastisitas... ... 45

BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian... ... 46

B. Hasil Penelitian... ... 47

1. Hasil Uji Asumsi……… ... 47

2. Hasil Uji Hipotesa Penelitian... ... 52

3. Hasil Tambahan Penelitian... 53

C. Pembahasan Hasil Penelitian... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan……… ... 60

B. Saran... ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 63 LAMPIRAN


(11)

(12)

Tabel 3.2Blueprint skala role ambiguity dan role conflict sebelum

uji coba……… ... 32

Tabel 3.3Blueprint skala perilaku cyberloafing setelah uji coba ... 37

Tabel 3.4Blueprint skala role ambiguity setelah uji coba ... 38

Tabel 3.5Blueprint skala role conflict setelah uji coba ... 39

Tabel 4.1 Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin ... 46

Tabel 4.2 Penyebaran subjek berdasarkan masa kerja ... 47

Tabel 4.3 Hasil uji asumsi normalitas ... 48

Tabel 4.4 Hasil uji asumsi linearitas ... 48

Tabel 4.5 Hasil uji asumsi multikolinearitas ... 49

Tabel 4.6 Hasil uji asumsi autokorelasi ... 50

Tabel 4.7 Hasil regresi role ambiguity dan role conflict dengan perilaku cyberloafing ... 52

Tabel 4.8 Tabel koefisien determinan ( ... 53

Tabel 4.9 Perbandingan mean empirik dengan mean hipotetik ... 54

Tabel 4.10 Kategori data penelitian perilaku cyberloafing ... 55

Tabel 4.11 Kategori data penelitian role ambiguity ... 55


(13)

LAMPIRAN A Skala try out

LAMPIRAN B Uji Coba dan Hasil Uji Coba 1. Reliabilitas skala perilaku cyberloafing

2. Reliabilitas skala role ambiguity dan role conflict

LAMPIRAN C Skala penelitian

LAMPIRAN D Hasil Penelitian 1. Uji asumsi


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh role ambiguity dan role conflict terhadap perilaku cyberloafing karyawan di perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan subjek sebanyak 138 orang karyawan yang bekerja menggunakan fasilitas internet dari perusahaan dan atau milik pribadi di perusahaan swasta di kota Medan. Penelitian ini menggunakan tiga buah skala Likert sebagai alat ukur, yaitu Skala cyberloafing yang diadaptasi berdasarkan teori Lim & Chen (2009), Skala role ambiguity dan Skala role conflict yang diadaptasi berdasarkan teori Rizzo, House, & Lirtzman (1970). Skala cyberloafing terdiri atas 12 aitem dengan nilai reliabilitas sebesar 0,873. Skala Role Ambiguity terdiri dari 12 aitem dengan nilai reliabilitas sebesar 0,869. Skala Role Conflict terdiri dari 13 aitem dengan nilai reliabilitas sebesar 0,860. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil analisa data menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara role ambiguity dan role conflict terhadap cyberloafing. Role ambiguity berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Role conflict berpengaruh positif terhadap perilaku cyberloafing dengan nilai p= 0,000 (p < 0,05). Koefisien determinan (R-square/ ) sebesar 0.208 (20.8%).


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dewasa ini teknologi informasi mengalami perkembangan yang pesat, khususnya internet. Internet (interconnection networking) adalah seluruh jaringan komputer yang saling terhubung menggunakan standar sistem global transmission control protocol/ internet protocol suite sebagai protokol pertukaran data untuk melayani penggunanya diseluruh dunia. Internet memungkinkan individu yang berada di lokasi yang berbeda untuk berinteraksi dan bertukar informasi tanpa harus bertemu langsung (wikipedia.org).

Data dari Kemkominfo pada tahun 2014 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia hingga tahun 2014 telah mencapai 82 juta orang. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun 2013 yang mencapai angka 71,19 juta orang, dan tahun 2012 yang berjumlah 63 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia (Kemkominfo, 2014).

Saat ini penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi sebagian orang, internet yang pada awalnya hanya sekedar kebutuhan tersier, kini menjadi kebutuhan primer. Hal ini didukung oleh istilah “makan nggak makan asal

connect” yang diperkenalkan sejak pertama kali dilakukan studi terhadap netizen di

Indonesia pada tahun 2010. Setelah empat kali penelitian untuk menilik perilaku dari para pengguna internet aktif, semakin terlihat bahwa para netizen di Indonesia


(16)

menghabiskan uangnya sekitar Rp. 50.000 – Rp. 100.000 untuk Internet per bulan. Bahkan terdapat 16,8% netizen yang rela mengeluarkan kocek di atas Rp 150.000 per bulan hanya untuk keperluan Internet (Marketeers, 2014).

Selain itu di Indonesia sendiri, internet sudah mulai masuk ke segala lapisan masyarakat (Levina, 2014). Dalam riset Netizen pada tahun 2013 yang dilakukan terhadap 2150 responden yang tinggal di 10 kota besar di Indonesia: Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Pekanbaru, Denpasar, Banjarmasin dan Makassar, terlihat bahwa Internet di Indonesia dinikmati oleh kalangan tua dan muda, berpenghasilan lebih dan berkecukupan. Hampir separuh dari pengguna internet di Indonesia merupakan pengguna internet muda berusia di bawah 30 tahun, sedangkan 16% adalah para pengguna internet berusia di atas 45 tahun. Kemudian, banyak perangkat yang bisa dengan mudah mengakses internet di mana saja dan kapan saja, perangkat yang dimaksud yaitu laptop, smartphone atau tablet, dan lain sebagainya. Bahkan, hampir 95% dari pengguna internet tersebut adalah pengguna internet melalui perangkat mobile / smartphone.

Di zaman informasi ini, teknologi internet telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bisnis dan membawa manfaat yang sangat besar bagi organisasi atau perusahaan (Kay, Yao, Chern, & Kangas, 2009). Internet telah merubah cara organisasi melakukan aktivitasnya dengan menawarkan komunikasi yang cepat dan meningkatkan akses dan distribusi informasi (Henle & Blanchard, 2008). Dimana kebanyakan bisnis saat ini memanfaatkan akses informasi instan yang


(17)

lebih banyak informasi tersedia untuk digunakan secara lokal. Seiring dengan perubahan tersebut, dunia kerja saat ini menuntut para pelakunya memiliki wawasan luas dan fleksibilitas tinggi, sehingga dapat mengikuti dan beradaptasi dengan perubahan informasi dan pekembangan teknologi yang cepat di dalam era globalisasi.

Peranan lain yang dimiliki internet dalam dunia kerja, diantaranya internet bisa mempermudah, mempercepat suatu proses dalam pekerjaan (kirim file dan surat lewat email, mengadakan conference dalam membahas suatu hal ketika seluruh anggota tim tidak mungkin berada di satu tempat yang sama, dll). Keberadaannya menjadi sumber daya yang konstruktif yang memungkinkan suatu usaha dapat mengurangi biaya, waktu siklus produk yang lebih pendek, sehingga dapat membantu efektivitas dan efisiensi operasional perusahaan (Lim, 2002). Sehingga, internet merupakan alat teknologi yang mengarah pada pengembangan peluang yang signifikan dan peningkatan produktivitas karyawan (Lim, 2005).

Namun demikian, di samping terdapat manfaat yang diperoleh, internet juga mempunyai dampak negatif bagi organisasi. Karyawan pengguna internet dapat melalaikan kewajiban dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai contoh, karyawan yang mengakses internet pada waktu jam kerja dengan tujuan bukan untuk kepentingan organisasi, melainkan untuk menghindari tugas atau menghilangkan kebosanan. Hal inilah yang disebut dengan perilaku cyberloafing. Cyberloafing mengacu pada penggunaan internet organisasi oleh karyawan untuk mengakses dan mengirim email pada saat jam kerja dengan tujuan yang tidak terkait dengan pekerjaan (Lim, 2002).


(18)

Cyberloafing telah menjadi masalah yang harus dihadapi manajemen perusahaan, dimana cyberloafing sebagai bentuk penyimpangan dalam lingkungan kerja (Lim,2002; Lim dan Teo, 2005). Hal ini disebabkan oleh kegiatan cyber

(browsing dan emailing) yang dilakukan di tempat kerja pada jam kerja menghasilkan penggunaan waktu yang tidak produktif dan mengalihkan karyawan dari menyelesaikan pekerjaan mereka (Lim dan Chen, 2009). Sebuah survey yang dilakukan pada tahun 2005 oleh websense.com (www.websense.com) yaitu sebuah perusahaan yang memonitor internet, menunjukkan bahwa 61% dari pekerja Amerika melakukan cyberloafing. Survey lain dari websense.com pada tahun 2006 menunjukkan bahwa rata-rata perkerja Amerika menghabiskan 24% waktu kerjanya untuk melakukan aktivitas cyberloafing. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan dalam satu minggu untuk aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pada setiap karyawan mencapai 10 jam.

Cyberloafing juga dapat membahayakan perusahaan/organisasi jika karyawan terlibat dalam aktivitas online ilegal (mendownload musik, perjudian) atau melakukan pelecehan dengan melihat maupun mengirim materi yang bersifat ofensif (lichtash, 2004; Panko & Beh, 2002). Diestimasikan bahwa sekitar 20-30% perusahaan telah memecat karyawannya karena cyberloafing, dimana termasuk didalamnya : mengakses situs porno, perjudian online, dan belanja online (Case dan Young, 2002; Greenfield dan Davis, 2002). Beberapa studi di Indonesia (Antariksa, 2012) menunjukkan bahwa rata-rata karyawan mengalokasikan waktu hingga satu


(19)

pekerjaan (browsing Facebook atau Kaskus, dan lain-lain), sehingga selama sebulan seorang karyawan bisa menghabiskan jam kerja hingga 20 jam lebih (1 jam x 20-an hari kerja), atau sama dengan 2,5 hari kerja penuh (Antariksa, 2012).

Pekerjaan merupakan bagian utama dari kehidupan para pekerja. Aktifitas pekerjaan dan non pekerjaan saling bergantungan. Faktor pekerjaan dan non pekerjaan semua berpotensi sebagai stressor. Menurut Robbins dan Judge (2009)

stressor dapat dibagi ke dalam tiga kategori besar, yakni stressor yang berasal dari faktor lingkungan (environmental factors), faktor organisasi (organiational factors), dan faktor individu (personal factors). Salah satu komponen dalam faktor organisasi tersebut adalah tuntutan peran (role demand) yang merupakan tekanan yang diberikan kepada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dijalankan dalam organisasi tersebut. Dalam penejelasannya mengenai sumber-sumber stres kerja, Arnold, Cooper, dan Robertson (1995) memasukkan role ambiguity dan role conflict

sebagai sumber stres kerja yang berkaitan dengan peran seseorang di dalam organisasi.

Lingkungan organisasi dapat mempengaruhi harapan setiap individu mengenai perilaku peran mereka (Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek, dan Rosenthal, 1964). Harapan tersebut meliputi norma-norma atau tekanan untuk bertindak dalam cara tertentu. Individu akan menerima pesan tersebut, menginterpretasikannya, dan merespon dalam berbagai cara. Masalah akan muncul ketika pesan yang dikirim tersebut tidak jelas, tidak secara langsung, tidak dapat diinterpretasikan dengan mudah, dan tidak sesuai dengan daya tangkap si penerima pesan. Akibatnya, pesan


(20)

tersebut dinilai ambigu atau mengandung unsur konflik. Ketika hal itu terjadi, individu akan merespon pesan tersebut dalam cara yang tidak diharapkan oleh si pengirim pesan.

Adapun ambiguitas peran (role ambiguity) merupakan sebuah konsep yang menjelaskan ketersediaan informasi yang berkaitan dengan peran. Pemegang peran harus mengetahui apakah harapan tersebut benar dan sesuai dengan aktivitas dan tanggung jawab dari posisi mereka. Selain itu, individu juga harus memahami apakah aktivitas tersebut telah dapat memenuhi tanggung jawab dari suatu posisi dan bagaimana aktivitas tersebut dilakukan (Ahmad dan Taylor, 2009).

Kahn et al. (1964) mengemukakan bahwa role ambiguity juga dapat meningkatkan kemungkinan seseorang menjadi merasa tidak puas dengan perannya, mengalami kecemasan, memutarbalikkan fakta, dan kinerjanya menurun. Selain itu,

role ambiguity juga dapat meningkat ketika kompleksitas organisasi melebihi rentang pemahaman seseorang. Akibatnya, karyawan tersebut tidak mengetahui apa yang diharapkan darinya, dan tidak mengetahui bagaimana ia akan dinilai, dan tidak mengetahui wewenangnya untuk mengambil suatu keputusan, sehingga dalam pengambilan keputusan karyawan akan ragu-ragu dan dalam memenuhi ekspektasi atasannya karyawan akan menggunakan pendekatan trial and error (Rizzo, House, dan Lirtzman, 1970).

Peran perilaku dipengaruhi oleh harapan peran untuk perilaku yang sesuai dalam posisi ini, dan perubahan perilaku peran terjadi melalui proses yang


(21)

berulang-atau dipuaskan maka akan menciptakan role conflict (Robbins & Judge, 2009). Role conflict dipandang sebagai ketidaksesuaian harapan-harapan yang dikomunikasikan yang berdampak pada kinerja peran yang dijalankan (Rizzo et al., 1970). Seperti adanya perbedaan nilai dengan perusahaan, situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (Davis dan Newstrom dalam Margiati, 1999).

Kats dan Kahn (dalam Damajanti, 2003) mengungkapkan apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan maka individu akan mengalami konflik yang ditujukan pada diri individu tersebut. Konflik pada setiap individu disebabkan karena individu tersebut harus menyandang dua peran yang berbeda dalam waktu yang sama. Karyawan biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan atasan. Sehingga, kondisi ini dapat menimbulkan konflik dimana individu akan berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit, dan serba salah (Leigh et al. dalam Nimran, 1999).

Dengan adanya stressor tersebut membuat karyawan yang bekerja menjadi lelah atau lalai dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya, sehingga mendorong mereka untuk menghindar dari konsekuensi negatif , salah satu cara yang dilakukan


(22)

yaitu dengan melakukan cyberloafing (Garrett dan Danziger, 2008). Dalam hal ini

cyberloafing dapat memberikan efek yang positif pada pekerjaan, karena cyberloafing

digunakan sebagai palliative coping strategy terhadap pengalaman negatif atau stressor yang dialami di tempat kerja (Stanton, 2002; Anandarajan dan Simmer, 2005). Namun akan memunculkan dampak negatif apabila perilaku cyberloafing

dilakukan secara berlebihan dan akan semakin meningkat apabila tidak segera diwaspadai, dimana internet yang seharusnya dapat menunjang secara positif pelaksanaan tugas karyawan. justru sebaliknya dapat menghambat pelaksanaan kewajiban karyawan dan memunculkan biaya bagi organisasi.

Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan, yaitu PT Asian Agri. PT Asian Agri merupakan salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di Asia yang memiliki wilayah operasional di tiga provinsi di pulau Sumatra, Indonesia. Asian Agri mempunyai pelanggan yang beraneka ragam (well diversified customer base), seperti China, India, dan pasar internasional lainnya (rgei.com). Hal ini menjadikan Asian Agri sebagai perusahaan yang bertaraf internasional. Terdapat beberapa jenis pekerjaan yang ada di Asian Agri, baik yang bekerja di lapangan dan bekerja pada tingkat manajerial. Pada tingkat manajerial tentunya ditempatkan di kantor Asian Agri yang berbasis di Medan dan Jakarta.

Asian Agri merupakan perusahaan yang bertaraf internasional maka akses internet sudah pasti disediakan agar dapat dengan mudah melakukan transfer


(23)

tuntuan pekerjaan dan mudahnya para karyawan untuk mengkases internet, tidak menutup kemungkinan untuk karyawan melakukan cyberloafing. Namun akses internet yang disediakan oleh perusahaan menggunakan batasan atau memiliki aturan pemakaian dimana akses internet hanya bisa digunakan untuk keperluan pekerjaan, sehingga untuk mengakses media sosial tidak dapat dilakukan. Selain tersedianya akses internet oleh perusahaan terdapat juga akses internet pribadi, dilihat dari penggunaan gadget pribadi yang hampir dimiliki oleh seluruh karyawan di perusahaan tersebut.

Berdasarkan hal diatas peneliti berniat untuk melihat pengaruh role ambiguity

dan role conflict terhadap cyberloafing.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu :

“Apakah role ambiguity dan role conflict berpengaruh terhadap perilaku

cyberloafing?”

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh role ambiguity dan role conflict terhadap perilaku cyberloafing yang muncul pada karyawan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah bacaan, referensi, dan pengaplikasian ilmu Psikologi, khususnya bidang


(24)

Psikologi Industri dan Organisasi, terutama mengenai pengaruh role ambiguity dan role conflict terhadap cyberloafing.

b. Hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan bagi penelitian-penelitian selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan perilaku cyberloafing yang terkait dengan pengaruh role ambiguity dan role conflict.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian diharapkan untuk dapat memberikan gambaran mengenai role ambiguity dan role conflict yang mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing, juga agar dapat memberikan gambaran mengenai perilaku cyberloafing.

b. Kemudian untuk dapat melihat dari antara role ambiguity dan role conflict, manakah yang lebih berperan pada munculnya perilaku

cyberloafing.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi institusi perusahaan dalam kaitannya mengenai role ambiguity dan

role conflict terhadap perilaku cyberloafing yang dialami oleh karyawan.


(25)

E. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Memuat landasan teori tentang role ambiguity, role conflict, dan perilaku cyberloafing.

Bab III : Metode Penelitian

Berisi identifikasi variabel, definisi operasional, subjek penelitian, metode pengambilan data, dan metode analisa data penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Dalam analisa data akan dipaparkan mengenai hasil deskripsi data penelitian, uji hipotesa utama dan uji hipotesa tambahan dan menginterpretasikan data-data masukan atau data-data tambahan dari statistik, serta pembahasan mengenai hasil penelitian.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Dalam kesimpulan terdapat jawaban atas masalah yang diajukan. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan saran dibuat dengan mepertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini berisi mengenai landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, yaitu landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, serta landasan teori role ambiguity dan role conflict. Bab ini juga berisi mengenai dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian.

A. Cyberloafing

1. Definisi Cyberloafing

Deviant Organizational Behavior adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak karyawan yang dengan sengaja melanggar norma-norma organisasi yang formal dan peraturan tentang masyarakat, dan dapat menghasilkan hal yang mempunyai konsekuensi negatif (Robbins, 2004). Terdapat beberapa perilaku menyimpang dalam organisasi antara lain ketidaksopanan, cyberloafing, penyerangan fisik di tempat kerja, berkata kasar atau marah dengan kata-kata yang menyinggung perasaan, pencurian di tempat kerja oleh karyawan (Robbins, 2004). Jadi cyberloafing

merupakan salah satu produk atau hasil dari deviantorganizational behavior dan juga termasuk salah satu isu penting yang berkembang sesuai dengan perkembangan internet dalam dunia bisnis atau perusahaan.

Kata lain yang biasa disebutkan pada penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan antara lain junk computing (Guthrie and Gray, 1996),


(27)

cyber-slacking atau cyber-loafing (Lim, 2002), cyber-slouching (Urbaczewski & Jessup, 2002), dan non-work related computing (Lee et.al, 2005).

Istilah cyberloafing didefinisikan sebagai tindakan karyawan secara sengaja menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan yang non-work di saat jam kerja (Lim, 2002). Aktifitas non-work yang dimaksud adalah aktivitas mengecek e-mail personal ataupun mengunjungi situs internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Kegiatan cyber (browsing dan emailing) yang dilakukan pada saat bekerja dapat mengalihkan karyawan dari menyelesaikan pekerjaan mereka dan menghasilkan penggunaan waktu yang tidak produktif sehingga kegiatan

cyberloafing termasuk dalam bentuk penyimpangan kerja (Lim & Chen, 2009). Sementara menurut Blanchard dan Henle (2008), cyberloafing merupakan penggunaan akses internet dan penggunaan email secara disengaja untuk tujuan pribadi yang tidak berkaitan dengan pekerjaan oleh karyawan pada jam kerja. Askew (2012) menyatakan bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang terjadi ketika karyawan menggunakan berbagai jenis perangkat komputer (seperti desktop, cell-phone, tablet) saat bekerja untuk aktivitas non-destruktif di mana supervisor karyawan tidak menganggap perilaku itu berhubungan dengan pekerjaan.

Sedangkan Bock dan Ho (2009) menjelaskan pengunaan internet selama bekerja untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Non-Work Related Computing

(NWRC). NWRC merupakan istilah kolektif dan berisi Junk Computing dan

Cyberloafing. Junk Computing adalah penggunaan internet servis organisasi yang dilakukan oleh karyawan untuk kepentingan pribadi dan tidak berhubungan dengan


(28)

dengan tujuan organisasi (Bock & Ho, 2009). Baik Junk Computing maupun

Cyberloafing merupakan penggunaan sumber daya organisasi untuk kepentingan pribadi, namun cyberloafing bertujuan untuk pengunaan internet pribadi sedangkan

junk computing merupakan penggunaan pribadi offline melalui sumber daya organisasi.

Berdasarkan penjelasan definisi perilaku cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan menggunakan akses internet kantor dan atau akses internet pribadi untuk keperluan pribadi atau diluar pekerjaan.

2. Aktivitas Cyberloafing

Lim dan Chen (2009) membagi cyberloafing menjadi dua aktivitas yaitu:

1. Emailing Activities (Aktivitas Email)

Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah memeriksa, membaca, maupun menerima

email pribadi.

2. Browsing Activities (Aktivitas Browsing)

Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah browsing situs olahraga, situs berita, maupun situs khusus dewasa.


(29)

Beberapa peneliti menggunakan istilah cyberloafing mengarah kepada perilaku serius seperti menyebar virus dan hacking namun jenis cyberloafing yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah cyberloafing yang dikemukakan oleh Lim dan Chen (2009) yaitu perilaku cyberloafing berupa aktivitas email (membaca, mengirim dan menerima email pribadi) dan aktivitas browsing (jejaring sosial, mengunduh file atau musik, dan mencari berita yang tidak berkaitan dengan pekerjaan). Aktivitas email yang dimaksud seperti pada jam kerja karyawan membaca, mengirim, dan menerima email pribadinya sehingga tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya pun menjadi teralihkan. Selain itu, aktivitas browsing yang dimaksud seperti karyawan yang membuka jejaringan sosial seperti

facebook, twitter, atau mengunduh file atau musik, dan kegiatan lainnya dimana situs tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan karyawan.

3. Faktor-faktor Penyebab Cyberloafing

Menurut Ozler dan Polat (2012), terdapat tiga faktor yang menyebabkan munculnya perilaku cyberloafing. Ketiga faktor itu adalah sebagai berikut :

1) Faktor Individual

Faktor individual berpengaruh terhadap muncul atau tidaknya perilaku

cyberloafing. Berbagai atribut dalam diri individu tersebut antara lain : a. Persepsi dan Sikap

Individu yang memiliki sikap positif terhadap komputer lebih mungkin menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi. Selain itu, terdapat hubungan yang positif antara sikap mendukung terhadap cyberloafing dengan


(30)

perilaku cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn, dan Laura, 2011). Individu yang merasa bahwa penggunaan internet mereka menguntungkan bagi performansi kerja lebih mungkin terlibat dalam perilaku cyberloafing

(Vitak, Crouse, dan Larouse, 2011). b. Sifat Pribadi

Perilaku individu pengguna internet akan menunjukkan berbagai motif psikologis yang dimiliki oleh individu tersebut. Trait pribadi seperti shyness

(rasa malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), kontrol diri, harga diri, dan locus of control mungkin dapat mempengaruhi bentuk penggunaan internet individu. Bentuk penggunaan internet yang dimaksud adalah kecenderungan individu mengalami kecanduan atau penyalahgunaan internet. c. Kebiasaan dan Adiksi Internet

Kebiasaan mengacu pada serangkaian situasi-perilaku otomatis sehingga terjadi tanpa disadari atau tanpa pertimbangan untuk merespon isyaratisyarat khusus di lingkungan (Woon dan Pee, 2004). Lebih dari 50% perilaku media diperkirakan merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010).

d. Faktor Demografis

Beberapa faktor demografis seperti status pekerjaan, persepsi otonomi di dalam tempat kerja, tingkat gaji, pendidikan, dan jenis kelamin merupakan prediktor penting dari cyberloafing (Garrett dan Danziger, 2008).


(31)

Persepsi individu mengenai larangan etis terhadap cyberloafing berhubungan negatif dengan penerimaan terhadap cyberloafing itu sendiri. Namun sebaliknya, hal itu berhubungan positif dengan keinginan seseorang untuk melakukan cyberloafing. Selain itu, keyakinan normatif individu (misalnya,

cyberloafing itu tidak benar secara moral) mengurangi keinginan untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak et al., 2011).

2.) Faktor Organisasi

Beberapa faktor organisasi juga dapat menentukan kecenderungan karyawan untuk melakukan cyberloafing. Beberapa faktor organisasi tersebut yaitu :

a. Pembatasan Penggunaan Internet

Perusahaan dapat membatasi penggunaan komputer saat bekerja melalui kebijakan perusahaan atau pencegahan pengunaan teknologi di kantor. Hal ini dapat mengurangi kesempatan karyawan menggunakan internet untuk tujuan pribadi, sehingga perusahaan dapat meningkatkan regulasi diri karyawan (Garrett dan Danziger, 2008).

b. Hasil yang Diharapkan

Ketika karyawan memilih online untuk tujuan pribadi saat bekerja, ia memiliki harapan tertentu bahwa perilaku itu dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat membuat dirinya terhindar dari konsekuensi negatif (Garrett dan Danziger, 2008).


(32)

c. Dukungan Manajerial

Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja tanpa menjelaskan bagaimana menggunakan fasilitas tersebut malah dapat meningkatkan penggunaan internet untuk tujuan pribadi. Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai sebuah dukungan terhadap semua tipe penggunaan internet, sehingga memunculkan perilaku cyberloafing.

d. Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing

Blau (2006) mengatakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai role model (panutan) dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing ini dipelajari dengan mengikuti perilaku yang dilihatnya dalam lingkungan organisasi. Individu yang mengetahui bahwa rekan kerjanya juga melakukan

cyberloafing, akan lebih mungkin untuk melakukan cyberloafing

(Weatherbee, 2010). e. Sikap Kerja Karyawan

Perilaku cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustrasi, sehingga dapat diterima bahwa sikap kerja mempengaruhi cyberloafing (Liberman et al., 2011). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa karyawan lebih mungkin terlibat dalam perilaku menyimpang ketika memiliki sikap kerja yang tidak menyenangkan (Garrett dan Danziger, 2008).


(33)

e.1. Injustice (Ketidakadilan)

Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan mempersepsikan dirinya berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan melakukan cyberloafing.

e.2. Komitmen Kerja

Dalam membentuk penggunaan internet di tempat kerja, komitmen memiliki peran penting karena dapat mempengaruhi dampak yang diharapkan. Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi dan pekerjaannya cenderung merasa bahwa cyberloafing tidak sesuai dengan rutinitas kerja, sehingga mereka akan lebih jarang melakukan cyberloafing.

e.3. Kepuasan Kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan lebih positif terhadap penyalahgunaan internet. Sedangkan Stanton (2002) menemukan bahwa karyawan yang cenderung menjadi sangat puas adalah karyawan yang sering menyalahgunakan internet. f. Karakteristik Pekerjaan

Karakteristik pekerjaan tertentu akan mengarah pada perilaku cyberloafing

dengan tujuan untuk meningkatkan kreativitas atau melepas kebosanan. Dengan kata lain, pekerjaan yang kreatif akan memiliki lebih banyak tuntutan dan tidak membosankan, sehingga karyawan akan lebih jarang melakukan


(34)

3.) Faktor Situasional

Perilaku penyimpangan internet biasanya terjadi ketika karyawan memiliki akses terhadap internet di tempat kerja, sehingga hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor situasional yang memediasi perilaku ini (Weatherbee, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa kedekatan jarak secara fisik dengan supervisor secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi karyawan terhadap kontrol organisasi. Lebih jauh lagi, adanya kebijakan formal organisasi dan sanksi atas perilaku cyberloafing juga dapat mengurangi perilaku cyberloafing.

Dalam suatu perusahaan setiap karyawan memiliki tuntutan pekerjaan sesuai dengan jabatan masing-masing, apabila tuntutan pekerjaan tersebut sesuai dengan jabatan seseorang dan sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya maka karyawan pun dapat dengan baik melaksanakan tugas dan kewajibannya. Namun apabila tuntutan pekerjaan yang diberikan bertentangan dengan nilai-nilai keyakinan pribadinya ataupun tugas-tugas yang dikerjakan menurut pandangan karyawan tersebut bukan merupakan bagian dari pekerjaannya maka akan timbul perasaan tidak menentu dan ketidakyakinan karyawan mengenai kewajiban dan harapannya saat bekerja. Sehingga dapat membangkitkan stres yang dapat menghalangi karyawan untuk melakukan tugas dan pekerjaanya. Oleh sebab itu karyawan memilih untuk melakukan online atau mengakses internet pada saat jam kerja dengan harapan perilaku tersebut dapat


(35)

memenuhi kebutuhannya dan agar terhindar dari konsekuensi negatif yaitu rasa stres atau lelah yang dialami (Garrett dan Danzinger, 2008).

Dari uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing

di atas, maka penelitian ini hanya akan berfokus faktor organisasi yang dikemukakan oleh Ozler dan Polat (2012).

B. Role Ambiguity

Definisi Role Ambiguity menurut Rizzo et al.(1970) adalah suatu keadaan dimana suatu pekerjaan memiliki kekurangan dalam prediksi suatu respon terhadap perilaku pihak lain dan kejelasan mengenai persyaratan perilaku yang diharapkan. Menurut Munandar (2001) role ambiguity timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:

1) Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki.

2) Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjannya.

3) Tuntututan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya.

4) Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.

Role ambiguity adalah suatu kesenjangan antara jumlah informasi yang dimiliki seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat melaksanakan perannya dengan tepat (Brief dalam Nimran, 1999). Sehingga role ambiguity bersifat sebagai


(36)

pembangkit stres sebab dapat menghalangi individu untuk melakukan tugasnya dan menyebabkan timbulnya perasaan tidak aman dan tidak menentu.

C. Role Conflict

Role Conflict didefinisikan sebagai ketentuan dalam sebuah peran dimana terdapat kesesuaian atau ketidaksesuaian (congruency-incongruency), dalam hal ini kesesuaian atau kecocokan (congruency atau compatibility) merupakan penilaian relatif dari suatu keadaan yang melanggar peran kinerja (Rizzo et al, 1970). Ketidakcocokan atau incongruency dapat mengakibatkan berbagai jenis konflik, yaitu:

1. Konflik antara nilai-nilai internal seseorang dengan peran perilaku. Merupakan person-role conflcit atau intrarole conflict yang menjadi fokus ketika seseorang berada dalam suatu posisi atau peran.

2. Konflik antara waktu, sumber daya, atau kemampuan seseorang dengan peran perilaku. Ketika terjadi ketidakcocokan antara salah seorang yang saling berkaitan maka hal ini disebut sebagai intrasender conflict. Hal ini juga dapat dihasilkan dari organisasi. Bila dilihat dari person-role conflict misalnya kemampuan yang tidak memadai.

3. Konflik antara beberapa peran untuk satu orang yang sama yang membutuhkan perilaku yang berbeda atau bertentangan, atau perubahan dalam perilaku sebagai fungsi dari situasi. Hal ini merupakan interrole conflict


(37)

4. Harapan yang bertentangan dan tuntutan organisasi dengan bentuk aturan yang tidak sesuai, perbedaan permintaan dari orang lain, dan standar evaluasi yang tidak sesuai.

Role conflict atau konflik peran didefinisikan oleh Brief dalam Nimran (1999) sebagai adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Role conflict timbul karena ketidakcakapan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan berbagai harapan terhadap diri individu tersebut (Munandar, 2001).

D. Pengaruh Role Ambiguity dan Role Conflict Terhadap Cyberloafing

Organisasi merupakan sebuah sistem peran yang menyediakan berbagi macam tugas kerja untuk tiap peran dari karyawan dan motivasi untuk karyawan dalam melaksankan perannya dalam organisasi (Kahn et al., 1964). Karyawan dapat memberikan masukan untuk kesuksesan organisasi atau tindakan korektif dalam keputusan yang diambil dalam hal yang berhubungan dengan kinerjanya, dan pemberian sanksi jika terjadi kesalahan. Idealnya setiap peran mempunyai satu aktivitas yang dikerjakan, tetapi kadang peran karyawan tersebut membuat karyawan harus menyeimbangkan berbagai tuntutan di lingkungan, kebingungan karyawan mengenai tuntutan tugas dan tanggung jawab (Henle & Blanchard, 2008). Berbagai masalah ini mempunyai dampak negatif pada kesejahteraan karyawan itu sendiri, seperti meningkatnya tekanan darah, ketidakpuasan kerja, depresi (Selye dalam Munandar, 2001) dan juga kondisi organisasi yang tidak efektif (Schaubroeck dalam Henle & Blanchard, 2008).


(38)

Adanya pengalaman negatif yang memberikan dampak negatif pada kesejahteraan karyawan tersebut seperti lelah atau stres, penyebab dari pengalaman negatif tersebut biasa disebut sebagai stressor. Adapun stressor yang dimaksud yaitu,

role ambiguity dan role conflict. Stressor tersebut dapat berperan dalam munculnya perilaku cyberloafing.

Ditinjau dari role ambiguity dimana karyawan merasa bingung harus melakukan pekerjaan seperti apa, ini dikarenakan adanya suatu kesenjangan antara jumlah informasi yang dimiliki seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat melaksanakan perannya dengan tepat (Brief dalam Nimran, 1999). Apabila seorang pekerja tidak mengetahui wewenangnya untuk mengambil suatu keputusan, tidak mengetahui apa yang diharapkan darinya, dan tidak mengetahui bagaimana ia akan dinilai, maka dia akan ragu-ragu dalam membuat keputusan dan akan menggunakan pendekatan coba-coba (trial and error) dalam memenuhi ekspektasi atasannya (Rizzo et al., 1970). Begitu juga agar menghasilkan kinerja yang baik, karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan. Namun ketika tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.

Role ambiguity ini dapat menghalangi individu untuk melakukan tugasnya dan menyebabkan timbulnya perasaan tidak aman dan tidak menentu. Adanya kebingungan yang terjadi saat bekerja maka akan timbul ketidakyakinan mengenai kewajiban dan harapan yang diinginkan (Rizzo et al., 1970). Terciptanya suasana


(39)

tersebut dengan cara melakukan mengakses internet untuk tujuan pribadi saat bekerja (Garrett dan Danzinger, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Blanchard (2008) apabila karyawan merasa bingung mengenai apa yang harus mereka kerjakan maka untuk mengalihkankannya dengan melakukan

cyberloafing.

Bila ditinjau dari role conflict dimana karyawan memiliki konflik atau masalah dengan tuntutan kerja atau dengan karyawan lain sehingga dapat menimbulkan ketegangan pekerjaan yang cukup tinggi (Van Sell dalam Munandar, 2001). Role conflict tersebut dapat dihasilkan ketika seseorang dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan (Robbins dan Judge, 2009). Seperti karyawan yang berada dalam ketidakadlian saat bekerja, sehingga menciptakan pengharapan-pengharapan yang mungkin sulit untuk dipenuhi atau dipuaskan (Robbins dan Judge, 2009), dan dapat menimbulkan konflik, salah satu cara untuk menyeimbangkannya dengan melakukan cyberloafing (Lim, 2002). Penelitian yang dilakukan Lim (2002), menemukan fakta bahwa 37% responden melakukan cyberloafing karena terjadi tuntutan konflik di tempat kerja (high role conflict), tetapi 52% responden merasa aneh melakukan cyberloafing jika pekerjaan mereka belum selesai (low role ambiguity).

Leigh (dalam Nimran, 1999) menyatakan bahwa role conflict merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya, sikap kerja seseorang yang mengalami konflik peran


(40)

akan berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. Dengan adanya sikap kerja yang tidak menyenangkan tersebut mendorong karyawan untuk terlibat dalam perilaku menyipang seperti penyalahgunaan internet kantor (Garret dan Danzinger, 2008). Cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap kerja dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan cyberloafing (Liberman et al, 2011).

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa penelitian ini adalah:

a. Role ambiguity berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu penelitian karena metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian (Hadi, 2000).

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel penelitian merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama yang menjadi fokus dalam penelitian serta penentuan fungsinya masing-masing (Azwar, 2005). Berdasarkan tinjauan pustaka serta rumusan hipotesis penelitian, maka yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas (independent) : Role Ambiguity dan Role Conflict

2. Variabel terikat (dependent) : Cyberloafing

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati (Azwar, 2010). Berikut definisi operasional dari variabel-variabel yang akan diteliti.

1. Role Ambiguity

Role Ambiguity merupakan kondisi karyawan yang merasa ketika bekerja tidak mempunyai pedoman dan tujuan yang jelas. Role ambiguity dapat diukur menggunakan skala yang disusun berdasarkan teori oleh Rizzo et al. (1970). Skor yang tinggi mengidentifikasikan individu merasa mengalami role ambiguity.


(42)

Sebaliknya skor yang rendah mengidentifikasikan individu merasa tidak mengalami

role ambiguity.

2. Role Conflict

Role Conflict merupakan kondisi karyawan ketika mengalami konflik ditempat kerja, berupa tuntutan yang bertentangan di tempat kerja, seperti konflik dengan rekan kerja, supervisor, atau workgroups, serta konflik akan tuntutan kebijakan organisasi dan kewajiban kerja. Role Conflict dapat diukur menggunakan skala yang disusun berdasarkan teori oleh Rizzo et al. (1970). Skor yang tinggi mengidentifikasikan individu merasa mengalami role conflict. Sebaliknya skor yang rendah mengidentifikasikan individu merasa tidak mengalami role conflict.

3. Cyberloafing

Perilaku cyberloafing adalah perilaku karyawan yang menggunakan sumber daya perusahaan berupa akses internet dan atau menggunakan akses internet pribadi untuk melakukan aktivitas browsing dan email yang tidak berhubungan dengan kepentingan pekerjaan.

Perilaku cyberloafing dapat diketahui dengan alat ukur berupa skala yang disusun berdasarkan kategori cyberloafing menurut Lim dan Chen (2009), yaitu

emailing activities dan browsing activities. Skor total dari skala perilaku

cyberloafing akan menunjukkan perilaku cyberloafing karyawan dalam perusahaan. Skor yang tinggi mengidentifikasikan individu sering melakukan perilaku


(43)

cyberloafing. Sebaliknya skor yang rendah mengidentifikasikan individu jarang melakukan perilaku cyberloafing.

C. Subjek Penelitian

Populasi didefinisikan sebagai seluruh individu yang dimaksudkan untuk diteliti, dan yang nantinya akan dikenai generalisasi. Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain (Azwar, 2010). Ciri yang dimaksud tidak terbatas hanya sebagai ciri lokasi, akan tetapi dapat terdiri dari karakteristik individu.

Populasi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan objek penelitian apabila seseorang akan meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian. Apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya menjadi penelitian populasi (Arikunto, 2006). Peneliti akan meneliti 138 karyawan yang bekerja di PT Asian Agri.

Adapun karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah:

a. Karyawan yang memiliki handphone/ tablet dan terdapat akses internet pribadi pada handphone/ tablet.

Karyawan yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini adalah karyawan yang memiliki handphone/ tablet pribadi dan terdapat akses internet didalamnya karena handphone/ tablet merupakan instrumen yang digunakan karyawan dalam melakukan cyberloafing.


(44)

b. Minimal telah bekerja selama setahun

Karyawan yang akan menjadi sampel penelitian adalah karyawan yang minimal telah bekerja selama setahun. Masa kerja minimal setahun menjadi pertimbangan karena pada masa kerja tersebut karyawan sudah mampu beradaptasi terhadap lingkungan dan situasi kerjanya (Siswanto, 2003).

D. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan skala psikologis atau disebut dengan metode skala. Metode skala digunakan karena data yang ingin diukur berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2007).

Hadi (2000) menyatakan bahawa skala psikologis dapat digunakan dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi berikut:

1) Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2) Hal-hal yang dinyatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

3) Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud peneliti.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala Role Ambiguity, skala


(45)

1. Skala Perilaku Cyberloafing

Pengambilan data mengenai perilaku cyberloafing pada karyawan dilakukan dengan menggunakan skala perilaku cyberloafing yang disusun dengan format Likert berdasarkan teori mengenai perilaku cyberloafing dari teori Lim dan Chen (2009), yaitu emailing activities dan browsing activities. Skala ini berisikan 12 aitem. Aitem terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu: SS (Selalu) akan diberi skor 5, S (Sering) akan diberi skor 4, K (Kadang-kadang) akan diberi skor 3, J (Jarang) akan diberi skor 2, dan TP (Tidak Pernah) akan diberi skor 1. Distribusi aitem skala perilaku cyberloafing dapat dilihat dalam blue print pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Blue Print Skala Perilaku Cyberloafing Sebelum Uji Coba

No. Kategori Pernyataan Jumlah

1.

Emailing activities

10, 11, 12 3

2.

Browsing activities

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 9

Total 12

2. Skala Role Ambiguity dan Role Conflict

Pengambilan data role ambiguity dan role conflict dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala Role Ambiguity dan Role Conflict yang disusun dengan format Likert berdasarkan teori Rizzo et al. (1970), yaitu skala ini berisikan


(46)

29 aitem dengan 16 aitem favorable dan 13 aitem unfavorable. Aitem terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu: SS (Sangat Setuju), S (Setuju), N (Netral), TS (Tidak Setuju) dan STS (Sangat Tidak Setuju).

Untuk subskala favorable penilaiannya adalah SS (Sangat Setuju) akan diberi skor 5, S (Setuju) akan diberi skor 4, N (Netral) akan diberi skor 3, TS (Tidak Setuju) akan diberi skor 2, dan STS (Sangat Tidak Setuju) akan diberi skor 1. Sedangkan untuk subskala unfavorable penilaiannya adalah STS (Sangat Tidak Setuju) akan diberi skor 5, TS (Tidak Setuju) akan diberi skor 4, N (Netral) akan diberi skor 3, S (Setuju) akan diberi skor 2, dan SS (Sangat Setuju) akan diberi skor 1. Distribusi aitem skala role ambiguity dan role conflict dapat dilihat dalam blue print pada tabel 3.2.

Tabel 3.2 Blue Print Skala Work Stressor Sebelum Uji Coba

No. Dimensi Indikator Perilaku Aitem Jumlah

1.

Role Conflict

a. Konflik antara nilai-nilai internal seseorang dengan peran perilaku.

3, 5, 26, 28

4

b. Konflik antara waktu, sumber daya, atau kemampuan seseorang dengan peran perilaku.

1, 11, 15, 17,

24

5

c. Konflik antara beberapa peran untuk satu orang yang sama yang membutuhkan perilaku yang berbeda atau bertentangan.


(47)

d. Harapan yang bertentangan dan tuntutan organisasi dengan bentuk aturan yang tidak sesuai, perbedaan permintaan dari orang lain, dan standar evaluasi yang tidak sesuai.

9, 13, 20, 22 4 2 Role Ambiguity

a. Memprediksi hasil dari respon perilaku seseorang

8, 16, 23, 29

4 b. Keberadaan atau kejelasan dari suatu perilaku,

dalam hal masukan dari lingkungan , yang akan digunakan untuk memberi arahan pada perilaku dan memberi pengetahuan mengenai layak tidaknya suatu perilaku.

2, 4, 6, 10, 12, 14, 19, 21, 25,

27

10

Total 29

E. Uji Instrumen Penelitian

Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian sangat menentukan keakuratan dan keobjektifan hasil penelitian yang dilakukan. Suatu alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan informasi yang tidak akurat mengenai keadaan subyek atau individu yang dikenai tes ini (Azwar, 2007). Oleh karena itu peneliti harus melakukan uji coba terhadap alat ukur.

Hadi (2000) mengemukakan beberapa tujuan dari uji coba, yaitu: 1. Menghindari pernyataan-pernyataan yang kurang jelas maksudnya.


(48)

2. Menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik, ataupun kata-kata yang menimbulkan kecurigaan.

3. Memperbaiki pernyataan-pernyataan yang biasa dilewati atau hanya menimbulkan jawaban-jawaban dangkal.

4. Menambah aitem yang sangat perlu atau meniadakan aitem yang ternyata tidak relevan dengan tujuan penelitian.

1. Validitas Alat Ukur

Menurut Azwar (2005), untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas. Suatu alat tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut.

Validitas alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) yaitu validitas yang menunjukkan sejauh mana aitem dalam skala mencakup keseluruhan isi yang hendak diungkap oleh tes tersebut. Hal ini berarti isi alat ukur tersebut harus komprehensif dan memuat isi yang relevan serta tidak keluar dari batasan alat ukur (Azwar, 2010).

Sebelum melakukan penyusunan alat ukur, peneliti menentukan terlebih dahulu kawasan isi dari cyberloafing, role ambiguity, dan role conflict. Kemudian peneliti akan membuat aitem-aitem yang bertujuan untuk mengungkap kawasan isi


(49)

tersebut. Selanjutnya peneliti melakukan pengujian validitas isi dengan melakukan analisis rasional atau profesional judgement, dalam hal ini adalah dosen pembimbing peneliti.

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis item ini adalah dengan memilih item-item yang fungsi alat ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata lain, memilih item yang mengukur hal yang sama dengan yang diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 2010).

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi item total yang dapat dilakukan dengan menggunakan formula koefisien korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2010). Aitem dianggap memuaskan bila koefisien korelasi minimal 0,30. Namun ketika aitem memiliki indeks daya diskriminasi sama dengan atau lebih besar daripada 0,3 jumlahnya melebihi jumlah aitem yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka dapat memiliki aitem dengan daya diskriminasi tertinggi.


(50)

3. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas adalah indeks sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda. Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi item-item yang dalam menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama.

Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan prosedur hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2010). Teknik yang digunakan dalam mengukur reliabilitas alat ukur ini adalah teknik reliabilitas koefisien Alpha Cronbach dengan koefiesien lebih besar dari 0,05. Peneliti menggunakan bantuan program SPSS versi 20.0 for Windows untuk menguji reliabilitas alat ukur.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

1. Hasil Uji Coba Skala Perilaku Cyberloafing

Jumlah aitem yang diujicobakan sebanyak 12 aitem dan semua aitem yang memenuhi indeks diskriminasi ≥ 0,3. Azwar (2007) menyatakan bahwa kriteria berdasarkan korelasi aitem total biasanya digunakan batasan ≥ 0,3. Semua aitem yang mencapai korelasi minimal 0,3 daya bedanya dianggap memuaskan. Aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi bergerak dari = 0,394 sampai dengan =


(51)

0,683. Distribusi aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi disajikan dalam tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3

Blue Print Skala Perilaku Cyberloafing Setelah Uji Coba

No. Kategori Pernyataan Jumlah

1.

Emailing activities

10, 11, 12 3

2.

Browsing activities

1, 2, 3 , 4, 5, 6, 7, 8, 9 9

Total 12

Uji reliabilitas dilakukan terhadap 12 aitem tersebut. Hasil uji coba reliabilitas aitem perilaku cyberloafing adalah sebesar 0,873.

2. Hasil Uji Coba Skala Role Ambiguity

Jumlah aitem yang diujicobakan sebanyak 14 aitem dan terdapat 12 aitem yang memenuhi indeks diskriminasi ≥ 0,3. Azwar (2007) menyatakan bahwa kriteria berdasarkan korelasi aitem total biasanya digunakan batasan ≥ 0,3. Semua aitem yang mencapai korelasi minimal 0,3 daya bedanya dianggap memuaskan. Jumlah aitem yang dinyatakan gugur sebanyak 2, yaitu aitem nomor 8 dan nomor 14. Aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi bergerak dari = 0,411 sampai dengan = 0,775. Distribusi aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi disajikan dalam tabel 3.4 berikut:


(52)

Tabel 3.4

Blue Print Skala Role Ambiguity Setelah Uji Coba

No. Indikator Perilaku Aitem Jumlah

1.

Memprediksi hasil dari respon perilaku seseorang

16, 23,29 3

2.

Keberadaan atau kejelasan dari suatu perilaku, dalam hal masukan dari lingkungan , yang akan digunakan untuk memberi arahan pada perilaku dan memberi pengetahuan mengenai layak tidaknya suatu perilaku.

2, 4, 6, 10, 12, 19, 21, 25, 27

10

Total 12

Uji reliabilitas dilakukan terhadap 13 aitem tersebut. Hasil uji coba reliabilitas skala role ambiguity adalah sebesar 0,869.

3. Hasil Uji Coba Skala Role Conflict

Jumlah aitem yang diujicobakan sebanyak 15 aitem dan terdapat 13 aitem yang memenuhi indeks diskriminasi ≥ 0,3. Azwar (2007) menyatakan bahwa kriteria berdasarkan korelasi aitem total biasanya digunakan batasan ≥ 0,3. Semua aitem yang mencapai korelasi minimal 0,3 daya bedanya dianggap memuaskan. Jumlah aitem yang dinyatakan gugur adalah sebanyak 2, yaitu aitem nomor 5 dan 7.


(53)

= 0,733. Distribusi aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.5

Blue Print Skala Role Conflict Setelah Uji Coba

No. Indikator Perilaku Aitem Jumlah 1.

Konflik antara nilai-nilai internal seseorang dengan peran perilaku.

3, 26, 28 3

2.

Konflik antara waktu, sumber daya, atau kemampuan seseorang dengan peran perilaku.

1, 11, 15, 17, 24

5

3.

Konflik antara beberapa peran untuk satu orang yang sama yang membutuhkan perilaku yang berbeda atau bertentangan.

18 1

4.

Harapan yang bertentangan dan tuntutan organisasi dengan bentuk aturan yang tidak sesuai, perbedaan permintaan dari orang lain, dan standar evaluasi yang tidak sesuai.

9, 13, 20, 22

4


(54)

Uji reliabilitas dilakukan terhadap 13 aitem tersebut. Hasil uji coba reliabilitas skala role conflict adalah sebesar 0,860.

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Sebelum dilaksanakan penelitian di lapangan maka peneliti perlu melakukan beberapa prosedur, yaitu: tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan data.

1. Persiapan Penelitian

Sebelum alat-alat penelitian digunakan pada sampel yang sesungguhnya, maka terlebih dahulu dilakukan beberapa tahapan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Pencarian referensi

Pada penelitian ini, peneliti bermaksud untuk mengetahui pengaruh role ambiguity dan role conflict terhadap munculnya perilaku cyberloafing. Terkait dengan variabel penelitian yang digunakan yaitu cyberloafing, peneliti mengalami kesulitan dalam mendapatkan referensi karena tidak tersedia buku mengenai

cyberloafing. Oleh karena itu, peneliti memakai referensi buku yang berasal dari e-book dan juga berbagai jurnal penelitian yang terkait dengan penelitian.

b. Pembuatan alat ukur

Tahap persiapan penelitian diawali dengan menyusun alat ukur penelitian. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala role ambiguity, role conflict, dan perilaku cyberloafing. Pembuatan alat ukur dimulai dengan mengkaji


(55)

teori-teori maupun hasil penelitian yang berkaitan dan dilanjutkan dengan membuat aspek-aspek untuk memudahkan dalam penjabarannya. Penyusunan skala ini dilakukan dengan membuat blue print dan kemudian dioperasionalisasikan dalam bentuk item-item pernyataan. Setelah item tersusun, peneliti meminta penilaian ahli yaitu pada dosen pembimbing untuk mendiskusikan apakah item yang telah dibuat dapat diterima oleh subjek penelitian secara umum.

c. Permohonan izin melakukan penelitian

Dalam tahap ini, peneliti mencari informasi tentang perusahaan atau instansi yang akan dijadikan tempat pengambilan data penelitian. Dalam proses penentuan perusahaan tempat penelitian,peneliti mendapatkan satu perusahaan yang berlokasi di Medan yaitu PT Asian Agri. Peneliti meminta izin kepada perusahaan yang memiliki akses internet ini untuk melakukan pengambilan data penelitian di perusahan tersebut.

d. Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur peneliti menguji reliabilitas ketiga skala dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS for Windows versi 20.0. Setelah mengetahui aitem yang reliabel, peneliti mengambil aitem-aitem yang sesuai untuk dijadikan aitem-aitem-aitem-aitem dalam skala.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian diadakan dengan menyebarkan skala pada karyawan yang telah memenuhi karakteristik populasi yang sudah ditentukan sebelumnya. Para


(56)

karyawan diberikan skala perilaku cyberloafing, role ambiguity, dan role conflict. Selanjutnya dilakukan pengumpulan skala untuk dilakukan pengolahan data.

3. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah semua skala terkumpul. Peneliti menggunakan bantuan program aplikasi komputer SPSS for Windows versi 20.0

dalam mengolah data penelitian.

H. Metode Analisis Data

Azwar (2000) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan dapat diinterpretasikan. Data dalam penelitian akan dianalisa dengan analisa statistik dengan alasan analisa statistik bekerja dengan angka-angka, bersifat objektif dan universal. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa regresi berganda metode enter dengan bantuan program SPSS version 20.0 for Windows, dengan tujuan untuk membuat produksi tentang skor pada satu variabel dari pengetahuan mengenai skor variabel lain (Kaplan & Sacucuzzo, 2005).

Sebelum dilakukan analisa data terlebih dahulu dilakukan uji asumsi terhadap hasil penelitian yang meliputi uji normalitas, uji linieritas, uji autokorelasi, uji multikolinieritas, dan uji heteroskedastisitas (Andy Field, 2009).


(57)

Uji normalitas sebaran dimaksudkan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip–prinsip distribusi normal agar dapat digeneralisasikan pada populasi. Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program SPSS version 20.0 for Windows. Alasan peneliti mengggunakan metode Kolmogorov-Smirnov karena kedua data penelitian merupakan data interval. Data tersebut dapat dikatakan memiliki sebaran normal apabila memiliki nilai p > 0,05.

2. Uji Linearitas

Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah data pada variabel bebas mempunyai hubungan yang linier dengan data pada variabel tergantung. Uji linieritas pada data ini dilakukan menggunakan uji test for linierity dengan bantuan program

SPSS version 20.0 for Windows. Kedua variabel dikatakan berhubungan secara linier jika Linearity p < 0.05 atau jika Deviation from Linearity sig. berada di atas 0.05 maka dapat dikatakan bahwa asumsi linearitas terpenuhi. Artinya tidak terjadi penyimpangan signifikan terhadap linearitas.

3. Autokorelasi

Autokorelasi juga disebut Independent Errors. Regresi Berganda mengasumsikan residu observasi seharusnya tidak berkorelasi (atau bebas). Asumsi ini bisa diuji dengan teknik statistik Durbin-Watson, yang menyelidiki korelasi berlanjut antar error (kesalahan) dengan bantuan program komputer SPSS version 20.0 for windows. Durbin-Watson menguji apakah residual yang berdekatan saling


(58)

berkorelasi. Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL), maka terdapat autokorelasi. Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka tidak ada autokorelasi. Jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti.

4. Uji Multikolinearitas

Uji Regresi mengasumsikan variabel-variabel bebas tidak memiliki hubungan linier satu sama lain. Sebab, jika terjadi hubungan linier antar variabel bebas akan membuat prediksi atas variabel terikat menjadi bias karena terjadi masalah hubungan di antara para variabel bebasnya.

Dalam Regresi Berganda dengan SPSS version 20.0 for Windows, masalah Multikolinieritas ini ditunjukkan lewat tabel Coefficient, yaitu pada kolom Tolerance

dan kolom VIF (Variance Inflated Factors). Tolerance adalah indikator seberapa banyak variabilitas sebuah variabel bebas tidak bisa dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Tolerance dihitung dengan rumus 1 – R2 untuk setiap variabel bebas. Jika nilai Tolerance sangat kecil (< 0,10), maka itu menandakan korelasi berganda satu variabel bebas sangat tinggi dengan variabel bebas lainnya dan mengindikasikan Multikolinieritas. Nilai VIF merupakan invers dari nilai Tolerance (1 dibagi

Tolerance). Jika nilai VIF > 10, maka itu mengindikasikan terjadinya Multikolinieritas.


(59)

5. Uji Heteroskedastisitas

Uji Regresi bisa dilakukan jika data bersifat Homoskedastisitas bukan Heteroskedastisitas. Homoskedastisitas adalah kondisi dalam mana varians dari data adalah sama pada seluruh pengamatan. Uji heterokedastisitas dalam penelitian ini dengan cara melihat grafik Scatterplot. Jika tidak ada pola yang jelas atau titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas atau terjadi homoskedastisitas. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur seperti bergelombang, melebar kemudian menyempit, maka terjadi heteroskedastisitas.


(60)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian sebanyak 94 orang, hal ini berdasarkan kriteria yang ditetapkan peneliti. Berikut ini deskripsi umum subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan masa kerja.

a. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1

Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase (%)

Pria 65 47

Wanita 73 53

Total 138 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah subjek penelitian yang berjenis kelamin pria berjumlah 65 (47%) orang dan berjenis kelamin wanita berjumlah 73 orang (53%).

b. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Masa Kerja

Masa kerja merupakan lamanya tenaga kerja bekerja pada sebuah organisasi. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun negatif. Memberi pengaruh positif pada kinerja bila dengan semakin lamanya masa kerja personal semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya akan memberikan


(61)

pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya masa kerja akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja.

Menurut Handoko (2007) masa kerja dikategorikan menjadi dua: 1. Masa kerja baru : ≤ 3 tahun

2. Masa kerja lama : > 3 tahun

Tabel 4.2

Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja Masa Bekerja Jumlah (N) Persentase (%)

Masa kerja Baru ≤ 3 tahun 45 33 Masa kerja Lama > 3 tahun 93 67

Total 138 100

Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa jumlah subjek penelitian yang masa kerjanya di ≤ 3 tahun sebanyak 45 orang (33%) dan yang masa kerjanya lebih dari 3 tahun berjumlah 93 orang (67%).

B. Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Asumsi

Sebelum melakukan analisa data menggunakan regresi linear berganda peneliti harus melakukan uji asumsi terlebih dahulu. Uji asumsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah nilai residual yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip–prinsip distribusi normal agar


(62)

dapat digeneralisasikan pada populasi. Hasil uji normalitas menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov. Pengujian ini menyatakan data berdistribusi normal apabila nilai signifikansi residu antar variabel data lebih besar dari 0,05.

Tabel 4.3 Uji Normalitas

Variabel Asymp.sig.(2-tailed)

Role Ambiguity 0.689

Role Conflict 0.826

Cyberloafing 0.614

Berdasarkan tabel 4.3 didapat nilai signifikan role ambiguity, role conflict,

dan cyberloafing lebih besar dari 0,05 maka disimpulkan data berdistribusi dengan normal.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel role ambiguity dan

role conflict berkorelasi secara linear dengan variabel cyberloafing. Kedua variabel dikatakan memiliki hubungan yang linear jika p < 0.05 untuk linearity

dan p > 0.05 untuk deviation from linearity.

Tabel 4.4 Uji Linearitas

Variabel Linearity Deviation From

Linearity

Cyberloafing*role

ambiguity 0.026 0.170


(63)

Berdasarkan hasil uji linieritas pada tabel 4.4 diatas diperoleh nilai signifikansi role ambiguity dan role conflict untuk linearity lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05) dan untuk deviation from linearity signifikansi lebih besar dari 0,05 (p > 0,05). Hasil ini menunjukaan bahwa ketiga variabel memiliki hubungan yang linier terhadap cyberloafing.

c. Uji Multikolinearitas

Uji multikolineritas digunakan untuk menguji apakah ada korelasi antar variabel independen pada model regresi. Multikolinieritas dapat diuji dengan melihat nilai tolerence dan nilai VIF (Varience Inflation Factor). Multikolinearitas terjadi jika mempunyai nilai tolerence < 0.1 dan VIF > 10, dan multikolinearitas tidak terjadi jika mempunyai nilai tolerence > 0.1 dan VIF < 10. Hasil uji multikoliearitas dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut:

Tabel 4.5

Hasil Uji Multikolinieritas

Aspek Tolerance VIF

Role ambiguity 0.869 1.151

Role conflict 0.869 1.151

Dari tabel hasil uji multikolinieritas diatas dapat dilihat nilai tolerance dan VIF dari variabel role ambiguity dan role conlfict menunjukkan nilai tolerence > 0.1 dan VIF < 10, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas.


(64)

d. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah ada penyimpangan asumsi autokorelasi. Pengujian yang digunakan adalah Uji Durbin-Watson (Uji DW), dimana jika nilai DW 1,10 sampai 2,90 menunjukkan tidak terjadinya autokorelasi. Hasil uji autokorelasi dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.6 Hasil Uji Autokorelasi

Model Durbin-Watson

1 1.913

Dari hasil uji autokorelasi dapat dilihat nilai DW sebesar 1.913. Angka tersebut berada di antara dU < d < 4 - d dimana 1.75138 < 1.913 < 2.087 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi.

e. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Field, 2009). Penelitian ini menggunakan uji heteroskedastisitas dengan cara melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel


(65)

terikat (ZPRED) dengan residualnya (SPRED). Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat dari gambar.

Grafik 4.1

Gambar Hasil Uji Heteroskedastisitas

Berdasarkan grafik scatterplots di atas, dapat dilihat bahwa tidak ada pola yang jelas, titik-titik menyebar di atas dan bawah angka 0 pada sumbu Y, maka dapat disumpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi ini.


(1)

Selama jam kerja, seberapa seringkah Anda melakukan aktivitas

aktivitas

diluar pekerjaan seperti di bawah dengan menggunakan komputer, laptop, atau

handphone

dengan akses internet pribadi atau dari tempat kerja Anda?

MOHON PERIKSA KEMBALI JAWABAN ANDA

PASTIKAN TIDAK ADA JAWABAN YANG KOSONG

No.

Pernyataan

TP

JR

KK

SR

SS

1.

Mengunjungi situs yang tidak berkaitan dengan

pekerjaan

2.

Mengunjungi situs berita

3.

Menerima atau mengirim pesan instan

4.

Mengunjungi situs hiburan

5.

Mengunduh atau men

download

musik/ video/ film

6.

Mengunjungi situs yang berhubungan dengan olahraga

7.

Menunjungi situs

online shop

8.

Mengunjungi situs lowongan pekerjaan

9.

Bermain

game online

10. Menerima email yang tidak berkaitan dengan

pekerjaan

11. Mengecek email yang tidak berkaitan dengan

pekerjaan


(2)

LAMPIRAN D

1.

Uji Asumsi


(3)

1.

Uji Asumsi

a.

Uji Asumsi Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

cyberloafing ambiguity conflict

N 138 138 138

Normal Parametersa,b Mean 29.91 27.91 32.81 Std. Deviation 8.648 5.100 6.376

Most Extreme Differences

Absolute .064 .061 .053 Positive .043 .061 .053 Negative -.064 -.045 -.046 Kolmogorov-Smirnov Z .758 .713 .628 Asymp. Sig. (2-tailed) .614 .689 .826 a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

b.

Uji Asumsi Linearitas

ANOVA Table

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

cyberloafing * ambiguity

Between Groups

(Combined) 2446.175 24 101.924 1.477 .090 Linearity 348.991 1 348.991 5.056 .026 Deviation from

Linearity 2097.183 23 91.182 1.321 .170 Within Groups 7799.601 113 69.023


(4)

ANOVA Table

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

cyberloafing * conflict

Between Groups

(Combined) 3345.941 28 119.498 1.888 .011 Linearity 1065.146 1 1065.146 16.827 .000 Deviation from

Linearity 2280.795 27 84.474 1.334 .151 Within Groups 6899.834 109 63.301

Total 10245.775 137

c.

Uji Asumsi Multikolinearitas

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1

(Constant) 26.374 4.316 6.111 .000

ambiguity -.588 .139 -.347 -4.219 .000 .869 1.151 conflict .607 .111 .448 5.451 .000 .869 1.151 a. Dependent Variable: cyberloafing

d.

Uji Asumsi Autokorelasi

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 .456a .208 .197 7.751 1.913 a. Predictors: (Constant), conflict, ambiguity


(5)

(6)

2.

Analisa Data

Variables Entered/Removeda

Model Variables Entered

Variables Removed

Method

1 conflict,

ambiguityb . Enter a. Dependent Variable: cyberloafing

b. All requested variables entered.

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate 1 .456a .208 .197 7.751

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 26.374 4.316 6.111 .000 ambiguity -.588 .139 -.347 -4.219 .000 conflict .607 .111 .448 5.451 .000