BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Integrasi Pasar Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Perdesaan Asahaan Dengan Pasar Nasional(Studi Kasus : Kabupaten Asahan)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Tinjauan Agronomi Tanaman Kelapa Sawit

  Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848, saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mamitius dan Amsterdam lalu ditanam di kebun Raya Bogor. Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet (orang Belgia). Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 Ha (Rephi,2007).

  Pada tahun 1919 Indonesia mengekspor minyak sawit sebesar 576 ton dan pada tahun 1923 mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor Negara Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawitpun di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948 / 1949, pada hal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit. Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pemerintah mengambil alih perkebunan (dengan alasan politik dan keamanan).

  Untuk mengamankan jalannya produksi, pemerintah menugaskan perwira militer di setiap jenjang manajemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yang merupakan kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit menurun dan posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia (Rephi,2007).

  Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) (Rephi,2007).

  Kelapa sawit atau bahasa globalnya oil palm, bila diartikan secara harfiah adalah golongan tanaman keras penghasil minyak nabati. Di dunia ini ada 3 species golongan tanaman penghasil minyak nabati tersebut. Pertama, adalah Elaeis

  quinensis Jacg., yang banyak ditanam di Indonesia; kedua, Elaeis oleifera atau

  Elaeis melanoca dan ketiga adalah Elaies odora atau Baecella odora (Corley, 1976). Dari ketiga spesies tersebut yang banyak ditanam adalah Elaies quinensis Jacg (Syamsulbahri, 1996).

  Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang berfungsi ganda yaitu selain sebagai tanaman yang bernilai ekonomis tinggi, sumber pendapatan, lapangan pekerjaan, pendapatan ekspor non migas (nilai ekspor minyak sawit lebih besar dari nilai ekspor hasil pertanian liluar minyak sawit), sebagai salah satu sembako, juga sebagai media untuk melestarikan alam dan lingkungan, antara lain untuk konservasi sumber air tanah, pencegahan tanah longsor, produksi oksigen (O2), penyerapan emisi karbon dioksida (CO2) dan permintaan akan bio diesel akan meningkat secara signifikan sebagai implementasi dari kebijakan energi nasional (Rephi,2007).

  Selain itu juga perkebunan kelapa sawit mempunyai kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi ( 251,9 ton/ha/th) ini sangat berguna dalam mengurangi konsentrasi CO2 di udara akibat meningkatnya gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim di bumi. Di alam, meningkatnya gas rumah kaca di dorong oleh meningkatnya emisi CO2 yang menahan energi surya di atmosfir, sehingga suhu atmosfir meningkat. Sektor industri memegang peranan terbesar dalam emisi karbon dioksida, sedangkan kontribusi sektor pertanian hanya kecil saja, bahkan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang banyak di tentang oleh LSM di Eropa dan Amerika karena dianggap sebagai penyebab deforestasi dan merusak lingkungan hutan, pada aspek ekofisiologis ternyata membawa keuntungan karena kemampuan fiksasi CO2, kemampuan produksi O2 (183,2 ton/ha/th) dan biomassa (C) yang tinggi (Rephi,2007).

  Produksi biomassa perkebunan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tropis. Limbah kelapa sawit baik pohon, pelepah, tandan buah kosong dan cangkang merupakan sumber energi yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar nabati dan menekan penggunaan bahan bakar fosil, sehingga secara signifikan akan menurunkan emisi (Rephi,2007).

  Kelapa sawit dan produk turunannya merupakan sumber devisa bagi negara ini, karena perlu adanya upaya untuk memelihara dan mengembangkan kesinambungan peningkatan kelapa sawit sebagai sumber daya alam yang potensial. Tingginya permintaan minyak sawit oleh masyarakat dunia, membuat Indonesia mengikrarkan rencana mengembangkan perkebunan kelapa sawit yang terbesar dan bertekat menjadi penghasil minyak sawit di dunia. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir kelapa sawit di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat/petani atau pelaku perkelapasawitan bersemangat mengembangkan tanaman kelapa sawit. Sampai dengan saat ini luas areal kelapa sawit 8,4 juta hektar dengan produksi CPO sebesar 19,8 juta ton yang tersebar hampir di seluruh provinsi wilayah Indonesia. Dimana tahun 2006 produksi 17.350.848 ton, tahun 2007 produksi 17.664.725 ton, tahun 2008 produksi sebesar 17.539.788 ton, tahun 2009 produksi sebesar 19.324.293 ton dan pada tahun 2010 produksi sebesar 19.760.001 ton. (Rephi,2007).

2.1.2. Tinjauan Ekonomi Tanaman Kelapa Sawit

  Tanaman kelapa sawit mempunyai nilai yang sangat penting bagi kehidupan manusia sehari-hari, hal ini terutama tampak pada kebutuhan akan minyak nabati.

  Banyak tanaman lain yang dapat dijadikan sumber minyak nabati, seperti kelapa, kacang kedele dan lain-lain. Namun demikian kelapa sawit adalah penyumbang minyak nabati terbesar di dunia. Di kawasan Asia Tenggara, kebutuhan minyak nabati sebagian besar diperoleh dari minyak sawit, sedangkan kelapa hanya menyumbangkan sekitar 1/3 saham minyak sawit.

  Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa minyak kelapa sawit memiliki keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Beberapa keunggulan minyak sawit antara lain sebagai berikut : 1)

  Tingkat efisiensi minyak sawit tinggi sehingga mampu menempatkan CPO menjadi sumber minyak nabati termurah. Produksi minyak sawit tinggi yaitu 3,2 ton/Ha, sedangkan minyak kedelai, lobak, kopra, dan minyak bunga matahari masing-masing 0,34; 0,51; 0,57, dan 0,53 ton/Ha.

  2) Sifat intergreablenya cukup menonjol dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, karena memiliki keluwesan dan keluasan dalam ragam kegunaan baik di bidang pangan maupun nonpangan.

  3) Sekitar 80% dari penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak terutama minyak yang harganya murah (minyak sawit).

  4) Terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang berbahan baku CPO, terutama di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat.

  Pada dasarnya ada dua macam hasil olahan utama pengolahan TBS di pabrik, yaitu :

  • Minyak sawit yang merupakan hasil pengolahan daging buah.
  • Minyak inti sawit yang dihasilkan dari ekstraksi inti sawit.
Semua kegiatan dilapangan akan bermuara pada panen atau produksi TBS dan semua kegiatan di pabrik akan bermuara pada produksi CPO dan inti sawit. Suatu sistem yang tersusun rapi harus disiapkan mulai dari pemanenan, pengumpulan TBS, transportasi ke pabrik, pengolahannya, penimbunan hasil sampai pemasaran atau penjualannya. Jika salah satu mata rantai terputus atau tertunda maka akan berpengaruh terhadap seluruh proses.

  Secara historis pertumbuhan produksi minyak sawit dunia selama dua dasawarsa terakhir ini mengalami kenaikan sekitar 7,3 % pertahun. Perkembangan minyak sawit dunia ini sangat dipengaruhi oleh produksi minyak sawit Negara Malaysia dan Indonesia yang memberikan kontribusi sebesar 80 % dari produksi dunia.

  Berdasarkan data oil word diperkirakan produksi CPO lima tahun ke depan akan meningkat tapi lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi masyarakat dunia.

  Sehingga kondisi seperti ini akan membawa kondisi investasi menjadi baik. Tingkat produksi CPO dunia masih dikuasai oleh Malaysia dengan penguasaan 50 % market dunia, sedangkan Indonesia berada pada tingkat kedua dengan 30 % penguasaan pasar dunia.

  Saat ini Indonesia dan Malaysia merupakan produsen utama CPO dunia dengan menguasai lebih dari 80 % pangsa pasar. Negara-negara produsen lainnya, seperti Nigeria, Kolombia, Thailand, Papua Nugini, dan bahkan Pantai Gading, boleh dikatakan hanya menjadi pelengkap. Malaysia menempati peringkat teratas dengan volume produksi pada 2003 mencapai 13,35 juta ton. Sementara Indonesia masih 9,75 juta ton. Menurut ramalan Oil World, volume produksi CPO Indonesia pada 2010 bakal mencapai 12 juta ton. Namun, agaknya ramalan itu bakal meleset. Sebab, pada 2004 saja volume produksi CPO Indonesia sudah mencapai

  11,5 juta ton. Itu sebabnya banyak kalangan optimistis volume produksi CPO Indonesia bakal segera mengalahkan Malaysia, terlebih jika melihat luas lahan di Malaysia yang kian terbatas, sementara di Indonesia masih begitu luas.

  Produksi minyak sawit (CPO) di dalam negeri diserap oleh industri pangan terutama industri minyak goreng dan industri non pangan seperti industri kosmetik dan farmasi. Namun, potensi pasar paling besar adalah industri minyak goreng. Potensi tersebut terlihat dari semakin bertambahnya jumlah penduduk yang berimplikasi pada pertambahan kebutuhan pangan terutama minyak goreng. Sampai tahun 1997 produksi minyak goreng Indonesia baru mencapai 3,1 juta ton dengan kontribusi minyak goreng sawit 2,3 juta ton (74 %). Kebutuhan untuk memproduksi minyak goreng sawit sebesar itu memerlukan 3,3 juta ton minyak sawit.

  Berbagai hasil penelitian mengenai integrasi pasar kelapa sawit yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut : Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga BBM Dunia oleh Yunita (2007). Menggunakan metode pengolahan Vector Auoregression (VAR). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pasar CPO dunia terintegrasi dengan pasar CPO, minyak goreng, dan TBS domestik. Pasar CPO dunia berperan sebagai penentu harga, sedangkan pasar domesik berperan sebagai pengikut harga. Pada pasar domestik, terjadi integrasi pasar antara pasar CPO dengan pasar TBS domestik. Dimana pasar CPO domestik adalah penentu harga bagi pasar TBS domestik. Tarif ekspor CPO yang ditetapkan pemerintah ternyata tidak berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa tarif ekspor yang berlaku tidak efektif, karena tarif ekspor yang tinggi dapat meminimumkan penghasilan produsen dan eksortir CPO, serta petani, harga BBM dunia berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi.

  Penelitian Arifandi (2008), menunjukkan bahwa ketika harga CPO Internasional naik sebesar 1 %, maka harga CPO Domestik naik sebesar 0,983 %, sedangkan harga minyak goreng Domestik naik sebesar 1,016 %. Jaldi (2007), menunjukkan bahwa (1) perubahan harga sebesar 1% di tingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar -0,34% di tingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO ekspor PTPN IV. Hal ini disebabkan, karena adanya peningkatan input, seperti harga bahan baku (TBS), harga solar dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO dan lemahnya posisi tawar PTPN IV, serta hal-hal yang bersifat politis, yaitu hubungan diplomatik indonesia dengan negara pengimpor CPO. (2) perubahan harga sebesar 1% di tingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 0,59% di tingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO Domestik PTPN IV. Hal ini disebabkan, karena adanya kenaikkan input, seperti bahan baku (TBS), harga solar pabrik dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO dan lemahnya posisi tawar PTPN IV.

2.2. Landasan Teori

  Konsep supply chain (rantai penawaran) merupakan konsep baru dalam melihat persoalan logistik. Konsep lama melihat logistik sebagai persoalan intern masing- masing perusahaan dan pemecahannya dititik beratkan pada pemecahan secara intern di perusahaan masing-masing. Dalam konsep baru ini, masalah logistik dilihat sebagai masalah yang lebih luas dan terbentang sangat panjang mulai dari bahan baku sampai produk jadi yang digunakan oleh konsumen akhir. Konsep rantai penawaran yang relatif baru sebetulnya tidak sepenuhnya baru karena konsep tersebut merupakan perpanjangan dari konsep logistik. Hanya manajemen logistik lebih terfokus pada pengaturan aliran di dalam suatu perusahaan, sedangkan manajemen rantai penawaran menganggap bahwa integrasi dalam suatu perusahaan tidaklah cukup. Integrasi harus dicapai untuk seluruh mata rantai pengadaan barang, mulai dari yang paling hulu sampai dengan yang paling hilir.

  Oleh karena itu, rantai penawaran terfokus pada pengaturan aliran barang antar perusahaan yang terkait, dari hulu sampai hilir bahkan sampai pada konsumen terakhir (Isnanto, 2009).

  Kohl dan Uhl (1980) mendefinisikan pemasaran sebagai tampilan aktivitas bisnis yang terlibat dalam arus barang dan jasa dari pintu gerbang usahatani sampai ke tangan konsumen. Menurut Saefuddin (1982) bahwa pemasaran merupakan aktivitas yang berkaitan dengan bergeraknya barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Berdasarkan definisi tersebut, maka tujuan dari pada pemasaran adalah agar barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh petani maupun perusahaan sebagai produsen sampai ke konsumen. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan agar barang dan jasa dapat berpindah dari sektor produksi ke sektor konsumsi disebut sebagai fungsi pemasaran.

  Pasar akan memeragakan fungsinya secara efisien jika memanfaatkan semua informasi yang tersedia. Dengan kata lain, jika pasar menggunakan harga yang lalu ( past prices) secara tepat dalam penentuan harga pada saat ini (current price

determination ), maka sistem pemasaran yang berlaku dapat dikategorikan efisien.

  Dalam sistem tersebut, informasi harga dan kemungkinan substitusi produk antar pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar dapat mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi ini menunjukkan keberadaan integrasi pasar yang merupakan salah satu indikator penting dalam efisiensi sistem pemasaran (Heytens, 1986).

  Elastisitas transmisi harga merupakan rasio perubahan persentase dari harga di tingkat pengecer/pemasar/konsumen (Y) dengan perubahan harga di tingkat petani/produsen (X), yang bertujuan untuk menjelaskan berapa besar perubahan harga di pasar pengecer/pemasar/konsumen (Y) akibat terjadinya perubahan harga sebesar satu satuan unit di pasar petani/produsen (X). Dari hubungan tersebut secara tidak langsung dapat diperkirakan tingkat keefektifan suatu informasi pasar, bentuk pasar dan efektifan sistem pemasaran.

  Apabila elastisitas transmisi harga lebih kecil dari satu (Et < 1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani dan bentuk pasar mengarah ke Monopsoni. Apabila elastisitas transmisi harga sama dengan satu (Et = 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 1% di tingkat petani dan merupakan pasar persaingan sempurna. Apabila elastisitas transmisi harga lebih besar dari satu (Et > 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga lebih besar dari 1% di tingkat petani dan bentuk pasarnya mengarah ke Monopoli. Elastisitas transmisi harga umumnya bernilai lebih kecil satu. Apabila nilai Et suatu pasar lebih tinggi dari pasar yang lain, berarti pasar tersebut lebih efisiensi karena perubahan harga (fluktuasi) di tingkat produsen ditransmisikan dengan lebih sempurna ke konsumen (Silitonga, 1999).

  Beberapa definisi integrasi pasar telah dikemukakan pada berbagai studi terdahulu. Harris (1979) mengindikasikan integrasi pasar sebagai keterpaduan diantara beberapa pasar yang memiliki korelasi harga tinggi. Ravallion (1986) mengemukakan bahwa pasar-pasar secara spasial terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan di antara pasar-pasar tersebut. McNew (1996) membatasi integrasi pasar sebagai kondisi ekuilibrium spasial efisien yang dicerminkan oleh adanya kejutan (shock) pada pasar tertentu yang secara sempurna ditransmisikan ke pasar- pasar lainnya. Sejalan dengan pandangan ini, Goodwin dan Schroeder (1991) menggambarkan integrasi pasar berkaitan dengan lokasi-lokasi spasial yang memiliki perubahan harga one-to-one. Lebih jauh lagi, Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke harga yang terjadi di pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang (Muwanga dkk, 1997).

  Integrasi pasar tergolong menjadi 2, yaitu yang meliputi integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi vertikal merupakan penggabungan proses dan fungsi dua atau lebih lembaga pemasaran pada tahap distribusi ke dalam satu sistem manajemen. Sedangkan integrasi horizontal adalah penggabungan dua atau lebih lembaga pemasaran yang melakukan fungsi yang sama pada tahap distribusi yang sama pula ke dalam satu sistem manajemen. Dua pasar dikatakan terintegrasi secara vertikal apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan atau di transmisikan ke pasar lain. Hal tersebut sesuai dengan struktur pasar persaingan sempurna, dimana perubahan harga acuan diteruskan secara sempurna ke pasar pengikut (tingkat petani). Dengan demikian, integrasi vertikal dapat digunakan sebagai indikator. Sedangkan integrasi pasar secara horizontal digunakan untuk melihat apakah mekanisme harga berjalan secara serentak atau tidak (Kusnadi dkk, 2009).

2.3 Kerangka Pemikiran

  Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati kelapa sawit yang disebut dengan CPO (Crude Palm Oil). CPO merupakan hasil olahan dari TBS (Tandan Buah Segar), yang dimana CPO dan TBS mempunyai nilai yang disebut dengan harga.

  Dalam kaitannya dengan pemasaran, harga ini di indikasikan mengalami perubahan harga.

  Petani kelapa sawit dalam melakukan usaha taninya pasti akan menjual hasil usaha taninya. Dalam melakukan proses jual beli petani tidak dapat ikut serta dalam menentukan harga TBS melainkan pembeli yang menentukan harga tersebut. Hal ini dapat membuat harga jual tersebut tidak sesuai dengan keinginan petani kelapa sawit. Indikasi dari petani mempunyai posisi tawar tinggi dan rendah tergantung dari negosiasi petani dengan pembeli. Jika petani dan agen sama- sama menentukan harga dengan negosiasi makanya posisi tawar petani tinggi. Jika petani tidak ikut serta dalam menentukan harga maka posisi tawar petani lemah .

  Suatu pasar dapat dikatakan sempurna dilihat dari integrasi pasar dan elastisitas transmisi harga yang terjadi. Integrasi harga dikatakan sempurna, jika pembentukan harga ditingkat petani dengan ditingkat PKS (Nasional) bernilai sama dengan satu. Sama halnya dengan elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap TBS di tingkat petani yang mengacu pada harga CPO Internasional bernilai sama dengan satu. Ini di karenakan harga CPO Domestik di pengaruhi oleh harga internasional, dimana ketika harga CPO Internasional mengalami peningkatan harga jual, maka harga CPO Domestik akan mengalami peningkatan harga jual pula sesuai dengan harga dalam satu mata uang (kurs).

  Jika ini berjalan dengan baik, maka akan terbentuk keadaan harga yang seimbang, sehingga elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap harga TBS ditransmisikan dengan sempurna. Apabila hukum ini tidak berjalan baik, maka elastisitas transmisi harga yang terjadi tidak ditransmisikan dengan sempurna dan akan mengakibat dampak pada harga TBS yang diterima oleh petani kelapa sawit.

  Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan salah satu indikator dari efisiensi pemasaran, khususnya efisiensi harga. Integrasi pasar merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (pasar pada tingkat yang lebih tinggi seperti pedagang eceran) akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pasar pengikutnya (misalnya pasar di tingkat petani).

  Dengan demikian analisis integrasi pasar sangat erat kaitannya dengan analisis struktur pasar.

  Dua tingkatan pasar dikatakan terpadu atau terintegrasi jika perubahan harga pada salah satu tingkat pasar disalurkan atau ditransfer ke pasar lain. Dalam struktur pasar persaingan sempurna, perubahan harga pada pasar acuan akan ditransfer secara sempurna (100%) ke pasar pengikut, yakni di tingkat petani. Integrasi pasar akan tercapai jika terdapat informasi pasar yang memadai dan disalurkan dengan cepat ke pasar lain sehingga partisipan yang terlibat di kedua tingkat pasar (pasar acuan dan pasar pengikut) memiliki informasi yang sama.

  Sistem Pemasaran (Komoditas Kelapa sawit)

  Penawaran Permintaan

  Distribusi

  Pasar Pedesaan Pasar Nasional (Primary (Primary Demand,

  Supply,Derived Integrasi

  Derived Supply)

  Demand) Pasar Diagram 1. Kerangka Pemikiran

  Ket : = Hubungan .............. = Dampak

  LEMAH KUAT

  Inefisiensi Sistem Pemasaran dalam yang Efisien

  Salah satu syarat sistem pemasaran dikatan efisien apabila dpt memberikan manfaat yang sama baiknya bagi pelaku pasar dan kosumen

2.4 Hipotesis Penelitian

  Sesuai dengan landasan teori yang telah dijelaskan, maka hipotesis penelitian yang akan diuji disusun sebagai berikut : 1)

  Elastisitas transmisi harga TBS kelapa sawit perdesaan Kabupaten Asahan dengan harga Nasional lebih kecil dari satu (Et < 1), dengan kata lain bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat Nasional akan mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani di Kabupaten Asahan.

  2) Integrasi pasar secara vertikal tanda buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar Nasional terjadi dengan lemah.

  3) Pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar Nasional tidak terintegrasi dalam jangka pendek.

  4) Pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar nasional tidak terintegrasi dalam jangka panjang.

Dokumen yang terkait

Integrasi Pasar Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Perdesaan Asahaan Dengan Pasar Nasional(Studi Kasus : Kabupaten Asahan)

4 82 98

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Kacang Kedelai

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Finansial Dan Pemasaran Stroberi Di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo

0 0 18

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Studi Mengenai Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Hortikultura Kabupaten Karo

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Strategi Pengembangan Kud Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 17

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

0 1 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Harga Pokok Tandan Buah Segar (TBS) Tanaman Kelapa Sawit di PT. PD Paya Pinang Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Pengaruh Pemberlakuan Pajak Ekspor Terhadap Harga Domestik Biji Kering Kakao Sumater Utara

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Tataniaga Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 22