Integrasi Pasar Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Perdesaan Asahaan Dengan Pasar Nasional(Studi Kasus : Kabupaten Asahan)

(1)

i

INTEGRASI PASAR TANDAN BUAH SEGAR KELAPA

SAWIT PERDESAAN ASAHAN DENGAN PASAR NASIONAL

SKRIPSI

Oleh :

MARTIN ML PASARIBU 080304046

AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ii

INTEGRASI PASAR TANDAN BUAH SEGAR KELAPA

SAWIT PERDESAAN ASAHAAN DENGAN PASAR

NASIONAL

(Studi Kasus : kabupaten Asahan)

SKRIPSI

Oleh :

MARTIN ML PASARIBU 080304046

AGRIBISNIS

Skripsi Diajukan Untukk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

( Ir. Luhut Sihombing MP ) (Ir. Thomson Sebayang MT NIP. 196510081992031001 NIP.19571115111001

)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

i

RINGKASAN

MARTIN ML PASARIBU (080304046) dengan judul penelitian “INTEGRASI PASAR TBS (TANDAN BUAH SEGAR) KELAPA SAWIT PEDESAAN ASAHAN DENGAN PASAR NASIONAL”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2012 dan dibimbing oleh Ir. Luhut Sihombing, MP

dan Ir. Thomson Sebayang, MT. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui tentang :

1. Elastisitas transmisi harga tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit di Pedesaan Asahan Khususnya Kecamatan Mandoge dengan harga nasional.

2. Integrasi pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit Pedesaan Asahan dengan Pasar nasional

Penentuan daerah penelitian ditentukan secara purposive yaitu Kabupaten Asahan dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan produsen Kelapa sawit terbesar di Sumatera Utara. Selain Kelapa sawit milik perusahaan-perusahaan di daerah ini banyak Tanaman Kelapa sawit yang dimiliki Petani.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan petani Kelapa sawit. Petani yang diwawancara ditentukan secara purposive di lima desa yang mewakili Pedesaan Asahan yang diteliti. Data sekunder yang diambil adalah data sekunder yang bersifat deret waktu (time series). Data sekunder tersebut dikumpulkan melalui pencatatan dari berbagai dokumentasi yang bersumber dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Perkebunan Kabupaten Asahan, BPS (Biro Pusat Statistik), maupun dari instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan komoditi Kelapa Sawit. Selain itu data juga diperoleh dari buku, internet, maupun literatur lainnya yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil sebagai berikut :

1. elastisitas harga tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit di lima desa tidak semua elastis (≥1). Hanya Desa Bandar Pasir Mandoge yang memiliki elastistas >1, dimana setiap perubahan harga di pasar nasinal 1% ditranmisikan lebih besar dari 1% ke tingkat produsen yaitu Desa Bandar Pasir Mandoge. Hal ini berarti petani di Desa B.P. mandoge memperoleh keuntungan dari perubahan harga yang terjadi di tingkat nasional dan pasar B.P mandoge lebih berperan dibandingkan pasar nasional. Sementara untuk ke empat desa lainnya, yaitu Desa Huta Padang, Desa gotting Sidodadi, Desa Silau Jawa dan Desa Suka Makmur memiliki elastisitas transmisi harga lebih kecil satu (<1). Artinya perubahan harga 1% di tingkat nasional mengakibatkan perubahan harga lebih kecil 1% di ke empat desa. Dalam hal ini, pasar nasional lebih berperan dari pada masing- masing ke empat desa. 2. Ingrasi pasar tandan buah segar (TBS) Pedesaan Asahan dengan Pasar

Nasional memiliki hasil yang berbeda, yakni :

• Integrasi pasar vertikal tandan buah segar kelapa sawit relatif sudah kuat di seluruh pasar Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, ini


(4)

ii

menunjukkan sistem pemasaran komoditas tandan buah segar Kelapa Sawit di daerah penelitian sudah efisien.

• Integrasi pasar dalam jangka pendek melemah hampir di seluruh desa. Hal ini ditunjukkan dari setiap desa memiliki index of market connection (IMC) > 1, maka pasar rujukan (pasar nasional) tidak ada koneksi dengan pasar lokal. Sementara untuk integrasi jangka panjang setiap desa dengan pasar nasional dilihat dari t-stat dan t-tabel memiliki integrasi, hal ini dibuktikan dari ke 5 desa memliki stat > t-tabel significant dengan 0, berarti β2≠ 0.


(5)

iii

RIWAYAT HIDUP

MARTIN ML PASARIBU dilahirkan di Onan Bor-bor, sebagai anak pertama dari 4 (empat) bersaudara dalam keluarga Bapak M.Pasaribu dan Ibu M.K.Sianturi.

Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh penulis:

1. Tahun 2002 menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres Senio Bangun Kabupaten Simalungun.

2. Tahun 2005 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Asisi Pematangsiantar.

3. Tahun 2008 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA RK Bintang Timur Pematangsiantar.

4. Tahun 2008 melalui jalur UMB (Ujian Masuk Bersama) diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jurusan Agribisnis dengan Program Studi Agribisnis.

5. Tahun 2012 mengkikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Rawang Baru Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupten Asahan.

6. Tahun 2012 mengadakan penelitian Sripsi di Kelurahan Tiga Runggu Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun.

7. Selama masa perkuliahan penulis mengikuti organisasi Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (IMASEP) dan Kebaktian Mahasiswa Kristen (KMK) USU.


(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Integrasi Pasar TBS (Tandan Buah Segar) Kelapa Sawit Pedesaan Asahan dengan Pasar Nasional . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar integrasi pasar TBS Kelapa Sawit pedesaan Asahan dengan pasar nasional.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Ir. Luhut Sihombing, MP sebagai ketua komisi pembimbing dan bapak

Ir. Thomson Sebayang,MT sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

Dengan penuh sukacita dan rasa sayang penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan saudara-saudara penulis yang tercinta yang telah memberikan dukungan baik bantuan materil dan juga motivasi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman teman di Fakultas Pertanian khususnya Agribisnis’08 yang telah banyak membantu selama pengerjaan dan penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan juga kritik yang membangun yang dapat meningkatkan mutu dari tulisan ini. Akhir kata penulis berharap kiranya tulisan ini dapat bermanfaaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2013 Penulis


(7)

v DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Identifikasi Masalah ... 7

1.3Tujuan Penelitian ... 7

1.4Kegunaan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESI PENELITIAN ... 9

2.1Tinjauan Pustaka ... 9

2.1.1 Tinjauan Agronomi Tanaman Kelapa Sawit ... 9

2.1.2 Tinjauan Ekonomi Tanaman Kelapa Sawit ... 13

2.2Landasan Teori ... 18

2.3Kerangka Pemikiran ... 22

2.4Hipotesis penelitian ... 28

III. METODE PENELITIAN ... 29

3.1Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 29

3.2Metode Pengumpulan Data ... 30

3.3Model Analisis Data ... 31

3.4Defenisi dan Batasan Operasional ... 35

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL ... 38

4.1 Luas dan letak geografis ... 38


(8)

vi

4.3 Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 43

4.4 Sarana dan Prasaran ... 46

4.5 Karakteristik Petani Sampel ... 47

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Elastisitas Transmisi Harga ... 49

5.2 Integrasi Pasar Pedesaan dengan Pasar Nasional ... 52

5.2.1 Integrasi Pasar secara vertikal ... 53

5.2.2 Integrasi Pasar secara Jangka Pendek dan Jangka Panjang ... 60

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1 Kesimpulan ... 70

6.2 Saran ... 70

VII. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

vii

DAFTAR TABEL

No Keterangan Hal.

1. Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat MenurutKabupaten di Sumatera Utara (2010).

29

2. Statistik Geografis dan Iklim Kecamatan B.P. Mandoge 2011 39 3. Statistik Pemerintahan Kecamatan B.P. Mandoge 2011 40

4. Keadaan tata guna lahan tahun 2011 41

5. Jumlah penduduk menurut kelompok umur 2011 42

6. Jumlah penduduk menurut Agama Tahun 2011 43

7. Distribusi penduduk menurut pendidikan Tahun 2011 44 8. Distribusi penduduk menurut mata pencaharian tahun 2011 45 9. Distribusi penduduk menurut suku bangsa tahun 2011 46 10. Sarana dan prasarana Kecamatan Bandar Pasir Mandoge 47

11. Karakteristik Petani Sampel 48

12. Analisis Koefisien elastisitas Transmisi Harga Kelapa Sawit 50 13. Hasil analisis koefisien regresi terhadap integrasi secara vertikal Desa

B.P Mandoge

54 14. Hasil analisis koefisien regresi terhadap integrasi secara vertikal di

Desa Huta Padang

55 15. Hasil analisis koefisien regresi terhadap integrasi secara vertikal di

Desa Gotting Sidodadi

56 16. Hasil analisis koefisien regresi terhadap integrasi secara vertikal di

Desa Silau Jawa

57 17. Hasil analisis koefisien regresi terhadap integrasi secara vertikal di

Desa Suka Makmur

59 18. Hasil perhitungan koefisien regresi terhadap integrasi jangka pendek

dan jangka panjang di Desa B.P. Mandoge

60 19. Hasil perhitungan koefisien regresi terhadap integrasi jangka pendek

dan jangka panjang di Desa Huta Padang

62 20. Hasil perhitungan koefisien regresi terhadap integrasi jangka pendek

dan jangka panjang di Desa Gotting Sidodadi

63 21. Hasil perhitungan koefisien regresi terhadap integrasi jangka pendek

dan jangka panjang di Desa Gotting Sidodadi

65 22. Hasil perhitungan koefisien regresi terhadap integrasi jangka pendek

dan jangka panjang di Desa Gotting Sidodadi


(10)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

No Keterangan

1. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Kelapa Sawit di Kecamatan B.P. Mandoge

2. Data Harga TBS Desa B.P.Mandoge dengan Harga Nasional 3. Data Harga TBS Desa Huta Padang dengan Harga Nasional 4. Data Harga TBS Desa Gotting Sidodadi dengan Harga Nasional 5. Data Harga TBS Desa Silau Jawa dengan Harga Nasional 6. Data Harga TBS Desa Suka Makmur dengan Harga Nasional 7. Hasil Regresi Elastisitas Transmisi Harga

8. Integrasi Pasar Secara Vertikal Antara Pasar Desa Bandar Pasir Mandoge Dengan Pasar Nasional

9. Integrasi Pasar Secara Vertikal Antara Pasar Desa Huta Padang Dengan Pasar Nasional

10.Integrasi Pasar Secara Vertikal Antara Pasar Desa Gotting Sidodadi Dengan Pasar Nasional

11.Integrasi Pasar Secara Vertikal Antara Pasar Desa Silau Jawa Dengan Pasar Nasional

12.Integrasi Pasar Secara Vertikal Antara Pasar Desa Suka Makmur Dengan Pasar Nasional

13.IMC Mandoge 14.IMC Huta Padang 15.IMC Goting sidodadi 16.IMC silau jawa 17.IMC suka makmur


(11)

i

RINGKASAN

MARTIN ML PASARIBU (080304046) dengan judul penelitian “INTEGRASI PASAR TBS (TANDAN BUAH SEGAR) KELAPA SAWIT PEDESAAN ASAHAN DENGAN PASAR NASIONAL”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2012 dan dibimbing oleh Ir. Luhut Sihombing, MP

dan Ir. Thomson Sebayang, MT. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui tentang :

1. Elastisitas transmisi harga tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit di Pedesaan Asahan Khususnya Kecamatan Mandoge dengan harga nasional.

2. Integrasi pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit Pedesaan Asahan dengan Pasar nasional

Penentuan daerah penelitian ditentukan secara purposive yaitu Kabupaten Asahan dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan produsen Kelapa sawit terbesar di Sumatera Utara. Selain Kelapa sawit milik perusahaan-perusahaan di daerah ini banyak Tanaman Kelapa sawit yang dimiliki Petani.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan petani Kelapa sawit. Petani yang diwawancara ditentukan secara purposive di lima desa yang mewakili Pedesaan Asahan yang diteliti. Data sekunder yang diambil adalah data sekunder yang bersifat deret waktu (time series). Data sekunder tersebut dikumpulkan melalui pencatatan dari berbagai dokumentasi yang bersumber dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Perkebunan Kabupaten Asahan, BPS (Biro Pusat Statistik), maupun dari instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan komoditi Kelapa Sawit. Selain itu data juga diperoleh dari buku, internet, maupun literatur lainnya yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil sebagai berikut :

1. elastisitas harga tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit di lima desa tidak semua elastis (≥1). Hanya Desa Bandar Pasir Mandoge yang memiliki elastistas >1, dimana setiap perubahan harga di pasar nasinal 1% ditranmisikan lebih besar dari 1% ke tingkat produsen yaitu Desa Bandar Pasir Mandoge. Hal ini berarti petani di Desa B.P. mandoge memperoleh keuntungan dari perubahan harga yang terjadi di tingkat nasional dan pasar B.P mandoge lebih berperan dibandingkan pasar nasional. Sementara untuk ke empat desa lainnya, yaitu Desa Huta Padang, Desa gotting Sidodadi, Desa Silau Jawa dan Desa Suka Makmur memiliki elastisitas transmisi harga lebih kecil satu (<1). Artinya perubahan harga 1% di tingkat nasional mengakibatkan perubahan harga lebih kecil 1% di ke empat desa. Dalam hal ini, pasar nasional lebih berperan dari pada masing- masing ke empat desa. 2. Ingrasi pasar tandan buah segar (TBS) Pedesaan Asahan dengan Pasar

Nasional memiliki hasil yang berbeda, yakni :

• Integrasi pasar vertikal tandan buah segar kelapa sawit relatif sudah kuat di seluruh pasar Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, ini


(12)

ii

menunjukkan sistem pemasaran komoditas tandan buah segar Kelapa Sawit di daerah penelitian sudah efisien.

• Integrasi pasar dalam jangka pendek melemah hampir di seluruh desa. Hal ini ditunjukkan dari setiap desa memiliki index of market connection (IMC) > 1, maka pasar rujukan (pasar nasional) tidak ada koneksi dengan pasar lokal. Sementara untuk integrasi jangka panjang setiap desa dengan pasar nasional dilihat dari t-stat dan t-tabel memiliki integrasi, hal ini dibuktikan dari ke 5 desa memliki stat > t-tabel significant dengan 0, berarti β2≠ 0.


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana tercermin dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya terhadap perolehan devisa. Sebagai salah satu penggerak utama perekonomian, pembangunan sektor pertanian setidaknya telah mampu memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi yang mendasar, khususnya dalam memperluas lapangan kerja, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, pemerataan pendapatan dan mempercepat pengentasan kemiskinan (Jiaravanon, 2007).

Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani, sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, pemicu dari pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru, kelapa sawit juga berperan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya industri hilir berbasis minyak sawit di Indonesia

Kelapa Sawit di Indonesia dewasa ini merupakan komoditas primadona, luasnya terus berkembang dan tidak hanya merupakan monopoli perkebunan besar negara


(14)

2

atau perkebunan swasta. Saat ini perkebunan rakyat sudah berkembang dengan pesat (Risza S,1994).

Dilihat dari pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit di Indonesia ada tiga, yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta. Dari ketiga jenis perkebunan tersebut tentu memiliki pola pemasaran produk kelapa sawit yang berbeda pula (Fauzi dkk, 2002).

Melihat perkembangan pasar kelapa sawit, dewasa ini laju perkembangan pemasaran minyak sawit cukup meningkat. Diantara jajaran minyak nabati utama di dunia, antara lain minyak kedelai, bunga matahari, lobak, zaitun dan kelapa hibrida munculnya minyak sawit dalam pemasaran dengan cepat dan pesat mampu mengisi dan bersaing dengan minyak nabati yang lain (Fauzi dkk,2002).

Dengan melihat perkembangan tersebut sangatlah perlu untuk memahami teori pasar. Dalam ilmu ekonomi pengertian pasar tidak harus dikaitkan dengan suatu tempat yang dinamakan pasar dalam pengertian sehari-hari. Suatu pasar adalah di mana saja terjadi transaksi antara penjual dan pembeli. Pasar adalah tempat bertemunya pihak penjual dan pembeli untuk mengadakan transaksi di mana proses jual beli terbentuk. Pasar sebagai suatu tempat di mana menggambarkan pertemuan antara permintaan dan penawaran. Pada awalnya pengertian pasar terbatas pada tempat berlangsungnya jual beli aneka jenis barang. Dalam pengertian yang lebih umum pasar merupakan suatu wujud abstrak dari suatu mekanisme ketika pihak penjual dan pembeli bertemu mengadakan kegiatan tukar-menukar. Karakter yang paling penting adalah pembeli dan penjual yang bertemu dan tercipta transaksi yang melibatkan harga dan kuantitas. Jadi, pasar


(15)

3

adalah suatu mekanisme pada saat penjual dan pembeli suatu komoditas mengadakan interaksi untuk menentukan harga dan kuantitasnya (permintaan & penawaran). Harga-harga mengkoordinir segenap keputusan konsumen dan produsen di suatu pasar.

Pasar juga memiliki jenis-jenis yang sering digambarkan dalam struktur pasar. Struktur pasar ialah karakteristik organisasi pasar yang mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Unsur-unsur struktur pasar meliputi: konsentrasi, differensiasi produk, ukuran perusahaan, hambatan masuk, dan integrasi vertikal serta diversifikasi. Struktur pasar menggambarkan tingkat persaingan di suatu pasar barang atau jasa tertentu. Suatu pasar terdiri dari seluruh perusahaan dan individu yang ingin dan mampu untuk membeli serta menjual suatu produk tertentu. Pasar dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam yakni, pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, dan pasar monopolistik. Masing-masing bentuk pasar mempunyai konsekuensi yang berbeda terhadap pembentukan harga dan output di pasar (Lincolin Arsyad, 2000; AriSumarman, 1986).

Struktur pemasaran produk pertanian banyak mengarah ke persaingan tidak sempurna dengan fungsi distribusi produk dan penentuan harga didominasi oleh pedagang pengumpul. Sementara perilaku pemasaran tergolong tidak efisien sebagai akibat proses penentuan harga tidak transparan dan adanya kolusi antar pedagang dalam penentuan harga beli di tingkat petani. Sebagai akibat dari struktur dan perilaku pasar tersebut maka distribusi tidak merata, keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pedagang pengumpul, dan bagian harga yang diterima petani relatif kecil (Lincolin Arsyad, 2000).


(16)

4

Dalam pemasarannya sebagian besar produsen tidak menjual langsung barang-barang ke konsumen akhir, begitu juga konsumen tidak membeli kebutuhannya langsung kepada produsen. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan adanya saluran pasar yang akan menyampaikan barang dari produsen ke konsumen dan akan melibatkan lembaga-lembaga tataniaga seperti agen, pedagang pengumpul, pedagang pengecer, processor, dan sebagainya. Saluran pemasaran yang panjang dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak efisiennya sistem pemasaran, sedangkan faktor lain yang menyebabkan tidak efisien atau tidaknya sistem pemasaran yaitu keuntungan pemasaran, harga yang diterima konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan kompetisi pasar. (Soekartawi, 1984).

Terlibatnya lembaga-lembaga tataniaga ini terkadang mengakibatkan ketidakefisienan rantai tataniaga. Sebagai contoh harga TBS di tingkat nasional adalah Rp.1.800 tetapi harga yang diterima petani adalah Rp.1000 – Rp.1.100. Hal ini yaang sering sekali menjadi masalah bagi petani. Terlalu banyak pedagang-pedagang pengumpul (middleman) mengakibatkan harga yang diterima petani semakin kecil. Harga jual yang sangat rendah ditingkat petani sementara ongkos produksi sangat tinggi. Peran pemerintah dalam pengawasan saluran ini sangat dibutuhkan. Penetapan peraturan serta batasan-batasan yang mengacu pada kesejahteraan petani di tingkat pedesaan.

Adanya saluran-saluran pemasaran sering sekali mengalami ketidakefisienan. Ketika harga di tingkat nasional meningkat justru harga di tingkat pedesaan tetap atau bahkan merurun atau sebaliknya. Untuk melihat suatu pasar efisien atau tidak dapat dilihat melalui integrasi pasar. Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan salah satu indikator dari efisiensi pemasaran, khususnya efisiensi harga.


(17)

5

Asmarantaka (2009) menyatakan bahwa integrasi pasar merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (pasar pada tingkat yang lebih tinggi seperti pedagang eceran) akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pasar pengikutnya (misalnya pasar di tingkat petani). Dengan demikian analisis integrasi pasar sangat erat kaitannya dengan analisis struktur pasar.

Suatu tingkatan pasar dikatakan terpadu atau terintegrasi jika perubahan harga pada salah satu tingkat pasar disalurkan atau ditransfer ke pasar lain. Dalam struktur pasar persaingan sempurna, perubahan harga pada pasar acuan akan ditransfer secara sempurna (100%) ke pasar pengikut, yakni di tingkat petani. Integrasi pasar akan tercapai jika terdapat informasi pasar yang memadai dan disalurkan dengan cepat ke pasar lain sehingga partisipan yang terlibat di kedua tingkat pasar (pasar acuan dan pasar pengikut) memiliki informasi yang sama ( Fadhla, 2008).

Analisis terhadap keterpaduan (integrasi) pasar sangat penting karena (1) pengetahuan tentang integrasi pasar akan mempermudah pengawasan terhadap perubahan harga (2) digunakan untuk memperbaiki rencana kebijakan pemerintah sehingga tidak ada duplikasi intervensi (3) digunakan untuk memprediksi harga-harga di semua negara (tidak hanya pasar lokal tapi juga pasar dunia) dan (4) digunakan sebagai dasar untuk merumuskan jenis infrastruktur pemasaran yang lebih relevan untuk pengembangan pasar pertanian ( Fadhla, 2008).

Adapun pasar dapat terintegrasi atau tidak akan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) infrastruktur pasar, meliputi: transportasi, komunikasi,


(18)

6

kredit dan fasilitas penyimpanan yang ada di pasar, (2) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem pemasaran, misalnya: pengetatan perdagangan, regulasi-regulasi kredit dan regulasi-regulasi-regulasi-regulasi transportasi, (3) ketidakseimbangan produksi antar daerah sehingga terdapat pasar surplus (hanya mengekspor ke pasar lain) dan pasar defisit (hanya mengimpor dari pasar lain) dan (4) supply shock seperti banjir, kekeringan, penyakit akan mempengaruhi kelangkaan produksi yang terlokalisasi sedangkan hal-hal tak terduga lain seperti aksi mogok akan mempersulit transfer komoditi (Anindita, 2004).

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka disusun permasalahan sebagai berikut :

1) Bagaimana elastisitas transmisi harga tandan buah segar (TBS) di perdesaan Asahan?

2) Bagaimana integrasi pasar tandan buah segar (TBS) antara pasar perdesaan Asahan dengan pasar TBS Nasional?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan identifikasi masalah di atas maka tujuan penelitian adalah : 1) Untuk menjelaskan elastisitas transmisi harga tandan buah segar (TBS)

Perdesaan Asahan

2) Untuk Menjelaskan integrasi pasar tandan buah segar (TBS) antara pasar perdesaan Asahan dengan pasar Nasional

1.4 Kegunaan Penelitian

1) Sumbangan bagi pengambil kebijakan dalam masalah efisiensi pemasaran Tandan Buah Segar Kelapa Sawit.


(19)

7

2) Sebagai bahan informasi dan referensi serta studi bagi pihak-pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penelitian mengenai Integrasi Pasar.


(20)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Tinjauan Agronomi Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848, saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mamitius dan Amsterdam lalu ditanam di kebun Raya Bogor. Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet (orang Belgia). Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 Ha (Rephi,2007).

Pada tahun 1919 Indonesia mengekspor minyak sawit sebesar 576 ton dan pada tahun 1923 mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor Negara Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawitpun di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948 / 1949, pada hal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit. Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pemerintah mengambil alih perkebunan (dengan alasan politik dan keamanan).


(21)

9

Untuk mengamankan jalannya produksi, pemerintah menugaskan perwira militer di setiap jenjang manajemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yang merupakan kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit menurun dan posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia (Rephi,2007).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) (Rephi,2007).

Kelapa sawit atau bahasa globalnya oil palm, bila diartikan secara harfiah adalah golongan tanaman keras penghasil minyak nabati. Di dunia ini ada 3 species golongan tanaman penghasil minyak nabati tersebut. Pertama, adalah Elaeis quinensis Jacg., yang banyak ditanam di Indonesia; kedua, Elaeis oleifera atau Elaeis melanoca dan ketiga adalah Elaies odora atau Baecella odora (Corley, 1976). Dari ketiga spesies tersebut yang banyak ditanam adalah Elaies quinensis Jacg (Syamsulbahri, 1996).


(22)

10

Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang berfungsi ganda yaitu selain sebagai tanaman yang bernilai ekonomis tinggi, sumber pendapatan, lapangan pekerjaan, pendapatan ekspor non migas (nilai ekspor minyak sawit lebih besar dari nilai ekspor hasil pertanian liluar minyak sawit), sebagai salah satu sembako, juga sebagai media untuk melestarikan alam dan lingkungan, antara lain untuk konservasi sumber air tanah, pencegahan tanah longsor, produksi oksigen (O2), penyerapan emisi karbon dioksida (CO2) dan permintaan akan bio diesel akan meningkat secara signifikan sebagai implementasi dari kebijakan energi nasional (Rephi,2007).

Selain itu juga perkebunan kelapa sawit mempunyai kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi ( 251,9 ton/ha/th) ini sangat berguna dalam mengurangi konsentrasi CO2 di udara akibat meningkatnya gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim di bumi. Di alam, meningkatnya gas rumah kaca di dorong oleh meningkatnya emisi CO2 yang menahan energi surya di atmosfir, sehingga suhu atmosfir meningkat. Sektor industri memegang peranan terbesar dalam emisi karbon dioksida, sedangkan kontribusi sektor pertanian hanya kecil saja, bahkan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang banyak di tentang oleh LSM di Eropa dan Amerika karena dianggap sebagai penyebab deforestasi dan merusak lingkungan hutan, pada aspek ekofisiologis ternyata membawa keuntungan karena kemampuan fiksasi CO2, kemampuan produksi O2 (183,2 ton/ha/th) dan biomassa (C) yang tinggi (Rephi,2007).

Produksi biomassa perkebunan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tropis. Limbah kelapa sawit baik pohon, pelepah, tandan buah kosong dan


(23)

11

cangkang merupakan sumber energi yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar nabati dan menekan penggunaan bahan bakar fosil, sehingga secara signifikan akan menurunkan emisi (Rephi,2007).

Kelapa sawit dan produk turunannya merupakan sumber devisa bagi negara ini, karena perlu adanya upaya untuk memelihara dan mengembangkan kesinambungan peningkatan kelapa sawit sebagai sumber daya alam yang potensial. Tingginya permintaan minyak sawit oleh masyarakat dunia, membuat Indonesia mengikrarkan rencana mengembangkan perkebunan kelapa sawit yang terbesar dan bertekat menjadi penghasil minyak sawit di dunia. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir kelapa sawit di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat/petani atau pelaku perkelapasawitan bersemangat mengembangkan tanaman kelapa sawit. Sampai dengan saat ini luas areal kelapa sawit 8,4 juta hektar dengan produksi CPO sebesar 19,8 juta ton yang tersebar hampir di seluruh provinsi wilayah Indonesia. Dimana tahun 2006 produksi 17.350.848 ton, tahun 2007 produksi 17.664.725 ton, tahun 2008 produksi sebesar 17.539.788 ton, tahun 2009 produksi sebesar 19.324.293 ton dan pada tahun 2010 produksi sebesar 19.760.001 ton. (Rephi,2007).

2.1.2. Tinjauan Ekonomi Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit mempunyai nilai yang sangat penting bagi kehidupan manusia sehari-hari, hal ini terutama tampak pada kebutuhan akan minyak nabati. Banyak tanaman lain yang dapat dijadikan sumber minyak nabati, seperti kelapa, kacang kedele dan lain-lain. Namun demikian kelapa sawit adalah penyumbang minyak nabati terbesar di dunia. Di kawasan Asia Tenggara, kebutuhan minyak


(24)

12

nabati sebagian besar diperoleh dari minyak sawit, sedangkan kelapa hanya menyumbangkan sekitar 1/3 saham minyak sawit.

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa minyak kelapa sawit memiliki keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Beberapa keunggulan minyak sawit antara lain sebagai berikut :

1) Tingkat efisiensi minyak sawit tinggi sehingga mampu menempatkan CPO menjadi sumber minyak nabati termurah. Produksi minyak sawit tinggi yaitu 3,2 ton/Ha, sedangkan minyak kedelai, lobak, kopra, dan minyak bunga matahari masing-masing 0,34; 0,51; 0,57, dan 0,53 ton/Ha.

2) Sifat intergreablenya cukup menonjol dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, karena memiliki keluwesan dan keluasan dalam ragam kegunaan baik di bidang pangan maupun nonpangan.

3) Sekitar 80% dari penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak terutama minyak yang harganya murah (minyak sawit).

4) Terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang berbahan baku CPO, terutama di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat.

Pada dasarnya ada dua macam hasil olahan utama pengolahan TBS di pabrik, yaitu :

• Minyak sawit yang merupakan hasil pengolahan daging buah.


(25)

13

Semua kegiatan dilapangan akan bermuara pada panen atau produksi TBS dan semua kegiatan di pabrik akan bermuara pada produksi CPO dan inti sawit. Suatu sistem yang tersusun rapi harus disiapkan mulai dari pemanenan, pengumpulan TBS, transportasi ke pabrik, pengolahannya, penimbunan hasil sampai pemasaran atau penjualannya. Jika salah satu mata rantai terputus atau tertunda maka akan berpengaruh terhadap seluruh proses.

Secara historis pertumbuhan produksi minyak sawit dunia selama dua dasawarsa terakhir ini mengalami kenaikan sekitar 7,3 % pertahun. Perkembangan minyak sawit dunia ini sangat dipengaruhi oleh produksi minyak sawit Negara Malaysia dan Indonesia yang memberikan kontribusi sebesar 80 % dari produksi dunia. Berdasarkan data oil word diperkirakan produksi CPO lima tahun ke depan akan meningkat tapi lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi masyarakat dunia. Sehingga kondisi seperti ini akan membawa kondisi investasi menjadi baik. Tingkat produksi CPO dunia masih dikuasai oleh Malaysia dengan penguasaan 50 % market dunia, sedangkan Indonesia berada pada tingkat kedua dengan 30 % penguasaan pasar dunia.

Saat ini Indonesia dan Malaysia merupakan produsen utama CPO dunia dengan menguasai lebih dari 80 % pangsa pasar. Negara-negara produsen lainnya, seperti Nigeria, Kolombia, Thailand, Papua Nugini, dan bahkan Pantai Gading, boleh dikatakan hanya menjadi pelengkap. Malaysia menempati peringkat teratas dengan volume produksi pada 2003 mencapai 13,35 juta ton. Sementara Indonesia masih 9,75 juta ton. Menurut ramalan Oil World, volume produksi CPO Indonesia pada 2010 bakal mencapai 12 juta ton. Namun, agaknya ramalan itu bakal meleset. Sebab, pada 2004 saja volume produksi CPO Indonesia sudah mencapai


(26)

14

11,5 juta ton. Itu sebabnya banyak kalangan optimistis volume produksi CPO Indonesia bakal segera mengalahkan Malaysia, terlebih jika melihat luas lahan di Malaysia yang kian terbatas, sementara di Indonesia masih begitu luas.

Produksi minyak sawit (CPO) di dalam negeri diserap oleh industri pangan terutama industri minyak goreng dan industri non pangan seperti industri kosmetik dan farmasi. Namun, potensi pasar paling besar adalah industri minyak goreng. Potensi tersebut terlihat dari semakin bertambahnya jumlah penduduk yang berimplikasi pada pertambahan kebutuhan pangan terutama minyak goreng. Sampai tahun 1997 produksi minyak goreng Indonesia baru mencapai 3,1 juta ton dengan kontribusi minyak goreng sawit 2,3 juta ton (74 %). Kebutuhan untuk memproduksi minyak goreng sawit sebesar itu memerlukan 3,3 juta ton minyak sawit.

Berbagai hasil penelitian mengenai integrasi pasar kelapa sawit yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut :

Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga BBM Dunia oleh Yunita (2007). Menggunakan metode pengolahan Vector Auoregression (VAR). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pasar CPO dunia terintegrasi dengan pasar CPO, minyak goreng, dan TBS domestik. Pasar CPO dunia berperan sebagai penentu harga, sedangkan pasar domesik berperan sebagai pengikut harga. Pada pasar domestik, terjadi integrasi pasar antara pasar CPO dengan pasar TBS domestik. Dimana pasar CPO domestik adalah penentu harga bagi pasar TBS domestik. Tarif ekspor CPO yang ditetapkan pemerintah ternyata tidak berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa tarif


(27)

15

ekspor yang berlaku tidak efektif, karena tarif ekspor yang tinggi dapat meminimumkan penghasilan produsen dan eksortir CPO, serta petani, harga BBM dunia berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi.

Penelitian Arifandi (2008), menunjukkan bahwa ketika harga CPO Internasional naik sebesar 1 %, maka harga CPO Domestik naik sebesar 0,983 %, sedangkan harga minyak goreng Domestik naik sebesar 1,016 %. Jaldi (2007), menunjukkan bahwa (1) perubahan harga sebesar 1% di tingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar -0,34% di tingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO ekspor PTPN IV. Hal ini disebabkan, karena adanya peningkatan input, seperti harga bahan baku (TBS), harga solar dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO dan lemahnya posisi tawar PTPN IV, serta hal-hal yang bersifat politis, yaitu hubungan diplomatik indonesia dengan negara pengimpor CPO. (2) perubahan harga sebesar 1% di tingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 0,59% di tingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO Domestik PTPN IV. Hal ini disebabkan, karena adanya kenaikkan input, seperti bahan baku (TBS), harga solar pabrik dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO dan lemahnya posisi tawar PTPN IV.

2.2. Landasan Teori

Konsep supply chain (rantai penawaran) merupakan konsep baru dalam melihat persoalan logistik. Konsep lama melihat logistik sebagai persoalan intern masing-masing perusahaan dan pemecahannya dititik beratkan pada pemecahan secara intern di perusahaan masing-masing. Dalam konsep baru ini, masalah logistik dilihat sebagai masalah yang lebih luas dan terbentang sangat panjang mulai dari bahan baku sampai produk jadi yang digunakan oleh konsumen akhir. Konsep


(28)

16

rantai penawaran yang relatif baru sebetulnya tidak sepenuhnya baru karena konsep tersebut merupakan perpanjangan dari konsep logistik. Hanya manajemen logistik lebih terfokus pada pengaturan aliran di dalam suatu perusahaan, sedangkan manajemen rantai penawaran menganggap bahwa integrasi dalam suatu perusahaan tidaklah cukup. Integrasi harus dicapai untuk seluruh mata rantai pengadaan barang, mulai dari yang paling hulu sampai dengan yang paling hilir. Oleh karena itu, rantai penawaran terfokus pada pengaturan aliran barang antar perusahaan yang terkait, dari hulu sampai hilir bahkan sampai pada konsumen terakhir (Isnanto, 2009).

Kohl dan Uhl (1980) mendefinisikan pemasaran sebagai tampilan aktivitas bisnis yang terlibat dalam arus barang dan jasa dari pintu gerbang usahatani sampai ke tangan konsumen. Menurut Saefuddin (1982) bahwa pemasaran merupakan aktivitas yang berkaitan dengan bergeraknya barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Berdasarkan definisi tersebut, maka tujuan dari pada pemasaran adalah agar barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh petani maupun perusahaan sebagai produsen sampai ke konsumen. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan agar barang dan jasa dapat berpindah dari sektor produksi ke sektor konsumsi disebut sebagai fungsi pemasaran.

Pasar akan memeragakan fungsinya secara efisien jika memanfaatkan semua informasi yang tersedia. Dengan kata lain, jika pasar menggunakan harga yang lalu ( past prices) secara tepat dalam penentuan harga pada saat ini (current price determination), maka sistem pemasaran yang berlaku dapat dikategorikan efisien. Dalam sistem tersebut, informasi harga dan kemungkinan substitusi produk antar pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan


(29)

17

pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar dapat mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi ini menunjukkan keberadaan integrasi pasar yang merupakan salah satu indikator penting dalam efisiensi sistem pemasaran (Heytens, 1986).

Elastisitas transmisi harga merupakan rasio perubahan persentase dari harga di tingkat pengecer/pemasar/konsumen (Y) dengan perubahan harga di tingkat petani/produsen (X), yang bertujuan untuk menjelaskan berapa besar perubahan harga di pasar pengecer/pemasar/konsumen (Y) akibat terjadinya perubahan harga sebesar satu satuan unit di pasar petani/produsen (X). Dari hubungan tersebut secara tidak langsung dapat diperkirakan tingkat keefektifan suatu informasi pasar, bentuk pasar dan efektifan sistem pemasaran.

Apabila elastisitas transmisi harga lebih kecil dari satu (Et < 1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani dan bentuk pasar mengarah ke Monopsoni. Apabila elastisitas transmisi harga sama dengan satu (Et = 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 1% di tingkat petani dan merupakan pasar persaingan sempurna. Apabila elastisitas transmisi harga lebih besar dari satu (Et > 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga lebih besar dari 1% di tingkat petani dan bentuk pasarnya mengarah ke Monopoli. Elastisitas transmisi harga umumnya bernilai lebih kecil satu. Apabila nilai Et suatu pasar lebih tinggi dari pasar yang lain, berarti pasar tersebut lebih efisiensi karena perubahan harga (fluktuasi) di tingkat produsen ditransmisikan dengan lebih sempurna ke konsumen (Silitonga, 1999).


(30)

18

Beberapa definisi integrasi pasar telah dikemukakan pada berbagai studi terdahulu. Harris (1979) mengindikasikan integrasi pasar sebagai keterpaduan diantara beberapa pasar yang memiliki korelasi harga tinggi. Ravallion (1986) mengemukakan bahwa pasar-pasar secara spasial terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan di antara pasar-pasar tersebut. McNew (1996) membatasi integrasi pasar sebagai kondisi ekuilibrium spasial efisien yang dicerminkan oleh adanya kejutan (shock) pada pasar tertentu yang secara sempurna ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Sejalan dengan pandangan ini, Goodwin dan Schroeder (1991) menggambarkan integrasi pasar berkaitan dengan lokasi-lokasi spasial yang memiliki perubahan harga one-to-one. Lebih jauh lagi, Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke harga yang terjadi di pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang (Muwanga dkk, 1997).

Integrasi pasar tergolong menjadi 2, yaitu yang meliputi integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi vertikal merupakan penggabungan proses dan fungsi dua atau lebih lembaga pemasaran pada tahap distribusi ke dalam satu sistem manajemen. Sedangkan integrasi horizontal adalah penggabungan dua atau lebih lembaga pemasaran yang melakukan fungsi yang sama pada tahap distribusi yang sama pula ke dalam satu sistem manajemen. Dua pasar dikatakan terintegrasi secara vertikal apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan atau di transmisikan ke pasar lain. Hal tersebut sesuai dengan struktur pasar persaingan


(31)

19

sempurna, dimana perubahan harga acuan diteruskan secara sempurna ke pasar pengikut (tingkat petani). Dengan demikian, integrasi vertikal dapat digunakan sebagai indikator. Sedangkan integrasi pasar secara horizontal digunakan untuk melihat apakah mekanisme harga berjalan secara serentak atau tidak (Kusnadi dkk, 2009).

2.3 Kerangka Pemikiran

Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati kelapa sawit yang disebut dengan CPO (Crude Palm Oil). CPO merupakan hasil olahan dari TBS (Tandan Buah Segar), yang dimana CPO dan TBS mempunyai nilai yang disebut dengan harga. Dalam kaitannya dengan pemasaran, harga ini di indikasikan mengalami perubahan harga.

Petani kelapa sawit dalam melakukan usaha taninya pasti akan menjual hasil usaha taninya. Dalam melakukan proses jual beli petani tidak dapat ikut serta dalam menentukan harga TBS melainkan pembeli yang menentukan harga tersebut. Hal ini dapat membuat harga jual tersebut tidak sesuai dengan keinginan petani kelapa sawit. Indikasi dari petani mempunyai posisi tawar tinggi dan rendah tergantung dari negosiasi petani dengan pembeli. Jika petani dan agen sama- sama menentukan harga dengan negosiasi makanya posisi tawar petani tinggi. Jika petani tidak ikut serta dalam menentukan harga maka posisi tawar petani lemah.

Suatu pasar dapat dikatakan sempurna dilihat dari integrasi pasar dan elastisitas transmisi harga yang terjadi. Integrasi harga dikatakan sempurna, jika pembentukan harga ditingkat petani dengan ditingkat PKS (Nasional) bernilai


(32)

20

sama dengan satu. Sama halnya dengan elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap TBS di tingkat petani yang mengacu pada harga CPO Internasional bernilai sama dengan satu. Ini di karenakan harga CPO Domestik di pengaruhi oleh harga internasional, dimana ketika harga CPO Internasional mengalami peningkatan harga jual, maka harga CPO Domestik akan mengalami peningkatan harga jual pula sesuai dengan harga dalam satu mata uang (kurs).

Jika ini berjalan dengan baik, maka akan terbentuk keadaan harga yang seimbang, sehingga elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap harga TBS ditransmisikan dengan sempurna. Apabila hukum ini tidak berjalan baik, maka elastisitas transmisi harga yang terjadi tidak ditransmisikan dengan sempurna dan akan mengakibat dampak pada harga TBS yang diterima oleh petani kelapa sawit.

Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan salah satu indikator dari efisiensi pemasaran, khususnya efisiensi harga. Integrasi pasar merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (pasar pada tingkat yang lebih tinggi seperti pedagang eceran) akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pasar pengikutnya (misalnya pasar di tingkat petani). Dengan demikian analisis integrasi pasar sangat erat kaitannya dengan analisis struktur pasar.

Dua tingkatan pasar dikatakan terpadu atau terintegrasi jika perubahan harga pada salah satu tingkat pasar disalurkan atau ditransfer ke pasar lain. Dalam struktur pasar persaingan sempurna, perubahan harga pada pasar acuan akan ditransfer secara sempurna (100%) ke pasar pengikut, yakni di tingkat petani. Integrasi pasar akan tercapai jika terdapat informasi pasar yang memadai dan disalurkan dengan


(33)

21

cepat ke pasar lain sehingga partisipan yang terlibat di kedua tingkat pasar (pasar acuan dan pasar pengikut) memiliki informasi yang sama.


(34)

22

Diagram 1. Kerangka Pemikiran

Ket : = Hubungan

... = Dampak

Sistem Pemasaran (Komoditas Kelapa

sawit)

Permintaan Penawaran

Distribusi

Pasar Nasional

(Primary Demand, Derived Supply)

Pasar Pedesaan

(Primary Supply,Derived

Demand)

Integrasi Pasar

LEMAH KUAT

Inefisiensi

dalam Sistem Pemasaran yang Efisien

Salah satu syarat sistem pemasaran dikatan efisien apabila dpt memberikan manfaat yang sama baiknya bagi pelaku


(35)

23 2.4 Hipotesis Penelitian

Sesuai dengan landasan teori yang telah dijelaskan, maka hipotesis penelitian yang akan diuji disusun sebagai berikut :

1) Elastisitas transmisi harga TBS kelapa sawit perdesaan Kabupaten Asahan dengan harga Nasional lebih kecil dari satu (Et < 1), dengan kata lain bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat Nasional akan mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani di Kabupaten Asahan.

2) Integrasi pasar secara vertikal tanda buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar Nasional terjadi dengan lemah.

3) Pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar Nasional tidak terintegrasi dalam jangka pendek.

4) Pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar nasional tidak terintegrasi dalam jangka panjang.


(36)

24

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Sampel

Penelitian dilakukan di Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive artinya dengan penentuan daerah secara sengaja. dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Asahan memiliki hasil produksi Kelapa Sawit tertinggi diantara kabupaten lain di Provinsi Sumatera Utara. Berikut ini ditampilkan data luas tanaman dan produksi Kelapa sawit setiap kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.

Tabel. 1 Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat Menurut Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara (2010).

No Kabupaten Luas Tanaman / Area (Ha) Produksi TBS

(Ton)

TBM TM TTM Jumlah

1 2 3 4 5 6

1 Nias - - - - -

2 Mandailing Natal 4. 958,67 10. 100,50 3,62 15. 062,79 17.0 474,64 3 Tapanuli Selatan 2. 091,25 2. 889,50 29,50 5. 010,25 46. 517,88 4 Tapanuli tengah 1. 348,00 1. 554,00 13,00 2. 915,00 26. 980,00

5 Tapanuli Utara 19,50 5,50 14,25 39,25 25,32

6 Toba Samosir 116,50 677,00 10,00 803,60 12. 413,00

7 Labuhan Batu 2. 287,89 31. 190,10 - 33 477,00 428. 698,00

8 Asahan 10. 925,89 58. 904,10 625,48 70. 455,47 939. 305,91

9 Simalungun 2. 402,85 24. 944,86 3,10 27. 350,81 507. 949,41

10 Dairi 59,00 104,00 - 163,00 893,50

11 Karo 240,00 972,00 - 1. 212,00 16. 120,00

12 Deli Serdang 3. 204,70 10. 327,15 217,00 13. 748,85 158. 289,68 13 Langkat 3. 625,00 37. 621,00 346,00 41. 592,00 570. 775,60

14 Nias Selatan - - - - -

15 Hbg Hasundutan 180,00 182,50 25,00 387,50 352,50

16 Pakpak Barat 534,00 731,60 153,00 1. 418,60 1. 840,95

17 Samosir - - - - -

18 Serdang Bedagai 2. 514,76 9. 456,48 - 11. 971,24 150. 269,71 19 Batu Bara 1. 883,50 8. 445,00 419,00 10. 747,50 70. 876,36 20 Padang Lawas

Utara

8. 228,00 16. 610,00 94,00 24. 932,00 261. 372,26 21 Padang Lawas 6. 554,30 24. 802,80 85,00 31. 442,10 389. 719,60 22 Labuhan Batu

Selatan

1. 719,00 36. 065,00 - 37. 784,00 507. 213,00 23 Labuhan Batu

Utara

3. 974,00 59. 558,00 612,00 64. 144,00 824. 079,50

24 Nias Utara - - - - -

25 Nias Barat - - - - -


(37)

25 3.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang diambil adalah data sekunder yang bersifat deret waktu (time series). Data sekunder tersebut dikumpulkan melalui pencatatan dari berbagai dokumen yang bersumber dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Perkebunan Kabupaten Asahan, BPS (Biro Pusat Statistik), maupun dari instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan komoditi Kelapa Sawit. Selain itu data juga diperoleh dari buku, internet, maupun literatur lainnya yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Data time series yang digunakan adalah jangka waktu 3 tahun yakni dari tahun 2008-2010 (dalam waktu bulanan). Data yang digunakan adalah :

1. Luas tanaman Kelapa Sawit dan Produksi Tandan buah segar (TBS) di daerah penelitian

2. Harga tandan buah segar (TBS) di pasar produsen (harga di tingkat petani pedesaan) harga tandan buah segar (TBS) di pasar konsumen (harga ditingkat pabrik)

Untuk mewakili harga pasar Nasional yaitu harga di tingkat pabrik yang dipilih Pabrik Kelapa Swit (PKS) yang produksinya terbesar di Provinsi Sumatera Utara. Selain data sekunder, data primer berupa harga di tingkat petani diperoleh dari petani, metode penentuan sampel ini dilakukan dengan sampling insidental (sampel kebetulan). sampel yang ditemui adalah yang berdomisili di desa-desa penghasil tandan buah segar terbesar di Kabupaten Asahan. Untuk mendapatkan informasi dan data dari petani yaitu harga tandan buah segar di pedesaan peroleh dengan melakukan wawancara kepada petani Kelapa Sawit dengan bantuan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya.


(38)

26

Teknik purposive diterapkan pada penentuan lokasi (kecamatan dan desa). Kecamatan Bandar Pasir Mandoge dipilih sebagai kecamatan sampel karena merupakan daerah produsen TBS Kelapa Sawit rakyat yang terbesar . Selanjutnya, di kecamatan dipilih desa-desa sebagai sampelyaitu Desa B.P Mandoge, Desa Huta Padang, Desa Gonting Sidodadi, Desa Silau Jawa, dan Desa Suka Makmur.

3.3 Metode Analisis Data

Elastisitas transmisi harga adalah perbandingan perubahan persentase dari harga tingkat nasional (Y) dengan perubahan harga di tingkat petani (X), yang bertujuan untuk mengetahui berapa besar perubahan harga di tingkat petani (X) akibat terjadinya perubahan harga sebesar satu satuan unit di tingkat nasional (Y). Model persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.

Y X x Et

∆Χ ∆Υ = Dimana :

Et = Elastisitas Transmisi Harga

ΔY = Perubahan Harga di tingkat Nasional (ΔRp/ΔKg)

ΔX = Perubahan Harga di tingkat petani (ΔRp/ΔKg)

X = Harga di tingkat petani (Rp/Kg) Y = Harga di tingkat Nasional (Rp/Kg)

Implikasi dari persamaan tersebut) adalah sebagai berikut :

Apabila elastisitas transmisi lebih kecil dari satu (Et < 1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani. Apabila elastisitas transmisi sama dengan satu (Et = 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengeder akan mengakibatkan


(39)

27

perubahan harga sebesar 1% di tingkat petani. Apabila elastisitas transmisi lebih besar dari satu (Et > 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan per-ubahan harga lebih besar dari 1% di tingkat petani.

Pendekatan Elastisitas transmisi harga yang dilihat adalah respon perubahan harga pada tingkat produsen jika terjadi perubahan harga di tingkat konsumen, dengan menggunakan model:

Pr = b0 Pfb1

Model ini dimodifikasi menjadi bentuk linear: Ln Pr = Ln b0 + b1 Ln Pf

Dimana: Pr = Harga di tingkat pasar Nasional (Rp/Kg) Pf = Harga jual di tingkat pasar produsen (Rp/Kg) b0 = Konstanta

b1 = Koefesien elastisitas transmisi harga.

Pasar mengarah pada struktur pasar yang efisien apabila, harga di tingkat konsumen akan ditransmisikan dengan baik ke pasar tingkat produsen pada ko-efisien b1= 1 dimana dikaitkan dengan uji t adalah t-stat < t-tabel, dan struktur pasar tidak efisien apabila b1≠1, di mana t-stat > t-tabel.

Hipotesis :

H0 : Elastisitas transmisi harga TBS Kelapa Sawit perdesaan kabupaten Asahan dengan harga nasional lebih kecil dari satu (Et < 1)

H1 : Elastisitas transmisi harga TBS Kelapa Sawit perdesaan kabupaten Asahan dengan harga nasional lebih besar satu ( Et > 1)

kriteria uji : jika Et < 1, H0 terima, H1 tolak Et > 1, H0 tolak, H1 terima


(40)

28

Sementara untuk hipotesis 2 adalah Integrasi pasar diukur dengan menggunakan analisis regresi, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Ppit = f (Prjt)………(1)

model persamaan regresinya adalah: Ppit = α0 + αlPrjt + Ui……….(2)

dimana Ppit = Harga di pasar ke-i pada periode ke-t,

Prjt = Harga di tingkat pasar diatasnya (vertikal) i pada periode bulan ke-t,

α0 = Konstanta,

α1 = Parameter, dan Ui = Error term.

Integrasi pasar secara vertikal akan terjadi dengan kuat apabila 0,5<α1 ≤1, dimana harga di tingkat pasar produsen terintegrasi dengan harga di tingkat konsumen (Limbong, 1999).

Hipotesis :

H0 : Integrasi pasar secara vertikal tanda buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar Nasional terjadi dengan lemah.

H1 : Integrasi pasar secara vertikal tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar Nasional terjadi dengan kuat.

Kriteria uji : jika α1 < 0,5 atau α1 > 1, H0 terima, H1 tolak 0,5<α1 ≤1, H0 tolak, H1 terima

Untuk melihat Integrasi pasar jangka pendek digunakan Index Market Connection

(IMC) yang diturunkan dari model regresi Ravallion dalam Kuntjoro (1996), Heytens (1986) serta Mulyana dan Saefullah (1996), sebagai berikut:


(41)

29

Karena perubahan harga di suatu pasar terdapat faktor time-lag, maka perubahan harga tersebut turut ditentukan juga oleh harga sebelumnya (Gujarati, 1995), sehingga:

Pit = f (Pit – 1, Pit – 2, …, Pit – n) ... (4)

Menurut Gujarati (1995), semakin lama time-lag Prjt–n akan memberikan pengaruh yang makin kecil terhadap Pit, sehingga pengukuran keterpaduan pasar diperbaiki dengan memasukkan variabel harga antara waktu (time-lag) yang relatif lebih kecil. Maka harga di suatu pasar merupakan fungsi dari harga di pasar yang bersangkutan pada periode sebelumnya.

Pit = (1 + bl) Pit-1 + b2 (P*t – P*t– 1) + (b3 – b1) P *t - 1 + Uit……….(5) Persamaan (4) dapat diubah menjadi:

Pit = β1 Pit – 1 + β2 (P*t – P*t – 1) + β3 P*t – 1 + Ui………..(6)

Dari persamaan (4) dan persamaan (5) di atas dapat diperoleh koefisien-koefisien:

β1 = (1 + b1) ………(7)

β2 = b2 ………(8)

β3 = (b3 – b1) ……… (9) dimana:

Pit : Harga komoditi di pasar lokal i (pasar yang dipengaruhi oleh pasar rujukan) pada waktu t

Pit – 1 : Harga komoditi di pasar lokal i pada waktu t – 1

P*t : Harga komoditi di pasar rujukan pada waktu t (pasar yang dianggap mem pengaruhi pasar lainnya)

P*t–1 : Harga komoditi di pasar rujukan pada waktu t–1.

β1 : Lag harga pasar pada tingkat petani Desa

β2 : selisih harga pasar tingkat nasional dengan lag harga pada pasar nasional β3 : lag harga pada pasar tingkat nasional

Dengan menggunakan koefisien dari fungsi persamaan (7) dan persamaan (9) di atas dapat ditentukan indikator yang berkaitan dengan keterpaduan pasar dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Indek Keterpaduan Pasar atau Index of Market


(42)

30

Connection (IMC) dalam jangka pendek yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

IMC = (1 + b1) / (b3 – b1)……….(10)

Karena persamaan (6) β1 = 1 + b1, dan persamaan (8) β3 = (b3 - b1), maka: IMC = β1 / β3 (11)

Pasar akan terintegrasi dalam jangka pendek jika IMC<1, sebaliknya apabila IMC≥1 maka tidak terintegrasi pasar dalam jangka pendek.

H0 : Pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar Nasional tidak terintegrasi dalam jangka pendek

H1 : Pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar Nasional terintegrasi dalam jangka pendek

kreteria uji : IMC ≥ 1, Ho terima, H1 tolak IMC < 1, H0 tolak, H1 terima

Selanjutnya suatu pasar rujukan dengan pasar lokal dikatakan terintegrasi dalam jangka panjang jika ditunjukan oleh nilai β2= 1, dimana koefisien ini menunjukan pengaruh perubahan harga di pasar rujukan terhadap harga di tingkat pasar yang dipengaruhi (pasar lokal) pada waktu t, dan apabila dikaitkan dengan uji-t stat, maka apabila t-stat < dari t-tabel artinya jika β2=0, atau tidak significant 0, maka pasar lokal tidak terintegrasi. Sedangkan apabila t-stat > t-tabel signifikan dengan 0, berati β2≠0 , berarti dalam jangka panjang pasar tersebut semakin terintegrasi.

H0 : Pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar nasional tidak terintegrasi dalam jangka panjang


(43)

31

H1 : Pasar tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit perdesaan Asahan dengan pasar nasional terintegrasi dalam jangka panjang

Kriteria uji : t-stat < dari t-tabel , β2=0, H0 terima, H1 tolak t-stat > t-tabel , β2≠0, H0 tolak , H1 terima

3.4 Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan dalam penelitian, maka dibuat defenisi dan batasan operasional sebagai berikut.

Defenisi

1) Tandan buah segar adalah buah kelapa sawit yang siap panen yang memiliki kematangan yang optimum yaitu pada saat tandan buah segar mengandung minyak dan kernel yang tinggi yang di diproduksi oleh perkebunan rakyat. 2) Sturuktur pasar adalah penggolongan pasar bedasarkan strukturnya, yaitu pasar

persaigan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni, oligopsoni

3) Integrasi pasar sebagai keterpaduan diantara beberapa pasar yang memiliki hubungan harga tinggi.

4) Harga adalah suatu nilai tukar yang bisa disamakan dengan uang atau barang lain untuk memanfaatkan yang diperoleh dari suatu barang atau jasa bagi seseorang atau kelompok pada waktu tertentu dan tempat tertentu.

Batasan Opersional

1) Harga Tandan Buah Segar (TBS) yang diteliti adalah harga yang terdapat pada perdesaan Asahan dan harga Nasional.


(44)

32

2) Harga TBS di tingkat pedesaan adalah harga TBS yang dijual petani terhadap pedagang pengumpul di desa Kabupaten Asahan.

3) Harga TBS di tingkat Nasional adalah harga TBS yang diterima di pabrik, dimana pabrik yang mewakili harga TBS yg terdapat di Sumatera Utara.

4) Penelitian dilakukan dalam wilayah Sumatera Utara.


(45)

33

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK SAMPEL

4.1. Luas dan letak geografis

Penelitian dilakukan di Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara dan wilayah kecamatan yang menjadi daerah penelitian adalah kecamatan Bandar Pasir Mandoge. Kabupaten Asahan merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Asahan berada pada 2003’00”- 3026’00" Lintang Utara, 99001-100000 Bujur Timur dengan ketinggian 0 – 1.000 m di atas permukaan laut.

Luas wilayah Kabupaten Asahan adalah seluas 371.945 Ha, terdiri dari 13 Kecamatan, 176 Desa/Kelurahan Definitif. Secara administratif Wilayah Kabupaten Asahan mempunyai batas-batas sebagai berikut :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Batu Bara

• Sebelah Selatan dengan Kabupaten Labuhan Batu dan Toba Samosir

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Simalungun

• Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka

Wilayah pesisir kabupaten Asahan pada umumnya datar dengan kemiringan lereng 0 – 3%. Pada daerah berbukit di sebelah Barat Daya, umumnya merupakan wilayah bergelombang dengan kemiringan 3 – 8 %. Dataran pesisir kabupaten Asahan merupakan dataran rendah dengan elevasi 0 – 200 m. Pesisir pantai terdapat di Timur Laut, sementara wilayah Barat Daya merupakan tempat titik-titik tertingginya, sehingga wilayah tersebut melereng dari Barat Daya ke Timur Laut.


(46)

34

Kecamatan Bandar Pasir Mandoge merupakan salah satu dari 25 kecamatan di kabupaten Asahan yang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah Utara dengan kecamatan Bosar Maligas (Kabupaten Simalungun)

• Sebelah Selatan dengan kecamatan Bandar Pulau dan Kabupaten Tobasa

• Sebelah Timur dengan kecamatan Tanah Jawa (Kabupaten Simalungun)

• Sebelah Barat dengan kecamatan Aek Songsongan

Luas wilayah kecamatan B.P. Mandoge adalah 651,00 (Km2). Sekitar 60,88% dari total luas lahan kecamatan Bandar Pasir Mandoge adalah Lahan Perkebunan.

Tabel 2. Statistik Geografis dan Iklim di Kecamatan B.P. Mandoge 2011

Uraian Satuan Jumlah

Luas Ha 65.100

Curah Hujan mm 2.055

Hari Hujan hari 163

Sumber : B.P. Mandoge Dalam Angka 2011

Iklim dan Geografis kecamatan Bandar Pasir Mandoge memang sesuai untuk daerah perkebunan, khususnya tanaman Perkebunan Kelapa Sawit dan Karet. Kecamatan B.P. Mandoge merupakan salah satu daerah perkebunan Kelapa Sawit dan Karet di Kabupaten Asahan.


(47)

35 4.2. Biofisik Wilayah

Sejak pemekaran Kabupaten Asahan dengan Kabupaten Batu Bara, jumlah kecamatan di kabupaten Asahan mengalami perubahan yang cukup drastis. Pada Tahun 2008 jumlah kecamatan yang semula 12 kecamatan mekar menjadi 25 kecamatan. Penambahan juga terjadi pada jumlah desa bertambah sebanyak 28 desa, sedangkan kelurahan tidak mengalami penambahan.

Tabel 3. Statistik Pemerintahan di Kecamatan B.P. Mandoge 2011

No Desa Dusun RT RW

1 Huta Padang 12 24 15

2 Huta bagasan 14 27 20

3 B.P Mandoge 10 57 23

4 Suka Makmur 7 33 17

5 Sei Kopas 11 30 15

6 Silau Jawa 9 43 20

7 Sei Nadoras 8 31 21

8 T. Holbung 10 20 7

9 Gotting Sidodadi 7 - -

Jumlah 88 265 138

Sumber : Kecamatan B.P. Mandoge Dalam Angka, 2011

Desa yang paling luas wilayahnya diantara 9 desa di Kecamatan B.P. Mandoge adalah Desa Huta Bagasan yaitu 27,96% dari total wilayah Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. Ada 2 (dua) desa di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge yang wilayahnya merupakan kawasan hutan negara yaitu Desa Huta Bagasan dan Desa Tomuan Holbung.


(48)

36

Pola penggunaan lahan di kecamatan mandoge dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4. Keadaan Tata Guna Lahan di Kecamatan B.P Mandoge, 2011

No. Jenis Penggunaan Tanah Luas (Ha) Persentase

1. Tanah Perkebunan

• Kebun Kelapa Sawit 32.912 51%

• Kebun Karet 10.203 16%

2. Hutan Negara 10.000 15,5%

3. Tanah Pemukiman 11.862 16,5%

4. Tanah Fasilitas Umum

• Perkantoran 27,90 0,23%

• Sekolah 37,50 0,31%

• Pasar/Onan 1,62 0,01%

• Rumah ibadah 37 0,30%

• Kesehatan 7,65 0,06%

5. Lain-lain 11,069 0,09%

Jumlah 65.100 100%

Sumber : Kantor Kecamatan B.P. Mandoge

Dari tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa luas wilayah kecamatan B.P. Mandoge adalah 65.100 Ha. Sebagian besar digunakan untuk lahan perkebunan seluas 43.115 Ha (66%), sedangkan untuk Hutan Negara 10.000 Ha (15,5%), dan Pemukiman seluas 11.862 Ha.


(49)

37 4.3. Aspek Sosial, Eknomi dan Budaya 4.3.1. Aspek Sosial

Jumlah penduduk kecamatan Bandar Pasir Mandoge menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kecamatan B.P.Mandoge, 2011

No. Umur Jumlah (jiwa) %

1. 0-4 4.198 12,7 %

2. 5-9 4.127 12,4 %

3. 10-14 3.849 11,6 %

4. 15-19 2.645 8,0 %

5. 20-24 2.518 7,6 %

6. 25-29 2.843 8,6 %

7. 30-34 2.745 8,3 %

8. 35-39 2.605 7,9 %

9. 40-44 2.354 7,1 %

10. 45-49 1.937 5,8 %

11. 50-54 1.453 4,4 %

12. 55-59 847 2,6 %

13. 60 -64 392 1,2 %

14. 65 + 639 1,9 %

Jumlah 33.152 100 %

Sumber : Kantor Kecamatan B.P. Mandoge 2011

Komposisi penduduk kecamatan B.P. Mandoge didominasi oleh penduduk muda/dewasa. Hal menarik yang dapat diamati pada piramida penduduk adalah belum tampak keberhasilan yang signifikan yang dilakukan pemerintah dalam menekan tingkat pertumbuhan penduduk. Hal ini ditandai dengan penduduk usia 0-4 tahun yang jumlahnya hanya berbeda sedikit dengan kelompok penduduk uisa lebih tua yaitu 5-9 tahun. Hal ini, seharusnya dapat menjadi perhatian pemerintah dalam mengambil langkah-langkah kebijakan di bidang kependudukan ke depan.

Distribusi penduduk menurut pendidikan yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut :


(50)

38

Tabel 7. Distribusi Penduduk Menurut Pendidikan di Kecamatan B.P. Mandoge, 2011

No. Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1. Tidak/belum pernah sekolah 5.051 14 %

2. Tidak/belum tamat SD 6.507 19 %

3. SD 7.872 22 %

4. SLTP 7.863 22 %

2 SLTA 7.566 21,5 %

6. Diploma/Akademik 256 1 %

7. Universitas / Sarjana 136 0,5%

Jumlah 35.251 100 %

Sumber : Kantor Kecamatan B.P. Mandoge

Dari tabel 7 di atas diketahui bahwa penduduk kecamatan B.P. Mandoge tergolong pendidikan dasar yaitu tidak / belum bersekolah, tidak / belum tamat SD dan SD sekitar 19.430 jiwa. Sedangkan untuk pendidikan menengah yakni SLTP dan SMA sekitar 15.429 jiwa. Sementara untuk pendidikan tinggi yaitu yang berpendidikan Diploma / Akademik dan yang berpendidikan Sarjana/ Tamatan dari universitas sebanyak 492 jiwa.


(51)

39 4.3.2. Aspek Ekonomi

Distribusi penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan B.P. Mandoge, 2011

No. Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1. Petani 18.620 61 %

2. Buruh Tani 918 3,3 %

3. Industri 699 2 %

4. Pegawai Negeri 571 1,5 %

5. Angkutan Komunikasi 940 3 %

6. Karyawan Perkebunan 7.037 23 %

7. Perdagangan 1.244 4 %

8. Konstruksi /Bangunan 53 0,2 %

9. Lainnya 532 2 %

Jumlah 30.614 100 %

Sumber : Kantor Kecamatan B.P. Mandoge

Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa penduduk kecamatan B.P. Mandoge mempunyai sumber mata pencaharian utama sebagai petani sebanyak 18.620 jiwa (61%), penduduk yang bermata pencaharian sebagai buruh tani sebenyak 918 jiwa (3%), penduduk yang bermata pencaharian di bidang industri sebanyak 699 jiwa (2%), penduduk yang bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri sebanyak 571 (1,5), penduduk yang bermata pencaharian sebagai pekerja angkutan komunikasi sebanyak 940 jiwa (3%), penduduk yang bermata pencaharian sebagai karyawan perkebunan sebanyak 7.037 jiwa (23%), penduduk yang bermatapencaharian dibidang perdagangan sebanyak 1.244 jiwa (4%), penduduk yang bermata pencaharian sebagai pelaku konstruksi bangunan sebanyak 53 jiwa (0,2%), dan penduduk yang bermata pencaharian lainnya sebanyak 53 (2 %).


(52)

40

Distribusi penduduk menurut suku bangsa di kecamatan Bandar Pasir Mandoge.

Tabel 9. Distribusi Penduduk Menurut Suku Bangsa di Kecamatan B.P. Mandoge, 2011

Sumber : Kantor Kecamatan B.P. Mandoge

Dari tabel 9 dapat diketahui bahwa penduduk kecamatan B.P.Mandoge mempunyai suku bangsa yang beragam. Penduduk yang bersuku Jawa berjumlah 12.238 jiwa, penduduk yang bersuku Batak berjumlah 19.789 jiwa, penduduk yang bersuku Melayu sebanyak 46 jiwa, penduduk yang bersuku Minang berjumlah 3 jiwa, penduduk yang bersuku Banjar berjumlah 41 jiwa, penduduk yang bersuku Aceh berjumlah 13 jiwa dan penduduk yang bersuku Nias berjumlah 427 jiwa. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa suku Batak mendominasi penduduk kecamatan Bandar Pasir Mandoge.

4.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana di kecamatan Bandar Pasir Mandoge dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 10. Sarana dan Prasarana di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, 2011

No. Jenis Bangunan Jumlah (unit)

No Suku bangsa Jumlah penduduk (Jiwa) Persentase (%)

1. Jawa 12.238 38 %

2. Batak 19.789 60 %

3. Melayu 46 0,45 %

4. Minang 3 0,03 %

5. Banjar 41 0,40 %

6. Aceh 13 0,12 %

7. Nias 437 1 %


(53)

41

1. Sarana Ibadah

• Mesjid 68

• Gereja 53

2. Sarana Kesehatan 14

3. Sarana Pendidikan / Sekolah 45

4. Industri 20

5. Kantor 48

Sumber : Kantor Kecamatan B.P. Mandoge

Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana yang tersedia di kecamatan Bandar Pasir Mandoge mencakup fasilitas pendidikan, sarana ibadah, kesehatan, perdagangan dan perkantoran.


(54)

42 4.5 Karakteristik Petani Sampel

Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi tindakan, pola pikir, serta wawasan yang dimilikinya. Berikut ini ditampilkan karakteristik petani yang menjadi sampel pada daerah penelitian. Karakteristik meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani dan luas lahan usaha tani. Karakteristik sampel dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 11. Karakteristik Petani Sampel di daerah penelitian.

No. Uraian Rentang Rataan

1. Umur ( Tahun) 28- 50 38,00

2. Tingkat Pendidikan (Tahun) 6-12 9,00 3. Pengalaman bertani ( Tahun) 5-30 12,00

4. Luas Lahan (Ha) 3-15 8,60

5. Jumlah Tanggungan 2-6 4,00

Sumber : Analisis Data Primer, (Lampiran 1)

Dari tabel 11, dapat dilihat bahwa rata-rata petani sampel yang diteliti di kecamatan B.P. Mandoge berada pada tingkat umur 28-50 tahun, dengan rata-rata 38,00 tahun. Tingkat pendidikan berada pada rentang 6-12 tahun, dengan rata-rata 9,00 tahun, atau setara SLTP. Pengalaman bertani, sampel rentang 5-30 tahun, dengan rata-rata 12 tahun, sedangkan pada penguasaan luas petani sampel memiliki tentang 3-15 Ha dengan rata-rata 8,60 Ha, dan jumlah tanggungan petani beragam, yang mendominasi jumlah tanggungan keluarga petani adalah sebanyak 4 orang.

Perekonomian petani selain bertani kelapa sawit juga menjadi buruh. Buruh yang dimaksud adalah menjadi tukang panen untuk kelapa sawit petani lain. Memanen buah kelapa sawit bukanlah yang mudah bahkan pemilik kelapa sawitpun (petani) belum tentu dapat memanen kelapa sawit. Oleh karena itu ada orang-orang tentu yang di upah untuk memanen buah kelapa sawit. Biaya upah panen ini memiliki sitem tersendiri, yaitu kesepakatan potongan persen dari total hasil panen buah kelapa sawit. Selain


(55)

43

buruh panen, petani juga ada yang menyediakan jasa transportasi. Biaya transportasi ini juga beragam, tergantung jarak dan lokasi pengambilan buah dari lahan.

Kehidupan sosial dan budaya para petani relatif baik walaupun tidak tergabung dalam kelompok tani. Informasi saling berbagi baik informasi harga maupun informasi lain yang berhubungan dengan komoditi kelapa sawit.


(56)

44

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Elastisitas Transmisi Harga

Elastisitas transmisi harga adalah perbandingan perubahan persentase dari harga tingkat nasional (Y) dengan perubahan harga di tingkat petani (X), yang bertujuan untuk mengetahui berapa besar perubahan harga di tingkat petani (X) akibat terjadinya perubahan harga sebesar satu satuan unit di tingkat nasional (Y). Dari perubahan/hubungan tersebut dapat diperkirakan tingkat keefektifan suatu informasi pasar, bentuk pasar dan kefektifan sistem pemasaran. Elastisitas transmisi harga yang akan dihitung adalah elastisitas transmisi harga antara harga TBS Kelapa Sawit ditingkat Pedesaan (Pf) terhadap elastisitas transmisi harga nasional (Pr).

Untuk menghitung elastisitas transmisi harga antara masing-masing desa terhadap harga nasional maka terlebih dahulu diketahui koefisien regresi linier berganda (b1, b2, b3, b4, dan b5) sebagai parameter elastisitas transmisi harga. Koefisien regresi linier berganda yang diperoleh digunakan untuk mencari nilai elastisitas transmisi harga antara harga TBS pedesaan terhadap harga TBS Nasional yang terdapat pada lampiran 7 .

Parameter elastisitas transmisi harga TBS masing-masing pedesaan terhadap harga TBS Nasional terdapat pada tabel 12.

Tabel 12. Perhitungan Koefisien Elastisitas Transmisi Harga Kelapa Sawit

No Desa Koef.ET t-hitung t-tabel

1 B.P.Mandoge 1,116 2,450 2,0195

2 Huta Padang 0,318 1,095 2,0195

3 Gotting Sidodadi -0,275 -1,168 2,0195

4 Silau Jawa -0,034 -0,178 2,0195

5 Suka Makmur -0,347 -0,784 2,0195


(57)

45

Berdasarkan tabel 12 dapat diperoleh persamaan sebagai berikut.

Ln Pr = Ln 1,733+1,116 Ln Pf1+0,318 Ln Pf2-0,275 LnPf3- 0,034 Ln Pf4-0,347 Ln Pf5 Sehingga diperoleh model persamaan sebagai berikut.

Pr= 5,66Pf11,116Pf20,318Pf3-0,275Pf4-0,034Pf5-0,347 Dimana :

Pr = Harga Pabrik

Pf1 = Harga Jual Desa B.P.Mandoge Pf2 = Harga Jual Desa Huta Padang Pf3 = Harga Jual Desa Gotting Sidodadi Pf4 = Harga Jual Desa Silau Jawa Pf5 = Harga Jual Desa Suka Makmur

Elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui respon harga produk pertanian di tingkat produsen sebagai akibat adanya perubahan harga di tingkat konsumen, melalui informasi harga. Apabila elastisitas transmisi lebih kecil dari satu (Et < 1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani. Apabila elastisitas transmisi sama dengan satu (Et = 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengeder akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 1% di tingkat petani. Apabila elastisitas transmisi lebih besar dari satu (Et > 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga lebih besar dari 1% di tingkat petani.

Dari Tabel 12 dapat diketahui koefisien elastisitas transmisi harga di Desa B.P.Mandoge 1,116 dimana koefisien ET>1 yang berarti elastis dimana setiap perubahan harga di pasar konsumen sebesar 1% ditransmisikan lebih besar dari 1% ke tingkat produsen (B.P Mandoge) dengan t-hitung > t tabel yaitu 2,450 > 2,0195. Hal ini berarti petani di Desa B.P.Mandoge memperoleh keuntungan dari perubahan harga


(58)

46

yang terjadi dan pasar B.P.Mandoge lebih berperan dibandingkan pasar konsumen (pabrik).

Koefisien elastisitas transmisi harga di Desa Huta Padang 0,318 yang berarti koefisien elastisitas <1 yang berarti tidak elastis dimana struktur pasar tidak efisien dengan t-hitung < t tabel yaitu 1,095<2,0195. Hal ini berarti petani di Huta Padang tidak memperoleh keuntungan dari perubahan harga yang terjadi dan pasar Konsumen (pabrik) lebih berperan dibandingkan pasar produsen Huta Padang.

Koefisien elastisitas transmisi harga di Desa Gotting Sidodadi -0,275 yang berarti koefisien elastisitas < 1 yang berarti tidak elastis dimana struktur pasar tidak efisien dengan t-hitung < t tabel yaitu -1,163<2,0195. Hal ini berarti petani di Gotting Sidodadi tidak memperoleh keuntungan dari perubahan harga yang terjadi dan pasar Konsumen (pabrik) lebih berperan dibandingkan pasar produsen Gotting Sidodadi.

Koefisien elastisitas transmisi harga di Desa Silau Jawa -0,034 yang berarti koefisien elastisitas < 1 yang berarti tidak elastis dimana struktur pasar tidak efisien dengan t-hitung < t tabel yaitu -0,178<2,0195. Hal ini berarti petani di Sialau Jawa tidak memperoleh keuntungan dari perubahan harga yang terjadi dan pasar Konsumen (pabrik) lebih berperan dibandingkan pasar produsen Silau Jawa.

Koefisien elastisitas transmisi harga di Desa Suka Makmur -0,347 yang berarti koefisien elastisitas < 1 yang berarti tidak elastis dimana struktur pasar tidak efisien dengan t-hitung < t tabel yaitu -0,784<2,0195. Hal ini berarti petani di Sialau Jawa tidak


(59)

47

memperoleh keuntungan dari perubahan harga yang terjadi dan pasar Konsumen (pabrik) lebih berperan dibandingkan pasar produsen Silau Jawa.

5.2. Integrasi Pasar Pedesaan dengan Pasar Nasional

Sebagai proses produksi komersial, maka pemasaran pertanian merupakan syarat mutlak yang diperlukan dalam pembangunan pertanian. Pemasaran pertanian dapat menciptakan nilai tambah melalui nilai guna, tempat, bentuk dan waktu. Berarti dianggap memiliki kegiatan yang produktif dalam pemasaran pertanian.

Menuju sistem pemasaran hasil pertanian yang efisien adalah salah satunya, tersedianya informasi pasar yang memadai, dimana informasi tersebut dikatakan baik ketersediaannya apabila, pasar pada wilayah produksi terintegrasi cukup kuat dengan pasar di wilayah konsumsi. Dengan demikian perubahan harga dapat segera diketahui dan akhirnya proses pengambilan keputusan oleh produsen/petani dapat dilakukan dengan baik dan tepat.

Konsep teoritis yang memungkinkan untuk menelaah rasionalisasi fungsional spesialisasi wilayah ini dinamakan dengan Integrasi pasar. Konsep ini secara horizontal, vertikal, jangka pendek dan jangka panjang dapat digunakan dalam menelaah pola aliran struktur pasar dari suatu komoditas tertentu dan juga dapat mengindikasikan bahwa proses pemasaran suatu komoditas pertanian dalam sistem pemasaran hasil pertanian efisien atau tidak.


(1)

Lampiran 14. IMC Huta Padang

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .945a .893 .886 85.69618 .893 122.253 3 44 .000

a. Predictors: (Constant), Pr_LPr, timelag_hargapetani_LPf, timelag_harganasional_LPr

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 2693407.982 3 897802.661 122.253 .000a

Residual 323128.738 44 7343.835

Total 3016536.719 47

a. Predictors: (Constant), Pr_LPr, timelag_hargapetani_LPf, timelag_harganasional_LPr

b. Dependent Variable: harga_petani

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

95% Confidence Interval

for B Correlations Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Lower Bound

Upper

Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF 1(Constant) -30.064 60.077 -.500 .619 -151.142 91.013

timelag_hargapetani_LPf .426 .134 .495 3.174 .003 .155 .696 .746 .432 .157 .100 9.980 timelag_harganasional_LPr .490 .123 .649 3.975 .000 .242 .739 .712 .514 .196 .091 10.939

Pr_LPr .753 .064 .711 11.747 .000 .624 .883 .087 .871 .580 .665 1.504


(2)

82

Lampiran 15. IMC Goting sidodadi

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .936a .876 .868 80.21370 .876 103.768 3 44 .000

a. Predictors: (Constant), Pr_LPr, timelag_hargapetani, timelag_harganasional

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 2003003.037 3 667667.679 103.768 .000a

Residual 283106.441 44 6434.237 Total 2286109.479 47

a. Predictors: (Constant), Pr_LPr, timelag_hargapetani, timelag_harganasional b. Dependent Variable: harga_petani

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

95% Confidence Interval for

B Correlations Collinearity Statistics B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF

1 (Constant) 15.832 55.881 .283 .778 -96.789 128.453

timelag_hargapetani .644 .117 .747 5.523 .000 .409 .879 .732 .640 .293 .154 6.507 timelag_harganasional .237 .095 .361 2.507 .016 .047 .428 .643 .354 .133 .136 7.347

Pr_LPr .654 .060 .708 10.894 .000 .533 .775 .137 .854 .578 .666 1.502


(3)

Lampiran 16. IMC silau jawa

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .940a .883 .875 71.82273 .883 111.153 3 44 .000

a. Predictors: (Constant), Pr_LPr, timelag_hargapetani_LPf, timelag_harganasional_LPr

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 1720152.758 3 573384.253 111.153 .000a

Residual 226974.199 44 5158.505

Total 1947126.957 47

a. Predictors: (Constant), Pr_LPr, timelag_hargapetani_LPf, timelag_harganasional_LPr

b. Dependent Variable: harga_petani

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

95% Confidence Interval for B Correlations Collinearity Statistics B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF

1 (Constant) 48.684 49.921 .975 .335 -51.926 149.293

timelag_hargapetani_LPf .731 .103 .858 7.081 .000 .523 .939 .769 .730 .364 .180 5.545 timelag_harganasional_LP

r .146 .079 .241 1.853 .071 -.013 .305 .646 .269 .095 .157 6.384

Pr_LPr .552 .054 .649 10.267 .000 .444 .661 .105 .840 .528 .664 1.506


(4)

84

Lampiran 17. IMC suka makmur

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .945a .894 .886 83.43192 .894 123.098 3 44 .000

a. Predictors: (Constant), Pr_LPr, timelag_hargapetani_LPf, timelag_harganasional_LPr

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 2570617.865 3 856872.622 123.098 .000a

Residual 306278.948 44 6960.885

Total 2876896.813 47

a. Predictors: (Constant), Pr_LPr, timelag_hargapetani_LPf, timelag_harganasional_LPr

b. Dependent Variable: harga_petani

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

95% Confidence Interval for B Correlations Collinearity Statistics B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part Tolerance VIF

1 (Constant) -48.588 58.786 -.827 .413 -167.064 69.887

timelag_hargapetani_LPf .404 .137 .467 2.941 .005 .127 .681 .719 .405 .145 .096 10.410 timelag_harganasional_L

Pr .499 .122 .675 4.088 .000 .253 .744 .691 .525 .201 .089 11.281

Pr_LPr .776 .062 .750 12.459 .000 .651 .902 .121 .883 .613 .668 1.497


(5)

Desa B.P Mandoge

3

1

β

β

=

IMC

443

.

0

474

.

0

=

IMC

= 1.06

Desa Huta padang

3

1

β

β

=

IMC

490

.

0

426

.

0

=

IMC

= 0.86

Desa Gotting Sidodadi

3

1

β

β

=

IMC

237

.

0

644

.

0

=

IMC

= 2.71


(6)

86

146

.

0

731

.

0

=

IMC

= 5.00

Desa Suka Makmur

3

1

β

β

=

IMC

499

.

0

404

.

0

=

IMC