Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Cerai Gugat Pada Mahkamah Syar’iyah Meulaboh

Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Cerai Gugat Pada
Mahkamah Syar’iyah Meulaboh
Cut Wan Nurlaili
Mahkamah Syar’iyah Meulaboh
Email: icoetahsy@yahoo.com
Abstract: The discourse of divorces is an inexhaustible discussion. The divorce rate has risen rapidly.
The religious (Syar‟iyah) court of Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat is one of courts that registered a
significant increase of divorce practice. This study examines the causes of high divorce rate. This
research is categorized into case study research done in Meulaboh Syar‟iyah courts to collect the
necessary data. The approach used in this study is a normative juridical which is an approach of
problem by considering right or wrong based on the applicable law. Based on the results, there are a
variety of causes of divorces including harmony issues, lack of responsibility, money, third party
involvement (affair/polygamy), domestic violence, and interference of others.
Keywords: divorces, Mahkamah Syar‟iyah
Abstrak: Perkara perceraian merupakan suatu perkara yang tiada habis-habisnya untuk dibahas.
Bahkan angka perceraian terus meningkat tajam, salah satunya adalah perkara cerai gugat yang
terdaftar di Mahkamah Syar‟iyah Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Tulisan ini ingin meneliti faktorfaktor penyebab tingginya gugat cerai. Jenis penelitian dalam tulisan ini digolongkan kepada case
study research (penelitian kasus) dengan mengadakan penelitian langsung di Mahkamah Syar‟iyah
Meulaboh untuk mencari data yang diperlukan. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan terhadap masalah dengan melihat benar atau salah
berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Berdasarkan kajian yang dilakukan, ditemukan

faktor- faktor penyebab cerai gugat ialah tidak adanya keharmonisan, tidak adanya tanggung jawab,
ekonomi, gangguan pihak ketiga (selingkuh/poligami), cemburu, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), dan campur tangan pihak lain.
Kata kunci: cerai, Mahkamah Syar‟iyah, gugat cerai

Pendahuluan
Perkara perceraian merupakan suatu perkara yang tiada habis-habisnya untuk
dibahas. Bahkan angka perceraian terus meningkat tajam, salah satunya adalah
perkara cerai gugat1 yang terdaftar di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, Kabupaten
Aceh Barat. Buktinya presentase antara perkara cerai talak dan cerai gugat itu tidak

1

Istilah cerai Talak dan cerai Gugat atau pasakh. Cerai Talak adalah perceraian yang diajukan
oleh si suami yang disebut “Pemohon” sedangkan cerai Gugat di ajukan oleh si istri yang disebut
“Penggugat”.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

129


balance (seimbang). Persentase perbedaannya bahkan sampai dua kali lipat lebih
banyak dari pada cerai Talak.
Perceraian merupakan suatu perkara yang mubah tapi tidak disukai Allah
SWT (Inna abghad al-mubahat „inda Allah al-thalak),2 pada prinsipnya Islam tidak
memberikan peluang untuk terjadinya perceraian kecuali pada hal-hal yang darurat,
sehingga perceraian juga bisa menjadi solusi apabila beban yang dihadapi pasangan
sudah tidak bisa dibendung lagi. Allah juga tidak akan membebani manusia dengan
sesuatu yang dia tidak mampu memikulnya. Oleh karena itu jika kehidupan rumah
tangga yang tadinya merupakan nikmat telah berubah menjadi bencana, prahara dan
bahkan seperti neraka maka talak bisa jadi merupakan rahmat yang dapat
membebaskan suami isteri dari prahara tersebut. Ini jika suami istri memandang
bahwa permasalahan sudah menemui jalan buntu dan kedua belah pihak atau salah
satunya benar-benar sudah menghendaki talak.
Dalam KHI disebutkan bahwa Perceraian dapat terjadi karena alasan :
a.

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.


b.

Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena lain diluar
kemamuannya.

c.

Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.

2

Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Seri INIS XXXIX, (Jakarta:
2002), 203.


Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

130

e.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

f.

Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g.

Suami melanggar ta’lik talak

h.


Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.3
Alasan-alasan diatas juga bisa di gunakan dalam hal cerai gugat, Jika gugatan

tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim
berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya. Akan tetapi
terkadang alasan-alasan yang telah ditetapkan belum semuanya mencakup apa yang
menyebabkan istri mengajukan cerai terhadap suaminya. Data statistik belum
sepenuhnya bisa mencakup kenyataan yang terjadi di lapangan. Sehingga penulis
ingin menemukan alasan lain di balik alasan umum ini.
Talak sendiri terbagi dua yaitu talak raj‟i dan talak ba‟in, yang keduanya
terletak di tangan suami, sedangkan bila istri ingin berpisah, maka usaha yang
dilakukan adalah dengan jalan pasakh. Saat ini banyak sekali para istri yang
mengajukan pasakh. Dalam lingkup Peradilan Agama yang khusus untuk Propinsi
Aceh disebut dengan Mahkamah Syar’iyah4 dikenal istilah cerai Talak dan cerai
Gugat atau pasakh.
Berdasarkan data yang diperoleh di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh
menyebutkan bahwa angka perceraian mengalami peningkatan setiap tahunnya,
selama tahun 2010 berjumlah 277 perkara, dengan rincian cerai gugat 115 perkara

dan cerai talak 60 perkara, tahun 2011 berjumlah 331 perkara, dengan rincian cerai
gugat1170 perkara, dan cerai talak 56 perkara, dan tahun 2012

berjumlah 332

3

Intruksi Presiden R.I. Nomor I Tahun 1991, Kompilasi Hukum di Indonesia.
UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

131

perkara, dengan rincian cerai gugat 175 perkara dan cerai talak 67 perkara, dan pada
tahun 2013 berjumlah 320 perkara, dengan rincian cerai gugat 174 perkara, dan cerai
talak 79 perkara.
Dari data di atas tampak bahwa suami (cerai talak) cenderung lebih pasif bila

di bandingkan dengan istri (cerai gugat) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun,
sedangkan angka cerai talak relatif tetap. Hal ini tidak hanya terjadi di Meulaboh saja,
tetapi hampir di seluruh Pengadilan Agama seluruh Indonesia, volume cerai gugat
sampai mencapai 80 persen dan menimpa semua kalangan baik masyarakat biasa,
PNS, maupun selebritis tanah air.
Di Meulaboh sendiri bisa di petakan bahwa faktor-faktor yang paling dominan
adalah masalah moral, cemburu, sampai perselingkuhan yang dimulai dari segi alat
komunikasi/hp, yang sebenarnya tidak termasuk dalam alasan yang membolehkan
perceraian, meninggalkan kewajiban seperti nafkah lahir dan batin, Salah satu factor
pemicu kecekcokan (Syiqaq), dalam Pejelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan
bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami dan
isteri. Termasuk disini persoalan nusyuz (kedurhakaan) yang dilakukan oleh istri
maupun suaminya. Penerapan ta’lik talak juga tidak sepenuhnya berjalan adakalanya
suami istri tidak membuat perjanjian ta’lik talak, padahal menurut Mahmud Syaltut,
ta’lik talak adalah jalan terbaik untuk melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak
baik suami.5
Seharusnya para istri tidaklah dengan mudah diberi peluang untuk menggugat
cerai suaminya, tetapi harus dengan pertimbangan yang sangat matang. Karena
kehidupan rumah tangga adalah kehidupan yang serius untuk keberlangsungan jenis
manusia dan tempat membina kepribadian Islam generasi penerus masa depan.


5

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan Al-Hikmah, 2001), 278.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

132

Di Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya terjadi peningkatan
yang sangat tinggi dalam hal cerai gugat. Dari tahun ketahun, data Mahkamah
Syar’iyah menyebutkan bahwa presentase cerai gugat memang selalu lebih banyak
daripada cerai talak, akan tetapi tidak sebanyak tahun-tahun terakhir yang naik dua
kali lipat dibandingkan cerai talak. Perceraian yang diajukan bukan oleh suami
sebagai pemegang hak prerogatif talak, akan tetapi cenderung pihak istri yang lebih
aktif dalam mengajukan perkaranya ke Mahkamah Syar’iyah. Perceraian yang
diajukan oleh sang isteri atau yang biasa disebut cerai gugat terus melonjak naik dari
tahun ke tahun berbanding terbalik dengan cerai talak yang relatif stabil.
Meskipun alasan mengajukan perkara cenderung sama dimana bisa suami atau

istri yang mengajukan perceraian, akan tetapi di lapangan istri yang lebih aktif
langsung berperkara. Hal ini menjadi tanda tanya besar tentang apa yang sebenarnya
terjadi sehingga banyak isteri-isteri yang menggugat suaminya sendiri. Apakah istri
telah ingkar (nusyuz) kepada suami, atau apakah dampak gender yang begitu kuat
sehingga para istri begitu aktif dalam menyelesaikan masalahnya.
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, masalah pokok yang akan
dijawab dalam penelitian adalah : Kenapa cerai gugat relatif lebih tinggi dan terus
meningkat di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh setiap tahunnya dari cerai talak?
Berangkat dari fenomena-fenomena yang telah disebutkan di atas membuat
penulis tertarik untuk membahas persoalan ini dengan judul “Faktor-Faktor Penyebab
Tingginya Cerai Gugat Pada Mahkamah Syar’iyah Meulaboh”
Metode penelitian
Jenis penelitian dalam tulisan ini digolongkan kepada case study research
(penelitian kasus) dengan mengadakan penelitian langsung di Mahkamah Syar’iyah
Meulaboh untuk mencari data yang diperlukan.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

133


Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif,
yaitu pendekatan terhadap masalah dengan melihat benar atau salah berdasarkan
kaidah-kaidah hukum yang berlaku.6 Dengan menganalisa perundang-undangan yang
berhubungan dengan kasus-kasus yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh.
Adapun sumber data yang peneliti gunakan adalah ayat Al-Qur’an dan hadist
yang berkaitan dengan perceraian, dan juga hasil putusan hakim di Mahkamah
Syar’iyah Meulaboh. Serta data pendukung dalam penelitian ini diperoleh melalui
buku-buku seperti: Kompilasi Hukum Islam, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, Hukum Perdata Islam di Indonesia, dan buku lainnya yang berkaitan
dengan masalah cerai gugat.
Pengertian Cerai Gugat
Secara umum pengertian dari cerai gugat yaitu istri menggugat suaminya
untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan
gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat
(suami).7 Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan tentang cerai gugat, dan
membedakan cerai gugat dengan khulu‟. Namun demikian dia mempunyai kesamaan
dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah keinginan untuk bercerai
datangnya dari pihak istri. Lain halnya perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak
selamanya membayar uang „iwadh (uang tebusan) yang menjadi dasar akan
terjadinya khulu‟atau perceraian.8

Bila seseorang istri melihat pada suaminya sesuatu yang tidak diridhai Allah
untuk melanjutkan hubungan perkawinan, sedangkan suami tidak merasa perlu untuk
menceraikannya, maka istri dapat meminta perceraian dari suaminya dengan
6

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni. Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif-sebagai ilmu Hukum
Empirik-Deskritif (Bandung: Rimdi Press. 1995), 166-dst
7
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia
Baru, 2002), 906.
8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 307.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

134

kompensasi ganti rugi yang diberikannya kepada suaminya. Bila suami menerima dan
menceraikan istrinya atas dasar ganti rugi itu, maka putuslah perkawinan antara
keduanya. Putus perceraian dengan cara ini disebut khulu‟.9
Putusnya perkawinan yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya dalam
hukum Islam adalah seperti khulu‟. Sering juga disebut dengan istilah cerai gugat.
Adapun yang dimaksud dengan cerai gugat adalah permohonan untuk memutuskan
perkawinan yang dilakukan oleh sang istri di Pengadilan.
Menurut Zaini Nasoah menyebutkan bahwa khulu‟ dari segi bahasa bermakna
”cabut atau tanggal” seolah-olah suami atau istri telah menanggalkan pakaian dari
pihak salah satu pasangannya. Menurut istilah fikih, khulu‟ membawa maksud
perpisahan di antara suami istri dengan bayaran atau tebusan tertentu yang diambil
oleh suami dari pihak istrinya dengan lafadh yang khusus secara terang atau secara
sindiran.10
Khulu‟ berasal dari “Khulu‟ Al-Tsaub” yang berarti melepaskan atau yang
mengganti pakaian pada badan. Karena seorang wanita yang telah bersuami
merupakan pakaian bagi suaminya begitu juga sebaliknya. Sehingga hak untuk
berpisah antara suami dan istri itu sama apabila suami bisa menceraikan sang istri,
begitu pula sebaliknya.11
Abdul Manan meyebutkan bahwa cerai gugat adalah cerai yang didasarkan
atas adanya gugatan yang diajukan oleh sang istri agar perkawinan dengan suaminya
menjadi putus. Dalam perkawinan agama Islam dapat berupa gugatan yang
dikarenakan suami melanggar ta‟lik talak, gugatan karena syiqaq, gugatan karena
fasakh dan gugatan karena khulu‟.Khulu‟ hanya dibolehkan kalau ada alasan yang
tepat, seperti suami meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa ada izin
9

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), 131.
Zaini Nasoah, Perceraian: Hak Wanita Islam, (Malaysia: Perpustakaan Negara Malaysia,

10

2002), 18.

Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari‟at Islam, terj: H. Basri Iba Asghary dan Wadi
Masturi, cet ke-II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), 112.
11

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

135

dari istrinya ataupun alasan lain yang sah, atau juga karena suami seorang yang
murtad dan tidak memenuhi kewajiban kepada istrinya. Sedangkan istri khawatir
akan melanggar hukum Allah. Dalam kondisi seperti ini istri tidak wajib menggauli
suami dengan baik dan istripun berhak untuk khulu‟.12
Menurut pendapat penulis, khulu‟ maupun fasakh adalah dua bentuk talak
yang dikategorikan atas inisiatif istri, dan tidak ada perbedaan yang signifikan. Ini
sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (istri), walaupun
hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu, istri juga mempunyai
hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui
khulu‟ maupun fasakh.
Di dalam Islam, jika suami merasa dirugikan dengan perilaku maupun kondisi
isterinya, ia berhak menjatuhkan talak, begitu pula sebaliknya, jika isteri merasa
dirugikan dengan perilaku dan kondisi suaminya, ia dapat mengajukan gugatan cerai,
yang dikenal dengan istilah khulu‟.
Jadi, dapat disimpulkan bahwasanya cerai gugat adalah cerai yang dilakukan
dari pihak istri yang diajukan di pengadilan dan dalam Islam juga disebutkan tentang
hal itu, kemudian yang disebut khulu‟ yaitu putusnya perkawinan karena keinginan
dari sang istri dengan membayar uang tebusan, namun ada juga pendapat yang
mengatakan kalau suaminya sudah rela tidak mendapat uang tebusan, maka bagi istri
tidak diwajibkan lagi membayar uang tebusan. Jadi antara khulu‟ dan cerai gugat
sama-sama yang dimintakan oleh sang istri.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Cerai Gugat
Dalam KHI disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
12

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI, 233.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

136

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
g. Suami melanggar ta‟lik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Alasan-alasan di atas dapat digunakan dalam hal cerai gugat maupun cerai
talak dengan ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan, maka dapat dikatakan bahwa walaupun Undang-Undang Perkawinan ini
memandang perceraian sebagai sesuatu yang wajar dan dibolehkan, namun oleh
Undang-undang tidak membolehkan begitu saja terjadinya perceraian tanpa alasan
yang kuat. Dengan perkataan lain, Undang-Undang Perkawinan mempersulit
terjadinya perceraian, dalam hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yang
menentukan bahwa perkawinan pada dasarnya adalah untuk selama-lamanya.13 Jika
gugatan tersebut dikabulkan oleh hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri,
13

Tarmizi M. Jakfar, Poligami dan Talak liar dalam Perspektif Hakim Agama di Indonesia,
Cet I, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), 64.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

137

maka hakim berhak memutuskan hubungan perkawinan antara keduanya. Akan
tetapi, terkadang alasan-alasan yang telah ditetapkan belum semuanya mencakup apa
yang menyebabkan istri mengajukan cerai terhadap suaminya. Data statistik belum
sepenuhnya dapat mencakup kenyataan yang terdapat di papan pengumuman
Mahkamah Syar’iyah. Sehingga peneliti ingin menggali lebih dalam untuk
menemukan alasan lain di balik alasan umum ini.
Perceraian di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh
Berikut ini disajikan data-data tentang perkara perceraian di Mahkamah
Syar’iyah Meulaboh yang diambil dari tahun 2010 sampai dengan 2013.
Rekapitulasi Jumlah Perkara Perceraian di Mahkamah Syar’iyah
Meulaboh
NO

CERAI GUGAT
TAHUN

1

2010

2

2011

3

2012

4

2013
Jumlah

CERAI TALAK

JUMLAH PERKARA

115

60

175

170

56

226

173

67

240

174

81

255

632

264

896

Sumber: Dokumentasi Mahkamah Syar‟iyah Meulaboh
Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa angka perceraian dari tahun ke tahun
semakin meningkat, dan perkara cerai gugat lebih tinggi daripada perkara cerai talak
di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh pada tahun 2013, di antaranya secara jelas faktor-

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

138

faktor penyebab perceraian yang diajukan oleh istri yang peneliti temukan adalah
sebagai berikut:
1. Tidak ada Keharmonisan
Tidak ada keharmonisan merupakan salah satu alasan bagi seorang istri
mengajukan perceraian, disebabkan karena terjadinya percekcokan, perlakuan suami
kepada istri dengan seenaknya saja tanpa memperdulikan perasaan seorang istri,dan
perselisihan pendapat. Faktor tidak ada keharmonisan merupakan faktor yang
memiliki persen yang sangat tinggi, sekitar 89% dari 100%, karena setiap perkara
yang masuk ke register Mahkamah Syar’iyah mengaku kalau rumah tangganya
mengalami

perselisihan

yang

terus-menerus

sehingga

tidak

pantas

untuk

dipertahankan lagi.
2. Tidak Adanya Tanggung Jawab
Tidak adanya tanggung jawab yang dimaksud disini adalah, suami tidak
menafkahi keluarga lagi atau suami jarang pulang kerumah. Persentase tidak adanya
tanggung jawab termasuk tinggi yaitu sekitar 75% dari 100%, karena rata-rata istri
yang mengajukan perkaranya di Mahkamah Syar’iyah sudah berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun telah ditinggalkan oleh suaminya. Terkadang ketika hidup bersamasama pun suami tidak bertanggung jawab terhadap nafkah istri, ketika tidak lagi
hidup bersama, baik nafkah lahir maupun bathin sudah tidak lagi suami pedulikan.
3. Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor terjadinya cerai gugat.Seorang
suami seharusnya memberikan nafkah, namun pada zaman sekarang ini, banyak kita
lihat bahwa istri yang lebih dominan memberi nafkah, meskipun cuma
sebagian.Namun terkadang karena seorang istri merasa dirinya lebih tinggi baik dari
segi fisik, pekerjaan, ataupun pendidikandari suami sehingga menyebabkan istri
mengajukan perkara cerai gugat.Perkara seperti ini sekitar 50% dari 100%
mendominasi register perceraian di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

139

4. Gangguan Pihak Ketiga
Gangguan pihak ketiga,yaitu adanya orang lain yang menganggu hubungan
suami istri tersebut, seperti banyak yang terjadi sekarang para suami selingkuh
dengan wanita lain, baik melalui hp maupun sempat ditangkap oleh orang-orang
kampung ataupun tiba-tiba sudah menikah dengan perempuan lain tanpa
sepengetahuan istri. Tidak bisa dipungkiri lagi, ketika suami sudah mempunyai istri
yang kedua, menyebabkan seorang istri mengajukan gugatan cerai. Perkara dalam
kategori ini sekitar 40% dari 100% masuk ke register Mahkamah Syar’iyah
Meulaboh.
5. Cemburu
Cemburu mendominasi sekitar 35%dari 100% masuk ke register Mahkamah
Syar’iyah Meulaboh. Salah satu contohnya, yaitu seorang suami sering curiga kepada
istrinya, atau tidak puasnya terhadap perangai istri apabila sedang berada diluar
rumah. Cemburu di sini adalah cemburu yang berlebihan sehingga apa dikerjakan
istri selalu dicurigai suami, dan apapun yang dikerjakan istri tetap tampak salah di
mata suaminya. Akhirnya berujung ke percekcokan lagi.Apalagi jika istri cenderung
lebih tinggi kedudukan baik dalam hal paras, pendidikan, maupun pekerjaan dari
suami.

6. KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga mempunyai persentase sekitar 30 %.Dari
100%.Banyak para istri yang hanya mendiamkan apa yang telah dilakukan suami
terhadap mereka, tanpa mendokumentasi (foto) ataupun membuat bukti bahwa
mereka telah diperlakukan secara kasar. Baru setelah mengajukan perkara ke
Mahkamah Syar’iyah, istri diminta visum et repertum sebagai bukti otentik bahwa
istri telah menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
7. Campur tangan pihak lain

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

140

Maksudnya disini adalah adanya pihak-pihak seperti keluarga yang sangat
mencampuri urusan suami istri, sehingga suami istri tersebut menjadi tidak
nyaman.Sehingga pada akhirnya memutuskan nasib rumah tangganya di Mahkamah
Syar’iyah.Perkara seperti hanya sekitar 10% dari 100%, sebuah presentase yang kecil
namun tidak bisa dianggap sepele.
Jika dirincikan dalam tabel :
Penyebab Perceraian
Persentase
Tidak ada keharmonisan
89 %
Tidak adanya tanggung jawab
75 %
Ekonomi
50 %
Gangguan pihak ketiga
40 %
Cemburu
35 %
KDRT
30 %
Campur tangan pihak lain
10 %
Sumber :Data Mahkamah Syar‟iyah Meulaboh tahun 2013
Peneliti membuat semua persentase penyebab perceraian berbanding 100%,
maksud 100% disini adalah keseluruhan perkara cerai gugat pada tahun 2013 yaitu
174 perkara, sedangkan persentasenya adalah jumlah perkara cerai gugat yang berasal
dari penyebab perceraian itu. Sehingga pada akhirnya persentase tertinggi adalah:
tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga. Ini merupakan salah satu alasan yang
terbanyak dan selalu ada perkara cerai gugat.

Perkara Cerai Gugat yang diteliti
Dari 174 perkara cerai gugat pada tahun 2013 yang masuk ke register
Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, maka yang diambil sebagai sampel adalah yang
paling ekstrim, yaitu: Usia ketika menikah baik usia yang paling cepat menikah dan

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

141

usia yang paling telat menikah. di bawah ini peneliti uraikan kasus tersebut yang
berisi: identitas, keadaan rumah tangga, pertimbangan hakim beserta vonis dan
analisis peneliti
Kasus Pertama: Kategori usia menikah paling muda (42. Pdt.G/ 2013)
Penggugat Dara binti Dari (nama disamarkan) umur 47 tahun, agama Islam,
pendidikan SD (tidak tamat), pekerjaan tani, tempat tinggal di Kabupaten Nagan
Raya (alamat tidak dirincikan), adalah istri yang sah dari tergugat Bob bin Simin
(nama disamarkan), umur 53 tahun, agama Islam, pendidikan SMP, pekerjaan tani,
tempat tinggal di Kabupaten Nagan Raya (alamat tidak dirincikan), yang menikah
pada hari senin tanggal 19 Oktober 1979 di KUA, Kabupaten Nagan Raya. Ketika
menikah penggugat berusia 14 tahun dan tergugat berusia 20 tahun. Perkawinan telah
berlangsung selama 34 tahun lamanya dan sudah bergaul layaknya suami istri
sehingga di karuniai 4 orang anak. Kehidupan rumah tangga yang aman dan damai
sudah sekitar 25 tahun setelah itu tepatnya sesudah tsunami pada awal tahun 2005
penggugat dan tergugat selalu terjadi perselisihan yang terus menerus yang
disebabkan hal-hal berikut:


Tergugat telah menikah siri dengan wanita lain



Semenjak nikah sirri tersebut tergugat tidak memperdulikan tanggung jawab
nafkah lahir batin terhadap penggugat terhitung sudah tujuh tahun lamanya



Penggugat telah berusaha menjemput tergugat akan tetapi tergugat tidak mau
kembali lagi sama penggugat
Maka berdasarkan hal-hal yang tersebut di atas, penggugat memohon kepada

hakim Mahkamah Syar’iyah Meulaboh untuk menjatuhkan talak satu bain sughra
tergugat kepada penggugat dan putusan yang seadil-adilnya.
Adapun pertimbangan Hakim dalam persidangan yang berlangsung, tergugat
tidak pernah hadir ke persidangan, mediasi tetap diupayakanakan tetapi tidak
membuahkan hasil dan penggugat tetap pada pendiriannya. Atas ketidakhadiran

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

142

tergugat di persidangan, hakim tidak mendapatkan jawaban ataupun tanggapan
padahal sudah dipanggil secara patut dan sah. Maka perkara ini dapat diperiksa dan
diputus tanpa hadirnya tergugat (verstek) sesuai dengan pasal 149 ayat (1) Rbg.
Gugatan yang diajukan juga telah terbukti dan memenuhi alasan sebagaimana
pasal 39 angka (2) huruf (b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan jo pasa 19 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal
116 huruf (b) Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, dan pendapat Ulama dalam kitab Ia‟natul Thalibin Juz IV hal. 86 yang
berbunyi; “Berlakunya fasakh itu untuk menjaga isteri dari penderitaan, karena tidak
ada nafkah, pakaian dan mahar”
Maka hakim Mahkamah Syar’iyah akhirnya memutuskan:
1. Menyatakan tergugat yang telah dipanggilsepatutnyatidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek;
3. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat terhadap penggugat
4. Memerintahkan panitera Mahkamah Syar’iyah Meulaboh untuk menyampaikan
sehelaisalinan putusan ini kepada PPN/KUA Kabupaten Nagan Raya, setelah
putusan ini berkekuatan hukum tetap;
5. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
391.000,- (tiga ratus sembilanpuluh satu ribu rupiah);
Peneliti menganilisa bahwa para pihak dalam perkara diatas merupakan
pasangan paling muda ketika menikah yaitu: penggugat berumur 14 tahun dan
tergugat berumur 20 tahun. Ketika menilik umur diantara keduanya tampak bahwa
penggugat telah menikah di bawah umur, dalam KHI pasal 15, disebutkan: (1)
Untuk kemashlahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umurt yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

143

Faktor usia turut mempengaruhi pembentukan keluarga sakinah. Karena usia
dalam pernikahan adalah faktor utama dan penting dalam upaya melanggengkan
ikatan perkawinan antara pasangan suami istri. Usia pernikahan yang baik adalah
jangan terlalu muda dan jangan terlalu tua.
Seorang pria atau wanita, sebelum masuk masa kematangannya, akan
mengalami berbagai macam perubahan fisik dan mental atau yang lebih popular
disebut sebagai masa puber. Oleh karena itu, apabila seorang wanita yang menikah
dalam usia yang sangat muda, maka akan sedikit mempunyai kesempatan untuk
memiliki anak dan keturunan dari rahimnya sendiri, karena wanita yang terlalu muda
akan mengalami kesulitan dan kesusahan dalam masa melahirkan.14 Penggunaan alat
reproduksi wanita yang belum cukup sempurna, akan berpengaruh pada kesehatan
mental dan fisiknya. Tentunya hal ini akan menjadi problema tersendiri bagi ibu
muda tersebut.
Secara psikologis, pendewasaan usia kawin mutlak diperlukan, karena kawin
paksa atau kawin di usia terlalu muda sering membuat mental suami istri belum siap
untuk menghadapi berbagai persoalan keluarga, sehingga sering mengalami
kegagalan dalam rumah tangga, karena masih tingginya tingkat emosi kedua belah
pihak.15 Emosi merupakan bagian mental yang memerlukan pembinaan secara baik,
karena dia merupakan luapan perasaan yang timbul baik secara spontanitas, maupun
secara rutinitas.16
Namun, setelah mencermati isi duduk perkara di atas dapat diketahui bahwa
yang menjadi sebab terjadinya sengketa ini adalah karena penggugat tidak sanggup
lagi mempertahankan keadaan rumah tangganya dengan tergugat yang telah menikah
siri dengan wanita lain dan sudah tidak lagi memberikan nafkah lahir dan batin yang
menjadi kewajiban suami dan menjadi hak istri.
14

Dep. Kes. R.I., Indonesia Sehat 2010, (Jakarta: Depkes R.I, 1999), 23.
Hidayat Salim, Rumahku Mahligaiku, cet VII, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 19.
16
Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta; Gunung Agung, 1969), 64.
15

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

144

Dalam hal ini beristri lebih dari satu (poligami) sebenarnya telah diatur dalam
KHI Pasal 55-59. Bahwasanya syarat dari berpoligami adalah suami harus adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya, dan jika seandainya istri tidak dapat lagi
menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Maka dalam perkara ini penggugat
tidak termasuk dalam bolehnya tergugat melakukan poligami, dikarenakan hak
penggugat dan anak-anak penggugat diabaikan sehingga tergugat melanggar syarat
yang telah ditetapkan untuk poligami.
Masalah nafkah lahir bathin yang telah lama tidak diberikan oleh tergugat
sudah sekitar 7 tahun lamanya juga menjadi pertimbangan dalam analisis ini. Bukan
hanya nafkah istri yang dilalaikan melainkan juga nafkah untuk anak-anak penggugat.
Akan tetapi, nafkah untuk anak menjadi gugur dengan kadaluwarsa apabila jika
ternyata selama anak tidak mendapatkan nafkah dari ayahnya, ia mampu membiayai
diri sendiri dengan hartanya sendiri. Anak-anak penggugat diketahui melalui BAP
(Berita Acara Persidangan), bahwasanya 2 orang sudah berumah tangga, dewasa dan
mandiri. Sedangkan 2 orang lagi masih didalam tanggungan penggugat. Masalah
nafkah adalah kewajiban suami yang diberikan kepada istri dan anak-anak, meskipun
nafkah keluarga dibebankan kepada suami, Islam tidak melarang istri membantu
suaminya dalam mencari nafkah dengan izin suaminya, sepanjang tidak mengganggu
tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Dalam perkara ini dibuktikan pula bahwasanya
penggugat juga berprofesi sebagai petani. Sehingga tampak bahwasanya nafkah lahir
yang masih bisa diupayakan oleh penggugat dengan cara bertani, jadi ada nafkah lain
yang benar-benar diabaikan oleh tergugat yaitu nafkah batin.
Gugatan yang diajukan oleh penggugat terlihat wajar, karena sudah sekitar 7
tahun lamanya penggugat cukup bersabar tidak lagi mendapatkan nafkah lahir dan
batin dari tergugat. Nafkah disini bukan hanya untuk istri bahkan untuk anak-anak
yang belum dewasa/mandiri. Penggugat dan tergugat sama-sama tidak lagi hidup
bersama karena tergugat sudah menikah lagi dengan perempuan lain, walaupun sudah

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

145

diajak pulang akan tetapi tergugat tetap pada pendiriannya tidak mau pulang. Di sini
jelas bahwa permasalahan nafkah batin yang sangat disia-siakan. Karena ketika
tergugat tidak memberikan nafkah lahir, maka penggugat masih bisa mengusahakan
sendiri karena penggugat juga berprofesi sebagai petani.
Kasus kedua: Kategori Usia Menikah Paling Tua (144/Pdt.G/2013)
Pada hari Kamis tanggal 28 Maret 2013 terdaftar di Kantor Urusan Agama
Kaway XVI terjadi pernikahan antara Umi binti Umar (nama disamarkan), Umur 49
tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan Ibu rumah tangga, alamat
Kabupaten Aceh Barat (alamat tidak dirincikan), selanjutnya disebut sebagai
penggugat. Dengan Arif bin Hasan (nama disamarkan), umur 54 tahun, agama Islam,
pendidikan SMA, pekerjaan Swasta/Geuchik, alamat Kabupaten Aceh Barat (alamat
tidak dirincikan), selanjutnya disebut sebagai tergugat. Dalam perjalanannya
pasangan ini tidak pernah rukun dan damai, adapun perselisihan yang terjadi
disebabkan oleh:
1. Masalah anak angkat tergugat yang sangat nakal. Sebelumnya, status yang
diemban keduanya adalah janda dan duda.
2. Perbedaan prinsip yang tidak sejalan dan selalu berselisisih.
3. Atas permasalahan di atas penggugat sudah tidak mau lagi hidup bersama
tergugat yang memang baru berjalan 3 bulan.
Adapun pertimbangan Hakim Atas dasar duduk perkara yang terjadi,
menimbang Penggugat tetap bersikeras ingin bercerai dengan tergugat. Sedangkan
tergugat tidak hadir ke persidangan sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 149 ayat
(1) RBg majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perkara ini tanpa hadirnya
tergugat (verstek); dalam BAP diketahui ternyata tergugat sangat jarang pulang ke
rumah, bahkan telah pisah rumah sejak sebulan yang lalu, tergugat ternyata juga

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

146

sudah menikah lagi dengan perempuan lain, ditambah lagi dengan keadaan keuangan
yang tidak transparan dan hanya bergantung kepada penggugat.
Menimbang, bahwa berdasarkan penilaian terhadap alat-alat bukti yang
diperlihatkan oleh penggugat, dalam kaitannya dengan keterangan beserta dalil-dalil
permohonan penggugat. Dan juga ditemukan pula fakta-fakta baru di persidangan.
Sehingga pihak hakim memutuskan yang isi putusannya di bawah ini:
1. Menyatakan tergugat yang telah dipanggil secara sah dan patut untuk menghadap
dipersidangan, tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek;
3. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat terhadap penggugat;
4. Memerintahkan panitera Mahkamah Syar’iyah Meulaboh untuk menyampaikan
salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat
Nikah pada Kantor Urusan Agama;
5. Membebankan kepada Penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp. 291.000,(dua ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
Para pihak menikah dengan usia yang tidak bisa lagi dibilang muda yaitu
penggugat berusia 49 tahun dan tergugat berusia 54 tahun. Dengan status duda dan
janda, di sini peneliti melihat bahwa masing-masing pihak masih terbawa keadaan
pada status sebelumnya dan masih belum bisa menerima kehidupan baru dengan
pasangannya sekarang. Terbukti juga dengan masa pernikahan yang begitu singkat
hanya 3 bulan. Tampak di sini ada sesuatu di diri penggugat yang tergugat tidak sukai
sehingga baru seumur jagung menikah, tergugat malah menikah lagi dengan wanita
lain.
Penggugat juga mengaku tidak ingin ada orang lain di rumah, sehingga
mengganggu kenyaman hidup berumah tangga, sedangkan tergugat mempunyai anak
angkat. Menurut penggugat, anak angkat tergugat tersebut sangat nakal,sehingga

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

147

pada akhirnya penggugat tidak sanggup bersabar lagi sehingga mengajukan perkara
ini ke Mahkamah Syar’iyah.
Dengan status sudah pernah menikah sebelumnya seharusnya menjadi
pertimbangan yang matang bagi pasangan ini. Karena pasti ada anggota-anggota baru
lainnya yang akan mengisi hari-hari rumah tangga keduanya. Ini juga termasuk dari
tujuan perkawinan yaitu untuk memperluas ikatan kekerabatan (hurmatu almuşāharah).17 Namun, tampaknya hal ini yang tidak bisa diterima penggugat. Anak
yang sudah dianggap anak sendiri oleh tergugat ternyata tidak disukai oleh penggugat
sebagai istri baru tergugat. Ditambah lagi dengan alasan-alasan lain menjadi
pertimbangan penggugat dalam mengajukan perkara.
Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, peneliti
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Terjadinya cerai gugat yang sangat tinggi dibandingkan cerai talak terlihat
bahwasanya suami telah melepaskan tanggung jawab atau kesadaran untuk
bertanggung jawab sangat menurun, padahal istri sudah cukup bersabar sebelum
mengajukan perkara di Mahkamah Syar’iyah. Akan tetapi dengan sikap suami
tersebut membuat istri tidak sanggup lagi untuk hidup bersama.
2. Banyak alasan-alasan perceraian yang telah disebutkan di dalam KHI, di
Mahkamah Syar’iyah Meulaboh sendiri alasan-alasan dalam mengajukan cerai
gugat lebih di dominasi oleh alasan-alasan sebagai berikut:

tidak adanya

keharmonisan, tidak adanya tanggung jawab, ekonomi, gangguan pihak ketiga
(selingkuh/poligami), cemburu, KDRT, dan campur tangan pihak lain. Dan usia
pernikahan merupakan faktor yang paling ektrim penyebab terjadinya cerai gugat.

17

Agusni Yahya, dkk.Hak dan Kewajiban Perempuan sebagai Istri, (Banda Aceh: Yayasan
flower Aceh dan The Asia Fondation, 2002), 71

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

148

Bibliography
Books

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2001.
Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari‟at Islam, terj: H. Basri Iba Asghary dan
Wadi Masturi, cet ke-II, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.
Agusni Yahya, dkk.Hak dan Kewajiban Perempuan sebagai Istri, Banda Aceh:
Yayasan flower Aceh dan The Asia Fondation, 2002.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai
KHI,
Dep. Kes. R.I., Indonesia Sehat 2010, .Jakarta: Depkes R.I, 1999.
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni. Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif-sebagai ilmu
Hukum Empirik-Deskritif, Bandung: Rimdi Press. 1995.
Hidayat Salim, Rumahku Mahligaiku, cet VII, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994..
Intruksi Presiden R.I. Nomor I Tahun 1991, Kompilasi Hukum di Indonesia.
Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Seri
INIS XXXIX, Jakarta: 2002.
Tarmizi M. Jakfar, Poligami dan Talak liar dalam Perspektif Hakim Agama di
Indonesia, Cet I, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007.
UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Zaini Nasoah, Perceraian: Hak Wanita Islam, Malaysia: Perpustakaan Negara
Malaysia, 2002.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, Palu: Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, 2002.
Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, Jakarta; Gunung Agung, 1969.

Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017

149