Tingginya Volume Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk

Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : Reza Setiawan NIM : 107044102233

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

i

AGAMA JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Syariah (S.Sy) oleh :

Reza Setiawan NIM : 107044102233

Di bawah Bimbingan

Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag Nip. 1973 0802 2003 121001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

ii

AGAMA JAKARTA TIMUR”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 20 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S. H., M. A, M. M NIP. 195505051982031021

PANITIA UJIAN

1. Ketua Majelis : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA

NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Dra. Hj. Rosdiana, M.A

NIP. 196906102003122001

3. Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag

NIP. 197308022003121001

4. Penguji I : Abdur Rouf, Lc., M.A

NIP. 197312152005011002

5. Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag., M.H


(4)

iii Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Mei 2011


(5)

iv

ميحرلا نمرلا ها مسب

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat serta salam senentiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsun, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku

Ketua Prodi dan Sekertaris Prodi al-Akhwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

v

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta Staf pengajar pada lingkungan Prodi

al-Akhwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan.

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah banyak membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

6. Bapak Drs. H. Wakhidun AR., S.H., M.Hum., selaku ketua Pengadilan Agama

Jakarta Timur dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Bapak Drs. H. Nemin Aminuddin, S.H., M.H., dan Drs. Nasrul, M.A., selaku

Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang senantiasa memberikan wejangan dan bimbingan pada penulis selama penulis melakukan penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

8. Bapak Pahrurrozi, S.H., selaku Panitra Muda Hukum di Pengadilan Agama

Jakarta Timur yang senantiasa membantu penulis selama mencari data dan membimbing penulis untuk wawancara kepada Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

9. Sejumput bakti ananda persembahkan kepada Ayahanda Bambang Srenggono


(7)

vi

memberikan kasih sayang disertai do’a penuh rasa tulus dan ikhlas dalam jejak langkahku. Semoga baktiku ini mampu menjelma menjadi do’a. Amin.

10.Selaksa doa dan harapan penulis panjatkan untuk kakak serta adikku tercinta Sri

Wahyuni, S.Pd dan Tri Suwartini yang telah membantu serta memberi support kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Semoga kelak kalian berdua mampu merengguh impian serta cita-cita.

11.Sahabat-sahabat seperjuangan di MAN 2 Jakarta yang juga lulus tes masuk di

Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta: Puad, Fikri, Novel dan Adi semoga kelak kalian cepat menyusul untuk wisuda.

12.Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada semua teman-teman

diskusi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN SYAHID Jakarta angkatan 2007, yang telah melangkah bersama penulis dalam petualangan asah kecerdasan dan kearifan terutama kepada: Kholil, Afif, Rizki, Rizka Firlana, Salman, Noval, Achir, Pirdaus dan kawan-kawan seperjuangan jurusan Peradilan Agama Angkatan 2007 yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Mudah-mudahan jalinan persahabatan kita tak akan luntur dilekang waktu dan semoga persahabatan ini bisa terjalin sampai kapan pun dan di manapun kita berada.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berliupat ganda.


(8)

vii

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senentiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 12 Mei 2011


(9)

viii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Review Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian... 9

F. Sistematika Penulian ... 14

BAB II. TINJAUAN TEORITIS CERAI GUGAT A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ... 15

B. Sebab dan Macam Perceraian ... 18

C. Pengertian dan Penyebab Cerai Gugat ... 28


(10)

ix

A. Sejarah Singkat kelahiran ... 42

B. Kedudukan dan Letak ... 48

C. Wilayah Yuridiksi ... 49

D. Struktur Organisasi ... 51

BAB IV. PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Gambaran Perkara Cerai Gugat dari Tahun 2008-2010 ... 55

B. Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur ... 57

C. Analisa Penulis Terhadap Volume Cerai Gugat ... 62

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 69

B. Saran-saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(11)

ix

1. Pedoman Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.

2. Pedoman wawancara Penggugat/tergugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

3. Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.

4. Hasil Wawancara dengan Penggugat/Tergugat di Pengadilan Agama Jakarta

Timur.

5. Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Pada

Tahun 2008, 2009, 2010.

6. Bagan Struktur Pengadilan Agama Jakarta Timur.

7. Perkara yang Diterima di Pengadilan Agama Jakarta Timur Pada Tahun 2008,

2009, 2010.

8. Perikara yang Diputus di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada Tahun 2008,

2009, 2010.

9. Putusan Cerai Gugat Pengadilan Agama Jakarta Timur

10.Surat Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi

11.Surat Mohon Data dan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

12.Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dan Wawancara di Pengadilan


(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dan hanya terjadi yaitu sekali

dalam seumur hidup. Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan

gholizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dalam membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang kekal dan abadi dan pelaksanaannya merupakan ibadah.

Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan agar dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan, dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasuluallah. Oleh karena itu, untuk memperoleh kehormatan dan kesempurnaan iman seseorang, salah satu caranya dengan menikah.

Menurut Sayyid Sabiq, pernikahan merupakan salah satu Sunnattullah yang berlaku pada semua mahluk tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang biak, dan melestarikan kehidupannya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang

positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.1

1


(13)

Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, sehingga manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah tidak akan membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semau-maunya, atau seperti tumbuhan yang kawin dengan perantara angin.

Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya yang

keseluruhannya termaktub dalam al-Quran dan hadist.

Pernikahan merupakan sarana untuk membina rumah tangga yang utuh

sakinah, mawaddah warahmah yang pastinya didambakan dan diinginkan oleh setiap pasangan dalam kehidupan berkeluarga. Sebagaimana telah disebutkan dalam al-Quran surat ar-Ruum ayat 21 yang artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada-Nya, dan di jadikannya diantaramau rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q. S. ar-Ruum/30: 21)

Tujuan perkawinan menurut ajaran agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya


(14)

kebutuhan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.

Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan ialah perkawinan untuk selama-lamanya yang dipilih oleh rasa kasih sayang dan saling cinta mencintai. Karena itu agama Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara, dalam waktu-waktu tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu

saja seperti nikah mut’ah, nikah muhallil dan sebagainya.2

Islam sebagai agama yang inklusif dan toleran memberi jalan keluar, ketika suami istri yang tidak dapat lagi meneruskan perkawinan, dalam arti adanya ketidak cocokan pandangan hidup dan percekcokan rumah tangga yang tidak bisa didamaikan lagi. Maka Islam memberi jalan keluar yang dalam istilah fiqh di sebut dengan thalak (perceraian). Agama Islam memperbolehkan suami istri bercerai tentunya dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat

dibenci Allah SWT.3

Sementara itu hikmah dari perceraian menurut Amir Syarifuddin dalam garis-garis besar fiqh adalah walaupun perceraian itu dibenci terjadinya dalam suatu rumah tangga, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu, dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga rumah tangga akan

2

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet.III, h. 144

3

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pandangan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet Ke-2, h. 102


(15)

menimbulkan madarat yang lebih jauh, maka lebih baik ditempuh perceraian.

Dengan demikian perceraian dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan maslahat.4

Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakkan perdamaian atau mediasi secara maksimal dapat dilakukan atas kehendak suami ataupun permintaan si istri. perceraian yang dilakukan atas permintaan istri disebut Cerai Gugat.

Maksud cerai gugat adalah permintaan istri kepada suaminya untuk

menceraikan (melepaskan) dirinya dari ikatan perkawinan dengan disertai iwadh

berupa uang atau barang kepada suami dari pihak istri sebagai imbalan penjatuhan talak cerai gugat pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan sebagai imbalan hak talaknya, dan menyadarkan bahwa istri pun mempunyai hak yang sama untuk mengakhiri perkawinan. Artinya dalam situasi tertentu istri yang sangat tersiksa akibat ulah suami mempunyai hak menuntut

cerai dengan imbalan sesuatu.5

Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun mulanya suami istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian telah datang dan suami istri tidak dengan

4

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Persada Media, 2003), h. 127-128

5

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet Ke-1, h. 172


(16)

sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu, upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan. Memang benar kasih sayang itu beralih menjadi kebencian, akan tetapi pula perlu

diingat bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali menjadi kasih sayang.6

Dengan adanya kemajuan kehidupan berumah tangga pada zaman sekarang ini, sering terjadi berbagai macam kasus perceraian yang kita jumpai di lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan Pengadilan Agama yang mana Cerai Gugat lebih Tinggi dibanding dengan cerai talak walaupun yang sebenarnya adalah suami memiliki hak prerogatif untuk menceraikan istrinya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis berniat untuk meneliti tentang tingginya cerai gugat di Pengadilan Agama. Dalam hal ini, Pengadilan Agama

Jakarta Timur. Penelitian ini penulis beri judul “Tingginya Volume Cerai Gugat

di Pengadilan Agama Jakarta Timur”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis hanya meneliti data penyebab cerai gugat yang terjadi pada tahun 2008-2010 Pada Pengadilan Agama Jakarta Timur. Di sini penulis mencoba menyajikan data-data yang

6

Satria Evendi dan M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah”, diterbitkan atas kerja sama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dan Balitbang Depag R.I, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet 1, h. 96-97


(17)

menyebabkan terjadinya perceraian akibat cerai gugat serta faktor paling dominan yang menyebabkan cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

b. Perumusan Masalah

Dibandingkan dengan pengadilan agama yang ada di Jakarta penulis tertarik meneliti permasalahan cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur karena kasus yang terjadi di sana lebih banyak dan melebihi dibandingkan dengan pengadilan agama lainnya.

Masalah pokok yang akan penulis teliti dalam skripsi ini meliputi tiga hal sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi faktor penyebab cerai gugat di Pengadilan Agama

Jakarta Timur pada tahun 2008-2010?

b. Apakah faktor yang paling dominan penyebab tingginya cerai gugat di

Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tahun 2008-2010?

c. Bagaimana hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menanggulangi

banyaknya kasus cerai gugat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Untuk mengetahui apakah yang menjadi penyebab cerai gugat di


(18)

b. Untuk mengetahui faktor yang paling dominan penyebab tingginya cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tahun 2008-2010.

c. Untuk mengetahui penanggulangan tingginya cerai gugat di Pengadilan

Agama Jakarta Timur

2. Manfaat

a. Menambah khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan hukum

keluarga pada khususnya.

b. Bagi penulis, untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Syariah

(S.Sy) pada fakultas syariah dan hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

c. Hasil pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi

peneliti selanjutnya.

D. Review Study Terdahulu

Skripsi ini membahas tentang permasalahan cerai gugat dan faktor yang paling dominan penyebab tingginya cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Sepengetahuan penulis perceraian adalah merupakan hak prerogatif seorang suami akan tetapi pada zaman sekarang ini sudah banyak perubahan yang menyebabkan seorang istri yang meminta cerai kepada suaminya dengan alasan-alasan yang beragam. Ada sedikit permasalahan dalam judul ataupun pembahasan seperti yang penulis lihat pada perpustakaan-perpustakaan, baik perpustakaan utama, perpustakaan fakultas syariah dan hukum maupun


(19)

perpustakaan-perpustakaan yang lain. Namun, penelitian penulis ini adalah berbeda dengan skripsi-skripsi yang telah ada sebelumnya. Dalam skripsi ini akan disajikan masalah cerai gugat serta faktor yang paling dominan penyebab cerai gugat itu. Dalam hal ini penulis juga akan melakukan wawancara pada hakim yang menangani kasus perkara cerai gugat agar mendapatkan jawaban-jawaban penyebab cerai gugat serta faktor yang paling dominan penyebab cerai gugat dan bagimana penangulangan cerai gugat yang terjadi di Pengadilan agama Jakarta Timur. Ada beberapa judul skripsi yang pernah dibaca pada perpustakaan yang tersedia di UIN Jakarta di antaranya:

Pertama, judul skripsi tentang: “Tingkat Cerai Gugat Di Jakarata

(Studi pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2006-2008).” Oleh: Muhammad Muslim Tahun 1430 H/ 2009 M. Pada judul skripsi tersebut hanya membahas apakah terjadi peningkatan atau penurunan cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada periode 2006- 2008 saja.

Kedua: “Cerai Gugat Dengan Sebab Tindak Kekerasan (Studi Pada

pengadilan Agama Jakarta Selatan).” Oleh: Andri Safa Sinaga tahun 1430H/

2009 M, pada pembahasan skripsi ini hanya membahas faktor yang menyebabkan istri menggugat cerai suaminya karena suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Ketiga: “Gugat Cerai Karena Suami Pemakai Narkoba (Studi atas

Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Tahun 2005-2008).” Oleh: Zulfikar tahun 1430 H/ 2009 M, pada pembahasan skripsi ini penulis hanya menjelaskan


(20)

landasan atau dasar hukum hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutus perkara cerai gugat dengan alasan suami pemakai narkoba.

Dari ketiga skripsi di atas, penelitian penulis ini jelas akan berbeda dengan ketiganya. Di samping karena substansinya, juga karena tempat kasusnya juga berbeda. Penulis hanya meneliti kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode-metode yang umumnya berlaku dalam penelitian dan bisa dihadirkan ke dalam beberapa katagori:

1. Jenis penelitian

Desain dalam penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin

tentang manusia, keadaan, gejala-gejala lainnya.7 Adapun pendekatan masalah

yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu suatu pendekatan metode yang berfungsi sebagai prosedur penelusuran masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain). Berdasarkan

fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.8

7

Sukandarrumidi, Metodelogi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004), h. 104

8

Hadad Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998). Cet: ke-8. h. 63


(21)

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pendekatan Normatif

Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka, produk-produk hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.9

Kaitannya dengan pendekatan ini adalah untuk meneliti faktor penyebab cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur

b. Pendekatan Sosiologis

Yaitu pendekatan dengan melihat fenomena masyarakat atau peristiwa sosial budaya sebagai jalan untuk memahami hukum yang

berlaku dalam masyarakat.10 Pendekatan ini penulis gunakan untuk

mendeskripsikan fakta berupa faktor penyebab perceraian sehingga isteri berani menggugat suami.

c. Pendekatan Historis

Yaitu pendekatan dengan melihat sejarah yang mendasari suatu hal yang tersebut terjadi dan melihat kondisi waktu yang berbeda. Dalam hal ini penulis mencoba mendeskripsikan tentang sejarah kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara cerai gugat.

9

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 1995), Cet, h. 13-14

10

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 1999) Cet. IX, h. 45


(22)

3. Jenis Data

Adapun jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data primer, yaitu data-data yang diperoleh langsung dari sumbernya.

Dalam hal ini, data yang diperoleh penulis berupa data yang diperoleh langsung dari para informan yang terdiri dari para hakim yang memang menangani kasus cerai gugat.

b. Data sekunder, yaitu data-data yang memberikan penjelasan mengenai

data primer dan menguatkan data primer yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, dan seterusnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut:

a. Studi dokumentasi, yaitu penelitian yang dilakukan di

perpustakaan-perpustakaan, arsip, dan lain-lain.11 Studi dokumentasi ini dilakukan

dengan cara mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan erat dengan aspek-aspek permasalahan, mengambil data, meneliti, dan mengkaji literatur. Atau buku-buku rujukan tentang perkawinan dan perceraian, maupun sumber-sumber lain yang menunjang serta mempermudah penelitian ini.

11


(23)

b. Wawancara (interveiw), yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan

yang diwawancarai membenarkan jawaban atau pertanyaan itu.12

Setelah mengumpulkan data berupa teori dan fakta di lapangan

Dalam hal ini, penulis mengadakan wawancara bebas terpimpin terhadap hakim yang menangani kasus cerai gugat serta orang yang berperkara cerai gugat yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman, tetapi disesuaikan dengan situasi wawancara.

5. Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, data lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada

orang lain.13

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan kasus cerai gugat yang terjadi di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Timur sehingga di dapat suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.

12

Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 135

13


(24)

6. Pedoman Penulisan Skripsi

Dalam skripsi ini, penulis berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi tahun 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menggunakan Ejaan Bahasa Yang Disempurnakan (EYD) dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:

a. Dalam daftar pustaka, al-Qur’an ditulis pada urutan pertama, sesuai

dengan ketinggian dan kemuliaan al-Qur’an itu sendiri.

b. Beberapa kata atau istilah yang masih mempergunakan Ejaan Suwandi,

seperti bentuk nama seseorang atau identitas tetap ditulis biasa.

c. Nama kitab atau buku dicetak miring.

d. Kutipan yang diambil dari buku-buku yang berejaan lama diubah dan

disesuaikan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, penulis akan mencantumkan Devinisi Operasional sebagai berikut:

a. Perceraian adalah perihal memutuskan hubungan suami-istri dengan

menjatuhkan talak.

b. Cerai gugat adalah perceraian atas kehendak istri.

c. Khulu’ adalah permintaan cerai istri kepada suaminya dengan


(25)

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini yang terdiri dari:

Bab Pertama Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua Merupakan pembahasan sekitar masalah perceraian dan cerai gugat. Teori perceraian ini terbagi pada pengertian dan dasar hukum perceraian, sebab-sebab terjadinya perceraian, macam-macam perceraian, dan akibat hukum terjadinya perceraian. Sedangkan dalam masalah cerai gugat dikemukakan mengenai faktor-faktor penyebab cerai gugat dan alasan yang paling dominan

yang menyebabkan tingginya cerai gugat, serta masalah Khulu’ dalam hukum

keluarga Islam.

Bab Ketiga Merupakan paparan mengenai potret umum Pengadilan Agama Jakarta Timur. Potret umumnya mengenai sejarah kelahiran, kedudukan dan letak, wilayah yuridiksi, dan struktur organisasi.

Bab Keempat Merupakan pembahasan hasil penelitian yang terdiri dari data cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur tahun 2008-2010, analisis data penyebab cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur, hasil wawancara hakim yang menangani perkara cerai gugat serta faktor yang paling dominan penyebab cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

Bab Kelima Merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi ini yang terdiri dari keimpulan dan saran-saran.


(26)

15

TINJAUAN TEORITIS CERAI GUGAT

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian.

Agama Islam adalah agama yang sangat toleran dalam menentukan suatu permasalahan yaitu berupa permasalahan dalam perkawinan. Setiap pasangan memiliki hak yang sama dalam menentukan keharmonisan rumah tangganya. Apabila terjadi perselisihan terus menerus dan tidak ada kecocokan lagi dalam mengarungi bahtera rumah tangga baik yang dirasakan oleh suami atau istri dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.

Kata perceraian berasal dari kata “Cerai” mendapat awalan “per” dan

akhiran “an”, yang secara bahasa berarti melepas ikatan. Kata perceraian adalah

terjemah dari bahasa arab “Thalaqa-Yathlaqu-Thalaaqan” yang artinya lepas dari

ikatan, berpisah, menceraikan, pembebasan.1 Sayyid Sabiq mendefinisikan talak

dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya

mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.2

Secara garis besar, talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk memutuskan atau menghentikan berlangsungnya suatu perkawinan. Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya, talak dapat dilakukan apabila suami maupun istri merasa sudah tidak dapat lagi mempertahankan

1

Ahmad Warsono Munawir, Almunawir Kamus Besar Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet. Ke-14, h.681.

2


(27)

perkawinannya tersebut. Sebaliknya, gugatan cerai dapat pula diajukan oleh istri kepada suaminya dengan alasan-alasan yang telah diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.

Pada masa silam, memang talak merupakan hak preogatif (hak luar biasa

tentang hukum) bagi suami. Namun, kini istri juga mempunyai hak yang serupa dengan suami. Dalam hal ini, bukan hanya suami yang mempunyai hak untuk memutuskan tali perkawinan. Namun Islam juga memberikan hak kepada istri untuk memutus tali perkawinan dengan mengajukan gugatan cerai kepada suami dan istri memberikan semacam ganti rugi untuk menebus dirinya agar suami bersedia menjatuhkan talak kepadanya. Dalam Islam, perceraian semacam ini

disebut dengan khulu’

Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. Sebagai berikut:

Artinya

Dari Ibnu Umar, Nabi saw. Bersabda: “Perbuatan halal yang dibenci oleh Allah

adalah talak/ perceraian”.(Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, dan disahihkan oleh al-Hakim)

3

Abu Daud Sulaiman Sajastani, Sunan Abu Daud, (Kairo : Mustafa al-Babi al- halabi, 1952), Juz I, h. 503


(28)

Berdasarkan hadis tersebut, bisa diketahui bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif tersebut dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencapai kedamaian di antara kedua belah pihak, baik

melalui hakam (arbitrator)4 dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan

teknik yang diajarkan oleh al-Quran dan al-Hadis.5

Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang berbicara tentang masalah

perceraian. Di antara ayat-ayat yang menjadi landasan hukum perceraian adalah firman Allah SWT:































































(

رق لا

:

230

)

Artinya:

Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka

perempaun itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Q.S al-Baqarah/2:230)

4

Terdapat langkah yang dijelaskan dalam al-Quran mengenai hakam (arbitrator) yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 35 tentang perdamaian.

5


(29)

B. Sebab dan Macam Perceraian

Perceraian dapat terjadi karena penyebab yang beragam, di antaranya adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 113 disebutkan ada tiga hal yang menjadi sebab putusnya perkawinan, yaitu:

1. Karena kematian.

2. Karena perceraian.

3. Karena putusan Pengadilan.6

Dalam hal ini, penulis akan berusaha menguraikan sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu:

1. Karena kematian

Kematian sebagai salah satu alasan sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia maka dengan

sendirinya perkawinan akan putus.7 Apabila pihak suami atau istri yang masih

hidup ingin menikah lagi maka bisa saja, asalkan telah memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan dalam hukum Islam.

2. Karena Perceraian

Sebagaimana ketentuan dari Undang-Undang Perkawinan Pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa:

6

Anggota IKAPI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h. 38

7

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 216


(30)

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (1))

Menurut hemat penulis, maksud „di hadapan sidang pengadilan

agama’ ini dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak suami istri tersebut, sebagaimana hal tersebut dikaitkan dengan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang dinyatakan bahwa:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 2ayat (2))8

Maksudnya, apabila perkawinan harus dicatatkan, begitu pula bila terjadi perceraian antara keduanya. Jadi, ketika menikah suami istri tentu memiliki akta nikah sebagai bukti otentik perkawinannya dari pihak KUA (Kantor Urusan Agama). Namun, apabila terjadi perceraian, akta nikah diganti dengan akta cerai yang diberikan oleh pengadilan agama yang menangani

kasus perceraian suami istri yang bersangkutan.9

3. Karena Putusan pengadilan

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 dinyatakan bahwa:

8

Undang-Undang Perkawinan serta Penjelasannya, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Surabaya: Karya Anda, 1975), h. 6

9

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI. h. 217


(31)

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu

tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan

perundangan sendiri.10

Berkaitan dengan pasal di atas maka selanjutnya dijelaskan mengenai penyebab terjadinya perceraian yakni pada PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 dinyatakan perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

10

Undang-Undang Perkawinan serta Penjelasannya, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, h. 20


(32)

e. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.11

Selanjutnya dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian yang termaktub dalam Pasal 116 yang berbunyi,

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

11


(33)

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.12

Macam perceraian

Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada empat kemungkinan, yaitu:

1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah SWT sendiri melalui matinya salah

seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.

2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan

dinyatakannya kehendak itu dengan ucapan tertentu. Perceraian ini disebut

Talak.13

3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri, karena si istri melihat sesuatu

yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu.

Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri ini dengan membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan

12

Anggota IKAPI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, h. 38-39

13

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 197


(34)

ucapannya untuk memutus perkawinan itu. putusnya perkawinan dengan cara

ini disebut Khulu’.14

4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah

melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam

bentuk ini disebut Fasakh.15

Selain itu, ada pula hal-hal yang menyebabkan hubungan suami-istri tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan perkawinan itu secara hukum syara’.

Terhentinya hubungan perkawinan dalam hal ini ada tiga bentuk, yakni:

1. suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya

dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila suami telah membayar kaffarah. Terhentinya hubungan perkawinan itu dalam bentuk ini

disebut dengan zhihar.16

2. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak

menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu. Ia dapat meneruskan hubungan

suami istri bila suami telah membayar kaffarah. Dalam hal ini, perkawinan

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 197

15

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 197

16

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 198


(35)

tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut

dengan ila’.17

3. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah atas

kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina sampai selesai proses li’an dan perceraian di muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini

disebut dengan li’an.18

Dalam hal ini, perkawinan tidaklah putus namun yang terhenti hanyalah

hubungan suami istri. Namun ada satu pengecualian yaitu tentang masalah li’an

setelah diputus oleh pengadilan maka perceraian akan putus untuk selama-lamanya.

Ditinjau dari segi waktu dijatuhkan talak oleh suami, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Talak Sunni

Talak sunni yaitu talak yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang mentalak istrinya yang telah dicampurinya itu dengan sekali talak di masa suci dan istrinya itu belum ia sentuh lagi

selama masa suci itu,19

17

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 198

18

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 198

19

Syaikh Hasan Ayub, Fiqh Keluarga, Penerjemah M. Abd, Ghoffar, EM, (Jakarata: al-Kautsar, 2001), h. 211


(36)

Maksudnya, talak yang dibenarkan agama untuk dirujuk lagi ialah sekali cerai, lalu rujuk lalu cerai lagi. Lalu, apabila suami menceraikan istrinya sesudah rujuk yang kedua, maka ia boleh memilih antara terus mempertahankan istrinya dengan baik-baik atau justru melepaskannya dengan baik-baik.

2. Talak Bid’i

Talak bid’i yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama. Maksudnya, talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut, atau seorang mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga secara terpisah-pisah

dalam satu tempat.20

Ditinjau dari segi ucapan atau lafadz yang digunakan, talak terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Talak Sharih

Talak sharih yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan langsung tanpa menggunakan sindiran atau kiasan.

Maksudnya, kata-katanya yang keluar dari mulut suami itu tidak ragu-ragu lagi bahwa ucapanya itu untuk memutuskan hubungan perkawinannya.

Misalnya, kata-kata suami: “Engkau tertalak” atau “Saya ceraikan engkau”.

20

S. al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 223


(37)

Jadi kalimat sharih ini keluar dari mulut suami tanpa adanya niat atau dengan

niat, asalkan perkataannya itu bukan berupa hikayat atau cerita.21

2. Talak Kinayah

Talak kinayah yaitu talak dengan menggunakan kata-kata sindiran atau

samar-samar. Talak dengan kata-kata kinayah bergantung pada niat suami, artinya jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak maka jatuhlah talak yang dimaksud. Sebaliknya, jika suami dengan kata-kata kinayah tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka talak tidak

dinyatakan jatuh.22

Ditinjau dari segi boleh atau tidaknya suami kembali lagi kepada mantan istrinya, talak terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Talak Raj’i

Talak raj’i yaitu talak yang masih boleh dirujuk. Arti rujuk ialah kembali, artinya kembali mempunyai hubungan suami istri dengan tidak

melalui proses perkawinan lagi, tetapi melalui proses yang lebih sederhana.23

Dengan kata lain, talak raj’I bisa juga diartikan dengan talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang sudah digauli dan juga sebagai talak satu atau talak dua.

21

Ahmad Shiddieq, Hukum Talak dalam Islam, (Surabaya: Putra Pelajar, 2001), h. 16 22

Sri Mulyati, Relasi Suami Istri dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h. 30

23


(38)

Konsekuensinya, bila istri berstatus iddah talak raj’i, suami boleh

rujuk kepada istrinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa saksi dan mahar pula. akan tetapi kalau iddah telah habis, maka suami tidak boleh rujuk kembali kepadanya, kecuali dengan akad yang baru dan dengan membayar mahar pula. A. Fuad Said, dalam bukunya berpendapat bahwa talak raj’i ialah talak sunni

yang telah dicampur, baik dengan sharih maupun kinayah.24

2. Talak Ba’in

Talak ba’in yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang

belum pernah digauli atau talak tiga.25

Talak ba’in terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Talak Ba’in Sughra

Yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk kepada mantan istrinya,

tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil.26

b. Talak Ba’in Kubra

Yaitu Talak yang sama hukumnya dengan talak ba’in sughra, yaitu memutuskan tali perkawinan. Bedanya, talak ba’in kubra tidak

24

A. Fuad Said. Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), h. 55 25

A. Fuad Said. Perceraian Menurut Hukum Islam, h. 31 26

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 221


(39)

menghalalkan mantan suami merujuk istrinya lagi, kecuali istrinya

tersebut harus kawin terlebih dahulu dengan laki-laki lain (muhallil).27

C. Pengertian dan Penyebab Cerai Gugat

Hak melepaskan diri dari ikatan perkawinan tidak mutlak ditangan kaum lelaki, memang hak talak itu diberikan kepadanya, tetapi disamping itu kaum wanita diberi juga hak menuntut cerai dalam keadaan-keadaan dimana ternyata pihak lelaki berbuat menyalahi dalam menunaikan kewajibannya atau dalam

keadaan-keadaan yang khusus.28

Adanya kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan merupakan implementasi dari keadilan itu sendiri. Hukum yang dijadikan acuan tentunya tidak memihak pada satu kelompok saja. Kompilasi Hukum Islam yang menjadi aturan resmi bagi umat muslim tentunya bertujuan untuk memberikan rasa aman dan menjunjung tinggi keadilan. Oleh karenanya aturan yang tertera dalam Kompilasi hukum Islam memberikan peluang bagi kaum perempun untuk melakukan cerai gugat seperti yang diatur dalam fikih klasik dan peraturan perundang-undangan.

Cerai gugat menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 73 ayat 1 Tentang Cerai Gugat adalah suatu perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya

27

Sayyid Sabiq, Fikih Sunna, (Beirut: Dar al-Kitab al-Farabi, 1973), Jilid 2, Cet. II, h.234. 28

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidak-mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu jaya, 1989), h. 50-51


(40)

meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin penggugat.

Cerai gugat dalam syariat islam disebut sebagai khulu’ makna aslinya

meninggalkan atau membuka sesuatu jika yang meminta cerai itu pihak istri.29

Menurut bahasa khulu’ berasal dari kata khala’a tsauba yaitu melepaskan

pakaian.30 Karena istri diibaratkan sebagai pakaian suami dan sebaliknya suami

adalah pakaian istri.

Menurut istilah khulu’ berarti istri memisahkan diri dari suami dengan

ganti rugi atas talak yang diperbolehkannya, artinya jika seorang istri menghendaki suatu perceraian dari suaminya karena alasan yang dibenarkan

syariat maka ia harus memberikan iwad (ganti rugi) atas talak yang diperoleh dari

suami.31

Kebolehan melakukan khulu’ sesuai dengan firman Allah SWT:



















































































(

رق لا

:

229

)

29

Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet. I, h. 25

30

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Farabi, 1973), Jilid 2, Cet. II, h. 100 31


(41)

Artinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.

(Q.S.al-Baqarah/2:229)

Melakukan khulu’ diperbolehkan dalam syariat Islam bila disertai dengan

alasan yang benar.32 Tetapi jika tidak ada alasan apapun bagi istri untuk meminta

cerai dari suami maka mengenai hal ini, Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Tsauban bahwa Rasulullah bersabda:

Artinya: “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa

alasan yang dibenarkan maka diharamkan baginya aroma surga”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, ahmad dan Hakim)

Penyebab Cerai Gugat

Dalam mengarungi mahligai rumah tangga pasangan suami istri terkadang mengalami berbagai masalah, baik yang sifatnya masalah ringan sampai

32

Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Penerjemah As’ad Yasin, (Jakarta: Gema

Insani Press, 1995), h. 516

33 Abi Muhammad Husain bin Mas’ud Baghwi, 516

-463 H. Syarhus Sunnah jilid 5, Darul Kitabul Alamiah, Beirut, h. 143


(42)

permasalahan yang berat yang menyebabkan keutuhan rumah tangga dipertaruhkan hingga terjadinya perceraian.

Perceraian terjadi karena sebab-sebab yang beragam sebagaimana yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 selanjutnya permasalahan cerai gugat yang diatur dalam Undang-Undang 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Pasal 73 ayat 1 Tentang Cerai Gugat adalah suatu perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin penggugat.

Dalam sebuah rumah tangga sulit digambarkan tidak terjadinya sebuah percekcokan. Akan tetapi, percekcokan itu sendiri beragam bentuknya ada yang ibarat seni dan irama dalam kehidupan rumah tangga yang tidak mengurangi keharmonisan, dan ada pula yang menjurus kepada kemelut yang berkepanjangan

bisa mengancam eksistensi lembaga perkawinan.34

Maka pada saat terjadinya kemelut dalam rumah tangga istri dapat mengajukan gugatan perceraian kepada suaminya. Pada zaman dahulu memang hak menjatuhkan talak dimiliki oleh suami, akan tetapi pada zaman sekarang ini istri dapat meminta cerai kepada suaminya dengan cara menebus dirinya atau

yang biasa disebut khulu’ dalam hukum Islam.

Gugat cerai yang dilakukan istri kepada suaminya terjadi karena masalah yang beragam. Permasalahan tersebut terjadi karena sang istri telah merasa tidak

34

Satria Effendi dan M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Amnalisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 107


(43)

sanggup untuk melanjutkan rumah tangganya serta alasan-alasan lain yang dibenarkan secara hukum.

Dalam hal ini penulis akan menjelaskan penyebab istri melakukan gugat cerai kepada suaminya yaitu:

1. Tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga

Penyebab perceraian yang terjadi karena ketidakharmonisan rumah tangga sering terjadi, baik itu dalam perkara cerai gugat maupun perkara cerai talak. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga terjadi karena perbedaan pandangan antara suami dengan istri yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam rumah tangga serta tingkat pendidikan atau pengetahuan tentang membina keluarga jugalah penyebab perpecahan dalam rumah tangga

yang menyebabkan istri banyak menggugat cerai suaminya.35

2. Tidak ada tanggung jawab dari suami

Suami sebagai kepala rumah tangga sudah selayaknya memberikan tanggung jawab kepada kelurganya yaitu dengan cara memberikan nafkah, baik nafkah lahir maupun nafkah batin kepada keluarganya. Akan tetapi terkadang suami lalai kepada istri untuk memberiakan nafkah maka dari itu

35

Nemin Aminuddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 April 2011


(44)

istri merasa tidak tahan untuk melanjutkan rumah tangganya selanjutnya istri

dapat mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan agama setempat.36

3. Permasalahan ekonomi

Terjadinya krisis global yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang terjadi secara besar-besaran maka banyak suami di PHK dari kantornya. Dengan tidak bekerjanya suami maka nafkah yang diberikan oleh suami untuk kehidupan rumah tangganya sangatlah minim, maka dari itu banyak istri yang menggugat cerai suaminya karena alasan ekonomi yang

pas-pasan.37

4. Adanya ganguan pihak ketiga sebagai perusak rumah tangga orang lain

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga terkadang terjadi banyak perselisihan apabila adanya orang ketiga dalam rumah tangga baik itu istri maupun suami merasa tidak adanya lagi ketenangan dalam menjalankan kehidupan rumah tangganya. Dengan adanya orang ketiga terkadang suami juga jarang pulang dan lupa untuk memberikan nafkah kepada keluarganya hingga akhirnya banyak istri yang menggugat cerai suaminya ke Pengadilan Agama.

36

Nemin Aminuddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25 April 2011

37

Nasrul, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 April 2011


(45)

5. Adanya kecemburuan dari pihak wanita

Cemburu memiliki penyebab dan pendorong yang bermacam-masam. Dalam kenyataannya, bahwa pendorong cemburu mungkin timbul karena peran istri dalam mengaktualisasikan dirinya, dan pada sebagian kesempatan bahwa prilaku istri memiliki pengaruh terhadap kecurigaan dan kecemburuan suaminya. Pada umumnya istri tidak menyadari bahwa dirinya menjadi faktor penyebab berkobarnya api cemburu suaminya.

Begitu juga halnya, suami dengan berbagai prilakunya terkadang menjadi penyebab kecurigaan dan kebingungan dalam hati istrinya dan mendorongnya untuk menyalakan api cemburu yang dapat menghancurkan

tatanan kehidupan rumah tangganya secara total.38

Dengan berkobarnya api cemburu dari pihak istri kepada suaminya maka istri banyak yang menggugat cerai suaminya.

D. Khulu’ dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Di antara jenis perselisihan serta penyakit yang biasa menimpa kehidupan rumah tangga ialah kebencian istri kepada suaminya. Islam telah menetapkan talak sebagai hak mutlak suami dengan syarat tidak melampaui batas-batas ketentuan yang telah ditentukan Allah SWT. akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam pun tidak memaksa seorang istri harus tetap hidup bersama suami yang dibencinya.

38

Butsainah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian, Penerjemah Abu Hilmi Kamaluddin, (Jakarta: Pustaka Al-sofwan, 2005), h. 52


(46)

Karena itulah, Islam menetapkan ketentuan khulu’ yaitu perceraian yang didasarkan pada harta. Seseorang istri yang membenci suaminya, padahal ia tidak menemukan sesuatu aib pada diri sang suami selain kebencian kepadanya, maka ia diwajibkan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya dan saat itu

juga suaminya harus menceraikannya.39

Khulu’ adalah kesepakatan perceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Perceraian semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah. Jamiliah binti Sahal,

istri dari Tsabit bin Qais, merupakan wanita pertama yang melakukan khulu’

dalam Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Abbas:

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. diceritakan: Istri Tsabit bin Qais datang

menemui Rasulullah SAW dan ia berkata:“Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku Tsabit bin Qais baik dalam hal akhlak maupun agamanya. hanya saja aku khawatir akan terjerumus kedalam kekufuran setelah (memeluk) islam

(karena tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri)”. Rasulullah

bersabda:” Apakah kamu bersedia mengembalikan kebun itu kepada suamimu?

39

Butsainah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian, Penerjemah Abu Hilmi Kamaluddin, h. 199

40

Ibnu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. Shahih Bukhori (kairo : Jumhuriyyah Mishro al-Arobiyah, 1411 H), juz VIII, h. 219


(47)

wanita itu menjawab: “saya bersedia”, lalu Rasulullah berkata kepada

suaminya: “Ambilah kebun itu dan ceraikan istrimu satu talak”. (HR.Bukhari).41

Dalam surah Al Baqarah Allah SWT berfirman:















































229

Artinya: “…Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya….”(QS. al-Baqarah/2:229)

Menurut para fuqaha, khulu’ pengertian luasnya yakni perceraian dengan

disertai agar melepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, muhabarah

atau pembebasan, dan talak. jika disertai dengan alasan khususnya, yaitu talak

atas dasar iwadh (pengganti) sebagai tebusan dari istri.42

Dengan pengertian khulu’ di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

khulu’ adalah hak memutus akad nikah oleh istri terhadap suaminya yang dapat

41

Sayyid Sabiq, Terjemah: Fikih Sunnah Jilid 3, (Jakarta: Pena Punadi Aksara, 2008), Cet. Ke-3, h. 190-191

42


(48)

terjadi atas kesepakatan (jumlah tebusan mahar) atau perintah hakim agar istri

membayar dengan jumlah tertentu dan tidak melebihi jumlah mahar suaminya.43

Menurut golongan Zahiriyah dan pendapat Ibnu Munzir, bahwa untuk

sahnya khulu’ haruslah karena istri nusyuz atau durhaka kepada suami.44 Tetapi

Imam Syafi’i, Abu Hanifah berpendapat bahwa khulu’ itu sah dilakukan meski

istri tidak dalam keadaan nusyuz, dan khulu’ itu sah dengan saling kerelaan antara

suami istri kendati keduanya dalam keadaan baik dan biasa saja. Khulu’ adalah sah apabila telah ada syarat-syarat berikut:

1. Kerelaan dan Persetujuan

Para ahli Fiqh sepakat bahwa khulu’ dapat dilakukan berdasarkan

kerelaan dan persetujuan dari suami istri, asal kerelaan dan persetujuan itu

tidak berakibat kerugian di pihak orang lain.45

Apabila suami tidak mengabulkan permintaan khulu’ dari istrinya.

sedang pihak istri tetap merasa dirugikan haknya sebagai seorang istri, maka ia dapat mengajukan gugatan untuk bercerai kepada pengadilan.

2. Istri yang dapat dikhulu’

Para ahli fiqh sepakat bahwa istri yang dapat dikhulu’ itu ialah yang

mukallaf dan telah terikat dengan akad nikah yang sah dengan suaminya.46

43

A. Rahman. I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet.1, h.215

44

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.220 45

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet.III. h.184


(49)

3. Iwadh

Bentuk iwadh sama dengan bentuk mahar. benda apa saja yang dapat

dijadikan mahar dapat pula dijadikan iwadh.

Mengenai jumlah iwadh, yang penting adalah persetujuan pihak-pihak

suami istri, apakah jumlah yang disetujui itu kurang atau sama atau lebih dari jumlah mahar yang pernah diberikan oleh pihak suami kepada pihak istri di

waktu terjadinya akad nikah.47

4. Waktu menjatuhkan khulu’

Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu’ boleh dijatuhakan pada masa haid. pada masa nifas, pada masa suci yang belum dicampuri atau yang telah dicampuri dan sebagainya. Pendapat ini berdasarkan pengertian umum ayat 229 surah Al Baqarah dan Hadits Ibnu Abbas yang tidak menyebutkan

waktu-waktu menjatuhkan khulu’.48

Ketentuan hukum khulu’ menurut tinjauan fikih dalam memandang

masalah Al khulu’ terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut:

1. Mubah (diperbolehkan). Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal

dengan suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah SWT dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah SWT .

46

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.185 47

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.186 48


(50)

“Al-hafidz Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah khulu’ ini

dengan pernyataanya, bahwasanya khulu’, ialah seorang suami menceraikan

istrinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang. Kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga. Bisa jadi ini karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan perceraian, karena khawatir dosa yang

menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau talak

tiga).

Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan khulu’ (gugat cerai) bagi

wanita. apabila sang istri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang istri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian.

2. Diharamkan Khulu’. Hal Ini Karena Dua Keadaan

a. Dari Sisi Suami. Apabila suami menyusahkan istrinya dan memutus

hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang istri membayar tebusan kepadanya

dengan jalan gugatan cerai, maka khulu’ itu batil, dan tebusannya

dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti

asalnya jika khulu’ tidak dilakukan dengan lafadz talak, karena Allah


(51)







































































(

ءاسنلا

:

19

)

Artinya: “Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak

mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan

kepadanya. terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” (Q.S. an-Nisa/4:19)

Apabila suami menceraikannaya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila istri berzina lalu membuatnya susah agar

istri tersebut membayar tebusan dengan khulu’, maka diperbolehkan

berdasarkan ayat diatas.

b. Dari Sisi Istri. Apabila istri meminta cerai padahal hubungan rumah

tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami istri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’I yang

membenarkan adanya khulu’.

3. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Khulu’)

Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah. maka sang

istri disunnahkan khulu’. Demikian menurut Madzhab Ahmad bin Hanbal.49

4. Wajib

49


(52)

Terkadang khulu’ hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan.

Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang istri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban berpisah. Maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari

suaminya tersebut khulu’ walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang

muslimah tidak patut menjadi istri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur.

Efek hukum yang ditimbulkan fasakh dan khulu’ adalah talak ba’in

sughra. yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa „iddah. Artinya apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa „iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.


(53)

42

AGAMA JAKARTA TIMUR

A. Sejarah Kelahiran

Sejarah lahirnya Pengadilan Agama Jakarta Timur erat kaitannya dengan sejarah pembentukan Pengadilan Agama pada umumnya di seluruh kepulauan Indonesia, khususnya di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Secara khusus, sejarah lahirnya Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta Timur dipimpin oleh Mentri Agama RI yang tersebut dalam Keputusan Menteri

Agama RI Nomor 67 jo Nomor 4 Tahun 1967.1

Adapun kronologis lahirnya Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah sebagai berikut:

1. Pada saat itu, pengadilan agama di tanah betawi ini hanya memiliki satu

pengadilan agama yaitu “Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya” yang dibantu dua Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah. Kemudian warga Ibukota ini kian bertambah, sehingga terbitlah Keputusan Menteri Agama Nomor 67 Tahun 1963 yang berbunyi antara lain: membubarkan Kantor-Kantor cabang Pengadilan Agama (bentuk lama) dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. (Keputusan Menteri Agama Nomor 67 Tahun 1963 jo. Nomor 4 Tahun 1967)

1


(54)

2. Pada tahun 1966 Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui keputusan beliu Nomor Ib.3/I/I/1966 Tanggal 12 Agustus 1966 membentuk Ibukota negara ini menjadi lima wilayah dengan sebutan Kota Administratif.

Dengan pembentukan Kota Administratif tersebut, secara yuridis formil, keberadaan Pengadilan Agama Istimewa berikut dua kantor cabangnya dipandang sudah tidak aspiratif lagi untuk melayani kepentingan masyarakat pencari keadilan yang berdomisili di lima wilayah.

Cerdiknya, Kepala Inspektorat Peradilan Agama menyambut baik kebijakan Gubernur yang dimaksud, seraya mengajukan nota usul kepada Direktorat Peradilan Agama melalui surat beliau Nomor B/I/100 Tanggal 24 Agustus 1966 tentang Usul Pembentukan Kantor Cabang Pengadilan Agama dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sesuai dengan Pembagian Lima Wilayah Administrasi yang Baru Terbentuk.

Dengan memetik rekomendasi brilian tersebut, secara sigap Direktur Peradilan Agama meneruskan nota usul dimaksud kepada Menteri Agama RI melalui surat beliau Nomor B/I/1049 Tanggal 19 September 1966 tentang Persetujuan Atas Usulan Kepala Ispektorat Pengadilan Agama.

Kedua surat pejabat teras Pengadilan Agama tersebut menjadi bahan pertimbangan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 4 Tahun 1967 tentang perubahan Kantor-Kantor Cabang Pengadilan Agama dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, tanggal 17 Januari 1967 yang berbunyi sebagai berikut:


(1)

perlakuan suami saya yang sering mengeluarkan kata-kata yang kurang enak di dengar kepada saya.

4. Bagaimana tanggapan suami terhadap gugatan cerai yang dilakukan oleh istri?

Jawaban:

Tanggapan suami saya adalah mempersilahkan saya untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

5. Apakah sudah ditempuh jalan perdamaian oleh Ibu agar perceraian tersebut tidak terjadi?

Jawaban:

Saya sudah sering menempuh jalur perdamaian oleh suami saya, bahkan dari kelaurga pun sudah ikut serta dalam mendamaikan permasalahan tersebut namun tidak ditemukan kesepakatan untuk berdamai oleh suami saya.

6. Apakah yang Ibu fahami tentang cerai gugat?

Jawaban:

Cerai gugat adalah istri meminta cerai kepada suaminya kerena istri merasa sudah tidak ada lagi kecocokan dalam menjalankan rumah tangga.


(2)

HASIL WAWANCARA PENGGUGAT

SUMBER : Ibu Tya

TANGGAL : 27 April 2011

LOKASI : Pengadilan Agama Jakarta Timur

1. Apa alasan yang dipakai hingga Ibu ingin bercerai?

Jawaban:

Alasan saya ingin bercerai dengan suami saya adalah karena suami saya selingkuh dengan perempuan lain dan juga terkadang bertindak kasar kepada saya. Karena suami saya berselingkuh dengan perempuan lain maka dia sudah tidak memberikan nafkah kepada saya.

2. Apa pertimbangan Ibu hingga ingin bercerai?

Jawaban:

Pertimbangan saya hingga ingin bercerai dengan suami saya adalah karena suami tidak bertanggung jawab kepada saya dan keluarga ditakutkan akan berdampak buruk pada anak, karena saya sangat menyayangi anak saya. 3. Apa yang menjadi faktor penyebab istri menggugat cerai suami?

Jawaban:

Yang menjadi penyebab saya menggugat suami saya adalah karena suami saya tidak bertanggung jawab terhadap keluarga dan juga terkadang sesekali suami saya bertindak kasar kepada saya.


(3)

Jawaban:

Suami saya memberi respon atau tanggapan yang biasa ketika saya menyatakan bahwa akan menggugat cerai dirinya dan juga dia menyetujui untuk bercerai dengan saya.

5. Apakah sudah ditempuh jalan perdamaian oleh Ibu agar perceraian tersebut tidak terjadi?

Jawaban:

Sudah, kami pun sudah membawa masalah ini ke kelurga besar kami namun tetap tidak dapat ditemukan perdamaian. Akhirnya kami pun tetap memutuskan untuk bercerai.

6. Apakah yang Ibu fahami tentang cerai gugat?

Jawaban:

Cerai gugat adalah istri menggugat cerai suami dengan cara mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama baik secara lisan atau tulis.


(4)

HASIL WAWANCARA PENGGUGAT

SUMBER : Ibu Suerna

TANGGAL : 27 April 2011

LOKASI : Pengadilan Agama Jakarta Timur

1. Apa alasan yang dipakai hingga Ibu ingin bercerai?

Jawaban:

Alasan saya ingin bercerai dengan suami saya kerena suami saya telah pergi meninggalkan saya dan keluarga selama 4 tahun tanpa ada kabar berita dari suami saya.

2. Apa pertimbangan Ibu hingga ingin bercerai?

Jawaban:

Pertimbangan saya hingga ingin bercerai dengan suami saya adalah masalah anak. Karena selama kepergian suami saya anak saya merasa sudah tidak memiliki sosok figur seorang ayah yang dapat membimbing keluarga.

3. Apa yang menjadi faktor penyebab istri menggugat cerai suami?

Jawaban:

Faktor penyebab saya menggugat suami saya adalah masalah ekonomi, memang pada awalnya suami saya bekerja namun terkena pemutusan hubungan kerja dan akhirnya kami jadi sering bertengkar. Akibat


(5)

keluarga.

4. Bagaimana tanggapan suami terhadap gugatan cerai yang dilakukan oleh istri?

Jawaban:

Sampai saat ini belum ada jawaban dari suami saya karena memang saya belum mengetahui keberadaan suami saya

5. Apakah sudah ditempuh jalan perdamaian oleh Ibu agar perceraian tersebut tidak terjadi?

Jawaban:

Pernah ditempuh jalur perdamaian ketika suami masih berada di rumah namun tetap tidak menemukan jalan perdamaian.

6. Apakah yang Ibu fahami tentang cerai gugat?

Jawaban:

Saya tidak terlalu mengetahui masalah cerai gugat, namun karena suami saya meninggalkan saya dan kelaurga akhirnya saya memberanikan diri untuk pergi ke Pengadilan Agama agar masalah saya dapat cepat diselesaikan.


(6)

STRUKTUR ORGANISASI MARET 2011 PENGADILAN AGAMA KELAS – IA JAKARTA TIMUR

K E T U A

Drs. H. Wakhidun AR., SH., M.Hum

WAKIL KETUA

Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman, SH, MH

PANITERA / SEKRETARIS Drs. H. Ujang Mukhlis., SH., MH. H A K I M

1. Hj. Munifah Djam’an, SH

2. Dra. Hj. Saniyah. KH 3. Dra. Nur’aini Saladdin, SH 4. Dra. Haulillah, MH

5. Drs. H. Fauzi M. Nawawi, MH 6. Hj. Yustimar B., SH

7. Dra. Nurroh Sunah, SH 8. H. Abdillah, SH., MH.

9. Drs. H. Abd. Ghoni, SH, MH. (MARI)

H A K I M

10. Drs. H. Nemin Aminuddin, SH., MH 11. Drs. H. Achmad Busyro, MH. 12. Elvin Nailana, SH., MH. 13. Drs. N a s r u l , MA 14. Drs. Sultoni, MH. 15. Drs. Amril Mawardi, SH.

16. Drs. H. M. Syamri Adnan, SH, MHI 17. Drs. Yayan Atmaja, SH (MARI) 18. --

WAKIL PANITERA H. Hafani Baihaqi, Lc, SH

WAKIL SEKRETARIS Hj. Siti Waingah, S.Pd.I

PAN MUD HUKUM

Pahrurrozi, SH

PAN MUD GUGATAN

Ali Mustofa, SH

PAN MUD PERMOHONAN H. Bangbang SP, SH, SP.I, MH

KEPALA SUB. BAG. U M U M Muhammad Zuhri

KEPALA SUB. BAG. KEUANGAN Dewi Utari, SE

Plt. KA. SUB. BAG. KEPEGAWAIAN Hamim Naf’an, SHI 1. H. Mubarok, SHI

2. Kemas M. Irfan, SE 3. --

1. Darul Fadli, SHI, MA 2.Zuhairi B. Ashbahi, SHI 3.

--1. Siti Mahbubah, S.Ag 2. Sri Komalasari 3. R. Desy Puspasari, A.Md 4. Monika Septi Indriyani, A.Md

1. Sutini, S.Ag 2. Muhammad Arsyi 3. Rd. Yadi Sumiadi W.

1. Sanjaya Langgeng. S 2. Achmad Mubarok, SHI 3. --

1. -- 2. -- 3. --

PANITERA PENGGANTI

1. Drs. Ade Faqih 8. Hj. Spa Ichtiyatun, SH, MH 15. Rahmah Sufiyah, SH, MH 2. Dra. Siti Nurhayati 9. Hj. Andar Aryani, SH., MH 16. Muhammad Sayhon, SH 3. Siti Makbullah, SH 10. Drs. H. Ujang Sodik 17. Syarif Maulana, SH

4. Titiek Indriaty, SH 11. Mastanah, SH 18. Rohimah, SH, MH

5. Aday, S.Ag 12. Sri Mulyati, S.Ag 19. Hj. Alfiah Yuliastuti, SH

6. Fathony, SH 13. Yulisma, SH 20. Dwiarti Yuliani, SH

7. Zulhemi, B.A. 14. Windarti, SH 21. --

JURUSITA PENGGANTI

1. Suparno 7. Sumiyati

2. Veny Rahmawati 8. Iman Suwardi

3. Sirajuddin Haris 9. Marhamah

4. M. Dirwansyah Ridlah 10. Prio Rinanto

5. Yuspa 11. --

6. Agus Alwi 12. --

JURUSITA

1. Moh. Sidik 2. Abd. Rochim 3. Ade Husniati