Pelaksanaan Putusan Maisir Di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe

(1)

PELAKSANAAN PUTUSAN MAISIR

DI MAHKAMAH SYAR’IYAH LHOKSEUMAWE

TESIS

Oleh

UMMI KALSUM 087005022/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PELAKSANAAN PUTUSAN MAISIR DI MAHKAMAH

SYAR’IYAH LHOKSEUMAWE

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

UMMI KALSUM 087005022/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : Pelaksanaan Putusan Maisir Di

Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe

Nama Mahasiswa : Ummi Kalsum

Nomor Pokok : 087005022

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum.) Ketua

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum.) (Syafruddin S. Hasibuan, SH., MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum.)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22 Desember 2010

_____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum. Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum. 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH., MH, DFM 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum.


(5)

ABSTRAK

Secara yuridis formal, Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 128 sampai Pasal 137 mengatur tentang Mahkamah Syar’iyah. Untuk mewujudkan peradilan Syari’at dibentuklah Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syariat Islam dan Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang maisir. Pasal 5 Qanun No. 13 Tahun 2003: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir”. Kenyataannya di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe, masih ada masyarakat melakukan pelanggaran maisir yang belum dilaksanakan putusan meskipun sudah ada ketetapan hukum tetap. Hal ini bertentangan juga dengan Qanun No. 13 Tahun 2003. Pasal 22 (i) penuntut umum berwenang melaksanakan putusan dan penetapan hakim. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu: (1) bagaimanakah pengaturan maisir (perjudian) dalam Qanun No. 13 Tahun 2003; (2) bagaimanakah pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe; dan (3) faktor-faktor apa yang menjadi hambatan pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe dan bagaimana solusi terhadap hambatan tersebut.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Jenis penelitian adalah yuridis empiris yang didukung data primer dan data sekunder. Penelitian yuridis adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan empiris untuk melihat hukum dari kenyataannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jarimah maisir (perjudian) di NAD diatur dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003. Tugas penegakan hukum di NAD dalam kasus jinayah diemban oleh sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari sub sistem dinas Syari’at Islam, Wilayatul Hisbah (WH), kepolisian, kejaksaan, dan mahkamah syar’iyah. Pelaksanaan hukuman cambuk secara teknis harus memenuhi prosedur yang diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2005 dan Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 Qanun Nomor 13 Tahun 2003. Hukuman cambuk dilaksanakan di halaman mesjid setelah shalat Jum’at dan disaksikan khalayak ramai untuk memberi efek jera dan malu kepada pelaku. Pelaksanaan putusan maisir di wilayah hukum Kota Lhokseumawe mengalami banyak hambatan, yaitu: (a). qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (perjudian) belum lengkap; (b). pemberlakuan asas personalitas; (c). birokrasi yang panjang; dan (d). hakim pengawas dan pengamat (wasmat) tidak berfungsi. Solusi yang dilakukan terhadap hambatan-hambatan tersebut adalah semua sub sistem peradilan di Lhokseumawe memberi masukan kepada Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menyempurnakan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (perjudian).


(6)

ABSTRACT

Seen from formal yuridical, Islamic law in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) is based on Act. No. 44 of 1999 concerning with the application of special region of Aceh and Act. No. of 2006 concerning with Aceh Governmental, Article 128 to Article 137 governing the Islamics Court. In creating the Islamic law court, it is then formed Qanun No. 10 of 2002 concerning with Islamic law court and Qanun No. 13 of 2003 concerning with maisir. Article 5 Qanun No. 13 of 2003 states that “everybody is prohibited to do the maisir (gambling)”. In fact that in Islamic Court in Lhokseumawet, there are still found those who perform gambling that did not make the decision, although there is the fixed law decision. It is against to Qanun No. 13 of 2003 too. Article 22 (i) states that the presecutor has the authority to make the decision and the establishment of the lawyer. The problem to pose in this research are 1) How is the arrangement of the law for the gambling in Qanun No. 13 of 2003?; 2) How is the application of the decision for the gambling in Islamic Court in Lhokseumawe?; and 3) What are the factors as the hindrances for the implementation of the gambling decision in Islamic Court in Lhokseumawe and what is the solution to the hindrances?.

This research is analytical descriptive. It is empirical yuridical supported by primary and secondary data. Yuridical research means the research which is carried out by researching the library material releted to the law and the problem to searched. Empirical study is carried out to see the law from the reality.

The results of the research show that gambling in NAD has been arranged in Qanun Number 13 of 2003. The duty of combat the gambling in NAD should be done by criminal justice system consisting of sub-systems such as Islamic Law Department, Wilayatul Hisbah (WH), police, court, and Islamic Court. The implementation of flagellant punishment should fulfill the procedure, as it is arranged in the decision of Governor No. 10 of 2005 and Article 28 to Article 31 Qanun Number 13 of 2003. The implementation of the flagellant punishment will be done in front of the mosque after the Friday praying and it is witnessed in front of public with the intention of giving shameful feeling. There are some hindrances to find in the implementation of gambling decision in Lhokseumawe, namely a) Qanun Number 13 of 2003 concerning with maisir (gambling) is not complete; b) the prevailed of personality principle; c) the complicated and long bureacration; and d) the lawyers supervisor and observers is not running well. The solution to offer for the hindrances is that all sub-system of the court in Lhokseumawe should give the input to Government of Aceh and The Regional Legislative of Aceh should make the correction to the Qanun Number 13 of 2003 concerning with the gambling (maisir).

Key words: Implementation, Decision, Maisir, Islamic Court, Qanun.


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat, hidayah, petunjuk, dan bimbingan-Nya kepada penulis sehingga tersusunlah tesis ini dengan judul Pelaksanaan Putusan Maisir di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe.

Penulisan tesis ini merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan program strata-2 dan memperoleh gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan orang lain secara langsung maupun secara tidak langsung yang selalu membantu dan membimbing penulis.

Penyusunan tesis sebagaimana yang telah ada ini bukanlah sebuah kerja pribadi yang terlepas dari sumbangsih dan dukungan para pihak. Oleh karena itulah pada kesempatan yang berbahagia ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTMH&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K), sebagai pimpinan tertinggi di Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum.


(8)

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H,.

4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum., Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum., dan Syafruddin S. Hasibuan, SH., M.H., DFM, selaku pembimbing yang tanpa pamrih telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

5. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., dan Prof. Dr. Suwarto, SH., M.H, selaku penguji yang telah banyak memberi masukan dan saran untuk kesempurnaan tesis ini.

6. Prof. A. Hadi Arifin, SE., M.Si., Rektor Universitas Malikussaleh yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi.

7. Sulaiman, SH., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh. 8. Drs. Tgk. H. Asnawi Abbdullah, MA., Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama

(MPU) Kota Lhokseumawe, Fauzan, SAg., staf Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Lhokseumawe, A. Haris S.Sos, M.Si, Sekretaris Dinas Syari’at Islam Kota Lhokseumawe, AIPDA Yunus Damanik, dan Syafruddin, Penyidik Polres Kota Lhokseumawe, Drs. Azhari, Kabid Peribadatan Dinas Syari’at Kota Lhokseumawe, Irwansyah, SH., Kasi Pidum dan Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Negeri Kota Lhokseumawe, Wisdom, SH., Asisten Ketua Kejaksaan Negeri Kota Lhokseumawe, Drs. Raisul Wadhifuddin, SH., Panitera Muda Hukum, Mahkamah Syar’iyah Kota Lhokseumawe, dan Fitriel Hanif, MA, Hakim dan Hakim Wasmat di Mahkamah Syar’iyah


(9)

9. Orang tua tercinta, almarhum M. Yunus Hasyim dan almarhumah Nurmala Budiman yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, dan dukungan kepada penulis, semoga keduanya dimuliakan oleh Allah SWT dan ditempatkan dalam Syurga Jannatun Na’im.

10.Kakak-kakak dan adik-adikku tercinta, almarhum Drs. Mahdinur Umar, almarhumah Syukriah, Kurnia Fitri, Syahrul, Fahrijal, Azmi Syahputra, S.Pd, dan almarhum Meksalmina.

11.Suami tercinta, Ir. Nasrun Ibrahim, MT dan anak-anakku tersayang, Maghfirah Anastamia Mariska dan Salsabila Anastamia Marshanda yang telah memotivasi, rela memberi waktu, tenaga, dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

12.Civitas akademika Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dalam proses belajar-mengajar di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13.Rekan-rekan seperjuangan dalam menempuh studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu kompak dan penuh keceriaan dalam menjalani hari-hari perkuliahan sehingga menjadi motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan studi.

Tentunya masih banyak pihak yang berperan besar dalam menyelesaikan studi ini dan belum tersebut dalam tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa


(10)

hormat setinggi-tingginya. Penulis percaya Allah S.w.t akan membalas kebaikan mereka. Demi kesempurnaan penulisan tesis ini penulis membuka tangan selebar-lebarnya atas kritik dan saran dari semua pihak.

Medan, Desember 2010 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ummi Kalsum

Tempat/Tgl. Lahir : Aceh Besar/04 Agustus 1967 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam Status : Kawin

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil / Dosen Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

Pendidikan : - Sekolah Dasar (SD) Negeri Peukan Bada, Banda Aceh (Lulus Tahun 1980).

- Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Peukan Bada, Banda Aceh (Lulus Tahun 1983).

- Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Banda Aceh (Lulus Tahun 1986).

- Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh (Lulus Tahun 1992).

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan (Lulus Tahun 2010).


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….. i

ABSTRACT……… ii

KATA PENGANTAR……… iii

RIWAYAT HIDUP…………..……….. vii

DAFTAR ISI……….. viii

DAFTAR SINGKATAN……… xi

DAFTAR ISTILAH ISLAM………. xii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah ……… 5

C. Tujuan Penelitian ……… 6

D. Manfaat Penelitian ………. 6

E. Keaslian Penulisan ……… 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ………..……….. 8

1. Kerangka Teori ………... 8

2. Konsepsional ………. 17

G. Metode Penelitian ... 19

1. Spesifikasi Penelitian ... 19

2. Sumber Data ... 20

2.1. Data Primer ... 20

2.2. Data Sekunder …... 20


(13)

4. Teknik Pengumpulan Data ……... 22

5. Analisis Data ... 23

BAB II PENGATURAN TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) DALAM QANUN NOMOR 13 TAHUN 2003 ………. 24

A. Peradilan Syari’at di Nanggroe Aceh Darussalam ...………... 24

B. Pengertian Jarimah dan Maisir ………... 27

1. Pengertian Jarimah ………... 27

2. Pengertian Maisir (Perjudian) ………... 30

C. Pengaturan Maisir dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 …………. 41

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN MAISIR DI MAHKAMAH SYAR’IYAH LHOKSEUMAWE ……….. 54

A. Sejarah Pembentukan Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe ……… 54

B. Pengertian dan Tujuan Hukuman ……….………. 56

1. Pengertian Hukuman ……… 56

2. Tujuan Hukuman ……… 58

C. Pelaksanaan Putusan Maisir di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe ………. 65

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI HAMBATAN PELAKSANAAN PUTUSAN MAISIR DI MAHKAMAH SYAR’IYAH LHOKSEUMAWE DAN SOLUSINYA …………. 84

A. Hambatan Pelaksanaan Putusan Maisir di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe ………... 86

1. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir belum Lengkap. 87

2. Asas Personalitas ………... 89

3. Birokrasi yang panjang..………. 92

4. Hakim pengawas dan pengamat (wasmat) tidak berfungsi……. 92 B. Solusi Terhadap Hambatan Pelaksanaan Putusan Maisir di


(14)

Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe ……… 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 95

A. Kesimpulan ……… 95

B. Saran ………... 97


(15)

DAFTAR SINGKATAN

DPRA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

DPRK Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota GAM Gerakan Aceh Merdeka

KEPPRES Keputusan Presiden

KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana LPTQ Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an MPU Majelis Permusyawaratan Ulama

PPNS Penyidik Pegawai Negeri Sipil Satpol PP Satuan Polisi Pamong Praja

UUD 1945 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Wasmat pengawas dan pengamat


(16)

DAFTAR ISTILAH ISLAM

Ahwal al-Syakhshiyah Hukum keluarga Ariyah Pinjam meminjam At-ta’dib Pendidikan

At-tankil Pengekangan Fuqaha Ulama

Gharamah Hukuman denda Hajru Penyitaan harta

Hudud Pelanggaran yang sanksinya sudah tetap Ihyaul mawat Pembukaan lahan

Ijarah Sewa menyewa

Islam Tuntunan, bimbingan, dan aturan Allah

Jarimah Perbuatan terlarang yang diancam dengan pidana Jinayah Hukum pidana

Khamar Minuman keras Luqathah Barang temuan Ma’din Tambang Maisir Perjudian

Mu’amalah Hukum perdagangan

Mukallaf Orang yang dapat dibebani kewajiban Mukhabarah Bagi hasil

Qadhi Hakim

Qanun Peraturan Daerah Aceh Qiradh Permodalan

Qishash Pelanggaran yang sanksinya dapat berubah Ruhnun Gadai

Syari’at Ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya Syirkah Perkongsian

Syufah Hak langgeng

Ta’zir Pelanggaran yang sanksinya tidak ditentukan ‘Uqubat Ancaman hukuman terhadap pelanggar jarimah Wakilah Kuasa


(17)

ABSTRAK

Secara yuridis formal, Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 128 sampai Pasal 137 mengatur tentang Mahkamah Syar’iyah. Untuk mewujudkan peradilan Syari’at dibentuklah Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syariat Islam dan Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang maisir. Pasal 5 Qanun No. 13 Tahun 2003: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir”. Kenyataannya di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe, masih ada masyarakat melakukan pelanggaran maisir yang belum dilaksanakan putusan meskipun sudah ada ketetapan hukum tetap. Hal ini bertentangan juga dengan Qanun No. 13 Tahun 2003. Pasal 22 (i) penuntut umum berwenang melaksanakan putusan dan penetapan hakim. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu: (1) bagaimanakah pengaturan maisir (perjudian) dalam Qanun No. 13 Tahun 2003; (2) bagaimanakah pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe; dan (3) faktor-faktor apa yang menjadi hambatan pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe dan bagaimana solusi terhadap hambatan tersebut.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Jenis penelitian adalah yuridis empiris yang didukung data primer dan data sekunder. Penelitian yuridis adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan empiris untuk melihat hukum dari kenyataannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jarimah maisir (perjudian) di NAD diatur dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003. Tugas penegakan hukum di NAD dalam kasus jinayah diemban oleh sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari sub sistem dinas Syari’at Islam, Wilayatul Hisbah (WH), kepolisian, kejaksaan, dan mahkamah syar’iyah. Pelaksanaan hukuman cambuk secara teknis harus memenuhi prosedur yang diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2005 dan Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 Qanun Nomor 13 Tahun 2003. Hukuman cambuk dilaksanakan di halaman mesjid setelah shalat Jum’at dan disaksikan khalayak ramai untuk memberi efek jera dan malu kepada pelaku. Pelaksanaan putusan maisir di wilayah hukum Kota Lhokseumawe mengalami banyak hambatan, yaitu: (a). qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (perjudian) belum lengkap; (b). pemberlakuan asas personalitas; (c). birokrasi yang panjang; dan (d). hakim pengawas dan pengamat (wasmat) tidak berfungsi. Solusi yang dilakukan terhadap hambatan-hambatan tersebut adalah semua sub sistem peradilan di Lhokseumawe memberi masukan kepada Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menyempurnakan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (perjudian).


(18)

ABSTRACT

Seen from formal yuridical, Islamic law in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) is based on Act. No. 44 of 1999 concerning with the application of special region of Aceh and Act. No. of 2006 concerning with Aceh Governmental, Article 128 to Article 137 governing the Islamics Court. In creating the Islamic law court, it is then formed Qanun No. 10 of 2002 concerning with Islamic law court and Qanun No. 13 of 2003 concerning with maisir. Article 5 Qanun No. 13 of 2003 states that “everybody is prohibited to do the maisir (gambling)”. In fact that in Islamic Court in Lhokseumawet, there are still found those who perform gambling that did not make the decision, although there is the fixed law decision. It is against to Qanun No. 13 of 2003 too. Article 22 (i) states that the presecutor has the authority to make the decision and the establishment of the lawyer. The problem to pose in this research are 1) How is the arrangement of the law for the gambling in Qanun No. 13 of 2003?; 2) How is the application of the decision for the gambling in Islamic Court in Lhokseumawe?; and 3) What are the factors as the hindrances for the implementation of the gambling decision in Islamic Court in Lhokseumawe and what is the solution to the hindrances?.

This research is analytical descriptive. It is empirical yuridical supported by primary and secondary data. Yuridical research means the research which is carried out by researching the library material releted to the law and the problem to searched. Empirical study is carried out to see the law from the reality.

The results of the research show that gambling in NAD has been arranged in Qanun Number 13 of 2003. The duty of combat the gambling in NAD should be done by criminal justice system consisting of sub-systems such as Islamic Law Department, Wilayatul Hisbah (WH), police, court, and Islamic Court. The implementation of flagellant punishment should fulfill the procedure, as it is arranged in the decision of Governor No. 10 of 2005 and Article 28 to Article 31 Qanun Number 13 of 2003. The implementation of the flagellant punishment will be done in front of the mosque after the Friday praying and it is witnessed in front of public with the intention of giving shameful feeling. There are some hindrances to find in the implementation of gambling decision in Lhokseumawe, namely a) Qanun Number 13 of 2003 concerning with maisir (gambling) is not complete; b) the prevailed of personality principle; c) the complicated and long bureacration; and d) the lawyers supervisor and observers is not running well. The solution to offer for the hindrances is that all sub-system of the court in Lhokseumawe should give the input to Government of Aceh and The Regional Legislative of Aceh should make the correction to the Qanun Number 13 of 2003 concerning with the gambling (maisir).

Key words: Implementation, Decision, Maisir, Islamic Court, Qanun.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Ketentuan ini terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.1

Secara yuridis formal, pengaturan Syari’at Islam di Aceh didasarkan pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini menjadi dasar kuat bagi Aceh untuk menjalankan Syari’at Islam. Hal ini menandakan Syari’at Islam adalah bagian dari kebijakan negara yang diberlakukan di Aceh. Oleh karena itu, dalam konteks pelaksanaannyapun tidak terlepas dari tanggung jawab negara.2

____________________

1

UUD 1945 Pasal 18 menyebutkan “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Setelah UUD 1945 diamandemen, klausul tersebut tercantum dalam Pasal 18 B Ayat (1) disebutkan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

2

Syahrizal, dkk, “Konstruksi Implementasi syari’at di Nanggroe Aceh Darussalam” dalam Dimensi Pemikiran Hukum Dalam Implementasi Syari’at Islam di Aceh, Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2007, hal. 2.


(20)

Penegasan Indonesia sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan dapat juga diartikan bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah dan aparatnya haruslah berdasarkan atas hukum, yaitu memiliki dasar hukum yang sah, berdasarkan wewenang hukum yang diatur secara jelas dan sah pula. Tindakan pemerintah atau aparatnya yang bertentangan atau tidak memiliki dasar hukum dapat dipersoalkan dan dianggap tidak sah sehingga tidak sesuai dengan citra negara hukum.3

Pelaksanaan Syari’at Islam dalam wujud peradilan Syari’at di Aceh mempunyai sejarah yang panjang. Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah membentuk beberapa peraturan daerah/qanun, salah satu diantaranya adalah Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.

Kedudukan mahkamah syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem peradilan nasional adalah peradilan khusus sesuai ketentuan Pasal 3 A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa di lingkungan peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang.4

Secara yuridis kedudukan mahkamah syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem peradilan nasional memiliki landasan hukum yang kuat ____________________

3

Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Nadya Foundation,

Lhokseumawe, 2004, hal. 37 – 38.

4

Lihat Pasal 3 A Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


(21)

seperti termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh menyatakan:5

(1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.

(2) Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar ummat beragama.

Bab XVIII Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur tentang Mahkamah Syar’iyah. Pasal 128 Ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa “Peradilan Syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh mahkamah syar’iyah yang bebas intervensi dari pihak manapun”. Berdasarkan pasal tersebut maka Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas pelaksanaan Syari’at Islam.6

____________________

5Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.

6Lihat Bab XVIII Pasal 128 s/d 137 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang


(22)

Ketentuan lebih lanjut tentang tanggung jawab Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan bahwa Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan Syari’at Islam.7

Pasal 5 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (perjudian) menyebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir”. Selanjutnya dalam penjelasan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa qanun tentang larangan maisir (perjudian) ini dimaksudkan sebagai upaya preemtif,preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah).8 Instruksi Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 04/INSTR/2002 tentang Larangan Judi (Maisir), Buntut, Taruhan, dan Sejenisnya yang Mengandung Unsur-Unsur Perjudian dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga dengan tegas menyebutkan maisir (perjudian) merupakan pelanggaran terhadap Syari’at Islam dan norma-norma kehidupan dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.9

____________________

7Lihat Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah

Aceh.

8Lihat Pasal 5 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).

9Lihat Instruksi Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor

04/INSTR/2002 tentang Larangan Judi (Maisir), Buntut, Taruhan, dan Sejenisnya yang


(23)

Namun dalam kenyataannya, di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe, masih ada masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap jarimah maisir (perjudian). Hal ini berdasarkan hasil penelitian awal di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 terdapat 5 kasus pelanggaran maisir (perjudian) yang sampai saat ini belum dilaksanakan putusan meskipun telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 22 huruf (i) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 dimana penuntut umum mempunyai kewenangan melaksanakan putusan dan penetapan hakim.10 Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut agar mendapatkan gambaran yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe terhadap pelanggaran jarimah maisir (perjudian). B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan maisir (perjudian) dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003.

2. Bagaimanakah pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe.

____________________

10Lihat Pasal 22 huruf (i) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).


(24)

3. Faktor-faktor apa yang menjadi hambatan pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe dan bagaimana solusi terhadap hambatan tersebut.

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam usulan penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan maisir (perjudian) dalam Qanun No. 13 Tahun 2003.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menjadi hambatan pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe dan bagaimana solusi terhadap hambatan tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kontribusi penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis diharapkan dapat memberikan kontribusi yang mendalam terhadap pengembangan ilmu hukum terutama hukum pidana mengenai pelaksanaan putusan mahkamah syar’iyah terhadap pelanggaran jarimah maisir (perjudian) di Aceh. Kontribusi dimaksud berupa penjelasan mengenai kondisi yang terjadi di lapangan maupun kerangka konseptual yang berkaitan dengan permasalahan.


(25)

2. Secara praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang positif dalam pelaksanaan syari’at Islam berdasarkan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang jarimah maisir (perjudian). Kontribusi yang dimaksud dapat berupa data maupun pemikiran konseptual mengenai permasalahan yang diteliti yang kiranya dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan baik kepada Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada tataran praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk dapat merealisasikan amanat Qanun Nomor 13 Tahun 2003.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik Perpustakaan Pusat maupun yang ada di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ditemukan judul mengenai Pelaksanaan Putusan Maisir di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas sehingga dapat dikatakan asli. Namun demikian Muhibuddin telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam Tentang Khalwat Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat). Yang menjadi permasalahannya adalah:

1. Bagaimana kedudukan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem Pemerintahan Daerah.


(26)

2. Bagaimana penyelenggaraan pelaksanaan Syari’at Islam tentang khalwat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

3. Hambatan dan upaya apa yang dilakukan dalam pelaksanaan Syari’at Islam tentang khalwat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Pembahasan mengenai pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe akan dipakai teori utama yaitu teori Lawrence M. Friedmann, dalam bukunya Legal Culture and Social Development mengenai sistem hukum. Lawrence M. Friedmann berpandangan tentang penegakan hukum bahwa untuk memahami efektif atau tidak berlakunya hukum di dalam masyarakat, harus diperhatikan komponen-komponen sistem hukum sebagai berikut:11

1. Komponen struktural dan sistem hukum mencakup berbagai institusi, bentuk serta proses yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Salah satu lembaga tersebut adalah pengadilan. Dalam hubungan ini, pembicaraan termasuk pula tentang struktur organisasi, landasan bekerjanya hukum, kompetensi dan lain sebagainya.

____________________

11

LilikMulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, 2008, hal. 410.


(27)

2. Komponen substantif, mencakup keluaran (output) dari sistem hukum, apakah dalam bentuk peraturan, keputusan ataupun doktrin, sepanjang hal tersebut dipergunakan dalam proses bersangkutan.

3. Komponen budaya (budaya hukum) adalah keseluruhan sikap dan nilai-nilai serta tingkah laku yang menentukan bagaimana hukum tersebut berlaku pada masyarakat.

Salah satu dari konsekuensi pelaksanaan Syari’at Islam adalah bahwa penegakan hukum atas peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at dilakukan dalam kerangka sistem penegakan hukum nasional. Menurut Mahadi, penegakan hukum (law enforcement) adalah hal menegakkan dan mempertahankan hukum oleh aparat penegak hukum jika terjadi pelanggaran hukum atau diduga hukum akan/mungkin dilanggar.12

Hukum perlu ditegakkan dan dipertahankan karena hukum adalah pedoman perilaku yang disepakati bersama. Salah satu fungsi hukum adalah sarana untuk mengendalikan masyarakat. Tujuan pengendalian adalah untuk menciptakan ketertiban dan ketenangan; artinya menjaga kepentingan umum, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama.13

____________________

12Mahadi, “Peranan Penegakan Hukum Dalam Proses Penegakan Hukum”. Makalah

disampaikan dalam Simposium Masalah Penegakan Hukum, BPHN, 6 – 8 Desember 1979,

Bali, hal. 90.

13Soejono Dirdjosisworo, Penegakan Hukum dalam Sistem Pertahanan Sipil, Karya


(28)

Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, penegakan hukum merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat ikut berperan dalam penegakan hukum.14 Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa masalah penegakan hukum dalam dimensi sosial tidak dapat dipisahkan oleh:15

1. Peranan faktor manusia yang menjalankan penegakan hukum itu;

2. Soal lingkungan proses penegakan hukum yang dikaitkan dengan manusianya secara pribadi; dan

3. Penegakan hukum sebagai suatu lembaga.

Negara hukum yang menganut sistem trias politika, lembaga yudikatif adalah ujung tombak penegakan hukum. Tugas hakim adalah memutuskan suatu perkara sesuai dengan tuntutan rumusan hukum. Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 dinyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan di atas menunjukkan bahwa hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum agar putusan yang diambil dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Kedua sistem tersebut, dengan skala prioritas mendahulukan hukum dalam ____________________

14Alvy Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Softmedia,

Jakarta, 2009, hal. 7.

15Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti,


(29)

pengertian peraturan perundang-undangan, baru kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai penyelarasan sehingga terjadi link atau jalinan kerja sama yang saling mengisi dan memperkuat.

Hakim dalam memutuskan perkara, secara kasuistis selalu dihadapkan kepada tiga asas yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan.16 Sudikno mengatakan ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan secara seimbang atau proporsional.17 Adapun teori-teori dari eksplanasi terhadap persoalan hukum yang tidak bisa melepaskan diri dari kebersinggungannya dengan konsep hukum adalah:

1. Teori hukum responsif ide atau responsive law dari Nonet & Selznick yang menghendaki agar hukum senantiasa diposisikan sebagai fasilitator yang merespon kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat, dengan karakternya yang menonjol yaitu menawarkan lebih dari sekedar prosedural justice, berorientasi pada keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan lebih dari pada itu mengedepankan pada substancial justice.

2. Teori hukum realis atau legal realism (Oliver Wendell Holmes) terkenal dengan kredonya, “Bahwa kehidupan pada dasarnya bukan logika, melainkan pengalaman (“The life of the law has not been logic: it has bee experience”). Dengan konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas logika ____________________

16Sugianto Darmadi, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, CV. Mandar

Madju, Bandung, Cet. I, 1988, hal. 63.

17Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Citra Aditya Bakti,


(30)

tetapi experience, maka hukum tidak dilihat dari bekerjanya hukum. Pemahaman terhadap hukum dalam legal realism tidak hanya terbatas pada teks atau dokumen-dokumen hukum, tetapi melampaui teks dan dokumen hukum tersebut.18

3. Teori sosiological jurisdependence (Roscue Pound) yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi juga melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum (terkenal dengan konsep bahwa law as tool of social engineering).19

4. Hukum alam atau (natural law) yang memberi penjelasan tentang hal-hal meta-juridical. Hukum alam memandang hukum tidak lepas dari nilai-nilai moral yang bersifat transendental. Kebertahanan eksistensi hukum alam dalam konstelasi teori maupun praktik hukum, tetapi juga universal. Potensi hukum alam ini mengakibatkan senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan pertimbangan moral dan etika.20 5. Studi hukum kritis atau critical legal studies (Roberto M. Unger), yang tidak puas terhadap tradisi hukum liberal yang antara lain penuh dengan formalism ____________________

18Marwan Mas, “Pengantar Ilmu Hukum”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 129.

19Rumusan ini menunjukkan adanya kompromi yang cermat antara hukum tertulis

sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dan living law sebagai

wujud penghargaan terhadap peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi

hukum. Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, Mandar Maju,

Bandung, 2003, hal. 122.


(31)

dan objectivism.21

Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Sri Soemantri22 unsur-unsur terpenting dalam negara hukum ada 4 yaitu:

1 Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).

Indonesia sebagai negara hukum didasarkan pada cita hukum (recht idee) yang dibangun oleh pejuang dan pendiri republik kerakyatan (demokratik). Citra hukum ini dinyatakan secara singkat dalam konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Ketentuan ini terdapat dalam Penjelasan UUD 1945.

Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan prinsip negara hukum yang utama adalah kekuasaan itu tidak tanpa batas.23 Artinya, kekuasaan harus tunduk kepada hukum. ____________________

21Roberto M. Unger, “Gerakan Studi Hukum Kritis”, Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, Jakarta, 1999, hal. XXVI.

22Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,

1992, hal. 29 – 30.

23Mochtar Kusumaatmadja, “Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum

Nasional di masa kini dan Masa yang Akan datang”, dalam Jurnal Padjajaran, No. 1 Tahun 1945, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1995, hal. 1.


(32)

Negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum, dimana kekuasaan dibatasi dan tunduk kepada hukum. Penegasan Indonesia sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan dapat juga diartikan bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah dan aparatnya haruslah berdasarkan atas hukum, yaitu memiliki dasar hukum yang sah berdasarkan kewenangannya.24

Sementara itu Sudargo Gautama25 mengemukakan unsur-unsur dari negara hukum, yakni:

1. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat sewenang-wenang, tindakan negara dibatasi oleh hukum. Individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa;

2. Asas legalitas. Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum; 3. Pengakuan terhadap hak asasi manusia; dan

4. Pemisahan kekuasaan. Agar hak-hak asasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang- undangan melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan.

Menurut Bagir Manan26 bahwa pengertian kedaulatan di tangan rakyat ____________________

24Syahrizal, loccit., hal. 37 – 38.

25Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973,

hal.8-10.

26Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas

Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1990, hal.


(33)

(demokrasi) telah terkandung makna negara hukum. Ini merupakan hal sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat mewujudkan duet yang integral yang pada akhirnya adanya keseimbangan antara kepentingan penguasa dan kepentingan rakyat dan dapat berjalan secara harmonis.27 Berdasarkan pendapat di atas, dapat dilihat bahwa pemisahan kekuasaan merupakan hal yang sangat mendasar dalam negara hukum. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekuasaan mutlak pada satu lembaga, sehingga dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan itu cenderung disalah gunakan dan oleh karenanya perlu adanya pembatasan kekuasaan.28

Sebagaimana adagium Power tends to corrupt, Absolut power corrupt absolutely, artinya kekuasaan yang mutlak cenderung disalah gunakan secara mutlak. Penyalahgunaan kekuasaan itu dapat dihilangkan, dicegah, atau dibatasi (yang dibatasi itu bukanlah kekuasaan itu sendiri melainkan peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan).29

Secara umum Syari’at Islam di bidang hukum memuat norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara dan norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu yang harus ditaati oleh setiap orang. Ketaatan ____________________

27

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,

Alumni, Bandung, 1994, hal. 2.

28

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hal. 61.

29Indra Perwira, “Penataan Lambaga-Lembaga Negara”, dalam Jurnal Sosial Politik

Dialektika, Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis UNPAD, Vol. 2


(34)

terhadap norma-norma hukum yang mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman dan taqwa atau hati nurani seseorang, juga disertai adanya duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur tentang Syari’at Islam dan pelaksanaannya yaitu dalam Bab XVII Pasal 125 sampai dengan Pasal 127. Pasal 127 menyebutkan bahwa:30

1. Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan Syari’at Islam.

2. Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.

3. Pemerintah, Pemerintahan Aceh, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota mengalokasikan dana dari sumber daya lainnya untuk pelaksanaan Syari’at Islam.

4. Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintahan Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan qanun yang memperhatikan peraturan perundang- undangan.

Landasan yuridis bagi mahkamah syar’iyah tersebut cukup kuat sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Pasal 3 A yang menyatakan bahwa di lingkungan peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang. Kemudian dalam penjelasan pasal demi pasal angka 2 Pasal 3 A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyatakan bahwa pengadilan khusus ____________________


(35)

dalam lingkungan peradilan Agama adalah pengadilan Syari’at Islam yang diatur dengan undang-undang. Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 Ayat (2) disebutkan bahwa peradilan Syari’at Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan Agama dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.31

2. Konsepsional

Konsep dasar yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya).32

2. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa ____________________

31Lihat penjelasan pasal demi pasal, Pasal 3 A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006

tentang Peradilan Agama.

32Tim Penyusun Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,


(36)

para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.33

3. Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.34

4. Mahkamah syar’iyah adalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan qanun serta melaksanakan syiar Islam dalam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.35

5. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.36

6. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan qishash-diat, hudud, dan ta’zir.

7. ‘Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran jarimah.

____________________

33Soedikno Mertokusumo, op. cit., hal. 210.

34Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun,

Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur, (Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, 2009), hal. 271.

35http://www.toodoc.com/pengertian-lembaga-peradilan-word.html. diakses tanggal

13 April 2010.

36Pasal 1 (21) Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU RI No. 11 Tahun 2006), Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2006, hal. 6.


(37)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis tentang Pelaksanaan Putusan Maisir di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe. Sifat penelitian deskriptif adalah bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.37

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatan yuridis empiris yang didukung data primer dan sekunder. Penelitian yuridis adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan yuridis digunakan dengan pertimbangan bahwa kaidah-kaidah hukum yang berlaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti masyarakat yang diaturnya, kebudayaan yang berkembang,

serta hukum dan masyarakat saling mempengaruhi satu sama lainnya, sedangkan tinjauan empiris dimaksudkan untuk melihat hukum dari kenyataannya.38

____________________

37

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20,

Penerbit Alumni Bandung, 1994, hal. 89. 38ibid, hal. 9.


(38)

2. Sumber Data

Sumber data penelitian yang digunakan adalah: 2.1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari lapangan yaitu wawancara dengan penyidik 2 (dua) orang, pihak kejaksaan sebanyak 2 (dua) orang, hakim sebanyak 1 (satu) orang, dinas Syari’at Islam sebanyak 2 (dua) orang, hakim pengawas dan pengamat (wasmat) sebanyak 1 (satu) orang, dan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) 1 (satu) orang.

2.2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.39

a. Bahan hukum primer terdiri dari Al-Qur’an dan Hadist, peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 ____________________

39

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian


(39)

tentang Otonomi Khusus, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir, Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan ‘Uqubat Cambuk, dan Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu literatur di mahkamah syar’iyah khususnya tentang pelaksanaan putusan di mahkamah syar’iyah tentang pelanggaran jarimah maisir (perjudian). c. Bahan hukum tersier, yaitu dokumen-dokumen tentang putusan Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe terhadap pelanggaran jarimah maisir (perjudian).

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Polres Kota Lhokseumawe, Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe, Dinas Syari’at Islam Lhokseumawe, dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Lhokseumawe karena


(40)

berdasarkan penelitian pendahuluan terdapat 5 (lima) kasus yang belum dilaksanakan putusan hakim terhadap tindak pidana maisir.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang penulis gunakan untuk mendapatkan data dan informasi tersebut adalah dengan menggunakan metode penelitian.

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan ini dimaksud untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, teori-teori, pendapat para sarjana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide). Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview), baik dengan penyidik, jaksa, pihak dinas syari’at Islam, hakim mahkamah syari’ah, hakim pengawas dan pengamat (wasmat), dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang ada hubungannya dengan penelitian ini.


(41)

Data yang diperoleh melalui suatu teknik wawancara ataupun melalui kajian kepustakaan yang kesemuanya itu bertujuan untuk memperoleh suatu karangan ilmiah yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan kepada siapapun. Oleh karena itu untuk menganalisis suatu data terlebih dahulu ditentukan metode apa yang digunakan agar sesuai dengan tujuan penelitian.

Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan konprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.40

____________________

40Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 93.


(42)

BAB II

PENGATURAN TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) DALAM QANUN NOMOR 13 TAHUN 2003

A. Peradilan Syari’at di Nanggroe Aceh Darussalam

Berpijak pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dipelajari mengenai kewenangan yang diperoleh keempat lingkungan peradilan. Pada prinsipnya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, peradilan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang putusannya ditentukan pada Mahkamah Syar’iyah Kota atau Kabupaten untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi untuk tingkat banding, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mempunyai keunikan yang berbeda dengan badan peradilan khusus lainnya karena ia merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenanganya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Mahkamah syar’iyah propinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan mahkamah syar’iyah dalam tingkat banding. Mahkamah Syar’iyah Propinsi juga bertugas dan berwenang


(43)

mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar mahkamah syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara sengketa wewenang antara mahkamah syar’iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir. Mahkamah syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kewenangan mahkamah syar’iyah sebagaimana termaksud di atas, diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.

Seperti diketahui bahwa syari’at Islam mencakup seluruh aspek hukum, baik dalam aspek hukum publik maupun privat. Oleh karenanya kekuasaan dan kewenangan mahkamah syar’iyah yang ditetapkan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 mencakup pula seluruh aspek hukum yang memerlukan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Pokok pikiran tersebut antara lain termaktub dalam penjelasan umum angka 4 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam adalah untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang:41

1. Ahwal al-Syakhshiyah meliputi: perkawinan, waris, wasiat, zakat, infak, dan ekonomi syariah;42

2. Muamalah yang meliputi hukum kebendaan dan perikatan: jual beli, hutang piutang, qiradh (permodalan), musaqah, muzaraah, mukhabarah (bagi hasil ____________________

41Lihat Pasal 49 dan penjelasan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.

42Lihat Penjelasan Pasal 49 Huruf a Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan

Syariat Islam dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.


(44)

pertanian), wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian), ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syufah (hak langgeng), ruhnun (gadai), ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma’din (tambang), luqathah (barang temuan), perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful, perburuhan, harta rampasan, waqaf, hibah, shadaqah dan hadiah;43

3. Jinayah,44yang terdiri dari:

a. Hudud45yang meliputi: zina, menuduh berzina, mencuri, merampok, minuman keras dan Napza, murtad, pemberontakan;

b. Qishash46yang meliputi: pembunuhan, penganiayaan;

c. Ta’zir47 yang meliputi: maisir (perjudian), penipuan, pemalsuan, khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.

____________________

43Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf b. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.

44Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.

45Hudud adalah pelanggaran yang sanksinya sudah ditentukan oleh Allah dan tidak

berubah; ia disebut juga sebagai haqq Allah semata.

46Qishash yaitu pelanggaran yang sanksinya sudah ditentukan oleh Allah, tapi dapat

berubah disebabkan oleh yang lain; ia disebut juga sebagai pencampuran antara haqq Allah

dengan hak hamba. Umpama seseorang membunuh kawannya. Sanksi bagi yang melakukan pembunuhan dengan sengaja adalah dibunuh lagi (QS. Al-Ma’idah (5): 45); akan tetapi, pembunuh dapat terbebas dari sanksi tersebut apabila keluarga yang dibunuh memaafkannya,

dan sebagai sanksi yang harus dijalankannya adalah diyat, yaitu pembunuh memberikan

sejumlah harta kepada keluarga yang dibunuh.

47Ta’zir yaitu suatu tindak pidana atau kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh

Allah, tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Umpamanya dalam Al-Quran terdapat cegahan untuk meminum khamr; akan tetapi dalam Al-Quran dan sunnah tidak terdapat sanksi bagi yang meminum khamr; disebut juga sebagai hak hamba semata.


(45)

Pasal 53 dan Pasal 54 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam menyatakan bahwa: Hukum materiel dan hukum formiel yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara ahwal al-syakhshiyah, mu’amalah dan jinayah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syari’at Islam yang akan diatur dalam qanun.48 Adapun qanun tentang jinayah yang sudah berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah:

1. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya; 2. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (judi); dan 3. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (mesum). B. Pengertian Jarimah dan Maisir

1. Pengertian Jarimah

Pengertian jarimah dalam hukum pidana Islam berasal dari kata “jarama” yang sinonimnya “kasaba waqatha’a” artinya berusaha dan bekerja, hanya saja pengertian usaha di sini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia. Definisi jarimah dari pengertian tersebut adalah “melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan dan jalan yang lurus (agama), seperti yang dikutip Ahmad Wardi Muslich dari Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Al ‘Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy.49

____________________

48Lihat Pasal 53 dan 54 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat

Islam.

49Ahmad Wardi Muslich , Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah,


(46)

Menurut Al Mawardi, seperti dikutip Ahmad Wardi Muslich, jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam dengan hukum had atau ta’zir.50 Para fuqaha menyatakan bahwa lafal jinayah sama artinya dengan jarimah. Pengertian jinayah adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda atau lain-lainnya.51

Sayid Sabiq, seperti dikutip Ahmad Wardi Muslich mendefinisikan jinayah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang, dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda”.52

Ahmad Hanafi memberi pengertian jinayah dalam Bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Para fuqaha sering pula menggunakan istilah jinayah atau jarimah. Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Jarimah merupakan kata jadian (masdar) dari segi bahasa dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah.53

____________________

50

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, cetakan I. hal. ix – x.

51

Ahmad Wardi Muslich, op cit., hal. 13.

52

Ibid, hal. 10.

53Makhrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, Logung, Jogjakarta, 2004,

cetakan I, hal. 1.


(47)

Dede Rosyada dalam bukunya “Hukum Islam dan Pranata Sosial” seperti yang dikutip Zainuddin Ali bahwa hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban) sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al Quran dan Hadist. Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist.54 “Hukum pidana Islam” merupakan Syari’at Allah yang mengandung kemaslahatan umum kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syari’at Islam dimaksud, secara materiel mengandung kewajiban bagi setiap manusia untuk melaksanakannya.55

Topo Santoso berpendapat, kejahatan (jarimah) jinayat didefinisikan sebagai larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syari’at. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommission) suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh Syari’at adalah kejahatan.56

____________________ 54

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, cetakan I, hal. 1.

55 Ibid. 56

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003,


(48)

2. Pengertian Maisir (Perjudian)

Maisir (perjudian) dalam Bahasa Arab bernama “qimar”. Menurut Aunur Rahim Faqih, qimar adalah “permainan” juga taruhannya apa saja, boleh uang dan boleh barang-barang, yang menang menerima dari yang kalah.57 Dalam kamus, Poerwadarminta memberi pengertian judi adalah permainan dengan bertaruh uang seperti main dadu, main kartu, dan sebagainya.58 Pengertian maisir dalam Qanun No. 13 Tahun 2003, dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20, maisir adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.59

Menurut Bambang Marhijanto bahwa maisir adalah permainan yang memperebutkan uang.60 Syamsuddin Adz Dzahabi mendefinisikan judi adalah suatu permainan atau undian dengan memakai taruhan uang atau lainnya, masing-masing dari keduanya ada yang menang dan ada yang kalah (untung dan ruginya).61 Judi dalam Islam dinamai dengan “maisir” yakni tiap-tiap sesuatu yang ada dalamnya pertaruhan maka itu adalah judi. Judi dalam agama Islam bukan hanya terletak dalam ____________________

57Aunur Rahim Faqih, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, Bandung,

1992, hal. 17.

58Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal.

254.

59Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun,

Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur berkaitan pelaksanaan dan Syari’at Islam, Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005, hal. 271.

60Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Tenang, Surabaya, 1995,

hal. 175.

61Syamsuddin Adz Dzahabi, 75 Dosa Besar, Media Idaman Press, Surabaya, 1992,


(49)

“permainan” tetapi juga terletak dalam sekian perbuatan yang didalamnya ada pertaruhan. Pertaruhan itu bukan saja uang, tetapi juga boleh rumah, mobil, tanah, sawah, padi, gandum, anak, isteri/suami, dan lain-lain.62

Permainan judi dari masa ke masa banyak jenisnya yang selalu berkembang modus operandinya, namun di Indonesia judi yang terkenal diantaranya adalah:63

1. Main dadu (ada dadu petak enam, petak empat). Ada dadu yang dilempar dan ada dadu yang diputar.

2. Main ceki (kartu-kartu kecil yang diberi bergambar-gambar undian yang tidak dapat dibaca kecuali oleh penjudi-penjudi.

3. Main berambung duit (biasanya dua buah duit logam dicat mukanya dengan cat hitam atau cat putih, lalu diambang. Mana yang ke atas catnya dan sesuai dengan terkaannya maka itulah yang menang).

4. Main genap ganjil (serupa juga dengan dadu, tetapi matanya dua macam saja, yaitu genap atau ganjil).

5. Main Rulet (ini biasanya di Kasino, yaitu main putar gundu dan kalau gundu itu berhenti pada tempat atau nomor yang diterka menanglah orang yang sesuai terkaannya).

6. Main kartu (terka-terkaan. Barang siapa yang cocok terkaannya itulah yang menang).

____________________

62Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006, hal. 55.

63Sucipto, Shalat Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar, Pustaka Pelajar, Jakarta,


(50)

7. Main hwa-hwee (gambar-gambar hewan. Barang siapa yang keluar gambar yang diterkanya itulah yang menang).

8. Main totalisator (pertaruhan di gelanggang pacu kuda. Barang siapa yang dulu kuda terkaannya maka ia mendapat sekian uang yang telah ditentukan oleh bandarnya).

9. Main Domino (semacam tulang tipis pakai mata, yang diadu-adu matanya. Barang siapa yang lekas habis batunya itulah yang menang.

10. Main Skhak, yaitu permainan perang-perangan, buahnya ada yang bernama gajah, ada yang bernama benteng, ada yang bernama serdadu, ada yang bernama menteri. Kalau salah seorang yang main dapat menangkap raja maka dialah yang menang.

11. Main lotere (main untung-untungan. Kalau kebetulan nomor yang keluar sesuai dengan nomor yang ada pada kita maka itu yang menang, dapat untung sekian banyak dan siapa yang tidak keluar angkanya rugilah ia).

12. Main judi anak-anak (melempar duit, melempar kelereng, dan lain-lain sebagainya).

Guntur mengartikan judi adalah setiap permainan untung-untungan untuk mendapatkan uang dengan cara bertaruh atau setiap permainan harta dengan bertaruh yang di dalamnya ada unsur-unsur tebakan.64

____________________

64


(51)

Zainuddin Ali menyatakan, judi adalah suatu aktivitas untuk mengambil keuntungan dari bentuk permainan seperti kartu, adu ayam, main bola, dan lain-lain permainan, yang tidak memicu pelakunya berbuat kreatif.65 Pemain catur yang mempertaruhkan sejumlah uang tertentu jika ia kalah dari lawannya, tidak dikatakan berjudi. Lantaran uang yang dikorbankannya menjadi pemicu agar ia berusaha memenangkan permainannya. Dengan memenangkan permainan berarti prestasinya akan meningkat. Namun jika uang atau harta yang dipertaruhkan itu tidak untuk tujuan meningkatkan prestasi para pemainnya maka pertaruhan tersebut dapat dikategorikan sebagai perjudian. Jika pertaruhan antara keduanya atau salah satunya dimaksudkan untuk melemahkan, deliknya berubah menjadi penyuapan.66

Dilihat dari hukum Islam, maka larangan tentang perjudian dirangkaikan dengan khamar. Berdasarkan hal dimaksud, cukup beralasan jika perjudian termasuk salah satu tindak pidana, yang konsekuensi atau sanksi hukumnya disejajarkan dengan tindak pidana khamar. Dilihat dari bahaya perjudian maka dapat dikatakan bahwa salah satu tindakan kriminal yang membawa dampak negatif, di antaranya adalah: 1) merusak ekonomi keluarga, 2) mengganggu keamanan masyarakat, 3) melumpuhkan semangat berkreasi, 4) menghabiskan waktu, 5) dan lain-lain.

P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan pengertian judi adalah: “Setiap permainan yang pada umumnya menggantungkan kemungkinan diperolehnya keuntungan itu pada faktor kebetulan juga apabila kesempatan itu menjadi lebih besar dengan keterlatihan yang lebih besar tinggi dari pemainnya, termasuk juga permainan ____________________

65Zainuddin Ali, op cit., hal. 92.


(52)

judi adalah pertaruhan atau hasil pertandingan, atau permainan-permainan lain yang tidak diadakan antara mereka yang turut serta sendiri di dalam permainan itu, demikian pula setiap pertaruhan yang lain”.67

Al Yasa’ Abubakar menyatakan ada dua unsur utama dalam perbuatan judi yaitu: pertama sekali ada taruhan (tebakan) dan yang keduanya ada pembayaran oleh pihak yang kalah (kalah bertaruh) kepada pihak yang menang (menang dalam pertaruhan tersebut). Taruhan (tebakan) adalah pernyataan atau perbuatan untuk memilih salah satu dari beberapa kemungkinan yang didasarkan atas faktor kebetulan (untung-untungan).68

Syarat kedua, ada pembayaran kepada pihak yang menang dalam perjudian tradisional, pembayaran dilakukan oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang secara langsung. Dalam perjudian yang rumit, biasanya ada pihak ketiga yang menjadi bandar yang akan mengelola alur keuangan dan pembayaran dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang, di samping mengambil sebagiannya bahkan mungkin yang terbanyak untuk keuntungan mereka sendiri. Dengan demikian, secara langsung atau tidak, di dalam perjudian pihak yang kalahlah yang membayar kepada pihak yang menang. Kalau yang membayar tersebut pihak lain, bukan pihak yang bertaruh, maka pembayaran tersebut tidak termasuk judi, tetapi dapat dikelompokkan ke dalam pemberian hadiah. Begitu juga kalau mereka hanya menebak dan tidak ada ____________________

67P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,

Bandung, 1979, hal. 12

68Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abbas, Sirajuddin., 40 Masalah Agama, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006. Abdullah, Mustafa., dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, cetakan I, 1983.

Abubakar, Al Yasa’., Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2005.

Al Faruk, Asadulloh., Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009.

Ali, Zainuddin., Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan I, 2007. Adz Dzahabi, Syamsuddin., 75 Dosa Besar, Media Idaman Press, Surabaya, 1992. Arief, Barda Nawawi., Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996.

Basah, Sjachran., Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1994.

Darmadi, Sugianto., Kedudukan Hukum Dalam Ilmu dan Filsafat, CV. Mandar Madju, Bandung, Cetakan I, 1998.

Dirdjosisworo, Soejono., Penegakan Hukum dalam Sistem Pertahanan Sipil, Karya Nusantara, Bandung, 1978.

Gautama, Sudargo., Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973. Guntur, Pendidikan Agama Islam, Putra Agung, Medan, 1996.

Hakim, Rahmat., Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, 2000.


(2)

Lamintang, P.A.F., dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1979.

Manan, Bagir., Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

Marhijanto, Bambang., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Mas, Marwan., Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

Mertokusumo, Sudikno., Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Moeliono, Anton M., et al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cetakan II, 1989.

Moelyatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Muhammad, Ahsin Sakho (Ed), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III, Alih Bahasa: Tim Tsalisah, PT. Kharisma Ilmu, Bogor, 2007.

Mulyadi, Lilik., Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis, dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, 2008.

M. Unger, Roberto., Gerakan Studi Hukum Kritis, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 1999.

Munajat, Makhrus., Dekontruksi Hukum Pidana Islam, Logung, Jogjakarta, cetakan I, 2004.

Muslich, Ahmad Wardi., Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan I, 2004.

Muslich, Ahmad Wardi., Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994. Projodikoro, Wirjono., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta- Bandung, cetakan III, 1981.


(3)

Rahim Faqih, Aunur, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, Bandung, 1992.

Rahman, Zubir., Eksistensi Jaksa di Tengah-tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

Rasjidi, Lili., dan Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003.

Reksodiputro, Mardjono., Kriminologi dan Sistem Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.

Sabiq, Sayyid., Fiqih Sunnah, Jilid 3, Alih Bahasa, Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.

Santoso, Topo., Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, cetakan I, 2003.

Soekanto, Soejono., dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1986.

Soemantri, Sri., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987. Soemantri, Sri., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

Soemitro, Ronny Hanitjo., Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005.

Soenaryati Hartono, C.F.G., Politik Hukum Menurut Suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1996. Sucipto, Shalat Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2003.

Sunarso, Siswanto., Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Syahrin, Alvy., Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Softmedia, Jakarta, 2009.


(4)

Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Nadiya Foundation, Lhokseumawe, 2004.

Syahrizal, dkk., “Konstruksi Implementasi Syariat di Nanggroe Aceh Darussalam”

dalam Dimensi Pemikiran Hukum Dalam Implementasi Syariat Islam di Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2007.

Syarifuddin, Amir., Garis-Garis Besar Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2003.

Tim Penyusun Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007.

Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 1995.

---, “Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur berkaitan pelaksanaan dan Syari’at Islam, Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005.

B. Karya Ilmiah/Artikel/Majalah

Ibrahim, Muslim., “Penerapan Syari’at Islam dan Penyelesaian Konflik di Aceh”, Makalah disampaikan pada peringatan hari jadi IAIN Ar-Raniry ke-39 Tanggal12 Oktober 2002.

Kusumaatmadja, Mochtar., “Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang”, Dalam Jurnal Padjajaran, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, Nomor 1, 1995.

Mahadi, “Peranan Penegakan Hukum dalam Proses Penegakan Hukum”, Dalam Simposium Masalah Penegakan Hukum, BPHN, Bali, pada tanggal 6 - 8 Desember 1979.

Perwira, Indra., “Penataan Lembaga-Lembaga Negara”, Dalam Jurnal Sosial Politik Dialektika, Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis, UNPAD, Bandung, Vol. 2 Nomor 2, 2001.


(5)

C. Internet

http://www.toodoc.com/pengertian-lembaga-peradilan-word.html. diakses tanggal 13 April 2010 jam 13.20 WIB.

D. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114).

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172).

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8).

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indoneisia Tahun 2006 Nomor 22).

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 62).

Republik Indoneisia Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.


(6)

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 2 Seri E Nomor 2).

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun Nomor 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama dengan Eksekutif, Legislatif dan Instansi lainnya (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 22 Seri D Nomor 9).

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 26 Seri D Nomor 13).

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan ‘Uqubat Cambuk.

E. Keputusan Presiden/Keputusan Menteri/Keputusan Gubernur

Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Pelaksanaan Pengangkatan Anak Melalui Penetapan Hakim Mahkamah Syar’iyah Di Banda Aceh

1 39 138

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122