SEJARAH PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA PADA ABAD KE-XVII Fahmi

  SEJARAH PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA PADA ABAD KE-XVII Fahmi Abstract : The development of Islamic legal thought archipelago in the century -XVII can not be released to the role of the Islamic Empire at that time. This is because, the Islamic thinkers in history were able to develop his thinking when they made it and occupy positions in the kingdom. Raniri Nurudin served as Sheikh of Islam in the Kingdom of Aceh Darussalam in the Iskandar Thani. Abd Rauf Sinkili served as Qadi al-Malik al-Adil in the kingdom of Aceh during the Sultan Safiyyat al-Din. And Muhammad Yusuf Maqassari served as religious advisory council in Banten at Sultan

Ageng Tirtayasa .

  Keywords :Islamic, Legal, Thought

  Pendahuluan

  Berbicara mengenai sebuah periode dalam kurun sejarah, membutuhkan beberapa unsur yang teramat kompleks. Karena dalam sejarah, antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya selalu berkaitan. Sehingga membahas suatu kajian yang terjadi dalam sejarah, tidak bisa tidak, membahas juga hal-hal yang mengitari kajian tersebut. Ini dimaksudkan supaya kesimpulan akan sebuah kajian dari suatu periode dalam sejarah menjadi sebuah kesimpulan yang komprehensif. Baik itu unsur politik, agama, sosial, ekonomi, dan sebagainya.

  Pada makalah ini, penulis akan berusaha untuk mengkaji satu periode dalam pemikiran hukum Islam. Dan sebagaimana diterangkan diatas, bahwa mengkaji satu fenomena dalam sejarah-pemikiran hukum Islam-tidak bisa terlepas dengan semua aspek yang terdapat dalam sejarah itu. Sehingga makalah ini akan membahas juga hal- hal yang terjadi dalam abad 17, namun tentu sebagai pendukung, atas fokus kajian dalam masalah ini, yakni rintisan pemikiran hukum Islam Nusantara pada abad 17.

  Berbicara mengenai suatu pemikiran, maka tidaklah bisa lepas dari sang pemikir tersebut, terlebih bila pemikiran tersebut adalah sebuah pemikiran yang terjadi dalam sejarah. Sehingga, membahas pemikiran hukum Islam pada bad ke 17 sesungguhnya merupakan pembahasan mengenai sang pemikir tersebut. Sehingga pada makalah ini, penulis akan mengkaji ahli hukum yang hidup pada bad ke-17 seperti Nurudin ar-

A. Kondisi Sosial Dan Politik

  Kondisi politik yang memberi pengaruh besar pada pemikiran hukum islam di Nusantara ialah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pada saat itu. Kerajaan-kerajaan Islam inilah yang memiliki peran besar dalam pengembangan agama Islam pada umumnya dan pemikiran hukum Islam pada khususnya.

  Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Nusantara secara berurutan adalah sebagai berikut; kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Perlak, kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Demak, kerajaan Islam Mataram dan kerajaan Islam di Banjarmasin.

  Adapun pada abad ke17, kerajaan Islam yang berdiri pada waktu itu adalah kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamasikan pada tanggal 12 Zulkaedah 916 H (1511 M) adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan barat dan kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan timur. Dimana kerajaan Islam Pasai mengalami kemunduran, dan kerajan Malaka mengalami kemunduran,

  1 maka di saat itulah kerajaan Aceh Darussalam mulai berkembang.

  Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana- sarjananya yang terkenal di dalam dan di luar negeri, sehingga banyaklah orang luar yang datang ke Aceh untuk menuntut ilmu. Bahkan ibu kota kerajaan Aceh Darussalam terus berkembang menjadi kota internasional dan menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. kekuatan imperalis Barat telah mematahkan sebagian besar negara-negara Islam pada waktu itulah yaitu sekitar permulaan abad ke-16 M, lahir lima kerajaan Islam besar yang terikat dalam suatu kerja sama ekonomi, politik, militer dan kebudayaan. Kerajaan Islam tersebut adalah : 1.

  Kerajaan Turki Uthmani di Istambul 2. Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara 3. Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah 4. Kerajaan Islam Akra di India 5. Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.

  Dalam bidang pendidikan, di kerajaan Aceh Darussalam mendapatkan perhatian yang sangat besar. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam

  2

  bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Diantara lembaga tersebut adalah; pertama :

  

balai seutia hukama ; merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para

  ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua: balai seutia ulama. Merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.

  3 Adapun jenjang yang ada adalah sebagai berikut : 1.

  Meunasah (Madrasah/Ibtida'iyah) 2. Rangkang (Madrasah Tsanawiyah) 3. Dayah (Madrasah Aliyah) 4. Dayah Teuka Cik (Perguruan Tinggi)

  Dengan demikian, jelas sekali bahwa di kerajaan Islam Aceh Darussalam ilmu pengetahuan benar-benar berkembang dengan pesat dan mampu melahirkan ulama dan ahli ilmu pengetahuan seperti : Hamzah Fansuri, Syekh Samsudin Sumatrani, Syekh Nurudin al-Raniri dan Syekh Abdul Rauf al-Sinkili B.

   Kondisi Intelektual dan Pemikiran Hukum Islam

  Secara umum kegiatan intelektual di Nusantara telah terjadi sebelum abad ke 17 M. sebagaimana fenomena mengapa hukum islam yang berkembang di Nusantara didominasi oleh madzhab Shafi'i, maka jawabannya terdapat ketika pembawa agama merupakan penganut madzhab Shafi'i. Adapun agama Islam masuk ke Nusantara terjadi pada abad ke 7 atau 8 M.

  Dan madzhab Shafi'i berkembang dan bertahan hingga berdirinya kerajaan islam pertama yang berada di Nusantara yaitu kerajaan Samudera Pasai pada abad ke 10 M, dengan raja pertamanya al-Malik Ibrahim bin Makhdum.

  Hal ini tergambar dalam sebuah peristiwa bahwa seorang pengembara dari Maroko yang bernama Ibnu Batutah pada tahun 1345 M sempat singgah di kerjaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik al-Zahir saat perjalanannya ke Cina. Ibnu Batutah menuturkan bahwa ia sangat mengagumi akan keadaan kerajaan Pasai, dimana rajanya sangat 'Alim dan begitu pula dalam ilmu agamanya, dengan menganut madzhab

  4 Shafi'i dan serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.

  Adapun pada abad ke 17, potret intelektual Nusantara terwakili oleh tiga ulama, mereka adalah Nurudin al-Raniri dan Abd Rauf al-Sinkili di Aceh dan Muhammad Yusuf al-Maqasari yang berasal dari Sulawesi Selatan namun memulai karier intelektualnya ketika berada di Banten, Jawa Barat, Sri Langka dan Afrika Selatan. Di bawah ini penulis akan membahas ketiga ulama tersebut secara umum beserta perkembangan pemikiran hukum Islam secara khusus.

1. Nur al-Din al-Raniri / Raniri (w. 1068/1658)

  a. Biografinya : Nur al-Din Muhammad b. Ali b. Hasani al-Hamid al-Syafi'i al-Asy'ari al-

  'Aydarusi ar-Raniri, ( selanjutnya disebut ar- Raniri), yang dilahirkan di Ranir

  5 (modern : Randir). Ranir adalah sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat.

  Lepas dari tempat kelahirannya, al-Raniri secara umum dianggap lebih unggul sebagai orang alim melayu Indonesia dari pada India atau Arab. Tahun kelahirannya tidak diketahui tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke enam belas. Dikatakan ibunya adalah seorang melayu, tetapi ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhrami yang mempunyai tradisi panjang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kebanyakan orang Arabia Selatan ini menetap di kota-kota pelabuhan di pantai samudera Hindia dan di wilayah kepulauan al-Hamid dari Zuhra, salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy.

  Ar-Raniri mendapatkan pendidikan awal di Ranir, dan kemudian melanjutkan pelajarannya di wilayah Hadramaut. Adapun tentang waktu selama di Hadramut beserta guru-gurunya, catatan sejarah hanya sedikit sekali membahas tentang hal itu. Kemudian, kemungkinan besar dia melanjutkan pergi ke Haramayn, sebab menurut riwayat dari al-Hasani, dia berada di Mekah dan Madinah pada tahun 1030/1620 atau 1031/1621, ketika dia menjalankan ibadah

4 Dra. Zuhairini, Dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana

  haji. Itulah sangat mungkin dia juga menjalin hubungan dengan murid-murid dan jama'ah haji Jawi di sana sebelum kembali ke Gujarat.

  Adapun guru ar- Raniri/ Raniri yang terkenal dari India ialah Abu Hafs Umar b. Abd Alla' ba Syayban al-Tarimi al-Hadrami, dari beliaulah al-Raniri ditunjuk sebagai khalifah dari tarekat/ thariqat Rifa'iyah dan ditugaskan untuk menyebarkan di wilayah melayu Indonesia. Tetapi Rifa'iyah bukanlah satu- satunya tarekat yang di inisiasikan ke al-Raniri. Dia juga mempunyai silsilah inisiasi dari tarekat Aydarusiyyah dan tarekat Qadiriyyah.

  Setelah mempelajari ilmu-ilmu Islam, ia ditunjuk sebagai khalifah tarekat Rifa'iyah dan Aydarusiyyah, tibalah waktunya bagi ar-Raniri untuk memulai kariernya. Beberapa karyanya menunjukkan bahwa dia sangat mengenal dunia melayu, bahkan sebelum kedatangannya ke kepulauan Nusantara. tampaknya dia mendapatkan informasi mengenai dirinya dari ibunya yang diduga berasal dari Melayu dan dari keterlibatannya dengan komunitas Jawi di Mekah. Tetapi jelas pula pamannya, Muhammad Jilani, yang sering mengadakan perjalanan pulang balik ke Aceh, juga memberinya informasi mengenai tradisi budaya dan keagamaan Melayu.

  Tidak ada informasi kapan ar-Raniri mengadakan perjalanannya pertama kali dan menetap di wilayah Melayu. Tetapi ada kemungkinan selama masa antara selesainya dia menjalankan ibadah haji pada 1029/1621 dan 1047/1637, atau Pahang di Jazirah Melayu atau di kedua-duanya. Kenaikannya secara mendadak ke jabatan Syaikh Islam di Kesultanan Aceh pada 1047/1637 mengisyaratkan bahwa dia telah dikenal sebelumnya di lingkungan elit politik

  6 Melayu terutama dari kesultanan Pahang.

  Ketika Syamsuddin Sumatrani dan Sultan Iskandar Muda berturut-turut meninggal, ar-Raniri datang ke Aceh, tepatnya pada 6 Muharram 1047/31 Mei 1637, dia segera ditunjuk menjadi Syaikh al-Islam, salah satu kedudukan tertinggi di kesultanan di bawah Sultan sendiri yang pada waktu itu dipimpin oleh sultan Iskandar Tsani. Setelah mendapatkan pijakan kuat di Istana Sultan Aceh, ar-Raniri mulai melancarkan pembaruan islamnya di Aceh. Menurut pendapatnya, Islam di wilayah ini telah dikacaukan kesalahpahaman atas doktrin Sufi. Ar-Raniri hidup selama 7 tahun di Aceh sebagai seorang 'Alim, Mufti dan penulis produktif, yang mencurahkan banyak tenaga untuk menentang doktrin wujudiyah. Dia bahkan melangkah lebih jauh dengan mengeluarkan fatwa yang mengarah pada semacam perburuan terhadap orang-orang sesat, atau membunuh orang-orang yang menolak melepas keyakinan dan meninggalkan praktik-praktik sesat mereka, dan membakar dokumennya sampai menjadi abu seluruh buku mereka. Dia berhasil mempertahankan kedudukannya di Istana sampai tahun 1054/1644 ketika tiba-tiba dia meninggalkan Aceh menuju kota kelahirannya, karena sebuah masalah. Menurut salah satu sumber masalah itu adalah perbedaan pendapat dengan seorang ulama bernama Sayf ar-Rijal yang memiliki pandangan wujudiyah dan didukung oleh Sultanah Shafiyyat al-Din, istri dari sultan Iskandar Tsani yang menggantikan suaminya ketika suaminya meninggal. Namun ada pula yang menyatakan kepergiannya disebabkan karena

  7 ketidaksetujuannya dalam kerajaan Islam yang dipimpin oleh seorang wanita.

  Selama ini dia belum pernah menjumpai praktek sejarah Khulafa' Rasyidin dan sulthan / raja setelahnya terdiri dari kaum wanita. Dia melewatkan sisa 14 tahun kehidupan di Ranir dan dua setengah tahun di bawah Sultanah Shafiyat al-Din..

  b.Pemikiran Hukum Islam ar-Raniri

  tasawuf. Ini semua memiliki dasar kuat, karena sebelum ar-Raniri datang ke wilayah Nusantara. Aceh telah didominasi paham Wujudiyah Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin Sumatrani muridnya. Sehingga ketika ar-Raniri ingin mengembangkan hukum Islam di Aceh, maka ar-Raniri tidak bisa tidak untuk harus berjuang terlebih dahulu untuk menghapus keyakinan Wujudiyah tersebut yang telah berkembang dalam masyarakat Aceh. Dan setelah faham akidah mereka telah sesuai dengan faham ar- Raniri maka ar-Raniri mulai mengembangkan hukum Islam di sana.

  Adapun pengembangan hukum Islam, ar-Raniri tidak serta merta memperkenalkan beberapa madzhab fikih yang ada kepada masyarakat Aceh, namun ar- Raniri tetap mempertahankan madzhab masyarakat Aceh yang telah berlangsung

  8 beberapa abad sebelumnya yaitu madzhab Syafi'i.

  Adapun pengembangan hukum Islam pada masa ar-Raniri ialah pengembangan hukum Islam yang menekankan pentingnya shariat dalam praktik tasawuf. Sekali lagi hal ini beliau ambil karena beliau melihat tasawuf merupakan hal yang sangat melekat dalam masyarakat Aceh, sehingga ar-Raniri melihat bahwa menghadirkan fikih yang tepat pada saat itu ialah fikih yang diselaraskan dengan tasawuf. Apalagi pada masa sebelumnya terdapat banyak tasawuf yang menyimpang, sehingga ar-Raniri ingin mengembalikan shariat bersamaan dengan tasawuf.

  Hal ini beliau wujudkan dengan menulis kitab Shirat al-Mustaqim di tanah Melayu. Dalam karya ini dia menegaskan tugas pertama setiap orang muslim dalam hidupnya, adalah lurus/ konsisten sesuai dengan pengakuan imannya pada Allah SWT. tanpa berpaling sedikitpun pada yang lain. Dalam buku ini beliau menjelaskan berbagai hal seperti bersuci (wudhu) shalat, zakat, puasa, haji kurban dan semacamnya.

  Meski buku ini tampaknya hanya memberikan penjelasan sederhana atas aturan-aturan fikih dasar. Kita hendaknya tidak mengesampingkan makna pentingnya bagi kaum muslim Melayu-Indonesia pada masa itu ketika Tasawuf mendapatkan kesalahpahaman pada masa-masa sebelumnya.

  Dalam bidang fikih dia mendasarkan pada buku-buku Shafi'iyah seperti Minhaj

  

al-Thalibin karya Imam Nawawi, Fath al-Wahhab bi Sharh Minhaj al-Thullab karya

al-Anwar karya al-Fardubili atau Nihayat al-Muhtaj Ila Sharh al-Minhaj karya al-

9 Nawawi karya Syams al-Din al-Ramli.

  Ar-Raniri adalah orang 'alim pertama di Nusantara yang mengambil inisiatif menulis sermacam buku pegangan standar mengenai kewajiban-kewajiban agama (fikih) yang mendasar bagi semua orang. Meskipun aturan-aturan shariat atau fikih dalam batas-batas tertentu telah dikenal dan dipraktekkan sebagai kaum muslim Melayu Indonesia tidak ada satupun karya Melayu yang dapat dipedomani sebelum munculnya 8 karya ar-Raniri. Karena itu tidak sulit memahami mengapa karya ini menjadi sangat

  

Sebagaimana dipaparkan diatas, madzhab Shafi'i berkembang di Indonesia sejak pertama Islam datang

ke Indonesia, ini dikarenakan pembawa Islam saat itu bermadzhab Shafi'i, sebagaimana juga dituturkan populer dan masih digunakan sampai hari ini di beberapa bagian dunia Melayu Indonesia. Kepedulian ar-Raniri dalam penerapan aturan-aturan rinci fikih mendorongnya menyarikan bagian-bagian karyanya Shirat Mustaqim dan mengeluarkan sebagai karya terpisah. Yang paling terkenal diantara sari-sari penjelasan tersebut di atas adalah Kaifiyat al-Shalat dan Al-Nikah.

  Dan yang menjadi fenomena umum pada saat itu ialah kepedulian ar-Raniri terhadap fikih negara. Dimana ar-Raniri dengan kedudukannya sebagai Syaikh Islam mempunyai kewenangan untuk memberi nasehat dan masukan bagi sultan Iskadar Tsani dalam berbagai masalah, baik yang bersifat religius maupun politis. Dalam karyanya

  

Bustan al-Salathin dia mengungkapkan bagaimana dia memberi nasehat kepada Sultan

  tentang tanggungjawabnya kepada rakyat untuk melindungi yang lemah dan memberikan kesejahteraan /kebaikan bagi seluruh rakyatnya akan membuat dia diberi rahmat dari Allah. Barangkali dari nasehat-nasehat itulah Sultan Iskandar Tsani menghapuskan hukuman-hukuman yang tidak islami bagi para penjahat seperti mencelupkan diatas minyak panas dan menjilat besi.

  Sehingga, dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa ar-Raniri merupakan pemikiran hukum yang berusaha menyelaraskan antara tasawuf yang berkembang saat itu dengan shariat yang benar. Usaha itu terwujud dalam bentuk salah satunya dengan ditulisnya buku tentang fikih yaitu Shirat al-Mustaqim.

   Abd al-Rauf al-Sinkili / Sinkili (1024-1105/1615-930)

a. Biografinya:

  Abd al-Rauf b. Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili ( selanjutnya disebut

  Sinkili) adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil (modern : Singkel) di

  10

  wilayah pantai barat laut Aceh. Lahir pada tahun 1024/1615. ayah Sinkili Syaikh Ali adalah serong Arab yang mengawini seorang wanita dari Fansur kemudian bertempat tinggal di Singkel dimana anak mereka Abd Rauf di lahirkan.

  Al-Sinkili atau Sinkili mendapatkan pendidikan awalnya di desa kelahirannya, Singkel, terutama dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang yang alim, yang mendirikan sebuah madrasah yang menarik murid-murid dari berbagai tempat di kesultanan Aceh. Dan kemungkinan besar Sinkili melanjutkan pelajarannya di Fansur, karena sebagaimana dalam catatan sejarah Negeri ini adalah pusat Islam penting dan merupakan titik penghubung antara orang Melayu dengan kaum muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan. Setelah itu beliau melanjutkan belajarnya ke wilayah Arabia mulai dari Duha, Qatar, Yaman, Mekah dan yang terpenting Madinah. Beliau belajar di Arabia selama 19 tahun.

  Di Madinah inilah Sinkili mendapatkan pengajaran dari ulama terkenal. Qusyasyi. Dimana dengan beliau inilah Sinkili mempelajari tasawuf dan ilmu- ilmu batin. Sinkili belajar dengan beliau sampai Qusyasyi meninggal dunia.

  Setelah itu Sinkili belajar dengan al-Kurani/Kurani, sebagai pengganti dari Qusyasyi. Dari al-Kurani inilah Sinkili belajar ilmu-ilmu dzahir. Sehingga bila di Nusantara Sinkili lebih mengedepankan shariat dan tasawuf secara bersamaan maka itu merupakan pengaruh besar dari pendidikan Sinkili ketika berada di Madinah. Setelah dari Madinah, Sinkili pulang ke Aceh dan mulai mengembangkan agama Islam selama 4 kali kesultanan, dimana semuanya ketika itu berturut-turut dipimpin oleh wanita – wanita /Sulthanah.

  b.

   Pemikiran Hukum Islam Sinkili

  Sepulang dari Madinah, Sinkili memulai karirnya di Aceh. Selama di kalam dan tasawuf. Dalam seluruh karyanya, Sinkili, seperti gurunya ar-Raniri menunjukkan bahwa perhatian utamanya adalah rekonsiliasi antara shariat dan tasawuf, atau dalam istilahnya sendiri antara ilmu dzahir dan ilmu batin.

  Karya utama Sinkili dalam fikih adalah Mir'at al-hTullab fi Tashri'

  

Ma'rifat al-Ahkam al-Shar'iyyah li al-Malik al-Wahhab. Karya ini ditulis atas

  permintaan Sultanah Shafiyyat al-Din, dijelaskan pada tahun 1074/1663. tidak seperti Shirat al-Mustaqim karya ar-Raniri yang hanya membahas tentang ibadah, Mir'at al-Thullab mengemukakan tentang aspek mu'amalat dari fiqih, termasuk kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan keagamaan kaum muslim. Karena mencakup topik-topik yang begitu luas, itulah kitab yang jelas

  11

  adalah Fath al-Wahhab karya Zakaria al-Anshari. Sinkili juga mengambil bahan dari buku-buku standar seperti Fath al-Jawab dan Tuhfat al-Muhtaj, keduanya karya Ibn Hajar al-Haytsami (w. 973/1565); Nihayat al-Muhtaj karya Syamsuddin al-Ramli; Tafsir al-Baidhawi karya Ibn Umar al-Baidhawi (w. 685/1286) dan Syarh Sahih Muslim karya al-Nawawi (w. 676/1277).

  Sinkili adalah ulama pertama di wilayah Melayu Indonesia yang menulis mengenai Fiqh Mu'amalat. Melalui Mir'at Thullab dia menunjukkan kepada kaum muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun Mir'at Thullab tidak digunakan di Nusantara dewasa ini, di masa lampau karya tersebut beredar luas. Disebutkan bahwa Zumaran, merupakan kumpulan hukum Islam yang digunakan kaum muslim Mindanao, Filipina, sejak pertengahan abad ke 19 menjadikan Mir'at Thullab sebagai salah satu acuan utamanya. Karya lain Sinkili dalam bidang fikih adalah Kitab al-Faraidh yang digunakan sebagian kaum muslim Melayu Indonesia hingga masa kini.

  Hal yang perlu diingat, pendekatan al-Sinkili pada pembaruan berbeda dengan pendekatan al-Raniri. Sinkili adalah mujaddid bergaya evolusioner, dan bukan radikal. Oleh karena itu dia lebih suka mendamaikan pandangan- pandangan yang saling bertentangan dari pada menolak salah satu diantaranya. Meski dia tidak setuju pada aspek tertentu doktrin Wujudiyah hanya secara kerajaan Islam Aceh dipimpin berturut-turut oleh empat orang wanita, maka

  12 dalam kitab Mir'at al-Thullab, Sinkili tidak membahas itu secara langsung.

  Seperti membahas tentang syarat hakim (secara lebih luas, penguasa). Sinkili tidak memberikan terjemahan Melayu untuk kata dzakar laki-laki_. Ada pula menyatakan dia telah mengkompromikan integritas intelektualnya, namun ada juga yang menyatakan itu bentuk dari kepribadiannya yang memiliki toleransi

11 Zakaria al-Anshari merupakan ulama Shafi'iah. Kitab Fath al-Wahhab ini menjadi salah satu kitab

  12 acuan ulama Shafi'iyah Keempat Sulthanah perempuan tersebut adalah Sulthanah Safiyyat al-Din, Sulthanah Nur Alam besar, suatu ciri yang mencolok dimiliki oleh Sinkili sebagaimana juga dia tunjukkan pada kasus Wujudiyah.

3. Muhammad Yusuf al-Maqassari/ Maqassari (1037-1111/1627-1699)

  Bila pada pembaharuan dua tokoh di atas berada di Aceh, maka untuk tokoh satu ini ( Maqassari ) meliputi wilayah yang lebih luas. Mulai dari Sulawesi Selatan dan Jawa Barat hingga Arabia, Srilangka dan Afrika selatan.

  a.

   Biografinya:

  Muhammad Yusuf b. Abd. Allah Abu al-Mahasin al-Khalwati al- Maqassari juga dikenal di Sulawesi sebagai tuanta salmaka ri gowa (guru kami yang agung dari Gowa). Menurut sejarah beliau dilahirkan di Gowa pada tahun

  13

  1037/1627. Keluarganya termasuk orang-orang yang telah memeluk Islam awal sepenuhnya.

  Sejak tahun-tahun awal sebelum keberangkatannya ke Arabia, Maqassari dididik menurut tradisi Islam. Dia mula-mula belajar membaca al-Qur'an dengan seorang guru setempat bernama Daeng Ri Tasammang. Selanjutnya beliau belajar bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf dengan Sayyid Ba Alwib, yaitu . Abd Allah al-Allamah al-Tahir seorang da'i Arab yang tinggal di Bontoala. Selesai belajar di dalam negeri Maqassari melanjutkan belajarnya ke luar negeri, dimulai dari Yaman, lalu ke Madinah dan berguru kepada al-Qusyasyi dan al- kembali di Mekah dan diriwayatkan mengajar pula di Mekah.

  Setelah dari luar negeri, Maqassari pulang ke Nusantara. Ada yang menyatakan diantaranya Hamka bahwa dia pulang ke Gowa terlebih dahulu, namun ketika penguasanya tidak mengindahkan shariat Islam dan tidak mau mendengar nasehat Maqassari lalu Maqassari pindah ke Banten. Namun ada yang menyatakan bahwa Maqassari langsung ke Banten. Dia berencana singgah beberapa saat di Banten namun perkembangan selanjutnya mendorong berubah pikiran. Setelah beberapa bulan di Banten, dia menikah dengan putri Sultan 13 Agung Tirtayasa. Perlu diingat bahwa Maqassari dan Sultan Ageng telah berkenalan sebelum Maqassari ke Arabia. Dan pernikahannya dengan putri Sultan Ageng Tirtayasa membuat peran Maqassari di istana semakin di perhitungkan. Dia naik tahta dan menduduki salah satu jabatan tertinggi di kalangan elit istana dan menjadi anggota dewan penasehat sultan yang berpengaruh, baik dalam masalah agama maupun politik.

  Sultan Ageng merupakan penguasa besar terakhir kesultanan Banten. Di- bawah pemerintahannya kesultanan mencapai keemasan. Pelabuhannya menjadi pusat perdagangan internasional yang penting dn ramai. Sultan Ageng adalah musuh sengit Belanda. Kenaikannya ke tahta membuat kembali pertentangan yang telah lama berlangsung antara orang Banten dengan Belanda. Namun, Sultan Ageng berhasil ditangkap oleh Belanda karena putranya Abd al-Qahhar bekerja sama dengan Belanda untuk menangkapnya. Dalam perburuan Sultan Ageng, Belanda terus mendesak Sultan Ageng hingga dia bersama Maqassari pergi ke Jawa Barat, dan berhasil ditangkap di sana dan dibuang ke Batavia dan

  14 Sultan Ageng meninggal di Batavia. Ini dilakukan karena Abd. al-Qahhar

  ingin menjabat sebagai Sultan di Banten, sebagai pengganti ayahnya., walaupun cita-citanya dilakukan dengan tipu muslihat dan durhaka terhadap ayahnya sendiri. Akhirnya Maqassari memimpin pertempuran gerilya di Jawa Barat dengan pasukan 4000 orang dari Banten, Bugis Makasar dan Jawa. Dan pasukan ini sulit ditundukkan oleh Belanda, akhirnya dengan tipu daya, Belanda bersedia mengadakan perjanjian itu, namun di tengah perjanjian , Belanda licik menipu Maqassari dan Maqassari ditangkap dan dijadikan tawanan perang.

  Maqassari dibuang ke Srilangka, dan di Srilangka inilah Maqassari menulis karyanya diantaranya Saylaniah. Dan dalam Muqadimah kitabnya

  Safinat Najah , bahwa dia menulis Muqadimah kitabnya tersebut ketika dia berada di Srilangka. Kitab itu ditulis atas permintaan kawan-kawan Maqassari.

  Dengan keberadaannya Maqassari di Srilangka, tidak memutuskan kontak Maqasari dengan orang Nusantara. Ini terjadi karena orang Nusantara yang ingin pergi haji, transit dulu di Srilangka dan akhirnya bertemu dengan Maqasari. Dan para jama'ah haji inilah yang membawa karya Maqassari ke Indonesia.

  Karena masih terjalinnya kontak Maqassari dengan orang Nusantara, akhirnya Belanda membuangnya ke Afrika Selatan, dan di Afrika Selatan inilah Maqassari mengembangkan Agama Islam sehingga dianggap sebagai pendiri atau penghidup Agama Islam di sana. Maqassari akhirnya wafat di Afrika selatan pada 22 Dzu al-Qaidah 111/22 Mei 1699. dan dikuburkan di Fauer, Afrika selatan. Namun atas permintaan Sultan Gowa, akhirnya jasad Maqassari

  15 dibawa ke Sulawesi Selatan.

  b.

   Pemikiran Yusuf Maqassari

  Maqassari adalah ulama yang luar biasa. Setelah belajar di Timur Tengah antara 20 hingga 28 tahun, Maqassari merupakan salah seorang mujaddid terpenting yang berada di Nusantara. Dan pemikiran utamanya adalah tentang tasawuf. Dalam pengalaman hidupnya menjelaskan bahwa tasawuf tidak menjauhkannya dari masalah -masalah keduniawian.

  Maqassari menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab yang sempurna. Hampir semua karyanya bertemakan tasawuf. Dalam mengembangkan ajarannya, Maqassari sering mengutip pendapat para ulama dan sufi semacam al-Ghazali, Junayd al-Baghdadi, Ibn Arabi, al-Jilli, Ibn Atha'illah dan yang lainnya. Konsep utama tasawuf Maqassari adalah pemurnian kepercayaan pada keesaan Tuhan. menyembunyikan perhatian utamanya yaitu pembaruan kepercayaan dan amalan kaum muslim di Nusantara melalui pengajaran sufisme yang lebih berorientasi kepada shariat. Dan bila dilihat bahwa guru Maqassari di Madinah adalah Qusyasyi dan al-Kurani maka bisa diduga bahwa madzhab fikih yang dianut Maqassari ialah Shafi'i, sebagaimana Sinkili juga berguru pada Qusyasyi dan al- Kurani. Adapun tarekat yang dikaitkan dengan Maqassari adalah tarekat khalwatiah. Yang kemudian dikenal dengan Khalwatia Yusufiah yang mendapatkan lahan subur di Sulawesi Selatan. Sehingga, bila orang-orang Sulawesi Selatan dan Jawa Barat dikenal sebagai muslim yang taat, maka kita tidak boleh menganggap kecil peranan Maqassari dalam pengembangan agama Islam saat ini.

BAB III KESIMPULAN 1. Perkembangan pemikiran hukum Islam Nusantara pada abad ke -17 tidak bisa

  dilepaskan dengan peranan Kerajaan Islam saat itu. Ini dikarenakan, para pemikir Islam tersebut dalam sejarah mampu mengembangkan pemikirannya ketika mereka berhasil dan menduduki jabatan di suatu kerajaan. Nurudin Raniri menjabat sebagai

  Syekh Islam di Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Tsani. Abd Rauf

  Sinkili menjabat sebagai Qadhi al-Malik al-Adil di kerajaan Aceh pada masa Sultanah Safiyyat al-Din. Dan Muhammad Yusuf Maqassari menjabat sebaga

  Dewan penasehat keagamaan di kesultanan Banten pada saat Sultan Ageng Tirtayasa.

  2. Corak pengembangan Hukum Islam pada abad ke-17 ialah sebuah upaya akselerasi antara shariat dan tasawuf. Ini terjadi dikarenakan khazanah tradisi umat muslim saat itu adalah tasawuf. Sehingga, pengembangan hukum disana ditekankan pada pentingnya hukum berjalan bersama/ serasi dengan tasawuf. Seperti di Aceh, sebelum kedatangan Raniri dan Sinkili. Aceh didominasi dengan teori Wujudiah Hamzah al-Fansuri dan Samsudin Sumatrani yang berkembang pada abad ke-16. dan dengan kedatangan ar-Raniri dan Sinkili, faham itu diubah menjadi faham aliran/mazhab, pada abad ke-17 masih didominasi dengan madzhab Shafi'i, madzhab yang dikenalkan pertama kali di Nusantara.

  3. Karya-karya yang dihasilkan ulama bad ke-17 dalam pengembangan hukum Islam adalah Shirat al-Mustaqim, sebuah karya dari Nuruddin ar-Raniri yang membahas Hukum Islam dari segi ibadah. Mir'a al-Tullab karya Sinkili yang membahas Hukum Islam dengan cakupan lebih luas seperti ibadah, muamalat, ekonomi dan politik.

DAFTAR PUSTAKA

  Rifai, Muhammad, Sejarah Islam, Semarang : Wicaksana, 1985 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,

  1999 Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Departemen Agama RI, 1986.

  Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII

  dan

  XVIII, Bandung : Mizan, 1998

  A. Daudy, Syekh Nuruddin al-Raniri, Jakarta : Bulan Bintang, 1978 Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara,

  Surabaya: al-Ikhlas, 1980