FREKUENSI ALEL SUBUNIT-CD18 SAPI FRESIAN-HOLSTEIN (FH) PADA PETERNAKAN DI LEMBANG DAN BPTU BATURRADEN
1
FREKUENSI ALEL SUBUNIT-CD18 SAPI FRESIAN-HOLSTEIN (FH)
PADA PETERNAKAN DI LEMBANG DAN BPTU BATURRADEN
WILDAN NAJMAL MUTTAQIN
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
2 ABSTRAK
WILDAN NAJMAL MUTTAQIN. Frekuensi Alel Subunit-CD18 Sapi Fresian-Holstein (FH) pada Peternakan di Lembang dan BPTU Baturraden. Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH dan CECE SUMANTRI.
Mutasi titik pada nukleotida ke-383 dari subunit-CD18 menyebabkan suatu kelainan yang dikenal dengan sebutan Bovine Leukocyte Adhesion Deficiency (BLAD). Kelainan tersebut berupa defisiensi -integrin pada sel darah putih. -integrin berperan dalam penempelan sel
β
2 β
2
darah putih pada dinding vaskular sehingga sel darah putih dapat menembus ke dalam jaringan yang terserang patogen. Kelainan ini bersifat resesif. Ternak yang bergenotipe homozigot dominan dan heterozigot bersifat normal, sedangkan ternak yang bergenotipe homozigot resesif mengalami kematian sebelum dewasa. Penelitian ini bertujuan mendeteksi dan sekaligus menghitung frekuensi alel “subunit-CD18” penyandi BLAD pada sapi Fresian Holstein dengan menggunakan metode PCR-RFLP. Tiga sampel (2,2%) dari 136 sampel yang berhasil diamplifikasi dideteksi sebagai carier BLAD. Frekuensi alel dominan (D) sebesar 0,98897 dan frekuensi alel resesif (d) sebesar 0,01103. Deteksi BLAD sejak dini yang didukung manajemen perkawinan yang benar dapat mengurangi resiko memiliki ternak yang terkena BLAD. Dengan demikian, kerugian akibat BLAD dapat dihindari.
ABSTRACT
WILDAN NAJMAL MUTTAQIN. Allele Frequency of CD18-subunit on Holstein-Fresian (HF) Cattle in Lembang and BPTU Baturraden. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and CECE SUMANTRI.
Point mutation at nucleotide 383 of CD18-subunit cause disorder which called Bovine Leukocyte Adhesion Deficiency (BLAD). The disorder is deficiency of -integrin molecule on
β
2
leukocyte. Integrins are adhesion molecules on the leukocytes surface membran to adhere at vaskuler and enter the infected tissues. It is a resesif disorder. Heterozygous calves are no different of homozygous normal calves but carriers for BLAD, whereas homozygous recessive are lethal calves. The objective of this study is to detect and to estimate frequency of allele expresing BLAD in Holstein-Fresian cattle using PCR-RFLP methode. Three samples (2,2%) of 136 samples that succesfull amplificated were detected as BLAD carriers. Frequency of D allele is 0,98897 and 0,01103 for d allele. Earlier detection which is supported good mounting management can reduce BLAD calves risk. So, loss caused BLAD can be reduced.
3
FREKUENSI ALEL SUBUNIT-CD18 SAPI FRESIAN-HOLSTEIN (FH)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
WILDAN NAJMAL MUTTAQIN
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
4
Judul : Frekuensi Alel Subunit-CD18 Sapi Fresian-Holstein (FH) pada Peternakan di Lembang dan BPTU Baturraden
Nama : Wildan Najmal Muttaqin NRP : G34103079
Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
NIP. 131 878 947 NIP. 131 624 187 Mengetahui,
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP. 131 473 999 Tanggal Lulus :
5
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan sulung dari tiga bersaudara yang lahir tanggal 16 Juni 1984 di Tulungagung dari pasangan Kamdi, BA. dan Umi Mahmudah, S.Ag. Penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bondowoso pada tahun 2002 dan diterima di
Departemen Biologi, FMIPA-IPB pada tahun 2003 melalui jalur SPMB. Selama kuliah, penulis aktif dalam kepengurusan wadah pecinta alam mahasiswa biologi (OWA, 2004-2007), ketua divisi Embedding himpunan kewirausahaan biologi/BIOWORLD (2004-2006), menjadi asisten praktikum mata kuliah Kewirausahaan (2005-2006), dan menjadi asisten praktikum mata kuliah Struktur Hewan (2007). Penulis pernah melakukan praktek lapang mengenai penanggulangan hama rayap pada bangunan di PT APCO (Terminix Indonesia). Pengalaman diluar kuliah adalah sebagai pelatih pada beberapa pelatihan kewirausahaan.
6 PRAKATA
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat dan salam tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat dan keluarganya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si. dan Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. atas segala bimbingan, saran dan ilmu yang diberikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Muhammad Jusuf selaku penguji atas saran-saran yang diberikan.
Selain itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Bambang Suryobroto beserta seluruh dosen dan staf Laboratorium Zoologi IPB atas saran dan perhatiannya. Tak lupa teman- temanku atas segala bantuannya dan dukungannya : JG’x (Mamox’s, Botel’s, Wase), seluruh teman-teman mahasiswa Biologi ’40, teman-teman Fapet (Astri, Ogi, Rohmat), teman- teman Bengkulu (Siprie, Aan, Puji), Pak Eko, Mbak Retno, dan Mbak Zul; dan Saudara-saudaraku di Vila Merah (Kuncung, Boxer, Agus, Kanthi, Beni, WT, Rusdi, Hijrah, Andros, Adit, Singa, Paman dan Iwan MP) atas kebersamaannya selama ini.
Khusus kepada Ayah-Ibu tercinta, dik Addin, dik Fajrin, dan keluarga di rumah penulis ucapkan terima kasih atas doa dan dukungannya. Penulis berharap semoga ilmu yang tertuang dalam karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.
Bogor, Agustus 2007 Wildan Najmal Muttaqin
7
DAFTAR PUSTAKA
Halaman DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN Latar Belakang
1 Tujuan
1 Waktu dan Tempat
1 METODE Bahan
1 Metode
1 HASIL
2 PEMBAHASAN 3 KESIMPULAN DAN SARAN
5 DAFTAR PUSTAKA
5 LAMPIRAN
7
8 DAFTAR TABEL
Halaman
1 Persentase sampel DNA normal dan carrier BLAD
4
2 Peluang keturunan yang memiliki gen resesif BLAD
4
3 Persentase ternak carrier BLAD hasil uji PCR di beberapa negara
4 DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Urutan basa nukleotida subunit-CD18
3
2 Tampilan pita sekuen DNA hasil restriksi enzim HaeIII pada gel polyakrilamid
3 DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Sekuens gen Bos taurus integrin
β-2 (itgb2) 8
- heterodimeric integrin pada permukaan sel darah putihnya (
- heterodimeric integrin adalah suatu molekul pelekat pada sel darah putih (Lee et al. 2000; Paape et al. 2003; Rupp & Boichard 2003; Čítek & Bláhová 2004) yang mempermudah sel darah putih melekat pada endothelium pembuluh darah sehingga dapat masuk ke jaringan untuk menghancurkan patogen (Ribeiro et al. 2000). Tanpa β
- heterodimeric integrin, sel darah putih tidak mampu masuk ke jaringan tubuh dan menghancurkan patogen (Shuster et al. 1992).
diketahui pertama kali di Amerika Utara yang kemudian menyebar ke negara-negara lainnya. Diterangkan oleh Olson (2002) dalam
Metode
berupa koleksi dalam etanol 70% dan koleksi beku. Koleksi dalam etanol 70% sebanyak 80 sampel FH betina asal BPTU Baturraden (koleksi tahun 2002) dan 34 sampel FH betina asal peternakan rakyat di Lembang (koleksi tahun 2007). Koleksi beku sebanyak 30 sampel sel darah FH jantan dari Balai Inseminasi Buatan Lembang (koleksi tahun 2006).
coat) Fresian-Holstein. Koleksi tersebut
Sampel yang digunakan merupakan koleksi Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. (FAPET, IPB) yang berupa sel darah (buffy
BAHAN DAN METODE Bahan
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret 2007 hingga Juni 2007 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini bertujuan mendeteksi dan sekaligus menghitung frekuensi alel subunit- CD18 yang menyebabkan BLAD pada sapi Fresian-Holstein di peternakan di Lembang dan BPTU Baturraden menggunakan metode PCR-RFLP.
Tujuan
Frekuensi ternak sapi FH yang bersifat sebagai carrier BLAD di beberapa negara cukup tinggi. Di Indonesia belum ada laporan mengenai BLAD pada sapi FH. Padahal, merupakan hasil impor dari luar yang sangat terbuka sekali peluang adanya gen mutan penyebab BLAD.
Čítek and Bláhová (2004) bahwa pejantan yang diketahui berperan sebagai sumber gen mutan penyebab BLAD adalah pejantan unggul yang bernama Carlin-M Ivanhoe Bell berasal dari Amerika Utara. Bell mendapatkan warisan gen mutan dari kakeknya (Osborndale Ivanhoe, lahir 1952) yang mewariskannya ke induk jantan dari Bell (Pennstate Ivanhoe Star, lahir tahun 1963).
al. (2007) menyebutkan bahwa BLAD
PENDAHULUAN Latar Belakang
Persebaran BLAD pada sapi FH di dunia berkaitan erat dengan program inseminasi buatan (IB) yang mentransfer sumber nutfah dari pejantan unggul ke induk- induk betina di peternakan sapi FH. Patel et
2
2
Čítek and Bláhová 2004). Molekul β
2
β
Čítek & Bláhová 2004). Mutasi pada nukleotida ke- 383 menyebabkan sapi penderita BLAD mengalami defisiensi
Kemampuan sel-sel darah putih menempel ke dinding vaskular salah satunya diatur oleh gen itgb2 subunit-CD18. Mutasi titik pada CD18 (nukleotida ke-383) menyebabkan substitusi asam aspartat menjadi glisin pada asam amino ke-128 (D128G). Mutasi lain juga terjadi pada nukleotida ke-775 yang bersifat silent atau tidak ada perubahan pada asam amino (
et al. 1997; Ribeiro et al. 2000) dan mati pada usia muda (Perkins et al. 2001).
2003). Sapi yang memiliki genotipe homozigot resesif akan mengalami BLAD sedangkan sapi yang memiliki genotipe heterozigot akan menjadi carier. Kelainan ini menyebabkan defisiensi yang dapat menghambat kemampuan sel darah putih menempel ke dinding vaskular. Selain itu, sapi yang menderita BLAD mengalami kerusakan pada aktivitas kemotaksis dan pagositis sel-sel darah putihnya (Paape et al. 2003), rentan terinfeksi bakteri, luka lama sembuh, pertumbuhan terhambat (Nagahata
1996) merupakan kelainan genetik pada sapi Frasian-Holstein. Kelainan diakibatkan oleh gen resesif autosomal pada sapi (Paape et al.
Bovine Leukocyte Adhesion Deficiency (BLAD) yang dulu disebut sebagai Bovine Granulocytopathy Syndrome (Nagahata et al.
Ekstraksi dan isolasi DNA dilakukan berdasarkan metode Sambrook et al. (1989) yang telah dimodifikasi. Sebanyak ± 30 mg sampel darah dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml kemudian disentrifuse 3500 rpm selama 5 menit. Endapan sel yang diperoleh dicuci dengan bufer TE (Tris 10mM, EDTA 10mM, pH 8,00), kemudian diendapkan lagi.
2
i
ul produk PCR dicampur dengan 0,4 ul bufer enzim HaeIII, 0,2 ul enzim HaeIII, dan 0,4 ul air steril. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37
o C selama semalam. i ii ij
2n x
i
= frekuensi alel A
i
n = jumlah individu bergenotipe A
ii i
A
n = jumlah individu bergenotipe A
↓CC) (Čítek & Bláhová 2004, Shuster et
ij i
A
j
n = jumlah total individu
HASIL
Ekstraksi dan isolasi DNA dilakukan tehadap 144 sampel darah sapi FH untuk kemudian dilakukan amplifikasi dengan metode PCR sehinga diperoleh produk PCR sepanjang 106 pb. Dari 144 sampel tersebut, 136 sampel telah berhasil diamplifikasi (61 sampel asal Lembang dan 75 sampel asal BPTU Baturraden). Delapan sampel lainnya tidak berhasil diamplifikasi (3 sampel asal Lembang dan 5 sampel asal BPTU Baturraden).
Selanjutnya, 136 produk PCR tersebut direstriksi dengan enzim HaeIII untuk mendeteksi adanya mutasi pada subunit- CD18. Jika produk PCR yang dipotong dengan enzim HaeIII menghasilkan potongan pita DNA sebesar 21 pb dan 85 pb berarti tidak mengalami mutasi (sapi normal, homozigot DD). Jika produk PCR yang dipotong dengan enzim HaeIII menghasilkan potongan pita DNA sebesar 19 pb, 21 pb, dan 66 pb berarti terjadi mutasi basa a digantikan
g (sapi BLAD, homozigot resesif dd).
Sedangkan jika produk PCR yang dipotong dengan enzim HaeIII menghasilkan potongan pita DNA sebesar 19 pb, 21 pb, 66 pb dan 85 pb berarti sapi carrier/heterozigot Dd (Gambar 1 dan 2).
al. 1992, Zsolnai & Fesus 1996). Sebanyak 3
Deteksi mutasi gen CD18 alel D128G dilakukan melalui teknik RFLP menggunakan enzim restriksi HaeIII (GG
Visualisasi produk PCR dan hasil restriksi dilakukan menggunakan metode
2,5 mM, dan Taq
polyacrilamide gel electroforesis (PAGE) 8%
yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak menurut Farajallah et al. (1998). Elektroforesis dijalankan pada tegangan 180 Volt selama 30 menit dalam bufer 1x TBE (Tris 0,5 M, asam borat 0,65 M, EDTA 0,02 M). Endapan sel disuspensikan dalam bufer 1x STE, kemudian dilisis dengan SDS 1% dan proteinase-K 0,25 mg/ml. Proses pelisisan dilakukan dalam inkubator bersuhu 55
o
C selama 2 jam sambil dikocok pelan menggunakan rotator. Tahap selanjutnya adalah memisahan DNA dari bahan organik lainnya dengan menambahkan 40 ul larutan NaCl 5M, 400ul larutan phenol, dan 400ul CIAA (kloroform : isoamilalkohol = 24 : 1) dan dikocok pelan pada suhu ruang selama 2 jam. Selanjutnya, campuran tersebut disentrifuse 7000 rpm selama 5 menit. dipindahkan ke tabung baru dalam volume terukur untuk dilakukan pemurnian DNA dengan metode pengendapan alkohol yaitu menambahkan 2x volume alkohol absolut dan 1/10x volume 5M NaCl lalu dinkubasi dalam freezer minimal 2 jam. Molekul DNA dipisahkan dari alkohol absolut dengan cara disentrifuse 7000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan endapan DNA dicuci dengan alkohol 70%. Endapan DNA yang telah murni kemudian disuspensikan dalam 80ul bufer TE (Tris 10mM, EDTA 10mM, pH 8,00).
Analisis frekuensi alel dilakukan berdasarkan pada perhitungan menurut Nei (1987), yaitu :
Amplifikasi gen CD18 dilakukan secara
in vitro melalui teknik PCR menggunakan
primer yang digunakan oleh Zsolnai & Fesus (1996) yaitu forward primer 5´-TCA ACG TGA CCT TCC GGA GG-3´ dan reverse primer 5´-CCC AGA TTC TTG ACG TTG AC-3´. Campuran untuk mengamplifikasi gen CD18 terdiri dari 10-100 ng DNA sapi FH, masing-masing primer sebanyak 25 uM, dNTP mix 160 pM, MgCl
2
polymerase plus 0,75 unit beserta bufernya
o C selama 10 menit.
(Genrey technology). Reaksi PCR berlangsung dalam mesin thermocycler TaKaRa PCR Thermal Cycler MP4 dengan kondisi yaitu pradenaturasi pada suhu 94
o
C selama 5 menit yang dilanjutkan dengan 30 siklus (denaturasi 94
o
C selama 1 menit, annealing pada suhu 56
o
C selama 1 menit, dan ekstensi DNA pada suhu 72
o
C selama 1 menit), dan diakhiri dengan ekstensi akhir DNA pada suhu 72
Hasil genotiping terhadap seluruh hasil restriksi menemukan bahwa 3 sampel diketahui bersifat carrier BLAD (genotipe heterozigot Dd) karena memiliki pita hasil restriksi dengan panjang 19, 21, 66, dan 85 pb. Ketiga ekor sapi tersebut berjenis kelamin betina yang berasal dari BPTU Baturraden
3 NM_175781
Bos taurus integr...[gi:41386720] 421 tacctgagac caggtcaggc agttgcgttc aacgtgacct tccggagggc caagggctac 481 cccatcg A/Gcc tgtactacct gatggacctc tcctactcca tggtggatga cctcgtcaac 541 gtcaagaagc tggggggtga cctgctccgg gccctcaatg gcatcaccga gtcgggccgc
Gambar 1 Urutan basa nukleotida subunit-CD18. Deret nukleotida yang diberi garis bawah merupakan situs penempelan primer. Basa 488 merupakan titik mutasi, basa adenin (A) bila normal dan guanin (G) bila telah termutasi. Tanda menunjukkan titik potong enzim HaeIII genotipe normal. Enzim HaeIII akan memotong pula antara basa 488 - 489 bila terjadi mutasi. adalah nomor akses sekuen DNA yang
disimpan dalam GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov).
DD DD Dd Dd DD DD M 465 416 300 324 - 43 44
200 100
85pb 66pb 21pb & 19pb
Gambar 2 Tampilan pita sekuen DNA hasil restriksi enzim HaeIII pada gel polyakrilamid. Sampel no. 300 dan 324 memiliki potongan pita 19, 21, 66, dan 85 pb yang menandakan genotipe heterozigot carrier. Sampel lainnya memiliki potongan pita 21 dan 85 pb (normal). Pita DNA 19 dan 21 pb tampak bertumpuk karena memiliki jumlah pasang basa yang hampir sama. dalam ekstrak DNA juga dapat mengganggu
PEMBAHASAN aktifitas enzim polimerase.
BLAD merupakan suatu kelainan Uji DNA dengan metode PCR-RFLP genetik yang dapat dideteksi dengan metode terhadap sampel sapi FH asal Lembang dan
PCR-RFLP. Metode tersebut dapat dilakukan BPTU Baturraden menunjukkan BLAD telah setelah Shuster et al. (1992) berhasil lama ada di peternakan sapi perah Indonesia. melakukannya pertama kali pada sampel sapi
Sekitar 2,2% sampel positif terdeteksi FH di Amerika Serikat. sebagai carrier BLAD (Tabel 1). Sampel
Pada penelitian ini, ekstraksi dan isolasi tersebut merupakan induk betina yang berusia DNA dilakukan secara konvensional terhadap 9 dan 12 tahun (usia dihitung sejak lahir 144 sampel darah koleksi tahun 2002, 2006, hingga waktu pengambilan sampel tahun dan 2007. Persentase sampel yang tidak
2002). Usia tersebut memungkinkan induk teramplifikasi sebesar 5,5%. Prasetyo (2005) betina memiliki beberapa keturunan yang menyebutkan tingkat keberhasilan membawa gen resesif BLAD. Peluang amplifikasi DNA ditentukan oleh konsentrasi memiliki keturunan yang membawa gen sampel DNA, taq polymerase, dinukleotida, resesif BLAD adalah ½ dan ¾ untuk ion Mg, dan primer. Keberadaan hemoglobin perkawinan dengan pejantan normal (Tabel 2a) dan carrier (Tabel 2b).
4 Tabel 1 Persentase sampel DNA normal dan carrier BLAD Tabel 2 Peluang keturunan yang memiliki gen resesif BLAD Tabel 3 Persentase ternak carrier BLAD hasil uji PCR di beberapa negara
33
Hiroshima
59
72
27
55
47
39
43
Hyogo-Tanba
34
24 8 (13,6) 9 (12,5) 2 (7,4) 5 (9,1) 10,14% 5 (10,6) 1 (2,6) 5 (15,2) 2 (4,7) 10,8% 8 (23,5) 2 (8,3) Nagahata et al.
1996 Romania Romanian Black
Spotted Cattle 90 0 (0,0) Vitasescu-Balcan R
et al. 2006 Turki 120 2 (1,67) Akyuz & Ertugrul.
2006
Rata-rata
Chugoku
Kansai
Negara Daerah Jumlah ternak diuji Jumlah carrier (%) Pustaka
2006) 4 (6,6) 406 jantan (th
Arrayet et al. 2002 Amerika Serikat
California 203 jantan 21 (9,9) Iowa Pennsylvania Seluruh Amerika 204 betina 33 (16,2) 13%
124 756 2025 jantan
1559 betina 14 (11,3) 68 (9,0) 285 (14,1) 90 (5,8) 9,95%
Kelm et al. 1997 Wanner et al. 1998 Shuster at al. 1992
Republik Ceko 377 jantan (< th
2006) 65 (17,2) 11,9% 61 betina (< th
2006) 0 (0,0) Citek et al. 2006
Tochigi
India 377 (3,45) Patel
et al. 2007
Iran Khorazan
30 1 (3,33) Norouzy
A. 2005 Jepang Hokkaido
Wakkanai Enbetsu Monbetsu-M Monbetsu-N Abashiri Chitose Tomakomai
Kanto
5,43%
5
Persentase sapi carrier tersebut tergolong rendah bila dibandingkan dengan kejadian carrier BLAD di negara lain. Kejadian carrier BLAD pada sapi FH di beberapa negara banyak dilaporkan dengan persentase yang berbeda-beda (Tabel 3). Persentase tertinggi adalah Jepang tahun terendah adalah Republik Ceko dan Romania tahun 2006 masing-masing 0%. Rata-rata persentase carrier BLAD pada tabel 3 adalah 5,43%. Dengan memperhitungkan hasil penelitian ini, persentase carrier BLAD menjadi sebesar 5,02%.
Penerapan inseminasi buatan dalam manajemen perkawinan di peternakan- peternakan dapat mempercepat perolehan ternak unggul yang diinginkan. Namun, efek samping yang timbul adalah makin cepatnya perkembangan penyakit/kelainan akibat ekspresi alel resesif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Secara fisik tidak ada perbedaan yang mencolok untuk membedakan sapi FH normal dan carrier. Sifat carrier BLAD tidak memiliki pengaruh terhadap produksi susu (Powell 1996). Secara morfometrik, lebar kepala dan panjang metacarpal sapi FH carrier sedikit lebih kecil dibanding sapi FH normal tetapi tidak signifikan (Arrayet et al. 2002). Respon terhadap infeksi oleh bakteri
coli, Staphylococci, Streptococci, dan
kombinasi bakteri lainnya tidak menunjukkan perbedaan. Demikian pula interval kelahiran dan masa menyusui (Nagahata 2004).
Kasus BLAD dapat menimbulkan kerugian yang besar terhadap industri sapi perah. Kerugian timbul apabila terjadi perkawinan antar individu carrier yang berpeluang 25% anak sapi mengalami mati dini. Industri sapi perah Amerika mengalami kerugian sekitar US$5 juta per tahunnya (Shuster et al. 1992). Healy (1996) memperkirakan 4000 dari 31000 pejantan IB Australia sebagai carrier BLAD dengan potensi kerugian sebesar 300 000 AUD$.
Sapi yang bergenotipe dd (BLAD) tidak ditemukan karena sapi yang diambil sampel darahnya adalah sapi dewasa. Perhitungan berdasarkan Nei (1987) diperoleh frekuensi alel dominan (D) sebesar 0,98897 dan frekuensi alel resesif (d) sebesar 0,01103.
Rahmani (2003) menjelaskan salah satu upaya untuk meningkatkan populasi dan melalui program pemuliaan yang dapat ditempuh melalui perbaikan mutu genetik ternak dengan menerapkan suatu pola perkawinan yang direncanakan dan diikuti tindakan seleksi untuk memilih pejantan dan betina unggul sebagai sumber utama materi genetik generasi berikutnya. Metode PCR- RFLP merupakan aplikasi yang praktis dalam perbaikan mutu genetik ternak.
Persentase sapi FH carrier BLAD yang ditemukan pada penelitian ini relatif rendah. Namun, hal tersebut akan menjadi luar biasa dan sangat merugikan industri sapi perah apabila tidak ditangani secara serius dan berkelanjutan. Peternak sapi akan mengalami kerugian waktu dan biaya perawatan sebab sapi mengalami mati dini.
Inseminasi buatan memungkinkan perkembangan BLAD lebih cepat dibandingkan perkawinan secara alami sebab sperma pejantan yang diambil dalam sekali ejakulasi digunakan untuk membuahi banyak betina. Kontrol genetik dengan metode molekuler seperti uji PCR-RFLP dapat mencegah perkembangan BLAD lebih luas. Sertifikasi bebas BLAD di pusat IB melalui metode analisis PCR-RFLP wajib dilakukan untuk menurunkan frekuensi alel resesif pada sapi perah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
54. 2:173-178.
Arrayet JL et al. 2002. Growth of holstein calves from birth to 90 days : the influence of dietary zinc and BLAD status. J Anim Sci. 80:545-552.
Akyüz B and O Ertugrul. 2006. Detection of bovine leukocyte adhesion deficiency (BLAD) in Turkish native and holstein cattle. Acta Veterinaria Hungarica. vol
Kesehatan genetik sapi FH menjadi faktor penting dalam program inseminasi buatan. Deteksi dini secara genetik terhadap calon induk baik jantan maupun betina sebelum dikawinkan sangat diperlukan untuk mencegah perkembangan alel resesif BLAD. Sperma pejantan yang dibeli dari luar negeri juga harus diperiksa dan wajib memiliki sertifikat bebas BLAD dan penyakit kelainan genetik lainnya. Dengan demikian, manajemen perkawinan sebagai seleksi oleh manusia terhadap sapi FH dapat dilakukan secara benar dengan memperhatikan peluang pewarisan sifat. Manajemen perkawinan dilakukan dengan tidak mengawinkan induk unggul yang diketahui sebagai carrier BLAD dengan induk lain terutama yang bersifat carrier pula.
Genetics. New York : Columbia University Press.
Kasein) pada Sapi Fresian Holstein (FH) di Peternakan Rakyat. [skripsi]. Bogor : Rahmani N. 2003. Analisis hubungan polimorfisme gen bovine Growth
Norouzy A et aI. 2005. Identification of bovine leucocyte adhesion deficiency (BLAD) carriers in Holstein and Brown Swiss AI bulls in Iran. Genetika. 41(12): 1697-701. Paape MJ et al. 2003. The bovine neutrophil: Structure and function in blood and milk.
Vet Res. 34 (2003) 597–627.
Patel KR et al. 2007. Low incidence of bovine leukocyte adhesion deficiency (BLAD) carriers in Indian cattle and buffalo breeds. J Appl Genet. 48(2). pp153-155. Perkins KH, MJ VandeHaar, RJ Tempelman,
JL Burton. 2001. Negative energy balance does not decrease expression of leukocyte adhesion or antigen-presenting molecules in cattle. J Dairy Sci. 84:421– 428.
Powell RL, HD Norman, CM Cowan. 1996.
Relationship of bovine leukocyte adhesion deficiency with genetic merit for performance traits. J Dairy Sci. 79:895-899. Prasetyo A. 2005. Metode Ekstraksi DNA dan Identifikasi Gen Kappa Kasein (k-
Hormone (bGH) exon III-exon IV dan gen Ornithine Decarboxylase (ODC) intron 8-exon IX dengan produksi dan kualitas susu pada sapi perah Fresian- Holstein di BPTU Baturraden. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Ribeiro LA et al. 2000. PCR screening and allel frequency estimation of bovine leukocyte adhesion deficiency in Holstein and Gir cattle in Brazil. Genet and Molec Biol. 23(4): 831-834. Rupp R & D Boichard. 2003. Genetics of resistance to mastitis in dairy cattle. Vet
- integrin adhesion molecule expression and pulmonary infection with Pasteurella
Nei M. 1987. Molecular Evolutionary
Res. 34 (2003) 671–688.
Sambrook J, Fritsch EF, Miniatis T. 1989.
Molecular Clooning: A Laboratory Manual. Ed ke-8. New York: Cold
Spring Harbor Laboratory Press. Shuster DE et al. 1992. Identification and prevalence of a genetic defect that causes leukocyte adhesion deficiency in Holstein cattle. Proc Nati Acad Sci USA. vol 89: 9225-9229. Vitasescu-Balcan R et al. 2006. Incidence of
BLAD and DUMPS carriers in Romanian cattle breeds. Roumanian Biotechnological Letters. vol 11 no 5. pp2881-2884. Wanner JM, GW Rogers, ME Kehrli & JB
Cooper. 1998. Intramammary infections in primiparous Holsteins: heritabilities and comparisons of bovine leukocyte adhesion deficiency carriers and noncarriers. J Dairy Sci. 81:3293-3299. Zsolnai A & Fesus L. 1996. Simultaneus analysis of bovine kappa-casein and
J Vet Med Sci. 66(12):1475-1482.
6
1998. Nucleotide Sequence of Whole Mitochondrial DNA of a Soft-shelled Turtle, Dogania, and PCR RFLP Analyses of Cytochrome b Gene.
Čítek J & Barbora Bláhová. 2004. Recessive disorders – a serious health hazard?. J
Appli Biomedic. 2: 187-194.
Citek J, V Rehout, J Hajkova, J Pahkova.
2006. Monitoring of the genetic health of cattle in the Czech Republik. Veterinarni
Medicina. 51 (6) : 333-339.
Farajallah A, B Suryobroto, O Takenaka.
Proceeding of The Tokyo International Use of Tropical Bioresource. New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) and Japan Bioindustry Association (JBA). Healy PJ. 1996. Testing for undesirable traits in cattle : an Australian perspective. J
59(4): 233-238. Nagahata H. 2004. Bovine leukocyte adhesion deficiency (BLAD) : a review.
Anim Sci. 74:917-922.
Kelm SC et al. 1997. Genetic association between parameters of innate immunity and measures of mastitis in periparturient holstein cattle. J Dairy Sci. 80 : 1767- 1775. Lee HY et al. 2000. Influence of
β
2
haemolytica on cytokine gene expression in cattle. Americ Societ for Microbiol.
68(7): 4274-4281. Nagahata et al. 1996. Prevalence and allel frequency estimation of bovine leukocyte adhesion deficiency (BLAD) in Holstein- Fresian cattle in Japan. J Vet Med Sci.
BLAD alleles by multiplex PCR followed by paralel digestion with two restriction enzim. Anim Genet. 27(3) : 207-209.