Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas Hak Kepemilikan Yang Berakibat Sengketa: Studi Kasus Putusan MA NO. 2511K/PDT/1995 Tanggal 09 September 1997

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah tanah dan rumah merupakan masalah yang senantiasa menarik

  perhatian dikarenakan tanah merupakan sumber kehidupan selain air sedangkan

  1

  rumah merupakan sumber kebutuhan dasar manusia. Dalam kehidupan ini tidak ada manusia yang tidak membutuhkan tanah, apalagi negara–negara yang masih agraris.

  Selain itu juga tidak ada manusia yang tidak membutuhkan rumah. Oleh karena itu, masalah pertanahan masih merupakan masalah yang utama yang masih dihadapi oleh negara yang penghidupan ekonominya masih ditunjang dari sektor pertanian.

  Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social

  asset

  tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting

  2 sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.

  Konsiderasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan kewajiban Negara mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “.....mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan 1 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti di Indonesia , (Bandung: Mandar Maju, 2013), hal. 33.

  Termasuk Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing 2 Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia, 2007), hal. 1.

  

1 memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perorangan

  3 maupun gotong royong”.

  Undang-Undang Pokok Agraria telah menjamin adanya hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah dan dengan kegiatan pendaftaran tanah Pemerintah telah memberikan jaminan kepastian hukum atas pemilikan tanah dan rumah warga negara, termasuk pemberian berbagai fasilitas kemudahan dalam pengurusan hak atas tanahnya, telah juga memberikan landasan bagi setiap kegiatan pembangunan di bidang perumahan dan pemukiman yang berkepastian hukum. Dalam hal pengelolaan dan pengendaliannya juga mendapat campur tangan dari Pemerintah sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

  Dalam rangka peningkatan harkat dan martabat kehidupan warga negara dan keluarganya, maka dalam pemilikan rumah juga harus didukung oleh sarana dan prasarana yang mendukung ketertiban keamanan dan kenyamanan, tidak hanya keamanan fisik tetapi dikaitkan dengan keamanan dalam penguasaan dan penggunaan tanah dan rumah berupa pemberian jaminan kepastian hukum dalam pemilikan dan pemanfaatan rumah tersebut. Semua itu tidak lepas dari tugas dan peran negara dalam rangka mensejahterakan rakyat.

  Pengakuan hak atas sesuatu hal oleh seseorang atau masyarakat haruslah didasarkan pada bukti kepemilikan yang sah dan kuat, salah satunya adalah hak atas 3 S. Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah, (Medan: Cet. 1, Pustaka Bangsa Press, 2006), hal. 10. tanah dan rumah. Tanpa bukti hak tertulis, maka seseorang atau masyarakat tidak dapat serta-merta membuat pernyataan atas hak kepemilikan tersebut. Sebuah bukti hak tertulis merupakan hal yang sangat diprioritaskan kedudukannya didalam lingkup hukum perdata. Karena hak atas tanah dan rumah, termasuk didalam ranah lingkup hukum perdata, maka bukti hak atas tanah dan rumah adalah sesuatu yang mutlak ada. Dengan telah diberlakukannya Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor

  5 Tahun 1960, masyarakat dapat mengenal beberapa jenis kepemilikan hak atas tanah, diantaranya adalah hak menguasai dari negara, hak ulayat dari masyarakat adat/komunitas adat dan hak-hak perseorangan (orang dan badan hukum).

  Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yaitu Pendaftaran Tanah dengan sistem Rechts-Cadaster,

  4 bukan Fiscale-Cadaster jadi tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hukum.

  Menurut Budi Harsono, menyebutkan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah

  5

  menghendaki adanya: 1. Peraturan hukum pertanahan yang tertulis yang dilaksanakan dengan baik.

  2. Diselenggarakannya pendaftaran tanah yang efektif dan efisien.

  6 Pemerintah melakukan kegiatan pendaftaran tanah dengan sistem yang sudah

  melembaga sebagaimana yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran selama ini, 4 5 Affan Mukti, Pokok-Pokok Bahasan Hukum Agraria, (Medan; USUpress, 2006), hal. 51. 6 Budi Harsono, Land Registration in Indonesia Paper Law Asia, (Jakarta: Conference), hal. 1.

  Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan pendaftaran tanah merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya mulai dari permohonan seorang atau badan, diproses sampai dikeluarkan bukti

  7

  haknya (sertipikat) dan dipelihara data pendaftarannya dalam buku tanah. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis, sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, artinya bahwa hukum hanya memberikan jaminan atas bukti hak kepemilikan tersebut kepada seseorang, dan bukti ini tidak

  8 satu-satunya sebagai bukti, hanya sebagai alat bukti yang kuat saja.

  Moch. Isnaini mengemukakan bahwa “sertipikat hak atas tanah bukan merupakan satu-satunya alat bukti yang bersifat mutlak, justru sebaliknya baru merupakan alat bukti awal yang setiap saat dapat digugurkan pihak lain yang terbukti

  9 memang lebih berwenang”.

  Salah satu bukti kepemilikan lain adalah Girik yang sebenarnya merupakan tanda bukti pembayaran pajak tanah sebelum berlakunya UUPA jo Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Girik tersebut dapat disertakan dalam proses administrasi Pendaftaran Tanah. Girik bukan merupakan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah, namun semata-mata hanyalah merupakan bukti pembayaran pajak-pajak atas tanah, dengan demikian, apabila di atas bidang tanah yang sama, terdapat klaim dari pemegang girik dengan klaim dari pemegang surat tanda bukti hak atas tanah (sertipikat), maka pemegang sertipikat atas tanah menurut hukum akan memiliki klaim hak kebendaan yang lebih kuat. Namun 7 Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2010), hal. 104. 8 , hal. 112 9 Ibid

  Moch. Isnaini, Benda Terdaftar Dalam Konstelasi Hukum Indonesia, Jurnal Hukum, Nomor 13 Volume 7 Tanggal 7 April 2000, hal. 56. demikian, persoalan tidak sesederhana itu. Dalam hal proses kepemilikan surat tanda bukti hak atas tanah melalui hal-hal yang bertentangan dengan hukum, maka akan

  10 berpotensi untuk timbulnya permasalahan/konflik pertanahan.

  Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang disempurnakan dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa “rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya”.

  Dalam konteks yuridis, dimana penyediaan perumahan oleh negara dan pemilikannya oleh negara tidaklah cukup memadai, karena masih harus diberikan jaminan kepastian hukum atas pemilikan rumah tersebut. Khususnya dalam menjamin kepastian hukum dalam pemilikan rumah tersebut, maka pembangunan perumahan atau rumah tersebut harus dilakukan di atas tanah yang dimilikinya dan dikukuhkan dengan hak-hak atas tanah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang

  11 berlaku.

  Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman mengatur bahwa pembangunan untuk rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun, dapat dilakukan diatas tanah:

  1. Hak milik; 10 11 Bintatar Sinaga, Keberadaan Girik Sebagai Surat Tanah, Kompas, 24 September 1992.

  Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 104.

  2. Hak guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas tanah pengelolaan; atau

  3. Hak pakai di atas tanah negara.

  Seiring dengan semakin langkanya tanah karena semakin banyak tanah yang diperlukan untuk berbagai keperluan, seperti dalam pembangunan rumah sehingga dapat menimbulkan permasalahan dimana ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan suatu tanah yang bukan miliknya untuk dibangun suatu rumah seperti permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, dimana tanah tersebut merupakan harta pusaka tinggi seperti ditunjukkan dalam putusan Pengadilan Negeri Pariaman, tanggal 10 Nopember 1994 Nomor: 05/PDT.G/PN.PRM, putusan Pengadilan Tinggi Padang tanggal 5 Juni 1995 Nomor: 55/PDT.G/1995 PT.PDG, dan sengketa tersebut berlanjut sampai proses di Mahkamah Agung dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

  16 September 1997 Nomor: 2511K/PDT.G/1995.

  Sebelum sengketa ini diajukan ke tingkat pengadilan sebenarnya sudah lebih dahulu dilakukan suatu musyawarah bersama antara para pihak yaitu Haji Basyarudin

  cs

  dengan Ibrahim cs, dalam musyawarah kekeluargaan yang dilaksanakan pada tanggal 18 Pebruari 1993 jam 14.00 wib tersebut dimana telah disepakati secara bersama bahwa tanah yang menjadi sengketa tersebut adalah milik Haji Basyarudin yang diperolehnya secara turun-temurun dari Marak. alam musyawarah tersebut juga sudah saling sepakat bahwa pihak Ibrahim cs tidak boleh menggarap atau mendirikan rumah diatas tanah tersebut tanpa sepengetahuan pihak Haji Basyarudin cs.

  Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah tersebut berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan

  12 peraturan yang berlaku. Sehingga sengketa tersebut diajukan ke tingkat pengadilan.

  Latar belakang masalah ini berawal dari gugatan Ibrahim sebagai Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi I, dan Yusman sebagai Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi II, melawan Haji Basyarudin selaku Tergugat/Terbanding/Termohon Kasasi I dan Haji Cik Kena selaku Tergugat/Terbanding/Termohon Kasasi II. Adapun objek perkara dalam gugatan tersebut yaitu sebidang tanah harta pusaka tinggi. Dimana penggugat asli I adalah mamak kepala waris dalam kaumnya dan penggugat asli II adalah anggota kaumnya. Menurut penuturan penggugat asli I harta objek perkara tersebut merupakan sebahagian dari harta pusaka tinggi kaum para penggugat asli yang diwarisi dari ninik penggugat asli bernama Tirajab.

  Adapun asal mula pemberian tanah pusaka tinggi tersebut berdasarkan surat penetapan tanggal 2 Oktober 1896 ninik penggugat asli Tirajab, suaminya Karim suku Mandahiling dan anaknya Kamisah telah menerima pemberian dari si Gadung cs suku Piliang, sebidang tanah ukuran panjang 63 depa besar, lebar 39 depa besar dan diatasnya ada batang rambia, kelapa, dimana tanah tersebut sebahagian dari tanah 12 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Mandar Maju, , 1991), hal . 22 . pemberian kepada Tirajab diatasnya ada 69 batang pohon kelapa diantaranya 30 batang masih menghasilkan, 3 batang disambar petir dan 36 telah mati. Hasil kelapa ± 300 buah sekali panen dan setahun 4 kali panen. Pemberian tanah tersebut sesuai dengan surat penetapan Gadung Cs adalah untuk selama-lamanya turun temurun sampai ke cucu dan waris dari Tirajab, dan para penggugat asli adalah waris dari Tirajab. Dimana yang memberi tanah objek perkara tersebut adalah kaum suku piliang yang terdiri dari 12 orang laki-laki dan perempuan seperti dalam gugatan.

  Anggota kaum para penggugat asli banyak yang merantau, yang tinggal hanya seorang perempuan yang sudah tua yaitu Samah yang diduga menderita lupa ingatan, yang berakibat tidak dapat berfungsi sebagai mamak dalam mengurus kepentingan kaum, keadaan tersebut menimbulkan niat bagi Tamin salah seorang pemberi, ingin menguasai kembali harta tersebut dan secara langsung dan tanpa hak menguasai sebahagian harta objek perkara. Dengan demikian Tamin telah menguasai tanah tersebut dengan cara yang melanggar hukum.

  Tamin dipenjara karena suatu tindak pidana pemerkosaan, dan anggota kaum tidak ada yang mengurusnya kecuali Marak yaitu mamak para tergugat asli. Marak dengan maksud tertentu juga menguasai harta objek perkara yang secara melawan hak telah dikuasai Tamin. Akhirnya setelah Tamin keluar dari penjara tahun 1957 penguasaannya kepada Marak, karena itu perbuatan Marak adalah perbuatan melanggar hukum. Nenek moyang Marak adalah orang pendatang berasal dari kenagarian Pauh Kurai Taji Kecamatan Pariaman Selatan. Anggota kaum para pengguggat asli saat itu tidak dapat berbuat apa-apa, karena mereka tidak bisa baca tulis. Harta tersebut kini dikuasai para tergugat asli selaku waris dari Marak dan karenanya penguasaan itu tanpa hak dan melawan hukum.

  Dimana diatas tanah objek perkara tersebut tumbuh pohon kelapa yang hasil panennya 1200 buah tiap tahun yang telah diambil dan dinikmati para tergugat asli sejak tahun 1957 atau selama 37 tahun. Para penggugat asli telah dirugikan setiap tahun 1200 buah kelapa senilai 1200 x Rp. 200,- = Rp. 240.000,- selama 37 tahun dengan demikian berjumlah 37 x Rp. 240.000,- = Rp. 8. 880. 000,- atau sesuai dengan taksiran pertimbangan hakim.

  Karena telah ditemukannya surat tertanggal 2 Oktober 1896 , kaum para penggugat asli mengusulkan kembalinya harta pusaka tersebut, termasuk objek perkara adalah sebahagian dari harta pusaka para penggugat asli, karenanya wajar sekiranya tanah objek perkara diserahkan kembali kepada para penggugat asli. Para penggugat asli telah berusaha dengan cara baik-baik namun tidak berhasil.

  Menurut keterangan dari para saksi yang dihadirkan dari pihak tergugat/terbanding/termohon kasasi menyatakan bahwa memang benar sebenarnya tanah tersebut adalah milik Haji Basyarudin. Tanah tersebut selama ini dikuasai oleh Haji Basyarudin yang diterimanya secara turun temurun dari ayahnya an. Marak kemudian setelah Marak meninggal, Haji Basyarudin meneruskan kepemilikan tanah tersebut dengan membayar Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah tersebut.

  Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah yang dilakukan oleh Haji Basyarudin selama ini hanya merupakan Girik yaitu bukti pembayaran pajak-pajak atas tanah dan Girik bukan merupakan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah, dengan demikian, apabila di atas bidang tanah yang sama, terdapat klaim dari pemegang girik dengan klaim dari pemegang surat tanda bukti hak atas tanah (sertipikat), maka pemegang sertipikat atas tanah menurut hukum akan memiliki klaim hak kebendaan yang lebih kuat. Hal ini yang sering menimbulkan permasalahan dimana diatas tanah yang berstatus girik dapat dikuasai atau dimiliki oleh orang lain, sehingga seharusnya dilakukan peningkatan dari status kepemilikan tanah tersebut.

  Pada saat itu yang ada di tanah tersebut hanya pohon kelapa, namun setelah lama Haji Basyarudin kembali dari kota Jakarta, dimana Haji Basyarudin tersebut menurut keterangannya memiliki isteri dua, dimana satu berada di Jakarta. Pada bulan Mei 2013 Haji Basyarudin pulang dari Jakarta untuk melakukan pengukuran tanah namun menemui adanya bangunan 3 (tiga) unit rumah yang ditempati oleh ibu Sutrijon dan adik-adik Sutrijon. Sutrijon Cs tersebut merupakan kemenakan dari penggugat objek perkara Ibrahim. Tanah dimana tempat didirikannya rumah tersebut adalah milik dari Haji Basyarudin.

  Dalam Pasal 43 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mengatur bahwa pembangunan untuk rumah tinggal, rumah deret dan/atau rumah susun dapat dilakukan diatas tanah: 1) Hak Milik; 2) Hak Guna Bangunan baik atas tanah negara maupun diatas tanah pengelolaan; dan 3) Hak Pakai di atas tanah Negara.

  Secara jelas undang-undang ini menentukan bahwa jika disebut pemilikan rumah, maka maksudnya adalah pemilikan rumah berikut hak atas tanahnya. Dengan demikian jelas bahwa pemberian status hak atas tanah atas pemilikan rumah secara

  13

  hukum mencakup pemilikan rumah berikut tanahnya. Sedangkan dalam kasus penelitian ini dimana pemilikan rumah tersebut tanpa dasar kepemilikan karena tidak bersama hak atas tanahnya, karena rumah tersebut didirikan di atas tanah yang bukan miliknya. Rumah tersebut didirikan di atas tanah hak milik orang lain, sehingga hal tersebut yang menimbulkan suatu permasalahan untuk diteliti.

  Didalam konsep hukum sebutan “menguasai” atau dikuasai dengan dimiliki ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama dengan pengertian dimiliki. Jika menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau menguasai dalam arti “possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti faktual digarap, dihuni, namun belum tentu bahwa secara yuridis dia adalah pemilik atau yang mempunyai tanah tersebut. Demikian juga bila menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki atau kepunyaan dalam arti “Ownership” dalam pengertian juridis, maka dapat diartikan bahwa tanah tersebut secara yuridis merupakan tanah milik atau kepunyaan, namun bukan berarti juga dia secara fisik menguasai tanah tersebut, karena mungkin adanya hubungan kerjasama atau

  14 kontraktual tertentu.

  Putusan Mahkamah Agung No. 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997 tersebut putusannya telah inkrah dan sudah menentukan secara jelas siapa pemilik 13 14 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 92.

  Boedi Djatmiko, Tanah Negara Dan Wewenang Pemberiannya, www.tripod.com. Online internet tanggal15 Mei 2014. tanah yang sebenarnya, namun saat dilaksanakannya eksekusi terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut, banyak sekali terjadi kendala dari pihak yang dikalahkan dan bahkan tidak dapat dilaksanakannya suatu eksekusi terhadap tanah dan bangunan tersebut.

  Menurut Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa “eksekusi pada hakekatnya adalah realisasi dari pada kewajiban para pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan”.

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, sehingga dilakukan penelitian terhadap hal tersebut dan penulis ingin membatasi kasus ini, dengan judul “Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas Hak Kepemilikan Yang Berakibat Sengketa: Studi Kasus Putusan MA NO. 2511K/PDT/1995 Tanggal 09 September 1997”

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimana tinjauan yuridis kepemilikan dan penguasaan tanah atau rumah (Studi Kasus Putusan MA No. 2511K/PDT/1995 Tanggal 9 September 1997)?

  2. Bagaimana analisis hukum atas Putusan MA No. 2511K/PDT/1995 Tanggal 9 September 1997 antara Ibrahim cs melawan Haji Basyarudin cs?

  3. Bagaimana eksekusi putusan atas kepemilikan tanah tersebut (Studi Kasus Putusan MA No. 2511K/PDT/1995 Tanggal 9 September 1997)?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tinjauan yuridis kepemilikan dan penguasaan tanah atau rumah.

  2. Untuk mengetahui dan menjelaskan analisis hukum atas Putusan MA No.

  2511K/PDT/1995 Tanggal 9 September 1997 antara Ibrahim cs melawan Haji Basyarudin cs.

  3. Untuk mengetahui dan menjelaskan eksekusi putusan atas kepemilikan tanah tersebut.

  D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atas kegunaan baik secara teoritis dan praktis, yaitu:

  1. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai agraria, khususnya mengenai sengketa okupansi liar kepemilikan tanah yang kemudian diatasnya dibangun rumah.

  2. Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan masukan bagi semua pihak mengenai pengembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum agraria.

E. Keaslian Penelitian

  Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas Hak Kepemilikan Yang Berakibat Sengketa: Studi Kasus Putusan MA No.

  2511K/PDT/1995 Tanggal 9 September 1997” belum pernah dilakukan, namun demikian terdapat beberapa judul yang membahas tentang kepemilikan tanah dan rumah, antara lain oleh:

  1. Yoan Imonalisa Shaptieni, Nim: 057011096, mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan judul: “Perbandingan Sistem Kepemilikan Bersama Dalam Mewujutkan Kepastian Hukum Atas Hak Milik Satuan Rumah Susun (Study Kasus Pada Rumah Susun Griya Sukaperdana Medan)”, penelitian tesis atas nama Yoan Imonalisa Shaptieni dengan mengangkat permasalahan:

  1. Bagaimanakah penerapan sistem kepemilikan bersama dalam mewujudkan kepastian hukum atas hak milik satuan rumah susun pada rumah susun Griya Sukaperdana?

  2. Bagaimanakah permasalahan sertifikasi pada rumah susun Griya Sukaperdana Medan berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun?

  3. Bagaimanakah peranan perhimpunan penghuni pada Rumah Susun Griya Sukaperdana Medan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam kepemilikan bersama?

  2. Muchairani, Nim: 087011076, mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan judul: “Analisis Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah Pada Satuan Rumah Susun”. Penelitian tesis atas nama Muchairani dengan mengangkat permasalahan:

  1. Bagaimana status kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun?

  2. Apakah kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA?

  3. Bagaimana prosedur hukum perjanjian jual beli atas satuan rumah susun? Jika dihadapkan pada penelitian yang telah ada, judul yang akan dibahas dalam penelitian ini berbeda baik dari segi permasalahan maupun pembahasan. Oleh karena itu penelitian ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai dengan etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, baik disetujui maupun tidak disetujui yang dijadikan masukan

  15 dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.

  Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena memberikan sarana penulis untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang

  16

  kita bicarakan secara lebih baik. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan

  17

  mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan

  18 ketidakbenarannya.

  Landasan teori dapat memperkuat kebenaran dari permasalahan yang di analisis. Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.

  19 Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:

  a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam fakta;

  b. Teori tersebut sangat berguna di dalam klasifikasi fakta; c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang di uji kebenarannya.

  Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, dengan merumuskan masalah penelitian di dalam kerangka teoritis yang relevan sehingga mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. 15 16 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 17 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 259.

  J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Jilid I, FE UI, 1996), hal. 203. 18 19 Ibid , hal. 16.

  

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal. 121. Teori kepastian hukum merupakan salah satu penganut aliran positivisme yang lebih melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom atau hukum dalam bentuk peraturan tertulis. Artinya karena hukum itu otonom, sehingga semata-mata untuk kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan kewajiban seseorang. Van Kan berpendapat bahwa “tujuan hukum adalah untuk menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak diganggu dan terjamin kepastiannya”.

  20 Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum.

  Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh- sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia.

  21 Adapun tujuan dari hukum menurut L. J Van Apeldoorn adalah “mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian”.

  22 Perdamaian

  diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan- kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa serta harta benda terhadap pihak yang merugikannya.

  

23

Menurut Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa:

  “Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Adapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa 20 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha, 2006), hal. 74. 21 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal. 49. 22 L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitra, 2005), hal. 10. 23 Muhammad Yamin,dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 110. kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta

  24 (undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya)”.

  Seperti halnya permasalahan untuk mencari tujuan kepastian hukum dari diberlakukannya pendaftaran tanah tersebut, dimana masih banyaknya status tanah yang kurang mendapat kepastian hukum di Negara ini. Sehingga antara kegiatan yang seharusnya (das sollen) dengan yang seadanya (das sein) sangat menyolok

  25

  didalamnya, karena sekalipun telah terbit sertifikat pemilikan masih saja muncul orang-orang yang tidak mempunyai bukti secara formal akhirnya menguasai tanah tersebut.

  Menurut pendapat Boedi Harsono menyatakan sungguhpun pendaftaran tanah di negara menurut Pasal 19 ayat (1) bertujuan untuk menjamin kepastian hukum

  26 tetapi bukan maksudnya akan mempergunakan apa yang disebut sistem positif.

  Bahwa Undang-Undang Pokok Agraria tidak memerintahkan dipergunakannya sistem positif dapat disimpulkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf C Undang-Undang Pokok Agraria, dimana bahwa surat tanda bukti hak yang akan dikeluarkan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Ayat ini tidak menyatakan bahwa surat-surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang mutlak.

  Para petugas pendaftaran tanah tidaklah bersikap pasif artinya mereka tidaklah menerima begitu saja apa yang diajukan dan dikatakan oleh pihak-pihak yang meminta pendaftaran tersebut. Pada pembukuan tanah untuk pertama kali maupun 24 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 136. 25 , hal. 110. 26 Ibid Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Bagian I, Jilid II.

  pada pendaftaran atau pencatatan perubahan-perubahannya kemudian, para petugas pelaksana diwajibkan untuk mengadakan penelitian seperlunya untuk mencegah terjadinya kekeliruan. Dalam penentuan batas-batas tanah ditetapkan dengan memakai sistem contradictoire delimitatie, sebelum tanah dan haknya dibukukan diadakan pengumuman, perselisihan-perselisihan diajukan ke pengadilan kalau tidak

  27 dapat diselesaikan sendiri oleh yang berkepentingan.

  Sejauh mungkin diusahakan agar keterangan-keterangan yang ada pada tata usaha Kantor Pendaftaran Tanah itu selalu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

  Hal tersebut merupakan tuntutan dari ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 bahwa keterangan-keterangan yang ada pada Kantor Pendaftaran Tanah mempunyai kekuatan hukum dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang kuat. Berdasarkan hal tersebut, sistem yang dipakai Undang-Undang Pokok Agraria adalah sistem Negatif bertendens Positif. Pengertian Negatif di sini adalah bahwa adanya keterangan- keterangan yang ada itu jika ternyata tidak benar masih dapat dirubah dan dibetulkan sedangkan pengertian tendens Positif ialah bahwa adanya peranan aktif dari petugas pelaksana pendaftaran tanah dalam hal penelitian terhadap hak-hak atas tanah yang di

  28 daftar tersebut.

  Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, mengatur tujuan dari Pendaftaran tanah adalah untuk: 27 28 Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 54.

  Ibid.

  1. Memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

  2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

  3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

  Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa alat bukti hak dapat digunakan untuk:

  a. Mendalilkan kepunyaan suatu hak;

  b. Meneguhkan kepunyaan hak sendiri;

  c. Membantah kepunyaan hak orang lain; d. Menunjukkan kepunyaan hak atas suatu peristiwa hukum.

  Dengan demikian, pembuktian hak atas tanah merupakan proses yang dapat digunakan pemegangnya untuk mendalilkan kepunyaannya, meneguhkan kepunyaannya, membantah kepunyaan atau untuk menunjukkan kepunyaan atas sesuatu pemilikan hak atas tanah dalam suatu peristiwa atau perbuatan hukum tertentu. Kemudian dalam kaitannya dengan pembuktian hak atas tanah, maka dapat dibedakan menjadi yaitu pembuktian hak baru atas tanah dan pembuktian hak lama atas tanah.

  Demikian halnya dengan pengakuan hak atas sesuatu hal oleh seseorang atau masyarakat haruslah didasarkan pada bukti kepemilikan yang sah dan kuat, salah satunya adalah hak atas tanah dan rumah. Tanpa bukti hak tertulis, maka seseorang atau masyarakat tidak dapat serta-merta membuat pernyataan atas hak kepemilikan tersebut.

  Dalam hal penyediaan perumahan oleh negara dan pemilikannya oleh negara tidaklah cukup memadai, karena masih harus diberikan jaminan kepastian hukum atas pemilikan rumah tersebut. Khususnya dalam menjamin kepastian hukum dalam pemilikan rumah tersebut, maka pembangunan perumahan atau rumah tersebut harus dilakukan di atas tanah yang dimilikinya dan dikukuhkan dengan hak-hak atas tanah

  29 berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

2. Konsepsi

  Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi

  30 dengan realitis.

  Dalam pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga untuk

  31 menuntun dalam menangani penelitian.

  29 30 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Loc. Cit. 31 Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34.

  Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 108. Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai yaitu:

  1. Sengketa menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.

  2. Pengakuan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan suatu klaim yaitu dimana adanya tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu.

  3. Penguasaan menurut Satjipto Rahardjo merupakan karakteristik suatu masyarakat pra hukum dan bersifat faktual (mementingkan kenyataan pada suatu saat). Hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Dalam hal ini terkandung 2 unsur, yaitu 1) kenyataan bahwa suatu barang itu berada dalam kekuasaan seseorang (corpus

  possessionis ); 2) sikap batin orang yang bersangkutan untuk menguasai dan menggunakannya (animus posidendi).

  4. Pendudukan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses, cara, perbuatan menduduki (merebut dan menguasai) suatu daerah.

  5. Rumah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bangunan untuk tempat tinggal, sedangkan dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan pemukiman disebutkan bahwa, rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta

  32 aset pemiliknya.

  6. Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya

  33

  untuk tujuan pribadi. Namun jika disebut hak milik harus diikuti dengan hak kebendaan, dimana menurut Pasal 499 KUHPerdata yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, definisi kebendaan adalah mengenai “dikuasai oleh hak milik” berhubungan erat dengan pengertian hak milik dalam Pasal 570 KUH Perdata. Dengan demikian, “sesuatu” dapat dianggap sebagai kebendaan apabila“sesuatu” itu (pada dasarnya) dapat

  34 dikuasai oleh hak milik.

  7. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi: pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang dan satuan- 32 satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman .

  33 Sekarayuaulia.wordpress.com/2013/09/12/etika-pembagian-saham-dan-hak-kepemilikan/, di akses 20 Maret 2014, pukul 18.20 wib. 34 Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Alumni, 2010), hal. 35. bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan satuan-satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

  35

  8. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atas bagian bangunan di atasnya.

  36

  9. Data yuridis adalah keterangan mengenai status bidang tanah dan satuan rumah susun yang di daftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban- beban lain yang membebaninya.

  37 G. Metode Penelitian

  1. Sifat dan Jenis Penelitian

  Sifat penelitian tesis yang digunakan adalah penelitian deskriftif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas Hak Kepemilikan Yang Berakibat Sengketa: Studi Kasus Putusan MA No. 2511K/PDT/1995 Tanggal 9 September 1997. Adapun jenis penelitian yang diterapkan adalah dengan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menitikberatkan penelitian pada data sekunder atau data kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

  35 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 36 Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 37 Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

  Penelitian hukum normatif ini mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan putusan MA No. 2511K/PDT/1995 tanggal 9 September 1997 sebagai pijakan normatif yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru secara teoritis dan

  38 praktis.

2. Sumber Data

  Sumber data utama dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan mencari, mengumpulkan dan mengkaji data sekunder yang berupa

  

39

  bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hal tersebut sebagai dasar pengetahuan dan titik acuan dalam melakukan pembahasan melalui sumber data tertulis seperti buku-buku ilmiah, Peraturan Perundang-undangan, dan peraturan maupun dokumen resmi yang dikeluarkan Pemerintah.

  Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan pustaka sebanyak mungkin yang terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah bahan dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.

  1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat

  40

  sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian, yaitu:

  a. Undang-Undang Dasar 1945;

  38 39 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 132. 40 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, Op. Cit, hal. 13.

  Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 53. b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria;

  c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman;

  d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

  24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

  e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

  f. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah;

  g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional; h. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2511K/PDT/1995.

  2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya memperkuat dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

  41

  seperti buku-buku hukum, hasil penelitian para ahli, dan karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.

  3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia yang dapat digunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini. 41 Ibid .

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik yang digunakan untuk memperoleh data penulisan ini adalah dengan metode penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data dan informasi serta mempelajari dokumen-dokumen, buku-buku teks, teori-teori, Peraturan Perundang-undangan, artikel, tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

  4. Analisis Data

  Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan langkah terakhir dalam suatu kegiatan penulisan. Analisis data dilakukan secara kwalikatif artinya menggunakan data secara bermutu dalam kalimat yang teratur, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif sehingga memudahkan dalam interpretasi data dan pemahaman hasil analisis. Data sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk selanjutnya dianalisis menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan kejelasan terhadap masalah yang

  42 akan dibahas.

  Kegiatan analasis ini dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, Peraturan Perundang-undangan, informasi media cetak, seminar-seminar yang berkaitan dengan judul penelitian untuk mendukung studi kepustakaan. Semua data yang terkumpul diedit, diolah, dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya disimpulkan dengan menggunakan metode deduktif. 42 Soerjono Soekanto. Op. Cit, hal 1.

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Mengenai Penguasaan dan Penggunaan Senjata Api Tanpa Hak oleh Warga Sipil (Studi Kasus pada Putusan Nomor: 261/Pid.b/2013/PN.GS)

12 173 88

Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggungan (Study Kasus PN Medan Register No.113/Pdt.G/2006/PN/Medan Tanggal 01-03-2007)

1 60 148

Penerbitan Sertipikat Hak Milik Yang Berasal Dari Alas Hak Surat Pernyataan Yang Kemudian Dinyatakan Palsu (Studi Kasus MA NO. 1339/K/PDt/2009)

0 33 127

Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas Hak Kepemilikan Yang Berakibat Sengketa: Studi Kasus Putusan MA NO. 2511K/PDT/1995 Tanggal 09 September 1997

1 68 136

Perlindungan Hukum Pembeli Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Tanah Berdasarkan Alas Hak Yang Berasal Dari Surat Keterangan Camat (Analisis Kasus PTUN Nomor: 72/G.TUN/2005/PTUN-MDN)

2 60 137

Hak Kepemilikan Dan Penguasaan Atas Tanah Di Wilayah Pulau Batam (Studi : Di Pulau Sekikir Dan Pulau Bulat)

6 75 160

Analisa Kasus Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)

4 52 94

Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh)

1 52 140

Jual Beli Tanah Berdasarkan Alas Hak Surat Keterangan Kepemilikan Tanah Di Tua Pejat Kepulauan Mentawai

0 0 22

BAB II TINJAUAN YURIDIS ATAS KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH ATAU RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2511KPDT1995 TANGGAL 9 SEPSTEMBER 1997) A. Keberadaan Girik Dalam Hukum Tanah Nasional - Pengakuan Penguasaan Dan Pendudukan Tanah Tanpa Alas

0 1 32